PENGENDALIAN PASIF AIR ASAM TAMBANG DI UNIT PERTAMBANGAN TANJUNG ENIM (UPT) PT TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PERSERO) Tbk.
Ali Munawar 1) dan Nugraha Hakim 2)
1) Laboratorium Ilmu Tanah, Universitas Bengkulu, Peneliti AAT di UPT 2) Manajer Perencanaan Lingkungan UPT
Air asam tambang (AAT) merupakan salah satu persoalan lingkungan utama yang dihadapi oleh industri batubara. Karena tingkat kemasaman dan konsentrasi logam larutnya yang tinggi, AAT dapat mencemari lingkungan, terutama ekosistem akuatik. Banyak teknik pengendalian AAT yang dikembangkan, namun dalam tiga dekade terakhir pengendalian pasif semakin berkembang dibandingkan dengan pengendalain aktif. Salah satu teknik pengendalian pasif adalah lahan basah buatan.. Komponen penting lahan basah buatan adalah sumberdaya biologis, yakni bahan/substrat organik, tumbuhan air, dan mikroba. Substrat organik di samping menjadi penjerap/pengkelat logam-logam larut, juga berfungsi sebagai sumber enerji bakteri pereduksi sulfat (BPS) yang menghasilkan sulfida, yang kemudian menyebabkan terjadinya pengendapan logam-sulfida. Tumbuhan air berfungsi untuk konsolidasi substrat, tempat hidup mikroba, dan menyerap logam, serta beberapa fungsi ekologis. Ketiga sumberdaya biologis ini tersedia di sekitar lokasi PT Tambang Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk (PT BA). Oleh karena itu, PTBA sedang merintis pengembangan lahan basah buatan. Sebuah penelitian, yang saat ini masih berlangsung, bertujuan untuk mendapatkan substrat organik, tumbuhan air, dan BPS untuk pembangunan lahan basah. Beberapa jenis bahan organic, yakni bark, gambut, pupuk kandang, dan sludge dikaji karakteristik dan responnya terhadap AAT. Bakteri pereduksi sulfat (BPS) diisolasi dari lumpur-AAT dan dikembangbiakkan untuk diinokulasikan ke dalam substrat. Beberapa jenis tumbuhan air yang tumbuh di lingkungan lokasi penambangan dikumpulkan untuk diseleksi jenis-jenis yang toleran terhadap tingkat kemasaman tinggi. Data menunjukkan bahwa bahan/substrat organik mempunyai sifat berbeda.dan mempunyai respon berbeda terhadap pemberian AAT. Secara keseluruhan pupuk kandang tampak paling potensial untuk menjadi substrat pada lahan basah buatan, yang ditandai dengan pH dan Ec tinggi, dan aktivitas jasad renik yang lebih tinggi (Eh rendah). Inokulasi BPS dari marga Desulfovibrio, Desulfotomaticulum, Desulfarculus, Desulfofacirum, Sulforospririllum, dan Deslulfococcus yang diisolasi lumpur-AAT tampaknya dapat membantu proses reduksi sulfat dalam AAT. Beberapa jenis tumbuhan air dari genus Cyperus, Eleocharis, Fimbristylis, Pennisetum, dan Phragmites ditemukan tumbuh baik di sekitar lokasi penambangan berpotensi untuk digunakan dalam lahan basah buatan. Data tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya biologis, seperti limbah organik, tumbuhan air, dan bakteri pereduksi sulfat yang berada atau tersedia di sekitar lokasi penambangan berpotensi menjadi bahan untuk pengendalian pasif AAT.
Kata-kata kunci: air asam tambang, bakteri pereduksi sulfat, lahan basah buatan, substrat organik, sumberdaya biologis, tumbuhan air. 2 PENDAHULUAN
Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi oleh industri batubara adalah adanya air asam tambang (AAT). AAT terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida, terutama pirit (FeS 2 ) yang menghasilkan asam sulfat (Sexstone et al., 1999; Skousen et al., 1999). Kemasaman yang tinggi dapat melarutkan mineral-mineral lain dan melepaskan kation-kation, seperi Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg. Jika terbawa ke sumber air, AAT mendegradasi produktivitas biologis sistem akuatik tersebut. Jika parah, maka air menjadi tidak aman konsumsi dan penggunaan lain, seperti irigasi, industi, dan rekreasi (Widdowson, 1990). Oleh karena itu, AAT harus menjadi perhatian serius. Sejumlah teknik telah lama dikembangkan dan diterapkan di banyak negara (Skousen et al., 1998). Secara garis besar teknik-teknik tersebut dibedakan menjadi dua, yakni perlakukan aktif (active treatment) dan perlakukan pasif (passive treatment). Perlakuan aktif dilakukan dengan pemberian kemikalia alkalin untuk meningkatkan pH dan menurunkan kelarutan logam (Skousen et al., 1990). Di Amerika Serikat (USA) industri pertambangan menghabiskan $1 juta dolar per hari untuk perlakukan aktif ini (Kleinman, 1990; Evangelou, 1995). Prinsip perlakukan pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami. Skousen dan Ziemkiewicz (1996) menyatakan bahwa perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Oleh karenanya, dalam dalam lebih dari dua dekade terakhir penggunaan metode pasif (passive treatment) terus meningkat. Pengendalian pasif AAT sangat beragam, di antaranya adalah lahan basah buatan (constructed wetland) (Faulkner dan Skousen, 1994). Pada teknik ini bahan/substrat, tumbuhan air, dan mikrobia memegang peranan penting. Substrat, seperti berbagai jenis bahan organik dapat menghambat oksidasi pirit melalui mekanisme, antara lain (1) konsumsi oksigen oleh bakteri selain Thiobacillus ferrooxidans dan T. thiookxidans, (2) pengambilan Fe III dari larutan melalui kompleksasi, dan (3) pembentukan kompleks pirit-Fe II -humat (Evangelou, 1995; Ditch dan Karathanasis, 1994). Tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting, seperti (1) Konsolidasi substrat - akar tanaman memegang substrat bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland; (2) Simulasi proses jasad renik-tanaman menyediakan tapak (site) untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya, dan menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof; (3) Habitat satwa liar - tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi hewan; (4) Estetika - lahan basah dengan pertanamannya lebih enak dipandang mata; dan (5) akumulasi logam (Skousen et al. 1996). Surface et al., (1993) mengatakan bahwa akar tanaman sebagai permukaan jerapan Fe dan logam-logam lain, dan penyaring logam (Surface et al., 1993; Demchik dan Garbutt, 1999). Selain itu, tanaman mempunyai fungsi ekologis, yakni penyimpan karbon (C) dan nitrogen (N), sehingga lahan basah mengurangi emisi C ke atmosfer menurut (Wetzel, 1993) Penerapan teknik pengendalaian pasif di Indonesia pada saat ini masih sangat terbatas, antara lain karena belum cukup tersedia informasi mengenai teknik-teknik pengendalian AAT. Oleh karena itu, kajian mendasar mengenai pengendalian AAT sangat diperlukan, sehingga didapatkan teknik pengendalian yang tepat pada industri batubara atau industri pertambangan yang lain di Indonesia. Untuk itulah, melalui kerjasama dengan PT Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk UPT Tanjung Enim, 3 Sumatera Selatan, penulis melakukan penelitian untuk merintis pengembangan lahan basah buatan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dasar tentang sifat-sifat beberapa bahan/susbstrat organik, mendapatkan jenis-jenis tumbuhan air dan bakteri pereduksi sulfat yang toleran terhadap cekaman kemasaman tinggi; serta kemampuan sumberdaya bilogis tersebut mengurangi tingkat kemasaman AAT dan menurunkan konsentrasi logam-logam larutnya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini terdiri dari tiga kelompok percobaan, yakni (1) Isolasi, identifikasi, dan perbanyakan bakteri pereduski sulfat (BPS), (2) Inkubasi anaerobik substrat organik, dengan AAT (pH 3,80 dan Ec 1090 uS/cm), dan (3) Seleksi jenis tumbuhan air yang tahan terhadap cekaman kemasaman tinggi.
Isolasi, identifikasi, dan perbanyakan bakteri pereduksi sulfat (BPS). Bakteri disolasi dari sampel Lumpur-AAT, yang diambil dari kolam pengendapan di KP Bangko Pit 3, pada media Baars. Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop, yang dibantu dengan mikrometer dan reaksi gram. Perbanyakan inokulum BPS dilakukan dengan medium Baars cair dan agar pemadat. BPS yang mempunyai populasi > 10 8 cpv/g AAT digunakan untuk inokulasi pada percobaan Inkubasi Anaerobik. Semua tahap kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Inkubasi Anaerobik. Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat beberapa jenis limbah organik, yakni bark, sludge, pupuk kandang, dan gambut maupun campurannya, yang terkait denga kemampuan bahan menurunkan kemasaman AAT dan kelarutan logam. Bark dan sludge berasal dari pabrik pembuatan bahan kertas (pulp) PT Tanjung Enim Lestari yang terlokasi 100 km dari Tanjung Enim. Pupuk kandang masak didapatkan dari petani peternak ayam potong di Muara Enim, sedangkan gambut jenis saprik didapatkan dari Kotamadia Bengkulu. Agar mendapatkan ukuran bahan yang seragam, ke empat substrat tersebut disaring melalui 5 mm mata-saring. Untuk mengetahui sifat-sifat masing-masing substrat, sebanyak 250 g substrat individual dimasukkan ke dalam wadah platik (toples) bervolume 1 L, kemudian ditambahkan 750 mL akuades, kecuali bark. Karena volume per satuan bobotnya tinggi, khusus bark ditempatkan dalam wadah bervolume 2 L dan ditambahkan 1250 mL akuades. Untuk percobaan inkubasi substrat, dilakukan pencampuran bahan berbobot total 250 g dalam wadah plastik, yang terdiri sebagai berikut: 75% sludge + 25% bark, 75% sludge + 25% gambut, 50% sludge + 50% bark, 50% sludge + 50% gambut, 50% sludge + 25% bark + 25% pupuk kandang, dan 75% sludge + 25 pupuk kandang. Bahan campuran, yang masing-masing terdiri dari tiga ulangan, dibuat dua kelompok. Kepada satu kelompok ditambahkan 750 mL AAT dan kepada kelompok yang lain ditambahkan 750 mL AAT dan 20 mL inokulan BPS. Bahan tersebut dicampur dengan baik dan wadah plastik 4 ditutup rapat. Bahan ditempatkan di atas meja di dalam ruangan ZONDER milik Bagian Pengelolaan Lingkungan, PT Batubara PT Bukit Asam, Tanjung Enim. Pengukuran tingkat kemasaman tanah (pH), potensial redoks (Eh), dan konduktivitas listrik (Ec) dilakukan setelah dibiarkan selama 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan satu minggu. Selanjutnya, pengukuran yang sama dilakukan setiap 2 minggu sampai dengan sekitar 3 bulan. Untuk keperluan seminar ini, data yang disajikan adalah sebagian data yang diperoleh pada minggu pertama percobaan.
Seleksi Tumbuhan Air Tahan Cekaman Kemasaman Percobaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan jenis-jenis tumbuhan yang tahan terhadap cekaman kemasaman tanah tinggi AAT. Sebanyak 15 jenis tumbuhan air yang didapatkan dari wilalayh penambangan dibagi menjadi dua kelompok. Satu jenis tumbuhan air ditanam pada media 10 kg Lumpur dalam ember plastik dan digenangi terus menerus dengan AAT setinggi 2-4 cm, sedangkan kelompok yang lain digenangi dengan air biasa. Untuk menghindari pengaruh air hujan, semua tumbuhan ditempatkan dalam lahan beratap plastik transparan di lokasi Kebun Pembibitan, Bagian Pengelolaan Lingkungan PT BA. Pengukuran tinggi dilakukan setiap dua minggu sekali, sampai tumbuhan berumur sekitar empat bulan. Di akhir percobaan, semua bagian tanaman (bagian atas dan akar) dipanen untuk diketahui bobot kering brangkasannya. Tanaman yang tumbuh bagus dengan biomasa tinggi dan perakaan intensif akan dipilih menjadi sumberdaya potensial untuk percobaan lahan basah. Karena pada saat naskah ini ditulis pengukuran tinggi baru dilakukan pada taraf awal pertumbuhan, maka data belum dapat disajikan secara lengkap.
HASIL DAN DISKUSI
Isolasi, identifikasi, dan perbanyakan bakteri pereduksi sulfat (BPS). Dari isolasi, identifikasi yang dilakukan, maka dari Lumpur-AAT diperoleh beberapa jenis bakteri pereduski sulfat dari marga sebagai berikut sebagai berikut: Desulfovibrio, Desulfotomaticulum, Desulfarculus, Desulfofacirum, Sulforospririllum, dan Deslulfococcus. Sampai saat ini identifikasi sampai tingkat jenis (spesies) masih belum selesai. Kelompok bakteri tersebut di atas bersama-sama digunakan untuk inokulasi pada percobaan Inkubasi Anaerobik.
Inkubasi Anaerobik. Data pH, Eh, dan Ec individual substrat yang diberi air dan AAT tercantum dalam Tabel 1. Dari tabel tersebut tampak bahwa jenis-jenis substrat organik mempunyai sifat yang berbeda, dan memberikan respon yang berbeda terhadap pemberian AAT. Sludge dan pupuk kandang secara konsisten mempunyai pH yang relatif tinggi, baik dengan air maupun AAT. Pupuk kandang mempunyai Ec yang paling tinggi, diikuti oleh sludge, bark, dan gambut. Ec tinggi mengindikasikan bahwa pupuk kandang mempunyai tapak jerapan tinggi dan kaya nutrisi untuk pertumbuhan mikroba. Perubahan Eh yang sangat 5 drastis dan sangat rendah pada pupuk kandang baik dengan air dan AAT menandakan bahwa mikroba tumbuh subur mengkonsumsi O2, dan merupakan indikasi bahwa bahan ini mengandung bakteri pereduksi sulfat. Dengan demikian maka pupuk kandang mempunyai sangat potensial menjadi komponen substrat dalam lahan basah buatan. Dibandingkan dengan bark dan gambut, tampaknya sludge mempunyai sifat-sifat yang agak mendekati pupuk kandang, bahkan mempunyai pH yang paling tinggi daripada bahan yang lain. Dengan demikian sludge berpotensi menjadi komponen substrat lahan buatan. Bark mempunyai sifat-sifat yang lebih baik daripada gambut sebagai komponen substrat lahan buatan, dengan pH dan Ec yang lebih tinggi dan aktivitas mikroba yang lebih tinggi (dengan Eh yang lebih rendah). Data pH, Eh, dan Ec substrat organik campuran dalam AAT pada Tabel 2 semakin memperkuat fakta yang dikemukakan di atas. Substrat campuran yang mengandung pupuk kandang secara konsisten mempunyai pH dan Ec tinggi, dan aktivitas mikrobanya paling tinggi (Eh semakin negatif). Hal yang menarik dari Tabel 2 adalah bahwa meskipun pupuk kandang mempunyai porsi rendah (25%), tampaknya perannya terhadap kualitas substrat tetap nyata. Pada porsi 25% bersama sludge dan bark atau pun bersama sludge saja, substrat campurannya secara konsisten mempunyai pH dan Ec tinggi, bahkan aktivitas mikrobanya sudah tampak lebih awal, yakni pada pengamatan ke-dua (Eh negatif sudah tampak pada pengamatan). Pengamatan bau menunjukkan bahwa bau sangat menyengat dijumpai pada bahan campuran yang mengandung pupuk kandang. Meskipun kadarnya lebih rendah daripada pupuk kandang, fenomena pada pupuk kandang dijumpai pada substrat yang mengandung sludge. Indikasi adanya pengaruh inokulasi BPS terhadap aktivitas reduksi sulfat dapat diamati pada Tebel 2. Nilai Eh pada substrat campuran yang diinokulasi BPS secara konsisten lebih rendah atau lebih negatif daripada yang tidak diinokulasi. Meskipun belum tersedia data analisis perubahan sulfat menjadi sulfida, penulis menduga keras bahwa hal tersebut benar-benar telah terjadi. Hal ini didukung oleh data lain pada Tabel 2, bahwa nilai Ec pada sebagian besar susbstrat yang diinokulasi BPS secara konsisten lebih rendah daripada yang tidak diinokulasi. Ini berarti bahwa telah terjadi pengendapan garam akibat inokulasi BPS, yang kemungkinan besar garam-garam sulfida. Di dalam memilih bahan/substrat untuk komponen lahan basah, di samping sifat- sifat kimia dan biologis bahan/substrat secara individual maupun substrat campuran sebagimana diuraikan di atas, sifat fisik bahan terutama terkait dengan konduktivitas jenuh bahan harus dipertimbangkan. Karena percobaan masih pada tahap awal, maka belum dapat diamati secara baik sifat fisik bahan tersebut. Namun, pengamatan visual menunjukkan bahwa bark merupakan bahan ringan dan kaya akan serabut (C/N rasio tinggi), sehingga cenderung mengapung di permukaan cairan. Oleh karena itu bahan ini sulit bercampur jika merupakan bahan yang dominan.
Seleksi Tumbuhan Air Tahan Cekaman Kemasaman Karena pada saat naskah ini ditulis proses determinasi jenis tumbuhan belum seluruhnya selesai, maka data belum dapat ditampilkan secara lengkap. Dari yang sudah dikerjakan diperoleh data bahwa sebagian besar tumbuhan air yang dijumpai di sekitar daerah penambangan PTB BA tergolong ke dalam marga Cyperus, Eleocharis, Fimbristylis, Pennisetum, dan Phragmites. Pengamatan visual terhadap pertumbuhan pada percobaan pot menunjukkan bahwa sebagian besar tumbuhan dapat tumbuh baik pada media lumpur yang digenangi air biasa maupun AAT. Tumbuhan yang hidup baik, mempunyai 6 biomasa tinggi dan perakaran intensif akan digunakan untuk percobaan lahan basah buatan.
KESIMPULAN
Dari data dan uraian di depan dapat diambil kesimpulan bahwa: 1) jenis bahan/substrat organik mempunyai sifat-sifat yang berbeda dalam kaitannya sebagai komponen lahan basah, 2) pupuk kandang maupun substrat campurannya sangat potensial untuk menjadi komponen lahan basah, sedangkan gambut merupakan bahan yang paling kurang menjanjikan, 3) Beberapa jenis bakteri pereduksi sulfat dari marga yang didapatkan dari lumpur-AAT dapat diinokulasikan ke dalam substrat organic untuk membantu proses reduksi sulfat, dan 4) Beberapa jenis tumbuhan air dari marga Cyperus, Eleocharis, Fimbristylis, Pennisetum, dan Phragmites berpotensi untuk digunakan dalam lahan basah buatan.
Karena data yang disajikan dalam naskah ini adalah baru sebagin kecil dari yang akan dikumpulkan dan masih merupakan bagian awal dari proses penelitian yang masih akan berlangsung cukup lama, maka kesimpulan ini masih bersifat sementara atau indikatif.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan ke Sekretariat Riset Unggulan Terpadu (RUT) Kantor Menristek, Jakarta, yang telah menyediakan dana penelitian lewat RUT XI, kepada Pimpinan dan staf PT Tambang Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk, Tanjung Enim, yang telah memberikan dukungan fasilitas yang sangat baik bagi terselenggaranya penelitian, dan kepada Dekan Fakultas Pertanin, Universitas Bengkulu, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan sebagian penelitian RUT XI di lokasi PT Tambang Batubara Bukit Asam.
7 DAFTAR PUSTAKA
Brix, H. 1993. Waste treatment in constructed wetlands: System Design, Removal Process, and Treatment Performance. In G. A. Moshiri. 1993. Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers. Boca Raton. p:9- 22.
Demchik, M. dand K. Garbutt. 1999. Growth of woolgrass in acid mine drainage. J. Environ. Qual. 28:243-249.
Ditch, D.C., and A.D. Karathanasis. 1994. Wtlands: Mechanisms for Treating Acid Mine Drainage, Agronomy Notes. University of Kentucky, Kentucky State University, U.S. Departementof Agriculture, and Kentucky Counties Cooperating.
Faulkner, B.B. and J.G. Skousen. 1994. Treatment of acid mine drainage by passive treatment systems. In: Proceedings, International Land Reclamation and Mine Drainage Conference, April 24-29. USDI, Bureau of Mine SP 064A- 94, Pittsburgh, PA.
Kleinmann, R.L.P. 1990. Acid mine drainage in the United States. In: Proceedings, First Midwestern Region Rclamation Conference, Southern Illinois University, Carbondale, IL.
Skousen, J.G., and P. Ziemkiewicz. 1996. Acid mine drainage control and treatment. 2 nd ed. West Virginia and National Mine Land Reclamation Center, Morgantown, West Virginia. 362p+
Sexstone, J., J.G. Skousen, J. Calabrese, D.K. Bhumbla, J. Cliff, J.C. Sencindiver, and G.K. Bissonnette. 1999. Iron removal from acid mine drainage by wetland. In 1999 Proceedings of American Society for Surface Mining and Reclamation (ASSMR) 16 th Annual Meeting In Conjunction with Wetern Region Ash Group 2 nd Annual Forum: Mining and Reclamation for the Next Millennium, Scottsdale, Arizona, August 13-19, 1999. Volume 2:609-620.
Skousen, J., A. Sexstone, K. Garbutt, and J. Sencinder. 1996. Passive treatment of acid mine drainage. In J. G. Skousen and P. F. Ziemkiewicz. (Comp.). Acid mine drainage control and treatment. 2 nd ed. West Virginia University and the National Mine Land Reclamation Ceenter, Morgantown, WV. p: 249-260.
Skousen, J., A. Sexstone, J. Cliff, P. Sterner, J. Calabrese, and P. Ziemkiewicz. 1999. Acid mine drainage treatment with a combined wetland/anoxic limestone drain: Greenhouse and Field Systems. In 1999 Proceedings of American Society for Surface Mining and Reclamation (ASSMR) 16 th Annual Meeting in 8 Conjunction with Wetern Region Ash Group 2 nd Annual Forum: Mining and Reclamation for the Next Millennium, Scottsdale, Arizona, August 13-19, 1999. Volume 2:621- 633.
Surface, J.M., J.H. Peverly, T.S. Steenhuis, W.E. Sanford. 1993. Effect of season, substrat composition, and plant growth on landfill leachate treatment in a constructed wetland. In G. A. Moshiri. 1993. Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers. Boca Raton. p:461-472
Wetzel, R.G. 1993. Constructed wetlands: Scientific Foundations Are Critical. In G. A. Moshiri. 1993. Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers. Boca Raton. p:3-7.
Widdowson, J.P. 1990. The impacts of surface mining activities on soil and water. In T. F. Rijnberg (Ed.). Proceedings of the Joint Seminar on Environmental Impacts of Mining in Watersheed Management. Bogor and Tanjung Enim, November 5-14 th ., 1990. hal: 34-58
9 1 Tabel 1. Perubahan pH, Eh, dan Ec substrat organik individual di dalam air dan AAT
Substrat Organik Individual
pH *)
Eh (mV)
Ec (uS/cm)
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Bark + H 2 O
6,66
6,12
6,71
6,82
225
75
DTT
37
284
DTT
491
494
Bark + AAT
5,65
6,17
6,66
6,28
296
96
-14
- 74
1610
1540
1650
1380
Gambut + H 2 O
4,61
4,58
5,14
5,07
279
221
232
190
230
287
168
240
Gambut + AAT
4,04
4,25
5,46
5,16
378
300
31
55
1463
1290
1021
1520
Pupuk Kandang + H 2 O
6,57
6,92
7,13
7,01
154
- 38
- 239
- 289
7880
8597
7340
9600
Pupuk Kandang + AAT
6,62
6,83
7,13
6,90
155
38
- 255
-299
7543
9643
8820
7235
Sludge + H 2 O
7,19
7,51
7,50
7,43
81
77
- 188
- 221
387
773
1687
1973
Sludge + AAT
6,95
7,32
7,46
7,38
138
99
- 85
- 165
2093
2593
2356
3603
Catatan: *) Angka 1, 2. 3. dan 4 masing-masing menunjukkan pengamatan setelah 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan 1 minggu inkubasi. DTT = Data Tidak Tersedia
2
Tabel 2. Perubahan pH, Eh, dan Ec substrat organik campuran dalam AAT.
Catatan: *) Angka 1, 2. 3. dan 4 masing-masing menunjukkan pengamatan setelah 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan 1 minggu inkubasi. DTT = Data Tidak Tersedia 1