Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertambangan adalah sektor komersial yang karena sifat kegiatannya pada dasarnya
selalu berdampak pada lingkungan alam (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah
(BPLHD) Provinsi Jawa Barat, 2005). Kegiatan penambangan selalu membawa dua aspek.
Pertama adalah mendorong kemakmuran ekonomi negara. Aspek lainnya adalah timbulnya
dampak lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia, salah satu komoditas
yang banyak diusahakan saat ini ialah batubara. Saat ini potensi sumber daya batubara di
Indonesia sekitar 60 miliar ton dan cadangannya 7 miliar ton (Witoro, 2007)

Di sisi lain, penambangan batubara pada umumnya dilakukan pada tambang terbuka
(open mining), sehingga akan mempengaruhi sifat geomorfologi, sifat fisik, sifat kimia, dan
bioligis tanah, serta pada umumnya menimbulkan kerusakan pada tanah. Dampak ini secara
otomatis akan merusak ekosistem di atasnya, termasuk tata air (Subardja, 2007). Salah satu
masalah lingkungan dalam kegiatan penambangan batubara adalah terkait dengan Air Asam
Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD). Air tersebut terbentuk dari mineral sulfida
tertentu dalam batuan yang bereaksi dengan oksigen di udara pada lingkungan berair (Sayoga,
2007).

Kemunculan awal air asam tambang adalah ketika air berwarna hijau di pit tambang.
Pada awal suatu kegiatan penambangan, dari tahap survei (eksplorasi) atau perencanaan, perlu
ditentukan dan dihitung potensi air asam tambang yang akan dihasilkan. Penting untuk
memahami potensi keasaman suatu tambang, karena keasaman batuan hanya potensi,
keberadaannya tidak serta merta menjadi masalah setelah penambangan. Drainase asam
tambang (Acid Mine Drainage) muncul tidak hanya dari pencucian batubara, tetapi juga dari
pembukaan kemasaman batuan yang mendasarinya, menyebabkan masalah bagi kualitas air
dan tanah. Potensi air asam tambang harus dipahami dan diperhitungkan untuk melakukan
tindakan pencegahan dan pengendalian.

Pengendalian air asam tambang merupakan hal yang perlu dilakukan selama dan setelah
kegiatan penambangan. Air asam tambang dapat menyebabkan penurunan kualitas air, baik itu
air permukaan maupun air tanah. Selain itu, jika dibuang ke sungai akan berdampak pada
masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai dan akan merusak biota yang hidup di darat
maupun biota perairan (Hidayat, 2017).

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana potensi tumbuhan melati air (Echinodorus paleafolius) dalam mengurangi


kandungan logam pada air asam tambang?

2. Bagaimana perubahan morfologi tumbuhan melati air (Echinodorus paleafolius) dalam


menyerap kadar logam terhadap air asam tambang selama proses fitoremediasi berlangsung?

3. Berapa lama waktu optimal penyerapan kadar logam pada air asam tambang?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui potensi tumbuhan melati air (Echinodorus paleafolius) dalam mengurangi kadar
logam pada air asam tambang.

2. Mengetahui adanya perubahan morfologi (batang dan daun) tumbuhan melati air
(Echinodorus paleafolius) selama proses fitoremediasi berlangsung.

3. Mengetahui waktu optimal melati air (Echinodorus paleafolius) dalam menyerap kadar
logam pada air asam tambang.

1.4. Batasan Masalah

1. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman melati air (Echinodorus
paleafolius) berukuran ….. cm dengan umur ….bulan.

2. Sampel penelitian yang dibutuhkan yaitu air asam tambang di PT Bukit Asam.

3. Jumlah tanaman yang digunakan sebanyak ….. tanaman.

4. Pengukuran dilakukan setiap variasi lama waktu yakni .. hari, .. hari, .. hari dan .. hari
pengamatan meliputi pengukuran pH air, dan ciri fisik atau morfologi tanaman melati air yaitu
perubahan warna daun, akar, dan batang.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapatkan setelah penulisan karya ini ialah manfaat teoritis dan
manfaat praktis.
1.5.1. Manfaat Teoretis

1. Menambah pengetahuan dalam mengurangi kadar pencemar air pada lingkungan dengan
metode fitoremediasi;

2. Memberikan sumbangan ilmiah berupa dalam inovasi dalam penetralan air asam tambang
dengan cara fitoremediasi; dan

3. Sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan


dengan judul penelitian ini.

1.5.2. Manfaat Praktis

1. Memberikan informasi dan pengalaman langsung mengenai penanganan adanya air asam
tambang dengan mendayagunakan tumbuhan melati air (Echinodorus paleafolius) melalui cara
fitoremediasi sehingga dapat diterapkan langsung di lingkungan tercemar;

2. Untuk mengatasi persoalan dalam menurunnya kualitas air akibat penambangan; dan

3. Sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola air asam tambang dengan tepat agar air dapat
digunakan oleh masyarakat.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Air Asam Tambang

Air asam tambang merupakan limbah pencemar lingkungan yang dihasilkan dari
kegiatan pertambangan Limbah ini dihasilkan sebagai hasil dari proses oksidasi mineral pirit
(FeS2) dan bahan mineral sulfida lainnya yang tersingkap di permukaan selama penambangan.
Proses kimia dan biologi bahan mineral ini menghasilkan sulfat dengan kandungan asam yang
tinggi. Keasaman yang tinggi secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kualitas
lingkungan dan kehidupan organisme (Yusran, 2009).

Untuk membedakannya dari air asam yang dihasilkan dari kegiatan lain seperti
penggalian untuk konstruksi pondasi bangunan, pembuatan tambak dan sebagainya. Beberapa
mineral sulfida yang terdapat pada proses air asam tambang (AAT) adalah FeS2, CuS2, CuS,
CuFeS2, MoS2, NiS, PbS dan ZnS. Pirit adalah mineral sulfida yang ditemukan dalam
kegiatan penambangan, terutama batubara. Pembentukan AAT dicirikan oleh pH yang rendah
(1,5-4), konsentrasi logam terlarut yang tinggi, nilai keasaman yang tinggi, nilai sulfat yang
tinggi dan konsentrasi O2 yang rendah (Patria, 2008).

2.1.1. Pembentukan Air Asam Tambang

Proses pembentukan air asam tambang melibatkan beberapa tahap reaksi. Reaksi pertama
dimulai dengan oksidasi mineral pirit dengan adanya air. Produk yang dihasilkan dari reaksi
pertama ini adalah Fe2+ yang merupakan hasil dari proses oksidasi pirit dengan oksigen.
Mineral belerang akan dioksidasi menjadi sulfat dan kemudian Fe2+ dilepaskan. Reaksi
tersebut merupakan reaksi pelapukan yang akan menghasilkan 2 mol asam untuk setiap mol
pirit yang dioksidasi (Gautama, 2019).

2.1.2. Tipe Air Asam Tambang

Air tambang terbagi menjadi beberapa tipe pembentukan, yaitu:

a. Tipe 1

Air tambang dengan alkanitas rendah memiliki pH < 4,5 dan mengandung Fe, Al, Mn,
dan logam lainnya, keasaman tinggi dengan oksigen. Air jenis ini disebut air asam tambang.

b. Tipe 2

Air tambang dengan padatan terlarut atau total dissolve solid (TDS) yang tinggi
mengandung besi ferri dan Mn yang tinggi, rendah atau tanpa mengandung oksigen dan pH >
6,0. Jika teroksidasi maka pH akan turun dengan cepat menjadi tipe-1.

c. Tipe 3

Air tambang dengan total dissolve solid (TDS) sedang sampai tinggi, kandungan besi
ferri dan Mn yang rendah sampai sedang, tidak ada atau sedikit mengandung oksigen, pH >
6,0 dan alkalinitas lebih besar dari pada keasaman. Biasanya disebut “alkaline mine
drainage”. Jika di oksidasi, asam yang terbentuk dari reaksi hidrolisis dan pengendapan
logam akan menetralkan alkalinitas yang ada di dalam air.

d. Tipe 4
Air asam tambang yang dinetralkan memiliki pH > 6,0 dan kandungan TDS yang
tinggi. Hidroksida logam belum diendapkan. Di kolam pengendapan, padatan akan
mengendap dari air tipe 5.

e. Tipe 5

Air asam tambang yang dinetralkan dengan pH > 6,0 dan kandungan total dissolve
solid (TDS) yang tinggi. Setelah hidroksida logam mengendap di kolam pengendap, yang
tersisa di dalam air biasanya Ca dan Mg bersama dengan bikarbonat dan sulfat.

f. Tipe 6

Air tambang netral berasal dari tambang dengan kadar sulfida yang sangat kecil dan
kandungan karbonat yang rendah hingga sedang. Umumnya netral dan DHL rendah (<
100µS/mm) serta alkalinitas dan keasaman yang hampir seimbang (Skousen & Ziemkiewicz,
1996).

2.2. Dampak Air Asam Tambang Terhadap Lingkungan

Air asam tambang adalah salah satu permasalahan dalam kegiatan pertambangan, karena
air ini mengalir dan digunakan oleh masyarakat sekitar, Adapun sumber daya yang tercemar
akibat air asam tambang ini, yaitu sumber daya air dan sumber daya tanah.

2.2.1. Sumber Daya Air

Air asam tambang adalah sumber polusi terbesar karena nilai keasaman yang tinggi dapat
menghalangi makhluk hidup untuk bertahan hidup. Selain keasamannya yang sangat tinggi, air
asam tambang mengandung padatan terlarut (total dissolved solids) dan sulfat dari oksidasi
mineral, logam, dan komponen mineral terlarut lainnya (PIRAMID Consortium, 2003).

Dengan adanya air asam tambang dan kadarnya yang tinggi, menyebabkan korosi pada
pipa dan bangunan, merusak dinding serta mematikan tanaman dan organisme akuatik lainnya
jika air yang telah terkontaminasi air asam tambang tersebut mengalir ke badan air (Gaikwad
& Gupta, 2007).

2.2.2. Sumber Daya Tanah

Rehabilitasi lahan bekas yang digunakan di area tambang masih banyak mengandung
dan bercampur dengan bahan yang rentan terhadap asam (potentially acid forming). Akibatnya,
air asam tambang akan terus meresap ke dalam tanah sehingga menyebabkan peningkatan
keasaman didalam tanah. Tanah dengan kondisi asam akan melarutkan dan melepaskan logam-
logam seperti Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni dan Hg. Akibatnya, tanah menjadi kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan organisme tanah penting lainnya
(Environtment Australia, 1997). Air asam tambang yang terbentuk juga bisa mengalir bersama
dengan air limpasan (run-off), air rembesan (seepage) dan air lindian (leacheate). Air ini dapat
mencemari tanah dan sumber-sumber air permukaan, seperti sungai dan danau di lokasi
tambang, bahkan air tanah di sekitar area tambang.

2.3. Fitoremediasi

Lingkungan perairan yang sering dijumpai meliputi beberapa tumbuhan air sebagai
tempat siklus makhluk hidup. Sejumlah dari spesies tanaman air ini dikenal karena toleransinya
terhadap keberadaan logam berat di perairan. Wawasan umum tentang penyerapan logam berat
oleh tanaman yang sesuai sebagai agen remediasi untuk pencemaran logam berat disebut
fitoremediasi (Rahmadina, Yuniati, & Salamah, 2019). Menurut istilah dalam bahasa Yunani
kuno, asal kata fitoremediasi yaitu phyto yang berarti suatu tanaman dan kata remediasi
memiliki arti menanggulangi, memperbaiki, mengurangi hingga memulihkan. Oleh karena itu,
arti dari kata fitoremediasi adalah suatu cara pemanfaatan tumbuhan dalam menanggulangi,
memperbaiki, mengurangi hingga memulihkan lingkungan tertentu baik tanah maupun
perairan yang tercemar zat pencemar berbahaya. Dalam prosesnya, tanaman akan ditempatkan
di tempat tercemar tanpa mengambil dan memindahkan zat kontaminan ke area yang lain
(Rondonuwu, 2014).

2.3.1. Mekanisme Proses Fitoremediasi

Mekanisme kerja tumbuhan dalam menyerap zat pencemar terdiri dari beberapa konsep,
yakni:

1. Fitoekstraksi

Tumbuhan menyerap polutan yang berada di air maupun tanah dengan menyimpan atau
mengakumulasi polutan tersebut di dalam daun atau batang, tanaman ini umumnya disebut
dengan hiperakumulator. Setelah penyerapan polutan, tanaman tersebut harus dimatikan
dengan insenerator kemudian dibuang.

2. Fitovolatilisasi
Tumbuhan menyerap bahan pencemar kemudian mengubah bahan pencemar tersebut
menjadi bersifat volatile dan kemudian ditranspirasikan oleh tumbuhan dengan melepaskan
bahan pencemar ke udara dalam bentuk pencemar awal atau dalam senyawa yang berbeda dari
senyawa awal.

3. Fitodegradasi

Polutan diserap oleh tanaman dan kemudian dimetabolisme di dalam tanaman,


metabolisme dapat melibatkan enzim seperti nitrodiktase, lakase, dehalogenase, dan nitrilase.

4. Fitostabilisasi

Tanaman memodifikasi senyawa pencemar dengan mengubah senyawa pencemar ini


menjadi senyawa yang tidak beracun tanpa penyerapan pencemar ke dalam tubuh tanaman.
Hasil transformasi tersebut tetap berada di air atau tanah.

5. Rizhofiltrasi

Tanaman menyerap polutan dengan mengadsorpsi kontaminan tersebut menempel pada


akar. Biasanya proses ini terjadi ketika kontaminan masuk ke badan air.

6. Rhizodegradasi

Tumbuhan menguraikan zat pencemar menggunakan bantuan mikroba di sekitar


tanaman (Nur, 2013).

Gambar 2.1 Mekanisme Proses Fitoremediasi

Sumber (Smith, 1998)

Akar serabut yang dimiliki oleh tanaman dapat mempengaruhi tanaman untuk
menyerap bahan pencemar seperti tanaman yang terapung di permukaan air yang memiliki akar
serabut lebat dan banyak bulu akar yang memiliki kira-kira seukuran yang keluar dari pangkal
akar. Akar yang menjulur ke samping dan ke segala arah serta bercabang dengan ukuran cabang
yang tidak terlalu berbeda. Tanaman melati air memiliki akar serabut yang banyak sehingga
memiliki kemampuan menyerap logam berat menjadi lebih efisien.

Tumbuhan melati air dapat digunakan sebagai fitoremediasi karena memiliki akar
serabut dan batang yang berongga besar yang memiliki kemampuan mensuplai oksigen ke akar
dalam jumlah yang besar sehingga melati air memiliki kemampuan untuk menangani
kandungan air (Santriyana, 2013).

2.3.2. Tanaman Hiperakumulator

Tumbuhan yang dapat memenuhi syarat sebagai hiperakumulator adalah tanaman yang
memiliki kemampuan untuk mengurangi konsentrasi logam yang tinggi di dalam biomassanya
(Pandia, Purba, & Hasan, 2017). Biomassa tanaman dapat dikatakan sebagai berat kering total
yang terkandung dalam bagian tanaman (Hamilton & King, 1988). Logam berat yang diserap
oleh tanaman hiperakumulasi dapat menyerap 11% biomassa. Setiap logam berat memiliki
batas kandungan dalam biomassa tanaman sehingga tanaman dapat dianggap sebagai
hiperakumulator. Berikut adalah batas hiperakumulator beberapa logam berat seperti
kandungan logam berat Cd memiliki batas 0,01% (100 mg/kg Berat Kering) sedangkan logam
berat Co, Cu, dan Pb memiliki batas 0,1% (1.000 mg/kg Berat Kering) serta untuk Zn dan Mn
limit 1% (10.000 mg/kg Berat Kering) (Pandia, Purba, & Hasan, 2017).

Tumbuhan hiperakumulator memiliki karakteristik sebagai berikut: (S. Brown, 1995)

1. Akar dan tajuk tanaman dapat bertahan hidup dengan unsur logam yang memiliki
konsentrasi tinggi.

2. Penyerapan unsur logam pada media tanam tanah dan air memiliki tingkat laju yang tinggi
dibandingkan dengan tanaman lain.

3. Akar dan tajuk tanaman memiliki laju translokasi yang tinggi dalam akumulasi unsur logam.
Tanaman hiperakumulatif memiliki tajuk yang dapat mengakumulasi logam dengan
konsentrasi tinggi melebihi tingkat konsentrasi di akar.

Tanamanm menyerap unsur logam dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti


konsentrasi total dan unsur logam yang berada di media tanam. Faktor genetik dan spesies
tumbuhan juga dapat bervariasi dalam menyerap logam berat di akar atau tajuk tanaman. Jenis
jaringan tanaman dan perlakuan dengan media tanam tanaman juga dapat mempengaruhi
penyerapan unsur logam (Hidayati, 2005).
2.4. Melati Air

Melati air termasuk ke dalam kelompok tumbuhan akuatik berumpun separuh terendam
badan di air. Habitat melati air biasanya terdapat di perairan. Distribusinya berada di Amerika
tengah, lembah Mississippi dan Venezuela. Pengembangannya menggunakan biji dan anakan.
Melati air memiliki kelebihan sebagai penghias di tepi rawa dan akuarium (Baroroh &
Irawanto, 2016).

2.4.1. Manfaat Melati Air

Melati air memiliki kemampuan untuk menyerap polutan yang dapat mereduksi
kandungan polutan itu sendiri dengan cukup baik. Melati air mampu menarik oksigen dan
udara melawati daun, batang dan akar yang kemudian dilepaskan kembali ke area sekitar
perakarannya (rhizosphere). Hal ini terjadi karena tanaman melati air memiliki ruang antar sel
atau lubang saluran udara sebagai alat transportasi dari atmosfer ke akar. Oksigen yang
dikeluarkan oleh melati air ini nantinya akan dimanfaatkan oleh mikro organisme dalam
penguraian bahan organik (Koesputri & Dangiran, 2016).

Melati air dalam keadaan segar mengandung bahan organik 37,59%, C-organik 21,23%,
N total 0,28%, P total 0,0011% dan K total 0,016%. Dalam batang segar tanaman melati air
memilki kandungan kimia air 95,6%, abu 0,44%, serat kasar 2,09%, karbohidrat 0,17%, lemak
0,35%, protein 0,16%, fosfor 0,52%, kalium 0,42%, klorida 0,26%, alkanoid 2,22%.
Sedangkan dalam keadaan kering mengandung kandungan selulosa 64,51%, pentose 15,61%,
silica 5,56%, abu 12% dan lignin 7,69% (Kurniawati, 2018).
BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Kesampaian Daerah

Penelitian ini dilakukan di PT. Bukit Asam Tbk yang berada di Jl. Parigi No.1, Tj. Enim,
Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, Secara
geografis lokasi ini berada pada suatu titik koordinat, yaitu 3045’31”S dan 103047’26”E dengan
ketinggian sekitar 66 m dari permukaan laut. Lokasi dilakukannya penelitian dapat dilihat pada
Gambar 3.1 berikut.
Gambar 3.1 Peta Kesampaian Lokasi Penelitian

3.2. Waktu dan Jadwal Penelitian

Bagian ini berisi waktu dan durasi penelitian yang akan dilakukan (Proposal Penelitian)
atau telah dilakukan (Tugas Akhir). Pada bagian ini juga disampaikan jadwal atau skedul
penelitian dari awal hingga akhir, dari studi literatur hingga pelaporan Tugas Akhir. Penyajian
jadwal dan skedul ini dilakukan dalam bentuk Gantt Chart per minggu atau per bulan seperti
contoh Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian


2022 2023
No. Uraian Kegiatan Nov Des Jan
3 4 1 2 3 4 1 2
1 Studi Literatur
2
3 Pengambilan Data
4 Pengolahan Data
5 Analisis Data
6 Penyusunan Laporan

3.3. Alat dan Bahan Penelitian

Adapun peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai penunjang
selama proses kegiatan pengambilan data:
a) Bioreaktor
Digunakan untuk melangsungkan proses biokimia dari suatu bahan baku menjadi
produk yang diinginkan.
b) pH Meter
Digunakan untuk menentukan pH suatu larutan, apakah asam ataupun basa.
c) Timbangan
Digunakan untuk mengukur berat dari melati air
d) Hand Safety
Digunakan untuk melindungi tangan selama proses penelitian dilakukan.
e) Akuades
Digunakan untuk bahan campuran zat kimia.
f) Limbah Air Asam Tambang
Digunakan untuk sampel penelitian.
g) Melati Air (Echinodorus paleafolius)
Digunakan sebagai agen penetralan air asam tambang.
3.3.1. Data Penelitian (Hanya Contoh Style Numbering)

3.3.1.1. Rincian Data Sekunder (Hanya Contoh Style Numbering)

3.4. Teknik Akuisisi Data

Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan data primer sebagai data yang
didapatkan langsung dari lapangan dengan cara mengamati atau observasi dan data sekunder
sebagai data penunjang atau data literatur. Data primer yang didapatkan adalah volume air pada
sump atau kolam penampungan, sedangkan data sekunder yang didapatkan adalah teknik
penyerapan kandungan air asam tambang oleh melati air

3.5. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Berikut rincian tahapan dalam penelitian
ini:

a) Studi Literatur

Tahap pertama dalam penelitian ini ialah studi literatur. Studi literatur adalah tahapan
yang dilakukan pada awal penelitian seperti mempelajari permasalahan penelitian.

b) Pengamatan di Lapangan
Pada tahap ini, data dapat diperoleh secara langsung dari lapangan dan data sekunder
yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

c) Pengolahan Data

Tujuan dilakukannya pengolahan data pada lokasi penelitian ialah untuk mendapatkan
data secara langsung. Data ini didapatkan dengan cara melakukan pengamatan selama proses
penetralan air asam tambang. Terkait dengan data yang akan diambil di lokasi adalah data
respon tumbuhan melati air yang meliputi perubahan warna akar, warna daun, dan juga batang,
serta respon air asam tambang pasca dilakukannya fitoremediasi oleh melati air.

Anda mungkin juga menyukai