Anda di halaman 1dari 17

1.

PENDAHULUAN

Perdagangan dan pemanfaatan batubara telah dimulai ratusan tahun sebelum Masehi
di Eropa dan Cina, terutama digunakan secara langsung dan sederhana untuk
keperluan memasak dan pemanas ruangan. Pada abad 18 batubara mulai digunakan
dalam industri peleburan besi, kemudian diikuti dengan pengembangan pembuatan
kokas untuk proses metalurgi. Disamping itu, pembuatan gas dari batubara melalui
proses karbonisasi juga dikembangkan pada abad yang sama untuk menghasilkan
bahan bakar gas dan ter.

Dengan adanya minyak bumi yang harganya relatif murah maka batubara mulai
ditinggalkan. Tetapi, sejak adanya krisis minyak bumi pada awal tahun 1970-an dan
juga kenaikan harga minyak bumi yang demikian tingginya menyebabkan batubara
yang tadinya ditinggalkan kini telah bangkit kembali menjadi sumber energi
alternatif yang potensial. Pemanfaatan batubara kini telah berkembang pesat tidak
saja sebagai bahan bakar langsung, tetapi juga sebagai bahan bakar tak langsung
(dalam bentuk gas dan cair) dan sebagai bahan baku industri kimia maupun industri-
industri lainnya.

2. BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR

Sebagai bahan bakar, batubara dapat langsung digunakan dan dibakar dalam
keadaan padat tanpa melalui proses perubahan bentuk terlebih dahulu, kecuali
proses preparasi (pencucian dan penggerusan). Batubara juga bisa dirubah terlebih
bentuknya menjadi bahan bakar bentuk lain yang lebih bersih dan fleksibel
penggunaannya, seperti bahan bakar gas dan bahan bakar cair (minyak).

2.1 Bahan Bakar Langsung/Padat


Pada awalnya proses penggunaan batubara dilakukan dalam tungku pembakaran
yang sangat sederhana untuk keperluan memasak dan pemanasan ruangan. Dengan
perkembangan teknologi, kemudian batubara mulai dibakar dalam tungku-tungku
yang dirancang sesuai dengan tingkat efisiensi dan pertimbangan masalah lingkungan.

Penggunaan batubara untuk pemanasan boiler telah lama dikenal misalnya dalam
boiler mesin-mesin uap kapal laut dan kereta api. Pemanfaatan untuk boiler ini
kemudian berkembang ke boiler pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan untuk
industri seperti industri pulp dan kertas. Disamping itu, batubara juga digunakan
secara langsung pada industri semen dan industri-industri kecil seperti pembakaran
bata, genteng dan kapur, gerabah, rumahan.

2.1.1 Bahan Bakar Pembangkit Listrik (PLTU)


Prinsip dasar dalam penggunaan batubara pada pembangkit listrik tenaga uap adalah
konversi energi dalam batubara menjadi energi listrik. Proses pembangkitan listrik
dimulai dengan pembakaran batubara dalam sebuah boiler (ketel uap) untuk
menghasilkan uap. Energi thermal dalam uap tersebut selanjutnya digunakan untuk
memutar turbin uap yang merupakan penggerak mula (prime mover) dari sebuah
generator listrik. Selanjutnya, energi mekanik dari turbin uap memutar generator
untuk menghasilkan listrik.

Teknologi pemafaatan batubara untuk pembangkit listrik umumnya dapat


digolongkan menjadi empat kelompok yakni, menggunakan kisi (grate), batubara
bubuk (pulverized coal), siklon, dan unggun-terfluidakan (fluidized-bed). PLTU yang
menggunakan teknologi kisi lebih sesuai untuk kapasitas kecil, sampai sekitar 20 MW
karena menggunakan batubara bongkah dan tidak perlu proses preparasi atau
penggilingan batubara.

Teknologi batubara bubuk banyak digunakan pada pembangkit-pembangkit listrik


kapasitas menengah sampai besar, yakni antara 50 sampai 600 MW. Sampai saat ini
pembangkit-pembangkit listrik milik PT PLN berbahan bakar batubara seluruhnya
menggunakan teknologi ini.

Teknologi siklon mirip dengan teknologi batubara bubuk, tetapi suhu pembakaran
lebih tinggi. Pengembangan teknologi ini didasarkan pada perubahan sistem
pengeluaran abu, yakni abu batubara dikeluarkan dari boiler dalam keadaan cair.
Oleh karena itu, batubara yang digunakan harus mempunyai titik leleh abu rendah.
Teknologi ini kurang berkembang secara komersial karena mempunyai kelemahan
dalam hal emisi nitrogen oksida yang tinggi dan penanganan abu.

Teknologi unggun-terfluidakan pada mulanya banyak digunakan untuk pembangkit


listrik kapasitas menengah sampai 100 MW. Tetapi saat ini sudah dikembangkan dan
digunakan untuk pembangkit kapasitas besar, sampai 400 MW. Keunggulan teknologi
ini adalah dalam hal emisi SOx dan NOx rendah, dapat digunakan untuk batubara
kualitas rendah (kadar abu dan belerang tinggi), dan tidak terjadi endapan abu
dalam boiler.

2.1.2 Bahan Bakar Pabrik Semen


Semen dibuat dari campuran utama berupa batu kapur dan lempung, sedangkan
komponen lainnya adalah kuarsa dan mineral besi. Campuran tersebut dikeringkan,
kemudian digerus dan dibakar pada suhu 1400-1500C sehingga terbentuk klinker.
Klinker digerus sampai lolos saringan 0,1 mm kemudian dicampur dengan gipsum 3-
5% sehingga terjadi bubuk semen yang disebut semen Portland. Senyawa-senyawa
kalsium silikat akan terbentuk dalam proses tersebut, dan dengan proses dehidrasi
akan memberi kekuatan pada semen apabila digunakan.
Banyak pabrik semen yang menggunakan bahan bakar batubara, bahkan di Indonesia
hampir seluruh pabrik semen sudah beralih ke batubara. Dalam pembakaran bahan
baku klinker sejumlah abu batubara terabsorpsi ke dalam klinker. Oleh karena itu,
abu batubara tidak terlalu masalah asalkan kadarnya dan komposisinya konstan. Abu
dengan titik leleh yang tinggi juga diperlukan untuk menghindari terjadinya cincin
klinker dalam tanur selama proses pembakaran. Batubara dengan kadar abu sampai
35% telah digunakan dengan baik pada pabrik semen di Australia. Bahkan batubara
dan limbah pencucian batubara dengan kadar abu sampai 45% juga digunakan di
Belgia.

2.1.3 Bahan Bakar Boiler Industri


Pada industri-industri yang menggunakan uap untuk proses produksinya seperti
industri pulp dan tekstil, batubara dapat digunakan untuk menguapkan air dalam
boiler. Boiler-boiler untuk industri seperti ini umumnya relatif kecil dibandingkan
dengan boiler PLTU. Oleh karena itu, teknologi yang sesuai untuk boiler industri
adalah kisi (chain grate) dan unggun terfluidakan.

Industri-industri tekstil di Jawa Barat, terutama di sekitar Bandung sejak tahun 2000
sudah banyak yang menggunakan bahan bakar batubara dengan teknologi kisi
maupun unggun-terfluidakan. Secara ekonomi, penggunaan batubara jauh lebih
murah dibanding menggunakan bahan bakar minyak sehingga investasi peralatan
dapat cepat kembali. Namun yang menjadi masalah adalah keberadaan industri
tekstil yang umumnya di tengah kota dan dekat dengan perumahan penduduk
menyebabkan seringnya terjadi protes masyarakat terhadap dampak negatif
penggunaan batubara. Oleh karena itu, penanganan batubara, pembakarannya dan
penanganan limbahnya harus dilakukan dengan benar.

2.1.4 Bahan bakar Industri Kecil


Selain untuk industri besar dan menengah, batubara juga sudah mulai digunakan
untuk industri kecil, seperti pembakaran bata, genteng, kapur, gerabah/keramik dan
industri rumahan (home industry). Industri-industri tersebut umumnya bermodal
lemah dan menggunakan teknologi sederhana sehingga masalah dampak lingkungan
perlu mendapat perhatian. Teknik pembakaran yang telah dikembangkan oleh
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara adalah sebagai berikut.

Industri kapur
Pembakaran kapur dengan kombinasi batubara-kayu dalam tungku adalah dengan
menyemprotkan batubara halus (lolos 30 mesh) ke dalam unggun pembakaran kayu.
Dengan teknologi ini maka satu ton batubara dapat menggantikan 7-9 ton kayu bakar.

Pembakaran kapur menggunakan pembakar siklon dalam tungku tegak/tungku


pendam adalah dengan menyemprotkan batubara halus ke dalam pembakar siklon
yang dipasang dalam tungku tegak/pendam. Pembakaran kapur dalam tungku
pendam kapasitas 12 ton batubara menhasilkan efisiensi 40%. Sedangkan penggunaan
pembakar siklon dalam tungku tegak sistem kontinyu 100 ton batu kapur
menggunakan 2,4 ton batubara per hari dengan efisiensi energi mencapai 70%.

Industri Bata-Genteng
Pembakaran dengan kombinasi batubara-kayu dapat dilakukan dalam tungku
tradisional tanpa modifikasi (tungku bak terbuka). Dengan mencampurkan batubara
bongkah berukuran 2 - 7 cm ke dalam unggun kayu bakar dapat menghemat
penggunakan kayu sampai 50%. Dengan sistem ini 1 kuintal batubara dapat
menggantikan 7 10 kuintal kayu bakar.

Pembakaran bata-genteng dengan batubara juga dapat dilakukan dengan memasang


kisi dalam ruang pembakaran, baik pada tungku bak terbuka maupun tungku api
turun. Sebagai contoh, pembakaran genteng dengan tungku api turun kapasitas
10.000 genteng kodok memerlukan 2,7 ton batubara kalori 5500 kkal/kg. Sedangkan
dengan kayu bakar (kayu karet) memerlukan 12 ton kayu dan dengan minyak bakar
memerlukan 2400 liter.

Industri gerabah/keramik
Untuk industri gerabah diperlukan suhu pembakaran 650 - 800C, sedangkan untuk
industri keramik diperlukan suhu lebih tinggi yakni lebih dari 900C, tergantung jenis
keramik yang dibuat. Pembakaran gerabah dapat menggunakan tungku terbuka,
sedangkan pembakaran keramik biasanya menggunakan tungku tertutup.

Industri rumahan (home industry)


Industri rumahan seperti gula merah, dodol, pindang dan industri makanan lainnya
dapat menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Pembakaran batubara
dilakukan dengan menggunakan tungku pemanas ganda. Dalam tungku jenis ini
batubara berukuran 2 7 cm dibakar secara bertahap, sehingga mengalami pirolisis
dan zat terbangnya menguap dalam ruang pembakaran. Selanjutnya, batubara yang
telah mengalami pembakaran awal didorong ke dalam ruang pembakarandan
terbakar dengan lebih baik. Gas buang hasil pembakaran masih dapat digunakan
untuk memanaskan air pada mulut yang lain dari tungku ganda.

2.1.5 Briket Batubara


Untuk memanfaatkan batubara berukuran halus dan menyeragamkan bentuk serta
ukuran maka dilakukan pembriketan, dengan atau tanpa menggunakan bahan
pengikat. Dalam bentuk briket yang ukurannya seragam, maka batubara mudah
ditangani, tidak menimbulkan masalah dalam pengangkutan, dan dapat digunakan
dalam tungku pembakaran yang memakai sistem kisi, seperti yang umumnya banyak
digunakan pada induistri kecil.

Agar briket batubara tidak menimbulkan asap pada waktu pembakaran, maka perlu
dilakukan karbonisasi pada suhu rendah (450-600C) terhadap briket batubara
sehingga zat terbang kurang dari 20%. Disamping itu, bisa juga digunakan bahan baku
yang mempunyai kadar zat terbang rendah seperti batubara antrasit, atau dari
batubara peringkat rendah (lignit bituminus) yang telah dikarbonisasi terlebih
dahulu.

Bahan baku briket digerus sampai sampai ukuran tertentu (biasanya lolos saringan 20
mesh) kemudian dicampur dengan bahan perekat (misalnya kanji, molase, lempung
dll.) dengan perbandingan sekitar 85-90% batubara dan 10-15% bahan perekat.
Campuran tersebut kemudian dibriket pada tekanan rendah (biasanya sekitar 200
kg/cm2). Briket yang dihasilkan kemudian dikeringkan pada pada suhu kamar atau
menggunakan oven pengering.

Briket batubara umumnya dibuat dalam dua tipe atau bentuk, yakni tipe
telur/bantal/jengkol dan tipe sarang tawon (honeycomb) berbentuk silinder atau
kubus. Tipe yang pertama umumnya dapat digunakan dan dibakar pada bermacam
jenis tungku pembakaran. Sedangkan tipe yang kedua, bentuk sarang tawon,
mempunyai lubang-lubang udara yang tegak lurus sehingga memerlukan tungku
pembakaran khusus yang sesuai dengan bentuk dan diameter briket.

Briket yang dibuat dari batubara yang telah mengalami karbonisasi disebut briket
batubara terkabonisasi (carbonized coal briquette). Sedangkan briket yang dibuat
dari batubara mentah disebut briket batubara non karbonisasi (uncarbonized coal
briquette). Briket yang dibuat dari batubara antrasit terdapat di China dan Korea
untuk memasak dan pemanas ruangan. Di China, briket antrasit dibuat dalam bentuk
kubus dengan lubang-lubang tegak. Briket antrasit di Korea dikenal dengan nama
Yontan, berbentuk silinder dengan lubang-lubang tegak.

Untuk mengurangi asap dan merendahkan titik nyala briket, Jepang mengembangkan
briket batubara yang disebut briket biobatubara (biocoal), yakni briket yang dibuat
dari campuran 80% batubara berukuran 35 mesh dan 20% biomassa (ampas tebu,
serbuk gergajian, sekam padi dll.). Karena tidak menggunakan bahan perekat, maka
diperlukan pembriketan pada tekanan tinggi, yakni sekitar 2 ton per cm 2. Pilot plant
briket biobatubara kapasitas 5 ton per jam yang merupakan hibah dari Jepang
terdapat di Palimanan, Cirebon. Untuk mengurangi tekanan pembriketan dapat
digunakan bahan pengikat, tetapi apabila digunakan lempung maka nilai kalor briket
biobatubara akan turun.

Briket batubara umumnya digunakan dan dibakar dalam tungku sederhana untuk
memasak dan untuk industri kecil/rumahan yang teknologinya sederhana sehingga
pembakarannya tidak sesempurna pembakaran pada industri besar atau menengah.
Oleh karena itu, briket batubara yang tidak terkabonisasi sebaiknya digunakan dalam
tungku kecil dan ruangan dapur yang sempit agar asap yang ditimbulkan tidak
mengganggu lingkungan.

2.2 Bahan Bakar Tak Langsung


Penggunaan batubara sebagai bahan tak langsung adalah dengan merubah atau
mengkonversikan batubara menjadi bentuk lain sebelum digunakan atau dibakar.
Dengan konversi tersebut diharapkan sifat-sifat batubara dapat ditingkatkan
sehingga penggunaannya lebih fleksibel dan polusi akibat pembakarn dapat dikurangi.
Dalam hal ini batubara dirubah menjadi bahan bakar lain, yakni dalam bentuk padat
(mis. kokas) melalui proses karbonisasi, gas sintetik melalui gasifikasi dan minyak
sintetik melalui pencairan.
2.2.1 Kokas
Kokas adalah residu padat yang tertinggal apabila batubara dikarbonisasi
(dipanaskan dengan pasokan udara terbatas) pada suhu tinggi (900 - 1200C). Tetapi
tidak semua batubara dapat dikarbonisasi menjadi kokas dengan kualitas, (terutama
sifat fisik) yang tinggi. Batubara yang dapat menghasilkan kokas disebut batubara
mengkokas (coking coal), peringkatnya antara medium low volatile bituminous dan
tidak ada di Indonesia.

Kokas digunakan dalam proses metalurgi seperti pabrik baja dan pengecoran logam,
dan berfungsi sebagai bahan bakar, sumber karbon (terutama baja) dan penyangga
material bijih besi atau scrap. Oleh karena itu diperlukan kokas dengan sifat fisik
(kekuatan) yang tinggi. Selama ini kebutuhan baja kita dipenuhi produk kokas impor
seperti China, Jepang, Autralia.

Kokas juga bisa dibuat dari batubara tidak mengkokas (non coking coal) melalui
pembriketan dengan proses ganda (double process). Batubara dikarbonisasi (biasanya
pada suhu rendah antara 450-600C) kemudian digerus dan dicampur dengan bahan
perekat (ter, aspal, atau pitch) kemudiain dibriket. Briket mentah tersebut
kemudian dikarbonisasi kembali pada suhu tinggi. Percobaan yang dilakukan di
tekMIRA tekah dapat menghasilkan kokas yang dapat digunakan untuk pengecoran.

2.2.2 Bahan Bakar Gas


Pembuatan gas dari batubara secara komersial telah dimulai sejak awal abad ke
sembilan belas. Perusahaan pabrik gas pertama dimulai di Inggris dan Amerika
Serikat menggunakan proses pirolisis atau karbonisasi guna memproduksi gas untuk
penerangan. Cara pembuatan gas dari batubara seperti ini masih dilakukan di
beberapa negara. Di Indonesia, proses ini juga digunakan oleh pabrik-pabrik kota di
beberapa kota besar sampai tahun 1970-an. Tetapi, ketersediaan gas alam yang
harganya relatif murah dan ketergantunagn terhadap batubara impor sebagai bahan
baku maka pabrik gas dituup dan diganti gas alam. Kini teknologi batubara yang
dapat menngunakan semua jenis batubara sebagai bahan baku telah berkembang
secara komersial.

Gas batubara mempunyai rasio karbon/hidrogen yang jauh lebih rendah dibanding
batubara asalnya dan tidak mempunyai pengotor mineral (bahan anorganik) sehingga
sifat pembakarannya lebih baik, yakni mudah menyala, nilai kalornya tinggi dan
emisinya bersih, hanya berupa CO2 dan H2O. Disamping itu, bahan bakar gas lebih
fleksibel penggunaannya dibanding bahan bakar padat.

2.2.3 Bahan Bakar Cair


Pembuatan bahan bakar cair dari batubara telah dikembangkan Jerman pada masa
Perang Dunia II untuk memproduksi bahan bakar kendaraan yang digunakan dalam
peperangan. Proses pembuatan bahan bakar cair tersebut kemudian dilanjutkan di
Afrika Selatan (SASOL) untuk memproduksi bahan bakar transportasi. Pabrik SASOL
pertama beroperasi tahun 1956 dan sampai sekarang telah berkembang menjadi
beberapa unit.
Seperti juga gas, bahan bakar cair mempunyai rasio karbon/hidrogen lebih rendah
dari batubara asalnya, tetapi lebih besar dari yang dimiliki bahan bakar gas. Sifat
pembakarannya jauh lebih baik dari sifat pembakaran batubara asalnya. Walaupun
sifat pembakarannya tidak sebaik bahan bakar gas, tetapi emisinya juga bersih dan
cair lebih fleksibel penggunaannya.

2.2.4 Campuran Batubara-Air


Campuran batubara-air (Coal Water Fuel) sebetulnya bukan bahan bakar cair tetapi
dapat dikatakan mirip bahan bakar karena masih mengandung batubara aslinya,
tanpa mengalami perubahan kimia. Tetapi sifat-sifat campuran batubara-air mirip
dengan bahan bakar minyak terutama minyak bakar. Dengan demikian pemanfaatan
dan penangnannya dapat dilakukan seperti bahan bakar cair, kelebihan lainnya
adalah bahwa emisi oksida nitrogen relatif lebih rendah dibanding pembakaran
batubara aslinya.

Campuran batubara-air dibuat dengan mencampur batubara berukuran lolos 200


mesh dengan air pada perbandingan 50-70% batubara dan 30-50% air dan dengan
penambahan bahan imbuh (aditif). Untuk batubara peringkat rendah, diperlukan
proses pengeringan terlebih dahulu melalui proses hidrothermal.

3. BATUBARA SEBAGAI BUKAN BAHAN BAKAR

Selain sebagai bahan bakar, batubara juga dapat dimanfaatkan sebagai non bahan
bakar seperti bahan baku industri kimia, reduktor (bahan pereduksi), bahan karbon
(carbon material), dan abunya dapat digunakan sebagai bahan baku semen,
bangunan, pengeras jalan, penyubur tanah (soil conditioner) dll.

3.1 Bahan Industri Kimia


Pemanfaatan batubara sebagai bahan baku industri kimia dapat ditempuh dua cara
yakni pirolisis/karbonisasi dan gasifikasi. Dengan cara pirolisis akan dihasilkan ter
yang dapat diproses kembali menjadi bahan organik yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi seperti fenol, benzena, toluena, xylena, naftalena, amonia dll. Sedangkan
melalui proses gasifikasi akan dihasilkan gas CO dan H 2 yang selanjutnya diproses
kembali menjadi bahan-bahan organik seperti metanol, etanol, etilen glikol,
benzena, vinil asetat dll.

3.2 Pereduksi
Penggunaan batubara sebagai bahan pereduksi adalah dengan memanfaatkan
kandungan karbon yang dalam pengolahan logam fero (besi) dan non fero (mis. timah,
nikel) akan mereduksi oksida logam menjadi logam.
Penggunaan batubara jenis antrasit dari Tanjung Enim untuk peleburan timah telah
digunakan di PT Timah Bangka, sedangkan pabrik ferronikel PT Aneka Tambang
menggunakan batubara non antrasit dari Kalimantan.

Pada pengolahan bijih logam menjadi logam, bahan baku (bijih) dan batubara
diumpankan bersama-sama ke dalam tanur putar dan udara dialirkan ke pembakar
yang terletak pada dinding tanur. Proses pembakaran tak sempurna berlangsung
sehingga terbentuk gas CO dan semikokas (char). Gas CO akan mereduksi oksida besi
menjadi besi dan gas CO2. Gas CO2 selanjutnya berreaksi kembali dengan semikokas
menjadi gas CO yang digunakan kembali untuk proses reduksi.

3.3 Bahan karbon


Pemanfaatan batubara sebagai bahan karbon (carbonaceous materials) dapat
dilakukan setelah melalui peningkatan kadar karbon, yakni dengan proses karbonisasi
atau pirolisis. Kokas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
elektroda grafit, carbon brick, serat karbon (carbon fiber), carbon black, dan karbon
aktif.
Batubara peringkat rendah berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan
karbon aktif. Terdapat dua cara pembuatan karbon aktif dari batubara ykni cara
fisika dan cara kimia. Pada cara kimia, batubara dicampur dengan garam-garam
klorida (seperti seng, kalsium dan magnesium klorida) kemudian dikarbonisasi pada
suhu tinggi sehingga dihasilkan kokas yang aktif. Fungsi dari garam klorida adalah
untuk mencegah terjadinya penegnadapan ter dalam pori-pori kokas. Sedangkan
pada cara fisika, batubara dikarbonisasi terlebih dahulu, kemudian diaktivasi
menggunakan uap air atau gas CO2.

4. TEKNOLOGI BATUBARA BERSIH

Teknologi batubara bersih merupakan (Clean Coal Technology) merupakan teknologi


pemanfaatan batubara untuk menghasilkan energi yang secara lingkungan lebih
bersih, lebih efisien dibandingkan batubara secara konvensional. Penerapan
teknologi batubara bersih ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap
lingkungan dengan berkurangnya emisi SOx, NOx dan bahan polutan lainnya.
Pengurangan bahan-bahan polutan tersebut di atas dapat dilakukan melalui tahap-
tahap: sebelum pembakaran, selama pembakaran dan sesudah pembakaran.

4.1. Sebelum pembakaran


Batubara ditingkatkan terlebih dahulu kualitasnya (pencucian, UBC) atau
dikonversikan menjadi bahan bakar bentuk lain yang lebih bersih (karbonisasi,
gasifikasi, pencairan).

4.1.1 Peningkatan Kualitas (Coal Upgrading)


Peningkatan kualitas batubara dapat dilakukan dengan mengurangi kadar pengotor,
berupa abu, belerang dan air.
Pencucian Batubara
Pencucian batubara dimaksudkan untuk memisahkan pengotor-pengotor anorganik
(bahan mineral), yang terdapat sebagai abu dan belerang dalam batubara.
Pemisahan umumnya didasarkan pada perbedaan berat jenis pengotor dan batubara.
Batubara digerus pada ukuran tertentu kemudian dilakukan pencucian dengan
konsentrasi gravitasi, dense medium separation, atau jig.

Tidak semua bahan mineral dapat dipisahkan dari batubara, tergantung


keterdapatan dan keterikatannya dalam batubara. Bahan mineral bawaan (inherent
mineral matter) menyatu dengan batubara dan tidak dapat dipisahkan dengan cara
pencucian. Sedangkan bahan mineral asing (extraneous mineral matter) tersegregasi
dan dapat dipisahkan dengan cara pencucian. Oleh kerna itu, sebelum menentukan
proses pencucian perlu dilakan studi awal petrografi dan uji pencucian (uji endap
apung, float and sink test).

Ugraded Brown Coal (UBC)


UBC dikembangkan di Jepang untuk meningkatkan kualitas batubara peringkat
rendah (brown coal) melalui pengurangan kadar air (pengeringan). Dengan
mengurangi kadar air maka nilai kalor batubara meningkat dari 3500-4500 kkal/kg
menjadi 6000-6500 kkal/kg, sehingga mirip dengan nilai kalor batubara bituminus.
Dengan nilai kalor yang tinggi maka efisiensi pembakaran akan meningkat, pada
pembangkitan energi yang sama akan menghasilkan emisi pultan yan g lebih rendah
dibanding menggunakan batubara kalori yang lebih rendah.

Proses UBC mempunyai kelebihan dalam hal temperatur dan tekanan proses yang
relatif rendah dibanding proses-proses pengeringan lainnya di dunia. Batubara
dicampur dengan minyak residu dan diproses dalam rektor pada suhu 140C dan 35
kPa. Air akan keluar dari batubara dan pori-proi yang kosong akan dilapisi dan
ditutup oleh minyak residu. Dengan tertutupnya pori-pori maka batubara kering
tidak akan menyerap air kembali.

Pilot UBC kapasitas 5 ton batubara per hari telah dibangun dan diujicoba di Palimana,
Cirebon yang merupakan kerjasama antara Balitbang Energi dan Sumber Daya
Mineral dengan Japan Coal Energy Center (JCOAL). Demonstration Plant akan
dibangun di Kalimantan Selatan, sebelum dilakukan pengembangan secara komersial
(Commercial Plant)

4.1.2 Konversi Batubara


Konversi batubara adalah teknik pemanfaatan batubara melalui proses perubahan
menjadi bahan bakar bentuk lain yaitu kokas, cairan atau gas dengan berbagai
spesifikasinya
Karbonisasi Batubara
Karbonisasi adalah proses pemanasan batubara dengan kondisi pasokan udara
terbatas untuk menghasilkan char/semikokas sebagai produk utama dan cairan (ter)
dan gas sebagai produk samping. Karbonisasi suhu rendah dilakukan pada 450-600C
dan suhu tinggi pada 900-1200C. Karbonisasi suhu rendah menghasilkan char atau
semikokas yang sifat-sifatnya mirip dengan arang kayu. Kadar zat terbang masih
cukup tinggi yakni sampai 20%, mudah menyala dan tidak berasap. Karbonisasi suhu
tinggi menghasilkan kokas dengan kadar zat terbang rendah dan sulit terbakar.

Semikokas dapat digunakan untuk bahan bakar tak berasap, terutama untuk
keperluan rumah tangga dan industri kecil/rumahan. Dengan pembriketan, semikoas
mempunyai bentuk yang seragam sehingga penanganan (pengangkutan) dan
penggunaannya lebih baik.

Kokas digunakan sebagai bahan bakar pada inbdustri metalurgi (baja dan
pengecoran). Tetapi tidak semua kokas yang dihasilkan dari propses karbonisasi suhu
tinggi dapat memenuhi persyaratan sebagai kokas metalurgi. Hanya batubara
mengkokas (coking coal) yang dapat menghasilkan kokas dengan sifat fisik tinggi dan
memeuhi persyaratan kokas metalurgi.

Gasifikasi Batubara
Proses gasifikasi batubara dapat digolongkan menjadi dua jenis yakni gasifikasi
parsial dan gasifikasi total. Gasifikasi parsial dilakukan dengan memanaskan
batubara mengkokas (coking coal) pada suhu tertentu tanpa pereaksi sehingga selain
produk gas juga dihasilkan kokas dan cairan berupa ter. Gas yang dihasilkan berupa
gas kalori tinggi biasanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan disebut gas
kota. Sedangkan proses gasifikasi total adalah merubah batubara semaksimal
mungkin menjadi gas dengan mereaksikan (semua jenis) batubara dengan pereaksi
tertentu (udara, uap air, oksigen).

Produk yang dihasilkan dari gasifikasi total tergantung jenis pereaksi yang digunakan.
Apabila digunakan pereaksi udara akan dihasilkan gas kalori rendah (<200 Btu/ft 3
(producer gas) dengan komponen utama CO, H2 dan pengotor N2. Dengan
menggunakan pereaksi campuran udara dan uap air juga dihasilkan gas kalori rendah
yang disebut water gas, tetapi kualitasnya (kadar CO dan H2) sedikit lebih baik dari
producer gas. Sedangkan apabila digunakan pereaksi campuran oksigen dan uap air
akan dihasilkan gas kalori menengah yang disebut gas sintetik (syngas) dengan
komponen utama CO dan H2. Gas sintetik dapat diproses lebih lanjut menjadi gas
alam sintetik (synthetic natural gas, SNG) melalui proses metanasi. Gas alam sintetik
termasuk gas kalori tinggi (1000 Btu/ft3) dengan komponen utama berupa gas
metana.

Teknologi gasifikasi total yang dikembangkan di dunia umumnya didasarkan pada


kontak antara batubara dan pereaksi dalam reaktoe gasifikasi. Terdapat empat jenis
reaktor gasifikasi batubara yang uatama, yakni unggun tetap (fixed-bed), unggun
terfluidakan (fluidized bed), entrained bed dan molten bath bed. Pada sistem
unggun tetap batubara terletak di atas kisi yang statis atau berputar (rotating grate).
Batubara bongkah (6 50 mm) diumpankan dari atas reaktor dan pereaksi dialirkan
dari bawah kisi, sehingga alirannya berlawanan aarah (counter current). Produk gas
dikeluarkan pada bagian atas reaktor dan abu batubara dikeluarkan dari bawah
reaktor melalui kisi. Contoh teknologi yang menggunakan unggun tetap adalah Proses
Lurgi (Jerman).

Sistem unggun terfluidakan menggunakan batubara berukuran 10 100 mesh.


Sebagai pengganti kisi digunakan pelat pendistribusi (distributor plate) dalam
reaktor. Gas pereaksi masuk melalui pelat pendistribusi dengan tekanan tertentu
untuk mengangkat material unggun (biasanya kuarsa) sehingga terjadi fluidisasi.
Batubara dimasukkan melalui pengumpan ulir (screw feeder) di atas pelat
pendistribusi dan bercampur dengan material unggun membentuk unggun
terfluidakan. Salah satu teknologi gasifikasi yang menggunakan sistem uggun
terfluidakan adalah Proses Synthane.

Sistem entrained menggunakan batubara berukuran lolos 200 mesh yang dimasukkan
bersama-sama perreaksi ke dalam reaktor sehingga alirannya se arah. Temperatyur
reaktor sangat tinggi dan abu batubara biasanya dikeluarkan dari reaktor dalam
bentuk terak. Contoh teknologi yang menggunakan sistem entrained adalah Proses
Koppers-Totzek.

Dalam proses molten bath bed batubara dan perreaksi dimasukkan ke dalam sebuah
bak cairan panas yang biasanya berupa garam lebur, besi cair abu (batubara) cair.
Karbon padat larut ke dalam bak cairan tersebut dan kemudian berreaksi dengan
peraksi. Contoh teknologi gasifikasi yang menggunana sistem ini adalah Proses Atgas.

Proses gasifikasi batubara kini telah berkembang dengan maju dan dimanfaatkan
langsung pada pembangkit tenaga listrik yang dikenal dengan IGCC (Integrated
Gasification Combined Cycle), yakni proses terintegrasi pemanfaatan gasifikasi
batubara. Dalam IGCC gas yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin gas dan
menghasilkan listrik. Sedangkan uap air yang dihasilkan pada proses pendinginan
reaktor gasifikasi digunakan untuk memutar turbin uap dan menghasilkan listrik.
Dengan IGCC dihasilkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan PLT*U batubara,
yakni mencapai sekitar 50%.

Pencairan Batubara
Pencairan batubara dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni pirolisis, pencairan tak
langsung dan pencairan langsung. Pencairan batubara melalui pirolisis mirip dengan
proses gasifikasi parsial. Produk yang dihasilkan selain cairan (ter dan minyak ringan
- light oil), juga padatan (kokas, char) dan gas. Pencairan menggunakan proses
pirolisis tidak berkembang karena hasil cairannya tidak optimal.

Proses pencairan tak langsung (indirect coal liquefaction) adalah melalui proses
gasifikasi, batubara dirubah menjadi gas sintetik dengan komponen utama CO dan H 2.
Campuran gas Co dan H2 kemudian diproses lebihb lanjut menjadi bahan bakar cair
(bensin) dengan proses katalitik yang dikenal dengan sintesis Fisher-Tropsch yang
dikembangkan di Eropa (Jerman) selama Perang Dunia II. Plant pencairan batubara
dengan proses tak langsung masih beroperasi di Afrika Selatan. Walaupun proses ini
tadinya tidak ekonomis, namun karena adanya embargo minyak terhadap Afrika
Selatan akibat rasialisme, plant pencairan tetap beroperasi. Apalagi sekarang harga
minyak bumi sudah mencapai lebih dari 70 USD per barel. Beberapa negara di
antaranya Qatar, China dan juga Indonesia sedang mengembangkan proyek pencairan
batubara dengan teknologi dari SASOL.

Proses pencairan batubara secara langsung (direct coal liquefaction) dilakukan


melalui proses hidrogenasi terhadap batubara. Batubara berukuran halus direaksikan
dengan hidrogen pada tekanan dan suhu tinggi, 70-100 Bar dan 400C, dengan katalis
tertentu. Dengan proses ini diharapkann rangkaian (route-nya) lebih pendek
dibanding proses tak langsung sehingga biaya produksi lebih murah. Proses in i
dikembangkan oleh Kobe Steel (perusahaan Jepang) dan sudah mencapai tahap Pilot
Plant. Masih diperlukan tahap Demonstration Plant sebelum tahap komersial
(commercial plant). Perkiraan biaya produksi minyak sintetik (synthetic crude oil)
dengan proses ini 23 28 USD, tergantung lokasi pabrik dan batubara yang digunakan.

4.2 Selama Pembakaran


Bahan-bahan polutan seperti SOx dan NOx ditangkap atau dikurangi emisinya dalam
tungku selama proses pembakaran menggunakan sistem unggun-terfluidakan.

Penerapan teknologi pembakaran sistem unggun-terfluidakan dapat mengurangi


emisi SOx dan NOx. SOx yang terbentuk dalam pembakaran batubara dapat langsung
ditangkap dengan menambahkan kapur (CaCO3) ke dalam tungku pembakaran yang
dimasukkan bersama-sama batubara. Jumlah kapur yang ditambahkan dapat dihitung
berdasarkan kadar belerang batubaranya. Sedangkan emisi NOx akan berkurang
karena suhu pembakaran dalam tungku yang hanya sekitar 950C dapat mencegah
terbentuknya NOx dari udara pembakaran (air NOx). Normalnya, NOx dari udara
terbentuk dengan cepat pada suhu lebih dari 1650C.

4.3 Setelah pembakaran


Bahan-bahan polutan ditangkap atau dikurangi setalah proses pembakaran, sebelum
gas buang meninggalkan cerobong asap. Bahan-bahan polutan yang ditangkap setelah
pembakaran meliputi abu terbang (fly ash), SOx dan NOx. Abu terbang biasanya
ditangkap menggunakan siklon, kantung penyaring, atau pengendap elektrostatik
(electrostatic precipitator).

Siklon banyak digunakan oleh industri-industri menengah untuk menangkap


partikulat termasuk abu terbang. Walaupun kurang efektif, tetapi biaya investasinya
relatif murah. Agar lebih efektif, umumnya penggunaan siklon dikombinasikan
dengan kantung penyaring pada boiler-boiler industri, seperti pabrik tekstil.
Pengendap elektrostatik investasinya cukup besar sehingga banyak digunakan pada
pembangkit-pembangkit listrik kapasitas besar dan tidak sesuai untuk boiler-boiler
industri. Sistem pengendap elktrostatik mempunyai efisiensi tinggi dan dapat
menangkap abu terbang lebih dari 99,5%.

DAFTAR PUSTAKA
Australian Coal Industry Research Laboratory. ACIRL Thermal Coal Quality and End
Use Course, Power generation.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, 2006. Kebijakan dan Kebutuhan Bahan
Bakar Minyak. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pencairan
batubara, Jakarta, 13 Juni, 2006.
Elliot, M.A. (ed), 1981. Chemistry of Coal Utilization. Second Suppl. Vol., John Wiley
& Sons, New York.
Kannan, V., 1985. Design Condireation for Suralaya Unit 1 & 2 Steam Generators.
Paper presented at The Electric Indonesia Exhibition, Jakarta 29
October 2 November, 1985.
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2002. Batubara Indonesia.
Rance, H.C., 1975. Coal Quality Parameters and Their Influence in Coal Utilization.
Shell International Petroleum Co. Ltd.
Singer, J.G. (ed.), 1991. Combustion, Fossil Power. Combustion Engineering, Inc.,
Windsor, Connecticut.
Ward, C.R. (ed.), 1984. Coal Geology and Coal Technology. Blackwell Scientific
Publications, Melbourne.
TEKNOLOGI BATUBARA BERSIH

Oleh:
Tim Widyaiswara
PUSDIKLAT MINERAL DAN BATUBARA
2011

Anda mungkin juga menyukai