Anda di halaman 1dari 6

Latar Belakang

Lautan Indonesia memiliki pemandangan menarik yang menyebabkan


banyaknya wisatawan lokal dan mancanegara yang mengunjungi wilayah pesisir
kepulauan Indonesia, tak terkecuali pulau Bali yang telah dinobatkan sebagai pulau
tujaun pariwisata terbaik dunia tahun 2013 (Sutika, 2013). Potensi pariwisata
menarik kaum kapitalis nasional maupun internasional untuk menginvestasikan
modalnya di Bali. Sekitar 80% dari jumlah investasi di sector pariwisata Bali
berasal dari kapitalis asing (Hazliansyah, 2013).

Pemerintah Bali mengakomodir semangat investasi di Pulau Bali dengan


mengeluarkan surat keputusan bernomor: 2138/02-c/Hk/2012 tentang izin dan hak
pemanfaatan dan pengembangan Teluk Benoa kepada PT. Tirta Wahana Bali
Internasional (PT.TWBI) seluas 838 ha. Lokasi reklamasi direncanakan di wilayah
pasang-surut yang berbatasan langsung dengan pelabuhan Laut Benoa di Utara,
Desa Tanjung Benoa dan Desa Tengkulung di sisi Timur, Desa Bualu di sebelah
Selatan, dan Desa Jimbaran di sisi Barat. Secara lebih spesifik, wilayah yang
disediakan untuk investasi ini menyasar kawasan Pulau Pudut yang terletak di sisi
Timur Tanjung Benoa yang berjarak sekitar 35 km dari Denpasar, ibukota provinsi
Bali dan 5 km dari kawasan Nusa Dua (Asdhirana, 2013). PT. Tirta Wahana Bali
Internasional, mengajukan proposal kepada pemerintah daerah Bali bahwa hasil
reklamasi akan digunakan sebagai kawasan pariwisata terpadu. Kawasan tersebut
mencakup penghijauan, tempat ibadah, taman budaya, taman rekreasi (sekelas
Disneyland). Gubernur Bali mengeluarkan keputusan berdasarkan pertimbangan
bahwa Bali merupakan daerah tujuan wisata dunia yang memiliki daya dukung
terbatas.
Pemanfaatan kawasan pesisir Teluk Benoa menjadi tempat wisata akan
berdampak pada lingkungan sekitar. Dampaknya pemanfaatan lahan di wilayah
pesisir Teluk Benoa berpotensi besar merusak dan menghancurkan peran penting
Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Berdasarkan data CII (2013), Teluk
Benoa merupakan kawasan penyebaran hutan mangrove terluas di Bali.
Keberadaan mangrove berperan penting secara fisik dalam melindungi daratan dari
erosi atau abrasi pantai. Ekosistem mangrove di Teluk Benea juga berperan sebagai
paru-paru kota mengingat letaknya yang strategis di kawasan perkotaan (CII,
2013). Sedangkan ekosistem padang lamun di Teluk Benoa dan perairan sekitarnya
merupakan bagian dari mata rantai system pesisir yang kompleks. Keberadaanya
berperan sebagai habitat berbagai jenis biota laut dan sebagi system penyangga
antara ekosistem mangrove dan terumbu karang. Keberadaan terumbu karang itu
sendiri adalah sebagai benteng perlindungan pantai dari ancaman erosi atau abrasi
yang disebabkan oleh aksi gelombang dan arus laut selat Badung. Disamping itu,
ditinjau dari aspek ekonomi ekosistem terumbu karang di kawasan sekitar Teluk
Benoa merupakan sumber mata pencaharian nelayan tradisional..

Pro dan kontra

Rencana mereklamasi Teluk Benoa menuai banyak pro dan kontra. Perdebatan
tidak hanya terbatas pada aspek pengembangan pariwisata dan lingkungan, tetapi
meliputi wacana teologis. Argumentasi kesucian kawasan Teluk Benoa mulai
mencuat dalam perdebatan reklamasi Teluk Benoa pada tahun 2015. Istilah
kawasan suci sendiri dalam studi kasus ini dikonstruksi oleh peraturan pemerintah,
keputusan organisasi keagamaan dan organisasi masyarakat, sampai konsensus
internasional. Organisasi masyarakat sipil lintas sektor, ForBALI mengklaim
bahwa setidaknya ada 70 titik suci di Teluk Benoa. Hasil kajian tersebut digunakan
sebagai salah satu landasan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Majelis Hindu
tertinggi di Indonesia, Parisada, juga ikut serta dalam perdebatan ini. Melalui
keputusannya yang bersifat nasional, Parisada mengatakan bahwa kawasan Teluk
Benoa diyakini memiliki nilai kesucian. Argumentasi kesucian kawasan Teluk
Benoa ini sendiri memiliki signifikansi dalam penolakan reklamasi, yaitu: (1.)
definisi dan perlakukan terhadap kawasan suci termuat dalam peraturan di tingkat
daerah maupun pusat, (2.) dibuktikan secara empiris melalui kajian dari 2 sumber,
yaitu ForBALI dan Parisada, dan (3.) istilah kawasan suci diakui oleh konsensus
internasional, termasuk hak masyarakat lokal untuk menjaga dan mengaksesnya,
seperti yang tertuang di dalam United Nations Declaration on the Rights of
Indigenous Peoples dan Universal Code of Conduct on Holy Sites. Di sisi lain,
bergulirnya wacana kawasan suci di dalam perdebatan reklamasi mempertanyakan
ulang gagasan nalar publik yang diajukan oleh Rawls. Gagasan tersebut merujuk
pada pemakaian argumen yang dapat diterima oleh komunitas manapun. Mengacu
pada gagasan tersebut, sebuah pandangan yang disampaikan komunitas tertentu
harus bersifat inklusif dan dapat diterima oleh komunitas lain. Dalam konteks
reklamasi Teluk Benoa, jika mengacu pada gagasan nalar publik, seharusnya
wacana kawasan suci tidak mencuat karena berlandaskan dari komunitas tertentu,
dalam hal ini Hindu Bali. Studi kasus ini justru menunjukkan bahwa legitimasi
yang bersifat eksklusif tetap digunakan di ruang publik, dalam hal ini perdebatan
reklamasi Teluk Benoa. Dengan kata lain elemen agama punya ruang untuk tampil
di muka publik. Legitimasi agama digunakan baik oleh Parisada maupun ForBALI.
Bagi Parisada wacana kesucian kawasan Teluk Benoa menjadi satu-satunya
argumentasi yang digunakan dalam merespon rencana reklamasi. Sedang bagi
ForBALI, wacana teologis ini menjadi salah satu aspek selain kajian dalam hal
lingkungan, ekonomi, dan hukum. Namun yang ditekankan di sini adalah keduanya
secara eksplisit memakai pandangan yang eksklusif. Dalam konteks yang lebih
luas, studi kasus ini menunjukkan bahwa dikotomi agama dan negara yang ketat
perlu dipertanyakan ulang, terutama dalam kasus Indonesia pada khususnya dan
Bali pada umumnya. Nyatanya agama dalam konteks ini melalui wacana kawasan
suci dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga menunjukkan bahwa agama
bukan merupakan entitas tunggal karena nilai agama dapat hadir melalui peraturan
pemerintah, organisasi masyarakat, bahkan hal-hal yang dianggap sekuler.
Kemunculan nalar agama ini di ruang publik ini sendiri tidak sepenuhnya
menggambarkan deliberasi dalam negara demokratis yang plural.

kelahiran UU tentang Wilayah Pesisir pada prosesnya dianggap kurang


menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir. Hal ini
tercermin dengan adanya putusan MK No 3/PUU-VIII/2010 yang dalam amar
putusannya menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal
20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat
(1), Pasal 71, serta Pasal 75 UU tentang Wilayah Pesisir bertentangan dengan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memunyai kekuatan mengikat.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi berpendapat pengelolaan wilayah
pesisir dan pulaupulau kecil dengan tujuan untuk: (i) melindungi, mengonservasi,
merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulaupulau
kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, (ii) menciptakan keharmonisan
dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta (iii) memperkuat peran serta masyarakat dan
lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya pesisir dan pulaupulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Indonesia dalam Rangka Pembangunan Berbasis Pelestarian
Lingkungan Tommy Cahya Trinanda 83 dan keberlanjutan, tidak dapat dilakukan
dengan pemberian hak pengusahaan perairan pesisir (HP3). Menurut MK untuk
menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak
pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak
swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat
kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan
(bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di samping
itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh
pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui mekanisme
perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak
kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam
kurun waktu tertentu. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulai kecil
tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan
sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan
serta memberikan kepastian hukum (Putusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-
VIII/2010). Dengan demikian dapat dikatakan pemberian HP3 melanggar prinsip
demokrasi ekonomi kerakyatan karena akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir
dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar.
Pada prosesnya, UU tentang Wilayah Pesisir telah diubah dengan lahirnya UU No 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan PulauPulau Kecil. Dikeluarkannya UU No 1 Tahun 2014 ini untuk
mengakomodasi putusan MK No 3/ PUU-VIII/2010 serta memberikan kewenangan
dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan
pulau-pulau kecil melalui mekanisme pemberian hak pengusahaan perairan pesisir.
Selain itu dengan terbitnya UU No 1 Tahun 2014 membuat adanya pengakuan dan
penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional
sesuai dengan prinsip NKRI, dan mengakui serta menghormati masyarakat lokal dan
masyarakat tradisional yang bermukin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Simpulan

Kasus Penolakan reklamasi Teluk Benoa tidak dilakukan dengan pendekatan


pelestarian yang melibatkan partisipasi masyarakat. Pengelolaan wilayah pesisir harus
dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan sektor oleh
pengambil kebijakan baik di pusat maupun di daerah, sehingga saling terjadi
keharmonisan dan penguatan pemanfaatan dengan pengelolaan yang melibatkan
masyarakat. Perbaikan dapat dilakukan apabila pemerintah daerah dan pemerintah
pusat berkonsentrasi pada pengembangan SDM lokal di wilayah pesisir, infrastruktur,
dan keberlangsungan ekosistem sebagai sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan.

Anda mungkin juga menyukai