Anda di halaman 1dari 25

PELACAKAN AIR BELERANG ALAMI SEBAU YANG DAPAT

MENANGKAP Cu TERLARUT DALAM AIR ASAM TAMBANG PT. NNT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Kekayaan alam Indonesia berasal dari hasil sawah, hutan, laut, dan
tanpa terkecuali hasil bumi atau bahan tambangnya. Saat ini, kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang menjadi semakin marak dilakukan
karena dapat memberikan hasil atau kontribusi yang positif terhadap
kesejahteraan masyarakat.
Namun di sisi lain, kontribusi positif yang diberikan dari kegiatan
pertambangan ini tidak sebanding dengan dampak negatifnya terhadap
kualitas lingkungan, yaitu berupa pencemaran lingkungan. Pencemaran
lingkungan dari kegiatan pertambangan ini disebabkan oleh adanya tailing,
yaitu produk samping hasil pertambangan yang dibuang ke lingkungan
sekitarnya.
Air asam tambang (AAT) adalah salah satu produk samping yang
dihasilkan oleh industri pertambangan. Air asam tambang merupakan hasil
dari oksidasi batuan yang mengandung pirit (FeS2) dan mineral sulfida dari
sisa batuan yang terpapar oleh oksigen yang berada dalam air (Elberling, et.
al., 2008) dan banyak ditemukan di sekitar pit pertambangan. Air asam

tambang banyak mengandung mineral logam terlarut seperti Al, Cu, Fe, Hg,
Ni, Pb dan Zn yang dapat membahayakan membahayakan ekologi perairan.
Tambang Batu Hijau merupakan salah satu area pertambangan logam
tembaga dan emas yang dikelola oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (PT.
NNT) di Kabupaten Sumbawa Barat. PT. NNT mulai beroperasi penuh dari
tahun 2000 dan masih aktif sampai sekarang. Proses pertambangan terbuka
yang dilakukan menyebabkan pembentukan air asam tambang yang tidak
dapat dihindari. Salah satu upaya PT. NNT dalam menanggulangi bahaya air
asam tambang yang dihasilkan adalah melakukan proses pengolahan untuk
menetralkan dan menurunkan konsentrasi logam tembaga terlarut dalam air
asam tambang. Aliran air asam tambang yang terbentuk di pit pertambangan
dipompa ke sistem pengolahan air untuk dinetralkan dengan pemberian kapur.
Selanjutnya, sodium hydrosulfide (NaHS) diberikan untuk mengendapkan
dan recovery tembaga terlarut yang terkandung di dalam air asam tambang.
Sodium hydrosulfide (NaHS) merupakan reagen yang banyak
digunakan untuk mengendapkan tembaga. Reagen NaHS mampu
mengendapkan tembaga terlarut dari aliran air tambang sebesar 30-35%
(Lestari et. al., 2006). Meskipun begitu, NaHS termasuk reagen yang mahal
dan bersifat toksik. Reagen ini jika bercampur dengan asam atau terkena
panas akan mengakibatkan terbentuknya gas H2S yang bersifat toksik dan
dapat menyebabkan kematian (Safety Bulletin of U.S. Chemical Safety and
Hazard Investigation Board, 2004). Oleh karena itu, diperlukanlah suatu

bahan yang lebih aman dengan harga yang terjangkau serta efektif dalam
mengendapkan dan recovery tembaga terlarut.
Zulkarnaen (2014) menemukan bahwa air belerang alami yang
diambil dari daerah Sebau mampu menggantikan NaHS dalam reaksi
sulfidasi. Pengendapan logam terlarut Cu tercatat mencapai 99,8%. Nilai ini
tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengendapan logam Cu dengan
NaHS yang hanya mencapai 71,3%. Dari penelitian yang dilakukan pada
laboratorium tersebut, diharapkan dapat diaplikasikan ke lapangan untuk
mengendapkan dan recovery tembaga yang terkandung dalam air asam
tambang.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana karakteristik air asam tambang PT.NNT dan air belerang
alami Sebau?
b. Dimana lokasi air belerang alami Sebau yang mampu menetralisir
dan mengendapkan Cu terlarut dalam air asam tambang?
c. Bagaimana korelasi antara air belerang alami dengan konsentrasi Cu
terlarut dalam air asam tambang PT.NNT?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mempelajari karakteristik air asam tambang PT.NNT dan air belerang
alami Sebau.
b. Menemukan lokasi sumber air belerang alami Sebau yang mampu
menetralisir dan menangkap Cu terlarut dalam air asam tambang.
c. Menemukan korelasi antara konsentrasi air belerang alami Sebau dan
konsentrasi Cu terlarut dalam air asam tambang PT.NNT.
1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:


a. Mengetahui jumlah karakteristik air asam tambang PT.NNT dan air
belerang alami sebau.
b. Menemukan lokasi sumber air belerrang alami Sebau yang mampu
menetralisir dan mengendapkan Cu terlarut dalam air asam tambang
PT.NNT.
c. Menemukan korelasi antara konsentrasi air belerang alami Sebau
dengan konsentrasi Cu terlarut dalam air asam tambang PT.NNT.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Asam Tambang
Air asam tambang atau dikenal dalam bahasa inggris acid mine
drainage merupakan limbah cair industri pertambangan yang bersifat asam
dan mengandung berbagai logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Air
asam tambang terbentuk karena adanya kontak antara mineral sulfida dengan
oksigen dan air yang menyebabkan terbentuknya reaksi kimia yang
menghasilkan air asam dan air asam ini akan melarutkan logam-logam berat
yang terkandung di batuan sekitar maupun dari alat-alat berat yang
bersentuhan dengan air asam tersebut. Air asam tambang sangat berbahaya
bagi lingkungan karena kondisi asamnya dan logam berat yang dimilikinya
dapat merusak biota perairan yang ada di sungai, danau atau laut, serta dapat
menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit bagi manusia yang
mengonsumsi air tersebut bahkan bisa menyebabkan keracunan yang berakhir
pada kematian. Secara umum air asam tambang terdiri dari asam sulfat yang
ber-pH 2-3, ion logam berat yang terlarut (Fe+2, Mn+, Cu+2, Al3+), serta
bakteri pengoksida sulfur. Dari beberapa unsur ini yang dapat dimanfaatkan
dan bernilai jual adalah asam sulfat dan logam berat seperti besi, mangan,
tembaga, dan aluminium (Anonim).
Air asam tambang (AAT) terjadi bila batuan yang mengandung
mineral sulfida (misalnya pirit) terbuka atau terhampar mengalami kontak
dengan udara dan air sehingga terjadi oksidasi. Proses oksidasi batuan atau

mineral sulfida dipercepat dengan adanya bakteri. Hal ini biasanya terjadi
pada kegiatan penambangan batu bara atau bahan tambang yang lain.
AAT dihasilkan dari dinding-dinding batuan yang terpapar seperti lubang
tambang, batuan limbah yang ditumpuk, dan material yang ditimbun.
Adanya air permukaan akibat hujan akan memindahkan air asam, logamlogam- dan sulfat-larut ke air bawah tanah dan air permukaan (Kem, 2004).
Produksi asam dan pelarutan logam-logam merupakan persoalan
utama yang berkaitan dengan pencemaran dari kegiatan penambangan
terutama batubara. Pirit (FeS2) bertanggung jawab terhadap dimulainya
produksi asam dan pelarutan logam-logam di penambangan batubara dan
tambang yang lainnya. Ketika pirit bersinggungan dengan oksigen dan air,
akan terjadi oksidasi pirit, menghasilkan ion Hidrogen, keasaman, ion sulfat,
dan kation logam yang larut. Oksidasi pirit ini terjadi di dalam batuan takterusik tetapi laju oksidasi sangat lambat dan air mampu menyanggah
keasamannya. Penambangan meningkatkan persinggungan luas permukaan
batuan mengandung sulfur sehingga diproduksi asam yang berlebihan di
atas kemampuan daya sanggah air (Costello, 2003).
AAT dicirikan oleh konsentrasi sulfat, logam larut, dan kemasaman
yang tinggi dengan pH < 4,5 ( Skousen et al. 2000). Reaksi oksidasi
tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut:
FeS2 + 7/2 O2 + H2O
2+

Oksidasi Fe
air cukup.

2+

Fe

2-

+ 2 SO4

+
+ 2 H ... (1)

3+
ke Fe terjadi ketika ketersediaan oksigen yang larut dalam

+
FeS2+ O2 + H

Fe

3+

+ H2O .... ..(2)

Besi (III) dapat diendapkan sebagai besi hidroksida berwarna merah jambu
tampak di dalam air yang dipengaruhi oleh air asam tambang atau dapat
bereaksi langsung dengan pirit menghasilkan besi (II) dan keasaman yang
lebih banyak.
3+
Fe
+ 3 H2O

+
Fe(OH)3 + 3 H (3)

3+
FeS2 + 14 Fe + 8H2O

2+

15 Fe

2-

+ 2 SO4

+
+ 16 H ..(4)

Ketika besi (II) dihasilkan (persamaan 4) dan ketersediaan oksigen terlarut


cukup, siklus persamaan 2 dan 3 berjalan sempurna. Dengan tidak adanya
oksigen terlarut, persamaan 4 akan terus berjalan sempurna (Younger, et al,
2002 dalam Costello, 2003).

Ferguson dan Erickson dalam (US EPA, 1994) mengidentifikasi


faktor utama, ke dua, dan ke tiga yang mengontrol asam tambang. Faktor
utama yang terlibat dalam produksi asam adalah reaksi oksidasi. Faktor ke
dua bertindak mengontrol produk reaksi oksidasi seperti reaksi-reaksi
dengan mineral lain yang mengkonsumsi asam. Faktor ke dua ini
menetralkan asam atau bereaksi dengan mineral lain. Faktor ke tiga merujuk
ke aspek fisik managemen limbah (yaitu pit wall, waste rock piles,
atau tailing) yang mempengaruhi reaksi oksidasi, migrasi asam, dan
konsumsinya. Faktor utama penghasil asam adalah mineral sulfida, air,
oksigen, besi (II), bakteri yang mengkatalisa reaksi oksidasi dan panas yang

dihasilkan. Faktor ke dua bertindak menetralkan asam yang dihasilkan oleh


oksidasi sulfida atau mengubah sifat effluent dengan menambahkan ion
logam atau bahan organik. Faktor ke tiga yang mempengaruhi asam
tambang adalah karakteristik fisik bahan, bagaimana asam dihasilkan
dan bagaimana bahan penetral ditempatkan.

Pembentukan asam sulfat pada reaksi mineral pirit menyebabkan


AAT sangat masam. Kemasaman yang tinggi dapat meningkatkan kelarutan
logam-logam, seperti Fe, Mn, Al, dan bahkan logam-logam berat, seperti
Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg. Oleh karena itu, AAT telah menjadi persoalan
lingkungan yang sangat serius di wilayah penambangan batubara dan
sekitarnya. Jika mengalir ke perairan, AAT tidak saja meracun jasad hidup
akuatik, tetapi juga dapat menyebabkan korosi pipa-pipa air dan bangunan
perairan lain yang dilewatinya (Widdowson, 1990).

Masyarakat di sekitar daerah pertambangan sering mengeluhkan


munculnya penyakit gatal-gatal, akibat air sungai yang sudah tercemar oleh
AAT. Bahkan jika AAT melewati daratan, tanah dapat menjadi sangat
masam dan meningkatkan kelarutan logam-logam toksiknya, sehingga
menyebabkan tanah menjadi media yang kurang baik untuk pertumbuhan
tanaman.

Pengambilan contoh batuan sangat penting untuk pengujian air asam


tambang. Beberapa pendapat mengatakan bahwa jumlah contoh yang

dikumpulkan sangat bervariasi bergantung pada perusahaan penambangan.


Satu perusahan penambangan menganjurkan sekitar 8 sampai dengan 12
contoh untuk setiap tipe batuan yang dominan atau satu contoh setiap satu
juta ton. US Forest Service menganjurkan satu contoh (kira-kira 1500 g)
dikumpulkan untuk setiap 20. 000 ton batuan limbah, atau 50 contoh setiap
satu juta ton (USDA Forest Service 1992 dalam US EPA 1994).

2.2 Tembaga
Tembaga adalah logam yang relatif tidak reaktif, di alam terkadang
ditemukan dalam keadaan bebas. Bijih tembaga membentuk senyawa oksida,
sulfida dan karbonat. Bijih tembaga biasanya ditemukan sebagai: pirit
(CuFeS2), galena (Cu2S), kuprit (Cu2O), malasit [Cu(OH)2.CuCO3], dan
azurit [Cu(OH)2.2CuCO3]. Bijih tembaga-besi sulfida (CuFeS2) paling
banyak ditemukan di alam yang merupakan campuran besi sulfida dan
tembaga sulfida (Vogel, 1985).

Tembaga seringkali terdistribusi secara meluas dalam bentuk sulfida,


arsenida, klorida dan karbonat. Dalam bentuk bijih (batuan) tembaga
bercampur dengan unsur-unsur lainnya seperti oksigen, besi dan sulfur. Bijih
yang mengandung tembaga umumnya dijumpai dalam bentuk chalcopyrite
(CuFeS2) (Cotton dan Wilkinson, 2007).
Tembaga banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat
listrik, sebagai alloy dengan perak (Ag), kadmium (Cd), timah putih dan

seng (Zn). Tembaga sering digunakan sebagai konduktor listrik sedangkan


paduannya digunakan dalam perhiasan, patung-patung perunggu dan untuk
koin (Dharmono, 1995).

2.3 Tembaga Terlarut


Kandungan tembaga terlarut merupakan agen pencemar dalam
perairan. Tembaga terlamt mempakan tembaga dalam air yang dapat lolos
melalui saringan membran berpori 0,45 m (SNI, 2009). Adanya
tembaga terlarut ini tentu saja akan meningkatkan kadar logam terlarut,
terutama jika terjadi oksidasi (Hadi, 2009).

Salah satu faktor yang paling berpengaruh pada pelepasan logam


yang mempengaruhi konsentrasi Cu terlarut dalam air laut adalah
pengolahan ore stockpile pada proses flotasi. Bijih yang diolah dibagi
menjadi dua jenis yaitu fresh ore dan stockpile ore Fresh ore adalah bijih
langsung diproses setelah dilakukan penambangan (tanpa disimpan terlebih
dahulu) yang umumnya mengandung mineral dengan konsentrasi tinggi
(high grade), sedangkan stockpile ore adalah bijih yang tidak langsung
diproses melainkan disimpan terlebih dahulu (Hadi, 2013).

Bijih tembaga yang tidak langsung diolah menjadi konsentrat


tembaga akan disimpan terlebih dahulu. Pada proses penyimpanan ini reaksi
oksidasi oleh atmosfer sulit dihindari. Oksidasi dari tembaga ini akan
mengakibatkan kelarutan dari persenyawaan tembaga akan semakin tinggi.

Nilai kelarutan yang semakin tinggi tersebut akan menyebabkan semakin


cepatnya proses ionisasi pada persenyawaan tembaga tersebut. Reaksi
ionisasi ini akan menghasilkan senyawa ion atau atom bermuatan yang
terlarut dalam air. Faktor lain yang mempengaruhi terlepasnya ion Cu adalah
pH (Hadi, 2009).

Pada pH rendah ion Cu sangat mudah terbentuk. Hal ini disebabkan


oleh sifat kelarutan tembaga pada asam. Sedangkan pada pH tinggi, ion Cu
cendrung akan mengalami presipitasi berupa kristal atau koloid yang dapat
dipisahkan dari fase airnya melalui penyaringan (Andaka, 2008).

Penambahan basa (ion hidroksida) pada larutan Cu2+ mengakibatkan


terbentuknya endapan Cu(OH)2 dan penambahan secara berlebih akan
mengakibatkan terbentuknya anion Cu(OH)42- (Haman, 1975).

Metode pengendapan merupakan salah satu metode pengolahan


limbah yang banyak digunakan untuk memisahkan logam berat dari
limbah cair. Dalam metode pengendapan kimia dilakukan dengan
penambahan sejumlah zat kimia tertentu
yang mudah

larut ke bentuk

untuk

mengubah

senyawa

sukar larut (Andaka, 2008).

Pengendapan kimiawi dapat dipakai untuk mengolah limbah encer


yang mengandung bahan beracun yang dapat diubah menjadi bentuk tak
larut misalnya limbah yang mengandung arsen, cadmium, chrom, cuprum,

plumbum, nikel, argentum dan zink. Faktor-faktor yang mempengaruhi


kelarutan endapan adalah (anonim2):
1.
2.
3.
4.
5.

Suhu
Jenis pelarut
Ion senama
Pengaruh pH
Terbentuknyaion kompleks

Pada pengolahan air limbah yang mengandung ion Cu2+ perlu


dilakukan suatu reaksi pengendapan dengan suatu reagen kimia yang
didasarkan atas apakah suatu kation Cu2+ yang bereaksi dengan beberapa
reagensia akan membentuk endapan atau tidak. Menurut Vogel (1985),
pengendapan adalah suatu proses pemisahan dari suatu fase padat keluar
larutan. Endapannya mungkin berupa kristal atau koloid dan dapat
dikeluarkan dari larutan dengan penyaringan atau pemusingan (sentrifuge).
Tiap-tiap logam memiliki karakteristik pH optimum pengendapan tersendiri,
yaitu pH pada saat logam tersebut memiliki kelarutan minimum. Beberapa
faktor yang mendukung terjadinya pengendapan pada limbah cair antara lain
(Vogel, 1985):

a. W aktu kontak
Semakin lama kontak antara limbah dan reagen maka ion-ion
tembaga (Cu2+) akan semakin ban.yak yang mengendap sehingga
kadar tembaga (Cu2+) dalam limbah cair berkurang.

b. Derajat keasaman (pH)


Pada pH yang asam proses pembentukan koloid tidak berlangsung
dengan baik, bersifat korosif, dan menimbulkan gangguan pada
proses pengolahan. Dengan adanya presipitasi NaOH dan kapur
tawas yang sekaligus dapat mengkondisikan pH menjadi naik
sehingga pengendapan dapat berlangsung secara optimal.
c. Tempat pengendapan
Tempat pengendapan yang berbentuk segitiga akan memprcepat
terjadinya pengendapan. Hal ini dapat terjadi karena dipengaruhi
gaya gravitasi.

2.4 Hidrogen Sulfida


Hidrogen sulfida dalam kuantitas yang besar gas ini dapat
timbul dari aktivitas biologis ketika bakteri mengurai bahan organik
dalam keadaan tanpa oksigen (aktivitas anaerobik), seperti di rawa, dan
saluran pembuangan kotoran. Gas ini juga muncul pada gas yang timbul
dari aktivitas gunung berapi dan gas alam. Di laboratorium,
sulfide biasa

disediakan dengan

hidrogen

cara mereaksikan besi (II) sulfide

dengan asam klorida encer seperti reaksi berik:ut (Achmad, 1992):


FeS(S) + 2HCl(aq)

FeCl2 (aq) + H2S(g)

Sebagian gas toksik dari dasar danau adalah gas hidrogen sulfida
(H2S), yang terbentuk karena adanya proses reduksi senyawa sulfur yang
terjadi di bawah permukaan air danau dan lapisan bentik di badan air yang

teraduk perlahan di bawah kondisi kekurangan oksigen. Hidrogen sulfida


sangat toksik dan dapat menurunkan kualitas air suatu perairan. Badan air
yang digunakan untuk sanitasi, keperluan higenik dan perikanan harus bebas
dari kandungan hidrogen sulfida (UNESCO & WHO, 1978).

Hidrogen sulfida adalah salah satu bentuk senyawa sulfur.


Keberadaannya dengan senyawa-senyawa sulfur yang lain saling
berhubungan dalam satu siklus yaitu siklus sulfur. Senyawa sulfur seperti
sulfida dapat terkandung dalam air permukaan termasuk danau. Sulfida
berasal dari penguraian senyawa organik, bisa dari limbah industri, tetapi
terutama berasal dari reduksi senyawa sulfat (Greenberg et al., 1998).

Hidrogen sulfida terdapat di alam dari gas yang berasal dari daerah
gunung berapi dan keluar dari suatu mata air belerang. Terbentuk juga bila
senyawa organik yang mengandung belerang seperti protein membusuk dan
terurai di tempat yang tidak ada udara, misalnya dalam saluran pembuangan
(Sugiarto, 2001).
Sulfida merupakan senyawa sulfur dengan unsur lainnya terutama
dengan logam. Sulfida merupakan salah satu bahan galian yang terdapat
dalam perut bumi terutama didaerah pegunungan. Salah satu sumber sulfur
yang terdapat di daerah lombok adalah sumur belerang sebau. Mata air
belerang sebau ini berupa kolam pemandian yang yang diperkirakan terdapat
senyawa sulfur dalam bentuk HS- yang terlarut dalam pemandian tersebut.

Dalam air, ion HS- sangat mudah membentuk H 2 S yang beracun terutama
dalam kondisi asam (Cook, 2008).

2.5 Spektrofotmetri Serapan Atom (SSA)

Gambar 2.1 spektofotometer serapan atom

Metode analisis spektofotometri serapan atom adalah salah satu


metode analisia kimia yang dilakukan berdasarkan pada pengukuran besaran
sifat-sifat fisik yang timbul atau berubah akibat adanya interaksi materi
dengan berbagai bentuk energi panas, energi radiasi, energi kimia dan energi
listrik.
Spektrofotometri serapan atom (SSA) merupakan metode yang
digunakan untuk mengidentifikasi kandungan logam dalam sebuah sampel
baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Metode ini didasarkan pada
pengukuran besarnya energi radiasi yang diserap saat atom dalam bentuk gas
dari keadaan dasar tereksitasi (Day dan Underwood, 2002).

Metoda SSA ini sangat tepat digunakan untuk identifikasi unsur


logam dalam konsentrasi yang sangat rendah. Metode ini juga bersifat
spesifik, logam-logam yang membentuk campuran kompleks dapat dianalisis
serta tidak dibutuhkan sumber energi yang besar (Khopkar, 1990).

Secara umum komponen peralatan SSA dikelompokkan atas: sumber


radiasi, pengkabut (nebulizer), pengatom (atomizer), monokromator,
fotodetekor, penguat sinyal (amplifier) dan pembaca/perkam
( N a p i t u p u l u , 2008).

1. Prinsip dasar SSA


Prinsip kerja metode ini mirip dangan metode fotometri
nyala api tetapi sumber energi berupa lampu katoda berongga (hollow
chathode lamp). Sedang nyala pembakar berguna untuk mengaktifkan
atom-atom logam sebelum menyerap energi. metode ini dapat
digunakan untuk menentukan konsentrasi hampir semua logam yang
ada dalam sistem periodik unsur (SPU) (Hendayana dkk, 1994).

2. Prinsip pelaksanaan
Larutan cuplikan diambil melalui kapiler dan disempurnakan
sebagai kabut halus dalam nyala api yang berbentuk memanjang. Setelah
cuplikan dalam kabut halus mengalami berbagai proses dalam nyala
api, maka akhirnya unsur logam' yang dianalisis timbul sebagai atom
netral yang masih ada dalam keadaan dasamya. atom-atom tersebut

kemudian disinari dengan sinar yang karakteristik untuknya sehingga


terjadi adsorbsi sinar oleh atom- atom logam. Adsorbsi berbanding lurus
dengan konsentrasi unsur logam yang dianalisis. Adsorbsi sinar oleh
atom-atom logam terjadi didalam nyala api (Christian & Oreilley, 1986).
Proses utama yang harus dilalui sampel yang akan dianalisis
adalah pembakaran dan pengabutan. Tujuan sistem pembakaran ini adalah
untuk mengubah larutan uji menjadi atom-atom dalam bentuk gas
Temperatur pembakaran yang efektif adalah lebih dari 2000 K. Setelah
terjadi pembakaran proses selanjutnya adalah pengabutan. Fungsi
pengabutan ini adalah untuk menghasilkan kabut atau aerosol larutan uji
(Basset, 2009).
Analisis suatu sampel dengan menggunakan metode AAS
memerlukan panjang gelombang maksimal dalam proses analisisnya.
Panjang gelombang maksimal untuk tembaga adalah 2 1 7 , 8 9 nm.
Perhitungan yang paling tepat yang digunakan untuk menentukan
konsentrasinya adalah dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Day
dan Underwood, 2002):
A = -log T = 2-log%T

(1)

konsentrasi analit dapat diketahui dengan membuat kurva


kalibrasi antara nilai absorbansi dengan konsentari sehingga diperoleh
persamaan regresi tinier:
A=a+ C

(2)

Dimana a merupakan titik potong terhadap sumbu Y (intersep) dan


merupakan kemiringn (slop). Dengan mengukur absorbansi sampel dan
mendistribusikannya ke dalam persamaan regresi maka konsentrasi analit
dalam sampel dapat ditentukan.

2.6 Konduktivitimetri
Konduktivitimetri merupakan metode yang digunakan dalam analisis
kimia yang didasarkan pada daya hantar listrik pada suatu larutan. Daya
hantar listrik suatu larutan tergantung pada jenis dan konsentrasi ion di
dalam suatu larutan. Nilai daya hantar listrik yang ditunjukkan merupakan
akibat dari pergerakan ion dari larutan. Larutan yang memiliki nilai daya
hantar yang tinggi merupakan akibat dari kemudahan pergerakan dari ion
yang terdapat dalam larutan tersebut (Hendayana dkk, 1994).
Konduktivitimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur daya
hantar listrik yang diakibatkan oleh gerakan partikel dalam sebuah larutan.
Faktor yang mempengaruhi daya hantar listrik adalah perubahan suhu dan
konsentrasi. Dimana jika semakin besar suhu suatu larutan maka daya hantar
listriknya juga semakin besar dan apabila suhu yang digunakan rendah maka
daya hantarnya akan rendah pula begitu juga dengan konsentrasi jika
konsentrasi zat dalam suatu larutan tinggi maka daya hantarnya akan tinggi,
sebaliknya jika konsentrasi rendah maka daya hantar akan rendah pula.
Prinsip kerja konduktivitimeter adalah dua buah probe dihubungkan ke

dalam larutan yang akan diukur, kemudian dengan rangkaian pemprosesan


sinyal akan mengeluarkan output yang menunjukkan besar
konduktivitas/daya hantar listrik sampel air tersebut (Endrah, 2010).

Konduktivitas listrik air secara langsung berhubungan dengan


konsentrasi padatan terlarut yang terionisasi dalam air. Ion dari konsentrasi
padatan terlarut dalam air menciptakan kemampuan pada air untuk
menghasilkan arus listrik yang dapat diukur menggunakan
konduktivitimeter. Elektrikal konduktiviti ini digunakan untuk mengukur
konduktivitas listrik bahan-bahan yang terkandung dalam air. Semakin
banyak bahan (mineral logam maupun non-logam) dalam air, maka hasil
pengukuran akan semakin besar pula. Sebaliknya, bahan yang terkandung
dalam air sangat sedikit maka hasilnya mendekati nol, atau kita sebut dengan
air murni (pure water) (lnsan, 2008).

Konduktivitimeter terdirir atas sumber listrik berupa baterai, sel


yang berupa elektroda dan tahanan (rangkaian elektronik). Tahanan yang
digunakan dalam instrumen ini adalah jembatan wheatstone, Sedangkan
selnya terdri dari dua elektroda yang terbuat dari bahan yang sama
biasanya elektroda ini berupa logam yang dilapisi logam platina untuk
menambah keefektifan pemakaian elektroda (Hendayana dkk, 1994).

Gambar 2.2

Konduktivitimeter

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat eksploratif dan eksperimental, yaitu
pelacakan air belerang alami sebau yang dapat menangkap cu terlarut dalam
air asam tambang PT.NNT.

3.2 Pelaksanaan Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan selama tiga bulan, pada bulan April
hingga Juni 2016 di Laboratorium Kimia Analitik Universitas Mataram.
3.3 Alat dan Bahan Penelitian
3.3.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, gelas
arloji, sendok, spatula, labu ukur 50 mL, 100 mL, 1000 mL, gelas kimia
250 mL, pipet volume 1 mL, 10 mL, rubber bulb, pH meter, kertas saring,
termometer, konduktivitimeter, magnetic stirer, oven, alat pemanas, buret,
erlenmeyer 250 ml, tabung winkler, mangkok porselin, desikator dan
spektrofotometer serapan atom.
3.3.2

Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air asam
tambang (AAT) yang berasal dari pit PT. NNT, sampel air belerang yang
berasal dari kolam pemandian belerang di Sebau, Lombok Timur, padatan
Cu, CaO, HCl 1M, indikator amilum, Na2S2O3 0,025N, MnSO4, KOHKI, H2SO4 pekat, dan aquades.

3.4 Tahapan Penelitian


3.4.1 Pengumpulan Bahan Baku
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah air
asam tambang serta air belerang alami.
Air asam tambang diambil langsung dari pit pertambangan PT.
Newmont Nusa Tenggara yang berada di area Tambang Batu Hijau
Kabupaten Sumbawa Barat.
Air belerang yang digunakan dalam penelitian ini diambil langsung
dari mata air belerang alami Sebau, Lombok Timur.
3.4.2 Uji Pendahuluan
3.4.2.1 Karakterisasi Air Asam Tambang PT. Newmont Nusa Tenggara
Parameter fisika-kimia air asam tambang yang diukur meliputi pH,
suhu, daya hantar listrik, DO, TDS, TSS, konsentrasi sulfida dan
konsentrasi tembaga (Cu).
3.4.2.2 Karakterisasi Air Belerang Alami Sebau
Karakteristik yang diukur berupa parameter fisika (suhu, daya hantar
listrik, padatan tersuspensi total (TSS) dan padatan terlarut total (TDS) dan
parameter kimia (pH dan dissolved oxygen (DO)).
3.4.2.2.1 Padatan Tersuspensi Total
Contoh uji yang telah dihomogenkan disaring dengan kertas saring
yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada kertas saring dikeringkan
sampai mencapai berat konstan pada suhu 103C sampai 105C. Kenaikan
berat saringan mewakili padatan tersuspensi total (TSS).

3.4.3

Pembuatan Larutan Induk Cu2+


Larutan induk Cu2+ dibuat dengan menimbang 1,98865 gram
tembaga oksida (CuO) kemudian ditambahkan larutan HCl 1 M sedikit

demi sedikit sampai semua padatan CuO terlarut. Kemudian larutan


tersebut diencerkan dengan menambahkan aquadest sampai volume
larutan menjadi 250 mL. Konsentrasi larutan Cu2+ yang terbentuk adalah
0,1 M. Larutan ini merupakan larutan induk untuk pengenceran pada
prosedur berikutnya.
3.4.4

Pembuatan Larutan Cu2+ 7 10-4 M


Larutan induk Cu2+ yang telah dibuat selanjutnya diencerkan
dengan mengambil 25 mL larutan Cu2+ 0,1 M kemudian ditambahkan
aquadest sampai 250 mL sehingga terbentuk larutan Cu2+ 0,01 M.
Pengenceran dilakukan kembali untuk memperoleh larutan Cu2+
konsentrasi 7 10-4 M. Larutan tersebut dibuat dengan mengambil 35 mL
larutan Cu2+ 0,01 M yang kemudian ditambahkan aquadest sampai 450
mL. Larutan ini dipersiapkan untuk reaksi sulfidasi.

3.4.5

Penangkapan Logam Cu2+ Terlarut dengan Air Belerang Alami Sebau


Larutan induk Cu2+ dibuat dari padatan CuO direaksikan dengan air
belerang alami dari setiap titik pengambilan. Hasil reaksi didiamkan
selama kurang lebih 24 jam, kemudian endapan disaring. Filtrat yang
dihasilkan kemudian diukur daya hantar listrik dan absorbansinya dengan
AAS.

3.4.6

Penangkapan Logam Cu2+ Terlarut dalam Air Asam Tambang dengan


Air Belerang Alami Sebau
Air asam tambang dinetralkan terlebih dahulu menggunakan kapur
sampai pH pengendapan optimum. Selanjutnya air asam tambang
direaksikan dengan sampel air belerang. Dilakukan variasi konsentrasi air

belerang yaitu 0%, 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% dan kemudian
direaksikan dengan air asam tambang dengan rasio antara air belerang
alami dan air asam tambang 1:1. Hasil reaksi didiamkan selama kurang
lebih 24 jam, kemudian endapan disaring. Filtrat yang dihasilkan
kemudian diukur daya hantar listrik dan absorbansinya dengan AAS.

3.5.0 Diagram Alir Penelitian


1. Preparasi Air Asam Tambang
Air asam tambang
- Disaring
- Diukur pH, daya hantar listrik
suhu, TSS, TDS, DO dan
-

konsentrasi tembaga.
Dianalisis kandungan sulfida.
Filtrat

2. Preparasi Sampel Air Belerang Alami


Air belerang alami
- Disaring
- Diukur pH, daya hantar listrik,
suhu, TSS, TDS, DO dan
-

kandungan sulfida.
Dianalisis kandungan sulfida

Filtrat
3. Pembuatan Larutan Induk Cu2+ 7x10-4 M
1,98865 gram CuO
- Ditambahkan HCl sampai larut
- Ditambahkan sampai volume 250
mL dengan aquades.
Larutan Cu 0,1 M
- Diambil 25 mL
- Diencerkan sampai volume tepat
2+

250 mL dengan aquades


Larutan Cu2+ 0,01 M
- Diambil 35 mL
- Ditambahkan aquades sampai
450 mL.
Larutan Cu2+ 7x10-4 M

4. Penangkapan Logam Cu2+ Terlarut dalam Air Asam Tambang


dengan Air Belerang Alami Sebau
Air asam tambang
- Ditambahkan dengan air belerang
alami konsentrasi 0%, 20%, 40%,
60%, 80%, dan 100%, dengan
Filtrat
-

rasio 1:1
Didiamkan selama 24 jam
Disaring
Diukur daya hantar listrik
Diukur absorbansi dengan AAS
Diulangi pengukuran setelah 3

hari reaksi
Konsentrasi Cu terlarut

Anda mungkin juga menyukai