Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SAWAH

2.1.1 Pengertian Sawah

Sawah adalah tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi.
Untuk keperluan ini, sawah harus mampu menyangga genangan air karena
padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam
pertumbuhannya. Untuk mengairi sawah digunakan sistem irigasi dari mata
air, sungai atau air hujan. Sawah yang terakhir dikenal sebagai sawah tadah
hujan, sementara yang lainnya adalah sawah irigasi. Padi yang ditanam di
sawah dikenal sebagai padi lahan basah (lowland rice).

Pada lahan yang berkemiringan tinggi, sawah dicetak berteras atau lebih
dikenal terasiring atau sengkedan untuk menghindari erosi dan menahan air.
Sawah berteras banyak terdapat di lereng-lereng bukit atau gunung di Jawa
dan Bali.

Sebuah studi yang dipublikasikan Proceedings of the National Academy of


Sciences of the United States of America menemukan bahwa semua jenis
padi yang dibudidayakan saat ini, baik dari spesies indica maupun japonica,
berasal dari satu spesies padi liar Oryza rufipogon yang ada pada tahun
8200 tahun hingga 13500 tahun yang lalu di China. Padi sawah
dibudidayakan di berbagai negara seperti Bangladesh, China, Filipina, India,
Indonesia, Iran, Jepang, Kamboja, Korea Selatan, Korea Utara, Laos,
Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan
Vietnam. Padi sawah juga ditanam di Eropa seperti di Piedmont (Italia) dan
Camargue (Prancis).

Sawah merupakan salah satu sumber utama emisi metana atmosferik dan
diperkirakan mengemisikan antara 50 hingga 100 juta ton gas metana per
tahun.Sebuah studi menunjukan dengan mengeringkan sawah untuk
sementara sambil mengaerasikan tanah bermanfaat untuk mengganggu
emisi gas metana dan juga meningkatkan hasil padi.

2.1.2 Penetapan Luas Maksimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah

Pemerintah merilis kebijakan baru terkait pembatasan kepemilikan lahan


pertanian bagi perseorangan dan badan hukum. Kebijakan ini tertuang
dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 18/2016 tentang Pengendalian
Penguasaan Lahan Pertanian.

Lewat aturan yang diteken Menteri ATR Fery Mursyidan Baldan pada 7
April 2016 ini pemerintah membatasi kepemilikan tanah pertanian untuk
perseorangan maksimal 20 hektare (ha) untuk wilayah yang tidak padat, 12
ha di wilayah yang kurang padat, seluas 9 ha di wilayah cukup padat, serta
maksimal 6 ha di wilayah padat.

Batasan wilayah ini hampir sama dengan aturan sebelumnya, yakni


Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 56/1960 tentang Penetapan
Luas Lahan Pertanian. Dalam Perppu tersebut, batas maksimal tanah
pertanian, yakni sawah dan tanah kering yang dikuasai, seluruhnya tak
boleh lebih dari 20 ha.

Perbedaannya, di dalam Permen 18/2016 diatur tentang pengalihan


kepemilikan lahan yang lebih ketat. Yakni, pengalihan tanah pertanian
hanya bisa dilakukan kepada pihak lain yang berdomisili dalam satu
kecamatan dengan letak tanah. Selain itu, tanah tersebut harus tetap
digunakan sebagai lahan pertanian.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang
dan Penguasaan Tanah Kementerian ATR/BPN Firman Mulia Hutapea
mengatakan, kebijakan ini mulai berlaku pada April 2016. Menurut Firman,
pembatasan luas penguasaan dan kepemilikan lahan perlu dilakukan untuk
pemerataan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, beleid ini bertujuan untuk
menjamin ketahanan pangan nasional.

a. Poin aturan pengendalian, Penguasaan Tanah Pertanian:

Pembatasan kepemilikan tanah pertanian untuk perorangan dengan


ketentuan :
- tidak padat, paling luas 20 hektare (ha)
- kurang padat, paling luas 12 hektare (ha)
- cukup padat, paling luas 9 hektare (ha)
- sangat padat, paling luas 6 hektare (ha)

Tanah pertanian milik perorangan dapat dialihkan kepada pihak lain


dengan ketentuan :
- pihak lain harus berdomisili dalam satu kecamatan letak tanah
- tanahnya harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk pertanian

Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat


letak tanah dalam waktu 6 bulan sejak tanggal perolehan hak harus:
- mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain yang berdomisili di
kecamatan letak tanah tersebut
- pindah ke kecamatan letak tanah tersebut

Bila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, hak atas tanahnya hapus dan
tanahnya dikuasai langsung oleh negara.

Keterangan (**): Di dalam Perppu nomor 56/1960 tentang penetapan luas


lahan pertanian dibatasi sebagai berikut: lahan sawah tidak padat maksimal
15 ha dan tanah kering 20 ha.
*) Sumber: Permen ATR nomor 18 tahun 2016
2.1.3 Manfaat Sawah

Mayrowani, dkk., (2003) menuliskan 10 manfaat langsung ekosistem


sawah untuk manusia utamanya:

1) Menghasilkan bahan pangan


2) Menyediakan lahan kerja dalam bidang pertanian,
3) Daerah memperoleh keuntungan melalui pajak tanah,
4) Daerah memperoleh keuntungan selain dari PAD dari segi ekonomi
dan pajak
5) Meminimalir urbanisasi yang terjadi karena tersedianya lahan kerja
pertanian
6) Mempertahankan budaya tradisional dan kerakyatan yang ada
7) sebagai wadah agar tumbuhnya rasa kebersamaan atau
gotongroyong,
8) sebagai sumber pendapatan masyarakat,
9) sebagai tempat refreshing, dan
10) sebagai tempat pariwisata.

Sedangkan manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi pelestarian


lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Yoshida, 2001; Setiyanto
dkk ., 2003; Talaohu, dkk., 2003):

1) Meminimalisir peluang banjir,


2) Mereduksi terjadinya erosi,
3) mengurangi kemungkinan terjadinya tanah longsor,
4) Sirkulasi air terjaga, khususnya pada musim kemarau,
5) Pencemaran polusi industri dapat dikurangi
6) Dapat menjadi sarana dalam mengurangi pupuk sintesis dengan
menggunakan pupuk dan pestisida organik

Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut:

1) sebagai sarana pendidikan, dan


2) sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.

Penggunaan lahan sawah yang kurang efektif dan sembrono dapat


menyebabkan (Wihardjaka dan Makarim, 2001):

1) Munculnya efek rumah kaca karena penimbunan metan yang


mengakibatkan pemanasan global
2) pencemaran air dan tanah melalui penggunaan bahan kimia (pupuk
dan pestisida), dan
3) Sungai dan saluran pengairan menjadi lebih dangkal akibat
pelumpuran saat pengolahan tanah sawah.

2.1.4 Macam- macam Sawah

A. Sawah Irigasi

Sawah irigasi adalah sawah yang menggunakan sistem irigasi teratur


(teknis). Pengairan sawah irigasi berasal dari sebuah bendungan atau waduk.
Pengairan sawah dilakukan oleh kelompok tani yang dikenal dengan nama
darmotirto di Jawa dan subak di Bali. Pada sawah irigasi petani dapat panen
2-3 kali tanaman padi. Pada saat tertentu sawah tersebut ditanami dengan
tanaman palawija, seperti jagung, kacang hijau, kacang tanah, dan lain-lain.
Pertanian sawah irigasi terdapat di Bali, Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan
Papua.
B. Sawah Tadah Hujan

Sawah tadah hujan adalah sawah yang sistem pengairannya sangat


mengandalkan curah hujan. Jenis sawah ini hanya menghasilkan di musim
hujan. Di musim kering sawah ini dibiarkan tidak diolah karena air sulit
didapat atau tidak ada sama sekali.

C. Sawah Pasang Surut

Sawah pasang surut tergantung pada keadaan air permukaan yang


dipengaruhi oleh kondisi pasang surutnya air sungai. Pada saat pasang,
sawah tergenang air, sedangkan pada saat surut sawah kering dan ditanami
dengan padi. Sawah pasang surut banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan,
dan Papua

D. Sawah Lebak
Jenis sawah lebak jarang sekali karena mengingat resiko yang sangat
rentan terhadap banjir. Sawah lebak adalah sawah yang berada dikanan dan
kiri sungai-sungai besar. Para petani sudah jarang memanfaatkan sistem
sawah lebak ini sebagai lahan pertanian padi. Mereka kebanyakan mengalih
fungsikan sawah lebak menjadi lahan perkebunan seperti sawit.

E. Sawah Bencah

Sawah bencah adalah sistem pertanian lahan basah yang dilakukan di


daerah rawa-rawa yang telah di keringkan atau dimuara sungai besar.
2.2 LADANG

2.2.1 Pengertian Ladang

Ladang adalah tanah yang diusahakan dan ditanami (ubi, jagung, dan
sebagainya) dengan tidak diairi, tanah atau tempat yang luas yang
diusahakan karena mengandung sumber daya alam, seperti minyak, sumber
ilham, pendapatan, dan sebagainya.

Perladangan meliputi areal yang sangat luas di atas bumi ini, terutama di
daerah tropik basah, dimana di daerah ini diketemukan di Negara-negara
yang sedang berkembang. Perladangan dapat didefinisikan sebagai suatu
teknik pertanian dengan cara adab peralatan yang masih primitive, tanpa
adanya penanaman modal dan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri dan keluarganya. Pada umumnya dilakukan di atas tanah
yang cepat sekali kehilangan kesuburannya, sehingga memaksa peladang
melakukan pertanian berpindah-pindah untuk menyambung kebutuhan
mereka.
Berladang merupakan kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat
kaitannya dengan tradisi budaya. Perladangan bergilir atau biasa dikenal
dengan perladangan berpindah, adalah istilah lain yang menggambarkan
masa tanam dan masa bera yang berlangsung secara bergiliran. Sistem
tebas dan bakar, mengacu pada konsep ladang bergilir, yang dalam proses
penyiapan lahan diawali dengan cara tebas dan bakar. Namun demikian,
cara ini seringkali dihubungkan dengan pengrusakan atau perambahan hutan
karena dilakukan dalam skala luas oleh perkebunan besar atau petani
pendatang.
Istilah seperti berladang, perladangan bergilir, sistem tebas bakar,
mengacu pada deskripsi aktivitas perladangan. Secara teknis, istilah-istilah
tersebut memiliki makna dan arti yang nyaris serupa, namun memberi
langgam dan pola yang berbeda. Perubahan praktek perladangan baik secara
bertahap maupun langsung dapat menjadi solusi atau masalah,
tergantung dari persepsi mana kita melihatnya. Seperti halnya dengan
negara lain, dewasa ini, masalah perladangan di Indonesia dipandang dari
berbagai persepsi yang berbeda dan seringkali justru dianggap sebagai
kegiatan yang melanggar hukum.
Isu pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi menambah pelik
permasalahan perladangan yang sebenarnya sudah diterapkan oleh
masyarakat tradisional secara turun-temurun. Dalam kaitannya dengan emisi
global, penggunaan api atau aktivitas lain di areal hutan yang dianggap
meng-emisi-kan gas rumah kaca menjadi isu hangat yang dihubungkan
dengan insentif ekonomi dalam mengurangi emisi. Namun demikian, di
dalam setiap pembahasan, aspirasi rakyat seringkali terabaikan. Perladangan
selalu dikaitkan dengan subsistensi dan keterbelakangan, bukan dianggap
sebagai suatu model pembangunan yang berkelanjutan. Pandangan seperti
ini sejatinya dapat mengabaikan dinamika perladangan yang sesungguhnya.
Dalam mengkaji masalah perladangan, ada tiga pengetahuan dasar yang
harus berjalan bersama dengan harmonis, yaitu pengetahuan dan
pemahaman masyarakat lokal, perspektif ilmiah, serta kebijakan publik
untuk mendukung pembangunan Dalam rangka membahas permasalahan
berakhirnya kegiatan perladangan di Negara-negara di Asia Tenggara,
pada Bulan Maret 2008 di Hanoi, Vietnam, sekelompok ilmuwan di bidang
sosial, ekonomi, dan ekologi yang berkiprah dalam isu penggunaan lahan di
kawasan hutan berkumpul bersama. Secara umum, maksud dan tujuan
konferensi tersebut adalah untuk mengkaji perubahan kegiatan perladangan
di Asia Tenggara, sehingga kesenjangan yang muncul dalam masyarakat
peladang dapat dikenali, diisi dan segera diatasi. Secara rinci, tujuan kajian
perladangan di Asia Tenggara ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perubahan pola perladangan dan tutupan lahan dalam
beberapa tahun terakhir menggunakan peta dan data penginderaan jarak
jauh;
2. Mengkaji populasi peladang menggunakan data dan kajian demografi
dan ekonomi dari beberapa negara di Asia Tenggara;
3. Menelaah dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan
sosial, khususnya pada aspek penghidupan masyarakat, ekonomi dan
budaya, berbasis pada sejumlah studi kasus dan kajian regional;
4. Menganalisis dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan
alam, bentang lahan, keanekaragaman hayati, sumber daya air, dan iklim
global, berbasis pada sejumlah studi kasus dan kajian regional;
5. Menganalisis pentingnya kebijakan sebagai faktor pendorong perubahan,
meliputi pengkajian masalah komodifikasi1, perubahan skala produksi,
kebijakan ekonomi, kepemilikan lahan, infrastruktur, dan kebijakan
konservasi pada skala nasional maupun sub regional;
6. Membangun suatu forum komunikasi untuk mendapatkan perbandingan
hasil penelitian perladangan di negara-negara Asia Tenggara; dan
7. Mengembangkan ide dan konsep pengelolaan sistem perladangan
sebagai bahan pertimbangan kepada para pembuat kebijakan di beberapa
negara di Asia Tenggara.

Pertanian ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah,


perladangan bergilir, perladangan gilir balik merupakan sejumlah
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem
penggunaan lahan yang melibatkan fase tanam atau fase produksi dan
masa bera, yaitu masa dimana vegetasi dibiarkan bersuksesi secara alami.
Ladang atau huma didefinisikan sebagai lahan berhutan yang dibersihkan
untuk produksi tanaman pangan. Adakalanya tanaman ini dikombinasikan
dengan tanaman semusim lainnya dan atau tanaman keras baik dalam satu
kurun waktu atau dalam beberapa periode. Tujuannya adalah untuk
konsumsi pribadi maupun dijual. Pada masa bera dalam sistem berhuma
atau berladang, tanaman perintis berkayu dibiarkan tumbuh secara alami
hingga berupa hutan. Proses penumpukkan serasah daun terjadi secara terus
menerus. Tumbuhan lapisan bawah semakin jarang tumbuh. Selain itu, pada
masa bera terjadi penumpukan unsur hara pada biomasa tanaman berkayu.
Unsur hara ini dilepaskan kembali bilamana pembersihan lahan atau tebas
dan bakar dilakukan.
Karena itu, keberlanjutan proses perubahan dari pola perladangan perlu
lebih diperhatikan daripada hanya berkutat dalam perdebatan mengenai
bentuk dasar sistem perladangan. Paham mengenai proses evolusi, baik
alam maupun sosial ekonomi, seharusnya dipandang sebagai suatu proses
perubahan secara bertahap dalam merespon tekanan seleksi. Dengan
demikian, orang tidak hanya terjebak dalam pandangan bahwa perubahan
selalu mengarah pada bentuk kehidupan yang lebih tinggi tingkatannya.

Perladangan berkembang menjadi tiga model, yaitu:


1. Agroforest, dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan
bisa lebih tinggi daripada nilai tanaman pangan;
2. Sistem pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan bera
didomestikasi untuk areal pakan ternak; atau
3. Pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian. Misalnya
penggunaan tanaman penutup tanah dari kelompok legum (kacang-
kacangan) atau tanaman penyubur, penggunaan pupuk kandang yang
dihasilkan dari padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk kimia
yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk
mengembalikan kesuburan tanah. Sejumlah penelitian mengenai
perladangan difokuskan hanya pada fase tanam dan kesuburan tanah.
Fase tanam diartikan sebagai fase penurunan kesuburan tanah, sebaliknya
fase bera merupakan fase pemulihan kesuburan tanah. Penurunan dan
peningkatan kesuburan tanah berlangsung seiring dengan produktivitas
tanaman.
Penurunan dan peningkatan produksi tanaman terjadi karena adanya
interaksi fisik, kimia dan biologi tanah; dimana gulma, hama dan penyakit
tidak mudah diuraikan oleh konfigurasi tanah setempat. Perbedaan jenis
tanah, ruang tumbuh vegetasi dan kondisi iklim membuat hubungan saling
mempengaruhi antar faktor menjadi lebih kompleks. Namun demikian,
model penurunan dan pemulihan kesuburan tanah secara sederhana
sebagaimana dikemukakan Trenbath (1989) sangat bermanfaat sebagai
langkah awal untuk memahami dinamika tersebut.

2.2.2 Sejarah dan konteks internasional


Sistem berladang (swidden) terdiri dari masa tanam dan masa bera
(peralihan ke tumbuhan berkayu untuk menjadi hutan sekunder). Dalam
melihat hubungan antara masa tanam dan bera, keterbatasan akses ke hutan
menjadi faktor pendorong terjadinya intensifikasi dan perpendekan masa
bera. Dengan demikian, dinamika kegiatan perladangan ini berkaitan
langsung dengan sejarah munculnya kelembagaan hutan yang mengatur
akses ke hutan baik yang memiliki ataupun tidak memiliki sejarah
penggunaan lahan sebagai ladang (areal bercocok tanam). Pada kondisi
kepadatan penduduk yang rendah, lahan masih berlimpah dan potensi
produksi ditentukan oleh jumlah tenaga kerja dalam pembersihan lahan.

2.2.3 Intensifikasi masa bera


2.2.3.1 Dua cara intensifikasi
Semakin intensif penggunaan lahan, seperti pada pertanian
tanaman pangan menetap, dapat meningkatkan produksi total per
hektar jika dibandingkan dengan perladangan, tetapi penerimaan
petani (return to labour) dapat lebih kecil. Intensifikasi
menyebabkan degradasi lahan sebagaimana digambarkan oleh
panah terputus. Sistem agroforestri atau sistem berbasis pohon
dapat menjadi pilihan yang baik dimana produksi total per hektar
tetap tinggi dengan pengelolaan tanaman tahunan berintensitas
rendah.
2.2.3.2 Unsur hara
Petani menerapkan sistem perladangan dengan masa bera yang
panjang untuk memproduksi tanaman pangan bagi kebutuhan
harian mereka (subsistem). Sistem ini secara ekologi dinilai stabil
dalam kondisi kepadatan penduduk rendah. Namun dewasa ini,
pertambahan penduduk berlangsung cepat, permintaan pasar
terhadap hasil pertanian meningkat, dan kebijakan pemerintah
dalam pembangunan Intensifikasi masa bera lahan dan daerah
pemukiman telah mengubah aktivitas perladangan menjadi lebih
intensif. Perubahan ini menyebabkan ketidakseimbangan unsur
hara karena hara mineral hilang selama masa pertanaman dan tidak
dapat dipulihkan hanya dengan periode bera yang singkat.

Banyak petani masih menerapkan sistem tebas bakar untuk


membersihkan lahan meskipun pemerintah telah mencanangkan
program zero burning yaitu pembersihan lahan tanpa
menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang
dilakukan di Sumatera, Ketterings dkk (1999) melaporkan bahwa
keputusan petani untuk tetap melakukan proses pembakaran lahan
disebabkan karena hal berikut:
1. Merupakan cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan
lahan;
2. Dapat menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya,
terutama pada siklus awal setelah penanaman tanaman pangan;
3. Mengubah biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi
tanaman dan tanah;
4. Menggemburkan tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh;
5. Merupakan cara yang efektif untuk membunuh hama dan
patogen
2.2.4 Ciri-ciri Perladangan
Ciri-ciri ladang berpindah adalah sebagai berikut :
1. Ketergantungan petani yang tinggi terhadap lahan hutan
2. Lahan ladang (hutan) dibuka dengan cara dibabat dan dibakar
3. Peralatan yang digunakan masih sederhana, biasanya parang dan tugal
4. Tidak ada pemeliharaan terhadap tanaman
5. Lahan sempit, luasnya rata-rata tidak lebih dari 0,5 hektar
6. Lahan hanya dipakai untuk waktu yang singkat dan kemudian dibiarkan
untuk jangka waktu yang lama

Sistem pertanian primitive subsistence farming hanya terdapat pada


daerah-daerah dengan penduduk yang masih jarang sekali. Oleh karena
mayoritas pembukaan lading dilakukan dengan cara membakar, selain
menimbulkan kebakaran hutan dan polusi asap, kegiatan ini akan merusak
lapisan humus. Walaupun demikian, keutnungannya terdapat penambahan
unsur potash dalam tanah. Tanah hutan biasanya dibuka 3 atau 2 minggu
sebelum musim penghujan.

Sistem ladang berpindah ini dapat mengakibatkan dampak negative,


diantaranya :
1. Mengurangi luas hutan
2. Kerusakan hutan
3. Tanah menjadi tandus / lahan kritis
4. Tanah mudah tererosi
5. Kebakaran hutan
6. Pencemaran udara
7. Banjir

Anda mungkin juga menyukai