Anda di halaman 1dari 30

BAB III

GEOTEKNIK

3.1 Kajian Geoteknik


Aspek geoteknik bertujuan untuk menentukan sifat fisik dan mekanik batuan yang
menyusun material penutup (overburden), batuan dasar dan lapisan pyrolusit.
Pengkajian data hasil pengujian geoteknik akan menghasilkan data sifat material yang
akan digunakan untuk perancangan tambang, terutama dalam penentuan dimensi lereng
(sudut dan tinggi jenjang) yang aman/mantap untuk lereng penggalian pyrolusit dan
lereng timbunan tanah penutup.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 55, Tahun 1995,
diantaranya menyatakan bahwa untuk lereng bukaan tambang yang tinggi keseluruhan
(overall) lebih besar dari 15 meter, maka harus ada analisis geoteknik yang didukung
hasil penelitian, yang menyatakan bahwa bukaan tersebut dalam keadaan mantap dan
aman.
Masalah kemantapan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan kegiatan
penggalian maupun kegiatan penimbunan merupakan masalah yang penting, karena ini
menyangkut masalah keselamatan pekerja dan peralatan serta manusia dan bangunan
yang berada di sekitar lereng tersebut. Dalam pekerjaan penambangan dengan cara
tambang terbuka, lereng yang tidak mantap akan dapat mengganggu kelancaran
produksi.
Di alam tanah dan bangunan umumnya berada dalam keadaan setimbang, artinya
keadaan distribusi tegangan pada tanah atau batuan tersebut dalam keadaan mantap.
Apabila pada tanah atau batuan tersebut ada kegiatan penggalian, penimbunan,
penurunan, pengangkutan, erosi, atau aktivitas lain, sehingga menyebabkan
keseimbangannya terganggu, maka tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai
keseimbangan baru dengan cara pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran.
Untuk menganalisis kemantapan lereng perlu terlebih dahulu diketahui system
tegangan yang bekerja pada tanah atau batuan serta sifat fisik dan mekaniknya.
Tegangan di dalam massa tanah atau batuan dalam keadaan alamiahnya adalah tegangan
vertikal, tegangan horizontal, dan tekanan air pori. Sedangkan sifat fisik dan
mekaniknya antara lain adalah bobot isi, kohesi, dan sudut geser dalam. Faktor ini secara
langsung turut mempengaruhi kemantapan dari suatu lereng.
Secara prinsip, pada suatu lereng sebenarnya berlaku dua macam gaya, yaitu
gaya penahan dan gaya penggerak. Gaya penahan, yaitu gaya yang menahan massa dari
pergerakan sedangkan gaya penggerak adalah gaya yang menyebabkan massa bergerak.
Lereng akan longsor jika gaya penggeraknya lebih besar dari gaya penahan.
Peranan geoteknik dalam perancangan tambang adalah melakukan pendekatan
kepada kondisi massa tanah dan batuan yang kompleks, menggunakan teknik-teknik dan
instrument-instrument yang tersedia dlam rekayasa geoteknik, sehingga sifat-sifat dan
perilaku massa tanah dan batuan betul-betul telah dikuasai, sepenuhnya sebelum
membangun suatu struktur (lereng, terowongan, sumuran) pada massa tanah dan batuan
tersebut.
Tujuan utama program penyelidikan geoteknik dalam suatu proyek
pertambangan adalah untuk :
1. Memperoleh data kuantitatif kondisi geologi, hidrologi, hidrogeologi,sifat fisik
dan mekanik.
2. Mengetahui karakteristik massa batuan atau tanah sebagai dasar perancangan
penambangan.
3. Menyusun suatu klasifikasi dari berbagai tipe urutan stratigrafi batuan atap atau
lantai, dan untuk mengkaji stabilitas relatifnya di bawah tegangan terinduksi
akibat penambangan.
4. Mengembangkan rancangan lereng yang stabil untuk tambang terbuka atau
rancangan masuk/pilar (untuk tambang bawah tanah) untuk penambangan yang
akan datang berdasarkan analisis sensitivitas terhadap kondisi geoteknik dari
strata atau kedalaman overburden.
Menurut Kepmen Pertambangan dan Energi Nomor : 555K/26/M.PE/1995
Pasal 241
Tinggi permuka kerja dan lebar teras kerja :
1. Kemiringan, tinggi dan lebar teras harus dibuat dengan baik dan aman untuk
keselamatan para pekerja agar terhindar dari material atau benda jatuh.
2. Tinggi jenjang (bench) untuk pekerjaan yang dilakukan pada lapisan yang
mengandung pasir, tanah liat, kerikil, dan material lepas lainnya harus:
a. Tidak boleh lebih dari 2,5 meter apabila dilakukan secara manual;
b. Tidak boleh lebih dari 6 meter apabila dilakukan secara mekanik dan
c. Tidak boleh lebih dari 20 meter apabila dilakukan dengan menggunakan
clamshell, dragline, bucket wheel excavator atau alat sejenis kecuali
mendapat persetujuan Kepala Pelaksanaan Inspeksi Tambang.
3. Tinggi jenjang untuk pekerjaan yang dilakukan pada material kompak tidak
boleh lebih dari 6 meter, apabila dilakukan secara manual.
4. Dalam hal penggalian dilakukan sepenuhnya dengan alat mekanis yang
dilengkapi dengan kabin pengaman yang kuat, maka tinggi jenjang maksimum
untuk semua jenis material kompak 15 meter, kecuali mendapat persetujuan
Kepala Pelaksanaan Inspeksi Tambang.
5. Studi kemantapan lereng harus dibuat apabila:
a. Tinggi jenjang keseluruhan pada sistem penambangan berjenjang lebih dari
15 meter, dan
b. Tinggi setiap jenjang lebih dari 15 meter
6. Lebar lantai teras kerja sekurang-kurangnya 1,5 kali tinggi jenjang atau
disesuaikan dengan alat-alat yang digunakan sehingga dapat bekerja dengan
aman dan harus dilengkapi dengan tanggul pengaman (safety bem) pada tebing
yang terbuka dan diperiksa pada setiap gilir kerja dari kemungkinan adanya
rekahan, tekanan, atau kelemahan lainnya.

3.2 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kemantapan Lereng


Faktor faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisis kemantapan lereng
adalah sebagai berikut :
a. Penyebaran batuan
Macam tanah atau batuan yang terdapat di daerah penyelidikan harus diketahui,
demikian juga penyebaran serta hubungan antar batuan. Ini perlu dilakukan karena
sifat-sifat fisik dan mekanis suatu tanah atau batuan berbeda dengan tanah atau
batuan lain sehingga kekuatan menahan bebannya sendiri juga berbeda.
b. Relief permukaan bumi
Faktor ini mempengaruhi laju erosi dan pengendapan serta menentukan arah aliran
air permukaan dan air tanah. Hal ini disebabkan untuk daerah yang curam, kecepatan
aliran air permukaan tinggi dan mengakibatkan pengikisan lebih intensif
dibandingkan pada daerah yang landai. Karena erosi yang intensif, banyak dijumpai
singkapan tanah atau batuan dan ini menyebabkan pelapukan yang lebih cepat.
Batuan yang lapuk mempunyai kekuatan yang rendah sehingga kemantapan lereng
berkurang.
c. Struktur geologi
Struktur geologi yang perlu dicatat adalah sesar, kekar, bidang perlapisan,
ketidakselarasan, dan sebagainya. Ini merupakan hal yang penting di dalam analisis
kemantapan lereng karena struktur merupakan bidang lemah di dalam massa batuan
dan dapat menurunkan kemantapan lereng. Hal ini dikaitkan dengan orientasi lereng
dan diskontinuitas batuan.
d. Iklim
Iklim berpengaruh terhadap kemantapan lereng karena iklim mempengaruhi
perubahan temperatur. Temperatur yang cepat sekali berubah dalam waktu yang
singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan. Kabupaten Ketapang ber iklim
tropis dengan suhu rata rata 23,70 C 26,70 C dan suhu pada siang hari
mencapai 30,80 C serta memiliki curah hujan rata rata 3696,1 mm / th dengan
curah hujan rata rata per tahun sebanyak 214 kali, sedangkan kecepatan angin
adalah 3,1 knot dan merupakan yang tertinggi di Kalimantan Barat.
e. Geometri lereng
Geometri lereng mencakup tinggi lereng, dan sudut kemiringan lereng. Lereng yang
terlalu tinggi akan mengakibatkan menjadi tidak mantap, dan cenderung lebih mudah
longsor dibandingkan lereng yang tidak terlalu tinggi bila susunan batuannya sama.
Lereng menjadi semakin kurang mantap jika kemiringannya besar. Muka air tanah
yang dangkal menjadikan lereng sebagian besar basah dan batuannya mempunyai
kandungan air yang tinggi. Batuan dengan kandungan air yang tingi kekuatannya
menjadi rendah sehingga lereng lebih mudah longsor. Hal ini dikarenakan air yang
terkandung dalam tanah atau batuan akan menambah beban batuan tersebut.
f. Gaya luar
Gaya luar sedikit banyak dapat mempengaruhi kemantapan suatu lereng. Gaya ini
berupa getaran-getaran yang berasal dari sumber-sumber yang berada di dekat lereng
tersebut. Getaran ini misalnya ditimbulkan oleh peledakan, lalu lintas kendaraan, dan
sebagainya.

3.3 Data Sebagai Dasar Analisis


Data utama sebagai dasar analisis kemantapan suatu lereng adalah : geometri lereng,
struktur geologi, serta sifat fisik dan sifat mekanik.

a. Geometri Lereng
Geometri lereng yang perlu diketahui adalah :
1. Orientasi lereng (jurus/kemiringan)
2. Tinggi dan kemiringan lereng (tiap jenjang maupun total)
3. Lebar jenjang (berm)
b. Struktur Batuan
Struktur batuan yang mempengaruhi kemantapan suatu lereng adalah adanya bidang
bidang lemah, bidang-bidang sesar, perlapisan dan rekahan.
c. Sifat Fisik
Sifat fisik batuan yang diperlukan sebagai dasar analisis kemantapan lereng adalah :
1. Bobot isi batuan
2. Porositas batuan
3. Kandungan air dalam batuan
d. Sifat Mekanik
Sifat mekanik yang diperlukan diantaranya adalah kuat tekan dan kuat tarik batuan
untuk memperoleh nilai kohesi, sudut geser dalam, poisson ratio, dan modulus
elastisitas.

3.4 Faktor kemanan


(F) = gaya penahan / gaya penggerak
Dimana untuk keadaan :
F > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap
F = 1,0 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor
F < 1,0 : lereng tidak mantap

3.5 Dasar-Dasar Mekanika Longsoran


Sifat-sifat material yang relevan dengan masalah kemantapan lereng adalah sudut
geser dalam (), kohesi (C) dan berat jenis () batuan. Pengertian sudut geser dalam dan
kohesi akan dijelaskan pada Gambar 4.1.


Tegangan geser


Kohesi C

Tegangan normal

Gambar 3.1
Hubungan antara tegangan geser dan tegangan normal
Gambaran secara grafik ini menjelaskan secara sederhana tentang suatu perconto
batuan yang mengandung bidang diskontinyu dan kemudian padanya bekerja tegangan
geser dan tegangan normal sehingga akan menyebabkan batuan tersebut retak pada
bidang diskontinyu dan mengalami geseran. Tegangan geser yang dibutuhkan sehingga
batuan tersebut retak dan bergeser, akan bertambah sesuai pertambahan tegangan
normal. Pada grafik hal ini berhubungan secara linier membentuk suatu garis yang
membentuk sudut sebesar terhadap horizontal. Sudut inilah yang dinamakan sudut
geser dalam. Bila tegangan normal dibuat nol dan kemudian batuan diberikan tegangan
tegangan geser yang dibutuhkan pada saat batuan mulai retak adalah merupakan harga
kohesi (C) dari batuan tersebut.
Hubungan antara tegangan geser () dan tegangan normal () dapat dinyatakan
sebagai berikut :
= C + tan ..................................................................................(4.1)

3.5.1 Longsoran Akibat Beban Gravitasi


Dilihat suatu massa seberat W yang berada dalam keadaan setimbang diatas suatu
bidang yang membentuk sudut terhadap horizontal.

R
W Sin

W W Cos

Gambar 3.2
Kesetimbangan benda diatas bidang miring

Gaya berat yang mempunyai arah vertikal dapat diuraikan pada arah sejajar dan
tagak lurus bidang miring. Komponen gaya berat yang sejajar bidang miring dan yang
cenderung menyebabkan benda untuk menggelincir adalah W sin . Sedangkan
komponen gaya tegak lurus bidang dan merupakan gaya yang menahan benda untuk
menggelincir adalah W cos atau gaya normal. Kemudian tegangan normal dapat
diberikan sebagai berikut :
( W . cos )
.................................................................................(4.2)
A
A = Luas dasar benda
Diasumsikan bahwa tegangan geser didefinisikan oleh persamaan (4.1) dan
disubstitusikan tegangan normal dari persamaan (3.2), dihasilkan sebagai berikut :
W . cos
c . tan
A
atau R = cA + W . cos . Tan .............................................................(4.3)
dengan : R = . A adalah gaya geser yang menahan benda tergelincir ke bawah.
Benda dalam kondisi batas kesimbangan apabila gaya yang menyebabkan benda
tergelincir tepat sama dengan gaya yang menahan benda atau dapat dinyatakan sebagai
berikut :
W Sin = c. A + ( W Cos ) Tan .....................................................(4.4)
Bila nilai kohesi (c) = 0, kondisi batas keseimbangan dapat dinyatakan :
= .............................................................................................(4.5)
yang dapat diturunkan dari persamaan (4.4).

3.5.2 Pengaruh Tekanan Air Pada Tegangan Geser


Pengaruh tekanan air pada tegangan geser akan lebih mudah dimengerti dengan
menggunakan analogi seperti diterangkan di bawah ini.
Sebuah bejana diisi dan diletakkan di atas bidang miring seperi terlihat pada Gambar
4.3. Susunan gaya yang bekerja disini sama dengan yang bekerja pada sebuah benda
diatas bidang miring seperti diterangkan pada Gambar 4.2. Untuk penyederhanaan,
kohesi antara dasar bejana dan bidang miring diasumsikan nol.

Gambar 3.3
Bejana Terisi Air Diatas Bidang Miring 2)
Menurut persamaan (4.5) = , bejana dan isinya akan mulai tergelincir pada saat
1 = . Dasar bejana kini dilubangi sehingga air dapat masuk ke celah antara dasar
bejana dan bidang miring memberikan tekanan air sebesar u atau gaya angkat U = u.A,
dengan A luas dasar bejana.
Gaya normal W cos 2 sekarang dikurangi oleh gaya angkat U, dan besarnya gaya
yang menahan gelincir adalah :
R = ( W cos 2 U ) Tan .......................................................................(4.6)
Seandainya berat per unit volume dari bejana yang berisi air adalah t, dan berat per
unit volume air adalah w, maka W = t.h.A dan U = w.hw.A, dimana h dan hw adalah
seperti tertera pada Gambar 4.4.
Besarnya hw = h . cos 2 dan
U = (w/t).W cos 2 .............................................................................(4.7)
Substitusikan ke persamaan (6) didapat :
R = W cos 2 (1 - w/t) tan ...............................................................(4.8)
Dan kondisi batas kesetimbangan yang terdefinisi pada persamaan (4.4) menjadi :
Tan 2 = (1 - w/t) tan ......................................................................(4.9)
Gambar 3.4
Takanan Air Pada Celah Antara Bejana dan Bidang Miring 2)

Misal sudut geser antara muka bejana / bidang miring antara 30, sebelum bocor
bejana akan tergelincir pada kemiringan bidang 1 = 30 (dari persamaan (4.5)). Tau
bejana bocor akan tergelincir pada kemiringan kecil, disebabkan adanya gaya U yang
mengurangi gaya normal sehingga mengurangi gaya yang menahan bejana untuk
tergelincir. Berat total bejana dan air hanya sedikit lebih besar dari berat air. Misal w /
t = 0,9 dan = 30. Persamaan (4.9) memperlihatkan bahwa bejana bocor akan
tergelincir ketika bidang miring pada 2 = 3 18.

3.5.3 Tegangan Efektif


Pengaruh tekanan air pada dasar bejana adalah sama seperti pengaruh tekanan air
pada permukaan geser dari percontoh. Tegangan normal yang bekerja tegak lurus
permukaan bidang geser terkurangi menjadi tegangan efektif ( - u) oleh tekanan air u.
Hubungan antara kekuatan geser dan kekuatan normal yang ditentukan dengan
persamaan (4.1) sekarang berubah menjadi :
= c + ( u)Tan ..................................................................................(4.10)
Pada banyak batuan keras, tanah berpasir dan kerikil sifat kohesi dan sudut geser
dalam dari material tidak secara signifikasi terubah oleh adanya air dan didapat
pengurangan dalam kekuatan geser material ini karena berkurangnya tegangan normal
yang tegak lurus permukaan. Konsekuensinya, tekanan air adalah kandungan air yang
penting dalam menentukan karakteristik kekuatan batuan keras (hard rock), pasir dan
kerikil. Dalam pengertian kestabilan lereng dalam material ini, adanya sedikit volume air
pada tegangan tinggi, terkurung dalam massa batuan, lebih penting daripada volume air
yang besar keluar dari akuifer drainage bebas.
Dalam kasus batuan lunak (soft rock) seperti batu lempung, lanau dan juga dalam
kasus lempung, kohesi dan sudut geser dalam, keduanya dapat berubah secara nyata
dengan berubahnya kandungan air dan ini perlu, ketika mengujinya, untuk menjaga /
menjamin bahwa kandungan air dari material selama uji sedekat mungkin dengan yang
ada di lapangan.

Gambar 3.5
Tegangan Efektif
3.5.4 Pengaruh Tekanan Air Pada Rekahan Tarik
Perhatikan suatu kasus, dari blok dalam keadaan setimbang yang terletak pada
bidang miring, tatapi dalam hal ini, dianggap bahwa blok terpisah oleh suatu retakan
tarik yang terisi oleh air. Tekanan air dalam retakan tarik bertambah secara linear dengan
kedalaman dan gaya total V, karena bekerjanya tekanan air ini pada muka samping dari
blok, yang bekerja turun bidang miring.
Gambar 3.6
Pengaruh Tekanan Air pada Tension Crack 2)

Anggap bahwa tekanan air diteruskan memotong bidang singgung dari retakan tarik
dan dasar dari blok, tekanan air terdistribusi sepanjang dasar blok. Hasil distribusi
tekanan air dalam bentuk gaya angkat U yang mengurangi gaya normal yang bekerja
tegak lurus permukaan tersebut.
Kondisi keseimbangan batas terhadap blok yang terkena gaya air V dan U, yang
sebagai tambahan dari beratnya sendiri, ditentukan oleh :
W Sin + V = c A + (W Cos U) Tan ..................................................(4.11)
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa gaya gangguan cenderung menyebabkan
longsoran ke bawah bidang bertambah dan gaya geser penahan longsoran berkurang dan
oleh karena itu, U dan V keduanya menyebebkan berkurangnya kestabilan. Meskipun
tekanan air yang terlibat relatif kecil, tekanan tersebut bekerja pada area yang sangat
luas, dan oleh karena itu gaya air dapat menjadi sangat besar. Dalam beberapa contoh
praktis yang dibicarakan pada bab selanjutnya, adanya air dalam lereng memberikan
timbulnya gaya angkat dan gaya air dalam retakan tarik yang didapatkan menjadi
pertimbangan dalam mengendalikan kestabilan lereng.
3.5.5 Perkuatan Untuk mencegah Longsoran
Salah satu cara untuk menstabilkan blok terhadap longsoran adalah dengan cara
memasang baut batuan. Perhatikan blok terletak pada bidang miring dan mengalami
gaya angkat U dan gaya V karena tekanan air dalam retakan tarik. Suatu baut batuan
ditegangkan dengan beban T dipasang pada sudut terhadap bidang miring. Komponen
gaya T yang sejajar bidang adalah T Cos dan komponen gaya T yang tegak lurus
bidang adalah T sin . Kondisi kesetimbangan batasnya adalah :
W Sin + V T Cos = c A + (W Cos U + T Sin ) Tan ......................(4.12)
Persamaan tersebut memperlihatkan bahwa tegangan baut mengurangi gaya
penggerak lonsoran dan menambah gaya normal dan karena itu ketahanan geser antara
dasar blok dan bidang miring bertambah.

3.5.6 Faktor Keamanan Lereng


Semua persamaan kestabilan blok pada bidang miring telah dituliskan untuk kondisi
keseimbangan batas, artinya gaya penggerak dan gaya penahan longsoran dalam
keadaan setimbang. Untuk kondisi lain dapat dinyatakan dengan suatu indeks yang
disebut faktor keamanan. Faktor keamanan dapat ditentukan sebagai nisbah dari total
gaya penahan longsoran dan total gaya penggerak longsoran.
Perhatikan suatu blok yang mengalami gaya air dan distabilkan oleh baut batuan
tertegangkan (persamaan 4.12) faktor keamanannya diberikan oleh :
cA (W Cos U T Sin )Tan
F ...........................................(4.13)
W Sin V T Cos

Dalam Keadaan setimbang faktor keamanan, F = 1. Ketika keadaan stabil, gaya


penahan lebih besar dari gaya penggerak dan nilai faktor keamanan akan lebih besar dari
satu (1).
Untuk memperbesar faktor keamanan dapat dilakukan dengan :
- Mengurangi U dan V, oleh drainage
- Menambah nilai T, oleh pemasangan baut batuan
- Merubah berat, W
Tegangan baut diperlukan untuk memberikan faktor keamanan minimum ketika sudut
memenuhi persamaan :
Tan = (1/F) Tan ......................................................................................(4.14)
Pengalaman praktis menyarankan bahwa bertambahnya faktor keamanan dari 1,0 ke 1,3
secara umum akan cukup untuk lereng tambang. Untuk lereng yang diperlukan untuk
jalan angkut atau instalasi penting faktor keamanan 1,5 biasanya lebih baik.

3.6 Jenis Jenis Longsoran


Jenis-jenis longsoran yang dikenal dalam tambang terbuka (Lihat Gambar 4.7)
adalah:
a. Longsoran Busur.
b. Longsoran Bidang (melingkar).
c. Longsoran Baji.
d. Longsoran Guling (topple).

Gambar 3.7
Jenis-Jenis Longsoran
Longsoran pada kegiatan pertambangan secara umum diklasifikasikan menjadi
empat bagian, yaitu : longsoran bidang (plane failure), longsoran guling (toppling
failure), longsoran busur (circular failure), dan longsoran baji (wedge failure)
Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi disepanjang
bidangluncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa rekahan,
sesar maupun bidang perlapisan batuan.
Syarat-syarat terjadinya longsoran bidang adalah berikut :
- Bidang luncur mempunyai arah yang tidak berbentuk lingkaran.
- Jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang luncur dapat dilihat
di muka lereng, dengan kata lain kemiringan bidang gelincir lebih kecil dari
kemiringan lereng.
- Kemiringan bidang luncur lebih besar dari pada sudut geser dalamnya.
- Terdapat bidang bebas pada kedua sisi longsoran.

Gambar 3.8
Longsoran Bidang

a. Longsoran guling (toppling failure)


Longsoran guling terjadi pada lereng terjal untuk batuan yang keras dengan
bidang-bidang lemah tegak atau hampir tegak dan arahnya berlawanan dengan
arah kemiringan lereng.
Kondisi untuk menggelincir atau
mengguling ditentukan oleh
sudut geser dalam dan
kemiringan sudut bidang
gelincirnya.
Gambar 3.9
Longsoran Guling

Dari gambar diatas terdapat empat kondisi yaitu :


1. Jika d < dan b/h > tan d, balok dalam kondisi stabil, artinya lereng
tersebut dalam kondisi Aman.
2. Jika d > dan b/h > tan d, balok akan menggelincir, artinya material pada
lereng tersebut akan menggelincir (Tidak Aman)
3. Jika d > dan b/h < tan d, balok akan menggelincir dan mengguling,
artinya material pada lereng tersebut akan menggelincir dan mengguling
(Tidak Aman)
4. Jika d < dan b/h < tan d, balok akan langsung mengguling, artinya
material pada lereng tersebut akan langsung mengguling atau terjadi
longsoran guling (Tidak Aman).

b. Longsoran busur (circular failure)


Longsoran busur merupakan longsoran yang paling umum terjadi di alam,
terutama pada tanah dan batuan yang telah mengalami pelapukan sehingga
hampir menyerupai tanah. Pada batuan yang keras longsoran busur hanya dapat
terjadi jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan dan mempunyai bidang-
bidang lemah (rekahan) dengan jarak yang sangat rapat kedudukannya.
Dengan demikian longsoran busur juga terjadi pada batuan yang rapuh atau
lunak serta banyak mengandung bidang lemah, maupun pada tumpukan batuan
yang hancur
Gambar 3.10

Longsoran Busur
c. Longsoran baji
Longsoran baji terjadi apabila terdapat dua bidang lemah atau lebih perpotongan
sedemikian rupa sehingga sehingga membentuk baji terhadap lereng longsoran
baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu longsoran tunggal
(single sliding) dan longsoran ganda (double sliding). Untuk longsoran tunggal,
luncuran terjadi pada salah satu bidang, sedangkan untuk longsoran ganda
luncuran terjadi pada perpotongan kedua bidang.
Longsoran baji tersebut akan terjadi bila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Kemiringan lereng lebih besar daripada kemiringan garis potong kedua
bidang lemah
b. Sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser
dalamnya
Gambar 3.11
Longsoran Baji
Sama halnya dengan longsoran bidang, longsoran baji ini juga diakibatkan
oleh adanya struktur geologi yang berkembang. Perbedaannya adalah adanya dua
struktur geologi (dapat sama jenis atau berbeda jenis dan dapat single ataupun set)
yang berkembang dan saling berpotongan Longsoran baji ini terjadi bila dua buah
jurus bidang diskontinue berpotongan dan besar sudut garis potong kedua bidang
tersebut (fi) lebih besar dari sudut geser dalam () dan lebih kecil dari sudut
kemiringan lereng (i).
1. Longsoran sepanjang perpotongan bidang A dan B bisa terjadi bila kemiringan
garis potong ini lebih kecil daripada dip muka lereng, yang diukur sesuai
dengan arah longsoran, yf >yi
2. Longsoran diasumsikan terjadi bila kemiringan garis perpotongan melebihi
sudut gesek dalam, yf > yi > f

F1 tergantung pada paralelisme antara kekar dan kemiringan muka lereng(strike)


F2 berhubungan dengan sudut dip kekar pada longsoran bidang
F3 menunjukkan hubungan antara kemiringan lereng dan kemiringan kekar
F4 tergantung pada kondisi apakah lereng alamiah, digali dengan peledakan
presplit, peledakan smooth, penggalian mekanis atau peledakan buru
Swindells (1985) melakukan penelitian mengenai pengaruh peledakan pada
kemantapan 16 lereng di Scotlandia. Hasil penyelidikannya menunjukkan bahwa tingkat
tebal atau kedalaman kerusakan lereng dipengaruhi oleh metoda penggalian yang
dipakai (lihat Tabel 3.2).
Tabel 3.1
Bobot pengatur Swindells SMR (Swindells, 1985)
Metoda penggalian No Tebal/kedalaman kerusakan SMR
Selang (m) Rata (m) F4
Lereng alamiah 4 0 0 15
Peledakan presplitting 3 0 - 0.6 0.5 10
Peledakan smooth 2 24 3 8
Peledakan masal 3 36 4 0

Hasil penyelidikan Swindell menunjukkan kesamaan umum antara


tebal/kedalaman zone kerusakan dengan faktor koreksi F4 menurut Romana.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa tidak ada faktor khusus untuk
penentuan kemantapan lereng menurut longsoran baji. Maka untuk menganalisis
longsoran baji adalah dengan cara menghitung RMR untuk masing-masing sistem
kekar. Cara langsung penentuan kemantapan lereng menurut longsoran baji dapat
menggunakan metoda Hoek & Bray (1981). Cara ini menggunakan analisis
stereonet.
Pada tahun 1980 Selby melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara
kekuatan massa batuan profil singkapan dan kemiringan lereng di Antartika dan
Selandia Baru. Dia menekankan pada derajat pelapukan dan orientasi kekar untuk
membuat Klasifikasi Kekuatan Massa Geomorfik yang tujuannya untuk
meramalkan kemantapan lereng dan disebut sebagai Rock Mass Strength (RMS).
Dari 300 macam massa batuan penelitiannya menghasilkan bobot numerik
maksimum untuk parameter-parameter yang berpengaruh pada kemantapan lereng
yang ditunjukkan pada Tabel 3 dan 4, sebagai alternatif dari RMR.
Tabel 3.2
Bobot numerik maksimum untuk parameter klasifikasi RMS (Selby, 1980 ).
Batuan utuh 20 18 14 10 5
Pelapukan 10 9 7 5 3
Jarak kekar 30 28 21 15 8
Orientasi kekar 20 18 14 9 5
Lebar kekar 7 6 5 4 2
Kemenerusan kekar 7 6 5 4 1
Aliran air tanah 6 5 4 3 1
Sangat Kuat Sedang Lemah Sangat
kuat lemah
Bobot total 100-91 90-71 70-51 50-26 <26

3.7 Uji Laboratorium


Pengambilan sampel batuan dilakukan pada singkapan-singkapan pyrolusit. Jenis
pengujian untuk mengetahui karakteristik material penyusun lapisan napal adalah:
a) .Uji sifat fisik, untuk mendapatkan parameter-parameter :
Bobot isi asli
Bobot isi kering
Bobot isi jenuh
Apperent SG
True SG
Kadar air asli
Kadar air jenuh
Derajad kejenuhan
Porositas
Void ratio
Tabel 3.3
Uji Sifat Fisik Batu Pasir
Nama Contoh 1 2 2 Rata-rata
Sifat fisik 1 2 3
Berat asli (gr) = Wn 51.38 50.33 55.56 52.42
Berat jenuh (gr) = Ww 53.84 50.88 52.88 52.53
Berat tergantung (gr) = Ws 27.25 27.26 26.26 26.92
Berat kering (gr) = Wo 48.75 40.47 48.67 45.96
Bobot isi asli (gr/cm) 1.9323 2.1308 2.0872 2.05
Bobot isi kering (gr/cm) 1.8334 1.7134 1.8283 1.79
Bobot isi jenuh (gr/cm) 2.0248 2.1541 1.9865 2.06
Apparent SG 1.8334 1.7134 1.8283 1.79
True SG 2.2674 3.0636 2.1718 2.5
Kadar air asli (%) 5.3949 24.3637 14.1566 14.64
Kadar air jenuh (%) 10.441 25.7228 8.6501 14.94
Derajat kejenuhan (%) 51.6699 94.7166 163.658 103.35
Porositas (%) 19.1425 44.0728 15.8152 26.34
Void ratio 0.2367 0.788 0.1879 0.4
Sumber : Pengujian uji lab Tekmira

A. Uji Kuat Tekan Uniaksial


Dari tabel 3.5, nilai rata-rata kuat tekan uniaksial adalah 27.8 MPa.
Sehingga dapat diklasifikasikan dalam golongan low strength (Bieniawski,
1973). Pada penelitian ini, laju pembebanan yang diberikan berkisar 0,14 MPa/s.
Besar laju pembebanan ini masih dalam selang laju pembebanan standar yang
disarankan Horibe (1970) yaitu 0,1 1,0 MPa/s. Walaupun tidak masuk ke dalam
selang laju pembebanan yang disarankan ISRM yaitu 0,5 1,0 MPa/s
Tabel 3.4
Hasil Uji Kuat Tekan Uniaksial (UCS)
Kode Jenis Panjang Diameter c E Waktu Laju
No conto Batuan (mm) (mm) (Mpa) (Gpa) (s) pembebanan
(MPa/s)

1 UCS Sand 100,55 44,93 26,50 8,01 0,25 206 0,13


A Stone
2 UCS Sand 100,38 44,92 27,78 8,04 0,24 197 0,14
B Stone

3 UCS Sand 99,20 44,87 29,11 7,61 0,24 186 0,16


C Stone

Rata Rata 27,8 7,89 0,24 196,33 0,14

B. Uji Kuat Tarik Tak Langsung (Brazilian Test)


Uji kuat tarik tak langsung (Brazilian test) pada penelitian ini
memberikan nilai kuat tarik rata-rata sebesar 3,11 MPa (lihat Tabel 3.6).
Tabel 3.5
Hasil Uji Kuat Tarik Tak Langsung (Brazilian test)
No Kode Jenis L/D t Waktu Laju pembebanan
contoh Batuan (Mpa) (s)
(MPa/s)
1 BZ A Sand Stone 0,50 2,80 55 0,05

2 BZ B Sand Stone 0,52 3,27 86 0,04

3 BZ C Sand Stone 0,50 3,26 88 0,04

Rata-rata 3,11 76,33 0,04

C. Uji Triaksial
Hasil uji triaksial konvensional dan multitahap adalah nilai tekanan
pemampatan (3), tegangan aksial (1) saat contoh batuan runtuh dan regangan
aksial (a) contoh batuan. Ketiga data hasil pengujian tersebut kemudian
dianalisis menggunakan kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb, Bieniawski dan
Hoek-Brown.
Hasil Uji Triaksial Metode Konvensional dan Multitahap. Menurut Hoek
(2000), untuk menentukan sifat mekanik batuan melalui uji triaksial diperlukan
sekurang-sekurangnya lima contoh batuan. Pada penelitian ini, Untuk menetukan
sifat mekanik batu pasir (sandstone), uji triaksial menggunakan tekanan
pemampatan sebesar 5, 12,5, 19, 25 dan 30 MPa. Pada uji triaksial
konvensional, kelima tekanan pemampatan tersebut dilakukan pada tujuh contoh
batu pasir (stand stone). Pada awalnya uji triaksial konvensional hanya
menggunakan lima contoh batupasir, namun kemudian ditambahkan dua contoh
batu pasir dengan memberikan tekanan pemampatan yang dipilih secara acak
dari tekanan pemampatan pada lima contoh batu pasir sebelumnya. Hasil
pengujian triaksial metode konvensional dapat dilihat dari Tabel 3.7
Tabel 3.6
Hasil Uji Triaksial Konvensional
No Kode contoh 3 (Mpa) 1 (Mpa) E (Gpa) (0)

1 konv A 62,48 6,1 39


5
2 konv F 75,06 7,07 43

3 konv B 12,5 100,21 8,08 37

4 konv C 142,60 8,9 38


19
5 konv G 130,02 8,34 39

6 konv D 25 153,10 8,47 36

7 konv E 30 180,09 8,75 6

Keterangan: = Sudut post-peak behaviour


Nilai modulus Young (E) didapatkan dengan menggunakan persamaan 3.1
pada kurva tegangan regangan TX konvensional. Sedangkan sudut post-peak
behaviour () didapatkan dari besar sudut kurva tegangan-regangan setelah
batuan runtuh (lihat Gambar 3.7).
Tabel 3.4 memperlihatkan contoh batuan dengan tekanan pemampatan
yang sama akan memberikan tekanan pemampatan yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena keheterogenan contoh batuan

E= ............................................................................................(3.1)

Keterangan :
3 = Tegangan lateral (Mpa)
1 = Tegangan aksial (MPa)
a = Regangan aksial (%)
Gambar 3.12
Kurva tegangan regangan triaksial konvensional

Triaksial metode multi tahap menggunakan dua contoh batuan Batu pasir
(sand stone) hasil pengujian triaksial metode multitahap dapat dilihat dari Tabel
3.8.

Tabel 3.7
Hasil Uji Triaksial Multitahap
No 3 (Mpa) MS I MS II

1(Gpa) E (Gpa) 1(Gpa) E (Gpa)

1 5,00 63,14 8,15 69,77 8,7

2 12,50 93,13 8,84 99,89 8,5

3 19,00 121,55 8,57 126,85 8,7

4 25,00 142,07 8,11 150,63 6,5

5 30,00 162,59 8,15 166,49 8,14


3.8 Analisis Kemantapan Lereng
Berdasarkan data hasil pengujian kuat tekan triaksial (),maka sebagian besar
material di lokasi penelitian termasuk batuan yang mempunyai kuat tekan antara 5,00
-30,00 MPa.
Analisis kemantapan lereng dilakukan bertujuan un tuk menentukan geometri lereng
yang mantap dalam bentuk tinggi dan sudut kemiringan lereng. Perhitungan analisis
kemantapan lereng dilakukan berdasarkan Metode Stereografis dengan perhitungan
matematis. Perhitungan dilakukan untuk menganalisis kemantapan lereng baik
individual slope dan overall slope.

3.8.1 Longsoran Bidang


Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi
sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa
bidang kekar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan.
Syarat-syarat terjadinya longsoran bidang :
a. Terdapat bidang luncur bebas (daylight) berarti kemiringan bidang luncur
lebih kecil daripada kemiringan lereng (Gambar 3.13).
b. Arah bidang perlapisan (bidang lemah) sejajar atau mendekati dengan arah
lereng (maksimum berbeda 200).
f p
c. Kemiringan bidang luncur atau lebih besar daripada
sudut geser dalam
Syarat longsoran f > p >
batuannya.
Bidang Bebas
d. Terdapat bidang geser (tidak terdapat gaya penahan) pada kedua sisi
longsoran. Bidang Gelincir
Gambar 3.8
Bentuk Longsoran Bidang
Analisis perhitungan faktor keamanan lereng adalah sebagai berikut:
Gambar 3.13
Bentuk Longsor Bidang
TotalGayaP enahan
Fk =
TotalGayaP enggerak

cA + W cos p tan
Fk =
W sin p

H
1
2 (H 2
(
x sin f - p ))
A = W =
sin p ( sin p
(
cos 90 - f )) s

Keterangan :
Fk : Faktor keamanan
C : Kohesi
A : Luas permukaan bidang luncur
H : Tinggi lereng
p : Kemiringan bidang luncur
f : Kemiringan lereng
s : densitas batuan jenuh

3.8.2 Lereng Tunggal (Individual Slope)


Secara umum geometri lereng dinding bukaan tambang bijih bauksit
terbagi dalam dua kategori, yakni lereng keseluruhan atau total (overall slope)
dan lereng jenjang atau individu (bench / individual slope). Analisis dan
perhitungan kemantapan lereng dilakukan pada setiap lokasi titik percontoh yang
mewakili daerah studi. Kedalaman percontoh terutama diambil pada bagian lajur
tanah lateritik dengan kedalaman berkisar <1 m sampai 6 m di bawah rata tanah
setempat.
Analisis kemantapan lereng tunggal ditinjau berdasarkan kondisi fisik
mekanis laterit dan Batupasir (bedrock).Untuk Laterit dan Batupasir, analisis
dilakukan pada variasi lereng tunggal dengan tinggi jenjang tunggal 6 m, lebar
jenjang tunggal 9 m dengan FK hasil tercapai keamanan lereng (tidak longsor).
Pendekatan yang digunakan dalam analisis lereng tunggal adalah :
1. Variasi material dianggap homogen .
2. Kondisi batuan jenuh.
3. Tinggi muka air tanah dianggap mengikuti tinggi permukaan lereng.
4. Nilai karekteristik material untuk lereng tunggal digunakan nilai dari hasil
pengujian laboratorium.

3.8.3 Lereng Keseluruhan (Overall Slope)


Dalam menentukan kestabilan lereng total (overall slope) dipakai asumsi
bahwa longsoran yang akan terjadi merupakan longsoran rotasi atau translasi
sehingga dapat dianalisa dengan metode Bishop (1955). Mengingat curah hujan
cukup tinggi dan didukung hasil pengamatan mikrostruktur di lapangan, maka
perhitungan analisis kemantapan lereng total difokuskan pada jenis longsoran
tidak hanya rotasi tetapi juga translasi, dengan beberapa asumsi tambahan
sebagai berikut :
a. Perhitungan untuk lereng total menggunakan nilai FK > 1,2 dengan
ketinggian mat (muka air tanah), sesuai dengan hasil pengukuran. Untuk
teras jenjang menggunakan nilai FK > 1,3 dengan kondisi dianggap jenuh
dan batuan dianggap homogen.
b. Dimensi longsoran ditentukan melalui daerah paling lemah (lapisan batu-
pasir) atau melalui bidang rekah yang terdeteksi.
c. Perhitungan longsoran rotasi diasumsikan, bagian mahkota longsoran
terletak pada puncak datar, yakni beberapa meter dari ujung lereng. Bagian
kaki longsoran terletak pada lereng atau bagian bawah daerah datar,
dihadapan lereng. Analisis perhitungan secara matematis menggunakan
rumus dari Bishop simplified methods (1955).

Inti dari metode ini adalah dengan mengasumsikan bidang longsor rotasi, bidang
longsoran dibagi menjadi beberapa segmen. Sehingga semakin banyak segmen
yang dihitung dan semakin tinggi ketelitiannya. Untuk memperoleh hasil yang
akurat, analisis perhitungan pada lereng total (overall slope), dilakukan terhadap
setiap titik pemboran, disesuaikan dengan kedalaman maksimumnya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam analisis kemantapan lereng
keseluruhan adalah:
1. Analisis kemantapan lereng keseluruhan dilakukan pada tiap lereng pada rencana
desain lereng penambangan.
2. Karakteristik batuan yang digunakan adalah karakteristik hasil uji laboratorium
dari batuan yang dijumpai pada penampang tersebut. Untuk material yang tidak
ada data ujinya, karakteristik material diambil dari material lubang bor lain yang
diperkirakan sama posisinya.
3. Variasi material dalam satu lapisan dianggap homogen dan mempunyai kohesi
dan kekuatan geser puncak (C dan ).
4. Tinggi muka air tanah dianggap mengikuti tinggi permukaan lereng (lereng
dalam keadaan jenuh)N Struktur geologi berupa perlapisan turut diperhitungkan

3.8.4 Perhitungan Kemantapan Lereng


Analisis kemantapan lereng, dihitung berdasarkan tinggi jenjang secara yaitu 6
m, lebar jalan jenjang 9 m dan sudut kemiringan 330 dengan FK hasil tercapai
kemanan lereng (tidak longsor).
Berdasarkan kesesuaian korelasi Faktor Keamanan hasil analisis
matematis terhadap parameter sifat fisik dan mekanik Batupasir, geometri lereng
dikatakan aman terhadap longsoran mempunyai angka keamanan >1.3 hasil ini
membuktikan bahwa pemotongan bukaan tambang dengan sudut lereng total 330
aman, sesuai dengan hasil analisa lihat, (Tabel 3.9)
Di beberapa tempat mempunyai angka keamanan (FK) mencapai 7.740
sehingga bukaan tambang masih dapat dilakukan dengan sudut lereng total 33o,
namun untuk menjaga kemantapan lereng pada bukaan tambang tetap dipakai
bukaan tambang dengan sudut lereng total maksimum 33o . Secara skematika,
dimensi potongan lereng bukaan tambang dapat digambarkan dalam bentuk
penampang dalam seperti dapat dilihat pada (Gambar 3.9).
Tabel 3.9
Hasil Perhitungan Faktor Keamanan
C = 0.926

= 2.5
s = 26.3

f p H A W FK
33 24 4 9.852 2.260 11.058
33 24 5 12.315 3.532 9.069
33 24 6 14.778 5.086 7.740

Muka tanah
Bukaan tambang

Banch
Jenjang

Single slope
Single slope

0
9m

Gambar 3.14
Sistematika bukaan tambang dengan single slop pada penambangan bauksit
PT Tedong Saleko Batu Marupa yang direncanakan

3.9 Pemantauan Kemantapan Lereng


Disamping diperlukannya analisis kemantapan lereng pada lokasi bukaan tambang
juga diharuskan untuk melakukan usaha pemantauan kemungkinan terjadinya
longsoran. Pemantauan ini dimaksudkan mengetahui gejala- gejala awal sebelum
terjadinya longsoran sehingga dapat dilalukan tindakan- tindakan pencegahan atau
penanggulangan longsoran yang akan terjadi agar tidak menimbulkan korban jiwa
serta kerugian yang lebih besar. Beberapa usaha pemantauan kemantapan lereng
yang harus dilakukan adalah :
1. Indentifikasi struktur geologi seperti patahan, kekar, pemunculan rembesan
rembesan air tanah. Identifikasi ini dilakukan langsung setelah dilakukan
pemotongan lereng pada saat operasional tambang, sehingga pada saat
dilakukan pembukaan / pemotongan lereng ditemukan gejala gejala tersebut
maka perlu dilakukan pemantauan secara intensif dengan memasang patok
patok geser.
2. Identifikasi gejala-gejala longsoran selama berjalannya penambangan seperti
timbulnya rekahan rekahan pada lereng bukaan tambang, bila dijumpai gejala
gejala tersebut di atas maka perlu dilakukan pemantauan secara intensif dengan
memasang patok patok geser

Pemantauan harian dan mingguan dengan mempergunakan total station akan


dilakukan secara rutin, dan pemantauan akan diintensifkan apabila teridentifikasi
adanya gejala struktur geologi ataupun rekahan-rekahan baru dengan memantau
patok-patok geser yang telah dipasang pada daerah yang telah teridentifikasi
tersebut di atas. Bila ternyata dalam pemantauan telah dijumpai nilai perubahan
pergerakannya telah berbanding linier pada tenggang waktu yang sama maka harus
dilakukan pelandaian lereng totalnya.

Anda mungkin juga menyukai