Anda di halaman 1dari 100

KAJIAN PENERAPAN METODE ENKAPSULASI PADA

DISPOSAL SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PEMBENTUKAN


AIR ASAM TAMBANG DI PT. BERAU COAL,Tbk PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR

TESIS

Disusun Oleh :
HAMZAH UMAR
NIM. 212. 13. 0032

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK PERTAMBANGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL (UPN)
“VETERAN” YOGYAKARTA
2014
KAJIAN PENERAPAN METODE ENKAPSULASI PADA
DISPOSAL SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PEMBENTUKAN
AIR ASAM TAMBANG DI PT. BERAU COAL,Tbk PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR

Nama Mahasiswa : Hamzah Umar


NIM : 212.13.0032
Program Studi : Magister Teknik Pertambangan
Program : Pascasarjana
Universitas : Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Pembimbing : 1. Dr. Ir. Waterman Sulistyana, MT.
2. Ir. Suyono, MS

Yogyakarta, September 2014


Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Waterman Sulistyana, MT. Ir. Suyono, MS.


NIP. ...................................... NIP. .......................................

Menyetujui,
Program Studi Magister Teknik Pertambangan
Ketua,

Dr. Ir. Barlian Dwinagara, MT.


NIP. ...................................
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Air merupakan faktor yang esensial dalam keberlanjutan peradaban


manusia. Ketersediannya kini menjadi salah satu hal yang memprihatinkan dan
telah menjadi perhatian yang amat serius di abad 21, baik terhadap kuantitasnya
maupun terhadap kualitasnya. Isu penting di pertambangan yang berkaitan dengan
hal tersebut adalah air asam tambang (AAT), yakni air dengan karakteristik
ekstrim ber-pH rendah dan konsentrasi logam terlarut tinggi, yang terbentuk
akibat oksidasi alamiah mineral sulfidik pada batuan penutup (overburden) selama
proses eksploitasi bahan galian tambang. Karakteristiknya yang ekstrim tersebut
dapat menyebabkan terganggunya ekosistem terutama ekosistem perairan, jika
AAT tersebut tidak memenuhi baku mutu dan mengalir ke badan-badan air.
Air asam tambang adalah air yang bersifat asam yang ditiriskan dari
tambang batubara terbuka dalam atau tambang batubara terbuka yang dihasilkan
oleh reaksi organik atau inorganik bahan-bahan mengandung pirit (besi sulfida)
dengan air dan oksigen sehingga air ini , mengandung asam belerang dan besi
(Silalahi, 2002). Dampak langsung dari air asam tambang bagi perusahaan
penambangan adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau baja akan sangat cepat
terkorosi akibatnya perusahaan akan membutuhkan biaya besar untuk
memperbaikinya. Dampak langsung bagi lingkungan sekitar area ini dapat
mencemari ekosistem dan makhluk hidup yang ada di dalamnya akibatnya sungai
berubah warna dan tingkat kemasamannya naik sehingga makhluk hidup yang ada
di dalamnya seperti ikan dan tumbuhan mengalami gangguan dalam
pertumbuhannya. Akibat tidak langsungnya, akan terjadi gangguan dalam rantai
makanan, seperti contoh makhluk hidup yang membutuhkan makanan dari
makhuk hidup yang sudah tercemar oleh dampak air asam tambang ini dampak
jangka panjangnya akan mengalami gangguan kesehatan.

1
PT. Berau Coal adalah salah satu perusahaan batubara yang terbesar yang
ada di Indonesia dengan luasan areal mencapai 118.000 Ha, menjadi potensi yang
cukup besar dalam hal munculnya permasalahan air asam tambang. PT. Berau
Coal sendiri memiliki beberapa blok utama yaitu blok Lati, Binungan, Sambarata,
Gurimbang, Punan dan Kelay. Akan tetapi yang sudah berproduksi besar adalah
site Lati, Sambarata dan Binungan.
Dari hal ini maka, peneliti menganggap pentingnya permasalahan air asam
tambang ini karena dampaknya tidak hanya di daerah yang terkena dampak tetapi,
akan meluas ke daerah lain. Oleh sebab itu maka, penelitian tehadap air asam
tambang ini dianggap penting dan mendesak untuk dilakukan karena
keuntungannya akan dirasakan oleh semua pihak.

I.2. Perumusan Masalah

Air asam tambang merupakan persoalan pelik yang perlu dicari penyelesaiannya
dalam penambangan mineral/batubara. Usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka
penanganan air asam tambang ini dapat dilakukan dengan metode preventive dan
kuratif. Metode preventif dilakukan dengan mengidentifikasi sumber-sumber
pembentuk air asam tambang, disebut Potential Acid Forming (PAF) dan sumber-
sumber penetral pembentuk asam (alkali), disebut Non Acid Forming (NAF)
untuk selanjutnya digunakan dalam perencanaan tambang. Untuk
mengidentifikasi dan mengetahui sumber-sumber tersebut maka perlu dilakukan
pengeboran geokimia.
PT. Berau Coal adalah salah satu perusahaan yang telah melakukan
penanganan air asam tambang ini mulai dari awal eksplorasi hingga penanganan
pasca tambangnya. Dalam hal eksplorasinya, department geologi membuat satu
section khusus menangani sampel geokimia ini sehingga dapat memodelkan
batuan NAF dan batuan PAF-nya untuk digunakan dalam desain
disposal/dumping material tambang. Ada beberapa Blok Utama dalam
penanganan air asam tambang di PT. Berau Coal yang menjadi rumusan masalah
dalam tulisan ilmiah ini, yaitu Blok Lati dan Sambarata.

2
Dalam tulisan ilmiah ini, peneliti membahas pada penekanan aspek kajian
teknis, baik itu di Site Blok Lati maupun Sambarata terhadap upaya penanganan
air asam tambang. Penelitian ini menggunakan metode preventif terhadap
penanganan air asam tambang dengan cara enkapsulasi pada disposal yang
diawali dengan pengidentifikasian batuan overburden yang mengandung mineral
asam (PAF) dan batuan yang penetral (NAF) menggunakan data hasil eksplorasi
dan verifikasi dari bor blasting. Pelaksanaan enkapsulasi yang dilakukan
selanjutnya dilakukan evaluasi dengan pemantauan dan pengukuran pada area
penimbunan yang diterapkan metode enkapsulasi dengan jenis pemantauan yang
dilakukan adalah ;

1. Pengukuran ketebalan penimbunan material NAF, PAF dan tanah yang


dilakukan enkapsulasi
2. Pengukuran Curah Hujan dan Hari Hujan daerah penelitian
3. Pengukuran geometri lereng disposal dan drainase disposal
4. Pengukuran pH / kadar keasaman air limpasan
5. Pengukuran TSS / (Total Suspended Solid)
6. Pengukuran kandungan Fe dan Mn
7. Pengukuran kesuburan tanah pada disposal enkapsulasi

I.3. Asumsi

Penelitian ini difokuskan kepada usaha penanganan air asam tambang yang
bersifat preventif, dimana kegiatan diupayakan mencegah terbentuknya air asam
tambang. Preventive strategy memiliki tiga pilar utama, yakni :
1. Disposal management
2. Water management
3. Akselerasi revegetasi
Secara ideal, pembentukan AAT hanya terjadi pada mine pit. Namun demikian,
pembentukan AAT yang utama di site Lati juga diakibatkan oleh terpaparnya
overburden PAF pada rekahan-rekahan akibat erosi dan longsor di hampir seluruh

3
disposal, saluran air dan jalan-jalan yang ada. Tingginya laju erosi dan
kelongsoran disebabkan oleh desain yang belum maksimal dalam
mempertimbangkan faktor yang mampu menanggulangil terjadinya hal tersebut,
seperti geometri lereng, saluran dan alur air, saluran drainase permukaan,
perlindungan permukaan, dan penanganan erosi saluran. Selain itu, persen
penutupan lahan revegetasi pada beberapa juga masih terbilang rendah. Rekahan
tersebut menyebabkan meningkatnya luas permukaan reaksi pirit pada overburden
dengan air dan oksigen yang selanjutnya meningkatkan laju pembentukan air
asam tambang sebagaimana reaksi berikut ;

4 FeS2 + 15 O2 + 14 H2O  4 Fe(OH)3  + 8 H2SO4


Pyrite + Oxygen + Water  “ Yellowboy” + Sulfuric Acid

Dari penelitian yang dilakukan ini akan diperoleh suatu lokasi areal bekas
penambangan yang ideal, tidak mencemari tanah dan tidak menjadi sumber dari
terbentuknya air asam tambang, sehingga untuk selanjutnya akan tetap menjaga
kualitas lingkungan sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh peraturan
pemerintah.

I.4. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Membuat desain disposal /waste dump berdasarkan model geokimia


NAF/PAF dengan menerapkan metode enkapsulasi guna mencegah
terbentuknya air asam tambang, dan pelaksanaan OB (overburden) Removal
di disposal sesuai prosedur disposal sebagaimana panduan Good Mining
Practice
2. Melakukan kajian teknis terhadap enkapsulasi pada area penimbunan yang
telah dibuat

4
3. Membuat rekomendasi yang didasarkan dari hasil kajian teknis yang telah
dilakukan terhadap metode enkapsulasi yang telah diterapkan oleh PT. Berau
Coal, Tbk.

I.5. Hipotesis

Dari penelitian yang dilakukan, kegiatan kajian ini diharapkan dapat


menghasilkan ;
1. Design disposal/waste dump berdasarkan model geokimia NAF/PAF dengan
menggunakan metode enkapsulasi dan perencanaan dumping yang baik, dapat
mencegah terbentuknya air asam tambang (AAT)
2. Hasil pemantauan dan pengukuran area timbunan di PT. Berau Coal dengan
metode enkapsulasi pada disposal sesuai dengan baku mutu lingkungan
(BML) sesuai peraturan pemerintah menjadi maksimal, sehingga pilar utama
dalam pencegahan / preventif pembentukan air asam tambang dapat menjadi
kegiatan yang berkelanjutan dilingkup perusahaan dan menjadi contoh untuk
diikuti oleh perusahaan-perusahaan tambang lainnya.

I.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif


komparatif dengan tahapan sebagai berikut ;

1. Pengambilan Data Primer dan Data Sekunder, yang terdiri atas ;


a. Studi literatur (text book, jurnal, paper, laporan) dan data-data
pendukung seperti data hasil bor sebelumnya, data litologi.
b. Penelitian lapangan: pengambilan sample batuan, air melalui data
pengeboran dan dinding tambang/settling pond
2. Uji laboratorium: untuk mengetahui tingkat keasaman (pH) batuan, air.
Sampel batuan dan air yang berasal dari hasil eksplorasi geokimia dan titik
pentaatan dari mine pit.

5
3. Validasi Data, dimana data primer maupun sekunder di-lakukan pengecekan
dan validasi dahulu terhadap parameter yang digunakan.
4. Proses Pengolahan, Kompilasi Data dan Pembuatan model geokimia untuk
material NAF/PAF dengan menggunakan software tambang Mincom
“Minescape”.
5. Membuat desain disposal dengan metode enkapsulasi dan penyaliran tambang,
menggunakan hasil model geokimia NAF/PAF dari hasil project software
“Minescape” untuk material balance dan perlapisan material yang
mengandung potensi asam (PAF)
6. Pelaksanaan pembentukan desain disposal yang telah direncanakan serta
verifikasi perlapisan NAF/PAF pada disposal yang dibentuk.
7. Pemantauan dan Monitoring air limpasan dari disposal yang telah dibentuk
melalui lokasi WMP (Water Monitoring Point) sebagai titik kontrol air yang
keluar dari disposal / tambang.
8. Pembuatan kajian teknis dan evaluasi dari hasil pemantauan pada metode
enkapsulasi yang sudah dilakukan
9. Penyusunan Laporan Hasil Penelitian berdasarkan hasil kajian teknis dan
evaluasi yang telah dilakukan.

6
Data Primer TIDAK VALID
Sampel

Data Sekunder Validasi Data


Literatur, Data Bor Sampel

Pekerjaan Laboratorium VALID


Uji Sampel; Batuan, Air

Proses
Pengolahan & Kompilasi
data

Pemodelan Geokimia
NAF dan PAF

Design Enkapsulasi
Pengelolaan Air Limbah
Pemantauan

Pembuatan Kajian Teknis


dan Evaluasi

Penyusunan Laporan dan


Rekomendasi Kajian

Gambar 1.1
Diagram Alir Tahapan Penelitian

I.7. Manfaat

1. Dari kegiatan penelitian ini, dapat diketahui bagaimana efektivitas


penimbunan dengan metode enkapsulasi untuk mencegah terbentuknya air
asam tambang (AAT)

7
2. Dari kegiatan ini dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pembuatan penimbunan dengan metode enkapsulasi, sehingga dapat
menjadi standar minimum dalam penerapan metode enkapsulasi.
3. Memberikan perspektif positif dari kegiatan penambangan batubara yang
ramah lingkungan, dimana air keluaran/limpasan yang ada sesuai (Baku
Mutu Lingkungan (BML) KemenLH No.113 tahun 2003 tentang baku
mutu air

8
BAB II
TINJAUAN UMUM

II.1. Lokasi Dan Kesampaian Daerah Penelitian

Secara administratif daerah penelitian terdapat di areal konsesi PT. Berau


Coal, Tbk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Daerah penelitian terletak + 15
km sebelah Timur laut ibu kota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb, Kalimantan
Timur. (Gambar 1.1)

Gambar 2.1
Peta tunjuk lokasi daerah penelitian yang terletak di Kabupaten Berau

Secara Geografis daerah penelitian terletak pada koordinat 117°30’27” BT -


117°34’53” BT dan 2°18’25” LU - 2°22’46” LU. Daerah penelitian dapat

9
dicapai dengan sarana transportasi dari kota Yogyakarta dengan menggunakan
pesawat udara selama + 1.5 jam menuju bandara Sepinggan, Balikpapan. Dari
Sepinggan, Balikpapan perjalanan dapat dilanjutkan melalui darat, udara, air
(sungai). Dengan Udara perjalanan yang ditempuh selama + 1 jam untuk dapat
tiba di Bandara Kalimarau, Berau.
Dari kota Tanjung Redeb, lokasi penelitian dapat dijangkau melalui darat
dan sungai. Lama perjalanan melalui jalur darat adalah 2 jam dengan
menggunakan kendaraan operasional PT.Berau Coal, sedangkan untuk jalur
Sungai Berau menggunakan speed boat dari Dermaga Head Office Berau Coal
selama + 20 menit, yang selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan
operasional PT.Berau Coal melalui jalan darat dan melewati areal tambang Lati
Area dengan waktu tempuh + 45 menit.

51 0 000E 525 00 0E 54 000 0E 55 5 00 0E 570 000E 585 00 0E 60 000 0E

BERAU COAL

KONSESI
DU 424 / KALTIM KAB.B U L U N G A N
( Luas 121.589,10 Ha )
Drawn By : Yudi Skala : 1 : 230.000
26 0 00 0N Sambarata 260 00 0N

Keterangan : KAB.B E R A U

Batas Konsesi DU 424


Batas Potensi Batubara
Lati Area
Sungai & anak sungai Su
ng
ai
KP Eksploitasi La
ti

Birang Area

n Merancang Hulu
ga Kasai
un Sungai Ulak
Punan Area ak
24 5 00 0N
Su mb t Merancang Hilir 245 00 0N

g t Sa nga
ng
Makasang uan
ai
B a a Batubatu
ak Per
ira
ng
l ur
S
un Ma mb Tg.
ga
Tepian Buah iP
ur
a
Sa Gurimbang Sungai Berau Guntung
Sungai Punang
Gn.Tabur Bangun Muara Kasai
Sambaliung Sukan
Tanah Merah Rinding Sodang Lalawan

Bedungun
g
gan
gai
Sia
ng Sungai Nukai
TelukSun Bayur Area Tanjung
aiK
elai Redeb Gurimbang Area
Sun Sung
gaiS Tempurung
ega
h
Rantau Panjang
I
ES
an
ung
W
ai
Bin LA
Sung SU
23 0 00 0N
Labanan Muara Lunsuran Naga UT 230 00 0N

Lunsuran Naga
LA
Parapatan Area
g mut
un Sulu
idu Sungai
aiS Sungai Inaran
Sung Block 1- 4 Suaran
Tumbit Melayu
Muara Pantai

Tumbit DayakMeraang
mbit
Tu
ngai
Su Long Lanuk
Binungan Area

21 5 00 0N 215 00 0N

Kelai Area

Nyapa Indah

Skala : 1 : 230.000

20 0 00 0N 200 00 0N
51 0 000E 525 00 0E 54 000 0E 55 5 00 0E 570 000E 585 00 0E 60 000 0E
D: Ta nj_S of wan /c on _bc.srf

Gambar 2.2.
Lokasi daerah penelitian di wilayah konsesi PT. Berau Coal, Tbk

10
Sedangkan daerah penelitian blok Sambarata, lokasi penelitian dapat
dijangkau melalui darat dan sungai. Lama perjalanan melalui jalur darat adalah 2
jam dengan menggunakan kendaraan operasional P.T.Berau Coal, sedangkan
untuk jalur sungai Berau menggunakan speed boat dari dermaga Head Office
Berau Coal selama + 25 menit melewati Sungai Berau, yang selanjutnya
perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan operasional Berau Coal melalui jalan
darat dan melewati areal tambang Sambarata Area.

II.2. Geologi Daerah Penelitian

Kabupaten Berau termasuk kedalam Subcekungan Berau (bagian


Cekungan Tarakan). Subcekungan Berau diperkirakan minimal telah mengalami
4 (empat) tektonik. Tektonik pertama terjadi pada akhir Kapur/lebih tua yang
mengakibatkan terbentuknya struktur perlipatan, pensesaran, dan pemalihan
regional derajat rendah. Tektonik ke-2 (Eosen-Oligosen), mangakibatkan
terjadinya proses pengendapan sedimen berumur Oligosen-Miosen dan secara
setempat diikuti dengan terobosan batuan beku andesitik sehingga terbentunya
satuan gunung api. Tektonik ke-3 (Miosen Akhir–Pliosen) diantaranya
terendapnya Formasi Labanan dan Formasi Latih. Tektonik ke-4, terjadi
perlipatan dan pensesaran yang mengakibatkan beberapa lapisan batubara
tersingkap di sungai dan terangkat di atas permukaan laut sehingga lapisan
batubara di daerah Tanjung Redep relatif memiliki kadar air rendah.
Menurut peta geologi Lembar Tanjung Redeb sekala 1:250.000
(Situmorang & Burhan, 1995) tatanan stratigrafi di daerah Berau diawali dengan
Formasi. Birang sebagai formasi tertua yang disusun oleh lapisan napal,
konglomerat, batupasir, batulempung dan batubara yang bagian bawah dan di
bagian atas formasi ini tersusun oleh batugamping, tufa dan napal. Di atasnya
diendapkan Formasi Langkap/Latih (Miosen Awal-Miosen Tengah), terdiri dari
batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan lapisan batubara di bagian atasnya,
sisipan serpih pasiran dan batugamping dibagian bawah, Latih dengan lingkungan
delta, estuarian dan laut dangkal. Selanjutnya diendapkan Formasi Labanan,

11
terdiri dari perselingan konglomerat, batupasir, batulanau, batulempung yang
disisipi oleh batugamping dan batubara dengan diendapkan pada lingkungan
fluviatil (Miosen Akhir-Pliosen). Di atas Formasi Labanan diendapkan Formasi
Sinjin (Plio-Pleistosen) yang tersususun dari perselingan tufa, aglomerat, lapili,
lava piroksen, tufa terkersikkan, batulempung tufaan dan kaolin, lignit, kuarsa,
fellspar dan mineral gelap.
Berdasarkan Peta Geologi keluaran Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
(P3G) Bandung pada Lembar 1918 (Tanjung Redeb), secara regional daerah anak
cekungan terdiri dari batuan sedimen, batuan gunung api dan batuan beku dengan
kisaran umur dari PraTersier (Kapur) hingga Kuarter. Anak Cekungan Berau dari
yang tua ke muda terdiri dari Formasi Banggara (Kbs), Formasi Sambakung
(Tes), Formasi Tabalar (Teot), Formasi Birang (Tomb), Formasi Latih (Tml),
Formasi Tabul (Tmt), Formasi Labanan (Tmpl), Formasi Domaring (Tmpd),
Formasi Sinjin (Tps), Formasi Sajau (TQps) dan Endapan aluvial (Qa). (lihat
Tabel III.1)
Formasi Bangara ( Kbs ) : Perselingan batulempung malih, batulempung
terkersikkan, batulempung hitam bersisipan serpih dan laminasi tuff, mengandung
radiolaria, satuan batuan merupakan endapan flysh. Umurnya Kapur.
Formasi Sembakung ( Tes ) : Batulempung, batulanau, dan batupasir dibagian
bawah ; batupasir kuarsa, batugamping pasiran, rijang dan tuf dibagian atas ;
mengandung fosil nummulites sp, Discocylclina sp, Operculina sp, Globigerina
sp, Reusela sp, Nodosaria sp, Planulina sp, Amphistegina sp dan Borelis sp ;
Tebal satuan batuan lebih dari 1000 m, diendapkan dalam lingkungan laut,
berumur Eosen.
Formasi Tabalar ( Toet ) : Napal abu – abu, batupasir, serpih, sisipan
batugamping dan konglomerat alas dibagian bawah, batugamping dolomite,
kalkarenit dan sisipan napal dibagian atas ; diendapkan dalam lingkungan fluviatil
- laut dangkal; tebal satuan mencapai 1000 m. Umurnya Eosen – Oligosen .
Formasi Birang ( Tomb ) : Perselingan napal, batugamping dan tuff dibagian
atas, dan perselingan rijang, napal, konglomerat, batupasir kuarsa dan
batugamping dibagian bawah ; Tebal satuan batuan lebih dari 1100 m ;

12
mengandung fosil antara lain : Lepidocyclina ephicides, Spiroclypeus sp,
Miogypsina sp, Margionopora vertebralis, Operculina sp, Globigerina tripartita,
Globoquadrina altispira, Globorotalia mayeri, Globorotalia peripheronda,
Globigerinoides immaturus, Globigerinoides sacculifer, Pra Orbulina transitoria,
Uvigerina sp, Cassidulina sp. Kisaran Umur Oligosen – Miosen.
Formasi Latih ( Tml ) : Batupasir kuarsa, batulempung, batulanau, dan batubara
dibagian atas; bersisipan serpih pasiran dan batugamping dibagian bawah.Lapisan
batubara ( 0,2 – 5,5 m ), berwarna hitam, coklat; tebal satuan batuan kurang lebih
800 m, diendapkan dalam lingkungan delta, estuarin dan laut dangkal;
mengandung fosil antara lain : Pra Orbulina glomerosa, Pra Orbulina
transitioria; berumur Miosen Awal – Miosen Tengah.
Formasi Tabul ( Tmt ) : Terdiri dari batupasir, batulempung konglomerat dan
sisipan batubara ; mengandung Operculina sp, tebal satuan kurang lebih 1050 m.
Satuan batuan merupakan endapan regresif delta. Umurnya Miosen Akhir.
Formasi Labanan ( Tmpl ) : Perselingan konglomerat aneka bahan, batupasir,
batulanau, batulempung disisipi batugamping dan batubara. Lapisan batubara ( 0,2
– 1,5 m ) berwarna hitam, coklat. Tebal satuan lebih kurang 450 m, diendapkan
dalam lingkungan fluviatil. Umurnya Miosen Akhir – Pliosen.
Formasi Domaring ( Tmpd ) : Batugamping terumbu, batugamping kapuran,
napal dan sisipan batubara muda ; diendapkan dalam lingkungan rawa litoral.
Tebalnya mencapai 1000 m, berumur Miosen Akhir – Pliosen.
Formasi Sinjin ( Tps ) : Perselingan tuf, aglomerat, lapili, lava andesit piroksen,
tuf terkersikan, batulempung tufaan dan kaolin, mengandung lignit, kuarsa,
feldsfar, dan mineral hitam. Tebal satuan batuan lebih dari 500m.
Formasi Sajau ( TQps ) : Perselingan batulempung, batulanau, batupasir,
konglomerat, disisipi batubara, mengandung moluska, kuarsit dan mika ;
menunjukan struktur silang siur dan laminasi. Lapisan batubara (0,2 – 1 m)
berwarna hitam, coklat. Tebal satuan batuan lebih kurang 775 m. Diendapkan
dalam lingkungan fluviatil dan delta.
Endapan Aluvial ( Qa ) : Lumpur, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan gambut
berwarna kelabu sampai kehitaman, tebalnya lebih dari 40 m.

13
Tabel 3.1.
Kolom Stratigrafi Cekungan Tarakan (Situmorang dan Burhan,1995)
ENDAPAN BATUAN BATUAN
MASA ZAMAN KALA BATUAN SEDIMEN
PERMUKAAN GUNUNG API TEROBOSAN

KUARTER HOLOSEN Qa Ql

PLISTOSEN AKHIR

TENGAH
TQps
AWAL
KENOZOIKUM

PLIOSEN Tps
Tmpl Tmpd
AKHIR Tmt
MIOSEN

TENGAH
TERSIER

Tml
Tomi
AWAL
Tomb
Tomj
OLIGOSEN
Teot
EOSEN Tes

PALEOSEN
MESOZOIKUM

AKHIR Kbs
KAPUR

AWAL

14
Tabel 3.2.
Kolom Stratigrafi Cekungan Tarakan (PT. Berau Coal, 1996)

UTARA TENGAH SELATAN


UMUR
SIMENGARIS TIDUNG LATONG BERAU BERAU
RIDGE
ZAMAN KALA Leopold and Samuel, 1980 Leopold and Leopold and
PLISTOSEN v.d. Vlerk, 1931 v.d. Vlerk, 1931 v.d. Vlerk, 1931 Klompe, 1941
KUARTER

Sajau
Bunyu Beds Bunyu Beds Bunyu (Sinjin tuffs)

Lignits Fm.
Bunyu Beds Tarakan 4250 m
PLIOSEN Tarakan Beds Sajau
850 m 1200-2300 m
Labanan
Akhir

Mandul Marls Tabud Fm. Ancam Beds Coal Formation (Domaring)


1500 m 2250 m 450 m

Simengaris
MIOSEN

Tengah

Tabul Beds Meliat Fm Kunyang


2500 m Series Lati Fm.

Limestone/coal
Awal

Meliat SST Fm. Formation

Sandstone Mantupe Fm. Sterile Fm. Birang


TERSIER

3000 m (marine) Globigerina 2500 m Mudstone


Marls 2000 m
Globigerina
Mantupu Beds Marls
700 m 2250 m
OLIGOCEN

Lepidocyclina
Masskol Marls Lepidocyclina Limestone Tabalar Fm.
1000 m Tabalar Limestone 500 m
Limestone
Selor
Terrpilan Beds Tabalar Marls Limestone
1000 m 500 m

Mica
Sandstone Fm. Sembakung

Sembakung

15
Gambar 3.3.
Stratigrafi Cekungan Tarakan (Dari beberapa sumber, Haq et al., 1988; Haddad &
Vail, 1992; Nandang & Wahyudin 1994; Heriyanto et al., 1992; Hidayat et al.,
1992; Situmorang & Burhan, 1992; Achmad & Samuel, 1984; Maher, 1993).

16
II. 3. Demografi Daerah Penelitian

Morfologi daerah penelitian yang didominasi oleh bentang alam berupa


pedataran, perbukitan bergelombang landai, dan perbukitan bergelombang
mempengaruhi flora dan fauna yang ada disekitarnya. Dengan morfologi yang
ada, maka dominasi tanaman keras dan kayu menghampar dominan diareal
penelitian. Sementara untuk tata guna lahan daerah penelitian sebagian besar
merupakan lahan perkebunan dan hutan.

Daerah Berau memiliki iklim tropis, yang memiliki curah hujan cukup
tinggi dengan hari hujan merata sepanjang tahun. Intensitas penyinaran matahari
yang tinggi menjadikan suhu udara relatif tinggi sepanjang tahun dengan
kelembaban udara yang tinggi pula. Curah hujan cenderung tinggi sepanjang
tahun, berkisar antara 91 – 246 mm3 perbulan. Curah hujan terendah terjadi pada
bulan Agustus. Pada bulan ini merupakan pertengahan musim kemarau yang
sangat terik. Curah hujan terus meningkat pada bulan-bulan berikutnya. Curah
hujan terbesar terjadi pada bulan Maret sebesar 246,9 mm3. Sedangkan hari hujan
cenderung merata sepanjang tahun berkisar antara 13 sampai 27 hari tiap
bulannya. Bulan Agustus menunjukkan bulan tanpa hari hujan, sedangkan bulan-
bulan berikutnya aktifitas hujan relatif merata. Hari hujan terbanyak adalah bulan
Desember, yang tiap harinya cenderung hujan pada bulan ini.

Temperatur udara sepanjang tahun relatif konstan. Suhu terendah pada tiap
bulannya berada pada kisaran dibawah 25°C dan merata sepanjang tahun.
Sedangkan pada suhu tertinggi berada diatas 30°C setiap bulannya. Suhu rata-rata
berkisar antara 22° sampai dengan 33° Celcius. Temperatur udara tertinggi terjadi
pada bulan Agustus 33,40°C yang merupakan puncak musim kemarau. Sedangkan
suhu terendah terjadi pada bulan Juli 22,40°C. Kelembaban udara di Kabupaten
Berau berkisar antara 54 – 100% perbulannya. Kelembaban udara terendah terjadi
pada bulan Agustus sebesar 54% dan tingkat kelembaban udara tertinggi terjadi
pada bulan Oktober dan November sebesar 100%. Lama penyinaran matahari
antara 23 sampai 61 setiap bulannya.

17
II.4. Tinjauan Kondisi Penambangan

II.4.1. Metode Penambangan

Berdasarkan pola kemiringan lapisan batubara, kondisi geomorfologi areal


penambangan, dan aspek geoteknik batuan, serta ketersediaan luasan areal
bukaan, maka secara umum penambangan di areal konsesi PT. Berau Coal dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu ; metode penambangan box-cut contour mining
dan metode pola penambangan kombinasi antara open pit dan box-cut contour
mining. Pola penambangan box-cut contour mining dilakukan pada areal-areal
yang memiliki kemiringan lapisan relatif landai dan dengan luas areal timbunan di
luar areal tambang yang relatif sangat terbatas. Pola penambangan kombinasi
antara open pit dan box-cut contour mining dilakukan pada areal-areal yang
memiliki kemiringan lapisan batubara relatif sedang sampai terjal. Pada tahap
awal pelaksanaan metode penambangan ini, areal bukaan tambang diupayakan
tidak terlalu luas dan harus diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Hal ini
bertujuan untuk memperkecil areal lain yang dipakai untuk tempat lokasi
penimbunan lapisan penutup. Langkah selanjutnya adalah dengan cara
memanfaatkan lubang bukaan yang sudah selesai untuk kemudian dijadikan
sebagai lokasi penimbunan tanah penutup berikutnya.

II.4.2. Tahapan Kegiatan penambangan

Kegiatan awal yang dilakukan pada tahap ini adalah dengan cara
melaksanakan pembersihan lahan dari tegakan pepohonan yang ada. Setelah itu
dilanjutkan dengan tahapan pengupasan lapisan penutup, dimana tiap lapisan
tanah dan batuan penutup dipisahkan berdasarkan tingkat kesuburan dan
komposisi kimia tanah dan batuannya (NAF dan PAF).

Setelah dilakukan pengupasan, dilakukan pemindahan material-material


penutup batubara. Untuk material yang memiliki unsur hara tinggi (lapisan tanah
yang subur / produktif) dipisahkan pada lokasi tersendiri. Tujuan dari proses ini
adalah pada saat proses rehabilitasi paska tambang lapisan-lapisan penutup
batubara dapat dikembalikan ke posisinya semula.

18
Setelah semua lapisan penutup batubara dikupas dan ditempatkan pada
daerah penimbunan yang sesuai, dilanjutkan dengan penggalian dan
pengangkutan batubara. Sebelum dilakukan penggalian, terlebih dahulu dilakukan
proses pembersihan dari lapisan pengotor yang mungkin masih tertinggal dan
berada dipermukaan lapisan batubara.

Tahap penirisan tambang dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol pola


pengaliran air yang mengarah baik menuju maupun yang mengarah keluar dari
lokasi penambangan. Disamping bertujuan agar lokasi tambang selalu kering,
tujuan yang lainnya adalah agar tingkat keasaman air dari lokasi tambang tidak
terlalu tinggi.

II.4.3. Tahapan Reklamasi Tambang

Penanganan rehabilitasi terhadap lapisan soil untuk meminimalisasi


dampak kegiatan operasional tambang terhadap penurunan kualitas kesuburan
tanah. Pengupasan top soil dilakukan setelah proses pembersihan lahan dari
tegakakan pohon dan dilakukan secara hati-hati, untuk menghindari tercampurnya
lapisan top soil dengan material batuan penutup lainnya. Pemindahan top soil
sedapat mungkin langsung ditebar pada daerah disposal yang sudah siap untuk
dilakukan revegetasi. Jika belum ada daerah yang siap untuk dilakukan revegetasi,
maka top soil tersebut disimpan pada soil bankstock. Pengelolaan top soil pada
stock soil adalah dengan menanam cover crop secepat mungkin agar terlindungi
dari erosi permukaan akibat angin dan air. Demikian juga perlu ditanami fast
growing leguminoceae sebagai tanaman pinggir serta kombinasi gamal dan cover
crove pada lereng, untuk memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan
kandungan nitrogen tanah dengan bintil akar yang terdapat pada tanaman legum
tersebut.
Untuk penanganan rehabilitasi kualitas air permukaan dilakukan dari awal
kegiatan penambangan yaitu dengan cara memisahkan tiap-tiap lapisan penutup
batubara (enkapsulasi), karena tiap lapisan penutup memiliki kualitas keasaman
yang berbeda-beda. Selain itu, untuk mengurangi keasaman akibat proses

19
penambangan juga dilakukan proses pengapuran (penambahan CaCO3), sehingga
diharapkan pH air yang berubah menjadi lebih asam akibat kegiatan penambangan
akan kembali pada kondisi awalnya.
Untuk mengurangi tingkat erosi dan sedimentasi yang terlalu tinggi, maka
pada lokasi-lokasi tertentu di pola aliran air dibuat suatu sistem kolam pengendap
yang berfungsi untuk mengurangi tingkat sedimentasi dan mengontrol keasaman
air. Sementara untuk mengurangi tingkat erosi pada lahan-lahan timbunan,
dilakukan dengan penanaman tanaman yang intensitas pertumbuhannya relatif
cepat.

20
BAB III
DASAR TEORI

Air Asam Tambang (AAT) merupakan salah satu persoalan lingkungan utama
yang dihadapi oleh industri pertambangan batubara. Karena tingkat keasaman dan
konsentrasi logam larutnya yang tinggi, AAT dapat mencemari lingkungan,
terutama ekosistem akuatik. Banyak teknik pengendalian AAT yang
dikembangkan, namun dalam 15 (lima belas) tahun terakhir pengendalian pasif
semakin berkembang dibandingkan dengan pengendalian aktif.

III.1. Pendahuluan

Air asam adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menjelaskan air lindi,
rembesan atau drainase yang ber-pH rendah yang keluar dari batuan yang
mengandung mineral sulfida yang teroksidasi. Reaksi oksidasi ini, selain dapat
menurunkan pH air, juga meningkatkan kadar sulfat yang selanjutnya mampu
meluruhkan dan membawa logam berat yang terkandung pada batuan yang dilalui
oleh aliran air asam ini. Bilamana hal ini terjadi di operasi tambang, disebut
sebagai air asam tambang (AAT).
Air asam dapat terjadi dari berbagai macam aktivitas diantaranya :
 Pembukaan lahan
 Pembangunan jalan
 Pertanian
 Pembangunan saluran drainase
 Pertambangan

Air asam yang keluar ke badan sungai akan mengakibatkan pengasaman aliran
sungai serta mobilisasi dan pengendapan logam yang mungkin beracun bagi biota
akuatik. Juga mengakibatkan terkorosinya logam dan konstruksi beton.

21
Air asam dapat dikenali melalui :
1. Air pH rendah
2. Kadar sulfat dan kalsium yang tinggi dalam air
3. Pengendapan besi
4. Pengendapan besi sulfat kuning dan aluminium sulfat warna putih

III.1.1 Proses Pembentukkan AAT

Pembentukan AAT merupakan fungsi dari geologi, hidrologi dan teknologi


penambangan yang diterapkan. AAT terbentuk melalui suatu seri reaksi geokimia
dan mikrobial yang kompleks yang terjadi ketika air kontak dengan mineral
mineral pirit (besi disulfida). Air tersebut umumnya memiliki tingkat keasaman
dan kandungan logam terlarut yang tinggi.

Logam akan tetap terlarut sampai pH meningkat sampai pada suatu tingkat logam
tersebut mengalami presipitasi.

Reaksi umum pembentukkan air asam tambang adalah sebagai berikut:

4 FeS2 + 15 O2 + 14 H2O  4 Fe(OH)3  + 8 H2SO4


Pyrite + Oxygen + Water  “ Yellowboy” + Sulfuric Acid

Reaksi tersebut dapat dirinci menjadi empat tahap reaksi :


1. Reaksi pertama adalah reaksi pelapukkan dari pyrite disertai proses
oksidasi. Sulfur dioksidasi menjadi sulfat dan besi fero dilepaskan. Dari
reaksi ini dihasilkan dua mol keasaman dari setiap mol pirit yang
teroksidasi.
2 FeS2 + 15 O2 + 2 H2O  2 Fe2+ + 4 SO42- + 4 H+
Pyrite + Oxygen + Water  Ferrous Iron + Sulfate + Acidity

22
2. Pada reaksi kedua terjadi konversi dari besi ferri menjadi besi ferro yang
mengkonsumsi satu mol keasaman. Laju reaksi lambat pada pH < 5 dan
kondisi abiotik. Bakteri thiobacillus akan mempercepat proses oksidasi.
4 Fe2+ + O2 + 4 H+  4 Fe3+ + 2 H2O
Ferrous Iron + Oxygen + Acidity  Ferric Iron + Water

3. Reaksi ketiga adalah hidrolisa dari besi. Hidrolisa adalah reaksi yang
memisahkan molekul air. Tiga mol keasaman dihasilkan dari reaksi ini.
Pembentukkan presipitat ferri hidroksida tergantung pH, yaitu lebih
banyak pada pH di atas 3,5.
4 Fe3+ + 12 H2O  4 Fe(OH)3  + 12 H+
Ferric iron + Water  Ferric Hydroxide ( yellowboy ) + Acidity

4. Reaksi keempat adalah oksidasi lanjutan dari pirit oleh besi ferri. Ini
adalah reaksi propagasi yang berlangsung sangat cepat dan akan berhenti
jika pirit atau besi ferri habis. Agen pengoksidasi dalam reaksi ini adalah
besi ferri.
FeS2 + 14 Fe3+ + 8 H2O  15 Fe2+ + 2 SO42- + 16 H+
Pyrite + Ferric Iron + Water  Ferrous Iron + Sulfate + Acidity

III.2. Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukkan Air Asam Tambang

Pembentukkan air asam tambang berdasarkan reaksi tersebut di atas dipengaruhi


beberapa faktor yang melibatkan proses-proses fisika, kimia, dan biologi yang
sangat spesifik tergantung lokasi. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi
3 yaitu :
1. Faktor primer
2. Faktor sekunder
3. Faktor tersier

23
3.2.1 Faktor Primer

Faktor primer adalah faktor yang secara langsung berpengaruh pada


pembentukkan oksidan mineral sulfida yang meliputi : karakteristik fisik material,
ketersediaan air untuk oksidasi dan transport, dan ketersediaan oksigen. Selain itu
juga adalah temperatur, pH, kesetimbangan besi-feri dan besi-fero, dan aktivitas
mikrobiologi.

3.2.2 Faktor Sekunder

Faktor sekunder akan mengalterasi produk oksidasi mineral sulfida. Faktor ini
antara lain adalah kehadiran mineral yang dapat menetralisir asam. Sampai saat
ini, karbonat merupakan satu-satunya mineral alkali yang secara efektif dianggap
dapat mengontrol dan mencegah pembentukkan air asam. Meskipun mineral
silikat seperti mika dan mineral lempung juga memiliki kemampuan menyerap
asam tetapi dalam kapasitas yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan karbonat.

3.2.3 Faktor Tersier

Faktor tersier adalah kondisi fisik (material, topografi wilayah, iklim, dll) yang
secara signifikan mempengaruhi proses oksidasi mineral sulfida, potensi
penyebarannya ke wilayah yang lebih luas. Pada faktor tersier ini, hujan dan
temperatur merupakan factor yang paling signifikan pengaruhnya. Seperti
diketahui bahwa kecepatan oksidasi mineral sulfida yang terjadi dalam air jauh
lebih kecil bila dibandingkan dengan kecepatan oksidasi mineral sulfida yang
terjadi pada udara bebas. Oleh sebab itu kejenuhan mineral sulfida menjadi
strategi utama untuk mengontrol laju oksidasi.

3.2.4 Faktor Geologi Pada Keterdapatan Mineral Sulfida

Terdapat empat proses geologi utama yang berpengaruh pada variabilitas


properties batubara dan komposisi kimia atau mineralogi batuan di sekitarnya.
Dua diantaranya adalah iklim purba (paleoclimate) dan lingkungan pengendapan

24
purba (paleodepotional environment), dan dua lainnya adalah pelapukan di
permukaan dan glasiasi (Brady dkk, 1988). Iklim mempunyai pengaruh besar
pembentukkan endapan gambut, komposisi kimia pada rawa, dan tentunya
termasuk komposisi kimia batubara. Kondisi kering yang terjadi secara periodic
mengakibatkan permukaan gambut mengering yang akan teroksidasi, dan
terdegradasi sehingga meningkatkan kandungan abunya. Kondisi ini akan
meningkatkan kandungan belerang dan abu batubara.
Lingkungan pengendapan purba merupakan pengontrol penting pada
penyebaran pirit dan karbonat. Batuan yang terendapkan pada lingkungan air
payau memberikan kondisi optimum untuk pembentukkan pirit yang terbentuk
dari sulfat pada air payau dan besi dari wilayah sekitarnya. Selain itu kandungan
mineral kalkareousnya biasanya rendah. Lingkungan pengendapan air tawar
biasanya tidak menghasilkan air asam. Sedangkan batuan yang diendapkan pada
lingkungan laut menghasilkan kualitas air yang bervariasi. Akan tetapi cebakan
pada suatu areal tambang mempunyai kemungkinan memiliki variasi lingkungan
pengendapan baik vertikal maupun lateral dan dipengaruhi oleh distribusi inherent
dari pirit dan karbonat yang akan menghasilkan pembentukkan air asam yang
berbeda.

III.3. Sumber Potensi Air Asam Tambang

Air asam tambang terbentuk manakala mineral-mineral sulfide tertentu terdedah


(exposed) pada suatu kondisi oksidasi. Air asam tambang ditemukan baik pada
tambang batubara (Acid Mine Drainage) maupun tambang bijih (Acid Rock
Drainage) atau kegiatan penggalian lain dimana terdapat mineral-mineral sulfida.
Sumber potensi utama yang menyebabkan terjadinya air asam tambang di
tambang batubara khususnya terutama karena kandungan sulfur (S content) di
dalam batubara (coal seam).
Pada tambang batubara dan batuan di sekelilingnya sulfur ditemukan
dalam bentuk S organik, S sulfat dan S sulfida. S organik terkait dengan material
tumbuhan pembentuk batubara dan terikat secara organik di dalam batubara.

25
Umumnya secara kimia tidak reaktif , sedikit atau bahkan tidak berperan dalam
pembentukan AAT.
S sulfat umumnya terdapat dalam jumlah sedikit di dalam batubara atau
batuan pada kondisi lembab, bisa dalam jumlah yang lebih banyak pada kondisi
arid. Umumnya merupakan produk dari pelapukan dan oksidasi sulfur. Jika
terbentuk gypsum (CaSO4) asam tidak akan lagi terbentuk karena gypsum adalah
garam yang netral.
Sulfida besi yang umum pada daerah batubara adalah pyrite dan marcasite
(FeS2), sementara sulfida logam lainnya antara lain chalcopyrite (CuFeS2),
covellite (CuS CuS), dan arsenopyrite (FeAsS). Pyrite umumnya terdapat dengan
sulfida logam lainnya dan sangat berpotensi membentuk AAT.
Jika terbentuk jarosit (KFe3(SO4)2(OH)6) tambahan asam akan terbentuk
dari oksidasi mineral ini, walaupun tidak akan besar. S – sulfida merupakan
bentuk S yang paling dominan di dalam overburden dan yang paling mendapat
perhatian. Sementara itu Fe disulfida (pyrite dan marcasite) adalah pembentuk
asam utama. Mineral sulfida logam lain (Cu, Pb, Zn) umumnya kurang reaktif
karena struktur kristal yang lebih stabil dan pembentukkan lapisan yang
menghambat pelapukan lebih jauh.
Enam grup pyritic sulphur:
1. Primary massive
2. Plant replacement
3. Primary euhedral
4. Secondary cleats (joint) coats
5. Mossy pitted
6. Framboidal
Laju reaksi oksidasi pyrite dipengaruhi oleh berbagai variable seperti :
 Permukaan pirit yang reaktif
 Bentuk dari sulfur pirit
 Konsentarasi oksigen
 pH larutan
 katalisator

26
 frekuensi “flushing” atau pencucian
 kehadiran bakteri thiobacillus

1% sulfur pada batuan sebanyak 1 ton akan menghasilkan asam sulfat sebanyak
30,62 kg yang membutuhkan 31,.25 kg CaCO3 untuk menetralkannya. Jika sulfur
dalam batuan tersebut terdapat dalam bentuk pirit, kandungan sulfur total dalam
batuan secara akurat mengkuantifikasi potensi pembentukkan asam. Jika terdapat
juga sulfur organik atau sulfat dalam jumlah yang cukup besar, maka total sulfur
akan memberikan prediksi yang “overestimate”.
Di dalam batuan selain pirit bisa juga terdapat material basa (alkaline), umumnya
dalam bentuk karbonat atau exchange cation dalam lempung, yang dapat
mengurangi proses oksidasi atau menetralkan asam yang terbentuk. Material
alkaline juga dapat mengontrol bakteri dan membatasi kelarutan dari besi ferri.
Mineral sulfid logam yang penting, antara lain :

FeS2 – pyrite
FeS2 – marcasite
FexSx – pyrrhotite
Cu2S – chalcocite
CuS – covellite
CuFeS2 – chalcopyrite
MoS2 – molybdenite
NiS – millerite
PbS – galena
ZnS – sphalerite
FeAsS – arsenopyrite
Pyrite dan Marcasite adalah penyebab utama air asam tambang.

Sedangkan sulfur organik berbentuk kompleks dan bersenyawa erat dengan


batubara. Bentuk ini biasanya ditemukan di lapisan dasar batubara dan lapisan

27
karbonaseus sulfur organik tidak reaktif, sehingga hanya sedikit atau hampir tidak
berpengaruh dalam menghasilkan air asam tambang.
Sulfat umumnya ditemukan dalam jumlah kecil pada batubara dan lapisan batuan
dekat batubara. Senyawa ini merupakan hasil pelapukan ataupun hasil oksidasi
pirit. Dengan demikian bukan sebagai penghasil air asam tambang.

III.4. Pengelompokkan Air Asam Tambang

Pengelompokkan air asam tambang (Skousen dan Ziemkiewics, 1996), terbagi


atas:
 Tipe 1- Air tambang dengan alkalinitas yang rendah (pH < 4,5) dan
mengandung Fe, Al, Mn, dan logam lain, keasaman (acidity) oksigen. Air
jenis ini disebut Air Asam Tambang (Acid Mine Drainage).
 Tipe 2 – Air tambang dengan TDS yang tinggi mengandung banyak besi
ferro dan Mn, tidak atau sedikit mangandung oksigen dan pH > 6,0. Jika
teroksidasi pH akan turun dengan cepat menjadi tipe-1.
 Tipe 3 - Air tambang dengan TDS sedang sampai tinggi, kandungan besi
ferro dan Mn yang rendah sampai sedang tidak atau sedikit mengandung
oksigen, pH > 6,0 dan alkalinitas lebih besar dari pada keasaman. Biasa
disebut “alkaline mine drainage”. Jika teroksidasi, asam yang terbentuk
dari reaksi hidrolisa dan presipitasi logam akan dinetralkan oleh alkalinitas
yang terdapat di dalam air.
 Tipe 4 – Air asam tambang yang ternetralkan dengan pH > 6,0 dan
kandungan TSS yang tinggi. Hidroksida logam belum terendapkan. Pada
kolam pengendap, padatan akan mengendap dan membentuk air tipe 5.
 Tipe 5 – Air asam tambang yang ternetralkan dengan pH > 6,0 dan
kandungan TDS yang tinggi. Setelah hidroksida logam mengendap di
kolam pengendap, yang tertinggal di dalam air umumnya Ca dan Mg serta
bikarbonat dan sulfat.
 Air tambang netral – berasal dari tambang dengan kandungan sulfida yang
sangat kecil dan kandungan karbonat yang rendah sampai sedang.

28
Umumnya netral dan DHL rendah (< 100S/mm) serta alkalinitas dan
keasaman yang hampir seimbang.
Keasaman adalah suatu ukuran jumlah basa yang diperlukan untuk menetralkan
suatu volume air. Satuan yang dipakai adalah mg/L CaCO3. Untuk air asam
tambang keasaman terdiri atas keasaman mineral (Fe, Mn, Al, dan logam lain
tergantung dari sulfida logam yang terdedah) dan keasaman ion hidrogen.

III. 5. Dampak Air Asam Tambang

Dampak yang ditimbulkan oleh air asam tambang terhadap lingkungan terutama
adalah karena pada kondisi yang sangat asam, kebanyakan logam akan mudah
larut dan mobilitasnya meningkat, sehingga kalau terbawa oleh aliran air (run off)
ke perairan umum maka dapat menyebabkan pencemaran air permukaan. Logam-
logam tersebut bila masuk dalam rantai makanan akan terakumulasi dalam
tumbuhan atau hewan, akhirnya terjadi bioakumulasi dalam tubuh manusia yang
memakannya dan menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan.

III. 6. Pengendalian Air Asam Tambang

Terbentuknya air asam tambang dapat dikontrol dengan menghilangkan atau


mengurangi satu atau lebih komponen pembentuk asam. Beberapa cara untuk
melakukan hal tersebut, antara lain:
1. Mengumpulkan, membuang atau mengisolasi material sulfida.
2. Mengisolasi atau mencegah kontak terhadap air
3. Mengisolasi atau mencegah kontak terhadap oksigen. Walaupun air asam
dapat terbentuk oleh reaksi anaerob, isolasi atau pengurangan jumlah
oksigen dapat secara signifikan menurunkan terbentuknya air asam.
4. Mengontrol pH air.
5. Mengontrol aktivitas bakteri yang berpotensi mempercepat reaksi
pembentukkan air asam sehingga harus dilakukan secara simultan dengan
kontrol yang lain.

29
Langkah – langkah yang dapat dilakukan dalam pengendalian air asam tambang :
1. Pengendalian proses pembentukkan asam.
Dilakukan dengan mengendalikan teroksidasinya yang terdapat pada
lapisan penutup atau tempat timbunan batubara.
2. Pengendalian migrasi atau penyebaran air asam.
Dilakukan dengan mengendalikan transportasi air asam tambang yang
terdapat pada lapisan penutup atau tempat timbunan batubara.
3. Penetralan.
Dilakukan dengan melakukan penetralan terhadap air asam tambang yang
telah terbentuk sebelum dilepas ke perairan umum.

Penanganan Air Asam Tambang

Sejumlah teknik telah lama dikembangkan dan diterapkan di banyak negara


(Skousen et al., 1998). Secara garis besar teknik-teknik tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu perlakuan aktif (active treatment) dan perlakuan pasif (passive
treatment).

3.5.1 Perlakuan Aktif (Active Treatment)

Perlakuan aktif dilakukan dengan pemberian kemikalian alkalin untuk


meningkatkan pH dan menurunkan kelarutan logam (Skousen et al., 1990). Di
Amerika Serikat industri pertambangan menghabiskan $1 juta dolar perhari untuk
perlakuan aktif ini (Kleinman, 1990; Evangelou, 1995). Perlakuan aktif antara lain
dilakukan dengan penetralan air asam.

Proses netralisasi ini dapat dilakukan dengan :

1. Netralisasi dengan kapur.


Usaha ini dilakukan dengan penambahan batu gamping (limestone). Cara
ini adalah cara yang paling umum dipakai dan murah untuk menurunkan
tingkat keasaman air dan netralisir air asam logam-logam berat yang
terlarut di dalamnya. Reaksi yang terjadi :

30
CaCO3 + H+  Ca2+ + HCO3-
CaCO3 + 2H+  Ca2+ + H2CO3
Penetralan dengan mineral lain, misalnya Al(OH)3. Reaksi yang terjadi :
Al(OH)3 + 3H+  Al3+ + H2O

2. Netralisasi dengan abu batubara.


Penelitian yang dilakukan untuk pemanfaatan abu batubara ini telah
banyak dilakukan bahkan telah dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan
untuk dipakai sebagai bahan bangunan.
Berdasarkan komposisi abu batubara terdapat kandungan CaO. Adanya
CaO di dalam abu ini serta oksida-oksida lain seperti MgO diperkirakan
telah menyebabkan terjadinya reaksi yang dapat menetralkan atau
menaikkan pH air.
3. Penetralan dengan pengenceran dan lumpur.
Salah satu pemanfaatan bekas galian atau bekas penambangan adalah
untuk tempat pembuangan atau penimbunan lumpur baik berupa lumpur
padat maupun cair. Setelah bekas galian terisi penuh, selanjutnya akan
direklamasi dan kemudian ditata atau dihijaukan kembali.
Lumpur cair maupun padat, khususnya lumpur cair yang dimasukkan akan
mengendap di dasar, dan secara bertahap akan menutupi atau melapisi
batubara di dasar yang tertinggal setelah selesai kegiatan penambangan.
Hal ini berarti secara berangsur masuknya lumpur telah memutus kontak
lapisan batubara di dasar dengan air sehingga proses pengasaman air
karena reaksi antara air dan batubara akan berhenti.

Terjadinya pengenceran (dilution) karena discharge air pompa Lumpur


yang terus menerus dalam jumlah yang cukup besar dan pH air yang lebih
tinggi (6-7) tentunya mempunyai pengaruh dalam proses netralisasi atau
meningkatnya pH.

31
III.7.2 Perlakuan Pasif (Passive Treatment)

Prinsip perlakuan pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi


berlangsung secara alami dalam lingkungan yang dipantau, tetapi bukan pada
badan air. Skousen dan Ziemkiewicz (1996) menyatakan bahwa perlakuan pasif
lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Oleh karena, dalam lebih
dari dua dekade terakhir penggunaan metode pasif (passive treatment) terus
meningkat.
Teknik perlakuan pasif memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan
teknik perlakuan aktif yang konvensional. Penggunaan zat kimia tambahan dan
penggunaan energi pada teknik perlakuan aktif semakin dikurangi dengan teknik
perlakuan pasif. Selain itu, persyaratan operasi dan perawatan yang dibutuhkan
dari sistem penanganan ini pun lebih sedikit.

Gambar 3.1.
Diagram Skematik Penanganan Pasif Air Asam Tambang

32
Perencanaan dari sistem penanganan pasif air asam tambang membutuhkan
pengetahuan mengenai sifat kimiawi dari air asam tambang, pemilihan sistem
penanganan yang tepat dan pengalaman melalui penelitian di lapangan. Analisis
contoh dari air asam tambang sangat diperlukan dalam menentukan teknik
pengendalian yang tepat.

III.7.2.1 Lahan Basah (Constructed Wetland)

Penanganan pasif air asam tambang sangat beragam, di antaranya adalah lahan
basah buatan (constructed wetland). Pada teknik ini bahan atau substrat,
tumbuhan air, dan mikroba memegang peranan penting. Substrat seperti berbagai
jenis bahan organik dapat menghambat oksidasi pirit melalui mekanisme, antara
lain :
1. Konsumsi oksigen oleh bakteri.
2. Pengambilan Fe3+ dari larutan melalui kompleksasi.
3. Pembentukkan kompleks pirit-Fe3+-humat.

Tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat
penting, antara lain:
 Konsolidasi substat; akar tanaman memegang substrat bersama-sama dan
meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland.
 Simulasi proses jasad renik; tanaman menyediakan tapak untuk
menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya, dan
menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof.
 Habitat satwa liar; tanaman pemasok pakan dan perlindungan bagi hewan.
 Estetika; lahan basah dengan pertanamannya lebih enak dipandang mata.
 Akumulasi logam; akar tanaman sebagai permukaan serapan Fe dan
logam-logam lain, dan penyaring logam.
 Fungsi ekologis; yakni menyimpan Carbon (C) dan Nitrogen (N), sehingga
lahan basah mengurangi emisi C ke atmosfer.

33
Terdapat 2 macam lahan basah (constructed wetland), yaitu :

1. Aerobic Wetland; terdiri atas permukaan yang luas dari kolam


pengendapan dengan aliran air horizontal. Kolam ini dapat ditanami
dengan tumbuhan air. Aerobic wetland dapat berfungsi secara efektif
untuk penanganan air yang bersifat net alkaline, dimana logam akan
diendapkan melalui reaksi oksidasi membentuk oksida dan hidroksida.
Proses ini akan berjalan efisien saat pH lebih besar dari 5.5. Konsentrasi
logam akan berkurang melalui cara ini, tetapi pH akan berkurang akibat
adanya reaksi oksidasi.

Gambar 3.2.
Aerobic Wetland

Kriteria ukuran aerobic wetland ( berdasarkan U.S. Bureau of Mines for


Abandoned Mined Lands (AML)):

Minimum wetland size (ac) = [Fe loading (lb/day) / 180 (lb/ac/day)] +


[Mn loading (lb/day) / 9 (lb/ac/day)] +
[Acidity (lb/day) / 60 (lb/day/acre)]

Loading Rates (lb/day) = Flow Rate (gpm) x concentration (mg/l) x


0.12

34
0.12 merupakan faktor konversi gpm dan mg/l menjadi lb/day, seperti ditunjukkan
di bawah ini :

lb/day = (gal/min)(mg/l)(3.8 l /gal)(g/1000 mg)(lb/454 g)(60 min/hr)(24


hours/day)

2. Compost atau Anaerobic Wetland; terdiri atas kolam pengendapan yang


besar dengan bagian bawah yang dilapisi substat organik. Aliran air pada
compost wetland merupakan aliran horizontal dengan lapisan substrat yang
terdapat pada cekungan. Lapisan compost dapat berasal dari serpihan
kayu, gambut maupun jerami.

Gambar 3.3.
Anaerobic Wetland

Anaerobic wetland digunakan dalam penanganan air asam tambang yang


berasal dari tambang aktif. Secara umum, anaerobic wetland dirancang
untuk penanganan air yang mengandung oksigen terlarut, Fe3+, Al3+ , atau
air dengan tingkat keasaman kurang dari 300 mg/l.

Kriteria ukuran anaerobic wetland ( berdasarkan U.S. Bureau of Mines for


Abandoned Mined Lands (AML) ) :

Minimum wetland size (m2) = acidity loading (g/day) / 0.7

35
III.3.7.2. Open Limestone Channels

Open limestones channels merupakan yang paling sederhana dalam metode


penanganan pasif. Open limestones channels dapat dikonstruksikan dengan 2 cara.
Cara yang pertama dilakukan dengan pembuatan saluran dari batu kapur dan air
asam tambang dikumpulkan melalui saluran tersebut. Sedangkan cara yang kedua
dilakukan dengan meletakkan batu kapur secara langsung pada aliran air. Reaksi
dengan kapur akan menambah konsentrasi alkaline dan meningkatkan pH.
Terbentuknya lapisan Fe(CO)3 dan Fe(OH)3 yang dihasilkan dari proses
netralisasi akan mengurangi konsentrasi pembentukkan alkaline. Dalam hal ini
diperlukan batu kapur dalam kuantitas yang besar untuk memastikan keberhasilan
dalam jangka waktu yang lama. Ukuran open limestone channels ditentukan
berdasarkan Rumus Manning. Penggunaan liner dibawah lapisan batu kapur
diperlukan untuk mencegah infiltrasi air asam tambang ke dalam air tanah.

Gambar 3.4.
Open Limestone Channel

III.7.2.3 Diversion Wells

Pada diversion wells, air asam dialirkan melalui sebuah pipa menuju sumur yang
didalamnya terdapat agregat batu kapur yang telah dihancurkan. Tekanan hidrolik
dari aliran pipa menyebabkan bercampurnya batu kapur dengan air. Air akan
mengalir ke arah atas dan dialirkan kembali. Diversion wells memerlukan

36
penambahan batu kapuir secara teratur untuk memastikan adanya penanganan
secara berkelanjutan.

Gambar 3.5.
Diversion Well

III.7.2.4 Anoxic Limestone Drains (ALD)

Anoxic Limestone Drain (ALD) merupakan batu kapur dengan jumlah tertentu
yang diletakkan di bawah lapisan tanah. Tujuan dari ALD adalah mencegah
kontak air yang mengalir di bawah permukaan dengan oksigen dari udara luar.
Hal ini akan mencegah terjadinya oksidasi logam. Proses ini akan meningkatkan
konsentrasi alkaline.

ALD merupakan tahapan pertama untuk meningkatkan konsentrasi alkaline dalam


air dan meningkatkan pH sebelum aliran air memasuki lahan basah buatan.
Jumlah alkaline yang dapat dihasilkan terbatas, sesuai dengan kelarutan.
Efektivitas dan umur ALD dapat berkurang jika air asam yang ditangani memiliki
konsentrasi Fe3+, Al3+, dan oksigen terlarut yang tinggi.

Ukuran ALD didasarkan atas asumsi produksi alkaline sebanyak 275 sampai 300
mg/l. Jumlah alkaline yang dihasilkan dipengaruhi oleh kelarutan calcite dalam
batu kapur dan waktu tinggal dalam ALD. Waktu tinggal (retention time) yang
digunakan sebagai standar sekitar 14 sampai 15 jam.

37
Gambar 3.6.
Anoxic Limestone Drain

Jumlah batu kapur yang diperlukan untuk ALD :

M = ( Q b td / Vv ) + ( Q C T / x )

Dimana :

M = mass of limestone in tons

Q = flow rate of AMD in cubic metres per day

b = bulk density of limestone in tons per cubic metre

td = retention time in days, 0.625 days is standard practices

Vv = bulk void ratio expressed as a decimal

C = effluent alkalinity concentration in tons per cubic metre

T = design life of the drain in days, typically 9,125 days ( 25 years )

x = CaCO3 content of the limestone as a decimal

38
III.7.2.5 Vertical Flow Reactors (VFR)

Vertical Flow Reactors (VFR) merupakan cara yang digunakan untuk mengatasi
keterbatasan produksi alkaline dari ALD dan juga keterbatasan area yang luas
yang diperlukan untuk penanganan dengan compost wetland. VFR terdiri atas
lapisan limestone dengan lapisan substrat organik di atasnya dan air. Air akan
mengalir secara vertikal melalui lapisan compost dan limestone kemudian
dikumpulkan dan dialirkan ke luar melalui pipa. VFR meningkatkan konsentrasi
alkaline dengan melarutkan kapur dan adanya reduksi sulfat oleh bakteri. VFR
dapat digunakan untuk air dengan tingkat keasaman yang tinggi. Biasanya VFR
juga dilengkapi dengan settling pond dan aerobic wetland untuk oksidasi logam.

Ukuran VFR didasarkan atas retention time yang diperluka untuk memproduksi
alkaline. Retention time yang digunakan biasanya berkisar antara 12 sampai 15
jam. Jumlah limestone yang diperlukan dihitung sesuai dengan kebutuhan kapur
untuk ALD.

Gambar 3.7.
Vertical Flow Reactor

III.7.2.6 Pyrolusite Process

Metode ini memerlukan mikroba untuk mengurangi konsentrasi Fe, Mn, dan Al
dari air asam, dan batu kapur yang akan bereaksi dengan air asam. Tes
laboratorium dilakukan untuk menentukan mikroorganisme yang sesuai.
Mikroorganisme ini diinokulasikan pada lapisan batu kapur agar dapat

39
berkembang biak. Pada proses ini terjadi oksidasi logam, penambahan konsentrasi
alkaline, dan peningkatan pH air.

Gambar 3.8.
Pyrolusite Process

III.7.2.7 Penutupan Kering (Dry Cover)

Teknik ini dilakukan dengan pembentukkan lapisan penutup untuk meminimalkan


masuknya oksigen dan air ke dalam timbunan batuan sehingga mengurangi
pembentukkan air asam (construction of cover to minimize acid production),
seperti diilustrasikan pada gambar 3.9.. Dengan menimbun lapisan penutup yang
berpotensi menghasilkan air asam tambang di lapisan terbawah daerah
penimbunan kemudian ditutupi dengan batuan yang permeabilitasnya rendah
seperti bongkah-bongkah batuan dan tanah pucuk, untuk menghindari oksidasi

40
terhadap batuan yang mengandung mineral sulfida dan untuk selanjutnya dapat
dilakukan revegetasi.

Pandangan konseptual tempat


penimbunan batuan yang mengandung
sulfide tanpa penutup. Air dan Oksigen
H2O O2
akan dengan mudah masuk ke dalam
penimbunan tersebut dan bereaksi
dengan sulfida (pirit). Hasilnya adalah air
asam tambang.
sulfida

Air asam tambang Pembentukkan penutup dengan tanah liat


atau batuan yang dipadatkan
H2O O2 Pandangan konseptual sebuah tempat
penimbunan batuan sulfida dengan
penutup. Penutup tersebut bias membatasi
jumlah oksigen dan air yang masuk untuk
mengurangi tingkat pembentukkan air
sulfida
asam tambang

Gambar 3.9.
Pandangan Konseptual Pembentukkan Lapisan Penutup Timbunan

Lapisan penutup yang digunakan dapat berupa batuan dengan kadar sulfur yang
rendah atau material lain yang memiliki karakteristik tertentu seperti faktor
pemadatan dan permeabilitas yang rendah. Material penutup yang dapat
digunakan antara lain clay. Membrane sintetic dapat digunakan karena memiliki
efisiensi yang tinggi dalam pembatasan jumlah air yang masuk untuk mencegah
proses oksidasi. Material lapisan penutup harus dievaluasi berdasarkan
kapasitasnya untuk meminimalisasi jumlah oksigen dan air yang masuk.
Cara untuk menghentikan oksidasi di timbunan juga dapat dilakukan dengan
mengontrol suplai oksigen. Oksigen dapat dengan mudah menembus timbunan
batuan-batuan penutup atau penutup tanah liat dengan cara difusi melalui ruang-
ruang antara partikel batuan atau lempung. Ruang antara ini membentuk jalur-
jalur di antara atmosfir dan bagian dalam timbunan. Namun, tingkat difusi

41
oksigen melalui air sangat rendah. Jika lubang pori dalam penutup terisi oleh air,
tingkat difusi oksigen melalui ruang antara akan sangat berkurang.
Sistem dry cover biasanya terdiri atas :
1. base zone, dengan tingkat water retention yang tinggi, yang berfungsi
sebagai batas atau penghalang difusi oksigen, disebut juga ‘water
retention’ zone.
2. zona yang berfungsi sebagai reservoir air untuk memastikan bagian dari
‘water retention’ zone tetap mendekati tingkat kejenuhan tertentu.
3. zona permukaan, yang melindungi cover dari erosi, disebut juga ‘barrier’
zone. Bagian ini dapat ditanami dengan tumbuh-tumbuhan tertentu yang
dapat meminimalisasi erosi.

III.7.2.8 Selective Handling dan Isolasi

Tujuan utama dari metode ini adalah mengisolasi material yang reaktif atau yang
beresiko tinggi pada timbunan nantinya baik secara terpisah maupun bersamaan
dengan material yang non-reaktif atau beresiko rendah. Dalam hal ini diperlukan
adanya uji geokimia untuk klasifikasi dan identifikasi lapangan untuk menentukan
jenis material.
Selective handling merupakan tindakan pencegahan yang melibatkan pemindahan
material pirit maupun alkaline selama proses penambangan untuk meminimalisasi
ataupun netralisasi air asam tambang. Penanganan material yang mengandung
pirit harus dapat mencegah atau membatasi pembentukkan air asam nantinya.
Sedangkan penanganan material basa atau alkaline harus dapat membatasi reaksi
pembentukkan asam dan menetralisasi asam yang sudah terbentuk.

III.7.2.9 Blending

Blending dapat dilakukan pada saat terdapatnya material pembentuk asam dan
penetralisir asam. Blending (mixing atau co-disposal) digunakan bersamaan
dengan strategi pencegahan lainnya seperti encapsulation dan atau dry cover.

42
Material alkaline lainnya dapat pula digunakan dalam metode ini. Untuk industri
batubara, flyash dapat digunakan sebagai sumber alkaline bersamaan dengan
material overburden yang mengandung pirit untuk meminimalisasi potensi air
asam.

Gambar 3.10.
Metode Pengendalian Air Asam Tambang Menggunankan Encapsulation dan Co
Co-
disposal (after Marszalek, 1996)

III.8. Identifikasi Potensi Air Asam Tambang

Identifikasi air asam tambang dilakukan pertama kali dengan model geokimia
batuan di lokasi dan di daerah sekitar penambangan. Model geokimia meliputi
model geokimia lapisan batubara, lapisan interburden ataupun overburden.
burden.
Tujuan identifikasi potensi air asam tambang :

43
 Untuk merencanakan sistem pencegahan air asam tambang, baik untuk
perencanaan reklamasi daerah penimbunan material asam, reklamasi lahan
bekas tambang dan perencanaan drainase tambang.
 Untuk merencanakan sistem pengelolaan air asam tambang, baik desain
struktur drainase, desain settling pond, dan unit penetral air asam tambang
atau water treatment.
 Untuk merencanakan alternatif pengelolaan secara fisik air asam tambang,
seperti daur ulang air asam tambang dan pemanfaatan lainnya.

Teknik identifikasi potensi air asam tambang:

a. geological assessment: merupakan prediksi awal dilakukan dengan


mempertimbangkan kondisi lingkungan pengendapan dari material dan
struktur geologi.
b. geochemical assessment: merupakan prediksi potensi pembentukan asam.
Dapat dilakukan dengan Static Test (Net Acid Producing
Potensial/NAPP). Merupakan cara yang sederhana, cepat, dan relatif
murah untuk memprediksi potensial pembentukan asam pada waste
material. NAPP merupakan pendekatan teoritis sebagai indikator untuk
batuan yang memiliki potensi menghasilkan asam.

III.10. Studi Identifikasi Potensi Air Asam Tambang

Studi Karakteristik Batuan Penutup Batubara

Studi ini bertujuan :


1. menentukan lapisan batuan penutup yang berpotensi membentuk asam,
2. menilai sifat kimia batuan penutup yang kemungkinan berpengaruh,
terhadap kegiatan revegetasi, air permukaan, dan air bawah tanah,
3. mengevaluasi dampak pembentukkan asam akibat penimbunan batuan
penutup dan kegiatan penambangan, dan

44
4. mengidentifikasi parameter untuk kegiatan pemantauan air permukaan dan
air tanah.

Studi ini dilakukan dengan cara mengambil contoh overburden atau interburden
dan kemudian dianalisa di laboratorium Hasil analisa laboratorium dievaluasi dan
dilakukan penggolongan ke dalam beberapa tipe batuan dari segi potensi
pembentukkan asam.
Studi karakteristik overburden akan menjadi informasi dasar bagi perencanaan
desain daerah penimbunan overburden asam dan pola aliran air (drainase) di
daerah tambang.

Analisa Multi-Unsur

Tujuan analisa multi unsur adalah mengidentifikasikan tingkat konsentrasi unsur-


unsur yang ada dalam contoh batuan, yang berdampak terhadap lingkungan
terutama kualitas air, tanah, dan revegetasi.
Untuk mengetahui status unsur, apakah berada dalam konsentrasi yang dapat
ditoleransi atau tidak, maka hasil analisa unsur dibandingkan dengan Nilai
Kelimpahan Rata-rata (Average Crustal Abundance).
Status unsur kemudian dikelompokkam sesuai dengan Indeks Kelimpahan
Geokimia (Geochemical Abundance Index / GAI). GAI merupakan nilai korelasi
antara konsentrasi aktual dari suatu unsur dengan kelimpahan rata-rata.

Studi Karakteristik Batuan Penutup


Studi karakteristik batuan penutup dilakukan dengan melakukan analisa geokimia
pada lapisan batuan penutup batubara. Beberapa cara pengujian yaitu:

1. Pengujian Statik (static test)

Pengujian statik bertujuan untuk memprediksi kualitas air limpasan dengan


membandingkan potensi asam maksimum (Maximum Acid Production Potential /

45
AP) dengan potensi netralisasi maksimum (Maximum Neutralization Potential /
NP). Pengujian statik dapat dilakukan dengan :

a. Acid-Base Accounting (ABA) Test


ABA Test merupakan bagian dari static test. Tujuan dari uji ini adalah menentukan
parameter NAPP (net acid producing potential atau potensi pembentuk asam)
yang merupakan pendekatan secara teoritis yang digunakan sebagai indicator
untuk batuan yang berpotensi menghasilkan asam. Nilainya adalah selisih antara
ANC (acid neutralizing capacity/kapasitas netralisasi asam) dengan MPA
(maximum potential acid/kemasaman potensial maximum). Dimana nilai negatif
menunjukkan batuan berpotensi menghasilkan asam.

NAPP = ANC – MPA

Acid-Base Accounting adalah keseimbangan antara kemampuan bahan batuan


untuk menetralisasi asam dan potensinya untuk memproduksi asam.
MPA dihitung dari kadar sulfur pirit di dalam batuan dan berdasarkan perhitungan
dari persamaan reaksi oksidasi pirit, dimana 1% S pirit setara dengan 30.6 kg
H2SO4 per ton batuan.
Perhitungan MPA :

ANC ditentukan dengan cara mereaksikan sejumlah berat contoh batuan dengan
larutan standar HCl, kemudian dititrasi dengan larutan standar NaOH. Jumlah
asam setara dengan NaOH yang dikonsumsi selama titrasi tersebut merupakan
ANC contoh batuan, nilai setara dengan kg H2SO4 per ton batuan.

46
Dimana :
V = volume H2SO4 yang ditambahkan selama titrasi
M = konsentrasi H2SO4
W= berat sampel

Kriteria yang digunakan : ( Price and Errington, 1995 )


1. material dengan nilai NAPP negatif dapat menjadi sumber air asam
tambang.
2. potensi air asam tambang masih dikategorikan tidak tentu untuk material
dengan perbandingan ANC dan MPA (Neutralization Potential Rati /NP )
kurang dari 4 : 1.

Tabel 3.1.
Neutralization Potential Ratio ( NPR ) Screening Criteria
( from Price et al., 1997b )

POTENTIAL INITIAL NPR COMMENTS


FOR ARD SCREENING
CRITERIA
Likely < 1:1 Like ARD generating
Possibly 1:1 – 2:1 Possible ARD generating if
Neutralization Potential
insufficiently reactive or is
depleted at a faster rate than
sulphides
Low 2:1 – 4:1 Not potentially ARD generating
unless significant preferential
exposure of sulfide along fracture
planes, or extremely reactive
sulphides in combination with
insufficiently reactive
Neutralization Potential.
None > 4:1 No further ARD testing required
unless materials are to be used as
a source of alkalinity.

47
b. Net Acid Generation (NAG) Test

Uji NAG adalah pengujian batuan berpotensi asam dengan mempertimbangkan


reaktivitas dari reaksi pembentukkan asam. Metoda pengujian dengan cara
menambahkan H2O2 (Lawrence et al.1988) pada contoh batuan untuk
mengoksidasi sulfida yang reaktif dalam batuan, kemudian pH contoh diukur. Jika
hasil pH NAG < 4.5, maka melalui uji ini akan ditentukan jumlah asam yang
dapat dihasilkan material tersebut.

Reaksi yang terjadi :


1. Untuk pirit yang teroksidasi secara alami:
FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O  Fe(OH)3 + 2H2SO4
2. Untuk pirit yang teroksidasi dengan menggunakan hidrogen peroksida:
FeS2 + 15/2 H2O2  Fe(OH)3 + 2H2SO4 + 4H2O
Perhitungan nilai NAG :

Dimana :
V = volume NaOH yang dititrasi
M = konsentrasi NaOH
W = massa sampel

Tabel 3.2.
Prediksi Kriteria Uji NAG (Miller, 1997)

PREDIKSI NAG PREDIKSI pH AKHIR NILAI NAG


DETAIL NAG (t H2SO4/1000 t)
Potentially net acid Kapasitas Tinggi < 4.5 > 5*
generating
Kapasitas Rendah < 4.5 0 – 5*

Potentially non net 4.5 0


acid generating and

48
potentially net acid
neutralizing
Uncertainty Ada ketidaksesuaian antara prediksi
NAG dengan prediksi ABA
* Nilai 5 dapat mencapai 10 tergantung kepada factor spesifik lokasi

Perhitungan NAPP dilakukan berdasarkan keseimbangan stokiometri asam-basa.


NAPP menunjukkan keseimbangan antara potensi asam yang diturunkan melalui
jumlah sulfur, dan kapasitas penetral asam melalui percobaan. Kapasitas penetral
asam ini juga merupakan faktor sekunder pembentukkan air asam tambang.
Nilai NAPP umumnya lebih besar dari NAG. Perbedaan ini disebabkan
pendekatan perhitungan yang berbeda, NAPP dihitung berdasarkan total sulfur,
termasuk sulfur-pirit, sulfur organik dan sulfur sulfat, sedangkan NAG diukur
berdasarkan sulfur pirit.
NAPP prosedur tidak memperhitungkan reaktivitas dari material asam. Untuk
mengimbangi hal ini uji NAG dilakukan. Uji ini dilakukan dengan penambahan
hidrogen peroksida pada sampel untuk mengoksidasi senyawa sulfida yang
reaktif. Dari uji ini akan diperoleh parameter reaktif atau tidaknya senyawa sulfida
yang terdapat pada batuan.
Dengan melakukan kedua uji di atas, dapat ditentukkan potensi pembentukkan air
asam tambang, faktor sekunder (karbonat sebagai penetral), dan juga sifat
kereaktifan dari mineral sulfida sebagai pembentuk asam.

Tabel 3.3.
Geochemical waste rock classes (Environmental Geochemistry)

WASTE TYPE FINAL NAG pH NAPP (kg H2SO4/t)


Potentially Acid Forming (PAF) < 4.5 + ve
Non Acid Forming (NAF) ≥ 4.5 - ve
Acid Consuming (AC) ≥ 4.5 < - 100
Uncertain* ≥ 4.5 + ve
< 4.5 - ve
International Pty Ltd (EGi), 2000)
* further test required

49
2. Pengujian Kinetik (kinetic test)

Pengujian kinetik dibedakan dari pengujian statik karena pada uji ini
diikutsertakan reaksi oksidasi yang terjadi secara alami di lapangan. Uji ini
memerlukan volume sampel yang lebih besar dan memerlukan waktu yang jauh
lebih lama. Uji ini menghasilkan kecepatan oksidasi mineral dan produksi asam
untuk penentuan kualitas air limpasan.
Uji kinetik dapat digunakan untuk mengetahui dampak dari variabel-variabel yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, sampel dapat diinokulasi dengan bakteri, suhu
lingkungan sampel dapat diatur selama uji berlangsung. Kebanyakan uji kinetik
memerlukan sampel dengan ukuran yang sangat halus (misalnya –200 mesh).
Volume sampel yang besar dan peralatan yang digunakan memungkinkan untuk
penentuan potensi asam dari partikel kuarsa.
Pengujian kinetik dapat dilakukan dengan :

a. Humidity Cell Tests


Uji ini digunakan untuk menentukan laju pembentukkan asam. Uji ini
memerlukan media kotak kayu dengan saluran untuk udara masuk dan keluar.
Humidity Cell Test (Sobek, 1978) memerlukan 200 gr sampel yang digerus sampai
–2.38 mm dalam kotak plastik yang tertutup.Uji ini memerlukan waktu 10 minggu
dan mengikuti siklus setiap 7 hari. Sampel dapat juga diinokulasikan dengan
bakteri. Selama siklus 7 hari, udara kering dialirkan melalui sampel selama 3 hari
dan udara lembab selama 3 hari kemudian. Pada hari ke 7 sampel ditambahkan
dengan 200 mL air destilasi. Larutan ini kemudian dianalisis untuk mengetahui
pH, asiditas, alkalinitas, potensial redoks, sulfat, dan logam terlarut.

b. Soxhelet Extraction Test


Uji ini mensimulasikan pelapukan geokimia pada sampel dengan menggunakan
peralatan khusus, yaitu peralatan ekstraksi soxhelet. Sampel diletakkkan pada unit
tertentu kemudian larutan disirkulasikan. Kondisi pada uji ini merupakan kondisi
yang paling ekstrim dibandingkan dengan kondisi pada uji kinetik lainnya. Uji ini

50
bermanfaat untuk mensimulasikan pelapukan dalam jangka waktu yang lama
dengan pengujian dalam jangka waktu yang singkat.

c. Column Test
Dilakukan dengan meletakkan material di dalam silinder atau peralatan
semacamnya. Siklus lembab dan kering diciptakan dengan penambahan air
kemudian membiarkan kolom tersebut kering. Setiap siklus dapat berlangsung
dalam periode beberapa hari sampai satu minggu atau lebih, meskipun biasanya
sekitar 3 hari. Air yang ditambahkan pada kolom kemudian dikumpulkan dan
dianalisa untuk menentukan laju oksidasi, produksi sulfat, logam terlarut, dan
parameter lainnya.
d. Bacth Reactor (Shake Flask) Tests
Dalam uji ini batuan dan air dilarutkan sempurna di dalam flask. Larutan yang
digunakan biasanya adalah air destilasi. Flask dikocok terus menerus selama
pengujian. Sampel air kemudian diambil setiap interval waktu tertentu untuk
menentukan parameter kualitas air seperti pH, sulfat, dan logam terlarut. Data
yang diperoleh dianalisis untuk menentukan laju oksidasi sulfida dan pelarutan
kontaminan, seperti logam.

e. Field Scale Test


Uji ini memerlukan volume material yang besar untuk konstruksi cell dalam
kondisi lingkungan seperti di lapangan. Ukuran partikel material tidak dikurangi.
Hal ini bertujuan untuk pendekatan yang lebih baik sesuai kondisi lapangan.

Perencanaan Tambang Untuk Pengendalian Air Asam Tambang

Dari segi perspektif perlindungan lingkungan hidup, minimalisasi resiko dan


tanggungan, strategi mitigasi air asam tambang yang paling efektif adalah
pencegahan melalui prediksi dan perencanaan tambang.
Karakterisasi overburden bertujuan untuk memahami penyebaran lapisan batuan
yang berpotensi membentuk asam dan batuan yang tidak berpotensi membentuk

51
asam. Sehingga dapat dilakukan langkah-langkah untuk mengendalikan
terbentuknya air asam tambang.
Hasil dari Acid-Base Accounting Test dan uji lainnya dapat dipakai untuk
mengkarakterisasi batuan (overburden atau waste rock). Hasil karakterisasi batuan
dan model geologi akan menghasilkan model geokimia batuan yang
menggambarkan sebaran tipe batuan baik pada arah lateral maupun arah vertical.
Model geokimia batuan ini selanjutnya digunakan dalam perancangan penggalian
overburden dan penempatannya.

52
BAB IV
HASIL PENELITIAN

IV.1. Pengambilan Data

Pengambilan data penelitian dilakukan dengan dua metode, metode studio dan
metode lapangan. Dari pengambilan data studio diperoleh data perhitungan pH,
TSS, Fe dan Mn dari sebelum kegiatan penerapan kajian enkapsulasi dilakukan.
Kemudian data studio ini dikomparasi
dikomparasi dengan data NAG yang diambil di
lapangan, baik itu pada disposal, settling pond maupun WMP (Water Monitoring
Point) di area Site Lati dan Sambarata.

Gambar 4.1.
Pengambilan sampel air pada disposal yang memiliki pH rendah di site Lati

Data – data yang diperoleh selanjutnya disesuaikan dengan BML (Baku Mutu
Lingkungan) yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 113 Tahun 2003.

53
Gambar 4.2.
Peta Disposal Sambarata dan Hasil pengukuran pH di-disposal
di disposal yang tidak
dilakukan enkapsulasi.

Tabel 4.1.
Hasil Pengukuran pH pada periode tahun 2009 (sebelum enkapsulasi)

54
Kemudian sebagai tindak lanjut dari data-data yang ada, maka disusunlah suatu
strategi kerja terhadap penanganan air asam tambang (AAT) dengan metode
preventif dan metode kuratif dalam bentuk Frame work AAT team, dengan
peneliti terlibat didalam team yang ada. Adapun flow kerja yang diterapkan dalam
rangka strategi preventif berupa selektif dumping sebagai berikut ;
1. Prediksi potensi pembentukan air asam tambang
2. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penambangan dan reklamasi
dengan mempertimbangkan resiko pembentukan AAT
3. Monitoring dan evaluasi kinerja

Gambar 4.3.
Flow kerja strategi preventif yang direncanakan team AAT PT.BC

Maka dalam rangka pemenuhan strategi yang ada, dilakukan pengambilan data
untuk identifikasi geokimia batuan penutup melalui kegiatan pengeboran full
coring dan pengambilan sampel pada dinding tambang, sehingga dapat diperoleh
suatu urutan stratigrafi batuan yang mengandung material NAF (Netral Acid
Formation dan PAF (Potential Acid Formation). Kegiatan identifikasi ini
dilakukan di Site Lati dan Sambarata yang menjadi site terbesar dalam
operasional penambangan yang memiliki masalah dengan air asam tambang.

55
Exploration Drilling Sample Collection
by Geology Dept

Sample Preparation
For NAG Analysis

NAG Analysis
by Environment Laboratory

NAG Database

AMD Model Submitted to


Geology Model
NAF-PAF Modeling
By Geology Dept Mine Planning and
Technical

Update AMD Model

Gambar 4.4.
Pohon Keputusan Perencanaan Analisa Geokimia Overburden

Dari kegiatan eksplorasi geokimia yang dilakukan di blok Lati dan Sambarata di
peroleh database litologi NAF dan PAF setelah dilakukan uji NAG test. Ada 7
(tujuh) lokasi bor yang dilakukan pemboran geokimia ini, yaitu 3 (tiga) lokasi bor
adalah pemboran geologi, kode L-08-001, L-08-002, L-08-003 dan 4 (empat) titik
bor geoteknik, yaitu GTL-08-001, GTL-08-002, GTL-08-003, GTL-08-004.

56
Gambar 4.5.
Peta Pemboran Geokimia Lati

Untuk membangun model litologi NAF diperlukan data-data bor berupa Batubara
dan litologi yang mengandung NAF. Data bor yang digunakan sebagai database
untuk membangun model adalah bor hole GTL-08-003 dan GTL-08-004
(gambar4.5). kedua bor tersebut dilakukan secara full coring. Data coring setiap
litologi dilakukan analisa NAGph. Hasil data NAGph yang mengandung NAF di
generate ke log stratigrafi dan litologi tersebut dikorelasikan ke litologi yang

57
diperoleh dari data cutting dari bor-bor yang tersebar di seluruh areal pit west
(dibatasi dengan polygon).

Gambar 4.6.
Logbor GTL-08-004

Selanjutnya data hasil pengeboran geokimia dan pemetaan dinding tambang untuk
uji keasaman di-korelasikan untuk menemukan sebaran lapisan batuan yang
mengandung potensi Asam maupun penetral Asam.

58
PROFILE OB WEST P
N 560986 S N
E 255546
PW-MS-01
24 Desember 2008 PW-SS-02 SEAM Q
Sample No. NAGph H2SO4 Acid Pot.
Blok 41
PW-SS-03 PW-MS-01 2.54 28.47 PAF
3M

PW-SS-2,3 7.52 - NAF

PW-SS-04
3M
PW-MS-05

PW-SS-06 PW-SS-04 7.58 - NAF


1M
PW-MS-07
PW-MS-05 2.60 32.61 PAF

5M
PW-SS-06 7.07 - NAF
PW-MS-08

PW-MS-07,08 3.50 2.40 PAF-LC

5M
PW-SS-09

PW-SS-09 7.57 - NAF


PW-MS-10 5M

SEAM P

PW-MS-10 8.58 - NAF

Description :
PW-MS-01 Mudstone, clay, grey
PW-SS-02 Sandstone, light grey, fine grained, hard compact
PW-SS-03 Sandstone, light grey, fine grained, hard compact
PW-SS-04 Sandstone, grey-dark grey, v. fine - fine grained
PW-MS-05 Mudstone, clay - silty, black
PW-SS-06 Sandstone, light grey, fine grained, oxidized pyrite
PW-MS-07 Mudstone, dark grey, silty, with sandstone nodule
PW-MS-08 Mudstone, dark grey, silty, wavy laminated with sandstone & carbonaceous
PW-SS-09 Sandstone, interlaminated with silt light grey, carbonaceous
PW-MS-10 Siltstone, dark grey, silt, wavy laminated with sandstone

Gambar 4.7.
Profile sidewall pit west yang memperlihatkan litologi antara seam P dan Q

Gambar 4.8.
Korelasi General titik bor GTL-08-003 dan GTL-08-004 dengan titik bor sekitar
di areal site Lati

59
Berikut gambaran secara vertikal litologi NAF yang menyusun area Lati yang
merupakan hasil kompilasi data geologi ;

General Stratigraphy NAG Of Lati Area

Litho logy M in. Thic k Ma x. Thick Ave. Thickness NAGpH Remar ks

N AF_R1 San ds tone 0.75 13.0 0 4.55 6.7 4 Mi neable

R Silts tone 1.00 8.00 4.00 6.5 0 Mi neable


NA F_QRD1

NAF_Q1 San ds tone 0.58 19.2 0 6.35 5.9 8 Mi neable

Q NA F_P2 San ds tone 2.10 16.0 0 6.89 6.6 0 Mi neable

NA F_P1 San ds tone 2.00 23.0 0 11.35 8.2 4 Mi neable

P
NAF_O1 Muds tone 0.00 2.79 2.79 5.2 4

O
N
NA F_ M1 Silts tone 0.00 12.5 2 12.52 4.8 2 Mi neable
M
San ds tone 0.54 7.53 5.79 6.5 8 Mi neable
LU NA F_L1
LL

Muds tone 0.10 15.2 5 15.25 5.1 5


NA F_H1
HU
HL

G
NA F_E1 San ds tone 0.00 2.37 2.37 6.2 5 Mi neable

E Silts tone 5.80 8.62 7.21 7.2 4


NAF_D1
D
NA F_C1 Muds tone 0.00 21.5 2 21.52 8.6 4
C
B
NA F_A 1 San ds tone 0.00 3.94 3.94 6.2 8
A
Silts tone 0.00 7.60 7.60 6.1 9
N AF_OA 1

Soil i
Coal Sands tone Mudstone Siltstone Soil

Gambar 4.9.
Stratigrafi Umum litologi NAF di area Lati

60
Gambar 4.10.
Stratigrafi Umum litologi NAF di area Sambarata

61
Pada layout blok pit West, pit North dan pit East dilakukan sayatan masing-
masing untuk memastikan kesesuaian korelasi, litologi dengan posisi titik bor
yang dikompilasi. Sayatan yang memotong boundary design pit west, north dan
east sehingga akan didapatkan variasi litologi NAF dan batas bawah lantai kerja
tambang yang akan datang.

Gambar 4.11.
Sayatan A, B, C, D pada masing-masing pit design tambang blok PQRT Lati

Penampang dari sayatan yang ada menunjukkan variasi litologi NAF yang tertua
hingga termuda dan batasan mineable litologi naf-nya, didasarkan pada design
rencana tambang pit West, pit North dan pit East.

62
Gambar 4.12.
Penampang sayatan site Lati yang menunjukkan model NAF-PAF
NAF PAF

Gambar 4.13.
Sebaran litologi NAF untuk model geokimia site Sambarata

63
Tabel 4.2.
Inventory NAF dan PAF pada Blok Sambarata

Tabel 4.3.
Inventory NAF dan PAF pada Blok Lati

BLOK PQRT TOTAL NAF TOTAL PAF TOTAL OB


EAST 75,252,477.22 180,189,802.74 255,442,279.96
NORTH 235,974,404.94 452,159,652.12 688,134,057.06
WEST 60,714,088.95 233,201,643.01 293,915,731.96
TOTAL 371,940,971.11 865,551,097.87 1,237,492,068.98
PROSENTASE 30.06% 69.94% 100.00%

Setelah model geokimia batuan NAF dan PAF diselesaikan maka tahap
selanjutnya adalah pelaksanaan kegiatan selektif dumping pada areal disposal
yang sudah disepakati.

IV.2. Pelaksanaan Penimbunan (enkapsulasi)

Dari model geokimia batuan NAF dan PAF, akan dikembangkan dalam desain
kerja penambangan batubara yang akan dilakukan pada rencana Pit Lati dan
Sambarata. Kemudian kegiatan penambangan dilakukan hingga proses
penimbunan overburden dapat terlaksana dengan baik.
Berikut flowchart dari pelaksanaan penimbunan hingga selesai yang disepakati
oleh manajemen PT. Berau Coal untuk site Lati dan Sambarata.

64
Gambar 4.15.
Flow Chart Tahapan Penimbunan / Enkapsulasi yang dilakukan

Setelah model geokimia ditindaklanjuti


ditindaklanjuti oleh Longterm Engineer dan Pit control,
maka pelaksanaan selanjutnya adalah pengambilan sampel blasting sebagai
verifikasi akhir sebelum dilakukan.
dilakukan. Sampel tersebut selanjutnya akan di uji di
Laboratorium NAG untuk mengetahui pH batuan dalam lubang bor blasting
tersebut.

Gambar 4.16.
Sampel blasting yang diambil untuk uji NAGtest di laboratorium

65
PRELIMINARY REPORT

Sample Id : Blasting Cutting Samples (Lati Area)


NB : 184 - 08
WO : 002/NAG/BC-LMO/WO/VI/08/HUM
Date Received : 21-Jun-08
Date Analysis : 21-Jun-08
Tested : Net Acid Generation

Ply Sample NAGpH NAG


Acid Potential
No Location Nos. Nos. Kg H2SO4/Tonne

2
3 Pit West 1 NWQ-08-001 3.49 11.67 PAF
4 2 NWQ-08-002 4.74 - NAF
3 NWQ-08-003 2.86 3.56 PAF - LC
4 NWQ-08-004 5.40 - NAF
5 5 NWQ-08-005 3.90 2.79 PAF - LC
6 6 NWQ-08-006 4.50 - NAF
7 7 NWQ-08-007 5.17 - NAF
8 NWQ-08-008 5.49 - NAF
9 NWQ-08-009 4.42 0.16 PAF - LC
10 NWQ-08-010 3.01 6.34 PAF
11 NWQ-08-011 3.61 2.01 PAF - LC
12 NWQ-08-012 5.34 - NAF
13 NWQ-08-013 2.83 6.80 PAF
14 NWQ-08-014 2.83 6.93 PAF
15 NWQ-08-015 2.86 7.76 PAF
16 NWQ-08-016 4.08 0.87 PAF - LC

Gambar 4.17.
Hasil analisa NAGpH dari sample blasting

Setelah diperoleh data hasil analisa NAGpH terhadap sampel blasting yang telah
dimasukkan kedalam laboratorium, maka dari pit geologist akan memberikan
arahan bersama team survey untuk memasang boundary front
front material NAF pada
blok yang akan dilakukan
lakukan pengelupasan overburden (OB).

Gambar 4.18.
Boundary blok NAF dari hasil verifikasi bor blasting

66
IV.2.1. Proses Penimbunan

Secara garis besar, ada tujuh langkah yang dapat ditempuh dalam proses
penimbunan, yakni sebagai berikut :
1. Menentukan rencana lokasi penimbunan
2. Memasang garis batas untuk dumping
3. Dumping material non acid forming di batas terluar dari timbunan
4. Dumping material acid forming
5. Pembentukan lereng terluar dari timbunan dengan menggunakan dozer
6. Penimbunan soil
7. Pembuatan drainage berm

Parameter untuk pembuatan desain penimbunan dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4.
Parameter yang Digunakan dalam Desain Penimbunan

DUMP PARAMETER SPECIFICATION

Maximum slope angle 4:1


Overall slope* 5.5 : 1
Maximum slope length (Between drainage berms) 40 m
Drainage berm width (include bund) 15 m
Drainage berm cross fall < 1%
Backslope 2%
Drainage berm bund (H x W) 1x 4m
Maximum distance to drop structure along berm approx. 200 m

Secara general, tahapan untuk penuimbunan dapat dilihat pada rangkaian sketsa
berikut dibawah ini ;
.

67
Sketsa 1 .Dumping
Dumping Material Non Acid di Batas Terluar Timbunan

Sketsa 2.. Pembentukan Final Slope dengan Menggunakan Dozer

Sketsa 3. Penimbunan Soil

Sketsa 4.
4 Pembentukan Drainage Berm

Sketsa 5.. Pembentukan Final Slope di Level di Atasnya dengan Dozer

68
Sketsa 6.
6 Penyelesaian Level Selanjutnya

Adapun langkah-langkah
langkah penimbunan secara detail, akan dijelaskan di bawah ini.

Langkah 1. Menentukan Rencana Lokasi Penimbunan


Rencana lokasi penimbunan dikeluarkan oleh Min
Minee Planner, dan berisi hal
hal-hal
sebagai berikut:
 Menggambarkan boundary final dari lokasi dumping

Gambar 4.19.
Boundary OPD B3 yang akan dilakukan enkapsulasi

 Menggambarkan
enggambarkan batas produksi untuk non acid forming overburden dan acid
forming overburden (terkait dengan pengandalian air asam tambang)

69
LUAS DISPOSAL OPD B3 : 27,948 HA
DAYA TAMPUNG : 5.843.349,079 BCM

Gambar 4.20.
Material Balance NAF
NAF-PAF pada blok disposal OPD B3

Langkah 2. Memasang Garis Batas Untuk Dumping


Selayaknya ada 3 pita batas yang harus dipasang untuk menentukan batas
dumping material non acid forming,
forming yakni sebagai berikut :
 Batas dumping final,
al, menggunakan pita berwarna hijau dan kuning

 Batas kaki (toe)) dumping yang terluar, dari material non acid forming
forming,
menggunakan pita berwarna merah dan biru

 Batas kaki (toe)) dumping yang terdalam, dari material non acid forming
forming,
menggunakan pita berwarna biru,, dan batas ini sekaligus sebagai batas terluar
dari material acid forming

 Lokasi
okasi pita batas harus dicek sebelum melakukan dumping, dan dumping
otomatis tidak diijinkan apabila pita batas belum terpasang

70
Gambar 4.21.
Pemasangan Batas untuk Batas Perimeter Drainage dan Batas Penimbunan

Langkah 3. Dumping Material Non Acid Forming Di Batas Terluar


Timbunan
 Dumping
umping dilakukan sesuai dengan batas yang telah ditetapkan
 Permukaan
ermukaan dumping, diarahkan dengan kemiringan 2% ke arah backslope

Gambar 4.22.
Dumping Material Non Acid Forming di Batas Terluar Timbunan

Langkah 4, Dumping Material Acid Forming


 Material
aterial acid forming di-dumping
di di belakang pita biru
 Pelaksanaan
elaksanaan dumping harus memperhatikan arah aliran yang terbentuk
nantinya, sehingga air dapat diarahkan ke garis terdalam dari penimbunan
material non acid forming,
forming dan membentuk semacam saluran

71
Gambar 4.23.
Dumping Material Acid Forming dan batas dengan material NAF

Langkah 5 Pembentukan Lereng Terluar Dari Timbunan Dengan Dozer


 Perlu
erlu dilakukan pemasangan satu buah pita lagi, yakni pita berwarna merah,
dengan jarak 40 meter dari pita hijau-kuning
hijau

 Pita
ita merah ini adalah batas, dimana dozer dapat melakukan spreading
spreading, hingga
ke pita hijau-kuning
 Hasil dozing ini
ni adalah lereng dengan kemiringan 4:1
 Perlu
erlu dipastikan bahwa dozing dilakukan dengan benar, dalam arti material
tidak ada yang melewati pita batas yang telah ditetapkan

72
Gambar 4.24.
Pembentukan Final Slope dengan Menggunakan Dozer

Langkah 6 Penimbunan Soil


 Soil di-dumping
dumping di lokasi penimbunan, kemudian di-spreading
di spreading dengan
menggunakan dozer
 Perlu
erlu diperhatikan dalam penimbunan dan spreading, ketebalan soil yang
dihasilkan harus merata
 Dumping
umping dapat dilakukan dari bawah, baru ke atas, selanjutnya di-spreading.
spreading.
Hal ini dilakukan untuk menjamin penyebaran material soil yang merata

Gambar 4.25.
Penimbunan Soil pada Final Disposal Enkapsulasi

73
Langkah 7 Pembuatan Drainage Berm
 Drainage berm diperlukan di sekitar muka lereng timbunan untuk membatasi
ketinggian lereng individual yang dapat berpotensi untuk mengakibatkan
erosi.
 Drainage berm seharusnya dibuat sepanjang crest hingga ke kaki timbunan
yang paling luar.
 Lebar yang diperlukan adalah 15 meter, dibentuk dengan kemiringan 5%
backslope, dan kemiringan sepanjang saluran sebesar 1%. Perlu diingat,
berdasarkan Langkah 3, permukaan sebenarnya telah terbentuk sebesar 2%
backslope. Kemiringan 5% dapat dibentuk dengan menggunakan dozer atau
grader, yang bekerja sepanjang berm tersebut.
 Perlu dibuatkan bund wall dari material subsoil, dengan lebar 4 meter dan
tinggi 1 meter.

Gambar 4.26.
Pembuatan Drainage Berm dan Back slope 2%

74
IV.3. Pengukuran dan Pemantauan

Setelah disposal enkapsulasi selesai dikonstruksi, maka tahapan berikutnya adalah


pengukuran dan pemantauan. Pengukuran dilakukan pada hal-hal sebagai berikut ;
1. Pengukuran Ketebalan Pelapisan Batuan Penutup Metode Enkapsulasi,
yaitu pengukuran tebal lapisan PAF, lapisan NAF dan lapisan tanah (soil)
yang disyaratkan dalam penelitian
2. Pengukuran dan Pemantauan Tanah, yang terdiri atas Sifat kimia tanah
(pH, KTK, kemasaman) dan Sifat fisika tanah (jenis tanah, permeabilitas,
porositas)
3. Pengukuran dan Pemantauan Air yang keluar dari areal penelitian dengan
menggunakan parameter pH, Total Solid Solution (TSS), kadar Fe dan
Mn.
Adapun hasil penelitian terkait pengukuran ketebalan lapisan batuan penutup.
Pengukuran dan pemantauan tanah serta pengukuran dan pemantauan air akan
kami paparkan sebagaimana dibawah ini.

IV.3.1. Pengukuran Ketebalan Lapisan Penimbunan

Untuk pengukuran ketebalan lapisan batuan penutup pada areal


penimbunan / disposal, dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu pengukuran langsung
pada saat kegiatan penimbunan dilakukan dan pengukuran saat kegiatan
penimbunan telah selesai dilakukan. Pengukuran dilakukan pada timbunan
material PAF (asam), material NAF (penetral asam) dan lapisan tanah (soil).
 Untuk pengukuran material asam (PAF), diukur dari elevasi awal pada blok
yang akan dilakukan penimbunan (origin), dan diperoleh ketebalan rata-rata
untuk material PAF pada timbunan adalah ± 6 meter
 Untuk pengukuran material penetral (NAF), diukur dari batas atas timbunan
material PAF hingga elevasi final disposal sebelum dilakukan penebaran soil,
dan diperoleh dengan ketebalan rata-rata ± 2.75 meter

75
 Untuk pengukuran lapisan tanah (soil), diukur dari batas atas material NAF
hingga batas akhir penimbunan tanah, dan diperoleh ketebalan rata-rata
mencapai ± 1.25 meter.
 Total tebal /tinggi keseluruhan disposal dalam 1 (satu) jenjang adalah 10
meter.

Gambar 4.27.
Tebal masing-masing lapisan batuan penutup pada enkapsulasi yang dilakukan

IV.3.2. Pengukuran dan Pemantauan Tanah

IV.3.2.1. Sifat Kimia Tanah

Untuk pengukuran sifat kimia tanah terdiri atas pengukuran pH


(kemasaman) tanah dan Kapasitas Tukar Kation (KTK). Hasil pemantauan
kemasaman tanah di LPT PT Berau Coal menunjukkan bahwa nilai rataan pH
tanah di site SMO dan LMO mempunyai harkat sangat masam (SM) hingga
masam (M) dan LMO sangat masam (SM) sedangkan untuk Lahan ORI pH tanah
untuk ketiga site tersebut berharkat SM (Tabel IV-04).

76
Tabel 4.5
Harkat pH Tanah pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang di PT Berau Coal
Kalimantan Timur

DISPOSAL ORI
SITE
A B C A B C

SMO M M M SM SM SM

BMO SM SM M SM SM SM

LMO SM SM SM SM SM SM
Keterangan: A = 00-10 cm, B = 11-30 cm, C = 31-60 cm, SM = Sangat Masam, M = Masam,
AM = Agak Masam, N = Netral

Sementara untuk pengukuran Kapasitas Tukar Kation (KTK), berdasarkan Tabel


IV-05 rataan KTK tanah Lahan LPT site SMO dan LMO berharkat Rendah (R)
demikian pula untuk tanah di Lahan ORI nya.

Tabel 4.6
Harkat KTK Tanah pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang di PT Berau Coal
Kalimantan Timur

DISPOSAL ORI
SITE
A B C A B C

SMO R R R R R R

BMO R R R R R R

LMO R R R R R R
Keterangan: A = 00-10 cm, B = 11-30 cm, C = 31-60 cm= Sangat Rendah, R = Rendah, S =
Sedang, T = Tinggi, ST = Sangat Tinggi

Berdasarkan pengamatan di lapangan tekstur tanah sebagian besar wilayah


penelitian adalah liat, rentang nilai KTK tanahnya menunjukkan rentang nilai
yang dimiliki oleh mineral liat Kaolinit. Patut diduga bahwa KTK tanah di PT
Berau Coal lebih banyak dipengaruhi fraksi liat baik dalam jumlah maupun
jenisnya. Kandungan bahan organik sebagai penyumbang KTK untuk wilayah
penelitian tergolong rendah sehingga kecil kemungkinan pasokan bahan organik
dari vegetasi yang ada saat ini akan meningkatkan KTK.

77
IV.3.2.2. Sifat Fisik Tanah

Untuk pengukuran sifat fisik tanah pada daerah penelitian, dilakukan


dengan pengukuran fisik pada tanah areal timbunan dan areal original. Adapun
hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.7.
Hasil Analisa Sifat Fisik Tanah
LATI SAMBARATA
LOKASI
Disposal Original Disposal Original
Dry Bulk Density 1.39 1.52 1.45 1.31
(gr/cm3)
Wet Bulk Density 1.81 1.94 1.88 1.84
(gr/cm3)
Water Content (%) 18.21 29.59 19.46 18.52

Porosity (%) 18.21 29.59 19.46 18.52


Permeability Kf 9.8098E-12 4.8957E-14 2.1134E-11 1.4028E-11
(m/day)
Jenis Tanah Lempung Lempung Lempung Lempung
berdebu berdebu berdebu

IV.3.3. Pengukuran dan Pemantauan Air

IV.3.3.1. Pengukuran pH air dan TSS

Untuk pengukuran pH air dan TSS dilakukan pada daerah penelitian yang
telah dilakukan penimbunan dengan metode enkapsulasi. Untuk Blok Sambarata
pada periode September 2009 hingga April 2010, lanjut hingga akhir 2013
sementara untuk Blok Lati dilakukan pada periode tahun 2013.

78
Tabel 4.8.
Hasil analisa pH dan TSS setelah dilakukan enkapsulasi
sulasi di Sambarata

Sementara untuk pemantauan kualitas air yang keluar dari area penelitian
juga dilakukan secara kontinyu hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat pada grafik
hingga akhir 2013 dibawah ini, baik itu untuk site Lati maupun site Sambarata.

79
Tabel 4.9.
Hasil Analisa pH dan TSS Site Lati (2013)
Keterangan Lokasi Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec AVG MAX MIN
Disposal 500 4.1 4 6.38 6.78 6.23 7.26 6.19 6.92 7.86 6.60 6.7 6.27 7.86 4.00
Disposal Q3 4 6.34 7.46 7.41 6.27 6.52 7.38 8.66 7.90 7.40 7.64 7.00 8.66 4.00
Disposal Q8 4 7.40 7.63 7.52 6.68 6.92 6.51 6.62 7.88 7.60 7.8 6.96 7.88 4.00
Disposal T03 5 5.75 8.34 6.98 6.34 7.40 7.81 6.74 7.55 7.30 7.26 6.95 8.34 5.00
Pit E 4 7.08 6.97 7.51 6.23 6.37 7.79 6.70 7.48 8.00 7.6 6.88 8.00 4.00
Office Buma 5.2 3.74 6.64 8.05 6.26 6.59 7.74 6.82 8.29 7.30 7.36 6.73 8.29 3.74
Disposal Pit West 4 7.44 6.83 7.91 8.16 6.21 6.55 7.92 7.80 7.70 7.72 7.11 8.16 4.00
Disposal Pit East 4 6.37 7.42 7.06 6.91 6.49 6.51 7.51 7.37 7.90 6.94 6.77 7.90 4.00
Pit E1 dan IPD E1 4 7.24 6.82 7.66 6.31 6.22 7.33 6.65 8.25 7.50 7.01 6.82 8.25 4.00
pH

Pit East 2 5.31 7.6 6.91 7.32 6.72 6.95 6.61 7.58 7.87 8.20 6.63 7.06 8.20 5.31
Pit West dan T07 4.49 7.36 6.32 6.98 7.18 7.07 7.04 7.57 8.17 7.90 7.35 7.04 8.17 4.49
Pit L2 4.79 7.37 6.57 7.11 7.75 6.70 6.36 6.88 8.24 8.80 7.51 7.10 8.80 4.79
Pit L1 3.73 7.56 6.93 7.82 7.99 6.84 7.24 7.40 8.23 7.80 7.32 7.17 8.23 3.73
CPP 3.51 6.47 6.34 7.60 6.69 6.37 6.16 6.96 7.44 7.00 7.1 6.51 7.60 3.51
BML 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
BML 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
AVG 4.30 6.55 6.97 7.41 6.84 6.71 6.94 7.21 7.88 7.64 7.28 #DIV/0!
MAX 5.31 7.60 8.34 8.05 8.16 7.40 7.81 8.66 8.29 8.80 7.80 -
MIN 3.51 3.74 6.32 6.78 6.23 6.21 6.16 6.62 7.37 6.60 6.63 -

Keterangan Lokasi Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des AVG MAX MIN
Disposal 500 46 64 6 42 4 68 10 20 4 24 4 26.55 68.00 4.00
Disposal Q3 28 34 104 32 4 18 82 8 4 18 204 48.73 204.00 4.00
Disposal Q8 54 26 52 20 32 42 4 28 24 26 30 30.73 54.00 4.00
Disposal T03 30 20 28 28 8 22 74 18 4 22 4 23.45 74.00 4.00
Pit E 34 28 28 26 4 18 46 8 4 8 8 19.27 46.00 4.00
Office Buma 20 24 14 16 10 14 4 28 128 44 4 27.82 128.00 4.00
Disposal Pit West 32 8 16 14 12 4 12 56 4 14 18 17.27 56.00 4.00
Disposal Pit East 42 18 64 32 26 46 20 104 4 24 12 35.64 104.00 4.00
TSS

Pit E1 dan IPD E1 62 30 14 46 4 26 14 20 84 54 24 34.36 84.00 4.00


Pit East 2 26 8 16 58 4 24 8 4 4 6 24 16.55 58.00 4.00
Pit West dan T07 74 32 34 38 54 32 40 4 16 10 148 43.82 148.00 4.00
Pit L2 94 172 40 22 108 14 32 20 4 200 16 65.64 200.00 4.00
Pit L1 122 70 28 44 30 36 12 52 22 18 18 41.09 122.00 12.00
CPP 32 4 10 28 4 28 10 4 4 4 4 12.00 32.00 4.00
BML 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300
AVG 50 38 32 32 21.71 28 26.29 27 22.14 33.71 37.00 #DIV/0!
MAX 122 172 104 58 108 68 82 104 128 200 204 -
MIN 20 4 6 14 4 4 4 4 4 4 4 -

IV.3.2.2. Pengukuran Kadar Fe dan Mn

Untuk pengukuran kadar Fe dan Mn dilakukan pada site Lati dan Sambarata
dengan hasil pengukuran pada tabel berikut ;

80
Tabel 4.10.
Hasil Analisa Kadar Mn dan Fe Site Lati (2013)
Keterangan Lokasi Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des AVG MAX MIN
Disposal 500 1.90 1.46 1.85 1.30 0.60 1.75 1.70 1.60 0.21 1.00 1.71 1.37 1.90 0.21
Disposal Q3 0.18 0.55 2.18 1.35 0.08 2.04 0.52 1.31 1.13 0.65 1.2 1.02 2.18 0.08
Disposal Q8 0.27 0.84 0.29 1.83 2.27 2.40 1.61 1.31 2.22 0.75 1.68 1.41 2.40 0.27
Disposal T03 0.79 0.59 0.58 0.91 1.16 0.90 0.08 1.50 1.04 0.49 1.03 0.82 1.50 0.08
Pit E 0.37 0.44 0.96 1.17 1.30 1.61 0.27 1.59 0.36 0.26 0.23 0.78 1.61 0.23
Office Buma 0.58 0.16 3.40 0.95 1.03 0.94 0.15 0.81 0.49 0.22 0.03 0.80 3.40 0.03
Disposal Pit West 1.77 0.56 0.31 0.52 0.72 3.21 3.48 0.85 2.22 0.14 1.33 1.37 3.48 0.14
Disposal Pit East 1.73 0.80 1.43 0.92 2.75 1.77 2.85 0.31 1.19 0.20 2.17 1.47 2.85 0.20
Mn

Pit E1 dan IPD E1 1.21 1.17 3.42 1.60 1.29 1.86 0.58 0.55 1.03 0.85 0.82 1.31 3.42 0.55
Pit East 2 0.26 0.45 1.02 0.86 0.71 1.66 0.62 1.01 0.71 0.12 2.64 0.91 2.64 0.12
Pit West dan T07 0.23 1.65 2.57 0.51 0.98 2.05 0.96 0.92 2.02 0.26 1.09 1.20 2.57 0.23
Pit L2 0.22 0.26 1.27 2.03 1.60 2.91 1.30 1.04 3.34 ?0.02 0.54 1.45 3.34 0.22
Pit L1 2.05 1.34 0.18 1.03 0.56 0.98 0.07 1.04 1.35 0.82 1.11 0.96 2.05 0.07
CPP 0.75 0.84 0.36 0.16 0.64 0.75 0.69 0.97 0.94 0.43 0.6 0.65 0.97 0.16
BML 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
AVG 0.88 0.79 1.42 1.08 1.12 1.77 1.06 1.06 1.30 0.48 1.16 #DIV/0!
MAX 2.05 1.65 3.42 2.03 2.75 3.21 3.48 1.60 3.34 1.00 2.64 -
MIN 0.18 0.16 0.18 0.16 0.08 0.75 0.07 0.31 0.21 0.12 0.03 -

Keterangan Lokasi Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des AVG MAX MIN
Disposal 500 0.40 0.10 ? 0.02 0.16 0.05 ? 0.02 ? 0.02 ?0.02 0.08 ?0.02 ?0.02 0.16 0.40 0.05
Disposal Q3 0.15 ? 0.02 ? 0.02 2.00 0.04 ? 0.02 ? 0.02 ?0.02 0.36 0.03 0.32 0.48 2.00 0.03
Disposal Q8 0.25 ? 0.02 ? 0.02 0.96 0.08 2.09 ? 0.02 ?0.02 0.92 0.05 ?0.02 0.73 2.09 0.05
Disposal T03 0.05 0.03 0.05 0.87 0.05 0.98 ? 0.02 0.35 0.44 ?0.02 ?0.02 0.35 0.98 0.03
Pit E 0.26 0.20 0.05 1.38 0.03 ? 0.02 ? 0.02 ?0.02 0.09 ?0.02 ?0.02 0.34 1.38 0.03
Office Buma 0.08 0.04 ? 0.02 0.09 0.03 ? 0.02 ? 0.02 ?0.02 0.22 0.17 ?0.02 0.11 0.22 0.03
Disposal Pit West 0.09 0.08 ? 0.02 0.09 0.05 ? 0.02 ? 0.02 ?0.02 0.14 ?0.02 ?0.02 0.09 0.14 0.05
Disposal Pit East 0.12 0.04 ? 0.02 0.20 0.03 ? 0.02 ? 0.02 ?0.02 0.14 ?0.02 ?0.02 0.11 0.20 0.03
Fe

Pit E1 dan IPD E1 0.14 0.05 0.03 0.40 0.03 ? 0.02 0.06 ?0.02 0.30 0.03 ?0.02 0.13 0.40 0.03
Pit East 2 0.12 0.06 ? 0.02 0.12 0.03 ? 0.02 ? 0.02 ?0.02 0.13 ?0.02 ?0.02 0.09 0.13 0.03
Pit West dan T07 0.10 0.08 ? 0.02 0.81 0.07 ? 0.02 ? 0.02 0.03 0.93 0.03 ?0.02 0.29 0.93 0.03
Pit L2 0.10 0.62 ? 0.02 0.57 0.29 ? 0.02 0.03 0.73 0.38 ?0.02 ?0.02 0.39 0.73 0.03
Pit L1 0.28 0.08 ? 0.02 0.33 0.09 0.03 ? 0.02 0.96 0.73 0.03 ?0.02 0.32 0.96 0.03
CPP 0.10 0.04 ? 0.02 0.20 ? 0.02 0.05 ? 0.02 ?0.02 0.34 ?0.02 ?0.02 0.15 0.34 0.04
BML 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
AVG 0.16 0.12 0.04 0.58 0.07 0.79 0.05 0.52 0.37 0.06 0.32 #DIV/0!
MAX 0.40 0.62 0.05 2.00 0.29 2.09 0.06 0.96 0.93 0.17 0.32 -
MIN 0.05 0.03 0.03 0.09 0.03 0.03 0.03 0.03 0.08 0.03 0.32 -

Tabel 4.11.
Hasil Analisa Air Limbah Site Sambarata (2013)
Hasil Analisis Air Limbah Triwulan IV Tahun 2013 - Site Sambarata
Okt Nov Des Okt Nov Des Okt Nov Des Okt Nov Des
Code of Sample Keterangan Lokasi
pH TSS (mg/L) Mn (mg/L) Fe (mg/L)
WMP 5 ST Pit Kapur 7.61 7.50 7.30 4 14 18 0.06 ≤0.02 ≤0.02 0.08 0.04 0.24

WMP 6 ST Pit Nyato 8.01 8.07 8.02 4 8 10 ≤0.02 ≤0.02 ≤0.02 0.11 0.03 0.13

WMP 7 ST Pit Gaharu 7.98 7.86 7.66 4 56 50 0.05 ≤0.02 ≤0.02 0.58 0.72 0.92
WMP 11 ST Office SMO/ CPP 6.68 6.76 6.86 4 4 8 0.67 1.77 1.97 0.05 ≤0.02 ≤0.02

WMP 12 ST Disposal C & Pit Agathis 8.43 7.31 7.11 4 10 18 0.93 1.47 1.97 0.10 ≤0.02 ≤0.02

WMP 13 ST Pit Gaharu-Kapur 7.19 6.78 6.98 6 14 18 0.04 0.03 0.83 0.04 ≤0.02 ≤0.02

WMP 14 ST Pit E1 dan Pit G1 7.47 7.88 7.38 4 14 12 2.41 1.16 1.36 0.10 ≤0.02 ≤0.02
WMP 23 ST Pit F 6.62 8.07 8.17 8 10 14 1.95 ≤0.02 ≤0.02 0.03 ≤0.02 ≤0.02

WMP 26 ST Pit T 7.51 8.17 8.27 4 4 8 2.87 ≤0.02 ≤0.02 0.14 0.04 0.14

WMP 27 ST OPD T2, PIT T2, OPD Barat 7.30 7.37 7.27 4 38 32 0.06 ≤0.02 ≤0.02 2.17 0.83 0.33
WMP 28 ST OPD 1 Sisi Timur 6.98 7.32 7.12 4 12 18 1.21 1.31 1.11 0.23 0.04 0.14

WMP 29 ST OPD B 11 Timur 6.94 7.13 7.19 4 6 6 0.84 0.37 0.47 0.18 ≤0.02 ≤0.02

WMP 30 ST OPD B 3 Barat 7.14 8.43 8.23 4 4 8 0.04 ≤0.02 ≤0.02 0.11 ≤0.02 ≤0.02

81
BAB V
PEMBAHASAN

V.1. Evaluasi Metode Enkapsulasi

Penerapan metode enkapsulasi untuk penanganan air asam tambang di PT.


Berau Coal, Tbk secara teknis dan operasional perlu dilakukan evaluasi dan
penilaian. Hasil penilaian ini digunakan sebagai bahan pelaporan dan pembuatan
rencana tindak lanjut bagi perusahaan yang terkait dalam pelaksanaan pengelolaan
air asam tambang.
Terkait dengan hal tersebut, maka parameter keberhasilan penerapan
penimbunan dengan metode enkapsulasi perlu dibuat menjadi beberapa penilaian,
dengan perincian sebagai berikut ;
1. Ketinggian jenjang individu disposal tidak lebih besar dari 10 meter, baik
itu pada Blok West OPD Lati maupun Blok B3-C1 OPD B3 Sambarata.
Dari pelaksanaan kegiatan enkapsulasi, setelah itu dilakukan pengukuran
terhadap ketinggian jenjang individu sesuai standart disposal, yaitu tidak
lebih besar dari 10 meter.
2. Kemiringan lereng tunggal disposal setelah tertutup soil maksimal 25
derajat. Hal ini diperlukan untuk pemenuhan standar terkait hidrogeologi
dan geoteknik, sehingga pengaruh hujan dan angin tidak berimplikasi pada
timbulnya erosi dan air asam tambang.
3. Kemiringan bidang datar ke arah dalam dengan kemiringan rata-rata 2 %
untuk membantu penyaliran air. Hal ini juga bertujuan untuk mencegah
terjadinya erosi dengan memperlambat debit aliran air.
4. Lebar berm tergantung perjenjangan yang disesuaikan terhadap ketinggian
dan kemiringan jenjang keseluruhan dan manuver peralatan tambang baik
site Lati maupun Sambarata.
5. Terdapat jalan untuk aktivitas revegetasi dengan lebar tidak kurang 6
(enam) meter dan grade jalan tidak melebihi 8%. Hal ini diperlukan untuk

82
memastikan pemantauan terhadap kegiatan reklamasi dan pascatambang
dapat terus dilakukan meski kegiatan penambangan telah diselesaikan di
blok Lati dan Sambarata.
6. Terdapat fasilitas drainage yang terletak di kaki slope tiap jenjang
timbunan. Penyaliran air atau drainage penting untuk mencegah
terbentuknya air asam tambang, guna mencegah adanya genangan pada
timbunan sehingga dapat terjadi presipitasi air yang menyebabkan
terbentuknya reaksi pembentukan air asam tambang.
7. Terdapat fasilitas sediment pond sesuai standar, dimana sediment pond
berfungsi untuk menahan laju sedimentasi dari disposal dan
mengendapkan material kasar / unsur logam yang dapat terlarut dalam air.

Tabel 5.1
Parameter Keberhasilan Penerapan Enkapsulasi PT. Berau Coal

83
V.2. Evaluasi Kualitas Air dan Tanah

Pembahasan ini untuk menilai kinerja dari lapisan penutup timbunan yang telah
dibuat baik dari kualitas tanah pada area timbunan maupun kualitas air-nya. Selain
itu, monitoring juga dilakukan terhadap pemantauan kualitas air di daerah hilir
areal timbunan /disposal yang telah dilakukan reklamasi.
Berdasarkan analisa dan pengukuran sifat dan parameter-parameter fisik tanah
pada lapisan tanah yang dilakukan enkapsulasi, maka dapat dijabarkan
sebagaimana berikut ini.
Klasifikasi kualitas densitas dilakukan dengan menggunakan Korotaev
(1992) menunjukkan pada umumnya pada Blok Lati dan Sambarata mempunyai
klasifikasi good sampai bad. Pada tanah original Blok Sambarata terklasifikasikan
“good” (Tabel 5.2). Ini menunjukkan bahwa nilai densitas kering di daerah
tersebut masih dalam rentang densitas kering material asli belum terganggu.
Kebalikan pada tanah original Blok Lati yang memiliki bahan organik rendah
apabila dibandingkan dengan yang lain, ini sangat menunjukkan bahwa dengan
rendahnya bahan organik pada beberapa material dan tingginya kandungan
mineral akan berhubungan erat dengan nilai daripada densitas keringnya.

Tabel 5.2.
Klasifikasi Dry Bulk Density berdasarkan Korotaev (1992)

Dry Bulk Density (gr/cm3) Stage


< 1.30 Very good
1.30 – 1.45 Good
1.45 – 1.60 Bad
> 1.60 Very bad

Kadar air asli (insitu) dibeberapa lokasi menunjukkan kadar air terendah
pada nilai 18.21% di Blok Lati Disposal dan menunjukkan kadar air tertinggi di
Blok Lati Original sebesar 29.59%. dengan melihat dari original blok Lati yang
memiliki dominasi sinklin sehingga mengakibatkan air dengan mudah terjebak

84
dalam matriks-matriks liat yang mempunyai sifat ataupun kapasitas air yang
bagus. Sedangkan pada blok Sambarata memiliki nilai kadar air asli pada area
disposal sebesar 19.46% , sementara nilai kadar air asli pada area original adalah
18.52%, sedikit lebih rendah dibanding area disposal. Hal ini menunjukkan
adanya pengaruh reklamasi yang memiliki dampak positif terhadap perkembangan
kemampuan tanah, dimana adanya aktifitas vegetasi dipermukaan tanah
mengakibatkan kadar air asli pada beberapa tempat menjadi bertambah.
Dominasi porositas tinggi pada keseluruhan blok Lati dan Sambarata
berbanding lurus dengan kadar air aslinya (water content). Perbedaan nilai pori
yang ada tidak begitu signifikan disini terlihat jelas apabila perbandingan nilai
dilakukan pada keseluruhan blok yang ada, terutama yang terklasifikasi high
menurut WRB FAO (1990). Ini diakibatkan dengan jelas terlihat pada komposisi
ataupun distribusi matriks mineral yang mendominasi atau bahkan material lunak
yang dengan mudah dapat ditembus oleh akar-akaran maupun organisme yang
ada.

Tabel 5.3
Klasifikasi Porosity berdassarkan WRB-FAO (1990)

Porosity (%) Grade


<2 Very Low
2–5 Low
5 – 15 Medium
15 – 40 High
> 40 Very High

Permeabilitas air yang didapat terhadap klasifikasinya disemua blok, baik


Blok Lati maupun Sambarata adalah very low (Klasifikasi Permeabilitas
berdasarkan Arbeitskreis Standortskartierung, 1996). Dominasi permeabilitas air
yang rendah terlihat pada sekitar lokasi Blok Lati Original yaitu 4.8957E-14
m/day sedangkan yang tertinggi pada area disposal Blok Sambarata yaitu

85
2.1134E-11 m/day. Dominasi permeabilitas yang masuk dalam kategori “very
low”, dipengaruhi oleh adanya vegetasi, dimana akar-akaran atau aktivitas
organisme, sehingga dapat dengan mudah terbentuk pori-pori makro yang terisi
oleh udara atau bahkan air itu sendiri. Ini mengakibatkan transportasi air pada
pori-pori tanah dapat mudah terjadi, sehingga permeabilitas airnya lebih tinggi
dibandingkan tanah yang memiliki porositas rendah atau sedikit vegetasi. Adanya
vegetasi pada tanah tereklamasi atau tanah original yang subur, cenderung lebih
tingginya permeabilitas air yang terjadi apabila dibandingkan dengan disposal
yang masih baru yang ada.

Tabel 5.4
Klasifikasi Permeabilitas berdasarkan Arbeitskreis Standortskartierung (1996)

Class Kf (m/day) Grade


1 < 0.01 Very Low
2 0.01 – 0.1 Low
3 0.1 – 0.4 Mid Range
4 0.4 – 1 High
5 1–3 Very High
6 >3 Very very High

Jenis tanah yang berada pada seluruh blok, baik itu Blok Lati maupun
Blok Sambarata tergolong pada kategori tanah lempung berdebu. Hasil analisa
laboratorium terhadap kelas tekstur tanah dari semua contoh sampel pengamatan
menunjukkan bahwa umumnya tanah-tanah yang dianalisa memiliki tekstur
lempung berdebu kecuali tekstur tanah dari lokasi pengamatan tanah asli Blok
Sambarata Original yang memiliki tekstur lempung.
Rate dari perpindahan air merupakan fungsi dari hydraulic conductivity
dan hydraulic gradient tanah. Aliran air jenuh akan terjadi apabila tekanan air
positif yaitu apabila matriks potensial tanah adalah nol (saturated wet condition).
Tanah yang memiliki kandungan liat/lempung tinggi, pada umumnya mempunyai
hydraulic conductivity yang rendah daripada tanah pasiran, karena distribusi

86
ukuran pori di tanah pasiran mempunyai pori-pori yang lebih besar yang banyak
walaupun biasanya mempunyai densitas yang tinggi dan total porositas rendah
daripada tanah liatan. Jenis tanah lempung berdebu yang lebih baik dan ideal
sebagai “sealbed” atau lapisan pengunci terhadap infitrasi air permukaan.

A B
Gambar 5.1.
A. Jenis tanah pasiran yang kering, cenderung meloloskan oksigen dan air
B. Jenis tanah liat / lempung berdebu yang jenuh air, menghambat laju difusi
oksigen dan air

Untuk pengukuran sifat kimia tanah terdiri atas pengukuran pH


(kemasaman) tanah dan Kapasitas Tukar Kation (KTK). Hasil pemantauan
kemasaman tanah di LPT PT Berau Coal menunjukkan bahwa nilai rataan pH
tanah di site SMO dan LMO mempunyai harkat sangat masam (SM) hingga
masam (M) dan LMO sangat masam (SM) sedangkan untuk Lahan ORI pH tanah
untuk ketiga site tersebut berharkat SM (Tabel 5.5).

Tabel 5.5
Harkat pH Tanah pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang di PT Berau Coal
Kalimantan Timur
DISPOSAL ORI
SITE
A B C A B C

SMO M M M SM SM SM

LMO SM SM SM SM SM SM
Keterangan: A = 00-10 cm, B = 11-30 cm, C = 31-60 cm, SM = Sangat Masam, M = Masam,
AM = Agak Masam, N = Netral

87
Sementara untuk pengukuran Kapasitas Tukar Kation (KTK), berdasarkan Tabel
5.6 rataan KTK tanah Lahan LPT site SMO dan LMO berharkat Rendah (R)
demikian pula untuk tanah di Lahan ORI nya.

Tabel 5.6
Harkat KTK Tanah pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang di PT Berau Coal
Kalimantan Timur
DISPOSAL ORI
SITE
A B C A B C

SMO R R R R R R

LMO R R R R R R
Keterangan: A = 00-10 cm, B = 11-30 cm, C = 31-60 cm= Sangat Rendah, R = Rendah, S =
Sedang, T = Tinggi, ST = Sangat Tinggi

Berdasarkan pengamatan di lapangan tekstur tanah sebagian besar wilayah


penelitian adalah liat, rentang nilai KTK tanahnya menunjukkan rentang nilai
yang dimiliki oleh mineral liat Kaolinit. Patut diduga bahwa KTK tanah di
PT.Berau Coal, Tbk lebih banyak dipengaruhi fraksi liat baik dalam jumlah
maupun jenisnya. Kandungan bahan organik sebagai penyumbang KTK untuk
wilayah penelitian tergolong rendah sehingga kecil kemungkinan pasokan bahan
organik dari vegetasi yang ada saat ini akan meningkatkan KTK.

Kemudian untuk pengukuran dan pemantauan kualitas air yang diharapkan sesuai
baku mutu lingkungan (BML) yang terdiri atas beberapa parameter ;

Tabel 5.7
BML sesuai Kepmen LH No.113 Tahun 2003

Parameter Satuan Kadar Maksimum

pH s.u. 6–9
Total Suspended Solid mg/ L 400
Fe Total mg/ L 14
Mn Total mg/ L 7

88
Sehingga berdasarkan parameter ketentuan diatas (Tabel 5.5) maka upaya-upaya
pengelolaan lingkungan sangat diperlukan agar standar baku mutu lingkungan
dapat dicapai.
1. Kadar Keasaman (pH) Air
Berdasarkan hasil pengukuran dan pemantauan pada lokasi penelitian,
diperoleh kadar keasaman (pH) air yang rata-rata berada pada rentang 6.21 –
8.66 untuk Disposal Blok Lati, sedangkan pada Blok Sambarata kadar pH air
rata-rata berada pada rentang 6.62 – 8.43. Kedua blok penelitian ini memiliki
nilai kadar pH didalam rentang baku mutu lingkungan (6 – 9).

Gambar 5.2.
Grafik Hasil Analisa pH air Site Lati (2013)

Gambar 5.3.
Grafik Hasil Analisa pH air Site Sambarata (2013)

89
2. Kadar Residu Tersuspensi (TSS)
Berdasarkan hasil pengukuran dan pemantauan pada lokasi penelitian,
diperoleh kadar Residu Tersuspensi (TSS) yang rata-rata berada pada rentang
4.00 – 204.00 untuk Disposal Blok Lati, sedangkan pada Blok Sambarata
kadar Residu Tersuspensi rata-rata berada pada rentang 4.00 – 172.00. Kedua
blok penelitian ini memiliki nilai kadar Residu Tersuspensi (TSS) didalam
rentang baku mutu lingkungan (< 300.00).

Gambar 5.4.
Grafik Hasil Analisa TSS Site Lati (2013)

Gambar 5.5.
Grafik Hasil Analisa TSS Site Sambarata (2013)

90
3. Kadar Besi (Fe) Total
Berdasarkan hasil pengukuran dan pemantauan pada lokasi penelitian,
diperoleh kadar Besi (Fe) Total yang rata-rata berada pada rentang 0.03 – 2.09
untuk Disposal Blok Lati, sedangkan pada Blok Sambarata kadar Besi (Fe)
Total rata-rata berada pada rentang 0.03 – 2.17. Kedua blok penelitian ini
memiliki nilai kadar Besi (Fe) Total didalam rentang baku mutu lingkungan
(Fe< 7.00).

Fluktuasi Fe Bulanan LMO Tahun 2013 (BMAL Fe < 7 mg/l)


WMP 3LT
8.00 WMP 5LT
WMP 7LT
7.00
WMP 10LT
6.00 WMP 11LT
WMP 12 LT
5.00
WMP 13LT
Nilai Fe

4.00 WMP Gab Baru


WMP 9LT
3.00
WMP 14LT
2.00 WMP 16LT
WMP 17LT
1.00
BML
0.00 WMP 18LT
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des

Bulan Pemantauan

Gambar 5.6.
Grafik Hasil Analisa Kadar Besi (Fe) Total Site Lati (2013)

Fluktuasi Fe Bulanan SMO Tahun 2013 (BMAL Fe < 7 mg/l)


WMP 5 ST
8.00 WMP 6 ST
WMP 7 ST
7.00
WMP 12 ST
6.00 WMP 13 ST
WMP 14 ST
5.00
WMP 23 ST
Nilai Fe

4.00 WMP Gab Baru


WMP 11 ST
3.00
WMP 26 ST
2.00 WMP 28 ST
WMP 29 ST
1.00
BML
0.00 WMP 30 ST
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des

Bulan Pemantauan

Gambar 5.7.
Grafik Hasil Analisa Kadar Besi (Fe) Total Site Sambarata (2013)

91
4. Kadar Mangan (Mn) Total
Berdasarkan hasil pengukuran dan pemantauan pada lokasi penelitian,
diperoleh kadar Mangan (Mn) Total yang rata-rata berada pada rentang 0.03 –
3.48 untuk Disposal Blok Lati, sedangkan pada Blok Sambarata kadar
Mangan (Mn) Total rata-rata berada pada rentang 0.02 – 2.87. Kedua blok
penelitian ini memiliki nilai kadar Mangan (Mn) Total didalam rentang baku
mutu lingkungan (Mn< 4.00).

Fluktuasi Mn Bulanan LMO Tahun 2013 (BMAL Mn <= 4 mg/l)


WMP 3LT

WMP 5LT
4 WMP 9LT

WMP 10LT

3 WMP 11LT

WMP 12 LT
Nilai Mn

WMP 13LT
2
WMP Gab Baru

Disposal Q8
1 WMP 14LT

BML

0 WMP 18LT
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des

Bulan Pemantauan

Gambar 5.8.
Grafik Hasil Analisa Kadar Mangan (Mn) Total Site Lati (2013)

Fluktuasi Mn Bulanan SMO Tahun 2013 (BMAL Mn <= 4 mg/l)


WMP 5 ST

WMP 6 ST
4 WMP 11 ST

WMP 12 ST

3 WMP 13 ST

WMP 14 ST
Nilai Mn

WMP 23 ST
2
WMP Gab Baru

WMP 7 ST
1 WMP 26 ST

BML

0 WMP 30 ST
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des

Bulan Pemantauan

Gambar 5.9.
Grafik Hasil Analisa Kadar Mangan (Mn) Total Site Sambarata (2013)

92
BAB V
KESIMPULAN

1. Air asam tambang merupakan persoalan pelik yang perlu dicari


penyelesaiannya dalam penambangan mineral/batubara. Usaha-usaha yang
dilakukan dalam rangka penanganan air asam tambang ini dapat dilakukan
dengan metode preventive dan kuratif. Metode preventif yang saat ini menjadi
salah satu pilihan adalah metode enkapsulasi. Penerapan metode enkapsulasi
untuk penanganan air asam tambang di Blok Lati dan Blok Sambarata, dua
area operasional PT. Berau Coal, Tbk secara teknis dan operasional perlu
dilakukan evaluasi dan penilaian. Hasil penilaian ini digunakan sebagai bahan
pelaporan dan pembuatan rencana tindak lanjut bagi perusahaan yang terkait
dalam pelaksanaan pengelolaan air asam tambang.
2. Evaluasi penerapan metode enkapsulasi didaerah penelitian meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengukuran dan pemantauan. Perencanaan diawali
dengan penyusunan strategi awal dari pengelolaan air asam tambang, baik itu
metode preventif maupun kuratif. Setelah itu disusunlah suatu framework dan
prosedur standar operasional terkait metode enkapsulasi yang akan
dilaksanakan. Langkah awal dalam pelaksanaan metode enkapsulasi adalah
menyiapkan data-sebaran batuan yang mengandung asam / Potential Acid
Forming (PAF) dan batuan yang menetralkan asam / Non Acid Forming
(NAF) dari kegiatan eksplorasi geokimia hingga penambangan berjalan.
Operasional pelaksanaan enkapsulasi diakhiri dengan terbentuknya disposal /
area penimbunan yang kedap terhadap air dan oksigen dalam jangka waktu
tertentu. Ada beberapa parameter keberhasilan penerapan penimbunan dengan
metode enkapsulasi yang berhasil di capai dalam penelitian dengan perincian
sebagai berikut ;
1. Ketinggian jenjang individu disposal tidak lebih besar dari 10 meter

93
2. Kemiringan lereng tunggal disposal setelah tertutup soil maksimal 25
derajat.
3. Kemiringan bidang datar ke arah dalam dengan kemiringan rata-rata 2 %
4. Lebar berm tergantung perjenjangan yang disesuaikan terhadap ketinggian
dan kemiringan jenjang keseluruhan dan manuver peralatan tambang
5. Terdapat jalan untuk aktivitas revegetasi dengan lebar tidak kurang 6
(enam) meter dan grade jalan tidak melebihi 8%.
6. Terdapat fasilitas drainage yang terletak di kaki slope tiap jenjang
timbunan.
7. Terdapat fasilitas sediment pond sesuai standar.

3. Pengukuran dan Pemantauan dari hasil penerapan metode enkapsulasi


dilakukan dengan mengukur kualitas tanah dan kualitas air yang ada. Kualitas
tanah di-ukur pada sifat fisik dan sifat kimia tanahnya. Sifat fisika tanah pada
Disposal Blok Lati dan Disposal Blok Sambarata terdiri atas tekstur/jenis
tanah liat/lempung berdebu, permeabilitas very low dan porositas high,
sedangkan Disposal Blok Sambarata terdiri atas tekstur/jenis tanah
liat/lempung berdebu, permeabilitas very low dan porositas high Sifat kimia
tanah Disposal Blok Lati memiliki pH tanah yang Sangat Masam (SM) dan
kapasitas tukar kation (KTK) bernilai rendah yang mencirikan mineral
Kaolinit (Liat), sedangkan sifat kimia tanah Disposal Blok Sambarata
memiliki pH tanah yang Masam (M) dan kapasitas tukar kation (KTK)
bernilai rendah yang mencirikan mineral Kaolinit pula.
Kemudian untuk pengukuran dan pemantauan kualitas air daerah penelitan
diperoleh hasil yang diharapkan sesuai baku mutu lingkungan (BML) sebagai
berikut ;
1. Kadar Keasaman (pH) Air untuk Disposal Blok Lati dan Disposal Blok
Sambarata berada pada rentang 6.21 – 8.66. Kedua blok penelitian ini
memiliki nilai kadar pH didalam rentang baku mutu lingkungan (6 – 9).
2. Kadar Residu Tersuspensi (TSS) berada pada rentang 4.00 – 204.00 untuk
Disposal Blok Lati, sedangkan pada Blok Sambarata kadar Residu

94
Tersuspensi rata-rata berada pada rentang 4.00 – 172.00. Kedua blok
penelitian ini memiliki nilai kadar Residu Tersuspensi (TSS) didalam
rentang baku mutu lingkungan (< 300.00).
3. Kadar Besi (Fe) Total berada pada rentang 0.03 – 2.09 untuk Disposal
Blok Lati, sedangkan pada Blok Sambarata kadar Besi (Fe) Total rata-rata
berada pada rentang 0.03 – 2.17. Kedua blok penelitian ini memiliki nilai
kadar Besi (Fe) Total didalam rentang baku mutu lingkungan (Fe< 7.00).
4. Kadar Mangan (Mn) Total berada pada rentang 0.03 – 3.48 untuk Disposal
Blok Lati, sedangkan pada Blok Sambarata kadar Mangan (Mn) Total
rata-rata berada pada rentang 0.02 – 2.87. Kedua blok penelitian ini
memiliki nilai kadar Mangan (Mn) Total didalam rentang baku mutu
lingkungan (Mn< 4.00).

4. Dengan hasil evaluasi yang ada dari rangkaian kegiatan metode enkapsulasi
diperoleh data kualitas air yang sesuai dengan baku mutu lingkungan
sebagaimana diatur dalam Kepmen LH No.13 Tahun 2003 Tentang Baku
Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batubara,
maka kajian metode enkapsulasi yang ada dapat diterapkan di blok-blok
pengembangan pertambangan lainnya dengan pemenuhan prosedur standar
operasional yang sudah dibuat.

SARAN – SARAN
1. Karakteristik sifat fisika dan kimia tanah juga sangat mempengaruhi pada
penerapan metode enkapsulasi, dimana kondisi tanah yang buruk (tidak subur)
belum tentu buruk pula dalam penggunaannya. Hal ini bisa dikembangkan
penelitian lebih lanjut di lokasi lahan tambang yang originalnya ada lahan
kritis.
2. Perlunya komitmen dari semua elemen terkait pengelolaan air asam tambang,
khususnya dari segi pengawasan dan penegakan aturan oleh unsur Pemerintah
dan Instansi terkait, mengingat saat ini masih sangat banyak persoalan air
asam tambang yang belum ditangani (bahkan tidak ditangani) oleh Perusahaan

95
tambang. Sebagai contoh kota Samarinda yang merupakan ibukota Propinsi
Kalimantan Timur masih banyak void atau lubang bekas tambang yang tidak
ditutup dan dilakukan pengelolaan air limbah. Hal ini akan terus menerus
memproduksi air asam tambang yang akan merusak lingkungan dan
merugikan masyarakat sekitar.

96
DAFTAR PUSTAKA

1. Boyd, C.E, 1990. Water Quality in ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment Station. Auburn University. Alabama

2. Chandra Nugraha dan Hendra A., 2004, Pengelolaan Masalah Air Asam
Tambang dengan Metode Lapisan Penutup di Tambang Terbuka. PT. Kaltim
Prima Coal, Sangatta Kutai Timur.

3. Djakamiharja, Achmad S, 2008. Kajian Substrat Buatan Berbasis Material Lokal


Sebagai Media Revegetasi pada Kegiatan Reklamasi di PT. Berau Coal,
Kalimantan Timur.

4. Hamzah Umar, 2008, Laporan Pemboran Eksplorasi Untuk Analisa Geokimia


Batuan Daerah Lati PT. Berau Coal, Kabupaten Berau (Unpublished report -
jurnal).

5. Hamzah Umar, 2009, Acid Mine Drainage Preventif Method Framework


“Pemodelan Litologi NAF Daerah Lati – Lati Mine Operation PT. Berau Coal,.
Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

6. Hasywir Thaib, 2008, Deteksi Dini Potensi Air Asam Tambang, Teknik
Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta. Proceeding IAGI 2010 – Yogyakarta

7. Kepmen Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2003 Tentang Baku Mutu Air Limbah
bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batubara.

8. Miller, S. dan Brodie, K., 2000, Cover Performance for the Control of Sulfide
Oxidation and Acid Drainage from Waste Rock at the Martha Mine, New
Zealand (Proceeding of Fourth Australian Workshop on Acid Mine Drainage).

9. Parliyanto, 1996, Bandung, Identifikasi Potensi Air Asam Tambang di PT.


Arutmin Indonesia, Seminar AAT di Indonesia, Bandung.

10. PT. Kaltim Prima Coal, Environment Department, 2001, Rehabilitation


Specifications Version 2.

11. Robertson, Andy., 1992, Chapter of Prediction of Acid Generation Potential,


Mine Waste Management - A Resource for Mining Industry Professional,
Regulators and Consulting Engineers, Lewis Publisher, Boca Raton New York.

12. Rudy Sayoga Gautama, Ginting Jalu Kusuma, 2008, Evaluation of Geochemical
Tests in Predicting Acid Mine Drainage Potential in Coal Surface Mine. Mining
– ITB, Bandung.
13. Sambarata Mine Operation, 2010, Metode Enkapsulasi “Dry Cover” sebagai
upaya pencegahan pembentukan air asam tambang – studi kasus OPD B3, Site
Sambarata PT. Berau Coal.

14. Sengupta, M., 1992, Environmental Impacts of Mining – Monitoring, Restoration


and Control, Lewis Publisher, Boca Raton New York.

15. Suyartono Dkk, 2003. Pengelolaan Pertambangan Yang Baik dan Benar “Good
Mining Practice”. Penerbit Studi Nusa, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai