Anda di halaman 1dari 15

GANESA BATU BARA

RESUME
“FORMASI FORMASI PEMBAWA BATU BARA”

Dosen Pengampu : JARWINDA S.Si.M.T

Disusun Oleh:

Nama : Sesilia Yuan Petriksia


NIM : 120370032
Program Studi :Teknik Petambangan
Kelas : RA

INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA


SEMESTER GENAP
2021/2022
A. GENESA BATUBARA

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berwarna coklat sampai
hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun
sehingga mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya (Anggayana, 2002). Secara garis
besar, batubara terdiri dari zat- zat organik, air dan juga bahan mineral. Untuk menjadi
batubara sendiri ada beberapa tahapan- tahapan penting yang harus dilewati oleh batuan dasar
pembentuk batu bara. Tahapan penting tersebut yaitu:
 tahap pertama adalah terbentuknya gambut (peatification) yang merupakan proses
mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification)
 tahap kedua adalah proses-proses yang terdiri dari perubahan struktur kimia dan fisika
pada endapan pembentukan batubara (geochemical coalification) karena pengaruh
suhu, tekanan dan waktu.
Ada enam parameter yang mengendalikan pembentukan batubara, yaitu
 adanya sumber vegetasi,
 posisi muka air tanah,
 penurunan yang terjadi bersamaan dengan pengendapan,
 penurunan yang terjadi setelah pengendapan,
 kendali lingkungan geoteknik endapan batubara dan
 lingkungan pengendapan terbentuknya batubara.
Model geologi untuk pengendapan batubara menerangkan hubungan antara genesa batubara
dan batuan sekitarnya baik secara vertikal maupun lateral pada suatu cekungan pengendapan
dalam kurun waktu tertentu (Diessel, 1992).

B. PEMBENTUKAN BATUBARA

International Handbook of Coal Petrography (1963) menyebutkan bahwa batubara adalah


batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman dalam variasi tingkat
pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada kedalaman
yang bervariasi. Sedangkan Prijono (Dalam Sunarijanto, dkk, 2008) berpendapat bahwa
batubara adalah bahan bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-
tumbuhan yang terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh
temperatur dan tekanan yang berlangsung sangat lama. Sedang menurut Undang-undang
Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa
”batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan. ( JUNI PRATAMA, 2019)

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah mineral organik
yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuh- tumbuhan purba termasuk dalam bahan
hidrokarbon tertambat yang mengendap di dalam tanah dalam cekungan- cekungan pada
kedalaman tertentu selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai
perubahan bentuk/komposisi sebagai akibat dari dari adanya proses fisika dan kimia yang
berlangsung selama waktu pengendapan batu bara tersebut. Bahan bahan tumbuhan
mempunyai komposisi utama yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Selain itu, terdapat
kandungan mineral nitrogen. Substansi utamanya adalah cellulose yang merupakan bagian
dari selaput sel tumbuhan yang mengandung karbohidrat yang tahan terhadap perubahan kimiawi.
Oleh karena itu, batu bara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil.

Batubara merupakan salah satu sumber energi fosil alternatif yang cadangannya cukup besar
di dunia. Bagi Indonesia sendiri yang sumber energi minyak buminya sudah semakin
menipis, pengusahaan penggalian batubara sudah merupakan suatu pilihan yang terbaik.
Hampir setiap pulau besar di Indonesia memiliki cadangan batubaranya sendiri, walau dalam
kuantitas dan kualitas yang berbeda- beda di setiap wilayahnya. Proses pembentukan
batubara terdiri dari dua tahap yaitu:
 tahap biokimia (penggambutan)
 tahap geokimia (pembatubaraan).
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang
terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan
yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang
busuk ini melepaskan H, N, O,dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk
menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut.

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika
yang terjadi karena pengaruh pembebanandari sedimen yang menutupinya, temperatur,
tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut. Pada tahap ini persentase
karbonakan meningkat, sedangkan presentase hidrogen dan oksigen akan berkurang. Proses
ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tangkat kematangan material organiknya
mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.
Meningkatnya peringkat batubara dari lignit hingga berubah menjadi sub bitumin dan antrasit
disebabkan oleh kombinasi antara proses fisika dan kimia serta aktifitas biologi.

Faktor-faktor Pembentukan Batubara


Dari berbagai teori yang menerangkan tentang terbentuknya batubara, terdapatkesepakatan
mengenai faktor-faktor yang saling berhubungan dan salingmempengaruhi, yang mempunyai
peranan penting didalam pembentukkanbatubara dalam suatu cekungan. Faktor-faktor
tersebut yaitu: (NUR WAKHID HIDAYAT , 2013)

1.Akumulasi Sisa Tumbuhan-Tumbuhan (Bahan Organik)


Akumulasi sisa tumbuh-tumbuhan dapat secara insitu maupun hasil hanyutan
(allochotonous), namun akumulasi ini harus terdapat dalam jumlah yang cukup besar dan
terletak pada daerah yang digenangi oleh air, yang mana nantinya dapatdijadikan daerah
pengendapan bagi batuan sedimen klastik. Keadaan ini dapat dicapai dari produksi tumbuhan
yang tinggi, penimbunan secara perlahan dan menerus yang diikuti dengan penurunan dasar
cekungan secara perlahan. Produksi tumbuhan yang tinggi terdapat pada iklim tropis dan sub
tropis, sedangkanpenimbunan secara perlahan dan menerus hanya terjadi dalam lingkungan
paralikdan limnik, yang memiliki kondisi tektonik relatif stabil.

2.Bakteri dan Organisme Tingkat Rendah Lain


Merupakan faktor yang menyebabkan perubahan sisa tumbuhan-tumbuhan menjadibahan
pembentuk gambut (peat ). Kegiatan bakteri dan organisme tingkat rendahlain akan merusak
akumulasi sisa tumbuh-tunbuhan yang telah ada danmerubahnya menjadi bahan pembentuk
gambut berupa massa berbentuk agar-agar (gel ), yang kemudian terakumulasi menjadi
gambut.

3.Temperatur
Temperatur panas terbentuk oleh timbunan sedimen diatas lapisan batubara dangradien panas
bumi. Efek panas dari faktor ini menimbulkan proses kimia dinamis (geokimia) yang mampu
manghasilkan perubahan fisik dan kimia, dalam hal inimerubah gambut menjadi berbagai
jenis dan peringkat batubara. Proses ini merupakan tahap kedua pada proses pembatubaraan
(coalification). Selain panasyang dihasilkan karena timbunan sedimen diatas lapisan batubara
dan gradienpanas bumi, juga dapat dihasilkan oleh adanya intrusi batuan beku, sirkulasi
larutan hidrotermal dan struktrur geologi.
4.Tekanan
Tekanan sangat penting sebagai penghasil panas, namun juga dapat membantumelepaskan
unsur-unsur zat terbang dari lapisan batubara, yang dikenal sebagaiproses devolatilisasi.
Proses ini akan lebih efektif apabila lapisan batuandiatasnya bersifat permeabel dan porous,
sehingga batubara yang berada pada lapisan batu pasir akan mengalami proses devolatilisasi
yang lebih efektif dibandingkan dengan lapisan batu lempung.

C. FORMASI- FORMASI PEMBAWA BATU BARA

Formasi pembawa batubara merupakan formasi batuan yang di dalamnya terdapat lapisan
batubara. Kegiatan penyelidikan dan pemetaan geologi dapat membantu kita untuk
mengetahui keberadaan danjuga penyebaran awal formasi pembawa batu bara. Formasi
pembawa batubara umumnya terdapat pada cekungan sedimen. Berdasarkan peta geologi
regional Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi, jumlah Formasi Pembawa
Batubara di seluruh Indonesia tercatat sebanyak ±106 dan merupakan bagian dari Formasi
batuan yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia. Penyebaran terluas
batu bara dan jumlah formasi pembawa batubara terbanyak berada pada cekungan- cekungan
sedimen yang berada di Pulau Sumatera dan juga Pulau Kalimantan. Formasi pembawa
batubara yang banyak dikenal diantaranya adalah:
 Formasi Muaraenim di cekungan Sumatra Selatan,
 Formasi Tanjung dan Formasi Warukin di cekungan Barito atau Formasi Balikpapan,
 Formasi Kampung Baru dan Formasi Pulau Balang di cekungan Kutai.
Karakteristik formasi pembawa batubara di setiap cekungan berbeda- beda hal ini bergantung
kepada kondisi geologi suatu wilayah pada saat terjadinya pembentukan batubara di
cekungan- cekungan tersebut.

Keberadaan formasi pembawa batubara menjadi petunjuk awal kemungkinan adanya potensi
pembentukan batubara di suatu wilayah berdasarkan cekungan cekungan yang ada,
tetapi belum menjamin bahwa batubara di wilayah tersebut layak untuk diusahakan. Untuk
membuktikan potensi batubara yang bernilai ekonomis dibutuhkan kegiatan eksplorasi yang
dapat memberikan informasi detail penyebaran serta kualitas batubara di suatu daerah.
Disamping itu, melalui kegiatan pemetaan geologi rinci dalam program eksplorasi,
keberadaan dan batas penyebaran formasi pembawa batubara yang tidak tergambarkan
dengan tepat dalam peta geologi regional dapat dikoreksi. Di Indonesia, penyebaran Formasi
Pembawa Batubara juga dijadikan dasar untuk membuat batas-batas wilayah Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP). Batas-batas wilayah PKP2B dan WIUP akan mengikuti arah penyebaran formasi
pembawa batubara di wilayah tersebut.

Keberadaan formasi pembawa batubara juga menjadi petunjuk awal bagi Pusat Sumber Daya
Mineral, Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP) dalam menjalankan tupoksinya melakukan
kegiatan evaluasi dan eksplorasi untuk menginventarisasi dan mengetahui potensi batubara di
seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan PSDMBP memberikan
tambahan informasi yang melengkapi data formasi pembawa batubara nasional. Kegiatan
eksplorasi tersebut menghasilkan informasi detail mengenai:
 lokasi,
 batas penyebaran dan pelamparan
 karakteristik detail formasi pembawa batubara di suatu wilayah termasuk memberikan
informasi mengenai jumlah sumberdaya batubara di wilayah tersebut.
Disamping melakukan kegiatan eksplorasi secara langsung, untuk melengkapi data
penyebaran serta karakteristik formasi pembawa batubara di Indonesia, PSDMBP juga
melakukan kegiatan evaluasi data dari para pemegang PKP2B dan IUP. Data data tersebut
sangat bermanfaat untuk mendukung perencanaan serta pelaksanaan kegiatan eksplorasi
yang efektif dan efisien. Kegiatan eksplorasi merupakan ujung tombak untuk mengetahui
kekayaan negara kita. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa bermula dari formasi pembawa
batubara kekayaan sumberdaya batubara Indonesia bisa diketahui dan dimanfaatkan secara
maksimal.

Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation), yakni model
formasi insitu dan model formasi endapan material tertransportasi (teori drift). Berikut akan
dijelaskan masing-masing model formasi pembentuk batubara tersebut:

1. Model Formasi Insitu


Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon atau tumbuhan kuno
pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya pohon-pohon kayu pembentuk
batubara itu adalah pada daerah rawa atau hutan basah. Kejadian pembentukannya diawali
dengan tumbangnya pohon-pohon kuno tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
angin (badai), dan peristiwa alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung
tenggelam ke dasar rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa tanah atau batuan
yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan pohon-pohon tersebut tetap
tenggelam dan tertimbun.

Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah tanah penutup pohon-
pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak menjadi busuk atau tidak
berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami pengawetan alami. Dengan adanya
rentang waktu yang lama, puluhan atau bahkan ratusan juta tahun, ditambah dengan pengaruh
tekanan dan panas, pohon-pohonan kuno tersebut mengalami perubahan secara bertahap,
yakni mulai dari fase penggambutan sampai ke fase pembatubaraan. Jenis batubara yang
berbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik
karena kadar abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk ini di Indonesia didapatkan di
lapangan batubara Muara Enim (Sumatra Selatan).

Karakteristik batubara yang terbentuk berdasarkan teori insitu antara lain: (ISNAN BUDI,
2013)
a. Hadirnya seat earths.
b. Ada struktur akar tumbuhan yang tegak terhadap bidang perlapisan.
c. Ada pokok (tunggul) pohon yang tumbuh di tempat itu.
d. Batubaranya relatif bersih, kadar abunya relatif kecil, baik pada lapisan
batubara maupun lapisan antar seam.
e. Umumnya berasosiasi dengan lingkungan rawa dengan drainase buruk.
f. Sebarannya luas dan merata di seluruh lapangan batubara.
g. Ketebalannya seragam (kurang bervariasi) cenderung tipis dan berbentuk
lentikuler.
h. Hadirnya batupasir kuarsa halus atau ganister.
i. Kontaknya tegas (tiba-tiba) antara batubara dengan lapisan sedimen di
atasnya.
j. Berasosiasi dengan lingkungan floating swamps, low-lying swamps, dan
raised swamps. 11. Maceral terawetkan secara baik dan hadir litotipe vitrain,
clarain, durain, dan fusain.

2. Model Formasi Transportasi Material (Teori Drift)


Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan pohon-pohon kuno atau sisa-sisa
tumbuhan yang tertransportasikan oleh air dari tempat tumbuhnya. Dengan kata lain pohon-
pohon pembentuk batubara itu tumbang pada lokasi tumbuhnya dan dihanyutkan oleh air
sampai berkumpul pada suatu cekungan dan selanjutnya mengalami proses pembenaman ke
dasar cekungan, lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar cekungan.

(VIKTOR SESARIUS, 2018)Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan


dipengaruhi oleh tekanan dan panas, maka terjadi perubahan terhadap pohon - pohon atau
sisa tumbuhan itu mulai dari fase penggambutan sampai pada fase pembatubaraan. Jenis
batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di
beberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak pengangkutan dari tempat asal tanaman
ke tempat sedimentasi. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di delta
Mahakam Purba, Kalimantan Timur. Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua
formasi pembentukan tersebut. Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus,
terdiri dari sedikit lapisan, dan relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara yang
terbentuk atau berasal dari transportasi material (berdasarkan teori drift) ini biasanya terjadi
pada delta-delta kuno dengan ciri-ciri:
 lapisannya tipis,
 endapannya terputus-putus (splitting),
 banyak lapisan (multiple seam),
 banyak pengotor,
 kandungan abunya biasanya tinggi.

Karakteristik batubara yang terbentuk berdasarkan teori drift antara lain: (ISNAN BUDI,
2013)
a. Tidak adanya seat earths.
b. Tidak dijumpainya struktur akar tumbuhan atau pokok pohon yang tegak
terhadap bidang perlapisan.
c. Ketebalan dan kualitas lebih bervariasi.
d. Berasosiasi dengan endapan delta.
e. Batubara yang berasosiasi dengan lingkungan marin.
f. Hadirnya coal balls pada batupasir lapisan penutup.
g. Sebarannya tidak luas dan tersebar pada beberapa tempat.
h. Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak pengotornya.
i. Mengandung maceral yang resisten seperti liptinites dan inertinites dengan
mineral matter yang melimpah.

Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara tersebut di atas dapat diketahui
bahwa kondisi lingkungan geologi yang dipersyaratkan untuk dapat terjadinya batubara
adalah: berbentuk cekungan berawa, berdekatan dengan laut atau pada daerah yang
mengalami penurunan (subsidence), karena hanya pada lingkungan seperti itulah
memungkinkan akumulasi tumbuhan kuno yang tumbang itu dapat mengalami
penenggelaman dan penimbunan oleh sedimentasi. Tanpa adanya penenggelaman dan
penimbunan oleh sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi gambut dan
seterusnya menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu itu akan menjadi lapuk dan
berubah menjadi humus

Formasi Pembawa Batubara Di Sumatera, Kalimantan Dan Sulawesi

A. SUMATERA
Cekungan Sumatera Selatan adalah bagian dari cekungan besar Sumatera Tengah dan Selatan
(De Coster, 1974; Harsa, 1975) yang dipisahkan dari Cekungan Sumatera Tengah
oleh Tinggian Bukit Tigapuluh.Geologi daerah ini telah diketahui dengan baik dan telah
dipublikasikan oleh PERTAMINA, geologis PT. CALTEX dan PT. STANVAC (Pulunggono,
1969; Mertoyoso dan Nayoan, 1975; Adiwidjaja dan De Coster, 1973; De Coster 1975; Harsa,
1978). Kerangka stratigrafi daerah cekungan Sumatera Selatan pada umumnya dikenal satu
daur besar (megacycle) terdiri dari fase transgresi yang diikuti oleh fase regresi. Formasi Lahat
yang terbentuk sebelum trangresi utama pada umumnya merupakan sedimen non
marin. Formasi Yang terbentuk pada Farse Transgresi adalah : Formasi Talang Akar, Baturaja,
dan Gumai, Sedangkan yang terbentuk pada fase regresi adalah Formasi Air Benakat, Muara
Enim dan Kasai.

Formasi Talang Akar merupakan transgresi yang sebenarnya dan dipisahkan dari Formasi
Lahat oleh suatu ketidakselarasan yang mewakili pengangkatan regional dalam Oligosen
Bawah dan Oligosen Tengah. Sebagian dari formasi ini adalah fluviatil sampai delta dan marin
dangkal. Formasi Baturaja terdiri dari gamping yang sering merupakan terumbu yang tersebar
disana sini. Formasi Gumai yang terletak diatasnya mempunyai penyebaran yang luas, pada
umunya terdiri dari serpih marin dalam.

Formasi Air Benakat merupakan permulaan endapan regresi dan terdiri dari lapisan pasir
pantai. Formasi Muara enim merupakan endapan rawa sebagai fase ahir regresi, dan terjadi
endapan batubara yang penting. Formasi Kasai diendapkan pada fase akhir regresi terdiri dari
batulempung tufaan, batupasir tufaan, kadangkala konglomerat dan beberapa lapisan batubara
yang tidak menerus.
Kerangka tektonik Cekungan Sumatera Selatan terdiri dari Paparan Sunda di sebelah timur dan
jalur tektonik bukit barisan di sebelah barat. Daerah Cekungan ini dibatasi dari cekungan Jawa
Barat oleh Tinggian Lampung (Koesoemadinata 1980). Di dalam daerah cekungan terdapat
daerah peninggian batuan dasar para tersier dan berbagai depresi. Perbedaan relief dalam
batuan dasar ini diperkirakan karena pematahan dasar dalam bongkah-bongkah. Hal ini sangat
ditentukan oleh adanya Depresi Lematang di Cekungan Palembang, yang jelas dibatasi oleh
jalur patahan dari Pendopo- Antiklinorium dan Patahan Lahat di sebelah barat laut dari Paparan
Kikim.

Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah merupakan satu cekungan besar
yang dipisahkan oleh Pegunungan Tigapuluh. Cekungan ini terbentuk akibat adanya
pergerakan ulang sesar bongkah pada batuan pra tersier serta diikuti oleh kegiatan vulkanik.
Daerah cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi depresi Jambi di utara, Sub Cekungan
Palembang Tengah dan Sub Cekungan Pelembang Selatan atau Depresi Lematang, masing-
masing dipisahkan oleh tinggian batuan dasar (“basement”).
Di daerah Sumatera Selatan terdapat 3 (tiga) antiklinurium utama, dari selatan ke utara:

 Antiklinorium Muara Enim,


 Antiklinorium Pendopo Benakat dan
 Antiklinorium Palembang.

Pensesaaran batuan dasar mengontrol sedimen selama paleogen. Stratigrafi normal


memperlihatkan bahwa pembentukan batubara hampir bersamaan dengan pembentukan
sedimen tersier. Endapan batubara portensial sedemikian jauh hanya terdapai pada
pertengahan siklus regresi mulaai dari akhir Formasi Benakat dan diakhiri oleh pengendaapan
Formasi Kasai. Lapisan batubara terdapat pada horizon anggota Formasi Muara Enim dari
bawah keatas. (Ahmad Amiruddin, 2013)

B. KALIMANTAN
Daerah Long Lees, Marah Haloq, Long Nah dan sekitarnya tertera pada peta geologi Lembar
Muaraancalong, Kalimantan, skala 1 : 250.000 (Atmawinata, dkk, 1995). Daerah ini
merupakan bagian dari Cekungan Kutai yang tersusun oleh seri batuan sedimen Tersier mulai
Eosen hingga Pliosen. Pengendapan Tersier dipisahkan oleh tiga fase tektonik yaitu Oligosen,
Miosen dan Pliosen. Batuan Tersier pengisi cekungan dari tua ke muda adalah Formasi Marah,
Formasi Batuayau, Formasi Wahau dan Formasi Balikpapan. Endapan batubara ditemukan
pada ketiga formasi terakhir. (RIDWAN, 2012)
Mengacu kepada konsep tektonik lempeng (Katili, 1978, dan Situmorang, 1982) Cekungan
Kutai di Kalimantan merupakan cekungan busur belakang atau back arch di bagian barat yang
terbentuk akibat tumbukan antara lempeng benua dan lempeng samudera. Peregangan di Selat
Makassar sangat mempengaruhi pola pengendapan terutama pada bagian timur
cekungan.Cekungan Kutai terisi oleh seri batuan sedimen pengisi cekungan diperkirakan
mencapai tebal sekitar 7500 m yang diendapkan mulai dari lingkungan delta, laut dangkal
hingga laut dalam.Sedimentasi yang terjadi mulai Eosen hingga Pliosen menghasilkan seri
batuan sedimen yang antara lain terdiri atas Formasi Marah, Formasi Batuayau, Formasi
Wahau dan Formasi Balikpapan . Terjadi tiga proses tektonik pada Oligosen, Miosen dan
Pliosen menyebabkan ketidakselarasan antara pengendapan Formasi Batuayau, Formasi
Wahau dan Formasi Balikpapan.

Formasi Marah merupakan formasi tertua pengisi cekungan pada Lembar Muaraancalong.
Formasi Marah tersusun oleh perselingan napal dan batulempung bersisipan batugamping.
Formasi ini berumur Eosen Akhir dan diendapkan di lingkungan sublitoral dalam.Formasi
Batuayau terletak selaras di atas Formasi Marah. Formasi ini umumnya tersusun oleh batupasir,
batulumpur, batulanau dan sedikit batugamping. Setempat terdapat sisipan batubara, lempung
karbonan dan gampingan. Formasi ini berumur Eosen Akhir dan diendapkan di lingkungan
delta hingga laut dangkal – terbuka. Formasi Wahau menindih tak selaras Formasi Batuayau.
Formasi ini tersusun oleh perselingan batulempung, batupasir kuarsa, batupasir lempungan dan
batulempung pasiran, setempat terdapat sisipan batubara. Pada bagian bawah dari formasi ini
disisipi oleh batugamping. Formasi ini diperkirakan berumur Miosen Tengah dan diendapkan
di lingkungan laut dangkal – darat.

Formasi Balikpapan diendapkan tak selaras di atas Formasi Wahau. Batuan penyusunnya
terdiri atas batupasir kuarsa, batulempung bersisipan batulanau, serpih, batugamping dan
batubara. Formasi ini berumur Miosen Tengah dan diendapkan di lingkungan delta – litoral
hingga laut dangkal. (Ahmad Amiruddin, 2013)

C. SULAWESI
Daerah penyelidikan yang terletak di daerah Kalumpang dan sekitarnya termasuk kedalam
Cekungan Gelumpang. Secara umum morfologi daerah penyelidikan terbagi menjadi tiga
satuan morfologi, yaitu Satuan morfologi Pedataran; Satuan Morfologi Perbukitan Berelief
sedang dan Satuan Morfologi berelief Kasar. Stratigrafi daerah penyelidikan terdiri dari Pra-
Tersier, Batuan Tersier, Batuan Terobosan/Intrusi Batuan Beku dan Endapan Kuarter.

Formasi Latimojong, merupakan batuan dasar yang tersingkap disebelah tenggara daerah
penyelidikan, batuan penyusunnya terdiri dari batupasir kuarsa malihan, batulanau malihan,
kuarsit, filit, dan setempat batulempung gampingan. Formasi ini diperkirakan berumur Kapur
dan diendapkan dilingkungan laut dalam. Hubungan stratigrafi dengan Formasi yang
menutupinya menunjukan ketidak selarasan.

Formasi Toraja, sebarannya berarah timurlaut-baratdaya. Batuan penyusunnya terdiri dari


perselingan batupasir kuarsa, serpih dan batulanau bersisipan konglomerat kuarsa,
batugamping, napal, batupasir kehijauan, batulempung karbonan dan batubara. Diperkirakan
mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah-Eosen Akhir. Formasi ini menutupi tidak
selaras Formasi Latimojong dan diendapkan di lingkungan laut dangkal.

Formasi Sekala, menempati sebelah utara timurlaut daerah penyelidikan, dimana


kedudukannya menjemari dengan Batuan Gunungapi Talaya. Batuan penyusunnya terdiri dari
batupasir hijau, grewake, napal, batulempung, tufa, serpih dan batupasir gampingan dengan
sisipan breksi, lava dan konglomerat. Diperkirakan berumur Miosen Tengah-Pliosen, menutupi
tidak selaras batuan yang berada di bawahnya dan diendapkan di lingkungan laut dalam/laut
dangkal-darat.

Formasi Budong-Budong, menempati sebelah baratlaut daerah penyelidikan, menutupi tidak


selaras batuan yang ada di bawahnya, litologinya terdiri dari konglomerat dan batupasir
bersisipan tipis batugamping koral dan batulempung. Formasi ini diduga berumur Plistosen-
Holosen dan diendapkan di lingkungan laut dangkal-darat.Aluvium, terdiri atas endapan sungai
dan pantai berupa bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lanau, lempung dan lumpur, setempat
mengandumg sisa-sisa tumbuhan. Satuan ini menutupi tidak selaras batuan dibawahnya dan
berumur Holosen.

Struktur geologi yang berkembang di daerah penyelidikan berupa struktur lipatan dan sesar,
gejala struktur tersebut mempengaruhi batuan Pra-Tersier dan Batuan Tersier. Sesar-sesar
utama di daerah penyelidikan berupa sesar normal dan sesar mendatar yang berarah Timurlaut-
Baratdaya, sedangkan struktur perlipatan berupa sinklin dan antiklin berkembang cukup baik
berarah hampir utara-selatan dan timurlaut-baratdaya. Gejala struktur tersebut diduga akibat
dari pengaruh suatu fase kegiatan tektonik Mio-Pliosen (Ahmad Amiruddin, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

3. JUNI PRATAMA. (2019). PROSES TERBENTUKNYA BATUBARA . ILMIAH, 1-5.


4. Ahmad Amiruddin. (2013). FORMASI BATU BARA. ILMIAH.
5. ISNAN BUDI. (2013). Pembentukan Batubara (Teori Insitu Dan Teori Drift). ILMIAH.
6. NUR WAKHID HIDAYAT . (2013). Proses Pembentukan Batubara.
7. RIDWAN. (2012). Formasi Pembawa Batubara Pada Daerah.
8. VIKTOR SESARIUS. (2018). Proses Pembentukan Batubara.

Anda mungkin juga menyukai