Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH BAHAN PEMBENAH TANAH

“PENGGUNAAN BAHAN PEMBENAH TANAH

UNTUK LAHAN PASCA TAMBANG (BATUBARA)”

Putri Utami Wulandari

05101181621011

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertambangan telah lama menjadi salah satu tulang punggung pendapatan negara
dan telah memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan sumber energi, penyerapan
tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun, dibalik dampak positif yang
dihasilkan timbul dampak negatif terhadap lingkungan. Seiring berjalannya kegiatan
penambangan, terjadi kerusakan lingkungan seperti kerusakan vegetasi penutup lahan,
peningkatan laju erosi, penurunan produktivitas dan stabilitas lahan, dan penurunan biodiversitas
flora dan fauna (Darwo, 2003).
Kegiatan penambangan adalah kegiatan mengekstraksi bahan tambang terencana dengan
menggunakan berbagai metode sesuai dengan karakteristik bahan tambang (Mulyanto, 2008).
Penambangan batubara dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode
tambang terbuka (open pit mining method) dan metode tambang bawah tanah (underground
mining method). Metode tambang terbuka pada umumnya lebih banyak digunakan karena
memberikan proporsi endapan batubara yang lebih banyak dibandingkan metode tambang bawah
tanah. Hal ini disebabkan metode tambang terbuka memungkinkan seluruh lapisan batubara
dapat dieksploitasi.
Penurunan kualitas tanah menjadi masalah paling besar dari kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan dalam proses penambangan batubara khususnya dengan metode tambang terbuka.
Hal ini disebabkan pada saat sampai setelah bahan-bahan tambang dieksploitasi, lahan tambang
tersebut akan mengalami perubahan topografi, vegetasi penutup, pola hidrologi, dan kerusakan
tubuh tanah, bahkan sampai terbentuk lubang-lubang bekas tambang. Reklamasi lahan bekas
tambang dilakukan dengan cara mengembalikan batuan penutup (overburden) dan bahan tanah
ke dalam lubang bekas tambang tersebut. Penggunaan alat-alat berat dalam kegiatan ini
memberikan efek negatif terhadap sifat fisik tanah seperti pemadatan tanah. Pencampuran bahan
tanah lapisan atas dengan lapisan bawah juga terjadi pada saat pengembalian bahan tanah bahkan
dimungkinkan terjadi pencampuran bahan tanah dengan bahan induk tanah dan overburden. 2
Pencampuran ini membuat tanah pada lahan bekas tambang mempunyai tingkat kesuburan yang
bervariasi, tetapi pada umumnya rendah
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu:

1) Bagaimana kegiatan pertambangan dan aspek lingkungan ?


2) Bagaimana Kondisi Fisik Lahan Pasca Penambangan Batubara?
3) Bagaimana Kondisi Biotis Lahan Pasca Penambangan Batubara?
4) Bagiamana Kondisi Sifat Kimia Pada Lahan Pasca Penambangan Batubara?
5) Kerusakan Lahan Akibat Kegiatan Pasca Penambangan Batubara
6) Reklamasi dan Revegatasi Lahan Pasca Kegiatan Penambangan Batubara

1.3 Tujuan

Adapun Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk memberikan informasi kepada
masyarakat sekitar tentang bagaimana pemahaman mengenai masalah yang berkaitan tentang
pengerukan dan Beberapa sifat-sifat lahan bekas pertambangan batubara, emas, timah dan
lahan pasca bioremediasi minyak bumi diungkapkan dalam upaya reklamasi lahan bekas
pertambangan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kegiatan Pertambangan Dan Aspek Lingkungan

Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan sangat rumit,
sarat risisko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat
modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan
pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan
total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah
harus diPahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat progresif,
sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang.

Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi penaksiran sumberdaya dan cadangan,


perancangan batas penambangan (final/ultimate pit limit), pentahapan tambang, penjadwalan
produksi tambang, perancangan tempat penimbunan (waste dump design), perhitungan
kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi finansial,
analisis dampak lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)
termasuk pengembangan masyarakat (Community Development) serta Penutupan tambang.
Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi
perlindungan lingkungan dan pengembangan pegawai dan masyarakat sekitar tambang (Arif,
2007).

Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut :

· Eksplorasi

· Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan

· Pengolahan bijih dan operasional pabrik pengolahan

· Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya

· Pembangunan infrastuktur, jalan akses dan sumber energi

· Pembangunan kawasan pemukiman


Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan
ekstraksi dan pembuangan limbah batuan, dan pengolahan bijih serta operasional pabrik
pengolahan.

2.2 Kondisi Fisik Lahan Pasca Penambangan Batubara

Kasus-kasus umum yang banyak terjadi pada lahan-lahan terekspose akibat galian adalah
erosi, kelongsoran dan degradasi kuat pergeseran tanah pada tanah-tanah ekspansif. Pengupasan
tanah atasan (top soil) yang dilakukan pada saat menambang batubara, seringkali berpengaruh
terhadap benih-benih yang tersimpan alami dalam top soil tersebut yang berpotensi dalam
regenerasi hutan. Erosi adalah perpindahan dan kehilangan massa tanah yang disebabkan oleh
air, gravitasi atau angin.

Pada kegiatan penambangan batubara, erosi diyakini banyak disebabkan oleh gaya yang
berasal dari air jatuh atau aliran air. Aliran air pada permukaan tanah membawa partikel-partikel
tanah yang telah diceraiberaikan; semakin cepat aliran pada permukaan tanah semakin banyak
pula partikel-partikel tanah yang bisa diceraiberaikan dan dibawa oleh aliran sehingga terbentuk
“riil” dan “gully” pada daerah datar. Potensi erosi di berbagai lokasi dipengaruhi antara lain oleh
4 faktor yaitu :

(1) karakteristik tanah

(2) vegetasi yang tumbuh

(3) topografi setempat dan

(4) iklim di lokasi tersebut. (R. U. Cooke and J. C. Doornkamp, 1990)

Sedimentasi adalah peristiwa pengendapan partikel-partikel tanah yang telah dibawa oleh
aliran air. Sedimentasi terjadi pada saat kecepatan aliran dimana partikel tanah menjadi suspensi
melambat mencapai kondisi dimana partikel air tersebut mengendap. Sedimentasi yang terjadi
dapat menimbulkan pendangkalan pada sungai, kolam dan penimbunan sedimen pada lokasi-
lokasi tertentu. Dengan mempertimbangkan kemungkinan bahaya atau dampak negatif yang
ditimbulkan berupa erosi dan sedimentasi, maka rehabilitasi lahan pasca penambangan batubara
mutlak harus segera dilakukan, tanpa harus menunggu kontrak kerja penambangan berakhir.
Kondisi lahan yang merupakan perpaduan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah,
merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan revegetasi lahan pasca penambangan
batubara. Revegatasi lahan pasca penambangan tidak semudah yang diperkirakan karena pada
lahan bekas penambangan biasanya tidak mudah memperoleh tanah atasan. Kalaupun ada, tanah
tersebut seringkali tererosi, telah menjadi padat, dan kadang-kadang masih tercampur dengan
bahan tambang kemudian permukaan tanah masih belum stabil atau sukar distabilkan.
Disamping itu keadaan lahan tersebut sangat tidak subur atau terlalu asam/basa atau kadang-
kadang mengandung senyawa toksik, (Kustiawan, 1990).

2.3 Kondisi Biotis Lahan Pasca Penambangan Batubara

Suksesi terbentuknya suatu hutan terdiri dari tahap-tahap yang teratur dimulai dengan
tahap datangnya suatu jenis tumbuhan baru ke suatu tempat tumbuh yang disebut tahap invasi,
kemudian tumbuhan tadi mengadakan penyesuaian atau adaptasi, dan setelah beradaptasi hidup
bersamaan dengan tumbuhan pendatang lain, yang disebut dengan tahap agregasi, kemudian
berlanjut dengan tahap persaingan dan bila telah mengalami keseimbangan disebut sebagai tahap
stabilisasi, (Soerianegara dan Indrawan, 1976).

Dengan memperhatikan proses penambangan batubara yang demikian destruktif sudah


dapat diperkirakan bahwa suksesi tumbuhan alami di lahan pasca penambangan batubara akan
berjalan lambat, bila tidak ada perlakuan-perlakuan yang menstimulasi berlangsungnya proses
suksesi tersebut.

2.4 Kondisi Sifat Kimia Pada Lahan Pasca Penambangan Batubara

Menurut Bradshaw dan Chadwick (1980), keseimbangan hara tanaman menjadi


terganggu akibat kegiatan pertambangan, sementara kelarutan unsur-unsur yang meracuni
tanaman meningkat dan ketersediaan hara N pada tanah galian tambang pada umumnya sangat
rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang tinggi. Namun demikian,
N tetap tidak cukup tersedia untuk usaha revegetasi. C/N rasio dalam bahan organik yang
terdapat dalam top soil biasanya berkisar antara 8:1 dan 15:1, dengan nilai rata-rata 10:1 sampai
12:1. C/N rasio berbeda-beda pada suatu daerah dengan daerah lainnya tergantung iklim daerah
tersebut sehingga C/N rasio dari tanah ke tanah lain juga berbeda. Perbedaan ini berkaitan
terutama suhu dan curah hujan. C/N rasio mempunyai arti penting bagi tanah, yaitu persaingan
yang terjadi jika bahan organik mempunyai C/N rasio yang tinggi dimasukkan ke dalam tanah
dan sifat kestabilan nisbah ini dalam tanah. Dengan berlangsungnya pelapukan, karbon dan
nitrogen dapat hilang melalui penguapan sedangkan nitrat hilang melalui pencucian atau diserap
tanaman. Pada suatu saat kecepatan hilangnya kedua unsur ini akan berbanding lurus (sama).
Pada saat ini apapun yang terjadi nisbah karbon dan nitrogen menjadi mantab (Soepardi, 1983).
Fosfor dalam tanah terdiri dari fosfor anorganik dan fosfor organik. Fosfor anorganik berupa
mono-, di-, dan trikalsium fosfat, senyawa apatit, dan senyawa fosfat yang berikatan dengan besi
dan alumunium. Fosfor organik berasal dari fitin, asam nukleat, dan fosfolipid (Tisdale et al.,
1985). Fosfor dalam tanah tidak bergerak dan rendah ketersediannya. Hal ini disebabkan fosfor
terikat oleh liat, bahan organik serta oksida Fe dan Al pada tanah dengan pH rendah dan oleh Ca
dan Mg pada tanah dengan pH tinggi (Tan, 1991).

2.5 Kerusakan Lahan Akibat Kegiatan Pasca Penambangan Batubara

Penambangan menyebabkan perubahan bentang lahan dan kualitas tanah hasil


penimbunan setelah penambangan. Struktur tanah penutup rusak sebagai mana sebelumnya, juga
tanah lapisan atas bercampur ataupun terbenam di lapisan dalam. Tanah bagian atas digantikan
tanah dari lapisan bawah yang kurang subur, sebaliknya tanah lapisan atas yang subur berada di
lapisan bawah. Demikian juga populasi hayati tanah yang ada di tanah lapisan atas menjadi
terbenam, sehingga hilang/mati dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Daya dukung tanah
lapisan atas pasca penambangan untuk pertumbuhan tanaman menjadi rendah (Subowo, 2011).
Kerusakan lahan selama ini sering diangkat kepermukaan masyarakat lebih banyak disebabkan
oleh penebangan liar dan kebakaran hutan, dan jarang sekali diangkat karena pertambangan.
Pembukaan lahan ini semata-mata untuk kepentingan eksplorasi bahan tambang ini sebenarnya
lebih parah keadaanya dan akan lebih banyak memerlukan teknik dan biaya dalam
rehabilitasinya (Rustam, 2003).
Penambangan batubara khususnya atau penambahan bahan galian dari perut bumi
seharusnya tidak merusak lingkungan daerah yang ditambang. Pemanfaatan sumber daya alam
harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia serta meningkatkan kualitas
lingkungan hidup (Tala’olu et al, 1995).
Dampak penting yang mungkin timbul pada penambangan batubara pada tahap pra
penambangan adalah terbukanya lahan akibat pembukaan lahan (land clearing). Hal ini akan
menimbulkan dampak lanjutan seperti berkurangnya daya tahan lahan terhadap erosi, perubahan
karakteristik infiltrasi yang akan mempengaruhi pengisian (recharge) air tanah, perubahan
unsur/komponen neraca air, perubahan bentuk bentang lahan dan tata guna lahan, serta
penurunan kualitas akibat dari erosi. Pada tahap penambangan dampak penting yang muncul
adalah terjadinya perubahan bentang alam akibat pengupasan atau penggalian tanah pucuk, tanah
penutup dan batubara. Kemungkinan terjadinya air asam tambang jika air limpasan bereaksi
dengan lapisan tanah penutup yang berpotensi membentuk asam, kemungkinan terjadinya
longsoran pada penimbunan tanah penutup baik diluar areal tambang maupun bekas Tambang
(Rustam, 2003).
Laporan yang disampaikan oleh Cooke & Johnson (2002), serta Dodd &Louis (2003),
menunjukkan bahwa lahan pasca penambangan batubara secara umum dicirikan oleh tekstur
fisik yang sangat kasar dan beragam, mulai lempung sampai lempung berpasir. Pada beberapa
lokasi penambangan nampak berbatu, dan pada tekstur yang sangat halus tidak memiliki
kandungan bahan organik, sangat kompak, dan laju infiltrasi airnya sangat rendah. Pada
umumnya lahan-lahan bekas penambangan memiliki kandungan hara makro yang sangat rendah,
terutama kandungan N, P, K, Na, dan Ca, serta tingkat kemasaman tanah (pH) dan kapasitas
tukar kation (KTK) yang rendah. Selain itu mikroorganisme tanah yang sangat membantu dalam
stabilisasi struktur tanah, sumbangan mineral-mineral inorganik, ataupun sumbangannya dalam
zat pengatur pertumbuhan, juga sangat rendah (Hetrick et al. 1994).

2.6 Reklamasi dan Revegatasi Lahan Pasca Kegiatan Penambangan Batubara


Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 18 tahun 2008
Tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan
rnemperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Kegiatan
penambangan bahan-bahan yang mengandung mineral sulfide seperti batubara dapat memicu
pembentukan asam. Penggalian menyebabkan terangkatnya bahan-bahan sulfidik tersebut ke
permukaan sehingga oksidasi terhadap mineral sulfida seperti pirit akan melepaskan asam-asam
sulfat yang berdampak pada penurunan pH tanah secara drastis.Menurunnya pH akan
meningkatkan kelarutan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan (Rochani dan Retno, 1997).
Secara ekologis revegetasi merupakan bagian dari program reklamasi lahan tambang.
Dalam pelaksanaannya revegetasi lahan tambang seringkali mengalami kesulitan akibat sifat-
sifat fisik dan kimia tanahnya. Tidak adanya tanah pucuk merupakan gambaran yang umum pada
lahan tambang. Kalaupun ada, kandungan nitrogennya sangat rendah sehingga tidak memenuhi
kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman. Keadaan ini akibat tidak adanya bahan organik tanah
yang disediakan oleh pelapukan material tanaman yang telah mati. Selain itu kurangnya
mikroflora tanah membatasi pembusukan material tanaman. Kondisi ini juga diperburuk oleh
lapisan permukaan lahan yang berbatu sehingga mempersulit perkembangan vegetasi akibat
rendahnya laju infiltrasi dan retensi air (Singh 2004).
2.6.1 Penggunaan Legum sebagai Tanaman Penutup Tanah pada Lahan Pasca Kegiatan
Penambangan Batubara
Menurut Kleinman (1996) kegiatan reklamasi lahan pasca tambang yang paling penting
adalah :
1. Penanaman tanaman makanan ternak, yang ditujukan untuk habitat ternak atau hewan
liar yang sebelumnya telah ada
2. Pengendalian erosi tanah
Penanaman tanaman makanan ternak, seperti rumput-rumputan dan leguminosa,
dapat berfungsi sebagai pengendali erosi maupun stabilisasi tanah buangan (mine spoil).
Pada lahan yang terbuka dapat meningkatkan aliran permukaan (runoff) yang dapat
menurunkan kualitas pemukaan air tanah, dan nilai estetika. Pada kondisi semacam ini
biasanya diikuti oleh menurunnya kesuburan tanah, rendahnya kelembaban tanah, serta
tingginya suhu permukaan tanah. Oleh karena itu, langkah awal yang harus dilakukan
pada reklamasi lahan tambang adalah dengan menanam tanaman penutup (cover crop)
oleh tanamanmakanan ternak (Rasmussen, 1998).
Menurut Adiningsih dan Sudjadi (1993), apabila kadar bahan organic dalam tanah
rendah, maka efisiensi pemupukan juga rendah. Untuk meningkatkan kadar bahan organik pada
lahan pasca penambangan dapat ditempuh melalui: penggunaan pupuk kandang, pemberian
mulsa, dan penanaman jenis tanaman legum penutup tanah. Menurut Ruhiyat (1999), Legume
Cover Crop juga menurunkan temperatur tanah dan mengurangi pemadatan tanah dengan
menurunnya beratm volume tanah yang diikuti peningkatan ruang pori total. Sedangkan
terjadinya penurunan pH H2O diduga disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi bahan
organik C dalam tanah yang dalam proses dekomposisinya menghasilkan senyawa-senyawa
organik yang dapat menurunkan pH tanah.
2.6.2 Pupuk dan Cocopeat sebagai Bahan Organik bagi Tanah
Keberhasilan program reklamasi lahan pasca penambangan, khususnya untuk
kepentingan pertanian, adalah dengan penggunaan bahan organik pada lapisan permukaan tanah.
Percobaan yang dilakukan oleh Renault et al. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan bahan
organik sebagai pembenah tanah pada lahan pasca tambang dapat memperbaiki pertumbuhan
tanaman, menstimulasi pertumbuhan akar tanaman, dan meningkatkan berat segar beberapa jenis
tanaman. Namun, penggunaan bahan organik sebagai pembenah tanah di lahan pasca
penambangan sifatnya sementara dan dalam jangka pendek, karena dalam jangka panjang
vegetasi yang ada di lahan pasca penambangan tersebut dapat menyediakan bahan organik
sendiri (Bendfeldt et al. 2001).
Bahan organik tanah adalah produk dari proses dekomposisi bahan-bahan organik yang
berasal dari tumbuhan, hewan ataupun bahan organik lainnya (Stevenson 1994). Proses
dekomposisi ini akan menghasilkan molekulmolekul organik dan inorganik yang lebih sederhana
(Tipping 2000). Pada umumnya bakteri memecah bahan organik menjadi N, P, dan S, yang
semula tidak tersedia menjadi tersedia bagi bagi tanaman. Proses ini disebut sebagai mineralisasi.
Proses dekomposisi bahan organik selanjutnya menghasilkan bahan organik yang lebih kompleks
lagi, yang disebut humus (Juma 1998). Pada reklamasi lahan tambang, terutama lahan yang akan
direvegetasi, perlu dilakukan penambahan bahan organik pembenah tanah. Hal ini sangat
penting, mengingat besarnya manfaat yang disumbangkan oleh pembenah tersebut pada lahan
tambang, yang umumnya miskin akan unsur hara. Bahkan pada kondisi permukaan lahan yang
berbatu pada tambang emas bila ditambahkan pembenah tanah kompos jamur dan biosolid,
pemupukan, dan penggunaan kapur, dapat dilakukan revegetasi (Sydnor & Redente 2002).
Serbuk sabut kelapa (cocopeat) adalah hasil sampingan dari proses pengambilan serat
sabut kelapa. Cocopeat merupakan pengikat antar serat kelapa di dalam sabut kelapa. Cocopeat
mempunyai kandungan lignin dan selulosa yang tinggi. Bahan-bahan yang terkandung di dalam
cocopeat menyebabkan cocopeat tahan terhadap bakteri dan jamur. Cocopeat memiliki pH
sebesar 5,2-6,8 dan sangat sulit untuk diuraikan. Cocopeat akan mulaiterurai dalam jangka waktu
10 tahun pemakaian, sehingga manfaat-manfaat dari cocopeat ini dapat berlangsung lama.
Cocopeat sangat cocok digunakan untuk campuran tanah dalam pot, media pembenihan, media
hydroponik, dan material lapangan golf (Anonim 2007).
Cresswell (2009) mengatakan, cocopeat terdiri dari 2% - 13% serat pendek yang
panjangnya kurang dari 2 cm. Cocopeat bersifat hydrophilic dimana kelembaban akan tersebar
merata pada permukaan serbuk. Kondisi seperti ini menyebabkan cocopeat mudah untuk
menyerap air meskipun berada di udara kering. Cocopeat tidak cocok digunakan sebagai bahan
bakar karena menghasilkan banyak asap dan panas yang dihasilkan sedikit. Cocopeat memiliki
daya serap air yang cukup tinggi yaitu sekitar 8 – 9 kali dari beratnya. Dalam cocopeat
mengandung mineral-mineral seperti N, P, K, Ca, Cl, Mg, Na yang baik untuk media pembibitan
tanaman (DAPCA 2008).
2.6.3 Reklamasi Lahan Bekas Pertambangan Dengan Tanaman Jarak Pagar

Sesuai dengan sifat tanaman jarak yang dapat tumbuh di semua jenis tanah, tetapi yang baik
adalah tanah ringan, lempung berpasir dengan aerasi baik, pH tanah 5 - 6.5 dan iklim kering.
Tanaman tidak tahan terhadap air yang menggenang dan kadar air tinggi. Dari sifat ini, beberapa
kemungkinan untuk reklamasi lahan bekas pertambangan emas dan timah menjadi kedL karena
relatif komponen utama tailing adalah pasir. Tailing perlu dicampur dengan pupuk organic (sektiar
10%) agar bisa ditanami tanamn lain. termasllk jarak. Upaya-upaya reklamasi lahan bekas
pertambangan emas dan timah yang berupa tailing inL perlu dilakukan ul1luk mcmperbaiki solum
tanah dan kesuburannya .

Lahan bekas pertambangan batubara dapat menggunakan timbunan tanah permukaan (top
soil) dengan pengelolaan yang baik. Lahan bekas pertambangan yang sudah kering dan kritis
sebaiknya direklamasi terlebih dahulu dengan tanaman penutup (legum) untuk meningkatkan
kesuburan tanah. Lahan bekas bioremediasi memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan tanaman
jarak. Umumnya lahan tersebut merupakan pasca pengolahan bioremediasi dengan teknik
landfarming atau biopile, yang banyak mengandung komponen kimia (N,P,K) yang kaya walaupun
masih mengandung minyak bumi (maksimum 1% TPH). Dengan alternatif penanaman jarak pagar ini
akan membuka peluang pemanfaatan tanah atau lahan pasca bioremediasi. Produk biji jarak akan
dipane'n dan diekstrak minyaknya untuk keperluan biodiesel. Dengan demikian, produk biji dan
minyak jarak ini bukan merupakan bahan pangan atau pakan yang dikawatirkan akan ada residu
bahan berbahaya dari minyak bumi.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lahan bekas pertambangan batubara dapat menggunakan timbunan tanah permukaan (top
soil) dengan pengelolaan yang baik. Lahan bekas pertambangan yang sudah kering dan kritis
sebaiknya direklamasi terlebih dahulu dengan tanaman penutup (legum) untuk meningkatkan
kesuburan tanah. Lahan bekas bioremediasi memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan tanaman
jarak. Umumnya lahan tersebut merupakan pasca pengolahan bioremediasi dengan teknik
landfarming atau biopile, yang banyak mengandung komponen kimia (N,P,K) yang kaya walaupun
masih mengandung minyak bumi (maksimum 1% TPH). Dengan alternatif penanaman jarak pagar ini
akan membuka peluang pemanfaatan tanah atau lahan pasca bioremediasi. Produk biji jarak akan
dipane'n dan diekstrak minyaknya untuk keperluan biodiesel. Dengan demikian, produk biji dan
minyak jarak ini bukan merupakan bahan pangan atau pakan yang dikawatirkan akan ada residu
bahan berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA
Kustiawan W., 1990. Some Consequences of Plantation Establishment Proceeding of Regional
Seminar or Conservation for Development of Tropical Forest in Kalimantan, Indonesia-
German Forestry Project in Mulawarman University, Samarinda.

Kustiawan, W. dan M. Sutisna, 1994. Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan Batubara di


Kalimantan Timur : Evaluasi Pertumbuhan Tanaman di Lahan Bekas Galian Batubara,
Laporan Penelitian PSL. Puslit Unmul, Samarinda

Nuripto, 1995. Analisis Vegetasi Pada Lahan Bekas Tambang Batubara Sistem Terbuka di PT.
Kitadin, Embalut, Kabupaten Kutai. Skripsi Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda

Padlie, 1997. Pengkajian Sifat-sifat Tanah pada Areal Bekas Penambangan Batubara Terbuka 1,
4 dan 6 Tahun, di PT. Multi Harapan Utama, Bukit Harapan, Kabupaten Kutai. Skripsi
Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda

R. U. Cooke and J. C. Doornkamp, 1990. Geomorphology in Environmental


Management, Clarendon Press, Oxford

Sarwono Hardjowigeno, 1985. Kalsifikasi Tanah, Survei Tanah, dan Evaluasi Kemampuan
Lahan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Stefanko, R, 1983. Coal Mining Technology Theory & Practice. Published by Society of Mining
Engineers of The American Institute of Mining, Metallurgical, and Petroleum Engineers
Inc New York, New York

Soerianegara, I. dan Indrawan, 1976. Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai