Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MAKALAH

Albar
09320160094

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2022
BATUBARA

Bahan tambang yang saat ini masih menjadi primadona adalah

batubara, yang digunakan sebagai salah satu sumber energi primer.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi sumberdaya

energi dan mineral yang cukup besar, termasuk didalamnya batubara. Ada

20 provinsi yang memiliki sumberdaya batubara, dengan Sumatera Selatan

dan Kalimantan Timur merupakan provinsi dengan tingkat sumberdaya

batubara tertinggi di Indonesia, yaitu setara dengan 82% dari total

sumberdaya batubara di Indonesia. Sumber daya batubara Indonesi

mencapai 161,34 miliar ton (MT) dan cadangan sebesar 28,17 MT (Dirjen

Mineral dan Batubara, 2013). Pertumbuhan produksi batubara sepanjang

tahun 2008-2012 sebesar 13%/tahun, dengan ratarata produksi sekitar 200

juta ton setiap tahunnya. Untuk penggunaan batubara di dalam negeri,

sektor ketengalistrikan lebih dominan, selebihnya untuk industri semen,

tekstil, pupuk, metalurgi, dan lainlain.

Produksi batubara yang selalu meningkat dari tahun ke tahun

menjadikan batubara sebagai komoditi utama dalam subsektor

pertambangan umum serta menempati posisi sangat vital dan merupakan

salah satu sumber energi primer bagi dunia industri Indonesia (Dirjen

Mineral dan Batubara, 2013). Batubara merupakan sumber daya alam yang

tak terbaharui atau non-renewable resource, ini berarti sekali bahan galian

tambang ini habis, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan

semula. Pertambangan batubara sebagaimana pertambangan secara


umum adalah serangkaian kegiatan yang meliputi tahapan kegiatan

penyelidikan\ umum, eksplorasi, studi kelayakan, kontruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan enjualan serta pasca

tambang. Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang

kompleks dan sangat rumit, sarat resiko, merupakan kegiatan jangka

panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat modal dan aturan regulasi yang

dikeluarkan beberapa sektor. Selain itu, karakteristik mendasar industri

pertambangan adalah membuka lahan dan mengubah bentang alam

sehingga mempunyai potensi merubah tatanan ekosistem suatu wilayah

baik dari segi biologi, geologi dan fisik maupun tatanan sosio ekonomi dan

budaya masyarakat. Keberadaan industri pertambangan batu bara dapat

menimbulkan dampak terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi

masyarakat setempat. Dari sisi dampak negatifnya, pertambangan lebih

sering dipahami sebagai aktifitas lebih banyak menimbulkan permasalahan

dari pada manfaat, mulai dari mengganggu kesehatan, konflik perebutan

lahan, terjadinya kerusakan lingkungan, hingga areal bekas pertambangan

yang dibiarkan menganga. Di sisi lain, banyak manfaat dari kegiatan

pertambangan, seperti membuka daerah terisolir, sumber pendapatan asli

daerah, membuka lapangan pekerjaan hingga merupakan sumberdevisa

negara (Hakim I, 2014).

Dampak Lingkungan

Kegiatan pertambangan batubara merupakan kegiatan eksploitasi

sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, dimana didalam kegiatan


penambangan dapat berdampak pada rusaknya ekosistem. Ekosistem

yang rusak diartikan suatu eosistem yang tidak dapat lagi menjalankan

fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah , tata air, pengatur

cuaca, dan fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan.

Mekanisasi peralatan dan teknologi pertambangan telah menyebabkan

skala pertambangan semakin besar dan ekstraksi batubara kadar

rendahpun menjadi ekonomis sehingga semakin luas dan dalam lapisan

bumi yang harus digali. Ini menyebabkan kegiatan tambang batambang

batubara menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti sebagai

berikut ( Raden dkk, 2010: Purwanto, 2015)

1) Perubahan bentang lahan.

Kegiatan pertambangan batubara dimulai dengan pembukaan tanah

pucuk dan tanah penutup serta pembongkaran batubara yang

berpotensi terhadap perubahan bentang alam. Lubang-lubang

tambang yang dihasilkan dari kegatan pertambangan ini harus

ditutup melalui kegiatan reklamasi dan revegetasi lahan. Penutupan

lubang tambang secara keseluruhan sangat sulit untuk dipenuhi

mengingat kekurangan tanah penutup akibat deposit batubara yang

terangkat keluar dari lubang tambang jauh lebih besar dibandingkan

tanah penutup yang ada. Walaupun di dalam dokumen AMDAL yang

dimiliki oleh setiap perusahaan pertabangan batubara, ditekankan

bahwa lubang tambang yang dihasilkan harus ditutup melalui

kegiatan reklamasi dan revegetasi lahan, namun pada


kenyataannnya perusahaan pertambangan batubara sebagian

meninggalkan lubang-lubang tambang yang besar (Hakim I, 2014).

2) Penurunan tingkat kesuburan tanah.

Dampak penurunan kesuburan tanah oleh aktivitas pertambangan

batubara terjadi pada kegiatan pengupasan tanah pucuk (top soil)

dan tanah penutup (sub soil/overburden). Pengupasan pucuk dan

tanah penutup akan merubah sifat-sifat tanah terutama sifat fisik

tanah dimana susunan tanah yang terbentuk secara alamiah dengan

lapisan-lapisan yang tertata rapi dari lapisan atas ke lapisan bawah

akan terganggu dan terbongkar akibat pengupasan tanah tersebut.

Tanah yang telah dikupas, selanjutnya akan ditranslokasi pada

tempat yang telah ditentukan di mana tanah pucuk dipisahkan

dengan tanah penutup, Setelah proses pembongkaran deposit

batubara, maka tanah pucuk dan tanah penutup dikembalikan ke

lubang tambang dengan cara backfilling. Waktu pengembalian tanah

ke lubang tambang membutuhkan waktu yang lebih lama tergantung

pada kecepatan proses penambangan berlangsung. Tanah pucuk

dan tanah penutup yang telah ditimbun atau telah dikembalikan ke

lubang tambang, sangat rentan terhadap perubahan kesuburan

tanah terutama kesuburan kimia dan biologi akibat tanah tersebut

telah rusak karena dibongkar untuk mengambil deposit batubara

yang ada di bawahnya. Curah hujan yang tinggi, akan memberikan

pengaruh yang besar terhadap kandungan unsur hara yang terdapat


di dalamnya, sebab akan terjadi pencucian unsur hara, sehingga

tanah dapat kekurangan unsur hara yang dibutuhkan tamanan pada

saat dilakukan revegetasi tanaman.

3) Terjadinya ancaman terhadap keanekargaman hayati (biodiversity).

Pembukaan lahan untuk penambangan menyebabkan terjadinya

degradasi vegetasi akibat kegatan pembukaan lahan, terganggunya

keanekaragaman hayati terutama flora dan fauna.

4) Penurunan Kualitas perairan.

Kegiatan penambangan batubara memberikan kontribusi tertinggi

dalam menurunkan kualitas air yaitu air sungai menjadi keruh dan

menjadi penyebab banjir. Kegiatan pembukaan dan pembersihan

lahan tambang serta aktivitas lainnya mempercepat aliran

permukaan yang membawa bahan-bahan pencemar masuk ke

badan air serta sumur-sumur penduduk pada saat terjadi hujan lebat.

Raden, dkk (2010) menyatakan bahwa parameter pH, kandungan

besi, mangan, TSS dan TDS berada diatas baku mutu lingkungan

pada semua titik pengamatan pada lokasi dekat penambangan dan

pengolahan salah satu perusahaan batubara di Kutai. Tingginya

kandungan bahan pencemaran air diakibatkan oleh aktivitas

penambangan dan pengolahan batubara (proses pencucia

batubara) dimana material bahan pencemar terbawa oleh air


limpasan permukaan (surface run-off) ke bagian yang lebih rendah

dan masuk ke badan air.

5) Penurunan Kualitas Udara

Penurunan kualitas udara disebabkan oleh pembongkaran batubara

dan mobilitas pengangkutan batubara dan peralatan dari dalam dan

keluar lokasi penambangan. Viktor (2010) menyatakan provinsi

Mpumalanga di Afrika Selatan memiliki kualitas udara terburuk

didunia, yang umumnya disebabkan oleh aktivitas pertambangan

batubara, kebakaran lahan yang tak terkendali serta penggunaan

batubara sebagai bahan bakar pada unit pembangkit tenaga listrik.

Tingginya kadar SO2, partikulat (PM10 and PM2.5), NOxes, O3,

benzene and H2S telah meningkatkan kejadian penyakit pernafasan.

Pembakaran spontan batubara melepaskan senyawa beracun

termasuk karbon monoksida, karbondioksida, methana, benzene,

toluene, xylene, sulphur, arsenik, merkuri dan timbal.

Dampak pertambangan batubara tidak hanya muncul ketika kegiatan

penambangan tetapi juga pasca operasi tambang. Industri pertambangan

pada pascaoperasi akan meninggalkan lubang tambang dan air asam

tambang (acid ine drainage). Lubang-lubang bekas penambangan batubara

berpotensi menimbulkan dampak lingkungan berkaitan kualitas dan

kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang

dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah. Lebih
lanjut, Marganingrum dan Noviardi (2010) menyatakan bahwa lahan bekas

tambang batubara mampu mencemari air sungai.

Dampak Sosial

Keberadaan perusahaan tambang di tengah-tengah masyarakat

merupakan wujud dan partisipasi dalam peningkatan dan pengembangan

pembangunan masyarakat. Perusahaan dan masyarakat yang bermukim di

sekitarnya merupakan dua komponen yang saling mempengaruhi. Dimana

perusahaan memerlukan masyarakat sekitar dalam pengembangan

perusahaan itu sendiri begitupun sebaliknya, masyarakat memerlukan

perusahaan tersebut dalam peningkatan perekonomian masyarakat serta

pengembangan daerah akibat keberadaan perusahaan tersebut. Oleh

karena itu, aktivitas perusahaan tidak dapat dipungkiri memiliki dampak

sosial terhadap masyarakat sekitarnya. Adapun dampak sosial yang

ditimbulkan dari kegiatan pertambangan batubara diantaranya :

1. Adanya konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan

karena masalah pembebasan lahan, pencemaran air dan udara,

adanya kecemburuan sosial antara penduduk lokal dengan warga

pendatang. Lebih lanjut, Purwanto (2015) menyatakan konflik di

masyarakat muncul dalam bentu unjuk rasa karena terganggunya

ruas jalan oleh truk pengangkut batubara, rusaknya jalan, terjadinya

kecelakaan lalu lintas. Konflik dimasyarakat sebagian besar juga

dipicu oleh masalah limbah yang keberadannya mengganggu

sumber air minum , rendahnya jumlah tenaga kerja lokal yang


diterima di perusahaan serta masalah ganti rugi lahan masyarakat

(Raden dkk, 2010)

2. Menurunnya kualitas kesehatan akibat debu. Penurunan tingkat

kesehatan masyarakat bisa dilihat dengan semakin seringnya

masyarakat yeng terkena batuk dan penyakit pernapasan lainya.

3. Terjadinya perubahan pola pikir masyarakat. adanya kegiatan

pertambangan merubah pola pikir masyarakat didalam mencari uang

guna memenuhi kebutuhan hidup. Adanya kompensasi uang

penggantian lahan, rusaknya lahan pertanian, serta adanya

kesempatan bekerja di pertambangan mendorong masyarakat untuk

beralih mata pencarian dari profesi petani ke profesi lain. Hal ini tidak

lepas dari hubungan masyarakat dengan perusahaan tersebut,

begitu juga sebaliknya. Keberadaan perusahaan juga sangat

berpengaruh besar terhadap kondisi perubahan sosial yang dulunya

masyarakat sangat tergantung dengan alam demi pemenuhan

kebutuhan hidup, sekarang masyarakat justru beralih ketergantung

pada perusahaan yang berada di tengah-tengah masyarakat itu

sendiri. Hal ini disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin hari

semakin menanjak dan pemenuhan penghasilan hidup semakin

bertambah. kondisi masyarakat yang dulunya swasembada pangan,

kini pemenuhan kebutuhan ekonominya digantikan oleh hasil-hasil

dari produksi tambang yang lebih banyak menghasilkan uang.


4. Struktur sosial di masyarakat juga mengalami perubahan karena

masyarakat sekitar pertambangan termotivasi untuk mampu

menyesuaikan perubahan struktur sosial yang disebabkan

banyaknya masyarakat pendatang yang menjadi karyawan di

perusahaan pertambangan batubara maupun masyarakat

pendatang berusaha di sekitaar perusahaan batubara.

5. Kehadiran perusahaan juga mempengaruhi perilaku gotong royong

terutama partisipasi masyarakat dalam mengikuti kegiatan kerja

bakti dan kegiatan keagamaan. Suprihatin (2014) menyatakan,

sebelum hadirnya pertambangan batubara, warga sangat antusias

dalam mengikuti segala kegiatan gotong royong. Frekuensi kegiatan

gotong royong masyarakat pun lebih intensif dan terkoordinir dengan

baik serta masih dilakukan secara tradisional dengan peralatan serta

kondisi yang sederhana. Setelah pertambangan batubara hadir dan

beroperasi, perilaku masyarakat dalam bergotong royong lebih

berorientasi pada materi atau sistem bayaran (upah). Serta lebih

dominan memberi bantuan dalam bentuk finansial ketimbang

bantuan tenaga. Selain itu, intensitas partisipasi masyarakat dalam

kegiatan gotong royong pun mengalami penurunan karena faktor

kesibukan kerja masing-masing warga yang kian bervariasi.

Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya

adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan

organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses


pembatubaraan.Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan

nitrogen dan oksigen. Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki

sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam

berbagai bentuk, bisa berbentuk kubus, balok, bulat, atau segitiga.

Pembentukan batu bara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan

hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman

Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu, adalah masa pembentukan batu

bara yang paling produktif ketika hampir seluruh deposit batu bara yang

ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk.

Pada Zaman Permian, kira-kira 270 juta tahun yang lalu, juga

terbentuk endapan-endapan batu bara yang ekonomis di belahan Bumi

bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke Zaman

Tersier (70 - 13 jtl) di berbagai belahan bumi lain. Hampir seluruh bahan

pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan

pembentuk batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai

berikut:

• Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal.

Sangat sedikit endapan batu bara dari periode ini.

• Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan

dari alga. Sedikit endapan batu bara dari periode ini.

• Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama

pembentuk batu bara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara.


Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan

tumbuh di iklim hangat.

• Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur

Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal

pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae

seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu

bara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.

• Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan

modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga,

kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum,

kurang dapat terawetkan.

Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batu

bara disebut dengan istilah pembatubaraan (coalification). Secara ringkas

ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:

• Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman

terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan dalam

proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi, dan gangguan

biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi)

dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.

• Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit

menjadi bituminus dan akhirnya antrasit.


Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh

tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas:

antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit, dan gambut.

• Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam

berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98%

unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.

• Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-

10% dari beratnya. Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di

Australia.

• Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh

karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan

dengan bituminus.

• Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang

mengandung air 35-75% dari beratnya.

• Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori

yang paling rendah.

Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di

cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk

Pulau Sumatra dan Kalimantan), pada umumnya endapan batu bara

ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen

atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen
atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala

waktu geologi.

Batu bara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar

khatulistiwa yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa di antaranya

tergolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata-rata

pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini

terbentuk pada kondisi di mana mineral-mineral anorganik yang terbawa air

dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan batu bara yang

berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat

umum dijumpai pada batu bara Miosen. Sebaliknya, endapan batu bara

Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur

endapan batu bara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai

atau delta, mirip dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini

di daerah timur Sumatra dan sebagian besar Kalimantan.

1) Endapan batu bara Eosen

Endapan ini terbentuk pada tatanan tektonik ekstensional yang

dimulai sekitar Tersier Bawah atau Paleogen pada cekungan-cekungan

sedimen di Sumatra dan Kalimantan.

Ekstensi berumur Eosen ini terjadi sepanjang tepian Paparan

Sunda, dari sebelah barat Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut

Jawa hingga Sumatra. Dari batuan sedimen yang pernah ditemukan

dapat diketahui bahwa pengendapan berlangsung mulai terjadi pada


Eosen Tengah. Pemekaran Tersier Bawah yang terjadi pada Paparan

Sunda ini ditafsirkan berada pada tatanan busur dalam, yang

disebabkan terutama oleh gerak penunjaman Lempeng Indo-Australia.

Lingkungan pengendapan mula-mula pada saat Paleogen itu non-

marin, terutama fluviatil, kipas aluvial dan endapan danau yang dangkal.

Di Kalimantan bagian tenggara, pengendapan batu bara terjadi

sekitar Eosen Tengah - Atas namun di Sumatra umurnya lebih muda,

yakni Eosen Atas hingga Oligosen Bawah. Di Sumatra bagian tengah,

endapan fluvial yang terjadi pada fase awal kemudian ditutupi oleh

endapan danau (non-marin). Berbeda dengan yang terjadi di

Kalimantan bagian tenggara di mana endapan fluvial kemudian ditutupi

oleh lapisan batu bara yang terjadi pada dataran pantai yang kemudian

ditutupi di atasnya secara transgresif oleh sedimen marin berumur

Eosen Atas.

Endapan batu bara Eosen yang telah umum dikenal terjadi pada

cekungan berikut : Pasir dan Asam-asam (Kalimantan Selatan dan

Timur), Barito (Kalimantan Selatan), Kutai Atas (Kalimantan

Tengah dan Timur), Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Tarakan

(Kalimantan Timur), Ombilin (Sumatra Barat) dan Sumatra Tengah

(Riau).

Dibawah ini adalah kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu

bara Eosen di Indonesia.


Kadar Kadar
Kadar Zat
air air Belerang Nilai energi
Tambang Cekungan Perusahaan abu terbang
total inheren (%ad) (kkal/kg)(ad)
(%ad) (%ad)
(%ar) (%ad)

Asam- PT Arutmin
Satui 10.00 7.00 8.00 41.50 0.80 6800
asam Indonesia

PT Arutmin
Senakin Pasir 9.00 4.00 15.00 39.50 0.70 6400
Indonesia

PTBHP
Petangis Pasir 11.00 4.40 12.00 40.50 0.80 6700
Kendilo Coal

PTBukit 0.50 -
Ombilin Ombilin 12.00 6.50 <8.00 36.50 6900
Asam 0.60

PTAllied 10.00 37.30


Parambahan Ombilin 4.00 - 0.50 (ar) 6900 (ar)
Indo Coal (ar) (ar)
Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998

2) Endapan batu bara Miosen

Pada Miosen Awal, pemekaran regional Tersier Bawah - Tengah

pada Paparan Sunda telah berakhir. Pada Kala Oligosen hingga Awal

Miosen ini terjadi transgresi marin pada kawasan yang luas di mana

terendapkan sedimen marin klastik yang tebal dan perselingan sekuen

batugamping. Pengangkatan dan kompresi adalah ketampakan yang

umum pada tektonik Neogen di Kalimantan maupun Sumatra. Endapan

batu bara Miosen yang ekonomis terutama terdapat di Cekungan Kutai

bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan Barito (Kalimantan


Selatan) dan Cekungan Sumatra bagian selatan. Batu bara Miosen juga

secara ekonomis ditambang di Cekungan Bengkulu.

Batu bara ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta

dan dataran pantai yang mirip dengan daerah pembentukan gambut

saat ini di Sumatra bagian timur. Ciri utama lainnya adalah kadar abu

dan belerang yang rendah. Namun kebanyakan sumberdaya batu bara

Miosen ini tergolong sub-bituminus atau lignit sehingga kurang

ekonomis kecuali jika sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi geografisnya

menguntungkan. Namun batu bara Miosen di beberapa lokasi juga

tergolong kelas yang tinggi seperti pada Cebakan Pinang dan Prima (PT

KPC), endapan batu bara di sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan

Timur dan beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatra

bagian selatan.

Tabel di bawah ini menunjukan kualitas rata-rata dari beberapa

endapan batu bara Miosen di Indonesia.

Kadar Kadar
Kadar Zat
air air Belerang Nilai energi
Tambang Cekungan Perusahaan abu terbang
total inheren (%ad) (kkal/kg)(ad)
(%ad) (%ad)
(%ar) (%ad)
PT Kaltim
Prima Kutai 9.00 - 4.00 39.00 0.50 6800 (ar)
Prima Coal
PT Kaltim
Pinang Kutai 13.00 - 7.00 37.50 0.40 6200 (ar)
Prima Coal
Roto PT Kideco
Pasir 24.00 - 3.00 40.00 0.20 5200 (ar)
South Jaya Agung
PT Berau
Binungan Tarakan 18.00 14.00 4.20 40.10 0.50 6100 (ad)
Coal
PT Berau
Lati Tarakan 24.60 16.00 4.30 37.80 0.90 5800 (ad)
Coal
Sumatra
PT Bukit
Air Laya bagian 24.00 - 5.30 34.60 0.49 5300 (ad)
Asam
selatan
Paringin Barito PT Adaro 24.00 18.00 4.00 40.00 0.10 5950 (ad)
Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998

Abu batubara merupakan material berpartikel halus yang dominan

berbentuk spherik padat ataupun berongga. Material ini merupakan

senyawa fero alumino silikat dengan unsurunsur utama Si, Al, Fe, Ca, K

dan Na. Mineraloginya sangat dipengaruhi oleh batubara asalnya.

Beberapa penelitian pemanfaatan abu batubara sebagai bahan penetral

asam dan pengadsorp logam-logam berbahaya dalam limbah tambang

telah diujicoba (Gitari dkk., 2008).

Abu batubara diperkirakan punya alkalinitas yang tinggi karena

adanya fraksi kapur di dalamnya. Namun demikian hasil analisis

menunjukkan bahwa abu batubara juga mengandung bahan-bahan

pencemar berupa logam-logam berat. Oleh karena itu penumpukan abu

batubara di lokasi penimbunan diperkirakan akan memberikan dampak

yang cukup serius di lingkungan dan pengelolaan yang kurang baik

terhadap abu batubara tersebut akan mengurangi lahan produktif,

mencemari tanah dan tanaman. Ada kalanya untuk pemanfaatannya, perlu

dilakukan modifikasi terhadap abu batubara baik sekedar aktivasi dalam

suasana asam, basa atau bahkan mengubahnya menjadi zeolit sintetik.

Puslitbang tekMIRA pada awalnya melakukan kegiatan karakterisasi abu


batubara pada tahun 1988. Kegiatan ini mencakup abu batubara yang

berasal dari PLTU ataupun abu yang berasal dari tungku-tungku mini yang

dikembangkan oleh tekMIRA. Di samping penelitian abu batubara, juga

mengkarakterisasi abu yang berasal dari batubara yang sengaja diabukan

di laboratorium. Hasil karakteristik pembakaran ini menunjukkan hasil yang

sangat berbeda. Namun pada makalah ini hanya dibatasi pada abu yang

berasal dari sebagian PLTU di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pada

dasarnya PLTU di Jawa menggunakan batubara yang berasal dari

Sumatera dan Kalimantan. Kadar abu dalam batubara Indonesia sangat

bervariasi besarannya yaitu berkisar dari 1 – 17%. Pada dasarnya

komposisi abu batubara Indonesia juga didominasi oleh oksida-oksida

seperti SiO2, Al2O3, CaO, SO3, dan Fe2O3. Abu batubara juga

mengandung logam-logam berat seperti Mn, Pb, Cu, Zn, Cd, Cr, Co, Hg,

Se, V dan As. Umumnya, di Indonesia abu batubara diklasifikasikan dalam

kelas C dan F. Pengklasifikasian abu ini tidak dapat dilakukan secara tepat

mengingat batubara Indonesia yang digunakan di PLTU berasal dari jenis

lignit dan bituminus yang adakalanya pada saat dipakai sebagai bahan

bakar merupakan campuran kedua jenis batubara tersebut. Oleh karena

abu batubara dikategorikan sebagai limbah B3 maka sebelum melakukan

penelitian pemanfaatannya, perlu pengujian karakteristiknya. Laboratorium

Puslitbang tekMIRA bersama laboratorium Pusat Penelitian Sumber Daya

Alam dan Lingkungan (PPSDAL) – Universitas Padjadjaran (Unpad)

melakukan penelitian toksisitas abu batubara secara kimia maupun biologi


dan juga penelitian keterlindian logam berat yang terkandung di dalamnya.

Beberapa pengujian toksikologi ini menunjukkan bahwa abu batubara yang

diteliti dapat dikategorikan sebagai bukan limbah B3. Komposisi mineral

abu batubara Indonesia yang diuji pada penelitian ini menunjukkan abu

batubara terdiri dari kuarsa, mulit, plagioklas dan kristobalit dengan

komposisi oksida yang dominan adalah silika dan alumina. Karakterisasi

terhadap abu batubara terutama dilihat pada kandungan unsur-unsur

mayor dan minornya. Komposisi mineralnya tersebut yang ditentukan

dengan menggunakan XRD, menunjukkan bahwa abu batubara

mengandung kuarsa, mulit, plagioklas dan kristobalit (Tabel 4). Konsentrasi

elemen mayor CaO, MgO, K2O dan Na2O dalam abu terbang dan abu

dasar PLTU Jawa Timur dan Jawa Barat ada sedikit perbedaan.

Konsentrasi CaO pada abu terbang hampir dua kali lipat dari

konsentrasinya pada abu dasar sedangkan konsentrasi MgO dan Na2O

pada kedua jenis abu tersebut hampir sama. Konsentrasi K2O pada abu

terbang hanya setengah dari konsentrasi oksida alkali tanah tersebut dalam

abu dasar. Hal yang sama juga ditemukan pada PLTU di Kalimantan.

Konsentrasi CaO pada abu terbang hampir dua kali lipat dari

konsentrasinya pada abu dasar berbeda dengan PLTU Sumatera,

sedangkan konsentrasi MgO dan K2O pada kedua jenis abu tersebut

hampir sama. Konsentrasi Na2O pada abu terbang hampir lima kali dari

konsentrasi oksida alkali tanah tersebut dalam abu dasar. Perbedaan

komposisi ini diperkirakan dapat disebabkan oleh kondisi operasional


teknologi pembakaran di PLTU ataupun sistem kontrol pencemaran udara

pada cerobong PLTU. Pembakaran yang belum sempurna menyebabkan

oksida unsur-unsur mayor dalam abu dasar diperkirakan lebih kecil dari

yang ada dalam abu terbang (Miod, 2008; Lam dkk., 2010; Mal’chik, Litovkin

dan Rodionov, 2015).


DAFTAR PUSTAKA

Batubara, H. (2013). Penentuan harga pokok produksi berdasarkan metode


full costing pada pembuatan etalase kaca dan alumunium di UD.
Istana Alumunium Manado. Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi,
Manajemen, Bisnis dan Akuntansi, 1(3).

Damayanti, R. (2018). Abu batubara dan pemanfaatannya: Tinjauan teknis


karakteristik secara kimia dan toksikologinya. Jurnal Teknologi
Mineral dan Batubara, 14(3), 213-231.

Fitriyanti, R. (2018). Pertambangan Batubara: Dampak Lingkungan, Sosial


Dan Ekonomi. Jurnal Redoks, 1(1).

Jamilatun, S. (2008). Sifat-sifat penyalaan dan pembakaran briket


biomassa, briket batubara dan arang kayu. Jurnal Rekayasa
Proses, 2(2), 37-40.

Puluhulawa, F. U. (2011). Pengawasan sebagai Instrumen Penegakan


hukum pada pengelolaan Usaha pertambangan Mineral dan
Batubara. Jurnal Dinamika Hukum, 11(2), 306-315.

Putri, L. P. (2017). Pengaruh Profitabilitas Terhadap Harga Saham Pada


Perusahaan Pertambangan Batubara di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Manajemen dan Bisnis, 16(2).

Anda mungkin juga menyukai