PEMBAHASAN
2.1 SAWAH
Sawah adalah tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi.
Untuk keperluan ini, sawah harus mampu menyangga genangan air karena
padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam
pertumbuhannya. Untuk mengairi sawah digunakan sistem irigasi dari mata
air, sungai atau air hujan. Sawah yang terakhir dikenal sebagai sawah tadah
hujan, sementara yang lainnya adalah sawah irigasi. Padi yang ditanam di
sawah dikenal sebagai padi lahan basah (lowland rice).
Pada lahan yang berkemiringan tinggi, sawah dicetak berteras atau lebih
dikenal terasiring atau sengkedan untuk menghindari erosi dan menahan air.
Sawah berteras banyak terdapat di lereng-lereng bukit atau gunung di Jawa
dan Bali.
Sawah merupakan salah satu sumber utama emisi metana atmosferik dan
diperkirakan mengemisikan antara 50 hingga 100 juta ton gas metana per
tahun.Sebuah studi menunjukan dengan mengeringkan sawah untuk
sementara sambil mengaerasikan tanah bermanfaat untuk mengganggu
emisi gas metana dan juga meningkatkan hasil padi.
Lewat aturan yang diteken Menteri ATR Fery Mursyidan Baldan pada 7
April 2016 ini pemerintah membatasi kepemilikan tanah pertanian untuk
perseorangan maksimal 20 hektare (ha) untuk wilayah yang tidak padat, 12
ha di wilayah yang kurang padat, seluas 9 ha di wilayah cukup padat, serta
maksimal 6 ha di wilayah padat.
Bila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, hak atas tanahnya hapus dan
tanahnya dikuasai langsung oleh negara.
A. Sawah Irigasi
D. Sawah Lebak
Jenis sawah lebak jarang sekali karena mengingat resiko yang sangat
rentan terhadap banjir. Sawah lebak adalah sawah yang berada dikanan dan
kiri sungai-sungai besar. Para petani sudah jarang memanfaatkan sistem
sawah lebak ini sebagai lahan pertanian padi. Mereka kebanyakan mengalih
fungsikan sawah lebak menjadi lahan perkebunan seperti sawit.
E. Sawah Bencah
Ladang adalah tanah yang diusahakan dan ditanami (ubi, jagung, dan
sebagainya) dengan tidak diairi, tanah atau tempat yang luas yang
diusahakan karena mengandung sumber daya alam, seperti minyak, sumber
ilham, pendapatan, dan sebagainya.
Perladangan meliputi areal yang sangat luas di atas bumi ini, terutama di
daerah tropik basah, dimana di daerah ini diketemukan di Negara-negara
yang sedang berkembang. Perladangan dapat didefinisikan sebagai suatu
teknik pertanian dengan cara adab peralatan yang masih primitive, tanpa
adanya penanaman modal dan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri dan keluarganya. Pada umumnya dilakukan di atas tanah
yang cepat sekali kehilangan kesuburannya, sehingga memaksa peladang
melakukan pertanian berpindah-pindah untuk menyambung kebutuhan
mereka.
Berladang merupakan kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat
kaitannya dengan tradisi budaya. Perladangan bergilir atau biasa dikenal
dengan perladangan berpindah, adalah istilah lain yang menggambarkan
masa tanam dan masa bera yang berlangsung secara bergiliran. Sistem
tebas dan bakar, mengacu pada konsep ladang bergilir, yang dalam proses
penyiapan lahan diawali dengan cara tebas dan bakar. Namun demikian,
cara ini seringkali dihubungkan dengan pengrusakan atau perambahan hutan
karena dilakukan dalam skala luas oleh perkebunan besar atau petani
pendatang.
Istilah seperti berladang, perladangan bergilir, sistem tebas bakar,
mengacu pada deskripsi aktivitas perladangan. Secara teknis, istilah-istilah
tersebut memiliki makna dan arti yang nyaris serupa, namun memberi
langgam dan pola yang berbeda. Perubahan praktek perladangan baik secara
bertahap maupun langsung dapat menjadi solusi atau masalah,
tergantung dari persepsi mana kita melihatnya. Seperti halnya dengan
negara lain, dewasa ini, masalah perladangan di Indonesia dipandang dari
berbagai persepsi yang berbeda dan seringkali justru dianggap sebagai
kegiatan yang melanggar hukum.
Isu pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi menambah pelik
permasalahan perladangan yang sebenarnya sudah diterapkan oleh
masyarakat tradisional secara turun-temurun. Dalam kaitannya dengan emisi
global, penggunaan api atau aktivitas lain di areal hutan yang dianggap
meng-emisi-kan gas rumah kaca menjadi isu hangat yang dihubungkan
dengan insentif ekonomi dalam mengurangi emisi. Namun demikian, di
dalam setiap pembahasan, aspirasi rakyat seringkali terabaikan. Perladangan
selalu dikaitkan dengan subsistensi dan keterbelakangan, bukan dianggap
sebagai suatu model pembangunan yang berkelanjutan. Pandangan seperti
ini sejatinya dapat mengabaikan dinamika perladangan yang sesungguhnya.
Dalam mengkaji masalah perladangan, ada tiga pengetahuan dasar yang
harus berjalan bersama dengan harmonis, yaitu pengetahuan dan
pemahaman masyarakat lokal, perspektif ilmiah, serta kebijakan publik
untuk mendukung pembangunan Dalam rangka membahas permasalahan
berakhirnya kegiatan perladangan di Negara-negara di Asia Tenggara,
pada Bulan Maret 2008 di Hanoi, Vietnam, sekelompok ilmuwan di bidang
sosial, ekonomi, dan ekologi yang berkiprah dalam isu penggunaan lahan di
kawasan hutan berkumpul bersama. Secara umum, maksud dan tujuan
konferensi tersebut adalah untuk mengkaji perubahan kegiatan perladangan
di Asia Tenggara, sehingga kesenjangan yang muncul dalam masyarakat
peladang dapat dikenali, diisi dan segera diatasi. Secara rinci, tujuan kajian
perladangan di Asia Tenggara ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perubahan pola perladangan dan tutupan lahan dalam
beberapa tahun terakhir menggunakan peta dan data penginderaan jarak
jauh;
2. Mengkaji populasi peladang menggunakan data dan kajian demografi
dan ekonomi dari beberapa negara di Asia Tenggara;
3. Menelaah dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan
sosial, khususnya pada aspek penghidupan masyarakat, ekonomi dan
budaya, berbasis pada sejumlah studi kasus dan kajian regional;
4. Menganalisis dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan
alam, bentang lahan, keanekaragaman hayati, sumber daya air, dan iklim
global, berbasis pada sejumlah studi kasus dan kajian regional;
5. Menganalisis pentingnya kebijakan sebagai faktor pendorong perubahan,
meliputi pengkajian masalah komodifikasi1, perubahan skala produksi,
kebijakan ekonomi, kepemilikan lahan, infrastruktur, dan kebijakan
konservasi pada skala nasional maupun sub regional;
6. Membangun suatu forum komunikasi untuk mendapatkan perbandingan
hasil penelitian perladangan di negara-negara Asia Tenggara; dan
7. Mengembangkan ide dan konsep pengelolaan sistem perladangan
sebagai bahan pertimbangan kepada para pembuat kebijakan di beberapa
negara di Asia Tenggara.