Oleh :
Haga Perisai Sitepu (03121002008)
Karina Ruli Sinulingga (03121002017)
Kukuh Tri Atmanto (03121002098)
ABSTRAK
I.6. Hipotesis
a. Hipotesis nol (HO) : Tidak terdapat manfaat endapan tanah gambut di
daerah Indralaya dan sekitarnya.
b. Hipotesis alternatif (H1) : Terdapat manfaat endapan tanah gambut di
daerah Indralaya dan sekitarnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Tanah Gambut
Tanah gambut adalah tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah
organik, yaitu akumulasi sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang telah
mati baik yang telah melapuk maupun belum. Gambut mempunyai banyak
istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau
fen. Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang secara alami
dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak ada atau
sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa
setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Tanah gambut
merupakan tanah dengan kandungan organik lebih besar dari lima puluh
persen (Mankinen, dkk, 1992). Akan tetapi menurut Landya (1985) tanah
dengan kandungan organik lebih dari 75 persen.
Pendapat lain menurut Andriesse (1992) dalam Noor (2001), gambut
adalah tanah organik, tetapi tidak berarti bahwa tanah organik adalah tanah
gambut. Menurut Hardowigeno (1986) gambut merupakan tanah yang
terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah
lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi
terhambat oleh kondisi anaerob atau sedikit oksigen dan/atau kondisi
lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota
pengurai. Tingkat dekomposisi bahan organik yang dikandung oleh tanah
gambut juga mempengaruhi struktur dari tanah gambut.
II.2. Genesa Tanah Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah
lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat
oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya
tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses
geogenik yaitu proses pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi atau
pelapukan dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada
umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986). Gambut yang ada di
Indonesia sekarang ini terbentuk dalam waktu lebih dari 5000 tahun (Hardjowigeno, 1997).
Karena tempat tumbuh dan tertimbunnya sisa tumbuhan tersebut selalu lembab dan
tergenang air serta sirkulasi oksigen yang kurang baik, maka proses penguraian oleh bakteri
tidak berjalan dengan sempurna. Sebagai akibatnya sebagian serat-serat tumbuhan masih
terlihat jelas dan sangat mempengaruhi perilaku dari tanah gambut yang bersangkutan.
Oleh karena itu sifat dari endapan tanah gambut ini adalah selalu jenuh air walaupun
letaknya di atas permukaan laut. Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya
pendangkalan danau yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan
basah (Noor, 2001). Tjahyono (2006) menyatakan bahwa sejarah pembentukan gambut di
Indonesia dimulai ketika pada zaman es yaitu terjadi proses penurunan permukaan air laut
(regresi) yang menyebabkan erosi kuat di hulu-hulu sungai. Akibatnya endapan batuan kasar
seperti gravel dan kerikil yang diendapkan di atas sedimen tersier yang menjadi dasar
cekungan gambut. Proses deposisi atau pelapukan bahan organik sebagai bahan pembentuk
gambut dimulai setelah akhir periode Pleistosen sampai periode Holosen (10.000-5.000
tahun yang lalu).
Sejalan dengan meningkatnya permukaan air laut (transgresi) secara perlahan sampai
sekarang. Peningkatan air laut tersebut diiringi dengan peningkatan suhu dan curah hujan di
daerah Sumatra dan Kalimantan, yang menyebabkan batuan di sepanjang pegunungan Bukit
Barisan dan Meratus mengalami pelapukan kimia yang kuat, dan menghasilkan endapan
lempung halus pada garis pantai di pesisir timur Sumatera dan selatan Kalimantan. Garis pantai
tersebutsemakin maju ke arah laut, selanjutnya terbentuklah tanggul-tanggul sungai, meander,
dan rawa-rawa yang segera ditumbuhi oleh tanaman rawa seperti nipah dan bakau yang segera
ditumbuhi oleh tumbuhan hutan rawa. Lingkungan pengendapan yang semula fluvial (bagian
dari alur sungai) berubah menjadi paralik (terpisah dengan sungai dibatasi tanggul) dimana
tumbuhan dan binatang air tawar mulai berkembang. Tumbuhan yang telah mati, roboh dan
sebagian besar terendam, terawetkan dalam rawa-rawa, yang jenuh air dan tidak teroksidasi.
Selanjutnya dengan bantuan bakteri pengurai tumbuhan tersebut terurai menjadi sisa-
sisa tumbuhan yang lebih stabil dan terproses menjadi menjadi endapan organik yang disebut
gambut (peatification). Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap membentuk lapisan
yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan dengan substratum
(lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang
lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara bertahap menbentuk lapisan lapisan gambut,
sehingga danau tersebut menjadi penuh ( Gambar 2.1 a dan b). Bagian gambut tumbuh mengisi
danau dangkal tersebut dikenal sebagai gambut topogen, karena proses pembentukannya
disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen ununnya relatif subur karena
adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar,
terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu
masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen.
Tanaman yang tumbuh dan mati diatas gambut topogen akan
membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah
(dome) gambut yang mempunyai permukaan cembung (gambar 2.1 c).
a. Gambut yang terbentuk di
atas gambut topogen
dikenal dengan gambut
ombrogen, yang proses
pembentukannya
dipengaruhi oleh air hujan.
b. Gambut ombrogen
mempunyai kesuburan
yang lebih rendah
dibandingkan dengan
gambut topogen karena
hampir tidak terdapat
c. pengkayaan mineral.