Anda di halaman 1dari 9

GALIAN C

Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumberdaya alam seperti bahan galian,
mineral, minyak bumi, gas alam, flora dan fauna baik yang berada di tanah, air maupun udara
yang merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional. Pembangunan
berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan negara yang
menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan
untuk kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang (Arif, 2007).
Menurut UU No.11 Tahun 1967, bahan tambang tergolong menjadi 3 jenis, yakni
Golongan A (yang disebut sebagai bahan strategis), Golongan B (bahan vital), dan Golongan
C (bahan tidak strategis dan tidak vital). Penggunaan kata bahan galian golongan C yang
sebelumnya telah diatur dalam UU No 11 Tahun 1967 silam tersebut telah diubah berdasarkan
UU No 4 Tahun 2009, menjadi 'batuan', sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C
sebetulnya tidak relevan lagi karna sudah secara khusus disebut “batuan”, namun masyarakat
sudah terlanjur akrab dengan sebutan “ Galian C”.
Dalam UU No 4 Tahun 2009, galian C masuk dalam kategori pertambangan mineral.
Dalam penjelasan yang lebih sederhana “ Galian C ” adalah bahan tambang yang lumrah
digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Baik bangunan pribadi seperti rumah, dan swasta
maupun pemerintah seperti pembangunan jalan dan jembatan. Bahan tambang tersebut berupa
pasir kali, batu pecah, krokol, tanah hurug, padas, dll.
Galian C merupakan pertambangan rakyat, artinya dilakukan oleh masyarakat yang
berdomisili di area pertambangan secara kecil-kecilan atau gotong royong dengan alat-alat
sederhana. Tujuan mereka adalah untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari. Dilaksanakan
secara sederhana dan dengan alat sederhana, jadi tidak menggunakan teknologi canggih,
sebagaimana halnya dengan perusahaan pertambangan yang mempunyai modal besar dan
memakai teknologi canggih. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur pertambangan
rakyat, yaitu :
1. Usaha pertambangan
2. Bahan galian meliputi bahan galian strategis, vital dan galian C
3. Dilakukan oleh rakyat
4. Domisili di area tambang rakyat
5. Untuk penghidupan sehari-hari
6. Diusahakan dengan cara sederhana
Salah satu bahan galian yang cukup banyak dikandung bumi Indonesia ini yaitu pasir.
Pasir merupakan salah satu bahan baku utama untuk bangunan sipil seperti rumah, gedung,
jalan, jembatan, pelabuhan, bendungan dan lain-lain, baik untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat lokal maupun komoditi keluar daerah tempat penambangan dilakukan (Dinas
Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Cirebon, 2005).
Sebagian besar bahan tambang galian C adalah pasir yang digunakan untuk bangunan
dengan syarat pasir atau agregat halus yang baik sesuai dengan SNI S–04–1989–F : 28, yaitu :
1. Agregat halus harus terdiri dari butiran yang tajam dan keras dengan indeks kekerasan <
2,2;
2. Sifat kekal apabila diuji dengan larutan jenuh garam sulfat sebagai berikut:
a. jika dipakai natriun sufat bagian hancur maksimal 12%.
b. jika dipakai magnesium sulfat bagian halus maksimal 10%.
3. Tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5% dan apabila pasir mengandung lumpur lebih
dari 5% maka pasir harus dicuci.
4. Pasir tidak boleh mengadung bahan-bahan organik terlalu banyak, yang harus dibuktikan
dengan percobaan warna dari Abrans–Harder dengan larutan jenuh NaOH 3%.
5. Susunan besar butir pasir mempunyai modulus kehalusan antara 1,5 sampai 3,8 dan terdiri
dari butir-butir yang beraneka ragam.
6. Untuk beton dengan tingkat keawetan yang tinggi reaksi pasir terhadap alkali harus negatif.
7. Pasir laut tidak boleh digunakan sebagai agregat halus untuk semua mutu beton kecuali
dengan petunjuk dari lembaga pemerintahan bahan bangunanyang diakui.
8. Agregat halus yang digunakan untuk plesteran dan spesi terapan harus memenuhi
persyaratan pasir pasangan
Pemanfaatan pasir dilakukan dengan penambangan pasir yang pada umumnya
menggunakan sistem penambangan terbuka. Menurut Tim Puslitbang Tekmira 2004,
penambangan terbuka adalah kegiatan penambangan atau penggalian bahan galian yang
prosesnya langsung berhubungan dengan udara terbuka. Kegiatan penambangan secara umum
terdiri atas pembersihan lahan, pengupasan tanah penutup, pembongkaran, pemilihan,
pemuatan, pengangkutan, pengecilan ukuran, pencucian/pemurnian, pemasaran, dan
reklamasi.
Kegiatan penambangan tersebut mengakibatkan permasalahan lingkungan seperti
pencemaran, kerusakan dan bencana dari tahun ke tahun masih berlangsung dan semakin luas.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, selain itu juga
memberikan dampak yang serius terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Kegiatan

1
penambangan pasir dengan sistem penambangan terbuka memberikan manfaat antara lain
sebagai sumber bahan baku bangunan sipil, sumber mata pencaharian penduduk lokal,
kesempatan kerja akan lebih terbuka serta sekaligus akan menambah pemasukan ekonomi dan
menambah pendapatan daerah. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, maka dapat
menimbulkan dampak negatif, baik yang diderita oleh lingkungan setempat maupun mencakup
wilayah yang lebih luas dalam jangka waktu pendek maupun dalam jangka waktu yang
panjang.
Seiring perkembangan jaman, aktifitas penambangan yang semula dilakukan dalam skala
kecil oleh masyarakat sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) seperti mengumpulkan batu pecah
atau pasir misalnya, kini mulai menjadi skala besar (baca = depo) yang berpotensi “merusak”
lingkungan terutama DAS (Daerah Aliran Sungai) karna banyak yang menggunakan alat-alat
berat, sehingga di berbagai daerah aktifitas “Galian C” ini mulai menimbulkan Pro dan Kontra
di masyarakat. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan berdampak pada penurunan
kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan (Kartodihardjo, dkk.,2005).
Dampak negatif dari penambangan pasir dengan sistem penambangan terbuka ini
terutama diakibatkan oleh degradasi lingkungan, perubahan geologi lingkungan antara lain
kondisi estetika, topografi, kemiringan lereng, elevasi ketinggian, tersingkapnya batuan dasar,
erosi, sedimentasi, kualitas dan kuantitas air tanah serta air permukaan, tata guna lahan,
kestabilan batuan/ tanah, penurunan produktivitas tanah, kesuburan tanah, jumlah
mikroorganisme tanah dan daya serap/permeabilitas; gangguan terhadap flora dan fauna;
perubahan iklim mikro, serta berbagai permasalahan sosial. Hal tersebut menjadi salah satu
penyokong dampak negatif bagi pembangunan di masa mendatang. Jika daya dukung
lingkungan telah dilampaui, maka fungsi ekosistem menjadi terganggu (Dinas LHKP Kab.
Cirebon 2005).
Kerusakan sumber daya alam semakin meningkat baik dalam jumlah maupun sebaran
wilayahnya. Secara fisik kerusakan tersebut disebabkan oleh tingginya eksploitasi yang
dilakukan, bukan hanya dalam kawasan produksi yang dibatasi oleh daya dukung sumber daya
alam, melainkan juga terjadi di dalam kawasan lindung dan konservasi yang telah ditetapkan
sebelumnya. Kerusakan tersebut disebabkan baik oleh usaha-usaha komersial yang secara sah
mendapat ijin maupun oleh individu-individu yang tidak mendapat ijin.
Maryani (2007) menyatakan bahwa dampak penambangan pasir terhadap tanah, yaitu
merubah sifat fisik tanah, meningkatkan bulk density, menurunkan porositas, menurunkan
kadar air, dan menurunkan permeabilitas tanah. Perubahan sifat kimia tanah mengakibatkan
penurunan pH, organik tanah, unsur hara, dan KTK tanah. Perubahan sifat biologi tanah

2
mengakibatkan penurunan populasi organisme tanah. Penambangan pasir umumunya
dilakukan dengan sistem penambangan terbuka, sehingga sangat berdampak terhadap sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah (Utami 2009). Lahan bekas penambangan pasir demikian
menjadi marginal dan menimbulkan kendala dalam revegetasi.

PERMASALAHAN YANG TIMBUL PADA KEGIATAN PERTAMBANGAN PASIR


(GALIAN C)
Proses kegiatan penambangan pasir di mulai dari pembersihan vegetasi hingga pasir
dipasarkan kepada konsumen, seperti pada diagram dibawah ini :

Pengambilan atau
Vegetasi di atas Pengupasan lapisan pengerukan batuan
tanah topsoil pasir (menggunakan
beko/escavator)

Pengangkutan
batuan pasir dengan
Pemasaran Pengumpulan
truk ke lokasi
penyaringan pasir

Dalam proses penambangan tersebut dapat diketahui bahwa setiap proses mengakibatkan
rusaknya lingkungan. Kegiatan penambangan pasir dapat mempengaruhi kondisi fisik tanah
(Nur Hikmah Utami, 2009), yaitu :
1. Pada lokasi penambangan pasir terjadi ketidakstabilan struktur tanah akibat proses
penambangan, terjadi pemadatan tanah akibat penggunaan alat-alat berat dalam proses
penambangan yang menyebabkan pori-pori tanah semakin kecil (ruang pori berkurang)
sehingga porositas kecil yang menyebabkan aerasi tanah tidak baik dan pada akhirnya akan
menyulitkan pertumbuhan akar tanaman oleh karena itulah memiliki nilai bulk density yang
lebih tinggi.
2. Porositas tanah pada lokasi penambangan pasir galian C tergolong jauh lebih rendah
dibandingkan dengan lokasi kebun campuran dan sawah. Hal tersebut menunjukkan bahwa

3
kegiatan penambangan pasir mengakibatkan porositas tanah pasir menjadi buruk, yang
diakibatkan berubahnya ukuran pori tanah akibat alat-alat berat.
3. Karena telah terjadi peningkatan bulk density setelah kegiatan penambangan pasir maka
tanah menjadi lebih padat (karena penggunaan alat berat, struktur tanah berubah) dan
porositas tanah menjadi rendah (jika nilai bulk density tinggi maka porositas tanah rendah
pori drainase sangat cepatnya menjadi rendah). Selain itu, padatnya tanah mengakibatkan
aerasi yang tidak baik serta sedikitnya air yang tersedia dalam tanah.
Selain pengaruh terhadap sifat fisik tanah juga berpengaruh terhadap sifat kimia tanah,
yaitu :
1. Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada lokasi penambangan pasir yang memiliki kandungan
pasir tinggi memiliki KTK yang rendah.
2. Jumlah bahan organik pada lahan paska tambang pasir menjadi rendah karena tidak ada
vegetasi di atasnya dan proses dekomposisi rendah akibat kegiatan penambangan terlebih
lagi pada lokasi lahan paska tambang telah terjadi pemadatan tanah dan perubahan sifat
fisik dari tanah serta sifat dasar dari Nitrogen yang memang mudah hilang dari tanah.
Kegiatan penambangan juga berpengaruh terhadap keberadaan mikroorganisme, bakteri
pelarut phosfat dan fungi di dalam tanah.
Permasalahan-permasalahan lain timbul pada daerah pertambangan pasir, seperti di
Kabupaten Klaten (Provinsi Jawa Tengah) tepatnya di Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang
terdapat aktivitas penambangan liar di lereng Merapi yang dapat mengakibatkan erosi yang
mengancam keselamatan penduduk yang tinggal tidak jauh dari lokasi tersebut.
(http://www.solopos.com/2014/03/05/galian-c-klaten-inilah-kali-woro-klaten-yang-rusak-
digerus-penambang-liar-493778).
Selain di daerah pegunungan, penambangan galian C juga terjadi pada daerah pesisir
pantai. Kabupaten Alor (Provinsi Nusa Tenggara Timur) merupakan lokasi penambangan pasir
di daerah pesisir pantai. Penambangan tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan pesisir,
berkurangnya sumber daya laut dan meningkatnya bencana abrasi pantai.
(https://tribuanapos.com/2017/11/08/mitigasi-dampak-kerusakan-lingkungan-pasir-akibat-
kegiatan-penambangan-pasir-pantai-di-kabupaten-alor/). Kegiatan penambangan ini
dilakukan oleh masyarakat wilayah pesisir itu sendiri sebagai salah satu mata pencaharian
mereka.

4
Aktivitas penambangan juga dilakukan di Desa Cibeureum Wetan (Kecamatan
Cimalaka, Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat) telah terjadi dalam jangka waktu yang
cukup lama (dimulai tahun 1983) dan menjadi lokasi penyuplai bahan material pasir untuk
wilayah Jawa Barat khususnya.

SISTEM KONSERVASI/REKLAMASI BEKAS TAMBANG GALIAN C


Berdasarkan Peraturan Menteri Pertambangan No. 4 Tahun 1977 tentang pencegahan dan
penanggulangan terhadap gangguan dan pencemaran sebagai akibat usaha pertambangan,
disebutkan bahwa reklamasi adalah setiap pekerjaan yang bertujuan memperbaiki atau
mengembalikan kemanfaatan tanah yang diakibatkan oleh usaha usaha pertambangan umum.
Tujuan dari reklamasi antara lain agar bekas lahan pertambangan dapat dimanfaatkan kembali
bagi kehidupan dan terjaminnya kesejahteraan sekarang dan mendatang.
Di beberapa lokasi penambangan tanah hasil pengupasan lahan tidak dimanfaatkan
dengan baik sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Sehingga untuk pelaksanaan
konservasi tanah hasil pengupasan lahan sebisa mungkin harus dikelola dengan baik dan pada
penutupan tambang dapat dikembalikan ke lokasi lahan sebelumnya dan dilarang untuk
menjualnya sebagai tanah urug. Proses reklamasi sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan
proses penambangan, proses revegetasi yang dilakukan menggunakan tanaman yang sesuai
dengan kondisi setempat, dan kegiatan reklamasi direncanakan dari awal penataan lahan.

5
Reklamasi tambang galian C di Desa Cibeureum Wetan (Jawa Barat) dengan
menggunakan cebreng (tanaman Gamal = Gliricidia sepium) merupakan tanaman golongan
leguminoceae yang banyak tumbuh di daerah tropis, yang mampu beradaptasi disegala jenis
tanah termasuk di tanah kering. Tanaman ini biasanya digunakan sebagai tanaman pagar
(border) dalam suatu usaha pertanian karena batang tanaman ini dapat tumbuh besar selama
bertahun-tahun.

Cebreng dapat memperbaiki sifat fisik tanah dengan merubah tekstur dari tanah tersebut
menjadi tekstur yang memiliki persen halus lebih tinggi, mampu menurunkan pH tersebut
menjadi pH yang lebih sesuai dengan pertumbuhan tanaman dan memperbaiki sifat biologi
tanah dihasilkan dari serasah daun cebreng yang jatuh ke tanah dan pemberian pupuk kandang
yang dihasilkan dari kotoran hewan serta sisa pakan. (Ikrar N., 2015)
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemanfaatan/penggunaan lahan
di kawasan hutan konservasi secara tegas dilarang. Akan tetapi, kenyataannya banyak aktivitas
pertambangan dilakukan di hutan konservasi, baik secara legal maupun ilegal (LPEM, 2015).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam presentasi tentang koordinasi dan supervisi
pengelolaan mineral dan batu bara di 19 provinsi pada akhir 2014, menyatakan bahwa izin
pertambangan di kawasan hutan konservasi mencapai 1,37 juta hektar (KPK, 2014). Dalam
kajian yang dilakukan Brockhaus et al., juga diakui bahwa kawasan hutan terus berkurang
karena pertambangan, baik skala kecil maupun besar, dan regulasi yang dikeluarkan pada tahun
2007 dan 2010 memunculkan mekanisme yang memungkinkan pertambangan di hutan lindung
dan kawasan konservasi (Brockhaus et al., 2012).
Penerapan one-map policy dapat digunakan untuk mengatasi masalah perizinan. One-
map policy sudah mulai diimplementasikan sejak Desember 2014, sebagaimana diatur dalam
UU No. 4/2011 tentang Informasi Geospasial. Salah satu tujuan penerapan one-map policy ini

6
adalah untuk mengurangi klaim tumpang tindih lahan di berbagai sektor, yang muncul sebagai
akibat perbedaan data dan standar pemetaan. Untuk mengatasi masalah koordinasi,
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.97/Menhut-II/2014,
IUP dan IPPKH akan diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Bersama
implementasi one-map policy, kebijakan perizinan satu atap ini diharapkan dapat mengurangi
kemungkinan diterbitkannya izin pertambangan di wilayah yang terlarang, salah satunya
kawasan konservasi.
Menurut Joseph YAD dan Agung S. (2014), peranan reklamasi dalam mengurangi
dampak penambangan pasir di pesisir pantai adalah memperbaiki bentuk lahan dan bentang
alam pesisir agar tidak mudah abrasi serta menjaga biota terestrial yang ada di pesisir tersebut
seperti tanaman tanaman pantai. Selain itu juga dilakukan revegetasi yaitu menyediakan
kembali tanaman tanaman yang berguna untuk gumuk pasir di pesisir pantai, sebagai penahan
air di kawasan pesisir pantai agar tidak terjadi abrasi, dan sebagai lahan pertanian bagi petani.

KESIMPULAN
1. Kegiatan penambangan galian C mengakibatkan permasalahan lingkungan seperti
pencemaran, kerusakan dan bencana dari tahun ke tahun masih berlangsung dan semakin
luas. Kondisi tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, selain itu juga
memberikan dampak yang serius terhadap kesehatan dan jiwa manusia.
2. Dampak kegiatan penambangan pasir berupa dampak fisik dan dampak sosial ekonomi baik
positif maupun negatif, maka diperlukan suatu upaya pengelolaan lingkungan agar dampak
negatif yang terjadi tidak semakin meluas atau semakin parah.
3. Pengelolaan lingkungan lokasi penambangan pasir pada setiap tahap kegiatannya sejak dari
perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan, harus selalu melibatkan
masyarakat setempat secara utuh dan nyata sehingga benar-benar terwujud pemberdayaan
masyarakat.
4. Proses reklamasi sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan proses penambangan, proses
revegetasi yang dilakukan menggunakan tanaman yang sesuai dengan kondisi setempat,
dan kegiatan reklamasi direncanakan dari awal penataan lahan.

DAFTAR PUSTAKA
Arif, I. 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan
Lingkungan Dunia Pertambangan. Manado : Universitas Sam Ratulangi.

7
Awaludin. A. Ilyas, ST, MSc. 2017. Mitigasi Dampak Kerusakan Lingkungan Pasir Akibat
Kegiatan Penambangan Pasir Pantai di Kabupaten Alor. (Online). Tersedia :
https://tribuanapos.com/2017/11/08/mitigasi-dampak-kerusakan-lingkungan-pasir-
akibat-kegiatan-penambangan-pasir-pantai-di-kabupaten-alor/.
Ginanjar, D.R., dkk. 2013. Manajemen Optimalisasi Lahan Bekas Tambang Pasir (Galian C)
Dengan Pemanfaatan Tanaman Perintis Cebreng (Gliricidia sepium) (Studi Kasus di
Desa Cibeurem Wetan, Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat). Bandung : Universitas
Padjadjaran.
Joseph Y A Dara dan Agung Sugiri. 2014. Kajian Penanganan Dampak Penambangan Pasir
Besi Terhadap Lingkungan Fisik Pantai Ketawang Kabupaten Purworejo. Semarang :
Jurnal Teknik PWK Volume 3 Nomor 1 2014. Universitas Diponegoro.
Kartodihardjo, H., Safitri, M., Ivalerina, F., Khan A., Tjendronegoro, S.M.P. 2005. Di Bawah
Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta : Suara Bebas.
Maryani IS. 2007. Dampak penambangan pasir pada lahan hutan alam terhadap sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Tim Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertambangan. 2005. Pemetaan dan Pengkajian
Galian Golongan C di Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa
Barat. Cirebon: Dinas LHK&P.
Tim Peneliti LPEM FEUI. 2015. Pertambangan di Kawasan Konservasi: Permasalahan
Regulasi dan Koordinasi. Jakarta : Universitas Indonesia.
Utami NH. 2009. Kajian sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biologi tanah paska tambang galian
c pada tiga penutupan lahan (studi kasus pertambangan pasir (galian c) di Desa
Gumulung Tonggoh, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa
Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Solo Pos. 2014. GALIAN C KLATEN : Inilah Kali Woro Klaten yang Rusak Digerus
Penambang Liar. (Online). Tersedia : http://www.solopos.com/2014/03/05/galian-c-
klaten-inilah-kali-woro-klaten-yang-rusak-digerus-penambang-liar-493778.

Anda mungkin juga menyukai