Anda di halaman 1dari 10

Metode Pengolahan air Limbah Tambang

Batubara
22:48 Asrarudin Ogha Label: Pendidikan
Indonesia adalah eksportir batubara terbesar kedua di dunia (setelah Australia, 2006). Menurut
Gautama (2007) dalam Anonim (2010) untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara
penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4, dan emas peringkat
ke-8 dunia.

Batubara yang banyak diekspor adalah batubara jenis sub-bituminus yang dapat merepresentasikan
produksi batubara Indonesia. Produksi batubara Indonesia meningkat sebesar 11.1% pada tahun
2003 dan jumlah ekspor meningkat sebesar 18.3% di tahun yang sama. Sebagian besar cadangan
batubara Indonesia terdapat di Sumatra bagian selatan. Kualitasnya beragam antara batubara
kualitas rendah seperti lignit (59%) dan sub-bituminus (27%) serta batubara kualitas tinggi seperti
bituminus dan antrasit (14%) (Asthary, 2008).

Sekitar 74% dari batubara Indonesia merupakan hasil penambangan perusahaan swasta. Satu-
satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Tambang Bukit Asam, menghasilkan sekitar 10
Mt (hanya 9% dari total produksi batubara Indonesia pada tahun 2003) dari penambangan terbuka.
Bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan swasta seperti PT Adaro, PT Kaltim Prima
Coal, serta PT Arutmin yang dapat memproduksi batubara hingga di atas 10 Mt pada tahun yang
sama. Perusahaan penambangan batubara milik negara kalah produksi oleh perusahaan swasta.

Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai
sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber
kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama
bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat
merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang
disingkirkan. Selain itu, untuk memperoleh atau melepaskan biji tanbang dari batu-batuan atau
pasir seperti dalam pertambangan emas, para penambang pada umumnya menggunakan bahan-
bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah, air atau sungai dan lingkungan.

Pada pertambangan bawah (underground mining) kerusakan lingkungan umumnya diakibatkan


karena adanya limbah (tailing) yang dihasilkan pada proses pemurnian bijih. Baik tambang dalam
maupun tambang terbuka menyebabkan terlepasnya unsur-unsur kimia tertentu seperti Fe dan S
dari senyawa pirit (Fe2S) menghasilkan air buangan bersifat asam (Acid Mine Drainage / Acid
Rock Drainage) yang dapat hanyut terbawa aliran permukaan pada saat hujan, dan masuk ke lahan
pertanian di bagian hilir pertambangan, sehingga menyebabkan kemasamam tanahnya lebih tinggi.
Tanah dan air asam tambang tersebut sangat masam dengan pH berkisar antara 2,5 3,5 yang
berpotensi mencemari lahan pertanian.

Dampak Pertambangan Batubara

Pertambangan batubara menimbulkan kerusakan lingkungan baik aspek iklim mikro setempat dan
tanah. Kerusakan klimatis terjadi akibat hilangnya vegetasi sehingga menghilangkan fungsi hutan
sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen, pengatur
suhu. Lahan bekas tambang batubara juga mengalami kerusakan. Kerapatan tanah makin tinggi,
porositas tanah menurun dan drainase tanah, pH turun, kesedian unsur hara makro turun dan
kelarutan mikro meningkat. baik, dan mengandung sulfat. Lahan seperti ini tidak bisa ditanami.
Bila tergenang air hujan berubah menjadi rawa-rawa.

Salah satu daerah pertambangan batu bara yang cukup besar di Indonesia berada di Provinsi
Kalimantan Selatan. Bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, pertambangan batu bara
di Provinsi Kalimantan Selatan sangat merusak lingkungan dan lahan pertanian yang ada di
provinsi tersebut, terutama pertambangan yang dilakukan secara illegal. Selain menghasilkan asam
tambang yang dapat memasamkan tanah, penggalian tanah dan batu-batuan yang menutup lapisan
batu bara dilakukan secara tidak terkendali dan penumpukan hasil galian (overburden) tidak
mengikuti prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Akibatnya lahan dengan tumpukan tanah
dan batu-batuan eks pertambangan sangat sulit untuk ditumbuhi vegetasi.

Sofyan (2009) mengemukakan bahwa beberapa dampak dari pertambangan batubara :

1. Lubang tambang. Pada kawasan pertambangan PT Adaro terdapat beberapa tandon raksasa
atau kawah bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga sehingga tak mungkin bisa
direklamasi
2. Air Asam tambang: mengandung logam berat yang berpotensi menimbulkan dampak
lingkungan jangka panjang
3. Tailing: teiling mengandung logam-logam berat dalam kadar yang mengkhawatirkan
seperti tembaga, timbal, merkuri, seng, arsen yang berbahaya bagi makhluk hidup.
4. Sludge: limbah cucian batubara yang ditampung dalam bak penampung yang juga
mengandung logam berbahaya seperti boron, selenium dan nikel dll.
5. Polusi udara : akibat dari (debu) flying ashes yang berbahaya bagi kesehatan penduduk dan
menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Menurut logika, udara kotor pasti
mempengaruhi kerja paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam merangsang penyakit
pernafasan seperti influensa, bronchitis dan pneumonia serta penyakit kronis seperti asma
dan bronchitis kronis.

Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara langsung terhadap
kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Hasil penelitian Widyati (2006) dalam
Widyati (2010) pada lahan bekas tambang batubara PT. Bukit Asam Tbk. menunjukkan pH tanah
mencapai 3,2 dan pH air berada pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu
keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak tersedia karena
terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan, 1993 dalam
Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004) dalam Widyati (2010) turunnya pH secara
drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada lingkungan tersebut.

Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari
besi atau baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik pada kegiatan
pengadaan maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat
mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan bekas tambang maupun hidupan yang berada
di sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini menyebabkan
kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang
memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada dapat mengganggu kesehatan manusia.

Luas permukaan daratan Indonesia yang telah diijinkan untuk kegiatan pertambangan relatif kecil
(1,336 juta ha atau 0,7% dari area daratan total), dan bahkan luas total areal penambangan yang
masih aktif dan yang sudah selesai ditambang lebih kecil lagi (36.743 ha, atau 0,019% dari area
daratan total) (Anonim, 2006). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil,
kebanyakan kegiatan penambangan menerapkan teknik penambangan di permukaan (surface
mining) yang dengan sendirinya mengakibatkan usikan terhadap lansekap setempat; areal areal
vegetasi yang ada dan habitat fauna menjadi rusak, dan pemindahan lapisan atas tanah yang
menutupi cadangan mineral menghasilkan perubahan yang tegas dalam topografi, hidrologi, dan
kestabilan lansekap. Apabila pengelolaan lingkungan tidak efektif, pengaruh lokal (on-site) ini
dapat mengakibatkan usikan lanjutan di luar areal penambangan (off-site), yang bersumber dari
erosi air dan angin terhadap sisa galian yang belum terstabilkan atau bahan sisa yang berasal dari
pengolahan mineral. Pengaruh-pengaruh ini dapat pula meliputi sedimentasi sungai-sungai, dan
penurunan kualitas air akibat meningkatnya salinitas, keasaman, dan muatan unsur-unsur beracun
dalam air sungai tersebut.

Definisi Bioremediasi

Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan.


Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi
polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut
biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan
beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang
tidak berbahaya dan tidak beracun (Wikipedia, 2010).

Menurut Anonim (2010) menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran
tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk
memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun
(karbon dioksida dan air).

Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses membersihkan
(clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan
organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme
(tumbuhan) (Onrizal, 2005).

Sejak tahun 1900an, orang-orang


sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi
telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang
sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk
dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-
senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi
baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang
bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana
polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan
bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik.
Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode
enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat
meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan
beracun menjadi tidak berbahaya.

Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam
mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan
adalah bakteri pemakan minyak. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang
umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan
bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah
diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain
rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain
inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang
cenderung bertahan di lingkungan.

Jenis Bioremediasi

Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:

Biostimulasi

Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang
tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam
air atau tanah tersebut.

Bioaugmentasi

Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam


air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan
kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini
digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat
berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang
terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing
kemungkinan sulit untuk beradaptasi.

Bioremediasi Intrinsik

Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif
untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun,
pendekatan itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme
rekombinan tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat
mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan.

Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD

Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi acid mine drainage (AMD).
Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum
memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas
prinsip-prinsip kimia, misalnya pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi
hasilnya hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik
(anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan
hasilnya belum menggembirakan. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi
sulfat memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) dalam
Widyati (2010) menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air
asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi
> 80% dalam waktu 10 hari.

Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada air sedangkan sumber-sumber


yang menjadi pangkal terjadinya AMD belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya
adalah upaya pencegahan terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak mineral sulfide
dengan oksigen dan menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) adalah hal yang
paling menentukan dalam menangani AMD. Sebagai contoh PT. Bukit Asam Tbk menghambat
kontak mineral-oksigen dengan melapisi lahan bekas tambang dengan blue clay setebal 1-2 m
sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini per hektar sungguh fantastis. Tetapi proses
AMD secara geokimia jauh lebih lambat dibandingkan dengan proses yang dikatalis oleh BOS.
Sehingga di PT. Bukit Asam masih terjadi AMD. Oleh karena itu, pengendalian BOS adalah kunci
untuk mengatasi AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan bahan organik
akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan organik pada lahan yang begitu
luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman
pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik. Sebab bahan
organik dapat berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur
hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan dapat mengkelat
logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang banyak terdapat pada lahan bekas
tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan
organik ke dalam tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.

Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah Pertambangan

Kelompok bahan galian metalliferous antara lain adalah emas, besi, tembaga, timbal, seng, timah,
mangan. Sedangkan bahan galian nonmetalliferous terdiri dari batubara, kwarsa, bauksit, trona,
borak, asbes, talk, feldspar dan batuan pospat. Bahan galian untuk bahan bangunan dan batuan
ornamen termasuk didalamnya slate, marmer, kapur, traprock, travertine, dan granite.
Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih
ekonomis, sehingga semakin luas dan dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan
kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting.

Salah satu jenis bahan bakar yang melimpah di dunia adalah batu bara. Pembakaran batu bara
merupakan metode pemanfaatan batu bara yang telah sekian lama dilakukan. Masalah yang
muncul sebagai akibat pembakaran langsung batu bara adalah emisi gas sulfur dioksida. Sulfur
yang terdapat dalam batu bara perlu disingkirkan karena sulfur dapat menyebabkan sejumlah
dampak negatif bagi lingkungan.

Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama
kandungan sulfur sebagai polutan utama. Hal ini disebabkan oleh oksida-oksida belerang yang
timbul akibat pembakaran batubara tersebut sehingga mampu menimbulkan hujan asam. Sulfur
batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida
belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan
atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga menyebabkan
menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan).

Penyingkiran sulfur pada batubara dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu fisika, kimiawi, dan
biologis. Penyingkiran sulfur secara biologis atau biodesulfurisasi adalah metode penyingkiran
sulfur dengan menggunakan mikroba yang paling murah dan paling sederhana. Ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu: temperatur, pH, medium nutrisi,
konsentrasi sel, konsentrasi batu bara, ukuran partikel, komposisi medium, kecepatan aerasi CO,
penambahan partikulat dan surfaktan, serta interaksi dengan mikroorganisme lain. Cara yang tepat
untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui
desulfurisasi batubara.

Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi batubara adalah
secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus
thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan
desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur,
sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun
tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.

Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Penanganan Air Asam Tambang

Teknologi bioremediasi dapat juga digunakan untuk mengatasi air asam tambang dan logam berat
terlarut terutama dari pertambangan batu bara. Teknologi tersebut mengandalkan aktivitas
berbagai bakteri pereduksi sulfat diantaranya Desulfotomaculum orientis ICBB 1204,
Desulfotomaculum sp ICBB 8815 dan ICBB 8818 yang mengubah sulfat dalam air asam tambang
menjadi hidrogen sulfida dan kemudian bereaksi dengan logam berat. Setelah reaksi belangsung
pH (keasaman) air asam tambang yang mula-mula berkisar dari 2 3 meningkat mendekati netral
(6-7). Sementara logam berat yang terdapat air asam tambang mengendap. Dari hasil penelitian
Santosa (2009) selama sembilan (9) tahun diperoleh teknologi yang mampu meningkatkan pH ke
netral dan menurunkan konsentrasi berbagai logam berat diantaranya Cr, Pb dan Cd. Teknologi
ini efisien, karena hanya membutuhkan biaya 1/10 dari biaya penanganan air asam konvensional.

Menurut Alexander (1977) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa Bakteri Pereduksi Sulfat
(BPS) terdiri dari 2 genus, yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio hidup pada
kisaran pH 6 sampai netral, sedangkan Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang
termofil (menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian lingkungan tanah bekas tambang
batubara setelah diberi perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 dan suhunya berkisar pada
suhu ruangan (25C 30C) tidak termofil (>55C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS yang
ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan genus Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al.
(1998) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa media Postgate yang digunakan merupakan
media selektif yang paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus Desulfovibrio.

Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat sehingga dapat meningkatkan pH tanah
bekas tambang batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang
batubara. Peningkatan pH yang dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat baik untuk
mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi maupun kehidupan biota lainnya.

Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang Batubara

Umumnya, perusahaan tambang menggunakan top (tanah lapisan atas) atau kompos untuk
mengembalikan kesuburan tanah. Rata-rata dibutuhkan 5.000 ton per hektar kompos atau top soil.
Metode konvensional ini kurang tepat diterapkan pada bekas lahan tambang yang luas.
Pemanfaatan sludge limbah industri kertas bisa menjadi alternatif pilihan. Industri kertas
menghasilkan 10 persen sludge dari total pulp yang mengandung N dan P (Anonim, 2006a).

Percobaan menunjukkan sludge paper dosis 50 persen dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lebih
efektif dibandingkan perlakuan top soil. Sludge kertas ini berperan ganda dalam proses
bioremediasi tanah bekas tambang batubara yaitu sebagai sumber bahan organik tanah (BOT) dan
sumber inokulum bakteri pereduksi sulfat (BPS). Pemberian sludge pada bekas tambang batubara
menimbulkan 2 proses yakni perbaikan lingkungan (soil amendment) dan inokulasi mikroba yang
efektif.

Pemberian sludge paper 50 persen ke dalam tanah bekas tambang batubara mampu menurunkan
ketersediaan Fe tanah 98.8 persen, Mn 48 persen, Zn 78 persen dan Cu 63 persen. BPS mampu
mereduksi sulfat menjadi senyawa sulfda-logam yang tidak tersedia.

Bioremediasi Tanah Tercemar

Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar, karena
globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah
umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan
pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik
yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).
Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri
pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan
kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994
dalam Madjid, 2009)..

Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan
melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan extrahyphae slime (Aggangan et
al, 1997 dalam Madjid, 2009). sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun
demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam
beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan
cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan
tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi
hifa ekternal.

Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan
khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993 dalam Madjid,
2009). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya).
Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan
prgram reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009) pada tegakan Eucalyptus
menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80
umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi
dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang
diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan
dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus yang tidak tercemar logam berat.

Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH
tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan
memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, 2001 dalam
Madjid, 2009) menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat berasosiasi dengan cendawan
mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat
dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju
perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) dalam Madjid (2009)
menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic
hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak
terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat
ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang
melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat.

Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991) dalam Madjid
(2009) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya
bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut,
ditemukan adanya oil droplets dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada
mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti
logam berat (Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme perlindungan
terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi,
menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993)
dalam Madjid dan Novriani (2009) menyatakan bahwa vesikel arbuskular mikoriza (VAM) dapat
terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan buangan limbah industri, tailing tambang
batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat
usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.

Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Dampak Yang Ditimbulkan


Oleh Pertambangan Batu Bara

Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh penambang batu
bara dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan, untuk dilakukan tindakan-tindakan tertentu
sebagai berikut :

1. Pendekatan teknologi, dengan orientasi teknologi preventif (control/protective) yaitu


pengembangan sarana jalan/jalur khusus untuk pengangkutan batu bara sehingga akan
mengurangi keruwetan masalah transportasi. Pejalan kaki (pedestrian) akan terhindar dari
ruang udara yang kotor. Menggunakan masker debu (dust masker) agar meminimalkan
risiko terpapar/terekspose oleh debu batu bara (coal dust).
2. Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi penataan lingkungan sehingga akan terhindar
dari kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Upaya reklamasi dan
penghijauan kembali bekas penambangan batu bara dapat mencegah perkembangbiakan
nyamuk malaria. Dikhawatirkan bekas lubang/kawah batu bara dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk (breeding place).
3. Pendekatan administratif yang mengikat semua pihak dalam kegiatan pengusahaan
penambangan batu bara tersebut untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku (law
enforcement)
4. Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk
membina dan memberikan penyuluhan/penerangan terus menerus memotivasi perubahan
perilaku dan membangkitkan kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai