Rencana mereklamasi Teluk Benoa menuai banyak pro dan kontra. Perdebatan
tidak hanya terbatas pada aspek pengembangan pariwisata dan lingkungan, tetapi
meliputi wacana teologis. Argumentasi kesucian kawasan Teluk Benoa mulai
mencuat dalam perdebatan reklamasi Teluk Benoa pada tahun 2015. Istilah
kawasan suci sendiri dalam studi kasus ini dikonstruksi oleh peraturan pemerintah,
keputusan organisasi keagamaan dan organisasi masyarakat, sampai konsensus
internasional. Organisasi masyarakat sipil lintas sektor, ForBALI mengklaim
bahwa setidaknya ada 70 titik suci di Teluk Benoa. Hasil kajian tersebut digunakan
sebagai salah satu landasan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Majelis Hindu
tertinggi di Indonesia, Parisada, juga ikut serta dalam perdebatan ini. Melalui
keputusannya yang bersifat nasional, Parisada mengatakan bahwa kawasan Teluk
Benoa diyakini memiliki nilai kesucian. Argumentasi kesucian kawasan Teluk
Benoa ini sendiri memiliki signifikansi dalam penolakan reklamasi, yaitu: (1.)
definisi dan perlakukan terhadap kawasan suci termuat dalam peraturan di tingkat
daerah maupun pusat, (2.) dibuktikan secara empiris melalui kajian dari 2 sumber,
yaitu ForBALI dan Parisada, dan (3.) istilah kawasan suci diakui oleh konsensus
internasional, termasuk hak masyarakat lokal untuk menjaga dan mengaksesnya,
seperti yang tertuang di dalam United Nations Declaration on the Rights of
Indigenous Peoples dan Universal Code of Conduct on Holy Sites. Di sisi lain,
bergulirnya wacana kawasan suci di dalam perdebatan reklamasi mempertanyakan
ulang gagasan nalar publik yang diajukan oleh Rawls. Gagasan tersebut merujuk
pada pemakaian argumen yang dapat diterima oleh komunitas manapun. Mengacu
pada gagasan tersebut, sebuah pandangan yang disampaikan komunitas tertentu
harus bersifat inklusif dan dapat diterima oleh komunitas lain. Dalam konteks
reklamasi Teluk Benoa, jika mengacu pada gagasan nalar publik, seharusnya
wacana kawasan suci tidak mencuat karena berlandaskan dari komunitas tertentu,
dalam hal ini Hindu Bali. Studi kasus ini justru menunjukkan bahwa legitimasi
yang bersifat eksklusif tetap digunakan di ruang publik, dalam hal ini perdebatan
reklamasi Teluk Benoa. Dengan kata lain elemen agama punya ruang untuk tampil
di muka publik. Legitimasi agama digunakan baik oleh Parisada maupun ForBALI.
Bagi Parisada wacana kesucian kawasan Teluk Benoa menjadi satu-satunya
argumentasi yang digunakan dalam merespon rencana reklamasi. Sedang bagi
ForBALI, wacana teologis ini menjadi salah satu aspek selain kajian dalam hal
lingkungan, ekonomi, dan hukum. Namun yang ditekankan di sini adalah keduanya
secara eksplisit memakai pandangan yang eksklusif. Dalam konteks yang lebih
luas, studi kasus ini menunjukkan bahwa dikotomi agama dan negara yang ketat
perlu dipertanyakan ulang, terutama dalam kasus Indonesia pada khususnya dan
Bali pada umumnya. Nyatanya agama dalam konteks ini melalui wacana kawasan
suci dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga menunjukkan bahwa agama
bukan merupakan entitas tunggal karena nilai agama dapat hadir melalui peraturan
pemerintah, organisasi masyarakat, bahkan hal-hal yang dianggap sekuler.
Kemunculan nalar agama ini di ruang publik ini sendiri tidak sepenuhnya
menggambarkan deliberasi dalam negara demokratis yang plural.
Simpulan