BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Kekayaan alam Indonesia berasal dari hasil sawah, hutan, laut, dan
tanpa terkecuali hasil bumi atau bahan tambangnya. Saat ini, kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang menjadi semakin marak dilakukan
karena dapat memberikan hasil atau kontribusi yang positif terhadap
kesejahteraan masyarakat.
Namun di sisi lain, kontribusi positif yang diberikan dari kegiatan
pertambangan ini tidak sebanding dengan dampak negatifnya terhadap
kualitas lingkungan, yaitu berupa pencemaran lingkungan. Pencemaran
lingkungan dari kegiatan pertambangan ini disebabkan oleh adanya tailing,
yaitu produk samping hasil pertambangan yang dibuang ke lingkungan
sekitarnya.
Air asam tambang (AAT) adalah salah satu produk samping yang
dihasilkan oleh industri pertambangan. Air asam tambang merupakan hasil
dari oksidasi batuan yang mengandung pirit (FeS2) dan mineral sulfida dari
sisa batuan yang terpapar oleh oksigen yang berada dalam air (Elberling, et.
al., 2008) dan banyak ditemukan di sekitar pit pertambangan. Air asam
tambang banyak mengandung mineral logam terlarut seperti Al, Cu, Fe, Hg,
Ni, Pb dan Zn yang dapat membahayakan membahayakan ekologi perairan.
Tambang Batu Hijau merupakan salah satu area pertambangan logam
tembaga dan emas yang dikelola oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (PT.
NNT) di Kabupaten Sumbawa Barat. PT. NNT mulai beroperasi penuh dari
tahun 2000 dan masih aktif sampai sekarang. Proses pertambangan terbuka
yang dilakukan menyebabkan pembentukan air asam tambang yang tidak
dapat dihindari. Salah satu upaya PT. NNT dalam menanggulangi bahaya air
asam tambang yang dihasilkan adalah melakukan proses pengolahan untuk
menetralkan dan menurunkan konsentrasi logam tembaga terlarut dalam air
asam tambang. Aliran air asam tambang yang terbentuk di pit pertambangan
dipompa ke sistem pengolahan air untuk dinetralkan dengan pemberian kapur.
Selanjutnya, sodium hydrosulfide (NaHS) diberikan untuk mengendapkan
dan recovery tembaga terlarut yang terkandung di dalam air asam tambang.
Sodium hydrosulfide (NaHS) merupakan reagen yang banyak
digunakan untuk mengendapkan tembaga. Reagen NaHS mampu
mengendapkan tembaga terlarut dari aliran air tambang sebesar 30-35%
(Lestari et. al., 2006). Meskipun begitu, NaHS termasuk reagen yang mahal
dan bersifat toksik. Reagen ini jika bercampur dengan asam atau terkena
panas akan mengakibatkan terbentuknya gas H2S yang bersifat toksik dan
dapat menyebabkan kematian (Safety Bulletin of U.S. Chemical Safety and
Hazard Investigation Board, 2004). Oleh karena itu, diperlukanlah suatu
bahan yang lebih aman dengan harga yang terjangkau serta efektif dalam
mengendapkan dan recovery tembaga terlarut.
Zulkarnaen (2014) menemukan bahwa air belerang alami yang
diambil dari daerah Sebau mampu menggantikan NaHS dalam reaksi
sulfidasi. Pengendapan logam terlarut Cu tercatat mencapai 99,8%. Nilai ini
tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengendapan logam Cu dengan
NaHS yang hanya mencapai 71,3%. Dari penelitian yang dilakukan pada
laboratorium tersebut, diharapkan dapat diaplikasikan ke lapangan untuk
mengendapkan dan recovery tembaga yang terkandung dalam air asam
tambang.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana karakteristik air asam tambang PT.NNT dan air belerang
alami Sebau?
b. Dimana lokasi air belerang alami Sebau yang mampu menetralisir
dan mengendapkan Cu terlarut dalam air asam tambang?
c. Bagaimana korelasi antara air belerang alami dengan konsentrasi Cu
terlarut dalam air asam tambang PT.NNT?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mempelajari karakteristik air asam tambang PT.NNT dan air belerang
alami Sebau.
b. Menemukan lokasi sumber air belerang alami Sebau yang mampu
menetralisir dan menangkap Cu terlarut dalam air asam tambang.
c. Menemukan korelasi antara konsentrasi air belerang alami Sebau dan
konsentrasi Cu terlarut dalam air asam tambang PT.NNT.
1.4 Manfaat Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Asam Tambang
Air asam tambang atau dikenal dalam bahasa inggris acid mine
drainage merupakan limbah cair industri pertambangan yang bersifat asam
dan mengandung berbagai logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Air
asam tambang terbentuk karena adanya kontak antara mineral sulfida dengan
oksigen dan air yang menyebabkan terbentuknya reaksi kimia yang
menghasilkan air asam dan air asam ini akan melarutkan logam-logam berat
yang terkandung di batuan sekitar maupun dari alat-alat berat yang
bersentuhan dengan air asam tersebut. Air asam tambang sangat berbahaya
bagi lingkungan karena kondisi asamnya dan logam berat yang dimilikinya
dapat merusak biota perairan yang ada di sungai, danau atau laut, serta dapat
menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit bagi manusia yang
mengonsumsi air tersebut bahkan bisa menyebabkan keracunan yang berakhir
pada kematian. Secara umum air asam tambang terdiri dari asam sulfat yang
ber-pH 2-3, ion logam berat yang terlarut (Fe+2, Mn+, Cu+2, Al3+), serta
bakteri pengoksida sulfur. Dari beberapa unsur ini yang dapat dimanfaatkan
dan bernilai jual adalah asam sulfat dan logam berat seperti besi, mangan,
tembaga, dan aluminium (Anonim).
Air asam tambang (AAT) terjadi bila batuan yang mengandung
mineral sulfida (misalnya pirit) terbuka atau terhampar mengalami kontak
dengan udara dan air sehingga terjadi oksidasi. Proses oksidasi batuan atau
mineral sulfida dipercepat dengan adanya bakteri. Hal ini biasanya terjadi
pada kegiatan penambangan batu bara atau bahan tambang yang lain.
AAT dihasilkan dari dinding-dinding batuan yang terpapar seperti lubang
tambang, batuan limbah yang ditumpuk, dan material yang ditimbun.
Adanya air permukaan akibat hujan akan memindahkan air asam, logamlogam- dan sulfat-larut ke air bawah tanah dan air permukaan (Kem, 2004).
Produksi asam dan pelarutan logam-logam merupakan persoalan
utama yang berkaitan dengan pencemaran dari kegiatan penambangan
terutama batubara. Pirit (FeS2) bertanggung jawab terhadap dimulainya
produksi asam dan pelarutan logam-logam di penambangan batubara dan
tambang yang lainnya. Ketika pirit bersinggungan dengan oksigen dan air,
akan terjadi oksidasi pirit, menghasilkan ion Hidrogen, keasaman, ion sulfat,
dan kation logam yang larut. Oksidasi pirit ini terjadi di dalam batuan takterusik tetapi laju oksidasi sangat lambat dan air mampu menyanggah
keasamannya. Penambangan meningkatkan persinggungan luas permukaan
batuan mengandung sulfur sehingga diproduksi asam yang berlebihan di
atas kemampuan daya sanggah air (Costello, 2003).
AAT dicirikan oleh konsentrasi sulfat, logam larut, dan kemasaman
yang tinggi dengan pH < 4,5 ( Skousen et al. 2000). Reaksi oksidasi
tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut:
FeS2 + 7/2 O2 + H2O
2+
Oksidasi Fe
air cukup.
2+
Fe
2-
+ 2 SO4
+
+ 2 H ... (1)
3+
ke Fe terjadi ketika ketersediaan oksigen yang larut dalam
+
FeS2+ O2 + H
Fe
3+
Besi (III) dapat diendapkan sebagai besi hidroksida berwarna merah jambu
tampak di dalam air yang dipengaruhi oleh air asam tambang atau dapat
bereaksi langsung dengan pirit menghasilkan besi (II) dan keasaman yang
lebih banyak.
3+
Fe
+ 3 H2O
+
Fe(OH)3 + 3 H (3)
3+
FeS2 + 14 Fe + 8H2O
2+
15 Fe
2-
+ 2 SO4
+
+ 16 H ..(4)
2.2 Tembaga
Tembaga adalah logam yang relatif tidak reaktif, di alam terkadang
ditemukan dalam keadaan bebas. Bijih tembaga membentuk senyawa oksida,
sulfida dan karbonat. Bijih tembaga biasanya ditemukan sebagai: pirit
(CuFeS2), galena (Cu2S), kuprit (Cu2O), malasit [Cu(OH)2.CuCO3], dan
azurit [Cu(OH)2.2CuCO3]. Bijih tembaga-besi sulfida (CuFeS2) paling
banyak ditemukan di alam yang merupakan campuran besi sulfida dan
tembaga sulfida (Vogel, 1985).
larut ke bentuk
untuk
mengubah
senyawa
Suhu
Jenis pelarut
Ion senama
Pengaruh pH
Terbentuknyaion kompleks
a. W aktu kontak
Semakin lama kontak antara limbah dan reagen maka ion-ion
tembaga (Cu2+) akan semakin ban.yak yang mengendap sehingga
kadar tembaga (Cu2+) dalam limbah cair berkurang.
disediakan dengan
hidrogen
Sebagian gas toksik dari dasar danau adalah gas hidrogen sulfida
(H2S), yang terbentuk karena adanya proses reduksi senyawa sulfur yang
terjadi di bawah permukaan air danau dan lapisan bentik di badan air yang
Hidrogen sulfida terdapat di alam dari gas yang berasal dari daerah
gunung berapi dan keluar dari suatu mata air belerang. Terbentuk juga bila
senyawa organik yang mengandung belerang seperti protein membusuk dan
terurai di tempat yang tidak ada udara, misalnya dalam saluran pembuangan
(Sugiarto, 2001).
Sulfida merupakan senyawa sulfur dengan unsur lainnya terutama
dengan logam. Sulfida merupakan salah satu bahan galian yang terdapat
dalam perut bumi terutama didaerah pegunungan. Salah satu sumber sulfur
yang terdapat di daerah lombok adalah sumur belerang sebau. Mata air
belerang sebau ini berupa kolam pemandian yang yang diperkirakan terdapat
senyawa sulfur dalam bentuk HS- yang terlarut dalam pemandian tersebut.
Dalam air, ion HS- sangat mudah membentuk H 2 S yang beracun terutama
dalam kondisi asam (Cook, 2008).
2. Prinsip pelaksanaan
Larutan cuplikan diambil melalui kapiler dan disempurnakan
sebagai kabut halus dalam nyala api yang berbentuk memanjang. Setelah
cuplikan dalam kabut halus mengalami berbagai proses dalam nyala
api, maka akhirnya unsur logam' yang dianalisis timbul sebagai atom
netral yang masih ada dalam keadaan dasamya. atom-atom tersebut
(1)
(2)
2.6 Konduktivitimetri
Konduktivitimetri merupakan metode yang digunakan dalam analisis
kimia yang didasarkan pada daya hantar listrik pada suatu larutan. Daya
hantar listrik suatu larutan tergantung pada jenis dan konsentrasi ion di
dalam suatu larutan. Nilai daya hantar listrik yang ditunjukkan merupakan
akibat dari pergerakan ion dari larutan. Larutan yang memiliki nilai daya
hantar yang tinggi merupakan akibat dari kemudahan pergerakan dari ion
yang terdapat dalam larutan tersebut (Hendayana dkk, 1994).
Konduktivitimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur daya
hantar listrik yang diakibatkan oleh gerakan partikel dalam sebuah larutan.
Faktor yang mempengaruhi daya hantar listrik adalah perubahan suhu dan
konsentrasi. Dimana jika semakin besar suhu suatu larutan maka daya hantar
listriknya juga semakin besar dan apabila suhu yang digunakan rendah maka
daya hantarnya akan rendah pula begitu juga dengan konsentrasi jika
konsentrasi zat dalam suatu larutan tinggi maka daya hantarnya akan tinggi,
sebaliknya jika konsentrasi rendah maka daya hantar akan rendah pula.
Prinsip kerja konduktivitimeter adalah dua buah probe dihubungkan ke
Gambar 2.2
Konduktivitimeter
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat eksploratif dan eksperimental, yaitu
pelacakan air belerang alami sebau yang dapat menangkap cu terlarut dalam
air asam tambang PT.NNT.
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air asam
tambang (AAT) yang berasal dari pit PT. NNT, sampel air belerang yang
berasal dari kolam pemandian belerang di Sebau, Lombok Timur, padatan
Cu, CaO, HCl 1M, indikator amilum, Na2S2O3 0,025N, MnSO4, KOHKI, H2SO4 pekat, dan aquades.
3.4.3
3.4.5
3.4.6
belerang yaitu 0%, 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% dan kemudian
direaksikan dengan air asam tambang dengan rasio antara air belerang
alami dan air asam tambang 1:1. Hasil reaksi didiamkan selama kurang
lebih 24 jam, kemudian endapan disaring. Filtrat yang dihasilkan
kemudian diukur daya hantar listrik dan absorbansinya dengan AAS.
konsentrasi tembaga.
Dianalisis kandungan sulfida.
Filtrat
kandungan sulfida.
Dianalisis kandungan sulfida
Filtrat
3. Pembuatan Larutan Induk Cu2+ 7x10-4 M
1,98865 gram CuO
- Ditambahkan HCl sampai larut
- Ditambahkan sampai volume 250
mL dengan aquades.
Larutan Cu 0,1 M
- Diambil 25 mL
- Diencerkan sampai volume tepat
2+
rasio 1:1
Didiamkan selama 24 jam
Disaring
Diukur daya hantar listrik
Diukur absorbansi dengan AAS
Diulangi pengukuran setelah 3
hari reaksi
Konsentrasi Cu terlarut