Anda di halaman 1dari 16

PAPER

AGROEKOSISTEM RAWA ZONA B


Tugas Mata Kuliah Problematika Agroekosistem

Disusun Oleh: Kelompok 8


Widy Safutri (20180210018)
Anwar Syaifulloh (20180210030)
Ria Ariani (20180210035)
Aqilah Husna Lasahido (20180210041)
Dita Hafifah Alviani Listianingsih (20180210045)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahan basah adalah wilayah daratan yang digenangi air atau memiliki kandungan air
tinggi baik secara permanen maupun musiman. Ekosistemnya mencakup rawa, danau,
sungai, hutan mangrove, hutan gambut, hutan banjir, limpasan banjir, pesisir, sawah
hingga terumbu karang (Cecep dan Ali, 2017). Dari segi hidrologi, pedologi dan
ekologi, rawa tercakup dalam pengertian lahan basah. Secara tata bahasa Indonesia,
rawa didefinisikan sebagai lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus
menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri
khusus secara fisika, kimia dan biologis. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil
Survey Staff, 1998), tanah rawa termasuk tanah basah atau wetsoils yang dicirikan
oleh kondisi aquik, yaitu kondisi yakni saat ini mengalami penjenuhan air dan reduksi
secara terus-menerus atau periodik. Proses pembentukan tanah yang dominan adalah
pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu-kebiruan, disebut proses
gleisasi dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Menurut Haryono (2012), di
Indonesia disepakati dua pengertian mengenai istilah rawa yaitu rawa pasang surut
yaitu daerah rawa yang mendapat pengaruh langsung atau tidak langsung ayunan
pasang surut air laut atau sungai disekitarnya (Noor, 2010) dan rawa lebak yaitu
daerah rawa yang mengalami genangan selama lebih dari 3 bulan dengan tingkat
genangan terendah antara 25-50 cm (Ar-Riza, 2000).
Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai atau
danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, cekungan-cekungan di bagian
terendah pelembahan sungan, di dataran banjir sungai-sungai besar dan di wilayah
pinggiran danau. Lahan rawa yang tersebar di dataran dengan ketinggian sedang dan
tinggi, iumumnya sempit dan terdapat setempat-setempat, sedangkan lahan rawa yang
terdapat pada ketinggian rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun
yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai
besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan. Pada kedua wilayah terakhir,
karena posisinya yang bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari
laut sangat dominan, pengaruhnya akan semakin berkurang ke arah hulu atau daratan
karena jaraknya semakin jauh dari laut terbuka. Berdasarkan pengaruh air pasang
surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah
aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi tiga zona oleh
Widjaja-Adhi et al. (1992) dan lebih mendetail oleh Subagyo (1997), yaitu
diantaranya Zona 1 (wilayah rawa pasang surut air asin/ payau), Zona II (Wilayah
rawa pasang surut air tawar) dan Zona III (wilayah rawa lebak atau rawa non-pasang
surut).
Luas lahan rawa di Indonesia tercatat kurang lebih 34,93 juta ha atau 18,28% dari luas
daratan Indonesia, yang tersebar di Sumater 12,93 juta ha, Jawa 0,90 juta ha,
Kalimantan 10,02 juta ha, Sulawesi 1,05 juta ha, Maluku dan Maluku Utara 0,16 juta
ha dan papua 9,87 juta ha (BBSDLP, 2014). Menurut Puslittanak (1997), lahan rawa
pasang surut khususnya merupakan salah satu pilihan untuk perluasan pertanian
karena memiliki potensi untuk usaha pertanian dan peranan lahan ini di masa
mendatang akan menjadi sangat strategik terutama sebagai lahan alternatif atas lahan-
lahan subur yang digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan di sektor non
pertanian (Saragih et al., 1996). Oleh karena itu, paper ini ditulis bertujuan untuk
mengetahui dan menambah wawasan baru mengenai Zona B dalam klasifikasi lahan
pasang surut agroekosistem rawa.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi, potensi dan problematika mengenai Zona B dalam
klasifikasi lahan pasang surut agroekosistem rawa
2. Untuk menambah wawasan mengenai Zona B dalam klasifikasi lahan pasang
surut agroekosistem rawa.

C. Manfaat Penulisan
1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai Zona B dalam
klasifikasi lahan pasang surut agroekosistem rawa.
2. Menjadi sumber pustaka lanjutan bagi pembaca mengenai Zona B dalam
klasifikasi lahan pasang surut agroekosistem rawa.
BAB II

METODOLOGI PENULISAN

Pengumpulan data yang menjadi latar belakang penulisan berasal dari metode studi
kepustakaan. Metode ini membantu penulis untuk melakukan kajian teoritis melalui referensi
dan literatur ilmiah baik dari buku, artikel, jurnal dan website yang relevan dan berhubungan
dengan objek penulisan. Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi untuk
membentuk landasan teori dan mendukung analisis solusi dari permasalahan yang ada.

BAB III

PEMBAHASAN

Secara tata bahasa Indonesia, rawa didefinisikan adalah lahan genangan air secara
ilmiah yang terjadi seara terus menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta
mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimia dan biologis. Dari segi hidrologi, pedologi
dan ekologi, rawa tercakup dalam pengertian lahan basah. Menurut Konvensi Ramsar oleh
UNESCO dalam Cecep dan Ali (2018), lahan basah terdiri atas area rawa, lahan gambut atau
air baik alami atau buatan, permanen atau sementara dengan air yang statis atau mengalir,
segar, payau atau asin, termasuk area air laut dengan kedalaman saat surut tidak melebihi 6
meter. Lahan rawa yang termasuk dalam lahan basah adalah lahan pasang surut dan lebak.
Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan diantara sistem daratan dan
sistem perairan (sungai, danau atau laut) yaitu antara daratan dan laut atau di daratan sendiri,
antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai atau danau. Lahan rawa adalah lahan yang
sepanjang tahun atau selama waktu panjang dalam setahun selalu jenuh air (saturated) atau
tergenang (waterlogged) air dangkal (Arya dkk., 2016).
Definisi yang hampir sama juga diungkapkan oleh Haryono (2012) yang menyatakan
bahwa, di Indonesia disepakati dua pengertian mengenai istilah rawa yaitu rawa pasang surut
yaitu daerah rawa yang mendapat pengaruh langsung atau tidak langsung ayunan pasang
surut air laut atau sungai disekitarnya (Noor, 2010) dan rawa lebak yaitu daerah rawa yang
mengalami genangan selama lebih dari 3 bulan dengan tingkat genangan terendah antara 25-
50 cm (Ar-Riza, 2000). Lahan rawa yang tersebar di dataran dengan ketinggian sedang dan
tinggi, umumnya sempit dan terdapat setempat-setempat, sedangkan lahan rawa yang terdapat
pada ketinggian rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati
wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau
deltanya adalah yang dominan. Pada kedua wilayah terakhir, karena posisinya yang
bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat dominan,
pengaruhnya akan semakin berkurang ke arah hulu atau daratan karena jaraknya semakin
jauh dari laut terbuka. Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang
besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down
stream area) dapat dibagi menjadi tiga zona oleh Widjaja-Adhi et al. (1992) dan lebih
mendetail oleh Subagyo (2003), yaitu:
A. Zona 1 (wilayah rawa pasang surut air asin/ payau)
B. Zona II (Wilayah rawa pasang surut air tawar)
C. Zona III (wilayah rawa lebak atau rawa non-pasang surut).

Secara sederhana penempatan zona-zona rawa tersebut dapat dilihat pada gambar 1 dibawah
ini:

Gambar 1. Pembagian Zona lahan Rawa di Sepanjang DAS Bagian Bawah dan Tengah
(Sumber: Potensi Pengembangan dan Tata Ruang Lahan Rawa untuk Pertanian, Subagyo,
2003)
Menurut Arya dkk. (2016), Zona B adalah zona lahan basah yang terletak ditengah-
tengah antara zona A dan zona C. Zona B merupakan kawasan rawa pasang surut yang
letaknya menuju daratan (pedalaman), sehingga kondisi pasang surutnya berasal dari
goyangan tinggi permukaan air sungai yang bersifat tawar. Wilayah pasang surut air tawar
yaitu wilayah rawa yang berada pada daerah aliran sungai bagian bawah, namun lebih
mengarah pada hulu sungai atau daratan sungai (Muhammad Irvani, 2019). Oleh karena itu,
zona ini disebut kawasan rawa pasang surut air tawar.

Menurut Djaenudin (2003), wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian
bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungai. Di
kawasan zona B ini terdapat gerakan aliran sungai ke arah laut, yang akan bertemu dengan
energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi diurnal). Karena
wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin yang dominan adalah pengaruh airtawar
(fresh-water) dari sungai. Walau begitu, energi pasang surut masih dominan, yang ditandai
oleh masih adanya gerakan air pasang surut. Semakin kedalam atau ke hulu gerakan air
karena energi pasang surut akan semakin berkurang. Berhentinya gerakan pasang surut
merupakan tanda batasan zona II. Jarak zona II dengan pantai dipengaruhi oleh panjangnya
estimari di muara sungai dan kelak-kelok sungai (Muhammad Irvani, 2019).

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, lokasi zona B terdapat pada wilayah daerah
aliran sungai bagian bawah, lebih kearah hulu dimana pengaruh langsung air laut/salin sudah
tidak ada, tetapi energi pasang surut masihg terasa berupa naik dan turunnya air (tawar)
sungai mengikuti siklus gerakan air pasang surut. Secara keseluruhan, wilayah ini umumnya
dimasukkan sebagai landform fluvio-marin, karena terbentuk dari gabungan pengaruh sungai
(fluvio) dan pengaruh marin. Satuan-satuan sub-landform yang terdapat di zona II dapat
dilihat lebih jelas pada wilayah yang terletak diantara dua sungai besar. Penampang skematis
sub-landform diantara dua sungai besar pada zona B diilustrasikan dalam gambar 2.
Gambar 2. Penampang skematis sub-landform diantara dua sungai besar pada zona II lahan
rawa pasang surut air tawar , Subagya, 2003)

Oleh karena pengaruh sungai masih kuat, di sepanjang pinggir sungai terbentuk
tanggul sungai alam (natural levee) yang sempit dan lebarnya bervariasi, makin ke arah hilir
relatif sempit dan tidak begitu nyata terlihat di lapangan. Tetapi ke arah hulu,
kenampakannya di potret udara lebih jelas, terutama karena perbedaan vegetasi yang tumbuh.
Lebarnya yang tercatat adalah sekitar 0,2-1 km, dan setempat-setempat sampai sekitar 2 km.
Tanggul sungai dapat terbentuk sebagai akibat pengendapan muatan sedimen sungai yang
terjadi selama berabad-abad, setiap kali sungai meluap ke daratan selama musim hujan.
Bahan endapan berupa debu halus dan lumpur, akan mengendap pertama-tama di pinggir
sungai, sementara bahan yang lebih halus berupa liat, akan diendapkan pada wilayah di
belakang tanggul. Tanah yang terbentuk di bagian tanggul sungai alam, merupakan endapan
sungai (fluviatile) yang tebalnya beragam, dari sekitar 0,5 m sampai lebih dari 1,5 m,
menutupi endapan dasar yang merupakan endapan marin. Oleh karena terbentuk dari bahan
relatif agak kasar, debu kasar dan halus serta lumpur, tanah tanggul sungai (levee soils)
umumnya bertekstur sedang, dengan kandungan fraksi debu relatif tinggi, seperti lempung,
lempung berdebu, lempung liat berdebu, dan liat berdebu.
Pada wilayah di belakang tanggul sungai, permukaan tanah umumnya berangsur
menurun ke arah cekungan/depresi besar di hampir bagian tengah wilayah di antara dua
sungai besar. Wilayah di antara tanggul sungai dan cekungan/depresi besar di bagian tengah,
disebut sub-landform dataran rawa belakang (backswamp). Dari pengamatan lapangan di
areal hutan gambut di antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuasmurung-Barito di Kalimantan
Tengah, peralihan dari tanggul sungai ke arah cekungan/depresi, menunjukkan penurunan
tanah dasar mineral tidak selalu terjadi secara berangsur, tetapi dapat juga menurun secara
mendadak dalam jarak yang relatif pendek, dan menjadi bagian dari cekungan/depresi besar.
Ini berarti dataran rawa belakangnya sangat sempit, atau tidak ada. Depresi besar di sekitar
bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar ditempati tanah gambut. Posisi depresi di
berbagai wilayah pulau delta tidak selalu persis di bagian tengah, tetapi seringkali
menyamping mengikuti bentuk pulau delta. Batasan tanah gambut yang sederhana adalah
memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berdasarkan berat) dengan ketebalan
gambut lebih dari 0,5 m. Definisi tanah gambut yang disebut Histosols dalam Taksonomi
Tanah (Soil Survey Staff, 1998), lebih rumit, yaitu (i) harus tersusun dari bahan tanah
organik, (ii) jenuh air selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii) ketebalannya minimal
0,4 atau 0,6 m tergantung dari tingkat dekomposisi bahan gambut dan bobot-jenisnya.
Tanah gambut yang menempati cekungan/depresi besar mempunyai ketebalan yang
bervariasi. Di bagian pinggir ditempati gambut dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m, dan
gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, dan seringkali mengandung sisipan-sisipan lapisan
tanah mineral. Keduanya biasanya merupakan gambut topogen yang relatif subur (eutrofik).
Semakin ke bagian tengah depresi, lapisan gambut semakin tebal dan kesuburan bahan
gambutnya cenderung makin menurun. Tanah gambut dalam (2-3 m) dan gambut sangat-
dalam (>3 m) yang terbentuk disebut gambut ombrogen, dengan tingkat kesuburan sedang
(mesotrofik) sampai rendah (oligotrofik). Oleh karena perbedaan pertumbuhan vegetasi hutan
di bagian pinggir dan bagian tengah cekungan, permukaan tanah gambut semakin meninggi
di bagian tengah dan membentuk semacam kubah dari tanah gambut, yang disebut kubah
gambut (peat dome). Ketinggian relatif di bagian tengah kubah, dapat mencapai sekitar 3-5
m. Bentuk kubah gambut umumnya “lonjong” atau hampir bujur telur, dan ukurannya cukup
besar. Sebagai contoh dua kubah gambut di Delta Pulau Petak yang diteliti Lembaga
Penelitian Tanah tahun 1972, masing-masing berukuran sekitar 4-9 km lebar dan 8-15 km
panjang; serta 8-12 km lebar, dan 15-24 km panjang. Dua buah kubah gambut di areal Proyek
Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG) yang disurvei Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat tahun 1996, masing-masing mempunyai dimensi Iebar dan panjang sekitar
17-22 km, dan 23-45 km (Subagyo, 2003).
Pada musim hujan volume air sungai akan semakin bertambah. Bertambahnya air
sungai akan mengakibatkan air pasang memiliki jarak yang lebih panjang dari hulu sungai,
sehingga energi pasang surut pada sungai akan berkurang, namun pengaruh air pasang surut
akan besar pada bagian daratan sungai besar. Volume air sungai yang meningkat
menyebabkan gerakan pasang surut ini juga ikut meningkat dengan jangkauan ke kiri dan
kanan sungai. Air pasang membawa fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai sehingga
mengendapkan bahan tersbut dalam jangka waktu yang lama dan periodik maka terbentuklah
tanggul sungai alam (natural levee). Di antara dua sungai besar, seperti di kawasan PLG
antara Sungai Kahayan dan Kapuas, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara berangsur
atau mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah yang diisi tanah gambut. Pada
bagian tengah lapisan gambut semakin tebal/dalam, dan akhirnya membentuk kubah gambut
(peat dome). Bagian tanah yang menurun diantara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut
disebut (sublandform) rawa belakang (backswamp).

Pada musim kemarau pengaruh air asin akan semakin besar, yaitu energi air asin akan
merambat sampai sepanjang sungai, dan pedalaman sunga. Pengaruh air asin pada bulan
kering seperti Juli-September dapat mencapai 40-90 km (Irsal Las, 2006). Volume air mulai
menurun, maka pengaruh air asin bisa merambat lebih jauh ke daerah hulu, yang jaraknya
bisa mencapai puluhan sampai ratusan km tergantung dari bentuk dan lebar estuari di muara
sungai, dan kelok-kelok sungai (Subagjo, 2003). Di kawasan PLG, Kalimantan Tengah, di
Sungai Kapuas bisa mencapai 150 km, Sungai Kahayan 125 km, dan Sungai Barito 158 km
(Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1988).

Makin jauh ke pedalaman atau kearah hulu, gerakan naik turunnya air sungai karen
apengaruh pasang surut makin berkurang dan pada jarak tertentu berhenti. Jarak zona B dari
pantai, tergantung dari bentuk dan lebar estuary di mulut muara sungai dan kelak-kelok
sungai yang dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai (Arya dkk., 2016). Contoh zona
II yaitu pada sungai musi di Palembang yang memiliki jarak 105 km dari pantai, energi
pasang surut air masih ada namun gerakannya sudah lemah, contoh lain yaitu pada Muara
Anjir Talaran, di sungai Barito, Kalimantan Selatan yang berjarak 65 km dari pantai, energi
pasang-surut relatif masih kuat (Titis Sofi Hanifa, 2016). Pencapaian air pasang di musim
hujan dan air asin di musim kemarau pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48
dan 60 km, S. Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi: 108 dan 42 km dari muara sungai. Di
Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158
dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8 km, S. Lorenz (pantai
selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat Merauke) 272 dan 58 km dari muara
sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec.1984). 1.2.3 (Irsal Las, 2006).
Sebagaimana pada zona I, endapan dasar yang membentuk tanah rawa di wilayah rawa
belakang adalah endapan marin, oleh karena itu sering disebut sebagai tanah aluvial marin.
Ciri yang unik dari tanah aluvial marin adalah adanya senyawa besi-sulfida (FeS2) yang
disebut pirit. Pirit adalah mineral berkristal oktahedral, termasuk sistem kubus, dari senyawa
besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan organik, dalam
lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4) larut. Dengan
menggunakan teknik SEM (Scanning Electron Microscope) diketahui bahwa partikel-partikel
pirit berada dalam bentuk kristal, yang individu-individu kristal tunggalnya sangat halus,
terbanyak berukuran <1 mikron (1 mikron=0,001 mm), dan sebagian kecil 2-9 mikron.
Bentuk kristal tunggal dari kubus bervariasi, dan bentuk (kristal) oktahedral adalah yang
paling dominan, diikuti bentuk piritohedral, yang semuanya termasuk sistem (kristalografi)
kubus, atau isometrik. Pirit mengandung 46,55% Fe (berdasarkan berat), dan 53,45% S
(Michaelsen dan Phi, 1998). Dalam lapisan tanah yang mengandung pirit, partikel pirit
tergabung dengan jaringan sisa-sisa akar mangrove, atau tersebar dalam matriks tanah. Di
lapangan, lapisan tanah yang mengandung pirit berwarna lebih gelap/hitam (hue 10YR, 2,5Y,
5Y, N, dan 5GY; kroma 1), sering bercampur dengan sisa-sisa daun atau akar tumbuhan
bakau atau nipah, dan kadang berbau busuk (H2S). Secara umum kandungan pirit yang
terdapat dalam tanah sulfat masam potensial relatif tidak tinggi, maksimum 6-7 persen
(berdasarkan berat), dan kandungan yang paling umum bervariasi dari 1-4 persen (Van
Bremen, 1973). Pada tanah sulfat masam potensial di Vietnam, kandungan pirit sampai
sedalam 90 cm, berkisar dari 0,2 sampai 5,5-6% (berdasarkan berat). Lapisan bagian atas
sampai 50 cm, kandungan piritnya bervariasi 0-3,5%, dan meningkat ke lapisan lebih bawah
(Michaelsen dan Phi, 1998). Walaupun kandungan pirit yang terdapat dalam tanah marin,
khususnya sulfat masam potensial relatif kecil, namun ternyata kemudian merupakan
permasalahan atau kendala berat dalam pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian.

Permasalahan utama di zona B adalah kemasaman tanah dan air akibat bahan organik
yang tereduksi terus-menerus. Bila ada besi oksida dan ion-sulfat, dan bahan organik dalam
kondisi reduksi maka akan terjadi besi sulfida yang akhirnya akan terbentuk senyawa pirit.
Kandungan pirit di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%,
namun walaupun kadarnya rendah, ternyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama
yang berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian. Masalahnya
dimulai pada saat rawa direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran drainase besar,
seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar
tanah rawa yang semula basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang
siap digunakan sebagai lahan pertanian.

Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah menjadi turun,
dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka
tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada
di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam
suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi,
berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi, pirit
bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air
tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob,
dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-
III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5), dan banyak
mengandung ion-ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2 (Fe-II), dan aluminium (AI3+). Tanah
bereaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam ,
atau “acid sulphate soils”. Seringkali juga disebut tanah sulfat masam aktual, atau “actual
acid sulphate soils”. Sebaliknya, semua tanah marin yang mengandung pirit belum
teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam (pH 4,6-5,5), tetapi berpotensi akan
menjadi ekstrim masam bila mengalami drainase berlebihan, disebut tanah sulfat masam
potensial, atau “potential acid sulphate soils”.

Tanah bagian atas yang sudah teroksidasi, karena berwarna coklat, atau kelabu
kecoklatan berkaratan besi coklat kemerahan, kadang disebut “brown layer”. Sedangkan
tanah bawah yang tereduksi penuh, yang berwarna kelabu, kelabu gelap, atau kelabu
kehijauan, sering disebut ”gray layer”. Profil tanah sulfat masam aktual umumnya
menunjukkan tanah bagian atas teroksidasi, setebal 50-100 cm, hampir matang sampai
matang, reaksi masam ekstrim (pH <3,5), atau sangat masam (pH 3,5-4,0), tekstur umumnya
liat, berdebu, berwarna coklat, coklat kemerahan atau kelabu. Lapisan tanah bawah tereduksi,
setengah matang sampai mentah, reaksi tanah sangat masam sampai agak masam (pH >4,0),
tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna kelabu-kelabu gelap. Profil tanah
sulfat masam potensial, tanah bagian atas teroksidasi relatif lebih tipis sekitar 25-75 cm,
setengah matang sampai hampir matang, reaksi tanah sangat masam-agak masam (pH >4,0),
tekstur umumnya liat berdebu, dan warnanya kelabu tua sampai coklat kekelabuan. Lapisan
bawah tereduksi, hampir mentah (practically unripe) sampai mentah, reaksi tanah masam-
agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan warnanya kelabu tua sampai
kelabu gelap. Tanah sulfat masam aktual, karena memiliki reaksi masam ekstrim, dan banyak
kandungan ion-ion yang bersifat racun/toksik, sehingga tidak sesuai untuk tanaman pertanian.
Vegetasi alami yang mampu tumbuh adalah yang toleran terhadap kemasaman tinggi,
terdapat di Delta pulau Petak biasanya berupa purun (Lepironia mucronata), atau purun tikus
(Fimbristylis sp.), dan gelam (Melaleuca leucadendron).

Selain kandungan pirit, beberapa problematika dalam lahan pasang surut air tawar
dalam agroekosistem menurut Suryana (2016) adalah iklim yang tidak normal, sering hujan
dan tidak menentu sehingga lahan sering kebanjiran, tata air makro belum dibenahi karena
sering banjir sehingga tata air tidak berfungsi, serangan hama keong mas dan
kepemilikan/ukuran lahan sempit.

Sebagai penanganan atas berbagai problematika agroekosistem rawa pasang surut air
tawar terdapat alternatif sistem usaha tani yang diidasarkan pada sistem usaha tani terpadu
yang bertitik tolak pada pemanfaatan hubungan sinergis antar subsistem dan dampak
pengembangan tetap menjamin kelestarian sumber daya alam (Alihamsyah, 2003 dalam
Suryana, 2016). Sistem usaha tani terpadu adalah suatu sistem usaha tani yang didasarkan
pada konsep daur ulang biologis, yaitu usaha tani tanaman, ikan, dan ternak (Prajitno 2009).
Menurut Alihamsyah (2003) dalam Suryana (2016), dilihat dari pelaku dan tujuan
pengembangannya, secara garis besar ada dua sistem usaha tani terpadu yang cocok
dikembangkan di lahan rawa, yaitu sistem usaha tani berbasis tanaman pangan dan sistem
usaha tani berbasis komoditas andalan. Sistem usaha tani berbasis tanaman pangan bertujuan
untuk menjamin keamanan pangan bagi petani, sedangkan model usaha tani andalan dapat
dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif pengembangan sistem usaha agribisnis(Ar-
Riza, 2000). Padi merupakan tanaman yang paling luas diusahakan di lahan rawa pasang
surut. Padi tergolong cocok ditanam di lahan rawa pasang surut karena didukung oleh:

1. kondisi rawa yang berlimpah air hampir sepanjang tahun dengan muka air tanah
yang dangkal,
2. topografi lahan datar,
3. kondisi tanah bertekstur liat dan lunak
4. warisan budaya sebagai petani padi.

Pada umumnya sistem produksi hasil tani di lahan rawa pasang surut belum intensif
seperti di lahan sawah irigasi. Di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan Jambi,
petani hanya menanam padi sekali dalam setahun, menggunakan varietas lokal dan tanpa
pemupukan sehingga produktivitas rendah, sekitar 1-2 t/ha (Ar-Riza et al. 2007). Setelah padi
dipanen, lahan dibiarkan. Jenis padi yang ditanam petani adalah padi lokal yang berumur
panjang (>6 bulan) sehingga menyulitkan menanam padi dua kali setahun. Jenis padi lokal
disenangi dan menjadi pilihan petani karena benih tersedia atau milik sendiri, rasa nasi
disukai sehingga berasnya mudah dipasarkan dan harga lebih mahal, tidak membutuhkan
banyak pupuk kimia, kebutuhan benih sedikit (5-10 kg/ha), tahan terhadap hama dan
penyakit, termasuk tahan terhadap kondisi rawa, dan waktu untuk melakukan pekerjaan di
lapang sangat longgar. Kelemahan padi lokal ialah umurnya panjang (>6 bulan), berdaun
lebar dan terkulai, tinggi tanaman 140-170 cm, dan hasil gabah rendah (2-3 t/ha).
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil diskusi mengenai Zona B dalam lahan pasang surut agroekosistem
rawa dapat disimpulkan bahwa:

1. Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun atau selama waktu panjang dalam
setahun selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal.
Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring
tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream
area) dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu Zona 1 (wilayah rawa pasang surut air
asin/ payau), Zona II (Wilayah rawa pasang surut air tawar), Zona III (wilayah rawa
lebak atau rawa non-pasang surut).
2. Zona B adalah zona lahan basah yang terletak ditengah-tengah antara zona A dan
zona C. Zona B merupakan kawasan rawa pasang surut yang letaknya menuju daratan
(pedalaman), sehingga kondisi pasang surutnya berasal dari goyangan tinggi
permukaan air sungai yang bersifat tawar.
3. Permasalahan utama di zona B adalah kemasaman tanah dan air akibat bahan organik
yang tereduksi terus-menerus, iklim yang tidak normal, sering hujan dan tidak
menentu sehingga lahan sering kebanjiran, tata air makro belum dibenahi karena
sering banjir sehingga tata air tidak berfungsi, serangan hama keong mas dan
kepemilikan/ukuran lahan sempit.
4. Penanganan atas berbagai problematika agroekosistem rawa pasang surut air tawar
terdapat alternatif sistem usaha tani yang diidasarkan pada sistem usaha tani terpadu
yang bertitik tolak pada pemanfaatan hubungan sinergis antar subsistem dan dampak
pengembangan tetap menjamin kelestarian sumber daya alam
DAFTAR PUSTAKA

Ar-Riza, I. 2000. Prospek pengembangan lahan rawa lebak Kalimantan Selatan dalam
mendukung peningkatan produksi padi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 19(3):9297
Ar-Riza, I., Khairudin, dan Sardjijo. 2001. Pengaruh pemupukan NPK terhadap pertumbuhan
dan hasil Padi di lahan sulfat masam. Dalam. Prosiding Seminar Nasional Sumber
Daya Lahan Kering dan Lahan Rawa. Cisarua. Bogor. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor
Ar-Riza, I., M. Alwi, dan S. Saragih. 2006. Dinamika tanah pada pengelolaan lahan dan hara
dalam pertanaman padi di lahan rawa pasang surut. Dalam. B. Suprihatno, I N.
Widiarta, A.A. Darajat, H. Pane, Hermanto, dan A.S. Yahya (Eds.). Inovasi
Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Ar-Riza, I., N. Fauziati, dan H.D. Noor. 2007. Kearifan lokal sumber inovasi dalam
mewarnai teknologi budidaya padi di lahan rawa lebak. hlm. 63-71. Dalam Mukhlis,
I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (Ed.). Kearifan Lokal Pertanian di Lahan
Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Pertanian, Bogor.
Arya Mukti Wibowo, Setyana Yulianingsih, Lisma Siti Nur Fuaida dan Muhammad
Fadilahh. 2016. Tugas Problematika Agroekosistem Zona Lahan Basah.
https://islidedocs.com/document/doDownload/link_rand/lYpd59t2BaBgUblKiEbAd
VpEgEuDGCMRq1Vl0fesfGz0HKAPeCginvMu07XxzzfPr11i6. Diakses pada 21
November 2019.
BBSDLP. 2014. Sumber daya lahan pertanian Indonesia, luas,penyebaran dan potensi
ketersediaan. Laporan Teknis Nomor1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya LahanPertanian, Bogor.
Cecep Risnandar dan Ali Fahmi. 2018. Lahan Basah. https://jurnalbumi.com/knol/lahan-
basah/. Diakses pada 21 November 2019.
Djaenudin. 2003. Petunjuk Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Irsal Las. 2006. Karakteristik Dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor.
Lahan Rawa untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia: kasus
Muhammad Irvani. 2019. Pengelolaanrawa Lebak dan pasang Surut.
https://www.academia.edu/21672856/PENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_P
ASANG_SURUT. Diakses pada 20 November 2019.
Noor, M. 2010. Lahan Gambut, Pengembangan, Konservasi, danPerubahan Iklim. Penerbit
Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
Prajitno, D. 20 09. Sistem usaha tani terpad u sebagai modalpembangunan pertanian
berkelanjutan di tingkat petani. PidatoPengukuhan Guru Besar pada Fakultas
Pertanian UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta.
Puslittanak..1997.LahanRawa.BadanLitbangPertanian.PusatPenelitianTanahdanAgroklimat.
Rawa Pasang Surut, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Saragih,S.,Isdijanto ArRiza,dan M.Noor. 1996. Beberapa Alternatif Pola Tanam Mendukung
Optimasi Pemanfaatan Lahan Pasang Surut untuk Tanaman Pangan. Prosiding
Seminar Teknologi Sistem Usaha tani Lahan Rawa dan Lahan Kering (Buku2).
Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. (pp:195-207)
SoilSurveyStaff.1998.KeyToSoilTaxonomy.SeventhEdition,USDA,SoilmConservationServic
e,WashingtonDCHaryono (2012
Subagjo, H. 2006. Klasifikasi dan penyebaran lahan rawa. Buku karakteristik dan
pengelolaan lahan rawa. Hlm 1-22. Balai Besar Litbang Sumberdaya lahan
Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2006.
Subagyo, 2003, Mengenal Lahan Rawa. Ekspose Nasional Pertanian Lahan
Subagyo, H dan I.P.G Widjaja-Adhi., 1998, Peluang dan Kendala Penggunaan Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan
Suryana. 2016. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Tani terpadu Berbasis Kawasan di
Lahan rawa. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 35 No (2): 57-68.
Titis Sofi Hanifa. 2016. Ekologi Lahan Rawa.
https://www.academia.edu/30018983/EKOLOGI_LAHAN_RAWA. Diakses pada
20 November 2019.
Wijaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical and Chemical Characteristic of Peat Soil of Indonesia.
Ind. Agric. Research Dev. J. 10:59-64

Anda mungkin juga menyukai