Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH LINGKUNGAN DAN DAMPAK NEGATIF

KEGIATAN PERTAMBANGAN

Pertambangan adalah suatu kegiatan mencari, menggali, mengolah,
memanfaatkan dan menjual hasil dari bahan galian berupa mineral, batu bara,
panas bumi dan minyak dan gas.
Seharusnya kegiatan pertambangan memanfaatkan sumberdaya alam dengan
berwawasan lingkungan, agar kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga.
Dampak Negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan adalah masalah
lingkungan.
Manusia dalam mempertahankan hidupnya akan mengelola dan memanfaatkan
alam sebagai sumber makanan, pakaian, tempat tinggal, dan berbagai kebutuhan
pendukung lainnya yang dibutuhkan secara terus-menerus untuk tetap eksis dan
melahirkan suatu peradaban. Segala aktivitas manusia dalam mengelola alam
memiliki dampak positif langsung terhadap ketersediaan dan pemenuhan
kebutuhan serta kesejahteraan hidup manusia yang diperoleh dari alam. Namun
hal lain yang juga sering timbul secara bersamaan atau dapat muncul dikemudian
hari adalah dampak negatif terhadap pemanfaatan alam. Kemampuan manusia
yang semakin maju disetiap zamannya dalam mengelola alam, bukan mustahil
mengakibatkan terjadinya kerusakan alam. Apalagi kepadatan penduduk yang
semakin meningkat, eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam tak dapat
dihindari. Salah satu contoh kebutuhan hidup manusia yang juga begitu penting
tapi sarat terhadap kerusakan adalah bidang pertambangan.
Kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak
negatif. Termasuk sebagai dampak positif adalah sumber devisa negara, sumber
pendapatan asli daerah (PAD), menciptakan lahan pekerjaan, dan sebagainya.
Sedangkan dampak negatif dapat berupa bahaya kesehatan bagi masyarakat
sekitar areal pertambangan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.
Kegiatan pertambangan telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai aspek
kehidupan di seluruh dunia. Tambang-tambang batubara, minyak dan gas
menyediakan sumber energi, sementara tambang-tambang mineral menyediakan
berbagai bahan baku untuk keperluan industri. Bahan-bahan tambang golongan C,
seperti batu, pasir, kapur, juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan yang
signifikan sebagai bahan untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung
perkantoran, pabrik dan jaringan jalan. Akan tetapi berbeda dengan
sumbangannya yang besar tersebut, lahan-lahan tempat ditemukannya bahan
tambang akan mengalami perubahan lanskap yang radikal dan dampak lingkungan
yang signifikan pada saat bahan-bahan tambang dieksploitasi (Iskandar, 2008).
Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang telah dimulai sejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang.
Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas ini memang sangat besar, khususnya
dalam aspek ekonomi. Kendati demikian kerugian yang akan muncul adalah lebih
besar dari keuntungan yang telah diperoleh, jika dampak kerusakan yang
ditimbulkan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.
Aktivitas Pertambangan
Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor
22 tahun 2010 yang dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh
tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral
atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pascatambang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan, Bagian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan galian (bahan tambang) terdiri dari:
a. Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti strategis untuk
pertahanan dan keamanan serta perekonomian Negara. Seperti; minyak bumi,
aspal dan lain-lain.
b. Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin hajat hidup
orang banyak seperti; emas, besi, pasir besi, dan lain-lain.
c. Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni; galian
C yang sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat
internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu kali, pasir, tras, dampal
dan lain-lain.
Bahan tambang umumnya berada di/dekat permukaan atau jauh di bawah
permukaan bumi. Keduanya tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya
(Iskandar, 2008). Proses pengambilan bahan tambang pada umumnya dikenal
dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan penambangan bawah
tanah (underground mining). Masing-masing jenis penambangan memiliki metode
yang berbeda dalam mengambil bahan tambang dan potensi kerusakan yang akan
ditimbulkannya pun tentunya berbeda.
Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan pembersihan
lahan (land clearing) yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan
berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan penggalian dan pengupasan tanah
bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah pucuk. Setelah itu dilanjutkan
kemudian dengan pengupasan batuan penutup (overburden), tergantung pada
kedalaman bahan tambang berada. Proses tersebut secara nyata akan merubah
bentuk topografi dari suatu lahan, baik dari lahan yg berbukit menjadi datar
maupun membentuk lubang besar dan dalam pada permukaan lahan khususnya
terjadi pada jenis surface mining.
Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses pengolahan. Proses
pengolahan dilakukan untuk memisahkan bahan tambang utama dengan berbagai
metode hingga didapatkan hasil yang berkualitas. Pada proses pemisahan ini
kemudian menghasilkan limbah yang disebut tailing. Tailing adalah satu jenis
limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam dunia
pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan
yang mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral
berharga. Kandungan mineral pada tailing tersebut disebabkan karena pengolahan
bijih untuk memperoleh mineral yang dapat dimanfaatkan pada industri
pertambangan tidak akan mencapai perolehan (recovery) 100% (Pohan, dkk,
2007).
Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan pascatambang yang
terdiri dari reklamasi dan penutupan tambang (mining closure). Setiap perusahaan
tambang wajib melakukan hal tersebut sebagaimana telah diatur oleh pemerintah
(Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 tahun 2008).
Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan
Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan
pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan
berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi
yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003).
Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang
yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa
izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah
lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002).
Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang
ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat
permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti,
2007).
Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara
lain:
1. Perubahan vegetasi penutup
Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai menghasilkan
dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami.
Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung.
Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro,
keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa
vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada
saat musim hujan.

Gambar 1. Proses land clearing yang mengakibatkan hilangnya vegetasi alami
2. Perubahan topografi
Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah
tambang. Areal yang berubah umumnya lebih luas dari dari lubang tambang
karena digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah pucuk dan overburden)
dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi masalah pada perusahaan
tambang kecil karena keterbatasan lahan (Iskandar, 2010). Seperti halnya
dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau
membentuk lereng yang curam akan memperbesar laju aliran permukaan dan
meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu
lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan
dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.

Gambar 2. Perubahan topografi akibat aktivitas pertambangan
3. Perubahan pola hidrologi
Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan
akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan salah satu kunci dalam siklus
hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan terbuka saat beroperasi, air
dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan areal yang dieksploitasi
untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah tambang tidak
beroperasi, aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air tanah (ground
water table) berubah yang mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah
untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya badan air akibat tersingkapnya
batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun (Ptacek, et.al,
2001).
4. Kerusakan tubuh tanah
Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan penimbunan
kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi. Kerusakan terjadi diakibatkan
tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub soil) secara tidak teratur sehingga
akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah (Iskandar, 2010).
Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi
dengan baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan
membuatnya rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun angin. Pattimahu
(2004) menambahkan bahwa terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai
sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial,
merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba
tanah yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak
langsung mempengaruhi kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi
alat berat di atas tanah mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah
yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water
infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung
dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar.
Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan
berdampak pada kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut
Suprapto (2008a) membongkar dan memindahkan batuan mengandung sulfida
(overburden) menyebabkan terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas.
Pada kondisi terekspos pada udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan
terlarutkan dalam air membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi
melarutkan logam yang terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan
beracun berbahaya yang akan menurunkan kualitas lingkungan.
Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang yang
menghasilkan limbah tailing juga berpotensi mengandung bahan pembentuk asam
(Suprapto, 2008b), sehingga akan merusak lingkungan karena keberadaannya
yang bisa jauh ke luar arel tambang.

Gambar 3. (a) Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke sungai yang
mempengaruhi daerah di luar areal tambang, (b) Pengendapan tailing Grasberg
(Landsat 2003).
Label: Kerusakan Lahan, Pencemaran, Tanah-Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai