BERAT
Fakta yang ada menunjukkan bahwa masuknya logam berat ke tanah/ lingkungan
terutama akibat aktivitas manusia. Masuknya logam berat ke lingkungan tidak serta merta
meracuni makhluk hidup akan tetapi logam berat baru meracuni jika masuk ke dalam sistem
metabolisme makhluk hidup dan melampaui ambang batas . Ambang batas untuk setiap jenis
logam berat dan makhluk hidup berbeda.
Masuknya logam berat ke dalam metabolism manusia dan hewan terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Pemasukan secara langsung terjadi melalui air yang
diminum, udara yang dihirup atau persinggungan dengan kulit. Secara tidak langsung logam
berat masuk melalui bahan yang dimakan. Dalam kejadian ini sumber logam berat berasal
dari tanah, air dan udara melalui perantaraan tumbuhan yang menyerapnya dan
mengumpulkannya dalam jaringan tumbuhan yang akan dimakan oleh manusia dan hewan
(Notohadiprawiro, 1993).
Berdasarkan tinjauan yang menyeluruh bentuk logam berat dalam tanah dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bentuki :
1. larut dalam air dan berada dalam larutan tanah
2. dapat dipertukarkan, terjerap pada komplek jerapan koloid tanah
3. terikat secara organik, berasosiasi dengan humus yang tidak terlarutkan
4. terjerat (occluded) dalam oksida besi dan mangan
5. bersenyawa dengan sulfida, fospat dan karbonat
6. terikat secara struktural dalam mineral silikat atau mineral primer
Bentuk yang larut dalam air hanya 1-5 %, walaupun bentuk ini paling sedikit namun
menjadi sangat penting ditinjau dari aspek lingkungan karena penyerapan oleh tanaman dan
pengangkutannya dalam lingkungan tergantung pada bentuk logam berat ini. Dalam tanah
logam berat ditahan melalui erapan, presipitasi dan kompleksasi dan keluar dari tanah melaui
pengambilan oleh tanaman dan pencucian. Beberapa logam berat seperti arsen, merkuri dan
selenium dapat mengalami penguapan karena mampu membentu persenyawan dalam bentuk
gas. Dinamika logam berat di lingkungan/ tanah ditentukan oleh sifat tanah dan faktor
lingkungan. Parameter penting yang selalu menjadi perhatian dalam kajian logam berat
adalah ketersediaan hayati (bioavailaibilty) dalam tanah. Hal ini menjadi penting dalam
kaitannya dengan usaha bioremediasi pada tanah tercemar logam berat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati logam berat antara lain
adalah :
1. pH tanah
2. kandungan bahan organik tanah
3. kapasitas tukar kation dan kapasitas tukar anion
4. jenis tanah
Ketersediaan hayati logam berat dipengaruhi oleh pH tanah, dimana pH tanah akan
mempengaruhi erapan pencemar anorganik seperti logam berat maupun pencemar organik
yang dapat terionisasi. Perubahan pH tanah mengakibatkan perubahan pada muatan berubah
(variable charge) baik pada tanah yang sudah lanjut pelapukannya maupun yang baru
pelapukannnya. Kenaikan pH mengakibatkan naiknya muatan tanah sehingga memperbesar
muatan negatif tanah, sehingga makin banyak kation logam berat yang dapat dijerap.
Bahan organik tanah adalah polimer hasil dekomposisi sisa-sisa tanaman atau
makhluk hidup oleh mikroba ataupun proses degradasi kimia. Bahan organik tanah memiliki
afinitas yang tinggi dalam mengikat logam berat yang akan dapat mengurangi ketersediaan
hayatinya. Namun jika asam organik yang memiliki gugus fungsional hadir menjadi bagian
bahan organik tanah maka ini akan menguntungkan karena memiliki kemampuan membentuk
kompleks organo metal atau khelat yang dapat meningkatkan mobilitas logam berat dalam
larutan tanah.
Kapasitas tukar kation (KTK) terkait dengan muatan negatif tanah yang merupakan
manifestasi dari koloid liat dan bahan organik tanah. Sebaliknya kapasitas tukar anion (KTA)
terkait dengan muatan positif tanah yang secara umum diasosiasikan dengan oksida mineral.
Baik KTK maupun KTA ditentukan oleh tipe mineral liat, kandungan bahan organik tanah
dan pH. Tanah dengan kandungan liat yang tinggi memiliki afinitas yang tinggi pada logam
berat hal ini membuat ketersediaan logam berat menjadi berkurang.
Jenis tanah menunjukkan sifat dan karakter tanah yang spesifik yang membedakannya
dari yang lain. Tanah di tropis didominasi oleh Ultisol dan Oksisol yang memiliki muatan
berubah yang berbeda dengan tanah di subtropis dilihat dari asal muatannya. Tanah di tropis
dicirikan oleh liat beraktivitas rendah yang didominasi oleh oksida dan hidroksida Fe dan Al.
Berbeda dengan tanah tropis, tanah daerah subtropis didominasi oleh Alfisol, Mollisol,
Vertisol, yang dicirikan oleh liat beraktivitas tinggi. Ciri yang berbeda ini mengakibatkan
berbedanya ketersediaan hayati logam berat pada tanah Ultisol dan Oksisol dengan tanah
Alfisol, Mollisol dan Vertisol (Naidu and Bolan, 2008).
Usaha untuk memulihkan tanah dari pencemaran logam berat umumnya dan Pb secara
khusus dapat dilakukan dengan memadukan dua pendekatan. Pendekatan pertama dapat dilakukan
dengan meningkatkan ketersediaan hayati dalam tanah yaitu melalui mobilisasi Pb sehingga
kelarutan dalam tanah menjadi lebih tinggi. Sedangkan pendekatan kedua dengan memanfaatkan
tanaman hyperaccumulator untuk melakukan ekstraksi Pb dari larutan tanah.
Penggunaan asam organik hasil metabolisme jamur sebagai agen pengkhelat logam berat
meningkatkan ketersediaan Pb bagi tanaman dikarenakan logam berat menjadi dalam bentuk
tersedia dalam larutan tanah. Selain penggunaan asam organik seperti asam oksalat dan sitrat ,
beberapa agen pengkhelat lain juga dapat digunakan untuk memobilisasi logam berat, baik yang
sintetis seperti EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid) maupun yang alami seperti asam humik
yang terdapat pada tanah gambut. Jika ketersediaan hayati logam berat seperti Pb dalam tanah
telah dapat ditingkatkan maka langkah berikutnya yang dilakukan adalah dengan fitoekstraksi.
B. Logam Berat Kadmium (Cd)
Kadmium pertama kali ditemukan tahun 1817 oleh seorang ilmuwan Jerman, Friedric
Strochmeyer. Logam ini ditemukan dalam batuan Calamine (Seng karbonat). Kadmium
diambil dari kata latin ”calamine”, yaitu cadmia. Logam ini merupakan salah satu dari tiga
logam berat yang memiliki tingkat bahaya yang tinggi pada kesehatan manusia, karena
beresiko tinggi pada pembuluh darah, terakumulasi pada hati dan ginjal dan terlihat
pengaruhnya setelah jangka waktu lama (Wikipedia,2008). Jumlah Cd normal di tanah
kurang dari 1 μg Kg-1 dan tertinggi 1700 μg Kg-1, yaitu pada tanah yang diambil dari
pertambangan seng. Pemupukan fosfat dan
pupuk kandang memiliki kontribusi terhadap peningkatan Cd pada lahan pertanian. Batuan
fosfat mengandung Cd 10-980 mg Kg-1 (Alloway, 1995b) dan karena itu kandungan Cd di
dalam pupuk fosfat bervariasi. Menurut Roechan, et al., (1995) pupuk fosfat mengandung
Cd 30-60 mg Kg-1. Penggunaan pupuk fosfat secara terus-menerus akan menyumbang Cd ke
dalam tanah sebesar 2,0-7,2 g ha-1tahun-1 (Alloway, 1995b). Demikian pula aplikasi pupuk
fosfat dan pupuk mikro selama 34 tahun di California dilaporkan dapat meningkatkan kadar
Cd juga logam lainnya seperti Pb, As dan Zn di lahan pertanian (Chen, et.al., 2008)
Kadmium merupakan logam berat non-esensial bersifat toksik bagi tanaman. Logam
ini dapat menghambat pertumbuhan tanaman atau bahkan menyebabkan kematian sel.
Tanaman eceng gondok menunjukkan gejala keracunan Cd di akar pada konsentrasi Cd 1
ppm, yang ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah dan ketebalan lapisan sel hypodermal,
jumlah lapisan sel korteks (Iriawati dan Fitriana, 2006).Secara alami tanah mengandung
Kadmium (Cd) dengan konsentrasi tergantung dari batuan induk, cara terbentuknya tanah dan
translokasi logam berat di tanah (Alloway, 1995a). Kegiatan pemupukan fosfat alam dan
pupuk kandang antara lain juga merupakan sumber pencemar Cd di lahan pertanian.
Kadmium yang terakumulasi di dalam tanah merupakan sumber utama Cd yang
diserap tanaman. Kadmium merupakan logam berat yang bersifat toksik bagi sebagian besar
mahluk termasuk manusia. Jika Cd terakumulasi pada ginjal melebihi 200 mg Kg-1 berat
badan dapat menyebabkan demineralisasi tulang dan disfungsi ginjal (Bhattacharyya, et al.,
1988). Menurut FAO dan WHO dikutip Alloway (1995b), Cd yang dapat ditoleransi tubuh
manusia per orang adalah 400-500 μg per minggu atau 7 μg Kg-1 berat badan. Pada tanaman,
Cd yang terakumulasi berlebih dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan, produktivitas
tanaman bahkan kematian. Keberadaan Cd pada lahan pertanian perlu dicermati, karena Cd
bersama Ni dan Zn adalah logam berat yang paling akhir diadsorpsi tanah sehingga lebih
tersedia bagi tanaman dibandingkan beberapa logam lain, seperti Cu, Pb dan Cr (Gomes, et
al., 2001). Hal ini berarti bahwa tanaman lebih mudah menyerap Cd dibandingkan logam
lainnya seperti Pb, karena Cd terikat lemah oleh tanah. Selanjutnya Cd yang diserap akar
tanaman, umumnya akan terakumulasi di dalam akar, akan tetapi pada tanaman selada
(Lactuca sativa L.) Cd lebih banyak terakumulasi di dalam daun.
a. Sayuran Air
2. Profi Akumulasi Logam Berat pada Genjer, Kangkung Air, dan Selada Air
Profil akumulasi logam berat pada organ sayuran dan perbandingannya dengan
keberadaan logam di air dan sedimen dapat dilihat pada Gambar 1, 2, dan 3, yaitu Gambar 1.
Akumulasi Logam Berat pada Genjer , Gambar 2. Akumulasi Logam Berat pada Kangkung
Air, Gambar 3. Akumulasi Logam Berat pada Selada Air berikut.
Profil kecenderungan akumulasi logam dengan protein dan vitamin pada sayuran air
dapat dilihat pada Gambar 7. Grafik Kenaikan Serapan Enam Macam Logam Berat serta
Penurunan Protein dan Vitamin pada Genjer, Kangkung Air, dan Selada Air berikut.
Gambar 7. Grafik Kenaikan Serapan Enam Macam Logam Berat serta Penurunan rotein, Vitamin
A, dan Vitamin C pada Genjer, Kangkung Air, dan Selada Air
Berdasarkan Gambar 7, menunjukkan bahwa akumulasi logam berat memiliki
kecenderungan menurunkan kandungan protein dan vitamin A, dan C pada batang dan daun
sayuran. Genjer paling tinggi mengakumulasi semua macam logam, selanjutnya Kangkung
air dan terendah Selada air. Akumulasi logam berat dalam Selada air paling rendah
dibandingkan pada Genjer dan Kangkung air, tetapi penurunan protein, vitamin A, dan
vitamin C nya cenderung tinggi. Antara ketiga jenis sayuran berbeda dalam menyerap jumlah
logam berat. Genjer paling tinggi menyerap keenam macam logam berat, disusul Kangkung
air, dan terakhir Selada air. Tetapi, apabila dibandingkan dengan jumlah logam yang diserap,
kerusakan terbesar baik pada protein, vitamin C, maupun vitamin A paling besar terjadi pada
Selada air.
Serapan logam berat yang rendah, lebih rendah dari ambang batas yang diperbolehkan
dalam makanan yang ditemukan pada batang dan daun sayuran tidak memberi jaminan
amannya sayuran untuk dikonsumsi. Data menunjukkan semakin besar serapan logamnya
dalam organ sayuran, semakin besar penurunan protein, vitamin A, dan vitamin C pada
semua jenis sayuran. Perilaku serapan logam demikian, karena pengaruh kontak dengan
logam terhadap proses fisiologis merupakan hal yang rumit, beragam, dan cenderung tidak
terduga (Alabaster & Lloyd, 1980 dalam Connel & Miller, 2006). Dalam kepekatan rendah
dapat merangsang, sebaliknya dalam kepekatan lebih tinggi dapat menjadi penghambat.
Hasil penelitian menunjukkan, ada perbedaan macam logam yang ditemukan antara
lingkungan tercemar dengan bersih. Logam berat Pb dan Cd hanya ditemukan di lingkungan
tercemar. Sebagaimana diketahui, Pb dan Cd merupakan logam yang banyak mencemari
lingkungan dan dikenal paling beracun bagi tanaman, bahkan dapat menurunkan produksi
kering hingga 50%, serta mudah diserap dan ditranslokasikan menuju bagian tanaman yang
berbeda (Souza, 2007). Adanya dua jenis logam ini diduga banyak mempengaruhi kandungan
protein, vitamin A, dan vitamin C sayuran, sehingga secara mencolok ditunjukkan lebih
besarnya penurunan protein, vitamin A, dan vitamin C pada sayuran di lokasi tercemar.
Pengambilan logam dan toksisitas pada makhluk hidup perairan sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor fisika-kimia dan biologis. Menurut Bryan (1976 dalam Connell &
Miller, 2006) faktor yang mempengaruhi toksisitas logam berat, di antaranya adalah adanya
logam lain. Adanya aksi gabungan antar logam akan mempertinggi toksisitasnya. Di sisi lain
penelitian oleh Sariwahyuni (2006) menunjukkan penyerapan logam akan menurun dengan
bertambahnya jumlah jenis logam berat dalam media tumbuh. Kuantitas logam yang
diabsorbsi oleh tanaman
tergantung pada konsentrasi dan spesifikasi logam serta pergerakan perpindahannya dari
tanah menuju permukaan akar dan dari akar menuju bagian aerial (Patra et al.,2004).
Sedangkan efeknya tergantung pada keadaan oksidasi logam, konsentrasi, dan durasi pajanan
(Cosio et al., 2005). Kaitannya dengan durasi pajanan, diketahui bahwa ketiga jenis sayuran
termasuk tanaman annual, berumur pendek. Oleh karena itu sebelum sempat mengakumulasi
dalam jumlah besar, kemampuan hidupnya sudah berakhir, tidak memungkinkan untuk tetap
hidup dan melakukan penyerapan, sehingga akumulasi logam tidak pernah setinggi pada
tanaman pareneal yang berumur panjang. Dengan cara yang rumit dan sangat panjang,
diawali peristiwa penumpukan/akumulasi, lama kelamaan penumpukan terjadi pada organ
target yang bila melebihi ambang batas dapat mematikan. Sekali memasuki jaringan tubuh
organisme, logam berat sulit untuk dikeluarkan, sehingga dalam rantai makanan akan
menimbulkan serangkaian proses bioakumulasi, biotransformasi, dan biomagnifikasi. Oleh
karena itu walaupun awalnya dikonsumsi dalam jumlah kecil, seiring perjalanan waktu lama
kelamaan akan menimbulkan pengaruh negatif pada tubuh, setidaknya dalam waktu relatif
lama atau bersifat kronis. Karena itu, sekecil apapun polutan logam berat, perlu mendapat
perhatian.
Sayuran yang telah terkontaminasi logam berat, selain kandungan logamnya yang
membahayakan tubuh karena dapat menimbulkan penyakit, pada kenyataannya juga tetap
merugikan yang mengkonsumsinya. Logam berat yang melebihi batas toleransi tanaman akan
bertindak sebagai radikal bebas yang dapat memblokir kerja gugus biomolekul yang esensial
untuk proses-proses biologi seperti protein dan enzim (Palar, 2004). Efeknya, pada
pengamatan dapat diketahui semakin tinggi serapan logam berat, protein yang terkandung
dalam sayuran juga semakin menurun. Demikian juga vitamin A dan vitamin C nya juga
mengalami penurunan.
b. Tanaman Gelagah
Tanaman gelagah (Phragmites karka) merupakan tanaman yang dapat tumbuh di
berbagai lingkungan baik di daaerah tropis maupun non tropis. Gelagah dapat berkembang
biak secara generatif melalui biji maupun secara vegetatif melalui stek batang
(vegetatif). Penanaman melalui biji kurang efektif karena keseragaman bibit tidak dapat
dipertahankan, oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih stek batang untuk mendapatkan
keseragaman pertumbuhan. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan gelagah dicobakan 3
bagian batang yang berbeda yaitu bagian bawah, tengah dan atas. Salah satu cara untuk
melakukan remediasi lahan adalah dengan fitoremediasi. Cara ini dianggap sebagai salah
satu metode yang cukup sederhana, relatif murah
dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap tanah bahkan menguntungkan bagi
ekosistem. Fitoremediasi dianggap efektif karena merupakan teknologi yang ramah
lingkungan dengan menggunakan tanaman untuk mengekstrak, merombak atau
mengimobilisasi kontaminan dari tanah, air maupun sedimen. Cara kerja fitoremediasi
berdasarkan kemampuan tanaman menyerap kontaminan dari tanah melalui akar kemudian
mengangkutnya ke bagian atas aerial tanaman seperti daun melalui batang (xilem). Berbagai
spesies tanaman telah diketahui sebagai jenis yang potensial sebagai fitoremediator karena
kemampuan akarnya dalam menyerap kontaminan. Tanaman herba semusim dapat digunakan
untuk meremedasi kontaminan yang berada kurang dari 50 cm kedalaman tanahnya,
sedangkan pohon atau tanaman menahun dapat dipergunakan untuk meremediasi kontaminan
yang berada lebih dalam. Jenis tanaman yang dapat diaplikasikan untuk fitoremediasi harus
mempunyai produksi biomassa tinggi, mampu mengakumulasi kontaminan dengan baik di
bagian atas tanaman melebihi konsentrasi kontaminan yang terdapat di dalam tanah (bersifat
hiperakumulator), dan toleran terhadap lingkungan lokal (UNESCO, 2004). Berbagai
aplikasi fitoremediasi telah dilakukan antara lain untuk meremediasi residu pestisida, minyak,
logam berat dan bahan-bahan kimia lain pencemar tanah. Penambahan kompos (berbahan
baku eceng gondok) pada media pertumbuhan dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Eceng gondok dipilih sebagai bahan baku pembuatan kompos dikarenakan
tanaman ini telah terbukti mempunyai kemampuan sebagai fitoremediator termasuk menjerap
logam berat (Lu et al., 2004). Kombinasi antara pemilihan batang (ruas) terbaik untuk stek,
penambahan kompos dan ketersedian air di dalam media tumbuh akan menghasilkan
pertumbuhan tanaman gelagah yang optimal sehingga penyerapan (penjerapan) logam dari
media tanam ke dalam organ tanaman menjadi maksimal.
Keuntungan menggunakan tanaman untuk remediasi logam antara lain bahwa logam
berat setelah terserap di dalam akar tidak memungkinkan terlepas kembali ke dalam aliran air
tanah; bahan kontaminan lain ikut terserap melalui akar; mudah dilakukan ekstraksi tanaman
setelah pemanenan; dan pemilihan jenis tanaman dapat divariasikan. Namun, beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah bahwa jenis-jenis tanaman yang bersifat hiperakumulator
sering tumbuh lambat; fitoremediasi hanya bekerja efektif sebatas kedalaman akar tanaman;
dan tanaman yang telah menyerap kontaminan mempunyai resiko masuknya logam berat ke
dalam rantai makanan bagi ternak. Oleh karena itu kombinasi antara fitoremediasi dengan
teknologi konvensional sangat diperlukan.
Salah satu residu logam berat yang terdapat di dalam tanah, sedimen atau air berasal
dari pertambangan. Pertambangan merupakan salah satu sector pembangunan yang sangat
penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan karena
berhubungan erat dengan pendapatan nasional dan daerah serta memberikan manfaat bagi
masyarakat di sekitar area tambang. PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah perusahaan PMA
yang bergerak di bidang pertambangan tembaga dan emas dan telah beroperasi sejak tahun
1972 di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Salah satu limbah dengan jumlah terbesar yang
dihasilkan kegiatan operasi PTFI adalah pasir sisa tambang (sirsat/tailings) yaitu sisa dari
proses pengolahan bijih berupa batuan halus dan air. Proses produksi di pabrik pengelolaan
bijih PTFI menghasilkan 3% mineral yang
mengandung produk yang berupa pasir konsentrat tembaga, emas dan perak. Sisanya, sekitar
97% berakhir sebagai tailing. Butir-butir tailing mengendap di wilayah yang dinamakan
Daerah Pengendapan Ajkwa yang dimodifikasi (ModADA) yang mempunyai luas 23.000
ha (PTFI, 2009). Komposisi tailing adalah kuarsit (75%), oksida besi (23%), mica dan
feldspar (2%). Kandungan logam yang terdapat pada tailing sampai dengan kedalaman 40 cm
adalah Cu (871-1.110 ppm), Fe (36.900- 40.600 ppm), Mn (1.090-1.230 ppm), dan Zn (299-
325 ppm) (Unpublished data PTFI). Konsentrasi Cu pada tailing telah melebihi ambang baku
menurut
Sediment Chemical Criteria oleh EPA yaitu 390 ppm. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan
tailing secara berkesinambungan antara lain dengan fitoremediasi. Dari tahun ke tahun PTFI
selalu melakukan pengelolaan tailing antara lain pengaturan aliran tailing dari daerah
penambangan, pengendapannya di areal ModADA dan upaya reklamasi di daerah
pengendapan tailing. Di dalam area Tanggul Ganda terdapat tempat-tempat yang tertutup oleh
vegetasi, baik akibat suksesi alami maupun reklamasi, yang diperkirakan luasnya lebih
kurang 268 ha.
Studi tentang pengelolaan lingkungan berkelanjutan di wilayah pengendapan tailing
juga telah dilakukan (Sumantri et al., 2008). Di Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA) yang
dimodifikasi terdapat area tailing tidak aktif dan berumur sekitar 10-20 tahun, dengan luas
1.500 Ha yang saat ini telah berfungsi sebagai Area Suksesi Alami dan Area Reklamasi. Area
Suksesi memiliki kedalaman air tanah dangkal (kurang dari 50 cm) yang hanya ditumbuhi
vegetasi alami, terutama Phragmites karka (gelagah) sebagai pionir. Dengan kemampuan
tumbuh Pharagmites karka inilah perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi
tanaman tersebut dalam fitoremediasi tailing. Jenis lain yaitu Phragmites australis, dan P.
cummunis juga diketahui merupakan jenis tanaman lahan basah yang potensial dalam
fitoremediasi karena mempunyai biomassa akar yang tinggi dan mampu menyerap
kontaminan di dalam tanah dan air yang cukup dalam (UNESCO, 2004; Chandra dan Yadav,
2011).
Penanaman gelagah dapat dilakukan melalui biji (generatif) maupun stek batang
(vegetatif). Penanaman melalui biji kurang efektif karena keseragaman bibit tidak dapat
dipertahankan, oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih stek batang sehingga keseragaman
pertumbuhan diharapkan dapat dijaga. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan gelagah
dicobakan 3 bagian batang yang berbeda yaitu bagian bawah, tengah dan atas. Penambahan
kompos (berbahan baku eceng gondok) pada media pertumbuhan dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Eceng gondok dipilih sebagai bahan baku pembuatan kompos
dikarenakan tanaman ini telah terbukti mempunyai kemampuan sebagai fitoremediator
termasuk untuk menjerap logam berat (Lu et al., 2004). Kombinasi antara pemilihan batang
(ruas) terbaik untuk stek, penambahan kompos dan ketersediaan air di dalam media tumbuh
akan menghasilkan pertumbuhan tanaman gelagah yang optimal sehingga penyerapan
(penjerapan) logam dari media tanam ke dalam organ tanaman menjadi maksimal.
Salah satu tanaman yang memiliki kemampuan hyperaccumulator adalah Rumput Vetiver
(Vetiveria zizanioides (L.) Nash) karena mampu tumbuh pada tanah yang tercemar logam berat.
Tanaman ini memiliki perakaran yang kuat dan sangat panjang yang dapat mencapai 3 m sehingga
sering digunakan sebagai tanaman konservasi tanah. Penelitian yang dilakukan Angin et al., (2008)
dimana digunakan rumput vetiver sebagai tanaman hiperakumulator logam berat Pb. Dalam
percobaan ini digunakan asam humik sebagai agen pengkhelat untuk memobilisasi Pb dalam tanah
yang prinsip kerjanya seperti asam-asam organik metabolit jamur. Percobaan ini dilakukan pada
tanah Ustortents yang ditanami rumput vetiver. Tanah diinkubasi dengan Pb(NO3)2 dengan taraf 0,
45, 90 dan 180 mg/kg selama sebulan kemudian ditanami dengan rumput vetiver. Asam humik
diberikan dengan taraf 0, 100, 200 dan 400 mg/kg. Percoban penggunan rumput vetiver untuk
fitoekstraksi dilakukan selama 90 hari. Hasil dari percoban menunjukkan pemberian asam humik
mengakibatkan jumlah Pb pada bagian atas tanaman pada masing-masing taraf perlakuan Pb sama.
Untuk jumlah Pb pada bagian akar menunjukkan ada perbedaan yang diakibatkan pemberian asam
humik, hal ini berarti bahwa adanya perbedaan taraf asam humik mengakibatkan mobilisasi Pb yang
berbeda sehingga membedakan keter sediaan Pb pada jumlah Pb yang diserap akar tanaman.
Gambar 8. Ilustrasi struktur 3 dimensi dari zeolit (a) dan zeolit dengan kation yang dijerap (b)
Gambar 9. Tinggi Tanaman Selada Varietas Grand Rapids pada Tiap Waktu Pengamatan sebagai Efek
Pemberian Beberapa Takaran Zeolit
Gambar 10. Jumlah Daun Tanaman Selada Varietas Grand Rapids pada Tiap Waktu Pengamatan sebagai
Efek Pemberian Beberapa Takaran Zeolit
Pengaruh aplikasi zeolit terhadap bobot segar tanaman tertera pada Tabel 2 dan Gambar
11. Bobot segar tanaman antara tanpa pemberian zeolit dan yang diberi 2 t ha-1 zeolit
berbeda tidak nyata. Keadaan ini menunjukkan bahwa takaran 2 t ha-1 belum mampu untuk
menciptakan kondisi yang sesuai dalam penyediaan hara dan air di zone perakaran yang
dapat memberikan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Bobot segar tanaman terlihat
lebih baik jika dalam penanaman diberikan zeolit 4 dan 6 t ha-1.
Tabel 2. Bobot Segar Tanaman Selada Varietas Grand Rapids sebagai Efek Pemberian Beberapa Takaran
Zeolit pada Tanah Andisol
Perlakuan Bobot Segar Tanaman (g)
0 ton ha-1 zeolit 14,74 a
2 ton ha-1 zeolit 16,37 a
4 ton ha-1 zeolit 18,99 b
6 ton ha-1 zeolit 20,88 b
Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti huruf sama pada setiap kolom yang sama, berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Gambar 11. Tanaman Selada pada Pemberian Perlakuan Takaran Zeolit (A-D : tanpa zeolit, 2, 4, dan 6 t
ha-1 zeolit)
Efek takaran zeolit terhadap bobot kering akar, pupus dan nisbah pupus akar tertera
pada Tabel 3. Bobot kering akar tanaman selada berbeda tidak nyata antara tanaman yang
diberi zeolit dengan tanpa zeolit maupun antar takaran zeolit. Hal ini berarti bahwa takaran
zeolit yang semakin meningkat memberikan pengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan
akar. Kondisi ini terjadi karena media tanam memiliki kesuburan tanah cukup baik, yaitu C
organik 3,52% (tinggi), N 0,27% (sedang), P tersedia 55,3 mg kg-1 (tinggi), K potensial 56
mg 100 g-1 (tinggi) dan tekstur tanah lempung. Kondisi kimia tanah yang cukup subur dan
fisik tanah cukup baik ini menyebabkan perkembangan akar yang cukup baik sehingga efek
aplikasi zeolit dengan takaran berbeda tidak terlihat secara nyata.
Tabel 3. Bobot Kering Akar, Pupus, Nisbah Pupus Akar Tanaman Selada Varietas Grand Rapids
sebagai Efek Pemberian Beberapa Takaran Zeolit pada Tanah Andisol
Pengaruh takaran zeolit terhadap bobot kering pupus sedikit berbeda. Bobot kering
pupus meningkat jika zeolit diberikan 4 dan 6 t ha-1. Hal ini berarti bahwa untuk
meningkatkan hasil tanaman selada sebaiknya zeolit diberikan dengan takaran minimal 4 t
ha-1. Bobot kering pupus yang meningkat secara nyata terdapat pada takaran 6 t ha-1 dan hal
ini akan memberikan NPA (nisbah pupus akar) yang nyata lebih tinggi dibandingkan
perlakuan lainnya. Aplikasi zeolit yang diberikan dengan takaran yang berbeda memberikan
efek yang berbeda terhadap kadar Cd pupus tanaman selada (Tabel 4). Tanpa pemberian
zeolit, penyerapan Cd oleh tanaman tertinggi (ditunjukkan melalui kadar Cd pupus)
dibandingkan perlakuan lainnya. Kadar Cd pada pupus menurun dengan aplikasi zeolit yang
meningkat, dan penurunan yang nyata terjadi pada pemberian zeolit mulai 4 t ha-1. Pada
pemberian zeolit 4 dan 6 t ha-1, kapasitas media tanam khususnya di zone perakaran untuk
menjerap Cd lebih tinggi sehingga penyerapan Cd oleh tanaman menurun dan kadar Cd
pupus menjadi lebih rendah. Ouki dan Ward (2003) menyatakan bahwa penambahan zeolit ke
dalam tanah akan menurunkan mobilitas Cd karena terikat kuat dengan tanah dan menjadi
kurang tersedia bagi tanaman.
Tabel 4. Kadar Kadmium Pupus dan Persentase Penurunan Kadar Kadmium pada Tanaman Selada
Varietas Grand Rapids sebagai Efek Pemberian Beberapa Takaran Zeolit pada Tanah Andisol
Perlakuan Kadar Cd pupus (mg kg-1) % penurunan kadar Cd
0 ton ha-1 zeolit 7,28 c 0,00
2 ton ha-1 zeolit 7,15 c 1,78
4 ton ha-1 zeolit 6,62 b 9,07
6 ton ha-1 zeolit 5,45 a 25,14