MADANIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*1
Madaniyah
NIM A154130161
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan
pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN
Kata kunci: Air asam tambang, fitoremediasi, tanaman air, lahan basah buatan.
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS TANAMAN AIR DALAM PEMBERSIHAN
LOGAM BERAT PADA AIR ASAM TAMBANG
MADANIYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Dosen Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Mohamad Yani, MEng
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini adalah tanaman air,
dengan judul Efektivitas Tanaman Air dalam Pembersihan Logam Berat pada Air
Asam Tambang.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat: Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng selaku ketua komisi
pembimbing, Dr Ir Irdika Mansur, MForSc sebagai anggota komisi pembimbing,
atas kerelaannya dalam membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, saran,
koreksi, dan motivasi sehingga karya tulis dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan
terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya, juga disampaikan kepada Dr Ir
Mohamad Yani, MEng yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan banyak
memberi masukan mendasar pada keseluruhan isi tesis ini.
Terima kasih kepada Rektor IPB, Dekan SPs IPB, Dekan Fakultas Pertanian
IPB yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan dana kuliah
pada tahun 2013-2015 pada program beasiswa BPPDN 2013, kepada Ketua
Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan SPs IPB beserta staf atas
semua bantuan administrasi serta kepada Staf Laboratorium Bioteknologi Tanah.
Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Senior Manajer Pengelolaan
Lingkungan dan Penunjang Tambang (Bapak Muhammad Bagir) dan Manajer
Pengelolaan Lingkungan (Bapak Suhendi Arensta) PT. Bukit Asam (Persero)
Tbk. beserta staf yang telah mengizinkan dan membantu pelaksanaan penelitian di
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk, Teman teman seperjuangan Zahriska Dewani SSi,
Firmansyah Adi Prianto ST atas dukungan dan kerjasamanya, rekan-rekan
mahasiswa S2 Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan angkatan 2013
Vera Oktavia SP, Maipa Dia Pati SSi dan Deni Pratama SP, serta pihak lain yang
tidak dapat disebut nama satu persatu atas kerjasamanya.
Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada keluarga besar
penulis. Terimakasih yang sangat dalam kepada ayahanda (Bapak Abd. Samad)
dan Ibunda (Ibu Mahkamah) yang telah berjasa membesarkan, mendidik dan
membentuk karakter penulis, kepada kakak dan adik serta keluarga besar, penulis
ucapkan terimakasih atas dukungannya. Terakhir penulis ucapkan terimakasih
kepada Mohammad Ridho atas dukungan semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Madaniyah
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, air asam tambang
menjadi permasalahan utama pada proses penambangan. Pemanfaatan tanaman
dan penggunaan bioteknologi dalam pengelolaan air asam tambang dapat
menurunkan pH dan mengurangi toksisitas logam yang beracun. Dalam rangka
mengembangkan proses remediasi air asam tambang dan mencari tanaman air
lokal yang efektif meningkatkan pH dan menyerap logam berat yang terkandung
dalam air asam tambang, maka penelitian menggunakan tanaman air yaitu kayu
apu, kiambang dan enceng gondok sangat diperlukan. Oleh karena itu penelitian
ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kinerja tanaman kayu apu, kiambang dan enceng gondok dalam
meningkatkan pH air asam tambang dan penurunan kadar logam yang
terdapat pada air asam tambang secara passive treatment serta penyebaran
dan komposisi logam berat dari permukaan sampai dasar kolam.
2. Mengetahui karakteristik hasil pengolahan air asam tambang dengan
menggunakan lahan basah dan tanaman air baik sebelum dan sesudah proses
melalui parameter kadar Fe, Mn, TSS, dan nilai pH.
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
mg/l), kandungan besi (Fe) dan aluminium (Al) yang tinggi (>100 mg/l)
(Lottermoser 2010).
Reaksi pembentukan AAT menurut Gautama (2014) dapat ditulis sebagai
berikut :
Reaksi pertama adalah reaksi oksidasi mineral pirit oleh kehadiran air. Pada
reaksi ini Fe2+ dihasilkan dari proses oksidasi mineral pirit oleh kehadiran air.
Terjadi reaksi pelapukan dari pirit disertai proses oksidasi. Sulfur dioksidasi
menjadi sulfat dan besi ferro dilepaskan. Dari reaksi ini dihasilkan dua mol
keasaman dari setiap mol pirit yang teroksidasi. Reaksi ini dapat berlangsung baik
pada kondisi abiotik maupun biotik.
Reaksi kedua adalah oksidasi lanjutan dari pirit oleh besi ferri. Ini adalah
reaksi propagasi yang berlangsung sangat cepat dan akan berhenti jika pirit atau
besi ferri habis. Proses reaksi oksidasi pirit setelah reaksi (1) yang terjadi pada
kondisi dekat netral, dilanjutkan dengan reaksi (2) jika kondisi semakin asam atau
pH lebih kecil dari 4.5. Ion ferri akan mengoksidasi pirit sehingga mempercepat
laju oksidasi dua sampai tiga kali dibandingkan dengan oksidasi oleh oksigen.
Pada pH rendah (lebih kecil dari 4.5) Fe3+ akan lebih cepat mengoksidasi pirit
dibandingkan dengan O2 dan lebih cepat pula daripada O2 mengoksidasi Fe2+
(Nordstrom 1982). Reaksi ini hanya akan berlangsung selama ion ferri cukup
tersedia atau kondisi asam. Oleh karena itu, reaksi (2) dikenal sebagai langkah
pembatas laju oksidasi pirit.
Reaksi ketiga adalah konversi dari besi ferro menjadi besi ferri yang
mengkonsumsi satu mol keasaman. Ion ferri tebentuk sebagai hasil konversi ion
ferro yang terbentuk pada reaksi (1) dan mengkonsumsi satu mol keasaman
seperti yang ditunjukkan pada reaksi (3). Laju reaksi lambat pada pH < 5 dan
kondisi abiotik. Kehadiran Bakteri Acidithiobacillus ferrooxidans akan
mempercepat proses oksidasi Fe2+ sampai 5 sampai 6 kali. Dari reaksi (3) tersebut
dapat terlihat bahwa untuk mengoksidasi ion ferro menjadi ion ferri diperlukan
kehadiran oksigen.
Reaksi keempat adalah hidrolisa dari besi. Hidrolisa adalah reaksi yang
memisahkan molekul air (Evasari 2013). Ion ferri dapat mengalami oksidasi dan
hidrolisa sehingga membentuk ferri hidroksida. Pembentukan ferri hidroksida
yang berwarna coklat kekuningan dan sering disebut yellowboy sangat tergantung
pada pH yaitu lebih banyak pada pH diatas 3.5. Reaksi (4) ini merupakan reaksi
pelarutan-pengendapan yang reversibel dan berlangsung sampai pH sama dengan
3 dan merupakan sumber atau berkurangnya Fe3+ serta merupakan langkah
penting dalam melepaskan asam kelingkungan.
Jika reaksi (1) sampai (4) digabung, akan diperoleh reaksi oksidasi pirit
yang dikenal sebagai reaksi umum yang menghasilkan AAT. Produk dari oksidasi
sulfida adalah keasaman, spesies sulfur, padatan terlarut total (Total dissolved
solid / TDS), dan logam. Spesies sulfur yang terbentuk adalah sulfat. Pada kondisi
6
asam kondisi sulfat terlarut dapat mencapai 10.000 mg/L atau bahkan lebih pada
kondisi yang lebih ekstrim. Jika kondisi semakin basa, konsentrasi sulfat
dipengaruhi oleh kelarutan dari gipsum (CaSO4.2H2O). Beberapa mineral sulfida
yang diketahui pembangkit asam dengan ion ferri sebagai pengoksidasi adalah
sfalerit (ZnS), galena (PbS), kalkopirit (CuFeS2), kovelit (CuS), cinnabar (HgS),
millerit (NiS), pentlandit ((Fe,Ni)9S8) dan greenockit (CdS). Sedangkan mineral
sulfida yang diketahui pembangkit asam dengan oksigen sebagai pengoksidasi
adalah pirit dan markasit (FeS2), pirotit (Fe1-xS), bornit (Cu5FeS4), arsenopirit
(FeAsS), enargit atau famatinit (Cu3AsS4/Cu2SbS4), tennantit atau tetrahidrit
((Cu,Fe,Zn)12As4S13/(Cu,Fe,Zn)12ASb4S13), realgar (AsS), orpiment(As2S3) dan
stibnit (Sb2S3) (Gautama 2014).
Peranan bakteri dalam pembentukan AAT juga sangat penting. Proses
oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi,
seperti T. ferrooxidans dan L. ferrooxidans. T. Ferrooxidans mampu
memanfaatkan Fe3+ untuk mengoksidasi senyawa sulfur, tetapi laju oksidasi sulfur
tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan oksidasi Fe2+ (Lizama dan Suzuki
1989). Adanya aktivitas bakteri pengoksida, laju oksidasi meningkat sampai 106
kali lipat (Hossner dan Doolittle 2003). Percepatan laju pelarutan pirit oleh bakteri
mencapai 10-5 μmol Fe per sel per hari pada pH 0,7 dan suhu 42°C (Schrenk et
al. 1998).
Adanya peran bakteri dalam proses pelarutan dan oksidasi pirit dapat
digambarkan seperti pada Gambar 1 (Naveke 1986). FeS2 akan terurai menjadi
Fe2+ dan S2-. Selanjutnya bakteri T. ferrooxidans akan berperan dalam
mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. T. ferrooxidans mengoksidasi Fe2+untuk
menghasilkan energi yang kemudian dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan sel bakteri, sedangkan Fe3+ dengan adanya air akan membentuk
fenomena yellowboy (Fe(OH)3). Sedangkan S2- atau S0 dioksidasi menjadi SO42-
oleh T. ferrooxidans dan atau T. Thiooxidans.
Gambar 1 Proses pelarutan mineral pirit oleh bakteri Thiobacillus sp. (Sumber:
Naveke 1986)
al. 1992). Disamping itu, adanya ion Fe3+ yang merupakan pengoksida kuat
mampu melarutkan mineral- mineral logam sulfida, logam-logam berat dalam
mineral sulfida tersebut akan teroksidasi menjadi ion logam yang terlarut (Leduc
dan Ferroni 1994). Dengan adanya kandungan sulfat dan logam yang terlarut
menyebabkan limbah air asam tambang sangat berbahaya bagi kehidupan flora
dan fauna, serta ekosistem secara keseluruhan (Downing 2002). Tingkat
kemasaman yang tinggi meningkatkan kelarutan logam-logam berbahaya.
Meningkatnya kelarutan logam-logam berbahaya tersebut akan sangat
membahayakan organisme air, karena akan berakibat pada keracunan dan bahkan
dapat menyebabkan kematian hewan air. Dengan demikian, peningkatan kelarutan
logam berbahaya tersebut akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem.
Fenomena AAT sebenarnya bukan hal yang baru di dunia pertambangan,
daerah Iberian Pyrite Belt di Spanyol merupakan contoh yang paling terkenal
bagaimana AAT mencemari sungai Tinto dan Odiel sehingga air sungai tersebut
memiliki kandungan logam dan tingkat keasaman yang tinggi (Nieto et al. 2013).
Penambangan dan pengolahan tembaga di daerah tersebut sudah dilakukan sejak
sekitar 3000 tahun sebelum masehi pada awal zaman perunggu. AAT yang
mengalir ke kedua sungai tersebut berasal dari lubang-lubang bekas tambang
bawah tanah. Sampai dengan saat ini AAT masih terbentuk dan menjadi
kewajiban dari pemerintah Spanyol untuk mengendalikan kualitas air sungai yang
menerima AAT dari bekas-bekas tambang di wilayah tersebut. Di Amerika
Serikat pencemaran limbah AAT di seluruh wilayah pertambangan mencakup area
sekitar 25.000 hektar dan mencemari wilayah aliran air permukaan yang cukup
luas (Durkin dan Herrmann 1994). Di Indonesia di wilayah industri pertambangan
limbah AAT menjadi permasalahan lingkungan yang krusial. Hasil monitoring
limbah pertambangan batu bara di Kalimantan, atau pertambangan tembaga di
Nusa Tenggara dan Papua, memperlihatkan bahwa limbah air buangan tambang
masih melebihi ambang batas mutu air (Gautama 2014). Hal ini yang
menyebabkan kondisi lingkungan di sekitar limbah buangan tersebut mengalami
kerusakan. Keberadaan AAT di lingkungan terutama air permukaan maupun air
tanah berpotensi memberikan dampak terhadap terganggungnya kualitas dan
habitat lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan AAT yang
baik untuk mencegah terbentuknya AAT dan mengolah AAT agar memenuhi
baku mutu lingkungan sebelum dialirkan ke badan air penerima.
Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif kecil
dibandingkan dengan sistem aktif. Namun demikian sistem ini juga mempunyai
kelemahan, diantaranya adalah membutuhkan lahan yang luas dan hasil kinerja
dari sistem ini tidak dapat diprediksi seperti pada pengolahan aktif (Johnson dan
Hallberg 2002) .
Berbeda dengan lahan basah aerobik, pada lahan basah anaerobik
menggunakan instalasi pengolahan AAT dengan sistem tertutup seluruhnya
dibawah permukaan tanah. Sehingga penggunaan tanaman tidak dibutuhkan
dalam sistem anaerobik. Pada sistem ini dibutuhkan bahan organik dalam
pengoperasiannya. Bahan organik berguna sebagai sumber energi bagi
pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Bakteri tersebut juga menghasilkan kondisi
alkalin melalui proses oksidasi bahan organik dan memanfaatkan energi yang
dihasilkan untuk reduksi sulfat. Dengan adanya aliran air asam tambang melalui
bahan organik menyebabkan kondisi anoksik. Kondisi ini akan mendorong
pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat dan menghasilkan sulfida. Pada kondisi
tidak ada oksigen bebas, oksidasi logam akan berjalan lebih lambat sehingga
pembentukan logam oksihidroksida juga lambat dibandingkan dengan kondisi
aerob. Hilangnya logam terjadi melalui pengendapan dalam bentuk logam sulfida,
dijerap oleh bahan organik dalam bentuk bentuk logam hidroksida dan logam
oksihidroksida (Wouls dan Ngwenya 2004). Kelemahan dari sistem ini adalah
proses sistem lahan basah sangat lambat dan membutuhkan lahan yang luas.
diketahui dalam menyerap logam beracun dari air yang tercemar adalah enceng
gondok (Eichhornia crassipes, Eichhornia azurea, Eichhornia diversifolia,
Eichhornia paniculata), selada air (Pistia stratiotes), Kiambang (Salvinia molesta,
Salvinia auriculata ,Salvinia minima) dan Lemna minor (Deng et al. 2004; Axtell
et al.2003; Vasely et al. 2011). Sudah banyak hasil penelitian yang membuktikan
keberhasilan penggunaan tumbuhan untuk remediasi tanah dan air, tumbuhan
tumbuhan tersebut antara lain Thlaspi calaminare untuk seng (Zn), T.
caerulescens untuk kadmium (Cd), Aeolanthus biformifolius untuk tembaga (Cu),
Phylanthus serpentinus untuk nikel (Ni), Haumaniastrum robertii untuk kobalt
(Co) Astragalus racemosus untuk selesium (Se), dan Alyxia rubricaulis untuk
mangan (Mn) (Wise et al. 2000).
Semua tumbuhan mampu menyerap logam dalam jumlah yang bervariasi,
tetapi beberapa tumbuhan mampu mengakumulasi unsur logam tertentu dalam
konsentrasi yang cukup tinggi. Proses remediasi polutan dari dalam tanah atau air
terjadi karena jenis tanaman tertentu dapat melepaskan zat carriers, yang biasanya
berupa senyawaan kelat, protein, glukosida, yang berfungsi mengikat zat polutan
tertentu kemudian dikumpulkan di jaringan tanaman, misalnya pada daun atau
akar (Fahrizal 2004). Bioremediasi merupakan salah satu alternatif pengolahan
limbah yang telah lama dikenal dalam masyarakat.
Tanaman Air
Salah satu faktor penentu fungsi lahan basah dalam fitoremediasi AAT
adalah pemilihan jenis tanaman (Kivaisi 2001; Dhir 2013).Pemilihan jenis untuk
tujuan remediasi logam dalam AAT pada konstruksi lahan basah yaitu tanaman
harus adaptif pada kondisi tergenang, toleran terhadap pH rendah dan toksik
logam berat (Tuheteru 2015).
Menurut Dhir (2013) ada 3 kategori utama spesies tanaman air yang dapat
menghilangkan kontaminan di perairan yaitu spesies free-floating, submerged dan
emergent.Tanaman air yang termasuk spesies free-floating adalah tanaman kayu
apu, kiambang dan enceng gondok. Tanaman air yang termasuk spesies
submerged salah satunya adalah Hydrilla verticillata, sedangkan tanaman air yang
termasuk spesies emergent salah satunya adalah Typha latifolia.
butiran lumpur yang halus maka dapat digunakan untuk menjernihkan air bagi
industri maupun keperluan sehari-hari.
3 METODE PENELITIAN
Bahan
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 kolam buatan yang
masing - masing berukuran 80x80x70 cm3 dengan volume air asam tambang 270
L/bak reaktor fitoremediasi, plastik, labu erlenmeyer, gelas ukur, botol sampel
100 mL, AAS (Atomic Absorbtion Spectrometer), oven, desikator, timbangan
analitik, Filter paper no 41 WhatmannTm D125 mm (CAT No 1441-125),
Cellulose nitrate filter 0,45µm (Sartorius stedim biotech), pipet ukur, gunting,
corong gelas dan labu semprot.
Prosedur Penelitian
AAT
Bokashi
PAF
Tabel 1 Komposisi material lahan basah anaerobik pada pengelolaan AAT secara
pasif
Berat tanaman
Lumpur Bokashi Banyaknya
No Jenis tumbuhan yang dimasukkan
PAF (Kg) (Kg) Tanaman
dalam kolam (Kg)
1 Kayu apu 96 15 0.6 60
2 Kiambang 96 15 0.5 -
3 Enceng gondok 96 15 1.50 15
Perlakuan Fitoremediasi
Penelitian ini menggunakan metode fitoremediasi statis (air yang di
fitoremediasi dalam keadaan diam atau tidak mengalir). Setelah reaktor
fitoremediasi siap, selanjutnya dilakukan pemilihan dan penimbangan tanaman
kayu apu, kiambang dan enceng gondok yang telah diambil dari media
aklimatisasi. Tanaman yang digunakan untuk perlakuan dipilih yang mempunyai
ukuran yang relatif sama yaitu dengan panjang daun 2-4 cm dan panjang akar 3-6.
Masing-masing tanaman dimasukkan ke dalam kolam percobaan yang telah berisi
media AAT + MLB. Setiap percobaan menggunakan 3 ulangan dan dibuat juga
kontrol yaitu bak berisi larutan yang sama tetapi tanpa tanaman. Pengambilan
sampel air dilakukan setiap 3 hari sampai hari ke 29 (Herniwanti et al. 2013),
sedangkan untuk sampel tanaman diambil 5 kali sampel selama 29 hari yaitu pada
hari ke-0 setelah perlakuan (HSP), 3 HSP, 7 HSP, 15 HSP, 21 HSP dan 29 HSP.
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah Simple Randomized and
Composite. Sampel air diambil pada tiga titik kedalaman yang berbeda pada lahan
basah buatan yaitu pada bagian permukaan atas air (0-5 cm dari permukaan), pada
bagian tengah air (20-25 cm dari permukaan) dan pada bagian bawah air yaitu ±2
cm diatas permukaan matrik lumpur bokashi (35-40 cm dari permukaan). Sampel
AAT dianalisis berdasarkan nilai pH, kadar besi (Fe), kadar mangan (Mn), dan
Total Suspended Solid (TSS). Standard operasional prosedur (SOP) dalam
pengukuran Fe, Mn, pH, dan TSS pada sampel air berdasarkan SNI (Tabel 2).
Pengukuran logam Fe dan Mn pada sampel tanaman dianalisis menggunakan cara
16
Pengukuran pH
SNI: 6989.11-2004. Penetapan pH air asam tambang dilakukan setelah pH
meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan buffer pH 4 dan pH 7. Stabilisasi pH
meter dilakukan selama 15 menit. Setelah itu, elektroda dibilas dengan akuades
dan dikeringkan. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan sampel air asam tambang
dan pengukuran pH dapat diatur. Elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat
sampai diperoleh pembacaan yang stabil, kemudian pH sampel dapat dicatat.
Pengukuran Fe dan Mn
Pengukuran kadar Fe berdasarkan SNI: 6989.4-2009. Pengukuran ion logam
Fe terlarut dilakukan dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) –
nyala, pada kisaran kadar Fe 0.3 mg/L hingga 10mg/L dengan panjang gelombang
248.3 nm.
Pengukuran kadar Mn berdasarkan SNI: 6985.5-2009. Pengukuran ion
logam Mn terlarut dilakukan dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA) - nyala, pada kisaran kadar Mn 0.1 mg /L hingga 10 mg/L dengan panjang
gelombang 279.5 nm.
Pengukuran TSS
Pengukuran Total Padatan Tersuspensi diukur dengan menggunakan metode
gravimetri. Sampel yang telah homogen disaring dengan kertas saring yang telah
ditimbang. Residu yang tertahan dikeringkan hingga mencapai berat konstan pada
suhu 103oC – 105oC. Kenaikan massa pada kertas saring mewakili kadar TSS,
maka untuk memperoleh estimasi TSS dapat dihitung melalui rumus:
Keterangan :
A : Massa kertas saring + Residu (mg)
B : Massa kertas saring (mg)
V : Volume sampel (ml)
17
Analisis Data
Air asam tambang (AAT) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
kolam penampungan Stockpile-1, pertambangan batubara PT. Bukit Asam,
Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Kualitas AAT diuji melalui analisa kandungan
Fe, Mn, TSS, dan nilai pH di laboratorium. Kualitas AAT diuji dengan
18
Hasil uji kualitas air asam tambang (AAT) dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai
pH pada limbah AAT sangat rendah sehingga menyebabkan kemasaman, yaitu
berkisar 3.45. Data pH AAT tersebut menunjukkan bahwa AAT pada kolam
penampungan Stockpile-1 merupakan air asam tambang tipe “net acid”. Hal ini
dapat dilihat dari rendahnya pH AAT yaitu <4.5, dimana pada pH <4.5 alkalinitas
dapat mencapai nol (Watzlaf et al. 2004). Tingginya kemasaman AAT juga
menyebabkan logam terlarut cukup tinggi, terutama Fe dan Mn, yaitu 4.49 mg/L
dan 8.75 mg/L. Kualitas AAT Stockpile-1 untuk parameter TSS dan Fe sudah
memenuhi batas ambang Kepmen LH Nomor 113 Tahun 2003 tentang baku mutu
air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara tetapi untuk
kadar Fe jauh melebihi batas ambang yang telah ditetapkan dalam SK Gubernur
Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai.
Sedangkan untuk parameter pH dan kadar Mn jauh melebihi batas ambang yang
telah ditetapkan dalam Kepmen LH Nomor 113 Tahun 2003 dan SK Gubernur
Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. Oleh
karena itu, AAT tersebut perlu diolah sebelum dibuang ke dalam perairan.
A B
8.0
8.0
7.5
7.5
7.0 7.0
Nilai pH
Nilai pH
6.5 6.5
6.0 6.0
5.5 5.5
5.0 5.0
0 3 7 11 14 17 21 24 29 0 3 7 11 14 17 21 24 29
Waktu (hari ke-) Waktu (hari ke-)
C
8.0
7.5
7.0
Nilai pH
6.5
6.0
5.5
5.0
0 3 7 11 14 17 21 24 29
Gambar 4 Perubahan pH pada (A) bagian permukaan lahan basah, (B) bagian
tengah (20-25 cm dari permukaan), dan (C) bagian bawah (35-40 cm
dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan setiap 3 hari pada
bagian permukaan kolam (Gambar 4A) menunjukkan terjadinya peningkatan nilai
pH secara bertahap pada semua perlakuan. Pada hari pertama (0 HSP)
dimasukkannya AAT pada kolam percobaan, terjadi peningkatan pH AAT dari
3.45 menjadi >5 pada semua perlakuan. Peningkatan pH ini kemungkinan
disumbangkan dari kandungan alkalinitas dari kompos yang digunakan sebagai
matrik lahan basah. Pada sistem wetland anaerobik, komposisi matrik yang
digunakan seperti kompos yang ditambahkan lumpur aktif dari sewage dapat
menstimulasi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk menaikkan alkalinitas
yang dapat meningkatkan pH AAT (Chang et al. 2000; Gibert et al. 2003). Pada
pengamatan 3 HSP dapat dilihat pada Gambar 4A bahwa kolam lahan basah yang
20
14.0
12.0
Kadar Fe (mg/L)
10.0
8.0
A
6.0
4.0
2.0
0.0
0 3 7 11 14 17 21 24 29
Waktu (hari ke-)
14.0
12.0
Kadar Fe (mg/L)
10.0
8.0 B
6.0
4.0
2.0
0.0
0 3 7 11 14 17 21 24 29
Waktu (hari ke-)
14.0
12.0
Kadar Fe (mg/L)
10.0
8.0
6.0 C
4.0
2.0
0.0
0 3
7 11 14 17 21 24 29
Waktu (hari ke-)
Blanko Kayu apu Kiambang Eceng gondok
Gambar 5 Perubahan konsentrasi Fe terlarut pada (A) bagian permukaan lahan
basah (B) bagian tengah (20-25 cm dari permukaan) dan (C) bagian
bawah (35-40 cm dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan.
10.0 A B
10.0
9.0
9.0
Kadar Mn (mg/L)
8.0
Kadar Mn (mg/L) 8.0
7.0
7.0
6.0 6.0
5.0 5.0
4.0 4.0
3.0 3.0
2.0 2.0
1.0 1.0
0.0 0.0
0 3 7 14 17 21 29 0 3 7 14 17 21 29
Waktu (Hari Ke-) Waktu (Hari Ke-)
10.0 C
9.0
8.0
Kadar Mn (mg/L)
7.0
6.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
0 3 7 14 17 21 29
Waktu (Hari Ke-)
Blanko Kayu apu Kiambang Eceng gondok
Tabel 4 Total populasi mikrob aerob dan anaerob setelah perlakuan pada berbagai
lahan basah yang ditanami tanaman uji.
Total Populasi Mikroba (CFU/mL)
Perlakuan
Anaerob Aerob
Kontrol <1 x 104 1 x 105
Kontrol Wetland PT. Bukit Asam <1 x 104 5.7 x 106
Wetland tanaman kayu apu 1 x 104 14 x 106
4
Wetland tanaman kiambang 1 x 10 2.8 x 106
Wetland tanaman eceng gondok 1.5 x 104 40 x 106
sulfat, sulfit atau thiosulfat sebagai aseptor elektron untuk mendapatkan energi
dalam proses metabolismenya. Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan
bahwa pada tanah bekas tambang batubara yang diberi perlakuan bahan organik
yang dikoloni oleh BPS dapat menurunkan ketersediaan logam Fe, Mn, Zn dan Cu
dalam tanah dengan efisiensi antara 68 - 97% setelah 15 hari inkubasi.
Tabel 4 menunjukkan bahwa total populasi mikrob pada lahan basah lebih
banyak mikrob aerob daripada anaerob. Hal ini terjadi karena setelah perlakuan
pH telah mencapai netral sehingga populasi BPS sedikit pada lahan basah.
Menurut El Bayoumi et al. (1997) pada pH 7 kemampuan bisorpsi BPS akan
konstant, sehingga hal ini memungkinkan BPS ada pada fase pertumbuhan statis
dimana bakteri yang hidup sama dengan bakteri yang mati yang memungkinkan
jumlah BPS atau bakteri anaerob lebih sedikit dari bakteri aerob. BPS adalah
bakteri anaerob obligat yang membutuhkan lingkungan mikro anaerob. Suyasa
(2002) mengemukakan bahwa pH optimal bagi pertumbuhan bakteri pereduksi
sulfat berkisar antara 5 sampai 8. BPS yang diisolasi dari ekosistem air hitam
Kalimantan mampu menyesuaikan diri pada pH 2.5, dan menunjukkan
pertumbuhan yang pesat pada kisaran pH antara 4 dan 7. Mekanisme penting bagi
aktivitas BPS adalah proses reduksi sulfat tersebut berlangsung dalam kondisi
anaerob dan kondisi faktor lingkungan yang optimal bagi pembentukan sulfida
yang maksimal. Reduksi sulfat dapat terjadi pada kisaran pH, tekanan, suhu
dan salinitas yang lebar, namun ketersediaan senyawa karbon sebagai donor
elektron dan molekul hidrogen dapat menjadi pembatas (Yusron 2009).
Tabel 5 Kadar Fe pada akar dan daun tanaman kayu apu (Pistia stratiotes),
kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes)
Konsentrasi Fe (mg/Kg)
Hari ke- Kayu apu Kiambang Eceng Gondok
Akar Daun Akar Daun Akar Daun
0 HSP ttd ttd ttd ttd ttd 0.03
3 HSP 8.41 0.35 1.15 0.83 2,53 0,41
6 HSP 2.57 0,28 1.52 0.79 2,34 0,31
15 HSP 2.22 0,21 1.62 0.65 2,49 0.44
21 HSP 1.95 0,18 1.13 0,76 2,21 0.52
29 HSP 1.13 0.19 1.38 0,58 1,92 0.42
Keterangan : ttd = tidak terdeteksi. Batas minimum kadar Fe pada tanaman yang
dapat terdeteksi oleh alat spektrofotometer serapan atom (AAS) adalah 0.001.
akar daripada dalam daun pada semua tanaman. Kadar Fe lebih rendah pada
bagian pucuk dibanding akar mengindikasikan bahwa pergerakan Fe ke bagian
pucuk lebih rendah (Tuheteru 2015). Konsentrasi Fe yang diserap dalam tanaman
semakin rendah seiring berjalannya waktu. Hal ini dapat dikorelasikan dengan
penurunan konsentrasi Fe dalam air yang juga semakin rendah mencapai 0 mg/L
pada 29 HSP (Gambar 5).
Tabel 6 menyajikan konsentrasi rata-rata Fe dalam jaringan tanaman setelah
percobaan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi Fe tertinggi
terdapat dalam akar daripada dalam daun baik pada kayu apu maupun eceng
gondok. Konsentrasi Fe dalam kiambang lebih besar pada daun daripada dalam
akar dikarenakan daunnya berupa karangan dan memiliki akar yang kecil
sehingga logam langsung di translokasikan pada daun. Rasio nilai konsentrasi Fe
dalam daun/akar pada tanaman eceng gondok yaitu sebesar 20 kali lebih besar
daripada tanaman kayu apu yang nilainya 1. Hal ini dapat diartikan bahwa eceng
gondok lebih banyak mengakumulasi Fe dalam jaringan akarnya, sedangkan kayu
apu lebih mampu untuk mentranslokasikan Fe dari akar kebagian atas akar.
Tabel 7 Kadar Mn pada akar dan daun tanaman kayu apu (Pistia stratiotes),
kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes)
Konsentrasi Mn (mg/Kg)
Hari ke- Kayu apu Kiambang Eceng Gondok
Akar Daun Akar Daun Akar Daun
0 HSP 0.15 ttd 0.06 ttd 0.23 0.00
3 HSP 1.51 0.47 0.62 0.55 1.06 0.90
6 HSP 2.08 0.58 1.95 0.73 2.22 1.09
15 HSP 2.84 0.97 2.31 0.98 3.36 2.00
21 HSP 3.65 1.40 2.82 1.23 7.98 2.74
29 HSP 4.25 1.03 2.85 1.33 6.92 3.58
Keterangan : ttd = tidak terdeteksi. Batas minimum kadar Fe pada tanaman yang
dapat terdeteksi oleh alat spektrofotometer serapan atom (AAS) adalah 0.001.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman kayu apu, kiambang dan enceng
gondok dapat menyerap dan mengakumulasi logam Fe dan Mn. Variasi akumulasi
logam pada jaringan tanaman lahan basah juga dilaporkan oleh peneliti
sebelumnya (Khan et al. 2009; Nyquist dan Greger 2009). Secara umum, hasil
penelitian menunjukkan bahwa bagian akar memiliki kadar logam lebih besar
dibandingkan bagian pucuk pada tanaman enceng gondok. TF<1 pada tanaman
mengindikasikan bahwa tanaman enceng gondok tidak dapat mengakumulasi
logam di bagian pucuk, translokasi dibatasi hanya di bagian akar. Faktor traslokasi
(TF) secara umum menunjukkan pergerakan logam dari tanah (sedimen) dan air
ke akar dan pucuk. TF memberikan petunjuk apakah jenis yang digunakan
termasuk akumulator ekskluder dan indikator (Bose et al. 2008). Tanaman kayu
apu dan kiambang menunjukkan TF>1 pada logam Mn yang dapat diartikan
kedua tanaman tersebut tidak hanya mengakumulasi logam Mn di akar tapi juga
mampu mentranslokasi logam Mn pada daun.
Rizofiltrasi merupakan cara penghilangan kontaminan di air oleh akar
tanaman melalui adsorpsi atau absorpsi diikuti penyimpanan logam di dalam akar.
Logam yang umum diserap melalui proses rhizofiltrasi diantaranya Pb, Cd, Cu, Fe,
Ni, Mn, Zn dan Cr (Dhir 2013). Akumulasi dan distribusi logam di bagian akar
sangat dikaitkan dengan mekanisme kompartemenisasi, sehingga mencegah
trasport logam ke bagian pucuk (Lambers et al. 2008). Pertumbuhan akar yang
baik dapat memberikan keuntungan kepada kegiatan fitoremediasi karena akar
lebih banyak menyerap logam (Liphadzi et al. 2006).
400 A 400
B
Kadar TSS (mg/L) 350 350
350
300
Kadar TSS (mg/L)
250
C
200
150
100
50
0
0 3 7 11 14 17 21 24 29
Waktu (Hari Ke-)
Blanko Kayu apu Kiambang Eceng gondok
Gambar 7 Profil kadar TSS pada A) bagian permukaan lahan basah (B) bagian
tengah (20-25 cm dari permukaan) dan (C) bagian bawah (35-40 cm
dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan
Penurunan kadar TSS dengan perlakuan tanaman air dapat dilihat pada
Gambar 7. Gambar 7A menunjukkan penurunan kadar TSS pada bagian
permukaan lahan basah. Penurunan kadar TSS tertinggi pada bagian permukaan
lahan basah diperlihatkan oleh kolam lahan basah yang berisi tanaman kiambang
yaitu sebesar 92%. Sedangkan penurunan kadar TSS tertinggi pada bagian tengah
dan bagian bawah lahan basah berturut turut diperlihatkan oleh kolam lahan basah
yang berisi tanaman kiambang yaitu 97% (Gambar 7B) dan yang berisi tanaman
eceng gondok yaitu 94% (Gambar 7C). Menurut Supradata (2005), perbedaan laju
penurunan TSS pada tiap-tiap wetland bisa saja terjadi akibat perbedaan porositas
media yang dibentuk oleh sistem perakaran tanaman dalam kolam lahan basah.
Penurunan kandungan TSS di dalam AAT menunjukkan penurunan kandungan
TSS yang lebih besar dengan adanya tanaman air dibandingkan kolam lahan basah
30
yang tidak berisi tanaman. Tanaman air berfungsi sebagai penyerap kandungan
TSS pada limbah AAT. Kandungan TSS pada AAT tersebut sangat memenuhi
baku mutu limbah cair dari kegiatan penambangan yang disyaratkan dalam
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005. Nilai TSS yang
memenuhi baku mutu lingkungan yang disyaratkan ini menunjukkan bahwa air
limbah aman untuk dibuang ke Sungai Enim.
Penurunan kadar TSS dalam kolam ada kaitannya dengan adanya akar
tanaman. Gambar 8 memperlihatkan profil panjang akar tanaman uji selama 29
hari masa percobaan. Semakin panjang akar tanaman maka kadar TSS semakin
menurun. Panjang akar tanaman berbanding lurus dengan lama percobaan dan
menurunnya kadar TSS dalam kolam. Penurunan TSS ini dikarenakan tanaman
mempunyai rambut akar yag bermuatan positif sehingga menarik partikel koloid
yang bermuatan berlawanan seperti padatan tersuspensi sehingga partikel tersebut
menempel pada akar dan secara perlahan lahan diserap dan diasimilasi oleh
tanaman dan mikroorganisme (Wolverton 1989; Brix 1993 dan Johnston 1993
dalam Singh et al. 2012). Brix (1993) mengamati bahwa enceng gondok telah
berhasil digunakan dalam sistem pengolahan air limbah untuk meningkatkan
kualitas air dengan mengurangi tingkat nutrisi organik dan anorganik. Dengan
demikian, enceng gondok mungkin akan memiliki toleransi yang tinggi dan
mampu menghapus sejumlah besar logam (Sutcliffe 1962).
25
20
Panjang Akar (cm)
15
10
0
0 3 7 11 14 17 21 24 29
Waktu (Hari Ke-)
Akar merupakan organ tanaman yang berfungsi sebagai alat penyerapan air
dan hara mineral dari medium habitatnya. Unsur Fe dikolam lahan basah
merupakan mikronutrien bagi tanaman. Adannya hara Fe dan Mn dalam AAT
dapat ditolerir tanaman sehingga tanaman tetap tumbuh dan beradaptasi dengan
medium tersebut. Pada minggu 1 atau 7 HSP terjadi penurunan panjang akar
tanaman kayu apu dan kiambang, hal ini dikarenakan kedua tanaman tersebut
melakukan adaptasi dengan lingkungan AAT. Fenomena ini menarik karena
dalam proses adaptasinya akar yang telah berkembang mengalami lepasnya akar
dari batang sehingga menambah bahan organik dan meningkatkan kembali kadar
TSS dalam kolam. Akar-akar tanaman merupakan media untuk proses penyerapan
31
dan penyaringan, sehingga dengan adanya tanaman dapat menurunkan kadar TSS
dalam kolam lahan basah. Akar yang masih muda memiliki potensi menyerap ion-
ion dalam jumlah besar (Dwidjoseputro, 1992).
Simpulan
Saran
Hasil penelitian skala pilot ini sebelum diaplikasikan pada skala lapang
perlu beberapa penelitian lanjutan terkait perpanjangan waktu percobaan dan pada
tipe lahan basah mengalir. Hasil penelitian skala pilot ini menunjukkan kolam
lahan basah yang ditanami dengan kayu apu, kiambang dan eceng gondok sudah
mengalami peningkatan pH dan penurunan logam berat dalam waktu 3 hari
sehingga disarankan waktu tinggal AAT dalam rangkaian lahan basah selama 3
hari. Agar lahan basah efisien maka urutan penempatan tanaman pada
32
kompartemen lahan basah perlu diuji lebih lanjut dan dikombinasikan dengan
tanaman non-floating.
DAFTAR PUSTAKA
A B
C D
Lampiran 2 Jumlah tanaman kayu apu, kiambang dan eceng gondok selama masa
percobaan.
Jumlah tanaman
Hari ke- Kayu Apu Kiambang (cm) Eceng gondok
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
0 HSP 60 60 60 40 40 40 15 15 15
3 HSP 72 69 65 44 42 41 17 20 20
6 HSP 100 96 50 52 49 46 22 19 19
15 HSP 140 115 40 72 54 58 19 21 20
21 HSP 150 125 35 79 58 51 19 19 14
29 HSP 170 145 20 80 60 45 18 13 11
Keterangan : U = Ulangan. Untuk tanaman kiambang karena daun berupa
karangan, tidak dapat dihitung banyaknya individu tumbuhan sehingga dihitung
luas penyebaran (cm) di air.
Konsentrasi Fe di
Berat Kering Konsentrasi Total
Tanaman Kiambang
Akar Daun Akar Daun Akar Daun
0.00 0.00 0.73 2.07 0 0
1.15 0.83 1.20 3.91 1.38 3.24
1.52 0.79 1.01 2.17 1.54 1.71
1.62 0.65 1.28 2.82 2.07 1.83
1.13 0.76 0.93 2.63 1.05 1.99
1.38 0.58 1.50 4.51 2.07 2.62
Jumlah 8.11 11.39
Konsentrasi Mn di
Berat Kering Konsentrasi Total
Tanaman Kiambang
Akar Daun Akar Daun Akar Daun
0.06 0.00 0.73 2.07 0.04 0
0.62 0.55 1.20 3.91 0.74 2.15
1.95 0.73 1.01 2.17 1.97 1.58
2.31 0.98 1.28 2.82 2.96 2.76
2.82 1.23 0.93 2.63 2.62 3.23
2.85 1.33 1.50 4.51 4.26 5.99
Jumlah 12.59 15.71
41
RIWAYAT HIDUP