Anda di halaman 1dari 13

1

PEMANFAATAN SUMBERDAYA BIOLOGIS LOKAL DALAM


PENGENDALIAN PASIF AIR ASAM TAMBANG
DI UNIT PERTAMBANGAN TANJUNG ENIM (UPT) PT TAMBANG
BATUBARA BUKIT ASAM (PERSERO) Tbk.

Ali Munawar
1)
dan Nugraha Hakim
2)


1)
Laboratorium Ilmu Tanah, Universitas Bengkulu, Peneliti AAT di UPT
2)
Manajer Perencanaan Lingkungan UPT

Air asam tambang (AAT) merupakan salah satu persoalan lingkungan utama yang
dihadapi oleh industri batubara. Karena tingkat kemasaman dan konsentrasi logam
larutnya yang tinggi, AAT dapat mencemari lingkungan, terutama ekosistem akuatik.
Banyak teknik pengendalian AAT yang dikembangkan, namun dalam tiga dekade
terakhir pengendalian pasif semakin berkembang dibandingkan dengan pengendalain
aktif. Salah satu teknik pengendalian pasif adalah lahan basah buatan..
Komponen penting lahan basah buatan adalah sumberdaya biologis, yakni
bahan/substrat organik, tumbuhan air, dan mikroba. Substrat organik di samping
menjadi penjerap/pengkelat logam-logam larut, juga berfungsi sebagai sumber enerji
bakteri pereduksi sulfat (BPS) yang menghasilkan sulfida, yang kemudian
menyebabkan terjadinya pengendapan logam-sulfida. Tumbuhan air berfungsi untuk
konsolidasi substrat, tempat hidup mikroba, dan menyerap logam, serta beberapa fungsi
ekologis. Ketiga sumberdaya biologis ini tersedia di sekitar lokasi PT Tambang
Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk (PT BA). Oleh karena itu, PTBA sedang
merintis pengembangan lahan basah buatan. Sebuah penelitian, yang saat ini masih
berlangsung, bertujuan untuk mendapatkan substrat organik, tumbuhan air, dan BPS
untuk pembangunan lahan basah. Beberapa jenis bahan organic, yakni bark, gambut,
pupuk kandang, dan sludge dikaji karakteristik dan responnya terhadap AAT. Bakteri
pereduksi sulfat (BPS) diisolasi dari lumpur-AAT dan dikembangbiakkan untuk
diinokulasikan ke dalam substrat. Beberapa jenis tumbuhan air yang tumbuh di
lingkungan lokasi penambangan dikumpulkan untuk diseleksi jenis-jenis yang toleran
terhadap tingkat kemasaman tinggi.
Data menunjukkan bahwa bahan/substrat organik mempunyai sifat berbeda.dan
mempunyai respon berbeda terhadap pemberian AAT. Secara keseluruhan pupuk
kandang tampak paling potensial untuk menjadi substrat pada lahan basah buatan, yang
ditandai dengan pH dan Ec tinggi, dan aktivitas jasad renik yang lebih tinggi (Eh
rendah). Inokulasi BPS dari marga Desulfovibrio, Desulfotomaticulum, Desulfarculus,
Desulfofacirum, Sulforospririllum, dan Deslulfococcus yang diisolasi lumpur-AAT
tampaknya dapat membantu proses reduksi sulfat dalam AAT. Beberapa jenis tumbuhan
air dari genus Cyperus, Eleocharis, Fimbristylis, Pennisetum, dan Phragmites
ditemukan tumbuh baik di sekitar lokasi penambangan berpotensi untuk digunakan
dalam lahan basah buatan. Data tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya biologis,
seperti limbah organik, tumbuhan air, dan bakteri pereduksi sulfat yang berada atau
tersedia di sekitar lokasi penambangan berpotensi menjadi bahan untuk pengendalian
pasif AAT.

Kata-kata kunci: air asam tambang, bakteri pereduksi sulfat, lahan basah buatan,
substrat organik, sumberdaya biologis, tumbuhan air.
2
PENDAHULUAN


Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi oleh industri batubara adalah adanya air
asam tambang (AAT). AAT terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida, terutama
pirit (FeS
2
) yang menghasilkan asam sulfat (Sexstone et al., 1999; Skousen et al.,
1999). Kemasaman yang tinggi dapat melarutkan mineral-mineral lain dan melepaskan
kation-kation, seperi Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg. Jika terbawa ke sumber air,
AAT mendegradasi produktivitas biologis sistem akuatik tersebut. Jika parah, maka air
menjadi tidak aman konsumsi dan penggunaan lain, seperti irigasi, industi, dan rekreasi
(Widdowson, 1990). Oleh karena itu, AAT harus menjadi perhatian serius.
Sejumlah teknik telah lama dikembangkan dan diterapkan di banyak negara
(Skousen et al., 1998). Secara garis besar teknik-teknik tersebut dibedakan menjadi dua,
yakni perlakukan aktif (active treatment) dan perlakukan pasif (passive treatment).
Perlakuan aktif dilakukan dengan pemberian kemikalia alkalin untuk meningkatkan pH
dan menurunkan kelarutan logam (Skousen et al., 1990). Di Amerika Serikat (USA)
industri pertambangan menghabiskan $1 juta dolar per hari untuk perlakukan aktif ini
(Kleinman, 1990; Evangelou, 1995). Prinsip perlakukan pasif adalah membiarkan reaksi
kimia dan biologi berlangsung secara alami. Skousen dan Ziemkiewicz (1996)
menyatakan bahwa perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan
intensif. Oleh karenanya, dalam dalam lebih dari dua dekade terakhir penggunaan
metode pasif (passive treatment) terus meningkat.
Pengendalian pasif AAT sangat beragam, di antaranya adalah lahan basah
buatan (constructed wetland) (Faulkner dan Skousen, 1994). Pada teknik ini
bahan/substrat, tumbuhan air, dan mikrobia memegang peranan penting. Substrat,
seperti berbagai jenis bahan organik dapat menghambat oksidasi pirit melalui
mekanisme, antara lain (1) konsumsi oksigen oleh bakteri selain Thiobacillus
ferrooxidans dan T. thiookxidans, (2) pengambilan Fe
III
dari larutan melalui
kompleksasi, dan (3) pembentukan kompleks pirit-Fe
II
-humat (Evangelou, 1995; Ditch
dan Karathanasis, 1994). Tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi
atau manfaat penting, seperti (1) Konsolidasi substrat - akar tanaman memegang
substrat bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland; (2) Simulasi
proses jasad renik-tanaman menyediakan tapak (site) untuk menempelnya mikroba,
mengeluarkan oksigen dari akarnya, dan menyediakan sumber bahan organik untuk
mikroba heterotrof; (3) Habitat satwa liar - tanaman memasok pakan dan perlindungan
bagi hewan; (4) Estetika - lahan basah dengan pertanamannya lebih enak dipandang
mata; dan (5) akumulasi logam (Skousen et al. 1996). Surface et al., (1993) mengatakan
bahwa akar tanaman sebagai permukaan jerapan Fe dan logam-logam lain, dan
penyaring logam (Surface et al., 1993; Demchik dan Garbutt, 1999). Selain itu, tanaman
mempunyai fungsi ekologis, yakni penyimpan karbon (C) dan nitrogen (N), sehingga
lahan basah mengurangi emisi C ke atmosfer menurut (Wetzel, 1993)
Penerapan teknik pengendalaian pasif di Indonesia pada saat ini masih sangat
terbatas, antara lain karena belum cukup tersedia informasi mengenai teknik-teknik
pengendalian AAT. Oleh karena itu, kajian mendasar mengenai pengendalian AAT
sangat diperlukan, sehingga didapatkan teknik pengendalian yang tepat pada industri
batubara atau industri pertambangan yang lain di Indonesia. Untuk itulah, melalui
kerjasama dengan PT Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk UPT Tanjung Enim,
3
Sumatera Selatan, penulis melakukan penelitian untuk merintis pengembangan lahan
basah buatan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dasar tentang sifat-sifat
beberapa bahan/susbstrat organik, mendapatkan jenis-jenis tumbuhan air dan bakteri
pereduksi sulfat yang toleran terhadap cekaman kemasaman tinggi; serta kemampuan
sumberdaya bilogis tersebut mengurangi tingkat kemasaman AAT dan menurunkan
konsentrasi logam-logam larutnya.



BAHAN DAN METODE


Penelitian ini terdiri dari tiga kelompok percobaan, yakni (1) Isolasi, identifikasi, dan
perbanyakan bakteri pereduski sulfat (BPS), (2) Inkubasi anaerobik substrat organik,
dengan AAT (pH 3,80 dan Ec 1090 uS/cm), dan (3) Seleksi jenis tumbuhan air yang
tahan terhadap cekaman kemasaman tinggi.

Isolasi, identifikasi, dan perbanyakan bakteri pereduksi sulfat (BPS).
Bakteri disolasi dari sampel Lumpur-AAT, yang diambil dari kolam pengendapan di KP
Bangko Pit 3, pada media Baars. Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop, yang
dibantu dengan mikrometer dan reaksi gram. Perbanyakan inokulum BPS dilakukan
dengan medium Baars cair dan agar pemadat. BPS yang mempunyai populasi > 10
8
cpv/g AAT digunakan untuk inokulasi pada percobaan Inkubasi Anaerobik. Semua
tahap kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu.


Inkubasi Anaerobik.
Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat beberapa jenis limbah organik,
yakni bark, sludge, pupuk kandang, dan gambut maupun campurannya, yang terkait
denga kemampuan bahan menurunkan kemasaman AAT dan kelarutan logam.
Bark dan sludge berasal dari pabrik pembuatan bahan kertas (pulp) PT Tanjung
Enim Lestari yang terlokasi 100 km dari Tanjung Enim. Pupuk kandang masak
didapatkan dari petani peternak ayam potong di Muara Enim, sedangkan gambut jenis
saprik didapatkan dari Kotamadia Bengkulu. Agar mendapatkan ukuran bahan yang
seragam, ke empat substrat tersebut disaring melalui 5 mm mata-saring. Untuk
mengetahui sifat-sifat masing-masing substrat, sebanyak 250 g substrat individual
dimasukkan ke dalam wadah platik (toples) bervolume 1 L, kemudian ditambahkan 750
mL akuades, kecuali bark. Karena volume per satuan bobotnya tinggi, khusus bark
ditempatkan dalam wadah bervolume 2 L dan ditambahkan 1250 mL akuades. Untuk
percobaan inkubasi substrat, dilakukan pencampuran bahan berbobot total 250 g dalam
wadah plastik, yang terdiri sebagai berikut: 75% sludge + 25% bark, 75% sludge + 25%
gambut, 50% sludge + 50% bark, 50% sludge + 50% gambut, 50% sludge + 25% bark
+ 25% pupuk kandang, dan 75% sludge + 25 pupuk kandang. Bahan campuran, yang
masing-masing terdiri dari tiga ulangan, dibuat dua kelompok. Kepada satu kelompok
ditambahkan 750 mL AAT dan kepada kelompok yang lain ditambahkan 750 mL AAT
dan 20 mL inokulan BPS. Bahan tersebut dicampur dengan baik dan wadah plastik
4
ditutup rapat. Bahan ditempatkan di atas meja di dalam ruangan ZONDER milik Bagian
Pengelolaan Lingkungan, PT Batubara PT Bukit Asam, Tanjung Enim. Pengukuran
tingkat kemasaman tanah (pH), potensial redoks (Eh), dan konduktivitas listrik (Ec)
dilakukan setelah dibiarkan selama 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan satu minggu.
Selanjutnya, pengukuran yang sama dilakukan setiap 2 minggu sampai dengan sekitar 3
bulan. Untuk keperluan seminar ini, data yang disajikan adalah sebagian data yang
diperoleh pada minggu pertama percobaan.


Seleksi Tumbuhan Air Tahan Cekaman Kemasaman
Percobaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan jenis-jenis tumbuhan yang tahan
terhadap cekaman kemasaman tanah tinggi AAT. Sebanyak 15 jenis tumbuhan air yang
didapatkan dari wilalayh penambangan dibagi menjadi dua kelompok. Satu jenis
tumbuhan air ditanam pada media 10 kg Lumpur dalam ember plastik dan digenangi
terus menerus dengan AAT setinggi 2-4 cm, sedangkan kelompok yang lain digenangi
dengan air biasa. Untuk menghindari pengaruh air hujan, semua tumbuhan ditempatkan
dalam lahan beratap plastik transparan di lokasi Kebun Pembibitan, Bagian Pengelolaan
Lingkungan PT BA. Pengukuran tinggi dilakukan setiap dua minggu sekali, sampai
tumbuhan berumur sekitar empat bulan. Di akhir percobaan, semua bagian tanaman
(bagian atas dan akar) dipanen untuk diketahui bobot kering brangkasannya. Tanaman
yang tumbuh bagus dengan biomasa tinggi dan perakaan intensif akan dipilih menjadi
sumberdaya potensial untuk percobaan lahan basah. Karena pada saat naskah ini ditulis
pengukuran tinggi baru dilakukan pada taraf awal pertumbuhan, maka data belum dapat
disajikan secara lengkap.




HASIL DAN DISKUSI


Isolasi, identifikasi, dan perbanyakan bakteri pereduksi sulfat (BPS).
Dari isolasi, identifikasi yang dilakukan, maka dari Lumpur-AAT diperoleh beberapa
jenis bakteri pereduski sulfat dari marga sebagai berikut sebagai berikut: Desulfovibrio,
Desulfotomaticulum, Desulfarculus, Desulfofacirum, Sulforospririllum, dan
Deslulfococcus. Sampai saat ini identifikasi sampai tingkat jenis (spesies) masih belum
selesai. Kelompok bakteri tersebut di atas bersama-sama digunakan untuk inokulasi
pada percobaan Inkubasi Anaerobik.


Inkubasi Anaerobik.
Data pH, Eh, dan Ec individual substrat yang diberi air dan AAT tercantum dalam Tabel
1. Dari tabel tersebut tampak bahwa jenis-jenis substrat organik mempunyai sifat yang
berbeda, dan memberikan respon yang berbeda terhadap pemberian AAT. Sludge dan
pupuk kandang secara konsisten mempunyai pH yang relatif tinggi, baik dengan air
maupun AAT. Pupuk kandang mempunyai Ec yang paling tinggi, diikuti oleh sludge,
bark, dan gambut. Ec tinggi mengindikasikan bahwa pupuk kandang mempunyai tapak
jerapan tinggi dan kaya nutrisi untuk pertumbuhan mikroba. Perubahan Eh yang sangat
5
drastis dan sangat rendah pada pupuk kandang baik dengan air dan AAT menandakan
bahwa mikroba tumbuh subur mengkonsumsi O2, dan merupakan indikasi bahwa bahan
ini mengandung bakteri pereduksi sulfat. Dengan demikian maka pupuk kandang
mempunyai sangat potensial menjadi komponen substrat dalam lahan basah buatan.
Dibandingkan dengan bark dan gambut, tampaknya sludge mempunyai sifat-sifat yang
agak mendekati pupuk kandang, bahkan mempunyai pH yang paling tinggi daripada
bahan yang lain. Dengan demikian sludge berpotensi menjadi komponen substrat lahan
buatan. Bark mempunyai sifat-sifat yang lebih baik daripada gambut sebagai komponen
substrat lahan buatan, dengan pH dan Ec yang lebih tinggi dan aktivitas mikroba yang
lebih tinggi (dengan Eh yang lebih rendah).
Data pH, Eh, dan Ec substrat organik campuran dalam AAT pada Tabel 2 semakin
memperkuat fakta yang dikemukakan di atas. Substrat campuran yang mengandung
pupuk kandang secara konsisten mempunyai pH dan Ec tinggi, dan aktivitas
mikrobanya paling tinggi (Eh semakin negatif). Hal yang menarik dari Tabel 2 adalah
bahwa meskipun pupuk kandang mempunyai porsi rendah (25%), tampaknya perannya
terhadap kualitas substrat tetap nyata. Pada porsi 25% bersama sludge dan bark atau pun
bersama sludge saja, substrat campurannya secara konsisten mempunyai pH dan Ec
tinggi, bahkan aktivitas mikrobanya sudah tampak lebih awal, yakni pada pengamatan
ke-dua (Eh negatif sudah tampak pada pengamatan). Pengamatan bau menunjukkan
bahwa bau sangat menyengat dijumpai pada bahan campuran yang mengandung pupuk
kandang. Meskipun kadarnya lebih rendah daripada pupuk kandang, fenomena pada
pupuk kandang dijumpai pada substrat yang mengandung sludge.
Indikasi adanya pengaruh inokulasi BPS terhadap aktivitas reduksi sulfat dapat
diamati pada Tebel 2. Nilai Eh pada substrat campuran yang diinokulasi BPS secara
konsisten lebih rendah atau lebih negatif daripada yang tidak diinokulasi. Meskipun
belum tersedia data analisis perubahan sulfat menjadi sulfida, penulis menduga keras
bahwa hal tersebut benar-benar telah terjadi. Hal ini didukung oleh data lain pada Tabel
2, bahwa nilai Ec pada sebagian besar susbstrat yang diinokulasi BPS secara konsisten
lebih rendah daripada yang tidak diinokulasi. Ini berarti bahwa telah terjadi
pengendapan garam akibat inokulasi BPS, yang kemungkinan besar garam-garam
sulfida.
Di dalam memilih bahan/substrat untuk komponen lahan basah, di samping sifat-
sifat kimia dan biologis bahan/substrat secara individual maupun substrat campuran
sebagimana diuraikan di atas, sifat fisik bahan terutama terkait dengan konduktivitas
jenuh bahan harus dipertimbangkan. Karena percobaan masih pada tahap awal, maka
belum dapat diamati secara baik sifat fisik bahan tersebut. Namun, pengamatan visual
menunjukkan bahwa bark merupakan bahan ringan dan kaya akan serabut (C/N rasio
tinggi), sehingga cenderung mengapung di permukaan cairan. Oleh karena itu bahan ini
sulit bercampur jika merupakan bahan yang dominan.

Seleksi Tumbuhan Air Tahan Cekaman Kemasaman
Karena pada saat naskah ini ditulis proses determinasi jenis tumbuhan belum seluruhnya
selesai, maka data belum dapat ditampilkan secara lengkap. Dari yang sudah dikerjakan
diperoleh data bahwa sebagian besar tumbuhan air yang dijumpai di sekitar daerah
penambangan PTB BA tergolong ke dalam marga Cyperus, Eleocharis, Fimbristylis,
Pennisetum, dan Phragmites. Pengamatan visual terhadap pertumbuhan pada percobaan
pot menunjukkan bahwa sebagian besar tumbuhan dapat tumbuh baik pada media
lumpur yang digenangi air biasa maupun AAT. Tumbuhan yang hidup baik, mempunyai
6
biomasa tinggi dan perakaran intensif akan digunakan untuk percobaan lahan basah
buatan.


KESIMPULAN


Dari data dan uraian di depan dapat diambil kesimpulan bahwa: 1) jenis bahan/substrat
organik mempunyai sifat-sifat yang berbeda dalam kaitannya sebagai komponen lahan
basah, 2) pupuk kandang maupun substrat campurannya sangat potensial untuk menjadi
komponen lahan basah, sedangkan gambut merupakan bahan yang paling kurang
menjanjikan, 3) Beberapa jenis bakteri pereduksi sulfat dari marga yang didapatkan dari
lumpur-AAT dapat diinokulasikan ke dalam substrat organic untuk membantu proses
reduksi sulfat, dan 4) Beberapa jenis tumbuhan air dari marga Cyperus, Eleocharis,
Fimbristylis, Pennisetum, dan Phragmites berpotensi untuk digunakan dalam lahan
basah buatan.

Karena data yang disajikan dalam naskah ini adalah baru sebagin kecil dari yang akan
dikumpulkan dan masih merupakan bagian awal dari proses penelitian yang masih akan
berlangsung cukup lama, maka kesimpulan ini masih bersifat sementara atau indikatif.



UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan ke Sekretariat Riset Unggulan Terpadu (RUT)
Kantor Menristek, Jakarta, yang telah menyediakan dana penelitian lewat RUT XI,
kepada Pimpinan dan staf PT Tambang Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk,
Tanjung Enim, yang telah memberikan dukungan fasilitas yang sangat baik bagi
terselenggaranya penelitian, dan kepada Dekan Fakultas Pertanin, Universitas
Bengkulu, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan sebagian
penelitian RUT XI di lokasi PT Tambang Batubara Bukit Asam.
















7
DAFTAR PUSTAKA


Brix, H. 1993. Waste treatment in constructed wetlands: System Design, Removal
Process, and Treatment Performance. In G. A. Moshiri. 1993. Constructed
Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers. Boca Raton. p:9-
22.

Demchik, M. dand K. Garbutt. 1999. Growth of woolgrass in acid mine drainage. J.
Environ. Qual. 28:243-249.

Ditch, D.C., and A.D. Karathanasis. 1994. Wtlands: Mechanisms for Treating Acid
Mine Drainage, Agronomy Notes. University of Kentucky, Kentucky State
University, U.S. Departementof Agriculture, and Kentucky Counties
Cooperating.

Evangelou, V.P. (Bill). 1995. Pyrite oxidation and control. CRC Press, Boca Raton.
285p+.

Faulkner, B.B. and J.G. Skousen. 1994. Treatment of acid mine drainage by passive
treatment systems. In: Proceedings, International Land Reclamation and
Mine Drainage Conference, April 24-29. USDI, Bureau of Mine SP 064A-
94, Pittsburgh, PA.

Kleinmann, R.L.P. 1990. Acid mine drainage in the United States. In: Proceedings,
First Midwestern Region Rclamation Conference, Southern Illinois University,
Carbondale, IL.

Skousen, J.G., and P. Ziemkiewicz. 1996. Acid mine drainage control and treatment.
2
nd
ed. West Virginia and National Mine Land Reclamation Center,
Morgantown, West Virginia. 362p+

Sexstone, J., J.G. Skousen, J. Calabrese, D.K. Bhumbla, J. Cliff, J.C. Sencindiver,
and G.K. Bissonnette. 1999. Iron removal from acid mine drainage by wetland.
In 1999 Proceedings of American Society for Surface Mining and Reclamation
(ASSMR) 16
th
Annual Meeting In Conjunction with Wetern Region Ash Group
2
nd
Annual Forum: Mining and Reclamation for the Next Millennium,
Scottsdale, Arizona, August 13-19, 1999. Volume 2:609-620.

Skousen, J., A. Sexstone, K. Garbutt, and J. Sencinder. 1996. Passive treatment of
acid mine drainage. In J. G. Skousen and P. F. Ziemkiewicz. (Comp.). Acid
mine drainage control and treatment. 2
nd
ed. West Virginia University and the
National Mine Land Reclamation Ceenter, Morgantown, WV. p: 249-260.

Skousen, J., A. Sexstone, J. Cliff, P. Sterner, J. Calabrese, and P. Ziemkiewicz.
1999. Acid mine drainage treatment with a combined wetland/anoxic limestone
drain: Greenhouse and Field Systems. In 1999 Proceedings of American Society
for Surface Mining and Reclamation (ASSMR) 16
th
Annual Meeting in
8
Conjunction with Wetern Region Ash Group 2
nd
Annual Forum: Mining and
Reclamation for the Next Millennium, Scottsdale, Arizona, August 13-19, 1999.
Volume 2:621- 633.

Surface, J.M., J.H. Peverly, T.S. Steenhuis, W.E. Sanford. 1993. Effect of season,
substrat composition, and plant growth on landfill leachate treatment in a
constructed wetland. In G. A. Moshiri. 1993. Constructed Wetlands for Water
Quality Improvement. Lewis Publishers. Boca Raton. p:461-472

Wetzel, R.G. 1993. Constructed wetlands: Scientific Foundations Are Critical. In G.
A. Moshiri. 1993. Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis
Publishers. Boca Raton. p:3-7.

Widdowson, J.P. 1990. The impacts of surface mining activities on soil and water.
In T. F. Rijnberg (Ed.). Proceedings of the Joint Seminar on Environmental
Impacts of Mining in Watersheed Management. Bogor and Tanjung Enim,
November 5-14
th
., 1990. hal: 34-58










9
1
Tabel 1. Perubahan pH, Eh, dan Ec substrat organik individual di dalam air dan AAT

Substrat Organik
Individual

pH *)

Eh (mV)

Ec (uS/cm)

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Bark + H
2
O

6,66

6,12

6,71

6,82

225

75

DTT

37

284

DTT

491

494

Bark + AAT

5,65

6,17

6,66

6,28

296

96

-14

- 74

1610

1540

1650

1380

Gambut + H
2
O

4,61

4,58

5,14

5,07

279

221

232

190

230

287

168

240

Gambut + AAT

4,04

4,25

5,46

5,16

378

300

31

55

1463

1290

1021

1520

Pupuk Kandang + H
2
O

6,57

6,92

7,13

7,01

154

- 38

- 239

- 289

7880

8597

7340

9600

Pupuk Kandang + AAT

6,62

6,83

7,13

6,90

155

38

- 255

-299

7543

9643

8820

7235

Sludge + H
2
O

7,19

7,51

7,50

7,43

81

77

- 188

- 221

387

773

1687

1973

Sludge + AAT

6,95

7,32

7,46

7,38

138

99

- 85

- 165

2093

2593

2356

3603

Catatan: *) Angka 1, 2. 3. dan 4 masing-masing menunjukkan pengamatan setelah 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan 1 minggu inkubasi.
DTT = Data Tidak Tersedia





2

Tabel 2. Perubahan pH, Eh, dan Ec substrat organik campuran dalam AAT.

Subastrat Organik
Campuran

pH *)

Eh (mV)

Ec (uS/cm)

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
75% Sludge
+ 25% Bark + AAT

6,70

7,12

7,39

7,43

144

77

- 32

- 53

2760

3313

2200

3113
75% Sludge
+ 25% Bark + AAT + BPS

6,78

7,16

7,39

7,41

110

60

- 114

- 110

2373

2813

1939

3237
75% Sludge
+ 25% Gambut + AAT

6,62

7,02

7,33

7,32

133

96

- 56

- 102

2270

2565

2163

3023
75% Sludge
+ 25%Gambut + AAT + BPS

6,65

6,99

7,19

7,23

102

26

- 128

- 151

2230

2413

2277

3177
75% Pupuk Kandang
+ 25% Bark + AAT

6,41

6,78

6,84

6,76

167

116

- 173

- 237

7213

84933

6437

7960
75% Pupuk Kandang
+ 25% Bark + AAT + BPS

6,61

6,90

6,83

6,87

109

89,67

- 208

- 249

4940

9357

5850

8387
75% Pupuk Kandang
+ 25% Gambut + AAT

6,14

6,56

5,78

6,51

185

117

- 243

- 235

5327

6893

8247

8013
75% Pupuk Kandang,
25%Gambut + AAT + BPS

6,19

6,55

6,91

6,80

235

73

- 196

- 266

6523

7767

6230

8310
50% Sludge
+ 50% Bark + AAT

5,97

6,98

7,07

7,40

278

152

- 96

- 164

2203

2673

2052

2870
50% Sludge
+ 50% Bark + AAT + BPS

6,23

6,89

6,98

7,37

258

143

- 84

- 197

2480

2587

1861

2740
50% Sludge
+ 50% Gambut + AAT

6,17

6,49

7,09

7,05

203

144

- 50

- 88

2133

2403

1796

2623
50% Sludge
3
+ 50%Gambut + AAT + BPS 6,28 6,59 6,77 6,88 171 74 - 114 - 122 2010 2390 2243 2377
50% Pupuk Kandang
+ 50% Bark + AAT

6,13

6,56

6,64

6,59

220

50

- 174

- 231

3727

4617

5896

5413
50% Pupuk Kandang
+ 50% Bark + AAT + BPS

6,32

6,71

6,48

6,86

164

65

- 154

- 231

4913

6000

4927

6380
50% Pupuk Kandang
+ 50% Gambut + AAT

5,98

6,24

6,98

6,98

221

141

- 166

- 189

3740

5733

4253

5670
50% Pupuk Kandang
+50%Gambut + AAT + BPS

5,98

6,36

6,87

6,99

185

108

- 189

- 216

4260

5367

4280

5027
50% Sludge + 25% Bark +
25% Pupuk Kandang + AAT

6,47

7,08

DTT

DTT

173

- 9

DTT

DTT

4850

5250

DTT

DTT
50% Sludge + 25% Bark +25%
Pupuk Kandang + AAT + BPS

6,59

7,15

DTT

DTT

168

- 21

DTT

DTT

5130

5050

DTT

DTT
75% Sludge + 25% Pupuk
Kandang + AAT

6,70

7,35

DTT

DTT

197

- 36

DTT

DTT

5450

5770

DTT

DTT
75% Sludge + 25% Pupuk
Kandang + AAT + BPS

6,71

7,45

DTT

DTT

182

- 65

DTT

DTT

5830

6020

DTT

DTT

Catatan: *) Angka 1, 2. 3. dan 4 masing-masing menunjukkan pengamatan setelah 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan 1 minggu inkubasi.
DTT = Data Tidak Tersedia
1

Anda mungkin juga menyukai