PENDAHULUAN
Perdagangan dan pemanfaatan batubara telah dimulai ratusan tahun sebelum Masehi
di Eropa dan Cina, terutama digunakan secara langsung dan sederhana untuk
keperluan memasak dan pemanas ruangan. Pada abad 18 batubara mulai digunakan
dalam industri peleburan besi, kemudian diikuti dengan pengembangan pembuatan
kokas untuk proses metalurgi. Disamping itu, pembuatan gas dari batubara melalui
proses karbonisasi juga dikembangkan pada abad yang sama untuk menghasilkan
bahan bakar gas dan ter.
Dengan adanya minyak bumi yang harganya relatif murah maka batubara mulai
ditinggalkan. Tetapi, sejak adanya krisis minyak bumi pada awal tahun 1970-an dan
juga kenaikan harga minyak bumi yang demikian tingginya menyebabkan batubara
yang tadinya ditinggalkan kini telah bangkit kembali menjadi sumber energi
alternatif yang potensial. Pemanfaatan batubara kini telah berkembang pesat tidak
saja sebagai bahan bakar langsung, tetapi juga sebagai bahan bakar tak langsung
(dalam bentuk gas dan cair) dan sebagai bahan baku industri kimia maupun industri-
industri lainnya.
Sebagai bahan bakar, batubara dapat langsung digunakan dan dibakar dalam
keadaan padat tanpa melalui proses perubahan bentuk terlebih dahulu, kecuali
proses preparasi (pencucian dan penggerusan). Batubara juga bisa dirubah terlebih
bentuknya menjadi bahan bakar bentuk lain yang lebih bersih dan fleksibel
penggunaannya, seperti bahan bakar gas dan bahan bakar cair (minyak).
Penggunaan batubara untuk pemanasan boiler telah lama dikenal misalnya dalam
boiler mesin-mesin uap kapal laut dan kereta api. Pemanfaatan untuk boiler ini
kemudian berkembang ke boiler pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan untuk
industri seperti industri pulp dan kertas. Disamping itu, batubara juga digunakan
secara langsung pada industri semen dan industri-industri kecil seperti pembakaran
bata, genteng dan kapur, gerabah, rumahan.
Teknologi siklon mirip dengan teknologi batubara bubuk, tetapi suhu pembakaran
lebih tinggi. Pengembangan teknologi ini didasarkan pada perubahan sistem
pengeluaran abu, yakni abu batubara dikeluarkan dari boiler dalam keadaan cair.
Oleh karena itu, batubara yang digunakan harus mempunyai titik leleh abu rendah.
Teknologi ini kurang berkembang secara komersial karena mempunyai kelemahan
dalam hal emisi nitrogen oksida yang tinggi dan penanganan abu.
Industri-industri tekstil di Jawa Barat, terutama di sekitar Bandung sejak tahun 2000
sudah banyak yang menggunakan bahan bakar batubara dengan teknologi kisi
maupun unggun-terfluidakan. Secara ekonomi, penggunaan batubara jauh lebih
murah dibanding menggunakan bahan bakar minyak sehingga investasi peralatan
dapat cepat kembali. Namun yang menjadi masalah adalah keberadaan industri
tekstil yang umumnya di tengah kota dan dekat dengan perumahan penduduk
menyebabkan seringnya terjadi protes masyarakat terhadap dampak negatif
penggunaan batubara. Oleh karena itu, penanganan batubara, pembakarannya dan
penanganan limbahnya harus dilakukan dengan benar.
Industri kapur
Pembakaran kapur dengan kombinasi batubara-kayu dalam tungku adalah dengan
menyemprotkan batubara halus (lolos 30 mesh) ke dalam unggun pembakaran kayu.
Dengan teknologi ini maka satu ton batubara dapat menggantikan 7-9 ton kayu bakar.
Industri Bata-Genteng
Pembakaran dengan kombinasi batubara-kayu dapat dilakukan dalam tungku
tradisional tanpa modifikasi (tungku bak terbuka). Dengan mencampurkan batubara
bongkah berukuran 2 - 7 cm ke dalam unggun kayu bakar dapat menghemat
penggunakan kayu sampai 50%. Dengan sistem ini 1 kuintal batubara dapat
menggantikan 7 10 kuintal kayu bakar.
Industri gerabah/keramik
Untuk industri gerabah diperlukan suhu pembakaran 650 - 800C, sedangkan untuk
industri keramik diperlukan suhu lebih tinggi yakni lebih dari 900C, tergantung jenis
keramik yang dibuat. Pembakaran gerabah dapat menggunakan tungku terbuka,
sedangkan pembakaran keramik biasanya menggunakan tungku tertutup.
Agar briket batubara tidak menimbulkan asap pada waktu pembakaran, maka perlu
dilakukan karbonisasi pada suhu rendah (450-600C) terhadap briket batubara
sehingga zat terbang kurang dari 20%. Disamping itu, bisa juga digunakan bahan baku
yang mempunyai kadar zat terbang rendah seperti batubara antrasit, atau dari
batubara peringkat rendah (lignit bituminus) yang telah dikarbonisasi terlebih
dahulu.
Bahan baku briket digerus sampai sampai ukuran tertentu (biasanya lolos saringan 20
mesh) kemudian dicampur dengan bahan perekat (misalnya kanji, molase, lempung
dll.) dengan perbandingan sekitar 85-90% batubara dan 10-15% bahan perekat.
Campuran tersebut kemudian dibriket pada tekanan rendah (biasanya sekitar 200
kg/cm2). Briket yang dihasilkan kemudian dikeringkan pada pada suhu kamar atau
menggunakan oven pengering.
Briket batubara umumnya dibuat dalam dua tipe atau bentuk, yakni tipe
telur/bantal/jengkol dan tipe sarang tawon (honeycomb) berbentuk silinder atau
kubus. Tipe yang pertama umumnya dapat digunakan dan dibakar pada bermacam
jenis tungku pembakaran. Sedangkan tipe yang kedua, bentuk sarang tawon,
mempunyai lubang-lubang udara yang tegak lurus sehingga memerlukan tungku
pembakaran khusus yang sesuai dengan bentuk dan diameter briket.
Briket yang dibuat dari batubara yang telah mengalami karbonisasi disebut briket
batubara terkabonisasi (carbonized coal briquette). Sedangkan briket yang dibuat
dari batubara mentah disebut briket batubara non karbonisasi (uncarbonized coal
briquette). Briket yang dibuat dari batubara antrasit terdapat di China dan Korea
untuk memasak dan pemanas ruangan. Di China, briket antrasit dibuat dalam bentuk
kubus dengan lubang-lubang tegak. Briket antrasit di Korea dikenal dengan nama
Yontan, berbentuk silinder dengan lubang-lubang tegak.
Untuk mengurangi asap dan merendahkan titik nyala briket, Jepang mengembangkan
briket batubara yang disebut briket biobatubara (biocoal), yakni briket yang dibuat
dari campuran 80% batubara berukuran 35 mesh dan 20% biomassa (ampas tebu,
serbuk gergajian, sekam padi dll.). Karena tidak menggunakan bahan perekat, maka
diperlukan pembriketan pada tekanan tinggi, yakni sekitar 2 ton per cm 2. Pilot plant
briket biobatubara kapasitas 5 ton per jam yang merupakan hibah dari Jepang
terdapat di Palimanan, Cirebon. Untuk mengurangi tekanan pembriketan dapat
digunakan bahan pengikat, tetapi apabila digunakan lempung maka nilai kalor briket
biobatubara akan turun.
Briket batubara umumnya digunakan dan dibakar dalam tungku sederhana untuk
memasak dan untuk industri kecil/rumahan yang teknologinya sederhana sehingga
pembakarannya tidak sesempurna pembakaran pada industri besar atau menengah.
Oleh karena itu, briket batubara yang tidak terkabonisasi sebaiknya digunakan dalam
tungku kecil dan ruangan dapur yang sempit agar asap yang ditimbulkan tidak
mengganggu lingkungan.
Kokas digunakan dalam proses metalurgi seperti pabrik baja dan pengecoran logam,
dan berfungsi sebagai bahan bakar, sumber karbon (terutama baja) dan penyangga
material bijih besi atau scrap. Oleh karena itu diperlukan kokas dengan sifat fisik
(kekuatan) yang tinggi. Selama ini kebutuhan baja kita dipenuhi produk kokas impor
seperti China, Jepang, Autralia.
Kokas juga bisa dibuat dari batubara tidak mengkokas (non coking coal) melalui
pembriketan dengan proses ganda (double process). Batubara dikarbonisasi (biasanya
pada suhu rendah antara 450-600C) kemudian digerus dan dicampur dengan bahan
perekat (ter, aspal, atau pitch) kemudiain dibriket. Briket mentah tersebut
kemudian dikarbonisasi kembali pada suhu tinggi. Percobaan yang dilakukan di
tekMIRA tekah dapat menghasilkan kokas yang dapat digunakan untuk pengecoran.
Gas batubara mempunyai rasio karbon/hidrogen yang jauh lebih rendah dibanding
batubara asalnya dan tidak mempunyai pengotor mineral (bahan anorganik) sehingga
sifat pembakarannya lebih baik, yakni mudah menyala, nilai kalornya tinggi dan
emisinya bersih, hanya berupa CO2 dan H2O. Disamping itu, bahan bakar gas lebih
fleksibel penggunaannya dibanding bahan bakar padat.
Selain sebagai bahan bakar, batubara juga dapat dimanfaatkan sebagai non bahan
bakar seperti bahan baku industri kimia, reduktor (bahan pereduksi), bahan karbon
(carbon material), dan abunya dapat digunakan sebagai bahan baku semen,
bangunan, pengeras jalan, penyubur tanah (soil conditioner) dll.
3.2 Pereduksi
Penggunaan batubara sebagai bahan pereduksi adalah dengan memanfaatkan
kandungan karbon yang dalam pengolahan logam fero (besi) dan non fero (mis. timah,
nikel) akan mereduksi oksida logam menjadi logam.
Penggunaan batubara jenis antrasit dari Tanjung Enim untuk peleburan timah telah
digunakan di PT Timah Bangka, sedangkan pabrik ferronikel PT Aneka Tambang
menggunakan batubara non antrasit dari Kalimantan.
Pada pengolahan bijih logam menjadi logam, bahan baku (bijih) dan batubara
diumpankan bersama-sama ke dalam tanur putar dan udara dialirkan ke pembakar
yang terletak pada dinding tanur. Proses pembakaran tak sempurna berlangsung
sehingga terbentuk gas CO dan semikokas (char). Gas CO akan mereduksi oksida besi
menjadi besi dan gas CO2. Gas CO2 selanjutnya berreaksi kembali dengan semikokas
menjadi gas CO yang digunakan kembali untuk proses reduksi.
Proses UBC mempunyai kelebihan dalam hal temperatur dan tekanan proses yang
relatif rendah dibanding proses-proses pengeringan lainnya di dunia. Batubara
dicampur dengan minyak residu dan diproses dalam rektor pada suhu 140C dan 35
kPa. Air akan keluar dari batubara dan pori-proi yang kosong akan dilapisi dan
ditutup oleh minyak residu. Dengan tertutupnya pori-pori maka batubara kering
tidak akan menyerap air kembali.
Pilot UBC kapasitas 5 ton batubara per hari telah dibangun dan diujicoba di Palimana,
Cirebon yang merupakan kerjasama antara Balitbang Energi dan Sumber Daya
Mineral dengan Japan Coal Energy Center (JCOAL). Demonstration Plant akan
dibangun di Kalimantan Selatan, sebelum dilakukan pengembangan secara komersial
(Commercial Plant)
Semikokas dapat digunakan untuk bahan bakar tak berasap, terutama untuk
keperluan rumah tangga dan industri kecil/rumahan. Dengan pembriketan, semikoas
mempunyai bentuk yang seragam sehingga penanganan (pengangkutan) dan
penggunaannya lebih baik.
Kokas digunakan sebagai bahan bakar pada inbdustri metalurgi (baja dan
pengecoran). Tetapi tidak semua kokas yang dihasilkan dari propses karbonisasi suhu
tinggi dapat memenuhi persyaratan sebagai kokas metalurgi. Hanya batubara
mengkokas (coking coal) yang dapat menghasilkan kokas dengan sifat fisik tinggi dan
memeuhi persyaratan kokas metalurgi.
Gasifikasi Batubara
Proses gasifikasi batubara dapat digolongkan menjadi dua jenis yakni gasifikasi
parsial dan gasifikasi total. Gasifikasi parsial dilakukan dengan memanaskan
batubara mengkokas (coking coal) pada suhu tertentu tanpa pereaksi sehingga selain
produk gas juga dihasilkan kokas dan cairan berupa ter. Gas yang dihasilkan berupa
gas kalori tinggi biasanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan disebut gas
kota. Sedangkan proses gasifikasi total adalah merubah batubara semaksimal
mungkin menjadi gas dengan mereaksikan (semua jenis) batubara dengan pereaksi
tertentu (udara, uap air, oksigen).
Produk yang dihasilkan dari gasifikasi total tergantung jenis pereaksi yang digunakan.
Apabila digunakan pereaksi udara akan dihasilkan gas kalori rendah (<200 Btu/ft 3
(producer gas) dengan komponen utama CO, H2 dan pengotor N2. Dengan
menggunakan pereaksi campuran udara dan uap air juga dihasilkan gas kalori rendah
yang disebut water gas, tetapi kualitasnya (kadar CO dan H2) sedikit lebih baik dari
producer gas. Sedangkan apabila digunakan pereaksi campuran oksigen dan uap air
akan dihasilkan gas kalori menengah yang disebut gas sintetik (syngas) dengan
komponen utama CO dan H2. Gas sintetik dapat diproses lebih lanjut menjadi gas
alam sintetik (synthetic natural gas, SNG) melalui proses metanasi. Gas alam sintetik
termasuk gas kalori tinggi (1000 Btu/ft3) dengan komponen utama berupa gas
metana.
Sistem entrained menggunakan batubara berukuran lolos 200 mesh yang dimasukkan
bersama-sama perreaksi ke dalam reaktor sehingga alirannya se arah. Temperatyur
reaktor sangat tinggi dan abu batubara biasanya dikeluarkan dari reaktor dalam
bentuk terak. Contoh teknologi yang menggunakan sistem entrained adalah Proses
Koppers-Totzek.
Dalam proses molten bath bed batubara dan perreaksi dimasukkan ke dalam sebuah
bak cairan panas yang biasanya berupa garam lebur, besi cair abu (batubara) cair.
Karbon padat larut ke dalam bak cairan tersebut dan kemudian berreaksi dengan
peraksi. Contoh teknologi gasifikasi yang menggunana sistem ini adalah Proses Atgas.
Proses gasifikasi batubara kini telah berkembang dengan maju dan dimanfaatkan
langsung pada pembangkit tenaga listrik yang dikenal dengan IGCC (Integrated
Gasification Combined Cycle), yakni proses terintegrasi pemanfaatan gasifikasi
batubara. Dalam IGCC gas yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin gas dan
menghasilkan listrik. Sedangkan uap air yang dihasilkan pada proses pendinginan
reaktor gasifikasi digunakan untuk memutar turbin uap dan menghasilkan listrik.
Dengan IGCC dihasilkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan PLT*U batubara,
yakni mencapai sekitar 50%.
Pencairan Batubara
Pencairan batubara dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni pirolisis, pencairan tak
langsung dan pencairan langsung. Pencairan batubara melalui pirolisis mirip dengan
proses gasifikasi parsial. Produk yang dihasilkan selain cairan (ter dan minyak ringan
- light oil), juga padatan (kokas, char) dan gas. Pencairan menggunakan proses
pirolisis tidak berkembang karena hasil cairannya tidak optimal.
Proses pencairan tak langsung (indirect coal liquefaction) adalah melalui proses
gasifikasi, batubara dirubah menjadi gas sintetik dengan komponen utama CO dan H 2.
Campuran gas Co dan H2 kemudian diproses lebihb lanjut menjadi bahan bakar cair
(bensin) dengan proses katalitik yang dikenal dengan sintesis Fisher-Tropsch yang
dikembangkan di Eropa (Jerman) selama Perang Dunia II. Plant pencairan batubara
dengan proses tak langsung masih beroperasi di Afrika Selatan. Walaupun proses ini
tadinya tidak ekonomis, namun karena adanya embargo minyak terhadap Afrika
Selatan akibat rasialisme, plant pencairan tetap beroperasi. Apalagi sekarang harga
minyak bumi sudah mencapai lebih dari 70 USD per barel. Beberapa negara di
antaranya Qatar, China dan juga Indonesia sedang mengembangkan proyek pencairan
batubara dengan teknologi dari SASOL.
DAFTAR PUSTAKA
Australian Coal Industry Research Laboratory. ACIRL Thermal Coal Quality and End
Use Course, Power generation.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, 2006. Kebijakan dan Kebutuhan Bahan
Bakar Minyak. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pencairan
batubara, Jakarta, 13 Juni, 2006.
Elliot, M.A. (ed), 1981. Chemistry of Coal Utilization. Second Suppl. Vol., John Wiley
& Sons, New York.
Kannan, V., 1985. Design Condireation for Suralaya Unit 1 & 2 Steam Generators.
Paper presented at The Electric Indonesia Exhibition, Jakarta 29
October 2 November, 1985.
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2002. Batubara Indonesia.
Rance, H.C., 1975. Coal Quality Parameters and Their Influence in Coal Utilization.
Shell International Petroleum Co. Ltd.
Singer, J.G. (ed.), 1991. Combustion, Fossil Power. Combustion Engineering, Inc.,
Windsor, Connecticut.
Ward, C.R. (ed.), 1984. Coal Geology and Coal Technology. Blackwell Scientific
Publications, Melbourne.
TEKNOLOGI BATUBARA BERSIH
Oleh:
Tim Widyaiswara
PUSDIKLAT MINERAL DAN BATUBARA
2011