Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TERSTRUKTUR

MATA KULIAH NUTRISI TANAMAN


“Pengapuran”

Disusun oleh :
Kelompok 5

Andi Syaifur Rochman 115040200111030


Intan Ratri Prasundari 115040201111025
Lihardika Nanda Afittra 115040201111282
Miki Juprianto 115040201111266
Nindya Atari 115040201111032
Yanuar Eko Nur Sasmito 115040201111262

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Potensi tanah masam di Indonesia sangatlah besar. Pada umumnya tanah di


Indonesia didominasi oleh ordo tanah Ultisol (Podsolik Merah Kuning) dengan pH 4 – 5.
Tanah ultisol merupakan tanah yang umumnya diusahan sebagai lahan pertanian baik itu
pertanian lahan basah maupun pertanian lahan kering. Tanah ultisol sendiri mempunyai luas
hingga 38,437 juta Ha di Indonesia. Sehingga pada umumnya tanah masam merupakan
tanah yang tersedia untuk lahan pertanian di Indonesia.
Tanah masam mempunyai nilai pH tanah rata-rata kurang dari 5.0. Tanah tersebut
pada umumnya berwarna kemerahan dengan lapisan perakaran tanah umumnya miskin
hara (miskin mineral dan bahan yang bisa mengikat unsur). Penyebab lahan masam adalah :
(1) Tanah Mineral: disebabkan curah hujan sehingga terjadi pencucian basa-basa (CaO,
MgO, Na2O, K2O, Dll), dan terjadi pemekatan unsur Aluminium (Al2O3) dan besi/Fe
(Fe2O3) Dll. (2) Tanah organik (Non mineral): disebabkan asam-asam yang berasal dari
dekomposisi BO, Oksidasi mineral pirit, dan Reaksi dari pupuk yang diberikan.
Berdasarkan berbagai masalah tanah masam yang telah dikemukakan diatas, maka
prinsip utama pengelolaan tanah masam adalah menaikkan pH tanah dan mengurangi
kejenuhan Al yang meracun, serta meningkatkan ketersediaan hara tanaman, terutama
unsur hara P sehingga sesuai dengan pertumbuhan tanaman yang optimal. Dari berbagai
hasil peneletian tentang pemanfaatan tanah masam di dunia, termasuk indonesia, dapat
dinyatakan bahwa tekhnologi yang paling tepat untuk mengendalikan masalah tanah masam
adalah teknologi pengapuran.
Pengapuran adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pH tanah dengan
menambahkan kapur kedalam tanah. Tujuan utama dari pengapuran ini ialah untuk
meningkatkan pH dari pH masam menjadi pH netral. Pada pH tanah yang masam, banyak
unsur hara (misalnya: N, P, K, Ca, Mg) yang tidak tersedia bagi tanaman karena pada pH
rendah unsur tersebut rusak. Hanya unsur Fe dan Al (unsur mikro) yang tersedia pada tanah
masam. Maka diharapkan, dengan pengapuran akan meningkatkan pH menjadi netral,
dimana pada pH netral banyak unsur hara yang dapat tersedia bagi tanaman. Pengapuran
dinyatakan sebagai teknologi yang paling tepat dalam pemanfaatan tanah masam di
dasarkan atas beberapa pertimbangan. pertama, reaksi kapur sangat cepat dalam
menaikkan pH tanah dan menurunkan kelarutan Al yang meracun. Kedua, respons tanaman
sangat tinggi terhadap pemberian kapur pada tanah masam. Ketiga, efek sisa kapur atau
manfaat kapur dapat dinikmati selama 3 sampai 4 tahun berikutnya. Keempat, bahan kapur
cukup tersedia dan relatif murah, termasuk di Indonesia.
1.2 Tujuan

a) Mengetahui upaya untuk pengelolaan kemasaman tanah


b) Mempelajari berbagai jenis bahan /kapur
c) Mengetahui kebutuhan/perhitungan kapur
d) Memahami pengaruh kapur di dalam tanah
e) Mengetahui respon tanaman terhadap pengapuran

.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Kemasaman Tanah


Pada prinsipnya ada 4 masalah aktual utama pada tanah masam yaitu
rendahnya kadar bahan organik tanah dan kadar unsur hara, dangkalnya perakaran
tanaman, kekeringan, gangguan gulma alang-alang (Imperata cylindrica) serta
diperparah oleh erosi dan pencucian unsur hara. Masalah-masalah tersebut ini
seringkali menyulitkan suatu usaha tani untuk mencapai produksi yang tinggi secara
berkelanjutan. Tingkat produksi yang tinggi dapat dicapai melalui berbagai upaya yang
dapat mempertahankan kesuburan tanah yakni dengan penerapan sistem pengelolaan
yang tepat.
Salah satu cara pengelolaan yang terbukti dapat mempertahankan kesuburan
tanah-tanah masam adalah dengan menanam tanaman tahunan (pepohonan)
bersama-sama dengan tanaman semusim dalam sebidang lahan yang sama (kebun
campuran). Upaya-upaya pemecahan masalah yang ditujukan untuk mendapat
produksi yang tinggi secara berkelanjutan seharusnya dilakukan tanpa mengakibatkan
kerusakan (degradasi) pada sumberdaya lahan. Dalam hal ini perlu diperhatikan fungsi
tanah sebagai media tumbuh tanaman dan fungsi tanaman dalam meminimalkan
kehilangan tanah, air dan hara.

Penanganan Masalah Tanah Masam


Pada prinsipnya ada tiga kelompok cara penanganan masalah tanah masam
yang berhubungan dengan pengelolaan kesuburan tanah dan pengendalian gulma di
tingkat masyarakat, yaitu cara kimia, cara fisik-mekanik dan cara biologi. Masing-
masing cara memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam praktek ketiga cara
tersebut seringkali diterapkan secara bersama-sama.
Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah kesuburan tanah
dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Beberapa upaya yang sudah
dikenal adalah pengapuran, pemupukan, dan penyemprotan herbisida.

1) Pengapuran
Pengapuran merupakan upaya pemberian bahan kapur ke dalam tanah masam
dengan tujuan untuk:
a) Menaikkan pH tanah Nilai pH tanah dinaikkan sampai pada tingkat mana Al tidak
bersifat racun lagi bagi tanaman dan unsur hara tersedia dalam kondisi yang
seimbang di dalam tanah. Peningkatan pH tanah yang terjadi sebagai akibat dari
pemberian kapur, tidak dapat bertahan lama, karena tanah mempunyai sistem
penyangga, yang menyebabkan pH akan kembali ke nilai semula setelah beberapa
waktu berselang.
b) Meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK), KTK meningkat sebagai akibat dari
peningkatan pH tanah. Namun peningkatan KTK ini juga bersifat tidak tetap, karena
sistem penyangga pH tanah tersebut di atas.
c) Menetralisir Al yang meracuni tanaman. Karena unsur Ca bersifat tidak mudah
bergerak, maka kapur harus dibenamkan sampai mencapai kedalaman lapisan tanah
yang mempunyai konsentrasi Al tinggi. Hal ini agak sulit dilakukan di lapangan,
karena dibutuhkan tenaga dalam jumlah banyak dan menimbulkan masalah baru
yaitu pemadatan tanah. Alternatif lain adalah menambahkan dolomit (Ca, Mg(CO3)2)
yang lebih mudah bergerak, sehingga mampu mencapai lapisan tanah bawah dan
menetralkan Al. Pemberian kapur seperti ini memerlukan pertimbangan yang
seksama mengingat pemberian Ca dan Mg akan mengganggu keseimbangan unsur
hara yang lain.
Tanaman dapat tumbuh baik, jika terdapat nisbah Ca/Mg/K yang tepat di dalam
tanah. Penambahan Ca atau Mg seringkali malah mengakibatkan tanaman
menunjukkan gejala kekurangan K, walaupun jumlah K sebenarnya sudah cukup di
dalam tanah. Masalah ini menjadi semakin sulit dipecahkan, jika pada awalnya sudah
terjadi kahat unsur K pada tanah tersebut.

2. Pemupukan: penambahan unsur hara


Pemupukan merupakan jalan termudah dan tercepat dalam menangani masalah
kahat hara, namun bila kurang memperhatikan kaidah-kaidah pemupukan, pupuk yang
diberikan juga akan hilang percuma. Pada saat ini sudah diketahui secara luas bahwa
tanah-tanah pertanian di Indonesia terutama tanah masam kahat unsur nitrogen (N),
fosfor (P) dan kalium (K). Oleh karena itu petani biasanya memberikan pupuk N, P, K
secara sendiri-sendiri atau kombinasi dari ketiganya. Pupuk N mudah teroksidasi,
sehingga cepat menguap atau tercuci sebelum tanaman menyerap seluruhnya. Pupuk
P diperlukan dalam jumlah banyak karena selain untuk memenuhi kebutuhan tanaman
juga untuk menutup kompleks pertukaran mineral tanah agar selalu dapat tersedia
dalam larutan tanah.
Pemupukan K atau unsur hara lain dalam bentuk kation, akan banyak yang
hilang kalau diberikan sekaligus, karena tanah masam hanya mempunyai daya ikat
kation yang sangat terbatas (nilai KTK tanah-tanah masam umumnya sangat rendah).
Unsur hara yang diberikan dalam bentuk kation mudah sekali tercuci.
Supaya tujuan yang ingin dicapai melalui pemupukan dapat berhasil dengan
baik, maka harus diperhatikan hal-hal berikut:
a) Waktu pemberian pupuk waktu pemberian pupuk harus diperhitungkan supaya pada
saat pupuk diberikan bertepatan dengan saat tanaman membutuhkannya, yang
dikenal dengan istilah sinkronisasi (Gambar 4.1). Hal ini dimaksudkan agar tidak
banyak unsur hara yang hilang tercuci oleh aliran air, mengingat intensitas dan curah
hujan di kawasan ini sangat tinggi. Waktu pemberian pupuk yang tepat bervariasi
untuk berbagai jenis pupuk dan jenis tanamannya. Pemupukan N untuk tanaman
semusim sebaiknya diberikan paling tidak dua kali, yaitu pada saat tanam dan pada
saat pertumbuhan maksimum (sekitar 1-2 bulan setelah tanam). Sementara pupuk P
dan K bisa diberikan sekali saja yaitu pada saat tanam.
b) Penempatan Pupuk Penempatan pupuk harus diusahakan berada dalam daerah
aktivitas akar, agar pupuk dapat diserap oleh akar tanaman secara efektif.
Kesesuaian letak pupuk dengan posisi akar tanaman disebut dengan istilah
sinlokalisasi.
c) Dosis pupuk /jumlah pupuk yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman,
supaya pupuk yang diberikan tidak banyak yang hilang percuma sehingga dapat
menekan biaya produksi serta menghindari terjadinya polusi dan keracunan bagi
tanaman. Walaupun pemupukan merupakan cara yang mudah dan cepat untuk
mengatasi permasalahan kahat (defisiensi) hara, namun terdapat beberapa
kelemahan dari cara ini yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan program
pemupukan.

Beberapa kelemahan dari pengelolaan tanah secara kimia adalah:


 Pemupukan membutuhkan biaya tinggi karena harga pupuk mahal
 Penggunaan pupuk tidak dapat menyelesaikan masalah kerusakan fisik dan
biologi tanah, bahkan cenderung mengasamkan tanah.
 Pemupukan yang tidak tepat dan berlebihan menyebabkan pencemaran
lingkungan

3. Penyemprotan herbisida
Tumbuhan pengganggu atau gulma yang tumbuh dalam lahan yang ditanami
menyebabkan kerugian karena mengambil unsur hara dan air yang seharusnya dapat
digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu keberadaan dan pertumbuhan gulma harus
ditekan.
Cara kimia juga dipergunakan untuk menekan pertumbuhan gulma yang banyak
ditemukan pada tanah masam seperti alang-alang, yakni dengan memakai herbisida.
Pemakaian herbisida harus dilakukan secara tepat baik dalam hal jumlah (dosis),
waktu dan penempatannya, demikian pula harus disesuaikan antara macam herbisida
dengan gulma yang akan diberantas. Penggunaan herbisida yang berlebihan dapat
menyebabkan bahaya keracunan pada si pemakai dan pada produk pertanian yang
dihasilkan serta pencemaran lingkungan (AnonymousA.2014).

2.2 Berbagai Jenis Bahan /Kapur


Ada berbagai jenis kapur yang dapat digunakan untuk pengapuran lahan
pertanian. Jenis kapur tersebut antara lain:

1. Kapur giling = kapur Super, kalsit kelas 1 (CaCO3)


Kapur giling menduduki kelas utama dalam pengapuran lahan pertanian. Bahan
aslinya terutama mengandung CaCO3 atau MgCO3 yang dapat mengubah keasaman
tanah.

2. Kapur tohor = kapur hidup, kalsit kelas 2 (Quicklime)


Kapur giling atau bahan lain yang kaya CaCO3 dipanasi dengan suhu tinggi,
terbentuk CO2 dan kapur hidup. Kapur hidup ini terutama terdiri dari CaO jika yang
digunakan bahan berkadar Ca tinggi. Kadang-kadang kapur hidup juga masih
mengandung MgO bentuk kapur ini biasanya tepung halus, tapi dapat juga
mengandung beberapa gumpalan empuk (soft lumps). Bila dicampur air, membentuk
kapur mati. Bila tersentuh udara, kapur hidup lambat menyerap air dan CO 2 untuk
membentuk campuran kapur mati dan CaCO3 yang disebut kapur mati udara.

3. Kapur dolomit CaMg(CO3)2


Kapur yang mengandung MgCO3 kira-kira sama dengan kandungan
CaCO3disebut dolomit. Tektur dan kekerasan kapur dolomit bervariasi, tetapi setela
digiling sempurna dapat bekerja (bereaksi) baik dengan tanah bila tidak terlalu banyak
mengandung unsur lain. Dolomit sudah umum diperdagangkan sebagai pupuk, karena
kandungan Mg disamping Ca. Fungsinya sebagai penambah unsur seperti halnya pada
pupuk gypsum. Selayaknya koreksi terhadap keasaman pada tanah kurus dimulai
dengan pemberian kalsit, lalu diikuti dengan dolomit untuk menambah daya guna
lahan.

4. Kapur mati = slaked lime, Hydrated lime Ca(OH)2


Bahan ini diperoleh dengan menyiramkan air pada kapur mentah (kapur hidup)
yang kemudian biasa diperdagangkan sebagai kapur untuk mengapur tembok. Kapur
mati lambat mengambil dari CO2 udara. Penyerapan CO2 dan air oleh kapur hidup dan
CO2 oleh kapur mati tidak mengurangi nilai bahan untuk pengapuran, hanya saja untuk
mendapatkan berat tertentu CaO diperlukan kapur mati dalam jumlah besar.
5. Kapur liat = Napal, Marl
Marl adalah butiran atau butir lepas, seringkali tak murni, CaCO3 yang berasal
dari cangkang binatang laut atau terbentuk dari presipitasi CaCO3 dari perairan danau
kecil atau kolam. Secara umum marl diartikan sebagai CaCO3yang lunak dan tidak
tahan lapuk dan biasanya tercampur dengan lempung dan kotoran lain. Istilah ini juga
dipakai untuk hamper semua bahan yang tinggi kadar kapurnya seperti beberapa tanah
liat berkapur. Marl biasanya hamper semuanya CaCO3 murni, tapi kadang-kadang
mengandung tanah liat, debu atau bahan organic yang tinggi. Marl sering digali dalam
keadaan basah dan sukar dihampar diatas tanah, kecuali sebelumnya dibiarkan kering.
Penyebaran marl tidak seluas kapur giling, dan penimbunannya jauh kurang ekstensif
tapi terdapat di banyak pantai.
Penggalian marl sederhana. Marl sering terdapat di bawah tanah berat yang
harus disingkirkan dahulu menggunakan alat berat seperti bulldozer. Kemudin
permukaan bedeng dipecah dengan bajak cakram atau traktor, lalu dikeringkan atau
langsung dumuat ke dalam truk. Pembajakan kadang-kadang dilakukan untuk meng-
aerasi lapisan permukaan sehingga cepat kering. Biasanya marl tidak digiling atau
ditapis.

6. Kapur tulis = kapur halus, Talk, Chalk, Ca(HCO3)2


Batuan ini merupakan bahan CaCO3 yang lunak dan baik untuk pengapuran. D
Inggris, bahan ini banyak digunakan namun di Indonesia, belum lazim. Kapur tulis
harus digiling sebelum digunakan, tapi karena mudah pecah, hanya dibutuhkan sedikit
tenaga.

7. Kapur bara = slag


Hasil samping industry besi ini digunakan sebagai bahan pengapuran di daerah
dekat udara panas setempat. Kapur bara ini berbeda dengan kebanyakan jenis kapur
lain dalam hal kandungan Cad dan Mg, dan juga mengandung silikat misalnya berbeda
pula dengan CO3 atau oksida seperti kapur giling atau kapur tohor. Pemakaiannya
sama efektifnya dengan kapur giling yang seukuran.
Kapur bara dihasilkan dalam dua bentuk yaitu yang diudara-dinginkan, sehingga
harus digiling sebelum dipakai dan berbutir yang hampir semua penghalusan partikel
penting disempurnakan pada proses granulasi (pembutiran). Bentuk kedua ini biasanya
lebih cepat beraksi dengan tanah. Seperti alnya kapur dolomit, kapur bara
mengandung Mg dan menjadikan Mg tersedia bagi tanaman. Kapur bara dasar (basic
slag) yang juga hasil samping industry besi dan logam terutama digunakan untuk
menambah unsur P pada tanaman, tetapi juga berguna sebagai bahan pengapuran.
Kapur bara yang mengandung CaSi2O5, dapat juga dijadikan bahan
pengapuran. Kandungan Mg-nya amat sedikit dan P-nya juga rendah.
8. Kulit binatang dan lain-lain
Kulit kerang giling dan cangkang hasil laut lainyya kaya akan CaCO3. Bila
digiling halus, kulit binatang itu akan berubah menjadi bahan agen pengapuran yang
efektif.

2.3 Kebutuhan/Perhitungan Kapur

Salah satu faktor penghambat meningkatnya produksi tanaman adalah karena


adanya masalah keasaman tanah. Tanah asam memberikan pengaruh yang buruk
pada pertumbuhan tanaman hingga hasil yang dicapai rendah. Untuk mengatasi
keasaman tanah perlu di lakukan usaha pemberian kapur kedalam tanah.Pengapuran
adalah pemberian kapur ke dalam tanah yang pada umumnya bukan karena
kekurangan unsure Ca tetapi karena tanah terlalu masam. (Hardjowigeno, 1987).

JENIS TANAH YANG HARUS DIKAPUR


1. Tanah Mineral yaitu tanah yang sebagian besar terdiri dan bahan mineral.
2. Tanah Gambut yaitu tanah yang hampir seluruhnya terdiri dan sisa tumbuh-tumbuhan
yang telah, sedang maupun belum lapuk.

PRINSIP DASAR PENGAPURAN


Hal yang merupakan prinsip dasar dalam pengapuran tanah yang harus
diperhatikan adalah :
1. Pemberian kapur harus sesuai dengan dosis anjuran daerah setempat.
2. Penaburan, pembenaman dan pencampuran kapur ketanah harus dalam dan rata.
Berikut ini dikemukakan pedoman umum kebutuhan kapur berdasarkan tingkat
keasaman tanah ( pH ) tanah dengan untuk larutan TSK 1: 1 mencapai pH

Kebutuhan kapur Kebutuhan kapur


No pH No pH
(Ton/Ha) (Ton/Ha)

1 4,0 6,38 12 5,1 2,0


2 4,1 5,99 13 5,2 1,73
3 4,2 5,59 14 5,3 1,33
4 4,3 5,32 15 5,4 0,93
5 4,4 4,92 16 5,5 0,53
6 4,5 4,52 17 5,6 0,27
7 4,6 4,12 18 5,7 0,00
8 4,7 3,86 19 5,8 0,00
9 4,8 3,46 20 5,9 0,00
10 4,9 3,06 21 6,0 0,00.
11 5 2,39 - - -

*) pH TSK, Dept, Tanah, Faperta IPB Bogor, 1985


Contoh: Cara untuk menghitung kebutuhan kapur biasanya dengan
mengkalibrasikan dengan kandungan Al-dd. Yaitu dengan cara :
Jika diketahui kebutuhan kapur = 1 x Al-dd artinya 1 me Ca/100g tanah untuk
menetralkan 1 me Al/100 g tanah.
1 me Ca/100 gr tanah = Berat Atom Ca/Valensi x me Ca/100 g tanah
1 me Ca/100 gr tanah = 40/2 x 1 me Ca/100 g tanah
= 20 mg Ca/100 g tanah
= 200 mg Ca/1 kg tanah x 2 x 106
(asumsi kedalaman tanah 20 cm, BV = 1 gr/cm3)
= 400 kg Ca/ha

Untuk mengitung kebutuhan kapur pertanian :


= Berat Atom Total/Berat Atom Ca x Kebutuhan Ca

Untuk menghitung kebutuhan CaCO3 (1 x Al-dd):


= 100/40 x 400 Kg Ca/ha = 1 ton CaCO3/ha

Untuk CaO (1 x Al-dd):


= 56/40 x 400 Kg Ca/ha = 0.56 ton CaO/ha

Untuk Ca(OH)2 (1 x Al-dd):


= 74/40 x 400 Kg Ca/ha = 0,74 ton Ca(OH)2/ha

2.4 Pengaruh Kapur di Dalam Tanah

Efek pengapuran dalam pengelolaan tanah dapat dikatagorikan kedalam tiga


hal, yaitu : efekfisik, efekkimia, dan efek biologis. Pertama, pengaruh pengapuran
terhadap fisik tanah. Dalam tanah yang bertekstur liat sampai liat berat dan
kecenderungan penggabungan butir-butir halus semakin rapat (massif) dan kompak.
Keadaan semacam ini menghambat gerakan air dan udara, karena itu sangat
diperlukan pembutiran (granulasi) dan pembentukan struktur tanah yang mempunyai
porositas tinggi. Struktur remah dibentuk antar butir tanah dengan meningkatkan efek
biotic karena meningkatnya aktivitas biologi tanah. Hal ini akan meningkatkan
dekomposisi bahan organic tanah dan sintesis humus. Pengapuran akan menstimulasi
aktivitas mikroorganisme dan meningkatkan dekomposisi bahan organic tanah yang
sangat penting dalam pembentukan struktur remah. Kedua, pengapuran pada tanah
masam akan mengubah reaksi tanah dan mempunyai efek kimia yang sangat luas,
yaitu:
a) Konsentrasi ion H+ menurun,
b) Konsentrasi ion OH- meningkat,
c) Kelarutan besi, aluminium dan mangan menurun,
d) Ketersediaan fosfat dan molibdat akan meningkat,
e) Kalsium dan magnesium dapat meningkat,
f) Persentase kejenuhan basa akan meningkat,
g) Ketersediaan kalium dapat meningkat atau menurun tergantung ion Cadan Mg
dalam larutan tanah.
Efek kimia yang paling umum dan langsung adalah penurunan kemasaman
tanah (kenaikan pH). Sedang efek tidak langsung adalah ketersediaan unsure hara dan
mencegah keracunan unsure tertentu, seperti Mn, B, dan As. Pengapuran
meningkatkan ketersediaan unsure hara fosfor, molidenium, kalsiumdan magnesium
untuk diserap oleh tanaman, bersamaan dengan itu konsentrasi besi, aluminum dan
mangan sangat dikurangi.
Ketiga, kapur menstimulasi aktivitas mikroorganisme tanah heterotrofik,
sehingga mempunyai efek biologis yang besarbagi proses biokimia tanah. Proses
dekomposisi dan penyediaan unsur nitrogen meningkat. Stimulasi enzimatis
meningkatkan pembentukan humus yang berperan penting dalam meningkatkan
kapasitas tukar kation tanah. Bakteri simbiotik akan meningkat aktivitasnya berkenaan
dengan adanya kenaikan pH dan pelepasan nitrogen ke dalam tanah dari dekomposisi
bahan organik.
Pengapuran yang berlebihan menyebabkan beberapa hal yang merugikan,
antara lain :
a) Kekurangan besi, mangan, tembaga dan seng yang diperlukan dalam proses
fisiologis tanaman.
b) Tersedianya fosfat dapat menjadi berkurang kembali karena terbentuknya
kompleks kalsium fosfat tidak larut.
c) Absorpsi fosfor oleh tanaman dan metabolism tanaman terganggu.
d) Pengambilan dan penggunaan boron dapat terhambat.
e) Perubahan pH yang melonjak dapat merugikan terhadap aktivitas
mikroorganisme tanah, dan ketersediaan unsure hara yang tidak seimbang.
Oleh karena itu pemberian kapur harus mempertimbangkan hal-halsebagai
berikut:
a) pH tanah yang diperlukan oleh tanaman. Setiap macam tanaman memerlukan pH
yang relative berbeda.
b) Bentuk kapur dan kehalusaannya. Sehingga dipertimbangkan beberapa hal yang
sangat penting, yaitu:
c) Jaminan kimia dari kapur yang bersangkutan.
d) Harga tiap ton yang diberikan pada tanah.
e) Kecepatan bereaksi dengan tanah.
f) Kehalusan batu kapur.
g) Penyimpanan, pendistribusian, penggunaan karung atau curahan.
(AnonymousC,2014)

2.5 Respon Tanaman Terhadap Pengapuran.

Pengapuran pada tanah masam akan menurunkan keberadaan alumunium, besi


dan mangan, sementara unsur fosfst menjdi tersedia (Brady, 1984). Hal ini terjdi
karena bhn kapur itu menghambat reaksi jerapan pengendapan antara P dan Fe atau
Al, dan juga mempercepat pengurian bahan organik (Poerwowidodo, 1992). Fungsi
fosfor dalam tanaman antara lain dpat mempercepat pertumbuhan akar semi,
mempercepat pembungaan dn pemasakan biji, serta meningkatkan produksi biji-bijian
(Sutedjo, 2002).
Dua kation logam yang paling sesuai untuk mengurangi kemasaman tanah ialah
kalsium dan magnesium (Buckman dan Brady, 1983). Bagi tnaman, kalsium berfungsi
untuk merangsang pembentukan bulu-bulu akar, mengeraskan batang tanaman dan
merangsang pembentukan biji. Sedangkan magnesium berfungsi dalam pembentukan
hijau daun yang sempurna dan terbentuk karbohidrat, lemak dan minyak. Magnesium
juga berperan dalam transprtasi fosfat dalam tanaman. Jadi kandungan fosfat dalam
tanaman dapat dinikkan dengan cara menambah unsur magnesium (Lingga dan
Marsono, 2001).
Pengapuran juga dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), namun perlu
dipahami bahwa peningkatan KTK tersebut tidak bersifat permanen atau dengan kata
lain hanya temporer karena untuk meningkatkan KTK tanah diperlukan upaya merubah
jenis mineral liat atau penambahan bahan organik. Masalahnya keduanya adalah faktor
alami dan selama ini tidak pernah diterapkan dalam dunia perkebuan. Peningkatan
KTK disebabkan unsur-unsur basa yang dapat dipertukarkan semakin meningkat,
namun setelah batas waktu tertentu dimana kation-kation tersebut telah habis diserap
tanaman atau hilang tercuci, maka KTK tanah akan menurun kembali.Dapat dikatakan,
dampak langsung dari pengapuran yang dikombinasikan dengan pemupukan adalah
mengkatnya pH dan KTK tanah. Adapun dampak tidak langsungnya adalah dapat
meningkatkan produktivitas tanaman (Erwin Dwianto, 2014)
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari bahasan materi dapat disimpulkan bahwa pengapuran adalah upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan pH tanah dengan menambahkan kapur kedalam tanah.
Tujuan utama dari pengapuran ini ialah untuk meningkatkan pH dari pH masam
menjadi pH netral. Pada pH tanah yang masam, banyak unsur hara (misalnya: N, P, K,
Ca, Mg) yang tidak tersedia bagi tanaman karena pada pH rendah unsur tersebut
rusak. Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah kesuburan tanah
dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Beberapa upaya yang sudah
dikenal adalah pengapuran, pemupukan, dan penyemprotan herbisida.
Hal yang merupakan prinsip dasar dalam pengapuran tanah yang harus
diperhatikan adalah pemberian kapur harus sesuai dengan dosis anjuran daerah
setempat, penaburan, pembenaman dan pencampuran kapur ketanah harus dalam
dan rata. Efek pengapuran dalam pengelolaan tanah dapat dikatagorikan kedalam tiga
hal, yaitu : efekfisik, efekkimia, dan efek biologis.
Dua kation logam yang paling sesuai untuk mengurangi kemasaman tanah ialah
kalsium dan magnesium. Bagi tnaman, kalsium berfungsi untuk merangsang
pembentukan bulu-bulu akar, mengeraskan batang tanaman dan merangsang
pembentukan biji. Sedangkan magnesium berfungsi dalam pembentukan hijau daun
yang sempurna dan terbentuk karbohidrat, lemak dan minyak. Magnesium juga
berperan dalam transprtasi fosfat dalam tanaman. Jadi kandungan fosfat dalam
tanaman dapat dinikkan dengan cara menambah unsur magnesium.
DAFTAR PUSTAKA

AnonymousA. 2014. Pengelolaan Tanah Masam. http://susandrimahasiswapertanian.blog


spot. com/2012/06/pengelolaan-tanah-masam-acid-soils.html. Diakses pada 25 Maret
2014.
AnonymousB.2014. http://agro-sosial.blogspot.com/2013/06/kapur-untuk-pengapuran-tanah-
pertanian.html. Diakses pada 25 Maret 2014.
AnonymousC.2014.Tanah Masam./http://faa-entertaint.blogspot.com/2009/03/tanah-masam-
dan pengapuran.html. Diakses pada 25 Maret 2014
Brady, N.C. 1984. The Nature and the Properties of Soils. MacMillan Publishing. New york.
P: 572 – 587

Buckman, H.O. dan N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan Oleh Soegiman. Bhratara
Karya Aksara. Jakarta. hal : 503 – 505

Dwianto, Erwin. 2014. Pengaruh Pengapuran Terhadap Pertumbuhan dan Produksi


Tanaman Kakao (Theobroma cacao). http://errwindouble99.blogspot.com/2014/01/
pengaruh-pengapuran-terhadap.html#more. Diakses 26 Maret 2014.

Hardjowigeno, Suwono. 1995. Ilmu Tanah.Mediatama Sarana Pustaka: Jakarta.


Lingga, P dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. hal
: 7 -16/108 – 136

Poerwowidodo, M. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung. hal : 114 – 122

Sutedjo, M.M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. P.T. Rineka Cipta. Jakarta. hal : 25 –
26/165 – 166

Anda mungkin juga menyukai