Anda di halaman 1dari 25

RESPON TUMBUHAN TERHADAP CEKAMAN LOGAM

BERAT

RESPON TUMBUHAN TERHADAP CEKAMAN LOGAM BERAT


oleh : Suharjo
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang sangat besar termasuk
kekayaan tambang. Menurut Gautama (2007) untuk pertambangan mineral, Indonesia
merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat
ke-4, dan emas peringkat ke-8 dunia. Lokasi pertambangan di Indonesia juga tidak
diperhatikan dengan baik setelah lokasi tambang tidak menjanjikan secara ekonomi. Hal
inilah yang kemudian menjadi masalah dalam pencemaran Lingkungan. Persoalan
pencemaran lingkungan tidak berhenti hanya sampai kepada masalah tambang. Sumber
pencemaran lingkungan dapat juga berasal dari limbah pabrik penyamakan kulit atau bahkan
sisa praktikum di sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia yang menggunakan bahan kimia
termasuk persenyawaan logam berat. Hal ini dapat membahayakan lingkungan sebab dalam
UU No. 4/1992 disebutkan bahwa pencemaran lingkungan adalah masuknya/ dimasukannya
mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya
tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas menurun.
Dewasa ini di sektor pertanian tidak saja memusatkan perhatian pada aktivitas budidaya saja
akan tetapi juga harus makin memperhatikan isu penting yang terkait dengan upaya pelestarian
sumber daya alam dan lingkungan. Praktek pertanian yang dilakukan selama ini dalam upaya
pemenuhan kebutuhan pangan ternyata telah mengakibatkan terdegradasinya lahan dan
menurunnya kualitas lingkungan yang ditandai dengan melandainya dan cenderung menurunnya
produktivitas lahan pertanian sehingga mengancam keberlanjutan produktivitasnya.
Salah satu tantangan yang dihadapi sektor pertanian adalah penurunan produktivitas akibat
degradasi sumber daya lahan dan air serta penurunan kualitas lingkungan. Aktivitas pertanian dalam
perkembangannya sangat berorientasi pada penggunaan bahan-bahan kimia pertanian. Penggunaan
bahan bahan ini dalam jangka panjang ternyata berdampak pada rusaknya sumber daya tanah
sehingga menurunkan kemampuanya dalam berproduksi. Banyaknya bahan-bahan pencemar
(polutan) berada dalam tanah, salah satunya adalah logam berat. Penangan tanah tercemar logam
berat cukup sulit karena tidak dapat didegradasi oleh mikroba dalam tanah. Pencemaran
lingkungan merupakan permasalahan yang tidak dapat dihindari. Pencemaran selalu memberikan
dampak negatif kepada kehidupan. Salah satu pencemar yang penting mendapat perhatian dari
sumber-sumber kegiatan manusia adalah logam berat. Pencemar logam berat oleh kegiatan
manusia dapat berasal dari kegiatan industri, pertambangan, pertanian, dan rumahtangga. Polusi
logam berat di dalam tanah maupun perairan merupakan masalah yang serius bagi lingkungan dan
berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan pertanian. Berbagai jenis tanaman mempunyai
kemampuan mendetoksifikasi logam berat sehingga mampu tumbuh pada lahan dengan cekaman
logam berat. Berbagai jenis tanaman telah diteliti karena potensinya untuk fitoremediasi logam
berat. Famili Brassicaceae, bunga matahari, dan jenis rumput-rumputan merupakan contoh jenis-
jenis tanaman yang berpotensi untuk fitoremediasi logam berat. Logam berat dapat diakumulasikan
di dalam organorgan tanaman antara lain akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Tergantung jenis
logamnya, akumulasi dapat terjadi di dalam dinding sel (seperti untuk Cd), vakuola (untuk Zn),
kloroplas (untuk Ni), dan lain-lain (Shao et al., 2010).
Logam berat adalah unsur logam dengan berat molekul tinggi, berat jenisnya lebih dari 5
g/cm3 (Connel & Miller, 2006). Dalam kadar rendah, logam berat umumnya sudah beracun bagi
tumbuhan, hewan, dan manusia. Beberapa logam berat yang sering mencemari habitat adalah Hg,
Cr, As, Cd, dan Pb (Notohadiprawiro,1993). Logam berat adalah unsur logam dengan berat/ massa
atom tinggi. Dalam kajian lingkungan logam dikategorikan menjadi logam berat jika memilki berat
jenis lebih besar dari 5 g/ml. Secara umum logam berat sudah bersifat racun pada konsentrasi yang
rendah bagi tumbuhan, hewan dan manusia (American Geologic Institute, 1976 dalam
Notohadiprawiro, 1993). Logam berat dapat bersumber pada aktivitas alam (geogenic) dan aktivitas
manusia (anthropogenic). Secara alami magma gunung api mengandung logam berat, demikian juga
berbagai batuan juga mengandung logam berat. Sumber logam berat yang berasal dari aktivitas
manusia antara lain gas buangan kenderaan bermotor, pertambangan, industri elektronika dan kimia,
pestisida, pupuk dan lain-lain (Notohadiprawiro, 1993).
Logam berat dapat masuk ke dalam lingkungan khususnya tanah dikarenakan oleh : 1.
Tersingkapnya longgokan logam berat dalam bumi baik karena erosi maupun penambangan ,
2.Pelapukan batuan yang mengandung logam berat dan menjadi residu dalam tanah, 3.
Penggunaan bahan alami menjadi pupuk atau pembenah tanah, 4. Pembuangan limbah
industri dan sampah (Notohadiprawiro, 1993).

Fakta yang ada menunjukkan bahwa masuknya logam berat ke tanah/ lingkungan
terutama akibat aktivitas manusia. Masuknya logam berat ke lingkungan tidak serta merta
meracuni makhluk hidup akan tetapi logam berat baru meracuni jika masuk ke dalam sistem
metabolisme makhluk hidup dan melampaui ambang batas . Ambang batas untuk setiap jenis
logam berat dan makhluk hidup berbeda.
Masuknya logam berat ke dalam metabolism manusia dan hewan terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Pemasukan secara langsung terjadi melalui air yang
diminum, udara yang dihirup atau persinggungan dengan kulit. Secara tidak langsung logam
berat masuk melalui bahan yang dimakan. Dalam kejadian ini sumber logam berat berasal
dari tanah, air dan udara melalui perantaraan tumbuhan yang menyerapnya dan
mengumpulkannya dalam jaringan tumbuhan yang akan dimakan oleh manusia dan hewan
(Notohadiprawiro, 1993).
Berdasarkan tinjauan yang menyeluruh bentuk logam berat dalam tanah dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bentuki :
1. larut dalam air dan berada dalam larutan tanah
2. dapat dipertukarkan, terjerap pada komplek jerapan koloid tanah
3. terikat secara organik, berasosiasi dengan humus yang tidak terlarutkan
4. terjerat (occluded) dalam oksida besi dan mangan
5. bersenyawa dengan sulfida, fospat dan karbonat
6. terikat secara struktural dalam mineral silikat atau mineral primer

Bentuk yang larut dalam air hanya 1-5 %, walaupun bentuk ini paling sedikit namun
menjadi sangat penting ditinjau dari aspek lingkungan karena penyerapan oleh tanaman dan
pengangkutannya dalam lingkungan tergantung pada bentuk logam berat ini. Dalam tanah
logam berat ditahan melalui erapan, presipitasi dan kompleksasi dan keluar dari tanah melaui
pengambilan oleh tanaman dan pencucian. Beberapa logam berat seperti arsen, merkuri dan
selenium dapat mengalami penguapan karena mampu membentu persenyawan dalam bentuk
gas. Dinamika logam berat di lingkungan/ tanah ditentukan oleh sifat tanah dan faktor
lingkungan. Parameter penting yang selalu menjadi perhatian dalam kajian logam berat
adalah ketersediaan hayati (bioavailaibilty) dalam tanah. Hal ini menjadi penting dalam
kaitannya dengan usaha bioremediasi pada tanah tercemar logam berat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati logam berat antara lain
adalah :
1. pH tanah
2. kandungan bahan organik tanah
3. kapasitas tukar kation dan kapasitas tukar anion
4. jenis tanah

Ketersediaan hayati logam berat dipengaruhi oleh pH tanah, dimana pH tanah akan
mempengaruhi erapan pencemar anorganik seperti logam berat maupun pencemar organik
yang dapat terionisasi. Perubahan pH tanah mengakibatkan perubahan pada muatan berubah
(variable charge) baik pada tanah yang sudah lanjut pelapukannya maupun yang baru
pelapukannnya. Kenaikan pH mengakibatkan naiknya muatan tanah sehingga memperbesar
muatan negatif tanah, sehingga makin banyak kation logam berat yang dapat dijerap.
Bahan organik tanah adalah polimer hasil dekomposisi sisa-sisa tanaman atau
makhluk hidup oleh mikroba ataupun proses degradasi kimia. Bahan organik tanah memiliki
afinitas yang tinggi dalam mengikat logam berat yang akan dapat mengurangi ketersediaan
hayatinya. Namun jika asam organik yang memiliki gugus fungsional hadir menjadi bagian
bahan organik tanah maka ini akan menguntungkan karena memiliki kemampuan membentuk
kompleks organo metal atau khelat yang dapat meningkatkan mobilitas logam berat dalam
larutan tanah.
Kapasitas tukar kation (KTK) terkait dengan muatan negatif tanah yang merupakan
manifestasi dari koloid liat dan bahan organik tanah. Sebaliknya kapasitas tukar anion (KTA)
terkait dengan muatan positif tanah yang secara umum diasosiasikan dengan oksida mineral.
Baik KTK maupun KTA ditentukan oleh tipe mineral liat, kandungan bahan organik tanah
dan pH. Tanah dengan kandungan liat yang tinggi memiliki afinitas yang tinggi pada logam
berat hal ini membuat ketersediaan logam berat menjadi berkurang.
Jenis tanah menunjukkan sifat dan karakter tanah yang spesifik yang membedakannya
dari yang lain. Tanah di tropis didominasi oleh Ultisol dan Oksisol yang memiliki muatan
berubah yang berbeda dengan tanah di subtropis dilihat dari asal muatannya. Tanah di tropis
dicirikan oleh liat beraktivitas rendah yang didominasi oleh oksida dan hidroksida Fe dan Al.
Berbeda dengan tanah tropis, tanah daerah subtropis didominasi oleh Alfisol, Mollisol,
Vertisol, yang dicirikan oleh liat beraktivitas tinggi. Ciri yang berbeda ini mengakibatkan
berbedanya ketersediaan hayati logam berat pada tanah Ultisol dan Oksisol dengan tanah
Alfisol, Mollisol dan Vertisol (Naidu and Bolan, 2008).
Usaha untuk memulihkan tanah dari pencemaran logam berat umumnya dan Pb secara
khusus dapat dilakukan dengan memadukan dua pendekatan. Pendekatan pertama dapat dilakukan
dengan meningkatkan ketersediaan hayati dalam tanah yaitu melalui mobilisasi Pb sehingga
kelarutan dalam tanah menjadi lebih tinggi. Sedangkan pendekatan kedua dengan memanfaatkan
tanaman hyperaccumulator untuk melakukan ekstraksi Pb dari larutan tanah.

Mobilisasi Pb dengan asam organik yang dihasilkan jamur


Telah lama diketahui bahwa jamur menghasilkan metabolit dalam bentuk asam-asam organik.
Berbagai asam organik diketahui memiliki kemampauan untuk melakukan kompleksasi atau menjadi
agen pengkhelat logam. Beberapa jamur diketahui mampu menghasilkan asam organik dalam
metabolismenya dengan kehadiran logam berat dalam tanah. Asam oksalat dan asam sitrat adalah
contoh asam organik dengan berat massa rendah yang dapat dihasilkan jamur. Asam organik
berberat massa rendah diketahui dapat mempengaruhi distribusi logam dalam tanah yaitu
memobilisasi logam berat dengan pembentukan kompleks metal yang larut. Proses mobilisasi ini
dipengaruhi beberapa faktor fisik seperti suhu, kelembaban dan penyediaan hara.
Beberapa spesies jamur memiliki kemampuan menghasilkan asam – asam organik pada
media yang mengandung Pb, diantaranya Aspergilus niger dan Penicillium bilaiae. Pada percobaan
yang dilakukan Ardwisson et al., (2010) jamur – jamur ini dikulturkan pada media dan diberi 0,11 M D-
glukosa dan dikontaminasi dengan 25 µM Pb(NO3)2 kemudian ditambahkan ke dalam media 10 g
tanah dari 3 tanah tercemar logam berat khususnya Pb dan diinkubasi selama 5 hari. Tanah tercemar
yang digunakan adalah tanah moraine berpasir dengan kadar liat kurang dari 5 % dan fraksi organik
kurang dari 4 %. Dimana tanah 1 mengandung 3.800 mg/kg Pb, tanah 2 mengandung 1.600 mg/kg
Pb dan tanah 3 mengandung 370 mg/kg Pb. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa jamur-jamur ini
menghasilkan beberapa jenis asam organik. Jumlah dan jenis asam organik yang dihasilkan disajikan
pada tabel 1.

Penggunaan asam organik hasil metabolisme jamur sebagai agen pengkhelat logam berat
meningkatkan ketersediaan Pb bagi tanaman dikarenakan logam berat menjadi dalam bentuk
tersedia dalam larutan tanah. Selain penggunaan asam organik seperti asam oksalat dan sitrat ,
beberapa agen pengkhelat lain juga dapat digunakan untuk memobilisasi logam berat, baik yang
sintetis seperti EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid) maupun yang alami seperti asam humik
yang terdapat pada tanah gambut. Jika ketersediaan hayati logam berat seperti Pb dalam tanah
telah dapat ditingkatkan maka langkah berikutnya yang dilakukan adalah dengan fitoekstraksi.
B. Logam Berat Kadmium (Cd)
Kadmium pertama kali ditemukan tahun 1817 oleh seorang ilmuwan Jerman, Friedric
Strochmeyer. Logam ini ditemukan dalam batuan Calamine (Seng karbonat). Kadmium
diambil dari kata latin ”calamine”, yaitu cadmia. Logam ini merupakan salah satu dari tiga
logam berat yang memiliki tingkat bahaya yang tinggi pada kesehatan manusia, karena
beresiko tinggi pada pembuluh darah, terakumulasi pada hati dan ginjal dan terlihat
pengaruhnya setelah jangka waktu lama (Wikipedia,2008). Jumlah Cd normal di tanah
kurang dari 1 μg Kg-1 dan tertinggi 1700 μg Kg-1, yaitu pada tanah yang diambil dari
pertambangan seng. Pemupukan fosfat dan
pupuk kandang memiliki kontribusi terhadap peningkatan Cd pada lahan pertanian. Batuan
fosfat mengandung Cd 10-980 mg Kg-1 (Alloway, 1995b) dan karena itu kandungan Cd di
dalam pupuk fosfat bervariasi. Menurut Roechan, et al., (1995) pupuk fosfat mengandung
Cd 30-60 mg Kg-1. Penggunaan pupuk fosfat secara terus-menerus akan menyumbang Cd ke
dalam tanah sebesar 2,0-7,2 g ha-1tahun-1 (Alloway, 1995b). Demikian pula aplikasi pupuk
fosfat dan pupuk mikro selama 34 tahun di California dilaporkan dapat meningkatkan kadar
Cd juga logam lainnya seperti Pb, As dan Zn di lahan pertanian (Chen, et.al., 2008)
Kadmium merupakan logam berat non-esensial bersifat toksik bagi tanaman. Logam
ini dapat menghambat pertumbuhan tanaman atau bahkan menyebabkan kematian sel.
Tanaman eceng gondok menunjukkan gejala keracunan Cd di akar pada konsentrasi Cd 1
ppm, yang ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah dan ketebalan lapisan sel hypodermal,
jumlah lapisan sel korteks (Iriawati dan Fitriana, 2006).Secara alami tanah mengandung
Kadmium (Cd) dengan konsentrasi tergantung dari batuan induk, cara terbentuknya tanah dan
translokasi logam berat di tanah (Alloway, 1995a). Kegiatan pemupukan fosfat alam dan
pupuk kandang antara lain juga merupakan sumber pencemar Cd di lahan pertanian.
Kadmium yang terakumulasi di dalam tanah merupakan sumber utama Cd yang
diserap tanaman. Kadmium merupakan logam berat yang bersifat toksik bagi sebagian besar
mahluk termasuk manusia. Jika Cd terakumulasi pada ginjal melebihi 200 mg Kg-1 berat
badan dapat menyebabkan demineralisasi tulang dan disfungsi ginjal (Bhattacharyya, et al.,
1988). Menurut FAO dan WHO dikutip Alloway (1995b), Cd yang dapat ditoleransi tubuh
manusia per orang adalah 400-500 μg per minggu atau 7 μg Kg-1 berat badan. Pada tanaman,
Cd yang terakumulasi berlebih dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan, produktivitas
tanaman bahkan kematian. Keberadaan Cd pada lahan pertanian perlu dicermati, karena Cd
bersama Ni dan Zn adalah logam berat yang paling akhir diadsorpsi tanah sehingga lebih
tersedia bagi tanaman dibandingkan beberapa logam lain, seperti Cu, Pb dan Cr (Gomes, et
al., 2001). Hal ini berarti bahwa tanaman lebih mudah menyerap Cd dibandingkan logam
lainnya seperti Pb, karena Cd terikat lemah oleh tanah. Selanjutnya Cd yang diserap akar
tanaman, umumnya akan terakumulasi di dalam akar, akan tetapi pada tanaman selada
(Lactuca sativa L.) Cd lebih banyak terakumulasi di dalam daun.

C. Logam Berat Timbal (Pb)


Salah satu logam berat yang perlu mendapat perhatian lebih adalah Pb (Plumbum). Hal ini
menjadi sangat penting jika kita menyadari bahwa budidaya tanaman yang intensif, dengan
pengunaan pupuk kimia yang tinggi dan terus menerus, telah menyebabkan tingginya residu
pupuk,dan meningkatkan kandungan logam berat terutama Pb dan Cd (Cadmium) dalam tanah. Hasil
identifikasi yang dilakukan Kasno et al., (2003) menunjukkan 21-40% lahan sawah di jalur pantura
Jawa Barat tercemar logam berat, bahkan 4-7% diantaranya dikategorikan tercemar berat oleh Pb (>
1,0 ppm).
Logam berat nonesensial Timbal (Pb) secara alami terdapat di tanah pertanian namun
konsentrasinya dapat meningkat karena polusi udara serta penggunaan kotoran hewan,
pupuk anorganik dan pestisida yang mengandung timbale arsenat. Untuk mencegah
peningkatan kandungan Pb di lahan pertanian diperlukan suatu metode untuk menurunkan
konsentrasinya. Salah satu metode bioremediasi tanah tercemar logam berat adalah
fitoremediasi yang menggunakan tanaman untuk mengekstrak, mensekuestrasi dan
mendetoksifikasi polutan (Lasat, 2002). Efektivitas fitoremediasi dapat ditingkatkan jika
disertai bioaugmentasi dengan mikroba yang dapat menstimulasi serapan dan akumulasi
logam berat pada tajuk tanaman fito-remediasi. Salah satu komponen polimer ekstraseluler
bakteri adalah eksopolisakarida (EPS) yang memiliki sifat mengikat polutan logam (Chen et
al., 1995a;Janecka et al., 2002). Polimer ini larut di dalam air, diikat lemah oleh matriks
tanah, dan setelah mengadsorpsi logam tidak mudah dimineralisasi sehingga berpotensi
meningkatkan mobilitas logam di dalam tanah (Chen et al. 1995a; Czajkaet
al.,1997). Bakteri tanah yang menghasilkan EPS antara lain Azotobacter (Vargas-Garcia et
al., 2003; Emtiazi et al., 2004; Hindersah et al.,2006). Azotobacter mampu berproliferasi dan
memproduksi EPS pada kultur dengan logam berat Fe, Zn, dan Cr (Emtiazi et al., 2004) dan
Cd (Hindersah et al., 2009). Penelitian Wu et al., 2009 menunjukkan bahwa A.
chroococcum memiliki tingkat ketahanan serta dan pengikatan logam Pb dan Cd yang lebih
besar disbanding bakteri Bacillus megaterium, sementara Hindersah et al., 2009 dalam
penelitiannya mendapati bahwa Azotobacter sp. LKM6 memiliki resistensi terhadap Cd
konsentrasi tinggi dan tetap mampu memproduksi EPS di bawah cekaman CdCl2.
Logam berat, termasuk Pb, memiliki efek negative terhadap produksi enzim oleh
mikroba serta dapat menyebabkan berkurangnya produksi EPS, namun Azotobactermampu
mengembangkan sistem resistensi terhadap logam berat melalui fitokelatin yang mengkelat
logam dan mensekuestrasinya di vakuola (Vatamaniuk et al., 2000). Saat ini belum
terdapat banyak informasi mengenai kemampuan dan ketahanan Azotobacteruntuk
memproduksi EPS pada kultur yang tercemar Pb. Di lapangan, dilaporkan bahwa
resistensi Azotobacter terhadap logam berat Pb dan Cr termasuk tinggi diantara 17 isolat
Azotobacter yang diuji oleh Narula et al., 2012.
Informasi resistensi ini diperlukan sebagai dasar Pengaruh Timbal terhadap
Kepadatan Sel dan Kadar Eksopolisakarida Kultur Cair Azotobacter 152 Hindersah, R. dan
Kamaluddin, N.N. 153 bioremediasi tanah yang tercemar Pb oleh Azotobacter.Penelitian
mengenai Azotobacter sebagai mikroba yang mampu memfiksasi N dan memproduksi
fitohormon sudah banyak dilakukan, tetapi kemampuannya bertahan hidup dan memproduksi
EPS pada media yang dicemari timbal belum banyak diteliti.

D. Mekanisme Tanaman Dalam Menghadapi Logam Berat


Mekanisme tanaman dalam mengahdapi logam berat dapat dilakukan dengan berbagai cara
tergantung jenis tanaman yaitu melalui fitoekstrasi dan fitokelatin.
Fitoekstraksi adalah salah satu bentuk fitoremediasi dimana tanaman melalui akar tanaman
menyerap pencemar (logam berat) dari larutan tanah dan diakumulasi di batang dan daun (bagian
tanaman yang dapat dipanen). Fitoekstraksi biasa digunakan untuk memulihkan tanah tercemar
khususnya logam berat seperti Pb (Roselli et al., 2003; Zhuang et al., 2005). Tanaman yang memiliki
kemampaun untuk menyerap logam berat dalam jumlah yang lebih banyak disebut tanaman
hyperaccumulator (hiperakumulator). Tanaman hiperakumulator adalah tanaman yang mampu
mengakumulasi logam berat pada jaringan tanam dan bagian yang dapat dipanen yang berada diatas
tanah pada kisaran 0,1 – 1% dari berat keringnya ( Baker et al.,1991 dalam Suresh and Ravishankar,
2004). Hyperaccumulation(hiperakumulasi) merupakan kombinasi dari aspek adsorpsi,
pengangkuatn dan translokasi yang membutuhkan penampung yang besar (bagian
penyimpanan/jaringan) untuk menyimpan pencemar/logam berat. Hiperakumulasi terutama
tergantung pada logam berat dan spesies tanaman. Akar tanaman menjerap/menyerap logam berat
bersamaan dengan hara yang lain, diangkut melalui jaringan xylem dan phloem dan kemudian
diakumulasi pada bagian yang dapat dipanen (Suresh and Ravishankar, 2004). Adsorpsi pencemar
logam berat seperti Pb oleh tanaman mengkombinasikan keuntungan luas permukaan akar yang
lebih besar dengan afinitas reseptor kimia yang tinggi. Pencemar logam berat bersamaan dengan
hara yang lain berikatan dengan permukaan akar.
Dalam sel-sel akar, sistem pengangkutan dan tempat/ bagian dengan afinitas pengikatan
yang tinggi memediasi pengambilan logam berat melalui plasma membrane. Pengambilan logam
berat melalui pengangkut sekunder seperti saluran protein atau protein pembawa H+ dimana
potensial negatif membrane mendorong pengambilan kation melalui pengangkut sekunder ( Clemen
et al., 2002 dalam Suresh and Ravishankar, 2004).
Urutan pengambilan logam berat ke dalam symplasma akar dan pergerakan ke xylem
mencakup 3 tahapan: penahanan logam berat dalam sel akar, pengangkutan symplastik ke stele dan
terakhir dilepas ke xylem yang dimediasi oleh membrane pengangkutan protein. Dalam
pengangkutan dan translokasi logam berat, phytochelatin dan metalothioneins memainkan peran
penting (Anaka et al., 2001). Phytochelatin adalah kelompok protein yang memiliki asam amino
cystein, glycine, dan asam glutamate,i yang menginduksi tanaman jika tanaman mengalami cekaman
logam berat. Senyawa ini mengikat ion logam dan membawanya ke vakuola dimana logam berat
tidak lebih lama menjadi toksik (Suresh and Ravishankar, 2004). Metallothionein belum begitu jelas,
ada dua hipotesis yang diajukan. Teori yang pertama menyatakan bahwa metallothionein
menciptakan pool penyimpanan ion untuk kelebihan ion-ion logam berat bebas yang dikhelasi sampai
tanaman menggunakannya jika esensial. Teori kedua menyatakan bahwa metallothionein adalah
protein transport yang bertanggung jawab pada pemindahan kelebihan logam berat dari satu tempat
dimana matallothionein membangun sampai ke tingkat toksik pada tempat dari tanaman dimana
logam berat dibutuhkan (Shuresh and Ravishankar, 2004).
Fitokelatin adalah suatu protein yang dihasilkan oleh tumbuhan dalam keadaan sangat tinggi
kandungan logam berat di lingkungannya. Jadi dapat dikatakan bahwa fitokelatin adalah bentuk
adaptasi tumbuhan terhadap cekaman logam berat di lingkungannya. Menurut Sofia (2007),
fitokelatin adalah peptida kecil yang kaya akan asam amino sistein yang mengandung belerang.
Peptida ini biasanya mempunyai 2 sampai 8 asam amino sistein di pusat molekulnya, serta sebuah
asam glutamat dan sebuah glisin pada ujung-ujung yang berlawanan. Protein adalah senyawa sangat
kompleks yang selalu mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan seringkali
juga belerang. Protein tersusun atas molekul-molekul asam amino yang ujung-ujungnya saling
berikatan membentuk rantai panjang. Hubungan ini terjadi dengan menggabungkan gugus karboksil
dari sebuah asam amino dengan gugus amino asam amino lain, dengan mengeluarkan satu molekul
air dari senyawa itu (yaitu sebuah reaksi kondensasi). Ikatan – CO – NH – yang menggabungkan
kedua asam amino disebut ikatan peptida. Sistein sendiri merupakan sebuah contoh asam amino
yang mengandung belerang sebagai tambahan pada empat unsur yang umum terdapat dalam asam
amino itu. Asam ini patut memperoleh perhatian khusus, karena gugus sulfidril, – SH, sangat reaktif
dan pada oksidasi akan bergabung dengan gugus sulfidril dari molekul sistein lain, membentuk asam
amino rangkap yaitu sistin.
Menurut Salisbury dan Ross (1995), fitokelatin dihasilkan oleh banyak spesies, tapi sejauh ini
diketahui bahwa fitokelatin hanya dijumpai bila terdapat logam dalam jumlah yang meracuni.
Fitokelatin dihasilkan pula oleh spesies yang kelebihan seng dan tembaga sehingga dapat
mengawaracunkan berbagai logam esensial juga. Oleh karena itu, pembentukannya benar-benar
merupakan respon tumbuhan untuk beradaptasi terhadap keadaan lingkungan yang rawan.
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Vogeli-Lang dan Wagnert (dalam Howe dan
Merchant, 1992) menunjukkan terikatnya logam dengan fitokelatin menyebabkan terbentuknya
kompleks logam fitokelatin yang akan didetoksifikasi sehingga tumbuhan mampu menahan cekaman
logam berat. Dalam penelitian yang dilakukan Sofia (2007) diketahui pupuk hayati Azotobacter
menghasilkan eksopolisakarida (EPS) yang dapat meningkatkan kelarutan logam berat kadmium (Cd)
di tanah sehingga lebih mudah diserap tanaman. Salah satu respon tanaman terhadap Cd adalah
sintesis peptida fitokelatin atau turunannya secara enzimatis dari glutation. Peptida ini disintesis
dengan asam amino ujung yang berbeda, yaitu (yEC) nG, (gEC)nS, (gEC)nBA, (gEC)nE dan
(gEC)n. Sofia (2007) juga mengemukakan bahwa baru-baru ini ditemukan mekanisme toleransi yang
penting dan secara filogenetis tersebar luas. Logam diawaracunkan dengan cara dikelat dengan
fitokelatin, yakni peptida kecil yang kaya akan asam amino sistein yang mengandung belerang.
Fisiologi tumbuhan berkaitan dengan adanya senyawa fitokelatin
 Penyerapan unsur hara oleh tanaman dari dalam tanah
Selain karbon dan sebagian oksigen, yang keduanya berasal dari karbondioksida dalam
atmosfer, unsur-unsur kimia penyusun tumbuhan umumnya diserap dari dalam tanah oleh perakaran.
Semua unsur tersebut diserap sebagai garam anorganik. Hadirnya unsur mineral dalam tubuh
tumbuhan tidak harus berarti bahwa unsur ini penting bagi pertumbuhannya. Silikon misalnya, sering
terdapat dalam jumlah cukup besar, akan tetapi kebanyakan tumbuhan dapat tumbuh normal jika
silikon itu sengaja dikeluarkan dari lingkungannya (Loveless, 1991). Garam mineral diambil dari
dalam tanah sebagai ion. Air dan garam mineral dari tanah memasuki tumbuhan melalui epidermis
akar, menembus korteks akar, masuk ke dalam stele, dan kemudian mengalir naik ke pembuluh xilem
sampai ke sistem tunas. Kebanyakan proses penyerapan ini terjadi di dekat ujung akar, di mana
epidermisnya permiabel terhadap air dan di mana terdapat rambut akar. Dalam Campbell (2003)
disebutkan bahwa rambut akat, mikorhiza, dan luas permukaan sel-sel kortikal yang sangat besar
meningkatkan penyerapan air dan mineral. Rambut akar adalah jalur terpenting dalam penyerapan di
dekat ujung akar. Saat larutan tanah memasuki akar, maka luas permukaan membran sel korteks
yang begitu besar meningkatkan pengambilan air dan mineral tertentu ke dalam sel.
Kehadiran logam-logam berat dalam tubuh tumbuhan, juga masuk melalui penyerapan unsur
mineral ini. Logam berat yang ada di lingkungan masuk melalui akar melalui penyerapan mineral
seperti biasanya. Namun karena logam berat bukan merupakan nutrisi yang dibutuhkan oleh
tumbuhan, maka kehadirannya kemudian direspon dengan pembentukan senyawa fitokelatin yang
akan mengikatnya. Tidak semua tumbuhan mampu menghasilkan fitokelatin, beberapa contoh yang
dapat menghasilkan fitokelatin adalah Amaranthus tricolor (bayam cabut), Azotobacter (yang
merupakan pupuk hayati), Vigna radiata.
 Proses fisiologi tumbuhan dalam menghasilkan senyawa fitokelatin
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan adalah:
1. Faktor genetika
2. Faktor lingkungan
3. Faktor fisiologis (Indradewa, 2010)
Spesies tumbuhan secara genetis sangat beragam dalam kemampuannya untuk toleran, atau
tidak toleran, terhadap unsur tak-esensial: timbal, kadmium, perak, aluminium, raksa, timah, dan
sebagainya, dalam jumlah yang meracuni (Woolhouse, 1983). Selain faktor genetis, lingkungan pun
mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan suatu tumbuhan. Faktor-faktor cahaya,
suhu, ketersediaan air, kelembaban udara dan topografi tanah sangat berperan dalam proses ini.
Pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan tersebut berlangsung melalui suatu proses fisiologi yang
dilakukan oleh tumbuhan itu sendiri. Proses fisiologi ini dilakukan secara alami oleh tumbuhan
dengan memanfaatkan kemampuan fisiologisnya.
Salah satu proses fisiologi yang dapat dilakukan oleh tumbuhan adalah kemampuannya
untuk beradaptasi terhadap kelebihan logam berat di lingkungannya dengan membentuk suatu
senyawa protein yang disebut fitokelatin yang dapat mengikat unsur logam berat di lingkungan.
Dalam sebuah artikel pada http://digilib.its.ac.id (2010) dikatakan: Cd termasuk dalam logam berat
non-esensial, dalam jumlah yang berlebih menyebabkan toksisitas pada manusia, hewan dan
tumbuhan. Akumulasi pada tumbuhan dapat memicu perubahan ekspresi protein. Protein fitokelatin
pada tumbuhan diketahui berperan sebagai protein pertahanan dan pengikat logam cadmium (Cd).
Penelitian Nicholson et al.(1980) menunjukan bahwa pemberian 2 mikrogram cupri sulfat per
liter dalam media Vigna radiata menaikkan jumlah molekul yang mempunyai berat molekul rendah
(720 kD), dan juga yang mempunyai berat molekul tinggi (lebih dari 20 kD). Naiknya protein yang
mempunyai berat molekul rendah dan tinggi disebabkan karena kemampuan afinitas Cu terhadap
peptida terutama pada gugus sulfhidril yang akan mengakibatkan in aktif secara fisiologi.
Bertambahnya dua macam protein yang mempunyai berat molekul berlawanan tersebut
dapat mengakibatkan banyaknya ikatan kompleks logam fitokelatin bertambah. Hal ini sesuai dengan
penelitian Vogeli-Lang dan Wagnert (dalam Howe dan Merchant, 1992) yang menyatakan bahwa
terikatnya logam dengan fitokelatin menyebabkan terbentuknya kompleks logam fitokelatin yang akan
didektoksifikasi sehingga tumbuhan mampu menahan cekaman logam berat.
Peranan fitokelatin dalam penanggulangan pencemaran
Dari beberapa literatur yang telah dikemukakan jelas sekali bahwa fitokelatin membantu
tumbuhan menghadapi cekaman terhadap logam berat di lingkungan. Dalam
situshttp://www.scribd.com (2005) sebuah artikel menyebutkan bahwa keberadaan senyawa
fitokelatin dapat mengurangi kadar logam berat yang ada di lingkungan, namun kemungkinan tidak
akan mengurangi dampak yang ditimbulkan logam tersebut pada tumbuhan dan manusia jika
dikonsumsi. Hal tersebut dikarenakan logam berat ini tetap terakumulasi dalam tubuh tumbuhan
sehingga mengganggu metabolisme dari tumbuhan yang bersangkutan. Namun sampai sejauh mana
tumbuhan dapat mentolerir gangguan metabolisme tersebut masih memerllukan penelitian lebih
lanjut. Sesuai dengan fungsinya, fitokelatin berperan mengurangi pencemaran lingkungan bagi
makhluk hidup. Bila tumbuhan berada pada lingkungan di mana terjadi cekaman karena kelebihan
logam berat di lingkungannya, beberapa species tumbuhan tertentu membentuk fitokelatin sebagai
pertahanan dan pengikat logam tersebut.
Keberadaan senyawa fitokelatin dapat mengurangi kadar logam berat yang ada di
lingkungan, namun kemungkinan tidak akan mengurangi dampak yang ditimbulkan logam tersebut
pada tumbuhan dan manusia jika dikonsumsi. Hal tersebut dikarenakan logam berat ini tetap
terakumulasi dalam tubuh tumbuhan sehingga mengganggu metabolisme dari tumbuhan yang
bersangkutan. Namun sampai sejauh mana tumbuhan dapat mentolerir gangguan metabolisme
tersebut masih memerllukan penelitian lebih lanjut
(http://www.scribd.com/doc/13096662/b050205, 2010).
Logam berat yang dapat diikat oleh tumbuhan melalui fitokelatin berdasarkan beberapa
penelitian yang pernah dilakukan adalah Cu, Pb, Cr, Al. Logam-logam tersebut terbukti sangat
berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Penanggulan limbah logam berat ini dapat dilakukan
dengan memanfaatkan tumbuhan penghasil fitokelatin. Fitokelatin dapat mengurangi volume logam
ini di lingkungan dengan mengikatnya ke dalam tubuh tumbuhan. Namun tumbuhan yang
bersangkutan tidak dapat dikonsumsi lagi oleh manusia.

a. Sayuran Air

Pencemaran logam berat dari sumber manapun, memberi peluang terakumulasinya


logam tersebut dalam lingkungan termasuk habitat sayuran air. Sayuran air dikenal sebagai
tanaman yang mudah sekali tumbuh dalam lingkungan tercemar. Logam berat dapat terserap
ke dalam jaringan tanaman sayuran melalui akar dan stomata daun, menyerang ikatan sulfida
pada molekul protein sel, menimbulkan kerusakan struktur protein terkait, menghalangi kerja
enzim, dan mengakibatkan ketimpangan-ketimpangan metabolisme tubuh. Logam
selanjutnya dapat terdistribusi ke organisme lain melalui siklus rantai makanan (Alloway,
1990). Logam berat yang terakumulasi pada jaringan tubuh apabila melebihi batas toleransi,
dapat menimbulkan keracunan dan bekerja sebagai bahan karsinogenik pemicu kanker
(Linder, 1992).
Spesies tanaman yang toleran terhadap logam memiliki mekanisme pertahanan yang
berkaitan dengan antioksidan sel dan enzim antioksidan yang melindungi beberapa proses
fisiologis vital untuk mencegah kerusakan yang diakibatkan oleh bentuk-bentuk oksigen
reaktif karena stres yang disebabkan oleh kandungan logam (Panda & Choudhury,
2005). Toleransi dan/atau resistensi tanaman terhadap stres akibat kandungan logam bisa
dikaitkan dengan satu mekanisme atau lebih (Patra, 2004; Casio, 2005), misalnya: (1)
ekskresi senyawa selatin, (2) pengeluaran logam melalui absorpsi elemen tertentu, (3)
penyimpanan logam di dalam akar, yang mencegah pentranslokasian logam itu menuju
bagian aerial, (4) selasi atau sequestration logam berat oleh ligand, kompartementalisasi,
biotransformasi, dan mekanisme perbaikan sel, (5) perkembangan enzim yang toleran
terhadap logam, (6) peningkatan produksi senyawa intrasel, (7) imobilisasi logam di dalam
dinding sel, (8) mekanisme sel homeostatis untuk mengatur ion-ion logam di dalam sel, (9)
induksi heat-shock protein, (10) pelepasan fenol dari akar, (11) peningkatan toleransi
terhadap difisiensi mineral atau penurunan kebutuhan nutrien, (12) peningkatan absorpsi
makronutrien tertentu, dan (13) perkembangan kapasitas untuk tetap menyerap dan
menggunakan mineral meski terdapat logam berat di dalam tanaman tersebut. Sebagai akibat
dari adanya mekanisme ini baik tunggal maupun kombinasi, sebagian tanaman bisa tumbuh
di lingkungan yang terkontaminasi logam dimana tumbuhan lain tidak bisa bertahan
hidup. Cekaman polutan dalam lingkungan menyebabkan meningkatnya pembentukan
radikal bebas, yang berakibat rusaknya berbagai enzim yang dapat menurunkan jumlah
protein pada organ-organ tanaman. Tumbuhan mengembangkan berbagai mekanisme
pertahanan diri untuk menghilangkan efek negatif radikal bebas. Penerapan sistem
antioksidan merupakan usaha bertahan terhadap cekaman polutan yang ditandai
hilang/menurunnya kandungan vitamin antioksidan, yaitu vitamin A, C, dan E (Kong et al.,
2000 dalam Munzuroglu et al., 2005).
Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Hening Widowati tahun 2009 sebagai berikut :
1. Kondisi Umum Air dan Sedimen serta Hubungannya dengan Profil Sayuran
Kondisi fisika-kimia air dan sedimen di lingkungan bersih dan tercemar sangat
mendukung kehidupan sayuran. Sehingga secara fisik tidak menunjukkan adanya perbedaan
kesuburan antara sayuran di lokasi bersih dan tercemar. Kondisi lingkungan termasuk yang
tercemar masih sesuai untuk kepentingan pertanian. Untuk parameter logam, semuanya
menunjukkan melebihi dari ambang batas yang diperbolehkan untuk kegiatan pertanian
kecuali As. Kriteria mutu air kelas IV sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No. 82/2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air maksimal As 1
ppm, Cd 0,01 ppm, Cu 0,2 ppm, Pb 1 ppm, Zn 2 ppm, Cr 0,01 ppm. Dihubungkan dengan
keperluan nutrisi tanaman tergolong baik, karena justru NPK-nya melimpah, yang
memungkinkan terjadinya euterofikasi tanaman tertentu di lingkungan tersebut, di antaranya
pada pengamatan Kangkung, Eceng gondok, Teratai, Kayu apu, Weh-wehan, Semanggi yang
melimpah. Secara umum dapat dinyatakan dilihat dari tanaman sayurannya termasuk subur,
tidak menunjukkan adanya kelainan fisik, misalnya klorosis, morfologis ukuran organ; hanya
kecerahan warna batang dan daunnya cenderung lebih suram dan kehitaman yang
mengindikasikan telah terjadi serapan logam berat dalam jaringan tanaman di lingkungan
tercemar.
Dua jenis logam berat yaitu Pb dan Cd tidak ditemukan di lingkungan
bersih. Sebaliknya pada lingkungan tercemar kedua logam tersebut justru ditemukan tinggi,
yaitu Pb sebesar 6,483 ppm di air dan 11,3 ppm pada sedimen, serta Cd sebesar 9,775 ppm di
air dan 32,297 ppm pada sedimen. Sedimen di lokasi tercemar, mengakumulasi logam dalam
jumlah yang sangat tinggi, berlipat antara 2-2.016 kali dibandingkan pada air bersih, dan
memungkinkan terserap akar karena semua jenis sayuran objek penelitian memiliki perakaran
yang menyentuh sedimen. Berat jenis logam yang tinggi memungkinkan mengendap
sehingga banyak ditemukan di dalam sedimen.

2. Profi Akumulasi Logam Berat pada Genjer, Kangkung Air, dan Selada Air
Profil akumulasi logam berat pada organ sayuran dan perbandingannya dengan
keberadaan logam di air dan sedimen dapat dilihat pada Gambar 1, 2, dan 3, yaitu Gambar 1.
Akumulasi Logam Berat pada Genjer , Gambar 2. Akumulasi Logam Berat pada Kangkung
Air, Gambar 3. Akumulasi Logam Berat pada Selada Air berikut.

Gambar 1. Akumulasi Enam Macam Logam Berat pada Genjer


Gambar 2. Akumulasi Enam Macam Logam Berat pada Kangkung Air

Gambar 3. Akumulasi Enam Macam Logam Berat pada Selada Air


Berdasarkan data dalam Gambar 1, 2, dan 3, menunjukkan besarnya kadar logam
berat pada air dan sedimen, tidak mengindikasikan besarnya akumulasi ke organ sayuran juga
semakin besar. Akumulasi pada ketiga jenis sayuran yang diteliti, seluruhnya dominan pada
akar dan terendah pada daun. Akumulasi logam Pb pada bagian yang dikonsumsi, yaitu
batang dan daun dari sayuran Genjer dan Kangkung air; logam Cdpada Genjer, Kangkung air,
dan Selada air telah melampaui ambang batas untuk dikonsumsi (Pb 2 ppm, Cd 0,2
ppm, Cu 20 ppm, Cr 0,4 ppm, Zn 40 ppm, As 10 ppm). Sedangkan untuk logam yang lain
masih aman dikonsumsi, karena
belum melebihi ambang batas.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan akumulasi logam pada organ
sayuran. Akumulasi terbesar pada akar dan terendah pada daun. Genjer paling besar
mengakumulasi logam dan terendah pada Selada air. Banyaknya kandungan logam berat
dalam air dan sedimen tidak menentukan banyaknya akumulasi logam dalam organ sayuran.
Perbedaan perilaku penyerapan logam di antaranya dipengaruhi oleh jenis tanamannya.
Menurut Darmono (1995), akumulasi logam dalam tanaman tidak hanya tergantung pada
kandungan logam dalam air dan tanah, tetapi juga tergantung pada unsur kimia tanah, jenis
logam, pH tanah dan spesies tanaman. Dikotil, dalam penelitian adalah Kangkung air dan
Selada air, umumnya lebih besar tingkat penyerapannya yang berkaitan dengan tipe akarnya
yang tunjang. Walaupun demikian Monokotil juga bisa tinggi daya serapnya karena tingkat
transpirasinya yang tinggi dan didukung sistem perakarannya yang tersebar merata ke semua
arah media tumbuh. Penyerapan logam berat yang besar pada Genjer didukung oleh akar
serabut yang memiliki ukuran relatif besar dan panjang, daunnya yang tipis dan lebar dan
struktur batangnya yang dilengkapi dengan rongga-rongga penyimpan air. Genjer juga
relatif lebih tertanam dalam sedimen yang tinggi kadar logamnya dibandingkan jenis sayuran
lain yaitu Kangkung air dan Selada air yang hidupnya lebih mengapung di perairannya yang
relatif kecil kandungan logamnya. Lebih kuatnya tertanam pada sedimen juga memungkinkan
sebagian besar bagian tanaman berada dalam lingkungan perairan, sehingga penyerapan
logamnya terbantu oleh bagian aerial tanaman. Sebagaimana diungkapkan Greger et al. (1995
dalam Fritioff & Greger, 2003), bagian pucuk tanaman air di lahan basah dapat mengambil
polutan termasuk logam berat yang larut dalam air, disamping melalui akarnya. Ketika
tumbuh dalam lingkungannya termasuk perairan, tanaman memberi pengaruh menurunkan
pH dan sejumlah oksigen yang berpengaruh pada ketersediaan logam (Forstner & Solomons,
1991 dalam Fritioff & Greger, 2003), dan selanjutnya terserap bagian tanaman. Dengan
demikian layak bila Genjer lebih tinggi menyerap logam berat dibandingkan jenis sayuran air
yang lain.

3. Profil Kandungan Protein, Vitamin A, dan Vitamin C Sayuran


Perbedaan kandungan protein, vitamin A, dan vitamin C pada organ sayuran Genjer,
Kangkung air, Selada air di tempat tercemar dan bersih dapat dilihat pada Gambar 4, 5, dan 6,
yaitu Gambar 4. Penurunan Protein, Vitamin A, dan vitamin C pada Genjer, Gambar 5.
Penurunan Protein, Vitamin A, dan vitamin C pada Kangkung air, Gambar 6. Penurunan
Protein, Vitamin A, dan vitamin C pada Selada Air berikut.
Gambar 4. Penurunan Protein, Vitamin A, dan vitamin C pada Genjer

Gambar 5. Penurunan Protein, Vitamin A, dan vitamin C pada Kangkung Air


Gambar 6. Penurunan Protein, Vitamin A, dan vitamin C pada Selada Air
Berdasarkan gambar 4, 5, dan 6, menunjukkan ada perbedaan kadar protein dan
vitamin pada organ batang dan daun antara Genjer, Kangkung air, dan Selada air dari
lingkungan bersih dan tercemar. Kandungan protein, vitamin A, dan vitamin C sayuran dari
lingkungan tercemar mengalami penurunan atau kandungannya lebih rendah daripada
sayuran dari lingkungan bersih.
Dilihat dari protein, vitamin A, dan vitamin C nya, Genjer dan Kangkung air lebih
rendah penurunannya dibandingkan pada Selada air, hal ini dimungkinkan karena jenis
tanamannya yang sangat berbeda. Dari pengamatan dapat diketahui, struktur organ Genjer
dan Kangkung air lebih liat, menunjukkan kandungan serat, selulose, dan lignin yang tinggi,
memungkinkan logam dapat ditranslokasikan dalam bagian ini sehingga logam menjadi
immobil dalam metabolisme, akibatnya tanaman lebih tahan, kerusakan protein dapat ditekan
dan pengurangan vitamin antioksidan A dan C sebagai reaksi radikal bebas/oksidannya
menjadi berkurang, sehingga penurunannya tidak sebesar pada Selada air. Selada air yang
dari segi organnya lebih lunak/lembut dan kurang liat mengindikasikan sedikit ligninnya,
sehingga logam berat yang terserap tidak dapat ditranslokasikan, tetapi justru mengikuti
metabolism tanaman sehingga lebih memungkinkan terjadinya kerusakan protein dan
penurunan vitamin yang lebih besar berkaitan dengan mekanisme antioksidan oleh vitamin A
dan vitamin C nya.
Sebagaimana diketahui, tanaman yang toleran terhadap logam berat memiliki
mekanisme pertahanan yang berkaitan dengan antioksidan sel dan enzim antioksidan yang
melindungi beberapa proses fisiologis vital untuk mencegah kerusakan yang diakibatkan oleh
bentuk-bentuk oksigen reaktif karena stres yang disebabkan oleh kandungan logam (Panda &
Choudhury, 2005). Toleransi dan/atau resistensi tanaman terhadap stres akibat kandungan
logam bisa dikaitkan dengan satu mekanisme atau lebih (Patra, 2004; Casio, 2005), di
antaranya penyimpanan logam di dalam akar, yang mencegah pentranslokasian logam itu
menuju bagian aerial, imobilisasi logam di dalam dinding sel yang kaya selulosa dan lignin.

4. Profil Kecenderungan Besarnya Akumulasi Logam Berat dengan Kandungan protein,


Vitamin A, dan Vitamin C Sayuran Air

Profil kecenderungan akumulasi logam dengan protein dan vitamin pada sayuran air
dapat dilihat pada Gambar 7. Grafik Kenaikan Serapan Enam Macam Logam Berat serta
Penurunan Protein dan Vitamin pada Genjer, Kangkung Air, dan Selada Air berikut.

Gambar 7. Grafik Kenaikan Serapan Enam Macam Logam Berat serta Penurunan rotein, Vitamin
A, dan Vitamin C pada Genjer, Kangkung Air, dan Selada Air
Berdasarkan Gambar 7, menunjukkan bahwa akumulasi logam berat memiliki
kecenderungan menurunkan kandungan protein dan vitamin A, dan C pada batang dan daun
sayuran. Genjer paling tinggi mengakumulasi semua macam logam, selanjutnya Kangkung
air dan terendah Selada air. Akumulasi logam berat dalam Selada air paling rendah
dibandingkan pada Genjer dan Kangkung air, tetapi penurunan protein, vitamin A, dan
vitamin C nya cenderung tinggi. Antara ketiga jenis sayuran berbeda dalam menyerap jumlah
logam berat. Genjer paling tinggi menyerap keenam macam logam berat, disusul Kangkung
air, dan terakhir Selada air. Tetapi, apabila dibandingkan dengan jumlah logam yang diserap,
kerusakan terbesar baik pada protein, vitamin C, maupun vitamin A paling besar terjadi pada
Selada air.
Serapan logam berat yang rendah, lebih rendah dari ambang batas yang diperbolehkan
dalam makanan yang ditemukan pada batang dan daun sayuran tidak memberi jaminan
amannya sayuran untuk dikonsumsi. Data menunjukkan semakin besar serapan logamnya
dalam organ sayuran, semakin besar penurunan protein, vitamin A, dan vitamin C pada
semua jenis sayuran. Perilaku serapan logam demikian, karena pengaruh kontak dengan
logam terhadap proses fisiologis merupakan hal yang rumit, beragam, dan cenderung tidak
terduga (Alabaster & Lloyd, 1980 dalam Connel & Miller, 2006). Dalam kepekatan rendah
dapat merangsang, sebaliknya dalam kepekatan lebih tinggi dapat menjadi penghambat.
Hasil penelitian menunjukkan, ada perbedaan macam logam yang ditemukan antara
lingkungan tercemar dengan bersih. Logam berat Pb dan Cd hanya ditemukan di lingkungan
tercemar. Sebagaimana diketahui, Pb dan Cd merupakan logam yang banyak mencemari
lingkungan dan dikenal paling beracun bagi tanaman, bahkan dapat menurunkan produksi
kering hingga 50%, serta mudah diserap dan ditranslokasikan menuju bagian tanaman yang
berbeda (Souza, 2007). Adanya dua jenis logam ini diduga banyak mempengaruhi kandungan
protein, vitamin A, dan vitamin C sayuran, sehingga secara mencolok ditunjukkan lebih
besarnya penurunan protein, vitamin A, dan vitamin C pada sayuran di lokasi tercemar.
Pengambilan logam dan toksisitas pada makhluk hidup perairan sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor fisika-kimia dan biologis. Menurut Bryan (1976 dalam Connell &
Miller, 2006) faktor yang mempengaruhi toksisitas logam berat, di antaranya adalah adanya
logam lain. Adanya aksi gabungan antar logam akan mempertinggi toksisitasnya. Di sisi lain
penelitian oleh Sariwahyuni (2006) menunjukkan penyerapan logam akan menurun dengan
bertambahnya jumlah jenis logam berat dalam media tumbuh. Kuantitas logam yang
diabsorbsi oleh tanaman
tergantung pada konsentrasi dan spesifikasi logam serta pergerakan perpindahannya dari
tanah menuju permukaan akar dan dari akar menuju bagian aerial (Patra et al.,2004).
Sedangkan efeknya tergantung pada keadaan oksidasi logam, konsentrasi, dan durasi pajanan
(Cosio et al., 2005). Kaitannya dengan durasi pajanan, diketahui bahwa ketiga jenis sayuran
termasuk tanaman annual, berumur pendek. Oleh karena itu sebelum sempat mengakumulasi
dalam jumlah besar, kemampuan hidupnya sudah berakhir, tidak memungkinkan untuk tetap
hidup dan melakukan penyerapan, sehingga akumulasi logam tidak pernah setinggi pada
tanaman pareneal yang berumur panjang. Dengan cara yang rumit dan sangat panjang,
diawali peristiwa penumpukan/akumulasi, lama kelamaan penumpukan terjadi pada organ
target yang bila melebihi ambang batas dapat mematikan. Sekali memasuki jaringan tubuh
organisme, logam berat sulit untuk dikeluarkan, sehingga dalam rantai makanan akan
menimbulkan serangkaian proses bioakumulasi, biotransformasi, dan biomagnifikasi. Oleh
karena itu walaupun awalnya dikonsumsi dalam jumlah kecil, seiring perjalanan waktu lama
kelamaan akan menimbulkan pengaruh negatif pada tubuh, setidaknya dalam waktu relatif
lama atau bersifat kronis. Karena itu, sekecil apapun polutan logam berat, perlu mendapat
perhatian.
Sayuran yang telah terkontaminasi logam berat, selain kandungan logamnya yang
membahayakan tubuh karena dapat menimbulkan penyakit, pada kenyataannya juga tetap
merugikan yang mengkonsumsinya. Logam berat yang melebihi batas toleransi tanaman akan
bertindak sebagai radikal bebas yang dapat memblokir kerja gugus biomolekul yang esensial
untuk proses-proses biologi seperti protein dan enzim (Palar, 2004). Efeknya, pada
pengamatan dapat diketahui semakin tinggi serapan logam berat, protein yang terkandung
dalam sayuran juga semakin menurun. Demikian juga vitamin A dan vitamin C nya juga
mengalami penurunan.

b. Tanaman Gelagah
Tanaman gelagah (Phragmites karka) merupakan tanaman yang dapat tumbuh di
berbagai lingkungan baik di daaerah tropis maupun non tropis. Gelagah dapat berkembang
biak secara generatif melalui biji maupun secara vegetatif melalui stek batang
(vegetatif). Penanaman melalui biji kurang efektif karena keseragaman bibit tidak dapat
dipertahankan, oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih stek batang untuk mendapatkan
keseragaman pertumbuhan. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan gelagah dicobakan 3
bagian batang yang berbeda yaitu bagian bawah, tengah dan atas. Salah satu cara untuk
melakukan remediasi lahan adalah dengan fitoremediasi. Cara ini dianggap sebagai salah
satu metode yang cukup sederhana, relatif murah
dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap tanah bahkan menguntungkan bagi
ekosistem. Fitoremediasi dianggap efektif karena merupakan teknologi yang ramah
lingkungan dengan menggunakan tanaman untuk mengekstrak, merombak atau
mengimobilisasi kontaminan dari tanah, air maupun sedimen. Cara kerja fitoremediasi
berdasarkan kemampuan tanaman menyerap kontaminan dari tanah melalui akar kemudian
mengangkutnya ke bagian atas aerial tanaman seperti daun melalui batang (xilem). Berbagai
spesies tanaman telah diketahui sebagai jenis yang potensial sebagai fitoremediator karena
kemampuan akarnya dalam menyerap kontaminan. Tanaman herba semusim dapat digunakan
untuk meremedasi kontaminan yang berada kurang dari 50 cm kedalaman tanahnya,
sedangkan pohon atau tanaman menahun dapat dipergunakan untuk meremediasi kontaminan
yang berada lebih dalam. Jenis tanaman yang dapat diaplikasikan untuk fitoremediasi harus
mempunyai produksi biomassa tinggi, mampu mengakumulasi kontaminan dengan baik di
bagian atas tanaman melebihi konsentrasi kontaminan yang terdapat di dalam tanah (bersifat
hiperakumulator), dan toleran terhadap lingkungan lokal (UNESCO, 2004). Berbagai
aplikasi fitoremediasi telah dilakukan antara lain untuk meremediasi residu pestisida, minyak,
logam berat dan bahan-bahan kimia lain pencemar tanah. Penambahan kompos (berbahan
baku eceng gondok) pada media pertumbuhan dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Eceng gondok dipilih sebagai bahan baku pembuatan kompos dikarenakan
tanaman ini telah terbukti mempunyai kemampuan sebagai fitoremediator termasuk menjerap
logam berat (Lu et al., 2004). Kombinasi antara pemilihan batang (ruas) terbaik untuk stek,
penambahan kompos dan ketersedian air di dalam media tumbuh akan menghasilkan
pertumbuhan tanaman gelagah yang optimal sehingga penyerapan (penjerapan) logam dari
media tanam ke dalam organ tanaman menjadi maksimal.
Keuntungan menggunakan tanaman untuk remediasi logam antara lain bahwa logam
berat setelah terserap di dalam akar tidak memungkinkan terlepas kembali ke dalam aliran air
tanah; bahan kontaminan lain ikut terserap melalui akar; mudah dilakukan ekstraksi tanaman
setelah pemanenan; dan pemilihan jenis tanaman dapat divariasikan. Namun, beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah bahwa jenis-jenis tanaman yang bersifat hiperakumulator
sering tumbuh lambat; fitoremediasi hanya bekerja efektif sebatas kedalaman akar tanaman;
dan tanaman yang telah menyerap kontaminan mempunyai resiko masuknya logam berat ke
dalam rantai makanan bagi ternak. Oleh karena itu kombinasi antara fitoremediasi dengan
teknologi konvensional sangat diperlukan.
Salah satu residu logam berat yang terdapat di dalam tanah, sedimen atau air berasal
dari pertambangan. Pertambangan merupakan salah satu sector pembangunan yang sangat
penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan karena
berhubungan erat dengan pendapatan nasional dan daerah serta memberikan manfaat bagi
masyarakat di sekitar area tambang. PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah perusahaan PMA
yang bergerak di bidang pertambangan tembaga dan emas dan telah beroperasi sejak tahun
1972 di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Salah satu limbah dengan jumlah terbesar yang
dihasilkan kegiatan operasi PTFI adalah pasir sisa tambang (sirsat/tailings) yaitu sisa dari
proses pengolahan bijih berupa batuan halus dan air. Proses produksi di pabrik pengelolaan
bijih PTFI menghasilkan 3% mineral yang
mengandung produk yang berupa pasir konsentrat tembaga, emas dan perak. Sisanya, sekitar
97% berakhir sebagai tailing. Butir-butir tailing mengendap di wilayah yang dinamakan
Daerah Pengendapan Ajkwa yang dimodifikasi (ModADA) yang mempunyai luas 23.000
ha (PTFI, 2009). Komposisi tailing adalah kuarsit (75%), oksida besi (23%), mica dan
feldspar (2%). Kandungan logam yang terdapat pada tailing sampai dengan kedalaman 40 cm
adalah Cu (871-1.110 ppm), Fe (36.900- 40.600 ppm), Mn (1.090-1.230 ppm), dan Zn (299-
325 ppm) (Unpublished data PTFI). Konsentrasi Cu pada tailing telah melebihi ambang baku
menurut
Sediment Chemical Criteria oleh EPA yaitu 390 ppm. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan
tailing secara berkesinambungan antara lain dengan fitoremediasi. Dari tahun ke tahun PTFI
selalu melakukan pengelolaan tailing antara lain pengaturan aliran tailing dari daerah
penambangan, pengendapannya di areal ModADA dan upaya reklamasi di daerah
pengendapan tailing. Di dalam area Tanggul Ganda terdapat tempat-tempat yang tertutup oleh
vegetasi, baik akibat suksesi alami maupun reklamasi, yang diperkirakan luasnya lebih
kurang 268 ha.
Studi tentang pengelolaan lingkungan berkelanjutan di wilayah pengendapan tailing
juga telah dilakukan (Sumantri et al., 2008). Di Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA) yang
dimodifikasi terdapat area tailing tidak aktif dan berumur sekitar 10-20 tahun, dengan luas
1.500 Ha yang saat ini telah berfungsi sebagai Area Suksesi Alami dan Area Reklamasi. Area
Suksesi memiliki kedalaman air tanah dangkal (kurang dari 50 cm) yang hanya ditumbuhi
vegetasi alami, terutama Phragmites karka (gelagah) sebagai pionir. Dengan kemampuan
tumbuh Pharagmites karka inilah perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi
tanaman tersebut dalam fitoremediasi tailing. Jenis lain yaitu Phragmites australis, dan P.
cummunis juga diketahui merupakan jenis tanaman lahan basah yang potensial dalam
fitoremediasi karena mempunyai biomassa akar yang tinggi dan mampu menyerap
kontaminan di dalam tanah dan air yang cukup dalam (UNESCO, 2004; Chandra dan Yadav,
2011).
Penanaman gelagah dapat dilakukan melalui biji (generatif) maupun stek batang
(vegetatif). Penanaman melalui biji kurang efektif karena keseragaman bibit tidak dapat
dipertahankan, oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih stek batang sehingga keseragaman
pertumbuhan diharapkan dapat dijaga. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan gelagah
dicobakan 3 bagian batang yang berbeda yaitu bagian bawah, tengah dan atas. Penambahan
kompos (berbahan baku eceng gondok) pada media pertumbuhan dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Eceng gondok dipilih sebagai bahan baku pembuatan kompos
dikarenakan tanaman ini telah terbukti mempunyai kemampuan sebagai fitoremediator
termasuk untuk menjerap logam berat (Lu et al., 2004). Kombinasi antara pemilihan batang
(ruas) terbaik untuk stek, penambahan kompos dan ketersediaan air di dalam media tumbuh
akan menghasilkan pertumbuhan tanaman gelagah yang optimal sehingga penyerapan
(penjerapan) logam dari media tanam ke dalam organ tanaman menjadi maksimal.

c. Kultur Tunas Scoparia Dulcis, Lindernia Anagalis,Lindernia Ciliata


Penyerap logam berat oleh tunas in vitro Analisis kemampuan tunas Scoparia
dulcis,Lindernia anagalis dan Lindernia ciliata terhadap penyerapan logam dilakukan dengan
metode spektroskopi serapan atom (SSA), yang dilakukan di Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu (LPPT) UGM. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa semua jenis
tunas mempunyai kemampuan untuk menyerap logam Cr. Tunas Lindernia
anagalis mempunyai kemampuan penyerapan yang lebih tinggi dibandingkan tunas lainnya.
Daya serap terhadap Pb oleh tunas Lindernia ciliata lebih tinggi
dibandingkan Lindernia anagalis. Hal ini berbeda dengan Scoparia dulcis yang tidak
mempunyai kemampuan dalam menyerap Pb. Meskipun demikian semua jenis tunas tidak
mempunyai kemampuan dalam menyerap logam Cd. Menurut Taiz dan Zieger (2002),
tumbuhan mampu menghasilkan fitokelatin dan metalotionin sebagai cara untuk
mempertahankan diri ketika sel-sel tumbuhan berada pada cekaman logam berat. Fitokelatin
adalah polipeptida yang berikatan dengan logam. Ekspresi genetik untuk menghasilkan enzim
fitokelatin sintase diperlukan sebagai upaya untuk membentuk fitokelatin ketika tumbuhan
berada pada cekaman logam berat.
Fitokelatin terakumulasi di dalam vakuola sel-sel tumbuhan sebagai indikator dari
cekaman logam berat. Tumbuhan juga mempunyai gen-gen yang mengkode pembentukan
metalotionin seeprti halnya pada sel-sel hewan. Pada jenis Arabidopsis sp. (Brassicaceae)
ditemukan ada 3 tipe gen metalotionin yang terdapat pada jaringan vegetatif, yaitu akar,
batang dan daun. MT1. MT2 dan MT3 dan diekspresi salah satunya MT2 yang berhubungan
dengan toleransi terhadap Cu. Metalotionin berguna untuk mempertahankan sel dari proses
kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh logam berat termasuk di dalamnya kerusakan gen-
gen dan oksidasi protein beriktan dengan sulfur. Meskipun demikian pengaturan toleransi sel-
sel terhadap cekaman logam berat masih terus dikembangkan sampai dengan saat ini (Taiz
dan Zieger, 2002). Berdasarkan data tersebut, diduga fitoakelatin dan metalotionin belum
sepenuhnya diproduksi oleh ketiga jenis tunas tersebut. Hal ini tampak bahwa ketiga jenis
tunas tidak mampu menyerap Cd.
d. Rumput Vetiver

Salah satu tanaman yang memiliki kemampuan hyperaccumulator adalah Rumput Vetiver
(Vetiveria zizanioides (L.) Nash) karena mampu tumbuh pada tanah yang tercemar logam berat.
Tanaman ini memiliki perakaran yang kuat dan sangat panjang yang dapat mencapai 3 m sehingga
sering digunakan sebagai tanaman konservasi tanah. Penelitian yang dilakukan Angin et al., (2008)
dimana digunakan rumput vetiver sebagai tanaman hiperakumulator logam berat Pb. Dalam
percobaan ini digunakan asam humik sebagai agen pengkhelat untuk memobilisasi Pb dalam tanah
yang prinsip kerjanya seperti asam-asam organik metabolit jamur. Percobaan ini dilakukan pada
tanah Ustortents yang ditanami rumput vetiver. Tanah diinkubasi dengan Pb(NO3)2 dengan taraf 0,
45, 90 dan 180 mg/kg selama sebulan kemudian ditanami dengan rumput vetiver. Asam humik
diberikan dengan taraf 0, 100, 200 dan 400 mg/kg. Percoban penggunan rumput vetiver untuk
fitoekstraksi dilakukan selama 90 hari. Hasil dari percoban menunjukkan pemberian asam humik
mengakibatkan jumlah Pb pada bagian atas tanaman pada masing-masing taraf perlakuan Pb sama.
Untuk jumlah Pb pada bagian akar menunjukkan ada perbedaan yang diakibatkan pemberian asam
humik, hal ini berarti bahwa adanya perbedaan taraf asam humik mengakibatkan mobilisasi Pb yang
berbeda sehingga membedakan keter sediaan Pb pada jumlah Pb yang diserap akar tanaman.

D. Peranan Zeolit Dalam Pengendalian Logam Berat


Agar penyerapan Cd oleh tanaman dapat ditekan, antara lain dapat digunakan zeolit.
Zeolit memiliki muatan negatif dengan struktur tiga dimensi dari SiO4 dan AlO4 tetrahedra
memungkinkan untuk mengadsorpsi kation-kation, seperti Cd (Zeolite Australia PTY, LTD,
2004). Hasil penelitian Kapetanios dan Loizidou (1992) menunjukkan bahwa aplikasi zeolit
alam (Clinoptilolite) bersama dengan kompos dan tanah memberikan kandungan logam berat
pada tanaman tomat lebih rendah dan akan lebih rendah lagi jika zeolit diberikan dengan
proporsi yang lebih tinggi. Zeolit alam ini sangat potensial dalam mengurangi ketersediaan
Ni dan Cd pada limbah lumpur (Ouki dan Ward, 2003). Aplikasi zeolit untuk meremediasi
tanah tercemar logam berat dipengaruhi oleh kondisi tanah tersebut, zeolit yang digunakan
baik jenis maupun takarannya.
Zeolit berasal dari bahasa Yunani yang bearti boling stones, yaitu asal kata dari zeo
(boil) dan lithos (stone). Istilah ini dikemukakan pertama kali oleh seorang ahli mineralogi
Swedia, Axel Fredrik Cronstedt sekitar tahun 1756. Zeolit mulai diproduksi dan mulai
digunakan secara komersial di dunia pada tahun 1960, tetapi di Turki pertama ditemukan
tahun 1971. Hingga sekarang telah ada lebih dari 40 tipe zeolit yang dilaporkan oleh
kelompok peneliti yang berbeda. Analicite, clinoptilolite, erionit, chabazite, mordenite dan
philipsite merupakan mineral-mineral
yang telah banyak dikenal. Juga telah lebih dari 150 zeolite yang telah diasintesis,
diantaranya adalah zeolit A, X, Y dan ZMS-5 (Polat et al., 2004; Wikipedia, 2005). Zeolit
tersusun dari pori-pori dan bagian pojok tetrahedronaluminosilikat (AlO4 dan SiO4) yang
bergabung membentuk rangka 3 dimensi (Gambar 8a). Adanya struktur alumino-silikat ini,
zeolit memiliki muatan negatif yang diseimbangkan dengan menarik kation bermuatan potitif
(Gambar 8b). Zeolit secara komersial biasanya digunakan sebagai absorbent (Amethyst
Galleries, Inc., 1995). Dalam bidang pertanian, zeolit digunakan sebagai pembaik tanah (soil
amendment). Zeolit dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, terutama N dan K,
mengabsorpsi gas sehingga dapat menghilangkan bau, pengabsorpsi air yang tinggi sehingga
dapat melindungi akar dari kekeringan, meningkatkan pertukaran ion terutama kation dan
melepaskannya secara perlahan (slow released), memelihara aerasi kelembaban tanah dalam
waktu lama (Polat, et al., 2004).

Gambar 8. Ilustrasi struktur 3 dimensi dari zeolit (a) dan zeolit dengan kation yang dijerap (b)

Aplikasi zeolit pada tanaman sorghum sudangrass di Universitas Colorado dapat


meningkatkan hasil 65% dan meningkatkan penyerapan hara di jaringan tanaman contoh.
Demikian juga hasil percobaan yang dilakukan di Barooga, New South Wales pada tanaman
Barley, aplikasi zeolit 125 kg ha-1 disertai dengan pemupukan P (diamonium fosfat) dapat
meningkatkan hasil 18%. Pada tanaman tomat dapat meningkatkan hasil 10% dan
meningkatkan kualitas vitamin (Zeolite Australia PTY, LTD., 2004). Zeolit dapat
mengadsorpsi ion metal, seperti Pb, Cd, Cu, Ni sehingga digunakan dalam mengurangi kadar
logam berat pada air limbah. Zeolit yang disintesa (MCM-22) memiliki kapasitas adsorpsi
tertinggi dibandingkan zeolit alam (Terdkiatburana, et al., 2009). Berdasarkan kemampuan
tersebut zeolit juga digunakan guna mengurangi penyerapan logam berat oleh tanaman.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Noertjahyani dan Nunung Sondari tahun 2009
dengan judul Efek Takaran Zeolit Terhadap Pertumbuhan Kadar Kadmium Pupus dan Hasil
Tanaman Selada (Lactuca sativa L.) pada Cekaman Logam Berat Kadmium menyimpulkan
bahwa aplikasi zeolit dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun
tanaman selada pada tiap waktu pengamatan (Gambar 9 dan 10). Hal ini diduga dengan
adanya pemberian zeolit pada media tanam menyebabkan hara yang diberikan ke dalam tanah
teradsorpsi dan akan dilepaskan secara perlahan-lahan. Pelepasan hara secara perlahan akan
menjamin terpenuhinya kebutuhan hara tanaman sehingga pertumbuhan tanaman menjadi
lebih baik. Takaran zeolit 6 t ha-1 memberikan pertumbuhan lebih baik pada akhir
pengamatan. Menurut Polat, et al.(2004), zeolit yang ditambahkan bersama pupuk
membantu menahan hara pada zone perakaran, mengurangi pencucian hara seperti N, K
sehingga kemampuan absorpsi akar meningkat, dan zeolit dapat melepaskan hara ketika
dibutuhkan tanaman.

Gambar 9. Tinggi Tanaman Selada Varietas Grand Rapids pada Tiap Waktu Pengamatan sebagai Efek
Pemberian Beberapa Takaran Zeolit
Gambar 10. Jumlah Daun Tanaman Selada Varietas Grand Rapids pada Tiap Waktu Pengamatan sebagai
Efek Pemberian Beberapa Takaran Zeolit

Pengaruh aplikasi zeolit terhadap bobot segar tanaman tertera pada Tabel 2 dan Gambar
11. Bobot segar tanaman antara tanpa pemberian zeolit dan yang diberi 2 t ha-1 zeolit
berbeda tidak nyata. Keadaan ini menunjukkan bahwa takaran 2 t ha-1 belum mampu untuk
menciptakan kondisi yang sesuai dalam penyediaan hara dan air di zone perakaran yang
dapat memberikan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Bobot segar tanaman terlihat
lebih baik jika dalam penanaman diberikan zeolit 4 dan 6 t ha-1.
Tabel 2. Bobot Segar Tanaman Selada Varietas Grand Rapids sebagai Efek Pemberian Beberapa Takaran
Zeolit pada Tanah Andisol
Perlakuan Bobot Segar Tanaman (g)
0 ton ha-1 zeolit 14,74 a
2 ton ha-1 zeolit 16,37 a
4 ton ha-1 zeolit 18,99 b
6 ton ha-1 zeolit 20,88 b
Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti huruf sama pada setiap kolom yang sama, berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Gambar 11. Tanaman Selada pada Pemberian Perlakuan Takaran Zeolit (A-D : tanpa zeolit, 2, 4, dan 6 t
ha-1 zeolit)
Efek takaran zeolit terhadap bobot kering akar, pupus dan nisbah pupus akar tertera
pada Tabel 3. Bobot kering akar tanaman selada berbeda tidak nyata antara tanaman yang
diberi zeolit dengan tanpa zeolit maupun antar takaran zeolit. Hal ini berarti bahwa takaran
zeolit yang semakin meningkat memberikan pengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan
akar. Kondisi ini terjadi karena media tanam memiliki kesuburan tanah cukup baik, yaitu C
organik 3,52% (tinggi), N 0,27% (sedang), P tersedia 55,3 mg kg-1 (tinggi), K potensial 56
mg 100 g-1 (tinggi) dan tekstur tanah lempung. Kondisi kimia tanah yang cukup subur dan
fisik tanah cukup baik ini menyebabkan perkembangan akar yang cukup baik sehingga efek
aplikasi zeolit dengan takaran berbeda tidak terlihat secara nyata.

Tabel 3. Bobot Kering Akar, Pupus, Nisbah Pupus Akar Tanaman Selada Varietas Grand Rapids
sebagai Efek Pemberian Beberapa Takaran Zeolit pada Tanah Andisol

Bobot kering (g)


Perlakuan Nisbah Pupus akar
Akar Pupus
0 ton ha-1 zeolit 0,40 a 1,92 a 4,94 a
2 ton ha-1 zeolit 0,40 a 2,07 a 5,37 ab
4 ton ha-1 zeolit 0,41 a 2,24 ab 5,56 b
6 ton ha-1 zeolit 0,41 a 2,41 b 6,18 c
Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti huruf sama pada setiap kolom yang sama, berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Pengaruh takaran zeolit terhadap bobot kering pupus sedikit berbeda. Bobot kering
pupus meningkat jika zeolit diberikan 4 dan 6 t ha-1. Hal ini berarti bahwa untuk
meningkatkan hasil tanaman selada sebaiknya zeolit diberikan dengan takaran minimal 4 t
ha-1. Bobot kering pupus yang meningkat secara nyata terdapat pada takaran 6 t ha-1 dan hal
ini akan memberikan NPA (nisbah pupus akar) yang nyata lebih tinggi dibandingkan
perlakuan lainnya. Aplikasi zeolit yang diberikan dengan takaran yang berbeda memberikan
efek yang berbeda terhadap kadar Cd pupus tanaman selada (Tabel 4). Tanpa pemberian
zeolit, penyerapan Cd oleh tanaman tertinggi (ditunjukkan melalui kadar Cd pupus)
dibandingkan perlakuan lainnya. Kadar Cd pada pupus menurun dengan aplikasi zeolit yang
meningkat, dan penurunan yang nyata terjadi pada pemberian zeolit mulai 4 t ha-1. Pada
pemberian zeolit 4 dan 6 t ha-1, kapasitas media tanam khususnya di zone perakaran untuk
menjerap Cd lebih tinggi sehingga penyerapan Cd oleh tanaman menurun dan kadar Cd
pupus menjadi lebih rendah. Ouki dan Ward (2003) menyatakan bahwa penambahan zeolit ke
dalam tanah akan menurunkan mobilitas Cd karena terikat kuat dengan tanah dan menjadi
kurang tersedia bagi tanaman.

Tabel 4. Kadar Kadmium Pupus dan Persentase Penurunan Kadar Kadmium pada Tanaman Selada
Varietas Grand Rapids sebagai Efek Pemberian Beberapa Takaran Zeolit pada Tanah Andisol
Perlakuan Kadar Cd pupus (mg kg-1) % penurunan kadar Cd
0 ton ha-1 zeolit 7,28 c 0,00
2 ton ha-1 zeolit 7,15 c 1,78
4 ton ha-1 zeolit 6,62 b 9,07
6 ton ha-1 zeolit 5,45 a 25,14

Anda mungkin juga menyukai