Anda di halaman 1dari 20

MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT MISKIN

Margono

Pengantar Kasus

Masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia dari jaman ke jaman adalah kemiskinan. Era
kolonial mewariskan kemiskinan struktural, karena rakayat Indonesia dianggap penyedia tenaga kerja
yang murah untuk peningkatan produksi tanaman perkebunan dan pertambangan yang bereorientasi
ekspor.

Setelah Indonesia merdeka, pembangunan nasional diarahkan untuk mengatasi masalah


kemiskinan. Hal itu dimaksudkan untuk merealisasikan sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, upaya pembangunan nasional tersebut belum secara sungguh-
sungguh dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Hal itu disebabkan bukan saja oleh faktor
yang bersifat kultural, tetapi juga yang lebih berat adalah faktor yang bersifat struktural.

Hal yang bersifat struktural dapat dilihat pada krisis ekonomi Indonesia tahun 1998. Menurut
Profil Kemiskinan Indonesia (2009), jumlah penduduk miskin meningkat tajam menjadi 49,50 juta atau
(24,23%) pada tahun 1998, padahal pada tahun 1996 penduduk miskin Indonesia berjumlah 34,59 juta
atau (17,47%). Data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (2016) menunjukkan bahwa penduduk
miskin tahun 2016 hampir berjumlah 11 juta orang. Jumlah tersebut merupakan 22 persen dari total
penduduk Indonesia. Krisis ekonomi itu sendiri disebabkan ketergantungan ekonomi Indonesia pada
kekuatan modal asing, khususnya dalam bentuk hutang luar negeri pemerintah dan swasta.

Warga masyarakat Indonesia berpartisipasi untuk mengatasi masalah kemiskinan. Partisipasi


masyarakat ini mengimbangi upaya pemerintah yang berusaha membuka lapangan pekerjaan dengan
menarik investasi dalam negeri dan luar negeri. Beberapa kasus pengentasan kemiskinan yang dilakukan
oleh masyarakat dalam skala lokal menunjukkan keberhasilan yang mencengangkan.

Untuk itu kita dapat belajar dari Heni, Loretha, dan Koto. Heni berhasil melakukan pendidikan
dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di Jawa Barat. Loretha berhasil mengajak masyarakat Flores
untuk menanam sorgum sehingga memiliki ketahanan pangan. Dan Koto mendirikan bank tani sehingga
dapat menyediakan modal bagi para petani di Sumatra Barat. Kita dapat bertanya, pendorong apa yang
membuat mereka berhasil mengentaskan kemiskinan? Bagaimana strategi mereka meyakinkan

1
penduduk miskin untuk berupaya memakai kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari kemiskinan?
Bagaimana dampak kiprah mereka dalam mengentaskan kemiskinan? Penghargaan apa yang diperoleh
atas keberhasilan mereka mengentaskan kemiskinan?

Deskripsi Kasus

Kasus 1: Heni Sri Sundani

Menurut berita Kompas.com (21 April 2016), Heni Sri Sundani bisa dibilang menjadi wanita
Indonesia yang paling beruntung. Perempuan berusia 28 tahun ini terpilih menjadi satu dari 30 anak
muda yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Forbes. Sebuah prestasi yang tak pernah
dibayangkan sebelumnya dari seorang mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) ini. Bukan perkara mudah
mencapai kesuksesannya saat ini. Ia masih ingat betul bagaimana perjuangannya dalam menempuh
pendidikan di negara orang.

Gambar 1. Heni memberdayakan


masyarakat miskin lewat program
bertajuk AgroEdu Jampang
Community

Bekerja sebagai baby sitter di Hongkong tak menyurutkan cita-citanya untuk menyelesaikan
pendidikan hingga perguruan tinggi. Penghasilannya dari profesi baby sitter ia kumpulkan untuk
membayar kuliah di Saint Mary's University, Hongkong. Tahun 2011, Heni lulus sarjana dengan nilai
cumlaude. "Satu tahun pertama sangat berat bagiku. Belajar memahami bahasa, budaya dan juga ritme
kerja di Hong Kong yang seolah tak pernah berhenti berdenyut. Meski tenggelam oleh kesibukan, aku
tetap mengingat mimpiku, kuliah dan menjadi guru," .

Heni menceritakan, saat itu majikannya tidak tahu bahwa Heni kuliah. Jika saja tahu, majikannya
pasti akan marah besar. Sebab, Heni pernah satu kali terpergok sedang membaca koran di sela waktu
istirahatnya di dapur, majikannya berkata "pembantu itu yang penting bisa menjaga anak, memasak,
dan merawat rumah dengan baik. Tidak perlu membaca buku apalagi membaca koran. Katanya tak

2
berguna". Kata-kata itu terus menjadi cambuk bagi Heni. Tanpa sepengatahuan majikannya, ia pun
menghabiskan jatah hari liburnya dengan kuliah dan belajar di perpustakaan yang merupakan fasilitas
umum di Hong Kong dan bisa diakses oleh siapa saja dengan gratis. "Aku pun bisa membeli laptop
sendiri dari hasil tabunganku. Perlahan-lahan, aku sering mengirimkan berbagai tulisanku ke koran,
majalah atau tabloid berbahasa Indonesia di Hong Kong dan mengikuti berbagai lomba," kenangnya.

Setelah cita-citanya menjadi sarjana tercapai, tiba saatnya bagi Heni pulang ke kampung
halamannya di Ciamis, Jawa Barat. Pulang ke Indonesia dan menjadi guru bagi anak-anak kampung
adalah keinginannya sejak kecil. Sebelum menginjakkan kakinya di kampung halaman, Heni
berkesempatan mengikuti Festival Sastra Internasional di Ubud, Bali. Ubud Writers and Readers Festival
namanya. Tulisannya yang berjudul "Surat Berdarah untuk Presiden" mendapatkan banyak apresiasi dan
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Di sana, Heni mendapat banyak pengalaman dan
berinterkasi dengan para penulis dan pembaca dari puluhan negara di dunia. Buku, membaca, dan
menulis telah membawakan dunia ke dalam hidupnya. "Itu cita-citaku. Doa emak (ibu) yang ingin aku
menjadi guru agar bisa mengajari anak-anak di kampung terkabul. Apa yang aku dapat sampai hari ini
adalah dukungan dari orangtua," tutur dia.

Kini, Heni sudah memiliki lebih 1.000 anak didik dalam program Anak Petani Cerdas. Program ini
juga yang membawanya masuk ke jajaran daftar 30 anak muda yang paling berpengaruh di Asia versi
majalah Forbes. Heni juga memiliki belasan usaha sosial. Kegiatan yang dulunya hanya diprakarsai oleh
Heni dan suami kini sudah menjadi gerakan bersama teman-temannya yang tersebar di lima benua.

Mereka membantu mendanai kegiatan-kegiatan, seperti memberikan beasiswa untuk anak-anak


petani, membantu pengobatan warga kampung, mendirikan MCK, memberikan modal usaha kepada
kelompok tani, bahkan memberdayakan para pemuda kampung dan relawan dalam program "Pemuda
Wirausaha". "Aku tahu memberikan ilmu tidak akan membuat ilmuku berkurang, akan tetapi sebaliknya.
Ilmuku bertambah dengan terus membaginya. Dan, pada akhirnya aku pun tahu, memberikan sebagian
harta takkan membuatku jatuh miskin, tetapi justru akan bertambah keberkahannya dengan rasa
syukur. Aku terus bersyukur sehingga aku merasakan banyak kebahagiaan," tutup Heni.

Menurut pemberitaan Tribunnews.com (14 April 2016), lewat program bertajuk AgroEdu
Jampang Community, Heni bersama suaminya mengajak para petani di beberapa desa di Bogor, Jawa
Barat mengembangkan wisata pendidikan pertanian dan budidaya. Usaha ini dia mulai sejak tahun 2013

3
silam. Tiap-tiap desa memiliki komoditas sendiri seperti Desa Jampang untuk budidaya ikan hias, Desa
Pondok untuk budidaya ikan lele bioflok, Desa Kahuripan untuk budidaya tanaman organik dan
hortikultura serta Kampung Lengkong Barang dengan budidaya ikan serta bisnis homestay.

Selain menjual hasil panennya ke konsumen seperti biasa, petani juga bisa mendapatkan
penghasilan tambahan dari sistem bagi hasil uang masuk pengunjung. Tak hanya itu, petani juga bisa
menjual langsung komoditas produksinya kepada para pengunjung. Biaya masuk untuk paket wisata
sekitar Rp 100.000 per orang. Dari paket wisata ini saja, omzetnya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Kasus 2: Maria Loretha


Menurut Republika co.id (24 Maret 2015), dengan penuh semangat dan ramah, Maria Loretha
menjelaskan perihal sorgum. “Bubur sorgum dengan daging ayam dan brenebon... hmmm sedaaapp,”
katanya. Wanita berusia 49 tahun ini seorang pegiat bahan makanan pengganti beras yang telah
membantu ribuan warga Indonesia di Flores bagian timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampai saat ini,
pengganti nasi tersebut dikenal dengan nama sorgum, sejenis biji-bijian. “Tanggal 21 Maret ini, menjadi
tahun pertama kami berpanen raya sorgum,” ujar Tata, sapaan akrab Maria Loretha.
Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, di timur Flores. Di situlah Tata
bersama suami dan anak-anaknya tinggal sejak pindah dari Malang, Jawa Timur, pada 1997. Mereka
pindah karena krisis moneter melanda Indonesia. Sebagian besar rakyat mengalami masa sulit. Di
daerah terpencil itu, Tata bagai memulai hidup baru. Ia melihat tanah yang kering di sekelilingnya.
Padahal di situ, ia dan keluarganya harus hidup.

Gambar 2. Loretha Menanam Sorgum


Bersama Warga Flores

Saat pertama kali pindah ke daerah asal suaminya, Jeremias Letor, ide bayangan Tata untuk
berkebun langsung tebersit. Namun, ternyata kondisi pesisir Flores tak seburuk dugaan awalnya. Setelah
bergaul dengan warga lokal yang berkebun, ia mengetahui bahwa ‘rumah barunya’ ini sangat subur.
“Saya melihat potensi Flores Timur bisa mencukupi kehidupan dari berkebun,” ungkap Tata. Ia lalu

4
mengajak suaminya menyingsingkan lengan baju. “Saya ajak suami yang memang pernah gengsi menjadi
petani.”
Rasa cinta Jeremias, diakui Tata, membawa langkah kaki mereka mulai menapaki bersama untuk
mengolah tanah mereka. Pada 2005, Tata mulai menanami lahan milik suaminya dengan kacang tolo
dan beras merah. Hasilnya cukup memuaskan. Selain dapat memenuhi kebutuhan dapur sendiri,
kehidupan ekonomi keluarga pun ikut bergerak. Tak membutuhkan waktu lama, si sulung dari lima
bersaudara ini sudah mampu menjalin hubungan baik dengan sesama petani di sana. Ia lalu
mendapatkan sesuatu yang akhirnya mulai mengubah hidupnya.
Saat itu, pada 2006, ia mendapat penganan sangat khas daerah setempat, sepiring watablolon.
Saat mencicipinya, ibu empat anak ini mendapatkan pengalaman berkuliner yang luar biasa. “Sangat
lezat,” ungkapnya. Penganan itu dibuat dari biji-bijian sorgum dan parutan kelapa. Ia begitu terkesan
dan kagum pada bulir- bulir kecil halus ini. “Tekstur dan rasanya sangat mirip nasi,” katanya. Selain itu,
dari pengalamannya itu, ia menyimpulkan, menyantap sorgum memberi dampak serupa dengan nasi:
bisa kenyang.
Watablolon pemberian Maria Helen, tetangganya, membuat Tata mulai bergerak. Ia mencari ke
mana pun bibit sorgum berada di seluruh penjuru Flores. Dari bibit yang terkumpul, singkat cerita ia
mampu menanam kemudian memanen jerih payahnya pada 2007. “Mencari bibitnya bukan perkara
mudah. Hingga akhirnya bisa panen, saya bertekad membagikan bibit-bibit yang saya punya untuk
semua petani di desa,” kata Tata.
Sorgum ternyata bukan penganan biasa bagi rakyat Flores bagian timur. Kenyataan itu
disadarinya dari kesulitan Tata untuk mendapatkan bibit. Melihat potensi sorgum, lahan, dan sumber
daya yang cakap di daerahnya, ia lalu meng ajak seluruh petani di sana untuk menanam sorgum. Selain
mudah, hasil yang diberikan juga lebih baik ketimbang bibit-bibit lain yang pernah ditanam. Tak hanya
itu, sorgum juga sangat tahan ditanam dalam kondisi cuaca apa pun. Dengan begitu, panen bisa rutin
dilakukan tiap tahun meski saat itu masih dalam skala kecil.
Seiring waktu, solidaritas petani di daerahnya untuk menanam sorgum semakin kuat. Mereka
pun mendirikan sebuah lembaga bernama Yayasan Cinta Alam Pertanian Kadiare untuk membuat
sorgum lestari. Pada 2010, pesona sorgum mulai dilirik kalangan petani di seluruh Flores. Saat itu, dalam
sebuah forum besar pertemuan pegiat pangan dan petani digelar di daerahnya, Tata diminta
menyampaikan pandangan. Ternyata, pemaparannya tentang bahan makanan pokok sorgum yang
merupakan khas Flores Timur menarik para peserta forum.
Betapa tidak, sorgum si primadona itu lumayan sulit ditemukan. Kesulitan bibitlah yang
membuat para petani setempat enggan mengembangkannya dan mereka memilih bercocok tanam
beras merah. Sejak saat itu, Tata beroleh nama baru. Orang-orang menyapa wanita keturunan Dayak
Kanayan ini dengan panggilan Mama Sorgum (mama, sapaan akrab masyarakat Flores bagi wanita).

5
Bersama yayasannya, ia memimpin pendampingan bagi puluhan kelompok tani yang mulai
mendedikasikan diri untuk menanam sorgum.
Jumlah kelompok tani yang mencapai 34 itu tersebar di delapan kabupaten di seluruh Flores.
Yakni, Ende, Nakegeo, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Lembata, Sikka, dan Flores
Timur. “Kami sudah mengetahui kelebihan sorgum, jadi kami ingin bisa terus menikmatinya di seluruh
masyarakat Flores dan NTT,” ungkap Tata. Melihat antusiasme masyarakat Flores, ia mulai rajin
mendatangi kelompok-kelompok tani yang lokasinya terpencil di pedalaman. Akses ke lahan pertanian di
Flores tak semudah di Jawa yang didukung jalan yang baik dan tersedianya alat transportasi.
Kondisi di Flores jauh berbeda. Untuk itu lah Maria Loretha tak hirau perlu berpeluh ria untuk
dapat mendampingi para petani. Meski seorang pendatang, Tata mengaku senang bisa menemani para
petani lokal mencapai keinginan mereka. “Saya tidak sedih meski harus jauh berjalan, kawan-kawan
petani tersenyum karena sorgum pun sudah cukup untuk saya,” kata putri seorang hakim ini.
Tata tak pernah menyangka, jejak pijakan pertamanya di Flores pada 17 tahun silam adalah
sebuah tapak kaki pembawa perubahan. Saat pertama kali datang pada masa-masa krisis moneter dulu,
warga sekitar kediamannya sangat amat merindukan nasi. Bahan makanan pokok di Flores awalnya
jagung dan sorgum. Perubahan terjadi saat pemerintahan Orde Baru yang menjadikan beras sebagai
bahan makanan pokok di seluruh Indonesia.
Sebagai makanan pokok, nasi yang berasal dari beras tidak cukup baik untuk dikembangkan di
karakteristik tanah di Flores. Warga lokal harus berburu beras ke pasar. Di pasar pun beras relatif sulit
ditemukan. Kalaupun ada, harga beras tak stabil seperti di kota-kota besar. Namun, kini setelah tanpa
letih mengampanyekan sorgum, kecintaan masyarakat setempat mulai beralih. Nasi perlahan sudah
tidak lagi menjadi bahan makanan utama incaran perut-perut orang Flores.
Kini, tua, muda, dari pesisir sampai ke desa-desa hingga merangsek kota menjadikan sorgum
sebagai bahan makanan pokok mereka. Warga tak terlalu cemas saat menghadapi kenyataan bahwa
beras langka dan harga yang meroket.
Apa saja yang bisa diolah dari sorgum? Dari sarapan dan makanan ringan pendamping kopi di
pagi hari, hingga makanan santap malam bersama keluarga bisa diolah dari tanaman yang mirip
tumbuhan jagung ini. “Sorgum sudah dikembangkan menjadi macam-macam. Masyarakat sangat
semangat menelurkan inovasinya dengan sorgum, kini semua telah menjadi agen perubahan sorgum,”
ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang ini.
Akhir Maret tahun ini menjadi momentum penting bagi Maria Loretha. Peraih Fellowship
Ashoka Global Washington DC 2013 sebagai inovator publik ini berharap dunia bisa melihat sorgum
sebagai bagian dari fondasi pembentuk kekuatan pangan. Ia berharap pemerintah melirik sorgum. Dan,
perhatian itu diharapkannya bisa didapat lewat panen raya 21 Maret 2015. Meski terkadang timbul-
tenggelam rasa bosannya pada janji perhatian pemerintah, Tata tetap optimistis. “Tidak apa-apa, kami

6
di sini sudah mengetahui manfaat kebaikan sorgum, itu jauh lebih penting,” ujar Tata. Ia menyayangkan,
pemerintah seolah menutup mata atas kedaulatan pangan yang diraih masyarakat NTT, khususnya di
Flores, lewat sorgum.
Pada saat yang bersamaan, Tata mengaku tak tega bila masih mendengar ada kelaparan terjadi
di belahan lain bumi Indonesia. Belum lagi mengenai isu kenaikan beras yang tiba-tiba mencuat belum
lama ini, ia mengaku khawatir. Namun, dalam jangka panjang, selain berharap NTT dapat ikut berdaulat
pangan melalui sorgum, Tata menyimpan gagasan besar lain.
Ia menyatakan benar-benar serius bertekad untuk mem bawa sorgum sebagai alternatif bahan
makanan pokok di Indonesia. Ia merasa heran terhadap pemerintah yang masih terus mencoba
mendorong beras sebagai makanan pokok meskipun biaya produksinya sangat tinggi. “Bahkan perlu
dimpor untuk mendapatkannya,” katanya. Upaya pemerintah menciptakan pangan alternatif membuat
Tata semakin heran. “Jagung yang dipilih pemerintah,” kata dia, “tak ubah mahalnya seperti beras.”
Jejak sorgum, kata Tata, telah ada di seluruh Indonesia sejak dulu. Sorgum di Jawa dikenal
dengan sebutan cantel dan di Timor disebut dengan penmina atau penbuka. Perempuan ini
memandang, andai suatu saat Pemerintah Indonesia bisa dengan serius menggarap sorgum maka
masalah global pangan dunia sekalipun dapat diselamatkan. “Sorgum ini selain murah juga khasiat
penahan laparnya sangat lama hingga puluhan jam. Saya yakin ini bisa menjadi solusi pangan di tengah
cepatnya perubahan iklim dan pertambahan jumlah penduduk dunia,” kata wanita kelahiran Ketapang,
Kalimantan Barat, ini optimistis.
Menurut Jelajah.id (22 Desember 2014), perempuan itu menyusutkan air mata saat ia dan
keluarganya berdiam di pesisir Flores. Kamarnya hanya berjarak 35 meter dari bibir pantai. “Setiap ada
kapal Pelni lewat, KM Awu dan KM Sirimau, saya cepat-cepat lari ke dermaga, hanya mau melihat dan
berpikir kapan bisa pulang, karena tidak punya uang,” kenangnya saat awal ia “terdampar” di Flores
dengan pandangan berkaca-kaca. “Mau minta uang pada orangtua malu.”
Itulah ingatan yang menjadi titik tolak kehidupan Maria Loretha, penerima Kehati Award 2012.
Lahir 28 Mei 1969 di Ketapang, Kalimantan Barat, menempuh pendidikan di SMP Mater Alma, Ambawa,
lanjut ke SMA Fransiskus I Matraman, Jakarta lantas menamatkan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas
Merdeka, Malang. Tampil sederhana tanpa riasan, ia berpostur langsing, rambut menjejak pundak serta
kulit kuning keturunan Dayak Kanayatn yang berubah “eksotis” kecokelatan karena terpapar sinar
matahari. “Kalau di Jakarta saya dianggap sampah, tetapi di Nusa Tenggara Timur menjadi selebriti,”
ungkapnya berseloroh. Dengan kesibukannya yang luar biasa sekarang, kerinduan akan keluarga di
Jakarta pun tak terlalu mengganggu.
Setiap kali menyebut profesi sebagai petani, jarang ada yang mau percaya. “Dahulu, bila saya
datang untuk memberikan pendampingan dan membagi bibit sorgum, disangka bawa banyak uang.
Memang dukungan finansial itu penting, namun bukan segalanya. Sebelum memulai pembicaraan,

7
selalu saya tekankan, ‘Saya hanya bawa DUIT: Doa, Usaha, Ikhlas dan Tekun’. Nah, sejak saat itu tidak
ada lagi yang bertanya saya akan bagi-bagi uang,” ujar Maria Loretha yang biasa disapa Mama atau
Tata—dalam bahasa setempat adalah ‘kakak’.
Menikah dengan Jeremias Dagang Letor, pasangan ini bermukim di Malang. Namun Krisis
Moneter pada 1997 membuat mereka meninggalkan tanah Jawa dan pindah ke Flores. “Kesalahan”
diakui Tata saat ia mencecap pendidikan sekolah dasar. Ditanamkan bahwa Sumba, Flores, Solor, Alor,
semuanya kering dan miskin. Ternyata, Flores indah dan subur—meski tidak seluruhnya. Sumber pangan
seperti beras dan ikan tersedia. Para pedagang hanya menjual makanan yang terbaik. Dan hampir
semuanya ditanam tanpa pupuk, sehingga bisa disebut mendekati serba organik.
Tata dan suaminya memutuskan untuk bertani. “Masalah paling vital adalah perut manusia,”
tandas perempuan yang memiliki empat anak, tiga putra dan satu putri berusia antara 22 sampai 10
tahun itu. Keinginan mereka didukung potensi kebun milik keluarga Jeremias di Desa Pajinian,
Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, Flores Timur.
Lahan ini belum pernah disentuh, apalagi sang suami juga berasal dari keluarga berada,
sehingga, “Ada rasa gengsi untuk berkebun,” ucap Tata sembari tersenyum. “Tetapi saya pikir, kalau
gengsi: kita mau makan apa? Anak-anak butuh biaya sekolah. Maka saya nekat, pada 2005 mulai
berkarya di kebun,” lanjutnya.
Selain ingatan Tata tentang rindunya kepada orangtua saat memandangi kapal-kapal Pelni,
dalam benaknya terekam pelajaran yang diberikan sang bapak. Meski seorang pejabat –hakim terkenal–
setiap pulang bekerja selalu mengajak anak-anaknya melihat sawah dan kebun. “Bahkan setelah saya
bersekolah di Jakarta, bila libur tidak diajak bermain ke mal, melainkan ke kebun kami di Cikarang, untuk
petik kangkung lalu dimasak di rumah,” cerita Tata. Demikian pula soal beras, keluarga mereka tidak
pernah membeli di pasar, tetapi hasil sawah sendiri.
Tata memanfaatkan kondisi tanah semi ringkai (kering karena iklim) untuk menanam kacang
nasi (kacang tolo) serta beras merah. Kebanggaannya tumbuh, saat musim hujan tiba ia meng-ubak atau
menikam tanah dan memasukkan biji, semuanya membuahkan hasil. “Alam serta Tuhan memberi,
tetapi dibutuhkan otak manusia untuk berpikir mau diapakan lahan kering ini karena musim hujan hanya
setahun sekali,” tukasnya. Dari kacang tolo dan beras merah, perempuan yang tetap fasih berbahasa
logat Jawatimuran ini merambah tanaman sorgum secara tidak sengaja. Maria Helan, sang tetangga di
kebun memberikan satu piring watablolon, sorgum kukus ditaburi kelapa parut. Citarasanya sungguh
nikmat, gurih berlemak mirip nasi pulen. “Perempuan inilah sumber inspirasi saya!”
Dari setengah gelas bibit watablolon warna cokelat pemberian Maria Helan, Tata mendapatkan
motivasi untuk mencari bibit sorgum di sekitarnya. Seperti mengunjungi Agustinus di Desa Nobo,
Kecamatan Ile Bura, Flores Timur yang dengan senang hati berbagi bibit. Lalu Tata juga mengumpulkan
bibit sorgum dari Sumba, Sabu, Rote dan Manggarai. Upaya pencarian dan mengoleksi tidaklah selalu

8
mulus, “ada lembaga yang pelit saat diminta dan dalam hati saya berjanji: bila sukses saya kembangkan
akan saya bagikan gratis kepada petani!” Keberhasilan memanen sorgum mulai 2007 semakin
membukakan mata Tata. Tanaman ini memiliki potensi besar untuk mengatasi rawan pangan,
perubahan iklim dan terpenting memiliki fungsi untuk kecukupan gizi, produk bebas gluten sampai
santapan aman bagi pengidap diabetes. Di rumahnya, ia melakukan inovasi dengan mengolah sorgum
menjadi bubur dan semacam kue apem diberi gula merah.
Debut Tata untuk menyebarluaskan sorgum terbuka lebar saat menghadiri forum petani dan
nelayan yang dibuat oleh LSM, tokoh masyarakat dan pengurus gereja pada 2010. Berbagai organisasi
tani menampilkan pembicara serba hebat dan memaparkan keberhasilan di bidang tanaman unggulan
sampai organik. Ketika tiba gilirannya untuk berbicara di panggung, Tata bercerita, bahwa ia
memfokuskan usaha di bidang pangan lokal dengan penggunaan benih-benih lokal. Uniknya, justru hal
ini membuat para pendengar kaget. “Sorgum memang nama latin, tetapi ada namanya dalam bahasa
daerah—hal ini membuktikan, bahwa bahan pangan ini tumbuh di sekitar kita, termasuk NTT,” urai Tata.
Sejak itulah ia menjadi “selebritas”. “Saya dikejar dan ditelepon setiap hari oleh para petani
sampai stress, seperti sinetron! Mereka mau dikenalkan kepada pangan lokal ini. Juga perlu bibitnya.”
Dari Yayasan Cinta Alam Pertanian Kadiare yang ia dirikan, Tata berhasil mendampingi 34
kelompok tani di delapan kabupaten, yaitu Ende, Nakegeo, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao,
Lembata, Sikka dan Flores Timur. Suka-duka pun mengiringi langkahnya, seperti kehabisan uang di jalan
sehingga mesti berhutang kepada sopir mobil travel, sampai naik truk untuk menghemat pengeluaran.
“Saya tidak pernah mengharap dibayar dan upah yang saya terima tidak berupa uang. Bila yang
mengundang adalah petani lahan basah, pulangnya dibekali hasil pertanian mereka, seperti beras hitam,
pisang sekarung dan ikan kering beberapa plastik,” ungkap Tata. “Senangnya, kalau sudah berhasil,
telepon berdering, ada kiriman sms sampai komentar langsung, ‘aduh luar biasa ibu, itu bibit dari ibu’.”
Beberapa prestasi para kelompok petani binaannya pun mendatangkan rasa haru bagi Tata.
Seperti Aliansi Petani Padi Lembor (APPEL) di Kabupaten Manggarai Barat yang saat panen sorgum gagal
akibat dimakan sapi dan kerbau tidak berani bercerita karena takut ia marah. Kini mereka berhasil.
“Suguhan mereka sekarang, setiap pagi bubur sorgum dan minum kopi serta camilan pop-corn sorgum.
Dan mereka pun berhasil menjadi pembicara sebagai agen perubahan menggantikan saya,” tuturnya
bangga. “Sedang Kelompok Perempuan Kadiare berhasil menciptakan juice sorgum dan sorgum dimasak
dalam bambu. Kesuksesan saya ini, terbukti tidak sendiri, karena bukan hanya saya yang makan sorgum
tetapi orang-orang sekitar dan pulau-pulau sekeliling kami.”
Semakin dikenal luas sebagai seorang agen perubahan yang mengangkat sorgum sebagai
sumber kekuatan pangan lokal, Tata memaparkan Kehati Award 2012 merupakan kebanggaannya
sebagai perempuan. Ia mengingat kembali kehadirannya di panggung Praktek Cerdas, Makassar yang
diadakan oleh sebuah LSM, untuk membawakan dongeng versi Lamaholot tentang asal usul benih di

9
Flores. Sebuah pengorbanan besar dari Emahingi Nogo Guno, perempuan yang mengorbankan hidupnya
bagi ketujuh saudara laki-lakinya dan membawa benih-benih seperti sorgum, labu kuning sampai padi ke
negeri itu. Sampai hari ini, “peran perempuan di dalam mata rantai pertanian sangat besar, tetapi
penghargaan belum ada. Saya mendambakan kami, kaum perempuan mendapatkan peran setara,”
ujarnya lugas. “Setara itu bukan menyamai kaum laki-laki dalam segala hal, tetapi bagaimana
perempuan mendapat porsi yang tepat, dari produksi sampai pasca panen dan pemasaran.”
Mengemban tanggung jawab sosial sebagai penerima Kehati Award serta upaya terus
mewujudkan mimpinya menjadikan sorgum sebagai primadona pangan NTT, Tata menggelar Rembug
Pangan dan Festival Benih beberapa saat lalu. Ini sebuah upaya untuk merangkul LSM serta berbagai
pihak terkait, juga membukakan mata tentang seorang Maria Loretha sebagai seorang petani sejati—
bukan sosok orang kaya seperti yang diduga. “Saya mengajak para pendukung, termasuk para pastor,
ketua kelompok tani dan para pengurus yang rela bekerja tanpa digaji dan bersama kami membuat
acara ini pada Mei 2014,” jelasnya. Selain pihak lokal dan regional, hadir pihak-pihak penting seperti
Kementerian Pertanian, BB Biogen, FIELD, Wet Lands, Kehati, Caritas, API, Pertamina dan banyak lagi,
termasuk perwakilan petani dari Sumba dan Rote yang dibiayai oleh para NGO. “Seluruh tamu langsung
ke kebun saya dan saya tunjukkan kondisi sebenarnya. Mereka mandi di sungai dan di pantai, serta tidak
ada listrik. Di kesempatan itu, saya munculkan sorgum.”
Kini, Tata juga tengah merajut mimpi tentang ekowisata. Di lahan seluas 160 hektare di Dusun
Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, ia bekerja sama dengan warga setempat
membangun sebuah desa wisata, dilengkapi SMK Pariwisata. Meski miskin, desa tepi laut ini
menyuguhkan pemandangan begitu indah. Hamparan laut bening dengan pantai berpasir putih lembut,
di seberang kanan terdapat Pulau Solor dilengkapi hamparan sabana, sedang di kiri adalah Adonara yang
menghijau. Tambahan lagi, di salah satu bagian lahan juga siap ditanami sorgum bermacam jenis,
sehingga menghasilkan tampilan warna-warni pelangi seperti taman tulip di Keukenhof, Belanda.
Pencanangan desa wisata di Dusun Likotuden juga menjadi jawaban dalam menciptakan
lapangan kerja, mengingat begitu banyak warga Flores dan Adonara menjadi buruh migran. “Saya juga
ingin menghadirkan pentas kolosal, memboyong petani membuat pertunjukan di Jawa tentang
sorgum—apalagi saya juga memiliki latar belakang berkesenian,” lanjut Tata, “sehingga pihak-pihak yang
ingin membuat bio etanol, menjadikan sorgum bahan pangan yang gluten free dan kecukupan gizi
semakin terbuka kesempatannya. Sudah menjadi mimpi saya bahwa sorgum layak menjadi primadona
pangan NTT.”
Tata mengakui, ia menjadi petani karena kurangnya lapangan pekerjaan. Namun sejatinya hal ini
dapat menjadi sebuah motivasi. Dicontohkannya bahwa beberapa lulusan fakultas pertanian dan SMK
Pertanian enggan pulang mengelola kebun orang tuanya yang berada di luar Jawa. “Alasannya gengsi
kerja kotor, sementara saya yang berasal dari keluarga berkecukupan di Jawa, masih mau bekerja

10
menjadi petani,” lanjut Tata. “Apalah artinya emas atau mobil mewah kalau toko-toko dan pasar tidak
menjual bahan pangan? Dalam 10 sampai 20 tahun ke depan, bila ketersediaan pangan tidak tercukupi
kita mau bagaimana?” tanya Tata lagi. Pertanyaan ini menjadi pertanyaan kita semua.

Kasus 3: Masril Koto


Saking populernya, Masril Koto masuk dalam Wikipedia. Menurut Wikipedia (2016), Masril Koto
adalah pendiri Bank Tani atau Bank Petani dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro Agrobisnis (LKMA)
Prima Tani di Nagari Koto Tinggi, Baso, Agam, Sumatera Barat. Dia bersama teman petani lainnya
merintis lembaga keuangan itu sejak tahun 2002, namun setelah empat tahun kemudian (2006) baru
resmi didirikan setelah Masril dan kawan-kawan petaninya mendapatkan pelatihan keuangan dalam
bentuk akuntansi sederhana dari Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas (AFTA),
Padang. Sistem bank yang didirikannya itu diadopsi oleh pemerintah dan menjadi cikal bakal Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) nasional.

Gambar 3. Neraca Keuangan Bank


Tani yang Didirikan Masril Koto
(Infosumbar.net, 22 September 2014)

Masril mendirikan sebuah lembaga keuangan yang bernama LKMA Prima Tani, tempat dimana
para petani bisa mendapatkan pinjaman untuk tambahan modal usaha. Banyaknya petani yang sulit
mencari pinjaman modal menginspirasi Masril untuk membentuk lembaga keuangan para petani yang
disebutnya Bank Tani atau Bank Petani tersebut. Ia menjadi pendiri LKMA Prima Tani di Nagari Koto
Tinggi dan 580 LKMA lain yang tersebar di seantero Sumatera Barat yang kesemuanya memiliki aset
mencapai 100 miliar rupiah. Setiap LKMA yang dibinanya memiliki minimal 5 karyawan yang biasa
diambil dari anak-anak petani, terutama mereka yang putus sekolah. Hal ini ditujukan untuk mengurangi
angka pengangguran.
Saat ini, Masril sedang berusaha mendirikan LKMA atau Bank Tani di Kecamatan Tanralili,
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Niat baiknya ini ia kemukakan dihadapan pejabat bank, guru besar,
ekonom, dan pelaku usaha yang menghadiri Seminar Nasional Inklusi Keuangan Kawasan Timur
Indonesia di Hotel Sahid Makassar, dimana Masril yang hanya menggunakan sandal jepit menjadi
pembicara dalam kuliah umum tersebut. Ia memfokuskan Bank Tani Maros untuk petani cabai terlebih
dahulu, sebelum merambah petani-petani lainnya, dengan mekanisme sama seperti Bank Tani yang

11
didirikannya di Sumatera Barat dan tetap memerhatikan kearifan lokal. Kemajuan Bank Tani Maros
terlihat dari sudah adanya 100 petani yang akan menjadi pemegang saham pertama, dimana petani-
petani tersebut mayoritas adalah petani yang tidak menikmati Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Masril Koto merupakan anak pertama dari delapan bersaudara. Lelaki berkulit legam ini berasal
dari Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Di kampung halamannya, ia adalah petani dan
peternak. Namun, sejak tahun 2006 ia adalah seorang banker. Masril berperawakan kecil, berkulit sawo
matang, berkumis lebat, bertampang lucu, dan murah senyum.
Masril juga seorang yang sederhana. Hal ini tercermin dari penampilannya dalam setiap acara.
Misalnya, ia menggunakan sandal jepit saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Inklusi
Keuangan Kawasan Timur Indonesia di Hotel Sahid Makassar dan menggunakan kaos putih serta jaket
dan celana kain hitam dalam acara Kick Andy yang menjadikan ia sebagai tamu paling sederhana di
antara tamu lainnya.
Masril adalah seorang yang tak tamat Sekolah Dasar (SD). Ia meninggalkan bangku SD saat
berada di kelas 4 karena kendala keuangan. Ia hanya pernah mengikuti sekolah lapangan (SL) petani dari
Dinas Pertanian Sumbar di Nagari Tabek Panjang, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam. Penghargaan yang
diterimanya adalah Danamon Award (2010), dan Indonesia Berprestasi Award (2010).
Menurut pemberiataan Kontan.co.id (2 April 2016), banyak orang berpikir kreatif ketika
berhadapan dengan masalah. Berangkat dari kesulitan mencari modal untuk memperluas kebun ubi
jalar di kampungnya, Baso, Agam, Sumatra Barat (Sumbar), Masril Koto bertekad membuat bank petani.
Bank inilah yang kemudian mengantarkan pria asli Minang itu memenangi berbagai penghargaan
sebagai social entrepreneur. Dengan semangat dan ketekunan, Masril membangun lebih dari 900 bank
petani berbentuk lembaga keuangan mikro agribisnis (LMKA) di seluruh Indonesia. Sistem bank ini juga
diadopsi oleh pemerintah dan menjadi cikal bakal Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
Nasional.
Seperti sebagian pria Minang lain, Masril muda merantau ke Jakarta pada 1994. Seorang teman
ibunya mengajak Masril, saat itu buruh di Pasar Padang Luar, Bukit Tinggi, membantunya di usaha
percetakan di Jakarta. Tak cuma memproduksi kantong, karena lokasinya dekat dengan kampus Trisakti
di Cempaka Putih, pemilik percetakan berbisnis jasa fotokopi.
Masril yang hanya lulus kelas empat SD ikut membaca materi-materi kuliah. Pria kelahiran 13
Mei 1974 ini juga belajar berorganisasi dari para mahasiswa. Tempat Masril bekerja menjadi tempat
berkumpul para perantau asal Sumbar. “Di Jakarta, saya belajar berorganisasi,” kenang Masril.
Setelah empat tahun di ibukota, Masril pulang ke Agam. “Saya tidak tahan melihat kekerasan
yang terjadi di saat krisis,” kenang Masril. Setibanya di kampung, dia terkejut mendapati pemuda di
kampungnya mulai terkotak-kotak: ada kelompok perantau dan pemuda yang belum pernah merantau.
Melihat kondisi itu, Masril merangkul para remaja untuk bergotong-royong membangun lapangan

12
basket. Lapangan ini yang akhirnya menjadi tempat berkumpul para pemuda di kampung Masril. Di situ
pula terbentuk organisasi kepemudaan karang taruna di kampungnya, Banu Hampu.
Supaya bisa mendanai berbagai kegiatan organisasi, Masril berinisiatif membangun ruko di
tanah desa yang akan menjadi milik para pemuda. “Kebetulan ada jalan baru di depan ruko,” tutur
Masril. Untuk membangun enam ruko, Masril berutang ke toko bangunan. Selama dua tahun, uang sewa
dari lima ruko dibayarkan ke toko bahan bangunan. Sementara, uang sewa satu ruko sisanya, menjadi
milik organisasi pemuda di sana yang akhirnya berkembang menjadi Yayasan Amai Setia.
Masril menikah dengan Ade Suryani yang berasal dari kecamatan berbeda di Agam. Masril
mengikuti keluarga istrinya di Nagari Koto Tinggi, Baso. Kembali, Masril menemui berbagai masalah.
Satu yang paling mencuri perhatiannya adalah masalah modal memperluas kebun.
Setelah melalui serangkaian diskusi, baik dengan petani maupun instansi pemerintahan terkait,
para petani ubi jalar di Baso ingin adanya sebuah bank petani. Masril kembali tampil. “Saya merasa
punya talenta berorganisasi,” kata dia. Demi merintis bank petani, Masril keluar masuk bank di Padang.
Ia menanyakan cara-cara mendirikan bank, namun tak pernah mendapat jawaban memuaskan.
“Sepertinya kami tak mungkin membuat bank sendiri,” jelas dia.
Tak patah semangat, Masril terus berkonsultasi dengan Dinas Pertanian di kabupatennya.
Hingga suatu ketika ada sebuah pelatihan akuntansi yang diselenggarakan untuk kelompok tani
tersebut. Masril pun mendapat kesempatan berkenalan dengan pegawai Bank Indonesia (BI). Merasa
bertemu orang yang tepat, dia bertanya segala sesuatu tentang seluk beluk pendirian bank. Masril pun
diundang datang ke kantor BI. “Sekitar 2005, saya baru datang ke BI. Pengalaman pertama saya datang
ke gedung perkantoran di kota,” kenang dia.
Berbekal penjelasan dari BI, Masril dan para petani segera menyusun rencana membuat bank
petani. Dia mengumpulkan modal dari para petani, dengan cara menjual saham, senilai Rp 100.000 per
saham. Dari 200 petani di Baso, terkumpul modal Rp 15 juta. Setelah empat tahun melewati perjuangan
melelahkan, baru pada awal 2006, bank yang dikelola lima pengurus ini mulai beroperasi. Masril pun
ditunjuk sebagai ketua.
Dalam hitungan hari, seluruh modal terserap habis menjadi kredit. Masril kembali bingung
karena tak ada uang yang mengendap. Dari situ, dia lantas berpikir perlunya iuran pokok bagi nasabah
yang dibayar setahun sekali untuk biaya operasional. Masril juga membuat beberapa produk tabungan,
sesuai dengan kebutuhan petani, seperti tabungan pupuk. Oh, iya, agar meyakinkan, Masril yang paham
produk percetakan membuat saham dan buku-buku tabungan, dan catatan kredit seperti bank pada
umumnya.
Keberhasilan bank petani ini segera tersebar luas. Banyak organisasi masyarakat datang ke bank
petani ini untuk melakukan studi banding. Bahkan, dalam kunjungannya meninjau gempa di Padang

13
pada 2007, beberapa menteri mampir ke bank petani yang kemudian berubah nama menjadi LKM Prima
Tani ini.
Sayang, lantaran tak lagi sepaham dengan visi yang diemban para pengurus LKM, Masril keluar
pada 2009. Saat itu aset sudah mencapai Rp 150 juta. “Saya ingin menularkan keberhasilan ini untuk
petani lainnya,” tutur dia. Mulailah Masril berjuang seorang diri menjadi relawan. Ditemani sepeda
motor kesayangan, dia memperkenalkan konsep LKM agribisnis ini ke kelompok-kelompok petani di
Sumatra Barat, tanpa bayaran sepeser pun. “Mereka hanya mengisi bahan bakar sepeda motor saya,”
kata Masril.
Pada 2010, seorang warga Jepang menemuinya dan meminta Masril membantu membuat LKM
agribisnis (LKMA) untuk 2.000 petani di Sumbar. Ini merupakan pencapaian besar karena rata-rata
kelompok tani yang ia kelola hanya setingkat desa, terdiri dari 200 petani. Namanya pun kian berkibar
sebagai pencetus bank petani. Tak berhenti di Sumbar, Masril juga menularkan konsep bank petani ini
ke seluruh daerah di Indonesia. “Saya ingin mengajak petani berdaulat secara pangan dan ekonomi di
desanya,” katanya.
Kini, ada sekitar 900 LKM yang telah dibentuk Masril, dengan aset mulai dari Rp 300 juta hingga
Rp 4 miliar per LMK. Dia menaksir, total kelolaan dana LKMA secara keseluruhan mencapai Rp 90 miliar
dengan 1.500 tenaga kerja yang merupakan anak petani. Masril yang kini sering tampil sebagai
pembicara, sebagai wakil BI atau dosen undangan di berbagai universitas, menargetkan 1.000 LKMA di
tahun 2016. Dia menitikberatkan pendirian LKMA di Indonesia Timur, khususnya daerah yang belum
terjamah institusi keuangan.

Analisis Kasus

Analisis lintas kasus dengan memakai kategori pendorong, strategi, dampak, dan penghargaan;
menunjukkan kesamaan dari kiprah ketiga aktor dalam kasus pada upaya mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan. Tabel 1 menunjukkan hasil analisis lintas kasus tersebut. Pendorong bagi aktor untuk
melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan, merupakan
energi yang menggerakan aktor. Energi tersebut dapat berasal dari dalam dirinya yang merupakan
kekuatan internal untuk berusaha. Dan pendorong dari luar yang bersifat eksternal dapat berupa kondisi
masyarakat yang melingkupi hidup aktor tersebut. Energi internal berupa dorongan untuk lepas dari
kemiskinan. Dan energi eksternal berupa kondisi masyarakat miskin yang memprihatinkan. Pendorong
internal itu terdapat pada kasus Masril Koto dan Heni Sri Sundari. Dan pendorong eksternal terjadi pada
semua kasus yang dipelajari.

14
Secara umum, strategi pemberdayaan yang dipakai oleh aktor sebenarnya berupa pendidikan
masyarakat dengan mendirikan lembaga sosial ekonomi. Secara khusus, Heni Sri Sundari melakukan
strategi pendidikan yang lebih formalistik bagi anak-anak dari keluarga miskin, di samping mendirikan
lembaga sosial ekonomi masyarakat yang bersifat mendidik . Maria Loretha dan Masril Koto lebih
memfokuskan kegiataannya pada lembaga spsial ekonomi masyarakat, dan melakukan pendidikan
kepada pelaku ekonomi masyarakat miskin.

Dampak pemberdayaan yang dilakukan para aktor terhadap peningkatan kekuatan ekonomi
masyarakatnya sangat nyata. Hal itu dapat dilihat dari jumlah lembaga sosial ekonomi yang terbentuk
dan jumlah petani yang terlibat. Maril Koto telah berhasil mendorong terbentuknya lebih dari 900
lembaga keuangan masyarakat, dan menargetkannya menjadi 1000 buah di tahun 2016. Ia telah
melibatkan ribuan petani dan tenaga kerja. Maria Loretha berhasil meningkatkan kesadaran petani
tentang kekuatannya sendiri untuk dapat lepas dari kemiskinan. Usahanya telah meningkatkan
ketahanan pangan di Flores. Jumlah kelompok tani yang terbentuk oleh gerakan Maria Loretha
mencapai 34 di delapan kabupaten di Flores. Sedangkan Heni Sri Sundani telah memiliki lebih 1.000 anak
didik dalam program Anak Petani Cerdas. Heni juga mendirikan AgroEdu Jampang Community yang
mengajak para petani di beberapa desa di Bogor, Jawa Barat mengembangkan wisata pendidikan
pertanian dan budidaya.

Banyak warga masyarakat Indonesia, komunitas internasional, dan pejabat pemerintah yang
mengagumi Heni Sri Sundani, Masril Koto, dan Maria Loretha. Untuk usaha-usaha tersebut,
penghargaan diterimakan kepada para aktor. Heni Sri Sundani menerima penghargaan sebagai anak
muda yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Forbes, dan Liputan 6 Awards 2016. Maria Loretha
menerima penghargaan dari Kehati Award 2012, dan Fellowship Ashoka Global Washington DC 2013.
Dan Masril Koto menerima Danamon Award (2010), dan Indonesia Berprestasi Award (2010).

Tabel 1 Analisis Lintas Kasus

Kategori Kasus
Heni Sri Sundani Maria Loretha Masril Koto

Pendorong Kemiskinan yang Kemiskinan masyarakat Kemiskinan yang


dialaminya dan sekitarnya dialaminya dan
kemiskinan kemiskinan masyarakat
masyarakatnya sekitarnya

15
Strategi Mendirikan lembaga Mendirikan lembaga Mendirikan lembaga
pendidikan dan social ekonomi social ekonomi
lembaga social masyarakat masyarakat
ekonomi masyarakat

Dampak Peningkatan kesadaran Peningkatan kesadaran Peningkatan


dan pendapatan dan ketahanan pangan permodalan petani
masyarakat

Penghargaan Anak muda yang paling Kehati Award 2012, Danamon Award
berpengaruh di Asia dan (2010), dan Indonesia
versi majalah Forbes, Fellowship Ashoka Berprestasi Award
dan Liputan 6 Awards Global Washington DC (2010)
2016 2013

Kasus pengentasan kemiskinan ini menunjukkan bahwa tokoh yang memiliki mental yang kuat
untuk lepas dari kemiskinan telah mampu menggerakkan masyarakatnya untuk melepaskan diri dari
kemiskinan. Hal ini terkait dengan teori kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural berangkat dari asumsi
bahwa kemiskinan disebabkan oleh budaya miskin, seperti pasrah, bekerja untuk bertahan hidup, dan
berorientasi waktu kekinian (Koentjaraningrat, 1987). Masril Koto dan Heni Sri Sundani memiliki tekad
yang kuat untuk melepaskan diri dari kemiskinan yang dialaminya. Setelah mampu melepaskan diri dari
kemiskinan, mereka melakukan gerakan masyarakat untuk melepaskan masyarakat dari belenggu
kemiskinan. Meskipun Maria Loretha yang berasal dari keluarga mampu, tetapi tergerak untuk
menyadarkan masyarakatnya untuk tidak pasrah terhadap kondisi alam dan kondisi sosial yang
membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan. Tokoh-tokoh tersebut telah mampu
menyadarkana masyarakatnya untuk tidak menyerah, bekerja keras untuk mengembangkan
kehidupannya, dan berorientasi hidup lebih baik di masa depan. Mentalitas miskin telah diubah menjadi
mentalitas modern. Menurut Koentjaraningrat (1987), mentalitas modern berorientasi ke masa depan,
berusaha menyiasati alam dan lingkungan masyarakat, dan bekerja untuk mengembangkan kehidupan.

Sekalipun usaha untuk melepaskan diri dari kemiskinan digerakkan oleh tekad yang kuat dari
para aktornya, aktor tetap memperkuat gerakannya dengan menggalang kekuatan masyarakat. Semua
tokoh menggerakkan masyarakat dengan membuat organisasi social dalam bentuk organisasi
pendidikan ataupun organisasi sosial ekonomi. Usaha bersama lebih kuat daripada usaha pribadi,
apalagi kekuatan yang dihadapinya bersifat struktural. Hal ini sesuai dengan teori kekuatan social (social
power) dalam pemberdayaan masyarakat.

16
Friedmann (1992) memandang persoalan utama kemiskinan adalah rumah tangga orang-orang
miskin itu kurang mempunyai kekuatan sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan para anggotanya.
Ekonomi rumah tangga miskin biasanya kurang memiliki akses terhadap basis kekuatan sosial.
Pemecahannya tentu saja harus berangkat dari pemberdayaan ekonomi rumah tangga dari koluarga-
keluarga miskin, sehingga mereka dapat berpartisipasi dan bernegosiasi melalui basis-basis kekuatan
sosial, seperti sumber keuangan, pertahanan dan ruang hidup, pengetahuan dan keterampilan, sarana
dalam pekerjaan dan lingkungan, waktu luang, dan informasi yang tepat dengan memanfaatkan organisasi
sosial dan jaringan sosial yang secara tradisional relatif telah dimiliki oleh setiap keluarga miskin.

Kekuatan collective self-empowerment dari model pemberdayaan Friedmann adalah


penggabungan kekuatan-kekuatan individu menjadi kekuatan sosial (kolektif), sehingga pada gilirannya
terbangun masyarakat madani yang memiliki kekuatan politik untuk tawar-menawar dengan pihak
negara. Selama ini, posisi tawar masyarakat miskin memang lemah. Mereka dapat berdaya jika
memanfaatkan kekuatan kolektifnya melalui jaringan sosial dan organisasi sosial baik yang formal maupun
informal. Jaringan sosial masyarakat miskin ini menurut Friedmann perlu dibangun secara spiral dan
bertahap mulai dari penguatan individu, antar kelompok, terus naik menuju domain sosial-politik-
ekonomi yang lebih luas ke tingkat nasional, dan bahkan tingkat internasional. Model ini menarik, karena
sering penyebab kemiskinan di desa-desa itu berasal dari jaringan yang lebih luas dan melibatkan berbagai
kepentingan nasional dan bahkan terkait dengan kepentingan negara-negara kaya (Budiman, 1989:24).
Dalam konteks ini, tampaknya Friedmann memandang kemiskinan sebagai peristiwa struktural, sehingga
tidak ada jalan lain unluk mendobrak struktur yang membelenggu penduduk miskin itu, kecuali dengan
cara mempersatukan penduduk miskin menjadi satu kekuatan sosial yang tangguh. Perberdayaan tidak
hanya mengubah mental penduduk miskin (kultural), tetapi juga membangun kekuatan sosial mereka
(struktural). Jaringan internasional sudah mampu dibentuk oleh Heni Sri Sundani. Sedangkan Maria
Loretha mulai merintis jalur internasionalnya. Dan Masril Koto sudah mampu menembuh jaringan
nasional.

Pandangan Friedmann ini sejalan dengan pemikiran Conyers (1992:31). Kemiskinan yang
disebabkan oleh ketimpangan pendapatan antar lapisan masyarakat bisa dipecahkan dengan
perencanaan pembangunan yang melibatkan masyarakat. Projek ekonomi biasanya direncanakan dengan
hanya mempetimbangkan aspek-aspek ekonomi. Projek demikian itu mungkin berhasil dari segi ekonomi,
tetapi gagal dalam membina kebersamaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat
dalam mangambil keputusan sangat penting. Hanya saja, partisipasi masyarakat itu menurut Friedmann

17
harus tampil atas inisiatif yang mandiri dari masyarakat itu sendiri. Masril Koto, Heni Sri Sundani, dan
Maaria Loretha telah menunjukkan inisiatif untuk memberdayakan masyarakat miskin. Pada gilirannya,
masyarakat miskin tergerak inisiatifnya untuk melepaskan diri dari kemiskinan.

Dalam konteks ini, partisipasi tidak dimaknai sebagai mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan mengarah pada penggunaan ruang publik untuk membahas masalah masyarakat secara
terbuka dan kritis, sehingga terjadi dialog yang tidak selalu berakhir pada persetujuan terhadap
kebijakan pemerintah, bisa juga berupa penolakan terhadap kebijakan pemerintah tersebut (Surbakti,
1992: 140). Maria Loretha mengusulkan agar pemerintah mengubah kebijakan ketahanan pangan yang
berorientasi beras kepada bahan makanan lokal, seperti Sorgum. Masril Koto akhirnya banyak
membantu pemerintah dalam membentuk lembaga keuangan mikro bagi petani. Sedangkan Heni Sri
Sundani mendukung pendidikan formal yang dilakukan pemerintah dan upaya-upaya pemerintah untuk
menggerakkan pariwisata di desa.

Dengan demikian, dapat diterima pandangan Friedmann yang menyatakan bahwa


pemberdayaan politik, dalam arti partisipasi terhadap pengambilan keputusan publik ini,
mempersyaratkan pemberdayaan sosial yang mempersyaratkan pemberdayaan psikologis. Tetapi juga
bisa sebaliknya, pemberdayaan politik dapat memperkuat pemberdayaan psikologis.

Hal yang perlu digaris-bawahi adalah semua tokoh mendapatkan penghargaan secara nasional
atau internasional. Masyarakat secara tidak langsung juga memberi penghargaan terhadap mereka.
Penghargaan tersebut merupakan perkuatan (reinforcement) terhadap pelaku pemberdayaan
masyarakat miskin. Ditinjau dari teori belajar sosial dari Bandura (1986), penghargaan itu dapat memicu
warga masyarakat lainnya mencontoh perilaku Heni Sri Sundani, Masril Koto, dan Maria Loretha.
Harapannya ke depan adalah banyak tokoh masyarakat yang melakukan kegiatan pemberdayaan
masyarakat seperti halnya yang dilakukan Henri Sri Sundani, Masril Koto, dan Maria Loretha.

Ditinjau dari nilai-nilai Pancasila, pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh tokoh
masyarakat dengan melakukan pendidikan dan pengorganisasian sosial ekonomi berangkat dari
keyakinan tentang pentingnya keadilan social bagi seluruh Indonesia. Kondisi kemiskinan menunjukkan
ketidak-adilan dalam masyarakat. Keberhasilan untuk lepas dari kemiskinan menunjukkan proses
menuju terwujudkan keadilan sosial. Masril Koto, Heni Sri Sundani, dan Maria Loretha sangat
menghargai nilai keadilan tersebut, sehingga mereka berusaha keras untuk mewujudkannya.

18
Maria Loretha mengemukakan empat nilai yang mendorong kegiatannya yang disebut dengan
Duit, yakni kepanjangan dari doa, usaha, ikhlas, dan tekun. Empat nilai tersebut sebenarnya dihargai
juga oleh Heni Sri Sundani dan Masril Koto. Doa adalah permintaan yang sungguh-sungguh kepada
Tuhan. Orang yang berdoa adalah orang yang percaya bahwa Tuhan akan menolong manusia yang
berusaha untuk memecahkan masalahnya. Berdoa merupakan implementasi dari nilai ketuhanan. Upaya
untuk melepaskan diri dari kemiskinan harus didukung oleh permohonan kepada Tuhan agar Tuhan
menolong usaha tersebut.

Simpulan

Belajar dari kasus Heni Sri Sundani, Masril Koto, dan Maria Loretha, pengentasan kemiskinan
dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat. Proses pemberdayaan masyarakat dimulai dari tokoh
masyarakat yang mampu melepaskan diri dari kemiskinan yang dialaminya. Selanjutnya mereka
menggalang kekuatan sosial dengan membentuk usaha bersama dalam bidang pendidikan dan
organisasi sosial ekonomi.

Keberhasilan pemberdayaan masyarakat tergantung pada nilai-nilai yang dipegang teguh oleh
tokoh penggerak dan warga masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut adalah nilai keadilan social, nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan cinta tanah air. Secara lebih khusus nilai yang dipegang masyarakat
agar mampu melepaskan diri dari kemiskinan adalah doa, usaha, ikhlas, dan tekun. Nilai-nilai tersebut
membuat mereka berorientasi pada masa depan, dan kerja keras untuk berusaha dalam
mengembangkan kehidupan yang lebih baik.

Daftar Rujukan

Badan Pusat Statistik. 2016. Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi 2013—2016.
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1219. Diakses 7 Desember 2016.

Bandura, A. 1986. Social Foundations of Thought and Action. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Budiman, A. 1989. Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi ilmu Sosial di Indonesia.

19
Jakarta:Gramedia.

Conyers, D. 1992, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Friedmann, J. 1992. Empowerment The Politics of Alternative Development. New York: Backwell Atford.

Infosumbar.net. 22 September 2014. Benarkah Masril Koto yang Dirikan Bank Petani?
http://www.infosumbar.net/berita/berita-sumbar/benarkah-masril-koto-yang-dirikan-bank-
petani, diakses 7 Desember 2016.

Jelajah.id. 22 Desember 2014. Maria Loretha: Pelangi Pangan di Tanah Ringkai.


http://jelajah.id/pelestarian/maria-loretha.html. Diakses 28 Agustus 2016.

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Kompas.com. 21 April 2016. Heni Sri Sundani, dari TKI hingga Jadi Perempuan Berpengaruh di Asia.
http://regional.kompas.com/read/2016/04/21/16170991/Heni.Sri.Sundani.dari.TKI.hingga.Jadi.
Perempuan.Berpengaruh.di.Asia. Diakses 25 Agustus 2016.

Kontan.co.id. 2 April 2014. Tak Betah Merantau, Masril rintis Bank di Kampung.
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/tak-betah-merantau-masril-merintis-bank-di-kampun.
Diakses 7 Desember 2016.

Republika co.id. 24 Maret 2015. Maria Loretha, ‘Mama Sorgum’, Sapaannya Hampir satu dasawarsa
Maria Loretha menggairahkan pertanian sorgum di Flores hingga mencapai panen raya pada 21
Maret 2015. http://www.republika.co.id/berita/koran. Diakses 28 Agustus 2016.

Surbakti, R. 1992. Memahami Ilmu Polilik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tribunnews.com. 14 April 2016. Heni Sri Sundani, Mantan TKI di Hongkong yang Sukses Berdayakan
Petani Ciamis Dirikan Wisata Agro. http://www.tribunnews.com/bisnis/2016/04/14/heni-sri-
sundani-mantan-tki-di-hongkong-yang-sukses-berdayakan-petani-ciamis-dirikan-wisata-agro.
Diakses 25 Agustus 2016.

Wikipedia. 2016. Masril Koto. https://id.wikipedia.org/wiki/Masril_Koto. Diakses 7 Desember 2016.

20

Anda mungkin juga menyukai