Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

REHABILITASI PERTANIAN PASCA ERUPSI

BUDIDAYA TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta) DENGAN


PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK PADA LAHAN PASCA ERUPSI

Dosen Pengampu : Ir. Historiawati, M. P.

Disusun oleh :

Listiya Hidayah

1710401096

Agroteknologi C

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TIDAR

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia telah diketahui banyak terdapat gunung berapi yang aktif. Salah
satunya adalah gunung merapi. Dampak dari letusan gunung merapi ini membawa
pasir, abu, lahar dingin, maupun lahar panas ke bawah wilayah sekitar gunung merapi
tersebut. Material letusan tersebut dapat menutup lahan-lahan pertanian di
sekelilingnya, sehingga tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam.
Untuk mengurangi bahaya lahar dingin di daerah yang masih terbuka pelu
dilakukan upaya rehabilitasi, sementara pada daerah petanian yang terpapar endapan
volkanik perlu dilakukan usaha konservasi. Makalah ini antara lain mengemukakan
upaya rehabilitasi dan konservasi tanah pada lahan-lahan terpapar endapan volkanik
pasca erupsi Gunung Merapi. Implementasi teknologi hasil penelitian dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu upaya rehabilitasi dan perbaikan produktivitas
lahan pertanian. Upaya perbaikan lahan meliputi rehabilitasi lahan pasir, konservasi
untuk perbaikan sifat fisik, kimia, dan kualitas tanah.
Konservasi lahan tersebut contohnya adalah dengan penanaman tanaman talas
yang ditambah dengan menggunakan bahan organik. Namun sebelumnya harus
mengetahui sifat tanah secara fisik dan kimia terlebih dahulu di lahan tersebut agar
proses konservasi lahan berjalan dengan baik.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mngetahui cara tentang
pengolahan lahan pasca erupsi dengan budidaya tanaman talas yang ditambah dengan
bahan organik.
BAB 2

PENDAHULUAN

2.1 Tanaman Talas


Talas adalah nama untuk berbagai macam tumbuhan yang lazim ditanam untuk
dimanfaatkan umbi atau daunnya. Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan yaitu
Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia, dari famili Araceae. Keladi, dasheen, taro,
satoimo dan eddo merupakan Colocasia, sedangkan kimpul, yautia, tannia dan
malanga termasuk Xanthosoma, dan sente serta birah adalah Alocasia. Semua
tanaman tersebut dinamakan talas (Nur, 1956).
Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) merupakan salah satu umbi – umbian
yang banyak ditanam di Indonesia. Talas termasuk divisi Spermatophyta, subdivisi
Monocotyledoneae, ordo Aracales, famili Araceae, genus Colocasia, dan spesies
Colocasia esculenta (L.) Schott (Syamsir, 2012). Talas merupakan tumbuhan asli
daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang dapat tumbuh
bertahun – tahun dan banyak mengandung air. Habitat tanaman ini diperkirakan
berasal dari daerah tropis antara India dan Indonesia. Talas merupakan bahan
makanan pokok bagi masyarakat daerah Pasifik, seperti New Zealand dan Australia
(Matthews, 2004).
Pembudidayaan talas dapat dilakukan pada daerah beriklim lembab (curah
hujan tinggi) dan daerah beriklim kering (curah hujan rendah). Curah hujan optimum
untuk pertumbuhan tanaman talas adalah 175 cm per tahun. Tanaman ini mudah
tumbuh pada lingkungan dengan suhu 25 – 30oC, pH 5,5 – 6,5, kelembaban tinggi
dan drainase tanah yang baik. Tanaman talas umumnya dapat tumbuh pada
ketinggian 0 – 1300 m dpl. Talas banyak dibudidayakan di Indonesia karena talas
dapat tumbuh di daerah iklim tropis dan tidak terlalu memerlukan pengairan.
Tanaman ini juga dapat dijadikan sebagai tanaman sela dan dapat tumbuh di daerah
dataran rendah sampai dataran tinggi (Oschse, 1961).
Tanaman talas bereproduksi secara vegetatif, yaitu dengan anakan, sulur, umbi
anak, atau pangkal umbi serta sebagian pelepahnya, karena itulah tanaman ini
memiliki kecenderungan untuk membentuk kultivar dengan ciri – ciri serta syarat
tumbuh yang berbeda – beda (Sastrahidajat, 1991). Talas berbentuk silinder atau
lonjong sampai agak bulat. Kulit umbi talas berwarna kemerahan, bertekstur kasar,
dan terdapat berkas-berkas pertumbuhan akar.
2.2 Tanah Pasca Erupsi
Tanah-tanah eks lahar merupakan abu volkan (pasir, debu, kerikil, dan batu)
dari erupsi Gunung Merapi. Tanah eks lahar termasuk Regosol kelabu (Inceptisol),
berwarna abu-abu, bertekstur pasir berkerikil, struktur tanahnya butir tunggal (masif),
dan konsistensi lepas atau teguh (Idjudin, A, 2011).
Berikut tabel sifat fisik dan kimia tanah pasca erupsi

Hasil analisis sifat fisika tanah eks lahar menunjukkan pori aerasi sangat tinggi
(40%), air tersedia sangat rendah (2-3%). Tanah eks lahar kaya akan unsur hara,
kecuali N. Tetapi unsur hara yang ada merupakan hara-hara yang tidak tersedia bagi
tanaman. Kadar P2O5 dan K2O dalam pelarut Olsen termasuk rendah, daya adsorpsi
tanah dan kation sangat rendah. Hal ini menyebabkan daya memegang pupuk sangat
rendah. Mineral dalam fraksi pasir terdiri dari mineral plagioklas intermedier dan
basa, augit, gelas vulkanis basa, hiperstin, hornblende, magnelit dan lemonit. Faktor
pembatas yang menyebabkan sukarnya vegetasi beradaptasi di daerah eks lahar antara
lain struktur tanah yang buruk, air tersedia sangat rendah, dan unsur hara tersedia
rendah (Idjudin, A, 2011).
Tanah pada lereng atas dan tengah bereaksi agak masam dengan pH 5,60-5,77,
sedangkan pada lereng bawah bersifat masam sampai sangat masam dengan pH 3,36-
5,48. Kadar C-organik pada lereng atas, tengah, dan bawah tergolong rendah sampai
sangat rendah (0,91-1,82%). Kadar N-organik juga termasuk rendah sampai sangat
rendah (0,09-0,13%). Pada lereng atas, tengah, dan bawah, tanah umumnya
mengandung P2O5 tinggi sampai sangat tinggi (7,511-62,49 mg/kg), K2O rendah
sampai sangat rendah (8-14 mg/100 g), KTK sangat rendah (2,29- 5,13 cmol(+)/kg),
dan KB tinggi sampai sangat tinggi (72-87%), kecuali di lereng bawah pada
kedalaman 10-20 cm sebesar 58% (sedang). Dari pengamatan tersebut terlihat
pengolahan tanah dalam sangat diperlukan untuk memudahkan ketersediaan hara bagi
tanaman. Di samping itu, dinamika sifat kimia tanah Kondisi Tanah dan Teknik
Rehabilitasi Lahan Pasca Erupsi Gunung Merapi nampaknya bersifat sementara
karena proses interaksi fisika-kimia tanah masih berlangsung. Proses hidrolisis oleh
air hujan akan memacu perubahan sifat-sifat tanah secara keseluruhan (Idjudin, A,
2011).
2.3 Bahan Organik
Secara kimiawi, proses pelapukan berlangsung dengan adanya bantuan dari
larutan tanah dan asam organik hasil dekomposisi bahan organik tanah
(Hardjowigeno, 2007; Syukur dan Harsono, 2008). Adanya residu bahan organik
yang bersumber dari sisa-sisa pupuk kandang sapi serta gulma yang dibenamkan dan
akar tanaman jagung di dalam kombinasi media tanam akan meningkatkan kadar air
serta kapasitas pegang air di dalam media tanam tersebut, sehingga proses pelapukan
abu vulkanik dapat dipercepat dan melepaskan unsur-unsur hara. Di dalam tanah,
bahan organik berfungsi sebagai pengurai sejumlah mineral melalui pelepasan asam-
asam organik, merekatkan agregat-agregat tanah, bahkan adanya gugus fungsional –
COOH dan –OH akan berperan sebagai penahan dan penukar unsur-unsur hara dalam
bentuk kation (cation holder and exchanger) (Syukur, 2005). Selain itu, kation–kation
hara hasil dari proses penguraian tersebut akan dikonservasi oleh adanya tapak
jerapan yang berasal dari amelioran tanah mineral Inceptisol, karena kandungan liat
dan koloid pada tanah Inceptisol relatif tinggi (Sarief, 1989). Dengan sifat-sifat fisik
media tanam yang lebih baik maka agregat, kelembaban dan porositas akan
meningkat, dan media tanam dapat mendukung lingkungan pertumbuhan yang lebih
baik bagi tanaman (Sutanto, 2005).
Penambahan bahan organik pada tanah berpasir, akan meningkatkan pori yang
berukuran menengah dan menurunkan pori makro sehingga akan meningkatkan
kemampuan menahan air (Atmojo, 2003). Semakin tinggi bahan organik di dalam
media tanam maka daya pegang air pada media tanam akan semakin meningkat.
2.4 Rehabilitasi Lahan Pasca Erupsi
Rehabilitasi adalah upaya pengembangan lahan (land development) yang
bertujuan untuk mengubah lahan yang tidak produktif menjadi tergunakan (usable).
Lahan yang terkena lahar erupsi Gunung Merapi saat ini tidak produktif karena
terbuka/gundul (bare land) dan bila terjadi hujan lebat maka lahar dingin akan datang
mengancam. Dalam hal ini rehabilitasi berarti meningkatkan ketergunaan lahan
(usableness) (Idjudin, A, 2011).
Perbaikan kualitas tanah merupakan nilai dari variabel-variabel yang
memberikan taksiran tentang tanah sehubungan dengan perubahan kondisi tanah oleh
manusia (Notohadiprawiro, 1999). Pengukuran kualitas tanah dilakukan secara
numerik dari sifat-sifat tanah yang mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman di
bawah kondisi lingkungan yang semakin baik. Kualitas tanah tidak dapat diukur
secara langsung, tetapi sifat fisik, kimia, biologi tanah yang mudah berubah karena
pengelolaan dapat digunakan sebagai indikator.
Untuk mengatasi dampak dari kandungan kimia pada debu seperti belerang
(Sulfur), aluminium (Al), dan besi (Fe) yang akan menyebabkan kondisi tanah
menjadi asam (pH rendah) maka upaya yang dapat dilakukan antara lain pemberian
kapur pertanian, sehingga pH tanah menjadi normal kembali dan efek negatif yang
disebabkan kandungan S, Al, dan Fe dapat dikurangi. Bila debu yang jatuh pada
tanah dengan ketebalan lebih dari 5 mm menyebabkan air tidak dapat meresap ke
dalam tanah, maka perlu dilakukan penggemburan tanah agar curah hujan yang jatuh
dapat meresap ke dalam tanah selanjutnya dapat diserap oleh akar tanaman (BPTP
Sumatera Utara,2013).
2.5 Budidaya Tanaman Talas dengan Penambahan Bahan Organik di Lahan Pasca
Erupsi
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan komoditas sayuran yang cepat
beradaptasi adalah bawang daun. Pada lahan pekarangan, jenis tanaman yang dapat
menembus lapisan abu erupsi Gunung Merapi adalah jenis umbiumbian yang
memiliki akar tinggal, seperti pisang dan talas. Pada lahan tegalan, tanaman yang
cepat dan menyesuaikan diri adalah rumput pakan. Tanaman-tanaman ini dapat
tumbuh baik pada lahan tertutup abu yang banyak mengandung air. Kondisi demikian
menyebabkan lahan pertanian pasca-erupsi memerlukan pengolahan tanah yang
teratur. Pengolahan tanah diperlukan untuk memecah lapisan atas yang banyak
mengandung air dan akan efektif apabila pengolahan tanah dilakukan sampai
kedalaman > 30 cm. Hal ini merupakan salah satu cara rehabilitasi lahan untuk
memperbaiki permeabilitas dan pori aerasi tanah. Kaidah konservasi dengan
pengolahan tanah harus dilakukan untuk mempercepat perbaikan lahan (Idjudin, A,
2011).
Berdasarkan hasil kajian Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Karo,
2013, maka rekomendasi sebagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan
fungsi lahan yaitu dengan melakukan pengolahan tanah dengan cara ditraktor untuk
mengurangi pemadatan di permukaan tanah oleh debu vulkanik. Selanjutnya
penambahan bahan organik tanah. Bahan organik tanah biasanya menyusun sekitar
5% bobot total tanah. Meskipun hanya sedikit tetapi memegang peranan penting
dalam menentukan kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologis tanah.
Bahan organik tanah berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan dan
pertumbuhan mikrobia tanah yaitu sebagai sumber energi, hormon, vitamin, dan
senyawa perangsang tumbuh yang nantinya dapat tumbuh di lahan dampak erupsi
Gunung Sinabung. Dalam pengelolaan Bahan organik tanah sumbernya berasal dari
pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang (kotoran ternak yang telah
mengalami dekomposisi), pupuk hijau, pupuk kompos, dan pupuk hayati
(Tonitarigan, Agus, 2015).
Kegiatan pengadaan pupuk organik ini diperuntukkan bagi lahan pertanian
sebagian desa di Kecamatan Naman Teran dan Kecamatan Tiganderket.
Rekomendasi pengelolaan lahan pertanian dan kegiatan-kegiatan yang sudah
dilakukan sebagai upaya untuk rehabilitasi lahan pertanian yang tertutup abu vulkanik
erupsi Gunung Sinabung belum memberikan hasil yang optimal mengingat tanah di
lahan pertanian masih dalam kondisi yang labil karena erupsi Gunung Sinabung yang
terus terjadi hingga saat ini (Tonitarigan, Agus, 2015).
Dengan penambahan bahan organik tanaman talas dimana akar pada tanaman
talas tersebut dapat menembus tanah akan mampu tumbuh dengan baik dikarenakan
penambahan pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap kadungan Mg tertukar
tanah, namun tidak terdapat interaksi antara pengaruh penambahan abu vulkanik
dengan pengaruh penambahan pupuk kandang. Hal ini berarti kedua factor walaupun
masing masing memberikan pengaruh pada Mg-tertukar tanah, namun mekanisme
penambahan masing masing berbeda dalam meningkatkan Mg tertukar tanah.
Penambahan pupuk kandang akan memberikan pengaruh pada pasokan hara Mg
secara langsung hasil dari proses mineralisasi baik didalam rumen sapi maupun
mineralisasi selama pupuk kandang tersebut diberikan (Suntoro dkk, 2014).
Dari pengamatan kadar klorofil tanaman menunjukan bahwa penambahan
pupuk kandang akan meningkatkan kadar klofil daun. Hal ini selaras dengan peran
pupuk kandang yang dapat sebagai sumber N dan P dalam tanah. Dalam tanaman N
sangat penting dalam pembentukan klorofil daun. Fosfor sebagai unit struktural dari
butir hijau daun (klorofil), sebagai penyusun propirin yang sangat penting dalam
metabolisme klorofil. Disamping itu hara fosfor dari pupuk kandang sebagai pemasok
hara fosfor dalam tanaman mempunyai peran yang sangat penting dalam penyusunan
klorofil tanaman. Hara fosfor sebagai penyusun fosfolipida dalam grana yang penting
dalam kloroplast (Blair, 1993).
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan penanaman talas pada lahan pasca erupsi dan penambahan bahan
organik akan memberikan dampak positif bagi lahan tersebut dikarenakan akar dari
tanaman talas ini mampu menembus tanah yang tertutup oleh abu vulkanik. Seperti
yang telah diketahui bahwa bahan organik mampu menaikkan pH tanah, menambah
pori makro sehingga daya serap simpan air lebih tinggi, dan dapat menambah unsur
hara.
DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, S.W. 2003. Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Disertasi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara. 2013. Rekomendasi


Kebijakan Mitigasi Dampak Erupsi Gunung Sinabung Terhadap Sektor
Pertanian.

Blair, G.J. 1993. Plant Nutrition. University of New England.

Hardjowigeno, S. 2007. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika


Pressindo.

Idjudin, A Abas, 2011. Peranan Konservasi Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan.


Jakarta: Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 5 No 2.

Matthews, P. 2004. Genetic diversity in taro and the preservation of culinary


knowledge. Ethnobotany Journal 2:55-57.

Notohadiprawiro T. 1999. Tanah dan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi Departemen Pendididikan dan Kebudayaan.

Nur, M. 1956. Tanaman Talas (Colocasia dan Beberapa Genus yang Lain). Jakarta:
Kementrian Pertanian.

Oschse, J. J., M. J. Soule, M. HJ. Djikman dan C. Wehlburg. 1961. Tropical and
Subtropical Agriculture. Ne York: The Mac Milan Company.

Sarief, S., 1989. Fisika–Kimia Tanah Pertanian. Bandung: CV. Pustaka Buana.

Sastrahidayat, I.R dan Soemarno. 1991. Budidaya Tanaman Tropika. Surabaya:


Usaha Nasional.

Suntoro dkk. 2014. Dampak Abu Vulkanik Erupsi Gunung Kelud Dan Pupuk
Kandang Terhadap Ketersediaan Dan Serapan Magnesium Tanaman Jagung Di
Tanah Alfisol. Jurnal ilmu tanah agroklimatologi. 11 (2) 2014.

Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Yogyakarta:


Kanisius.

Syamsir, E. 2012. Talas Andalan Bogor. Bogor: Kulinologi Indonesia.


Syukur, A. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Sifat-sifat Tanah dan
Pertumbuhan Caisim di Tanah Pasir Pantai. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan. 5 (1): 30-38.

Syukur, A. & Harsono E.S. 2008. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan NPK
terhadap Beberapa Sifat Kimia dan Fisika Tanah Pasir Pantai SamasBantul.
Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 8 (2): 138-145.

Tim Lembaga Penelitian Tanah. 1978. Laporan Penelitian dan Pengembangan


Tekink Konservasi Tanah di Daerah Eks Lahar Gunung Merapi. Proyek Survey
Pengukuran Persiapan Penanggulangan Akibat Bencana Banjir.

Tonitarigan, Agus. 2015. Rehabilitasi Lahan Pertanian Tertutup Abu Vulkanik Erupsi
Gunung Sinabung. Jurnal pertanian tropik. Vol. 2, No. 3. Desember 2015.
(26) : 220- 227

Anda mungkin juga menyukai