DI SUSUN OLEH :
ADE FITRIANA C1051151005
ALVIN JOSUA M. C1051151014
ASNADA C1051151008
TIKA LIYANI C1051151007
YANNI NURBAINI C1051151033
ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum Manajemen Tanah dan
Air. Laporan ini di susun sebagai tugas akhir laporan praktikum mata kuliah
Manajemen Tanah dan Air program studi Ilmu Tanah. Laporan ini membahas
tentang hasil yang telah di lakukan dalam proses praktikum ini.
Kami menyadari dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun
sangat di perlukan demi kesempurnaan penulisan laporan pada masa yang akan
mendatang.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati, kami mengucapkan mohon
maaf dan terima kasih, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu
sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB
Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik
dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua
lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan
gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk
pertanian.
1
diperlakukan diluar batas tingkat kemampuan lahan, sekalipun dengan input biaya
produksi yang tinggi seperti penterasan dan pengolahan tanah secara mekanis.
1. 2 Manfaat
1. 3 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Karakteristik Lahan Gambut
Bahan induk pembentuk tanah adalah bahan organik hasil akumulasi
bagian – bagian tanaman hutan hujan tropika. Gambut tropika mumnya berukuran
kasar sekasar batang, dahan dan ranting tumbuhan, sehubungan hal itu maka
penetapan karakteristik gambut dengan metode konvensonal menjadi bias. Tanah
gambut umumnya terbentuk karena kondisi jenuh air atau karena temperatur yang
rendah, sehingga proses dekomposisi berlangsung nisbi lambat dibanding proses
akumulasi. Tanah ganbut terbentuk dari endapan bahan organik sedenter
(pengendapan setempat) yang berasal dari sisa jaringan tumbuhan yang
menumbuhi dataran rawa dengan ketebalan bervariasi, tergantung keadaan
topografi/tanah mineral di bawahnya. Bahan dasar penyusun tanah gambut
didominasi oleh lignin dengan lingkungan yang kahat oksigen, sehingga proses
dekomposisi bahan organiknya lambat. Sifat fisika tanah gambut, khususnya
hidrolikanya ditentukan oleh tingkat pelapukan bahan organiknya.
Pengelompokan tanah gambut berdasarkan tingkat dekompoisi bahan organik dan
berat volume menghasilkan tiga macam tanah gambut,yakni fibrik, hemik, dan
saprik. Pengendalian drainase lahan gambut, dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya oksidasi gambut sehingga dapat menurunkan dekomposisi gambut. Hal
ini dapat dimungkinkan dengan penggenangan, menghindari pengusikan
(distrubance) dan mengatur tinggi permukaan air tanah (ground water level) di
daerah rhizosfer. Drainase gambut harus didekati dengan perspektif total
pengelolaan air yaitu dengan meminimalisir “stress” lengas tanah.
3
untuk menggelontor air masam dan kemudian mengairi lahan untuk tanaman
padi lokal yang olah tanahnya dilaksanakan secara tradisional. Dengan sistem
ini pertanian padi dapat lestari (sustainable) sampai saat ini dengan tingkat
produktivitas antara 2,0 – 2,5 t/ha tiap tahun.
Pengelolaan lahan gambut tradisional untuk tanaman kelapa
Parit dibuat ukuran minimal, pengaturan air dibuat dengan menerapkan
sistem tabat, produktivitas tanaman kelapa dapat kontinu sampai saat ini.
Pengelolaan lahan gambut untuk tanaman perkebunan kelapa
Pengelolaan lahan gambut dalam satu ekosistem pulau. Sistem drainase
dikendalikan dengan baik untuk menjaga muka air dalam tanah disesuaikan
dengan ruang perakaran yang diperlukan oleh tanaman. Produksi kelapa dapat
menopang industri perkebunan.
Pengelolaan lahan gambut tradisional untuk tanaman sagu
Parit dibuat ukuran kecil dan pengaturan air dibuat dengan menerapkan
sistem tabat, produktivitas tanaman sagu dapat dikelola dalam skala industri.
Pengelolaan lahan gambut untuk hutan tanaman industri
Pengembangan hutan tanaman industri (HTI) tanaman Acasia mangium
dan Acasia crasicarpa di kaki kubah gambut. Parit (saluran) primer cukup
besar lebar antara 8 – 10 meter karena selain untuk drainase juga untuk
transportasi (navigasi), namun permukaanair dijaga ketat. Saluran sekunder
(lebar 2 – 3 meter) dan saluran tertier (1 – 2 meter) cukup kecil untuk
mengendalikan permukaan air tanah. Perkebunan ini telah memasok pabrik
pulp.
4
kedua sebelum air dari air keluar dari lahan menuju ke sungai dengan maksud
untuk mengendalikan elevasi muka air relatif. Bila aliran air keluar tidak akan
drastis sehingga dapat mengendalikan ”overdrained” dan mencegah kekeringan
yang akhirnya mempertahankan kondisi lahan tetap terpenuhi keperluan airnya.
Ukuran bangunan pengendali terutama lebar saluran tergantung komoditas
yang diusahakan, untuk tanaman padi memerlukan kondisi lahan tetap tergenang
sehingga relatif sempit agar aliran muka air relatif terkendali, dan untuk tanaman
perkebunan yang memerlukan kedalaman muka air tanah relatif dalam sehingga
perlu dikendalikan sesuai dengan kedalaman zona perakarannya. Pengelolaan air
diperlukan karena:
a. Kondisi alami dan restorasi terutama kegiatan koservasi air .
b. Pengelolaan air diperlukan untuk menghilangkan kelebihan air permukaan
(drainase) dan air dibawah permukaan terutama untuk pertanian.
c. Pengecegahan kebakaran dan pertanian : yaitu pengendalian muka air tanah.
Pengelolaan tata air mikro ialah pengelolaan air pada skala petani. Dalam
hal ini, pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta
pembangunan dan pengaturan saluran kuarter dan saluran lain
yang lebih kecil. Saluran tersier umumnya dibangun oleh pemerintah
tetapi pengelolaannya diserahkan kepada petani.
Pengelolaan air di tingkat petani bertujuan untuk mengatur agar setiap
petani memperoleh air irigasi dan membuang air drainase secara adil. Untuk itu
diperlukan organisasi di tingkat desa.Kemudian, pengelolaan di tingkat petani
juga menciptakan kelembaban tanah di lahan seoptimal mungkin bagi
pertumbuhan tanaman serta mencegah kekeringan lahan sulfat asam dan lahan
gambut. Pengelolaan tata air yang dimaksud di sini adalah pengelolaan air
skala mkro,yaitu yang berada di tingkat petani yang meliputi pembuatan
saluran-saluran keliling, pengatusan dan kemalir, tabat, dan pintu air.
Pengelolaan air di lahangambut terutama dimaksudkan untuk mempertahankan
muka air tanah pada bataslayak untuk tanaman pangan. Untuk padi, muka air
tanah perlu dipertahankan pada jeluk antara 30-40 cm dan untuk palawija 40-
50 cm. (Rafieq, Achmad. 2004).
5
Pengelolaan air juga penting untuk menjaga agar tidak terjadi amblesan
yang besar. Sistem tabat lazim digunakan oleh petani tradisional untuk
mempertahankan air selama musim tanam (lacak) bagi padi lokal berumur 8-10
bulan, yang bersifat peka fotoperiod pada sekitar bulan Maret-April. Tabat
dibuka pada akhir musim kemarau atau menjelang musim hujan untuk
mengeluarkan unsur dan senyawa racun berupa asam-asam organik dan ion-ion
logam lainnya. Sistem tabat ini memberikan peluang bagi pengembangan padi
sekaligus perbaikan mutu lahan, terutama dalam menurunkan kadar unsur
pencemaran (Al, Fe, dan H2S).
Dalam budidaya tanaman palawija, pembuatan saluran pengatusan
keliling dan kemalir di lahan gambut dari hasil penelitian terbukti dapat
memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah serta hasil tanaman jagung dan
kedelai (Vadari et al.,1995). Dimensi ukuran saluran kemalir lebar 40 cm,
dalam 30-50 cm, dengan jarak antara kemalir 9 m. Penerapan sistem
pengatusan dangkal untuk pengembangan tanaman palawija di lahan pasang
surut Tipe B Unit Tatas, Kapuas (Kalimantan Tengah) dan Tipe C Unit Barambai
(Kalimantan Selatan) memberikan hasil kedelai rata-rata sebesar 1,99 ton/ha,
kacang tanah 1,53-2,70 ton/ha, dan jagung 4,32-4,69 ton/ha (Sarwani et al.,
1994).
Pengelolaan air tingkat mikro atau tingkat petani ini dianjurkan
menerapkan sistem tata air satu arah sehingga pelindian senyawa atau unsur
racun yang menghambat pertumbuhan tanaman lebih mempan. Pintu air
yang dipasang di muara saluran tersier (handil) dapat bersifat semi-otomatis
(aeroflapgate) yang bersifat membuka ke dalam (tersier) untuk pintu air irigasi
dan membuka ke luar untuk pintu air drainasi/pengatusan. Hasil padi juga
dipengaruhi oleh mutu air yang dipergunakan.
6
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3. 1 Tempat dan Waktu Praktikum
Pelaksanaan praktikum Manajemen Tanah dan Air dilakukan di Desa Banjar
Sari Kecamatan Rasau Jaya II. dan Pelaksanaan praktikum di lakukan pada hari
Sabtu, 30 Juni 2018.
3. 3. Langkah Kerja
7
BAB IV
4. 1 Hasil
Adapun hasil yang diperoleh dari pengukuran dan pengamatan saluran pada
masing-masing jalur dilapangan yaitu sebagai berikut :
PENGAMATAN JALUR I
HIDROLOGI
Pengamatan Titik Pertama
Air tanah/Genangan (cm) 26 cm
Muka air saluran 75 cm
Beda tinggi ait tanah dan saluran 49
Drainase banjir/genangan (tnggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) 389 cm
Kondisi saluran Bersih
Luapan dari sekunder -
Titik koordinat 49 M 0322395 / UTM 9972620
Pengamatan Titik Kedua
Air tanah/Genangan (cm) 60 cm
Muka air saluran 77 cm
Beda tinggi ait tanah dan saluran 17
Drainase banjir/genangan (tnggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) 390 cm
Kondisi saluran Bersih
Luapan dari sekunder -
Titik koordinat 49 M 0322462 / UTM 9972633
Pengamatan Titik Ketiga
Air tanah/Genangan (cm) 28 cm
Muka air saluran 74 cm
Beda tinggi ait tanah dan saluran 46 cm
Drainase banjir/genangan (tnggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) 420 cm
Kondisi saluran Bersih
8
Luapan dari sekunder -
Titik koordinat 49 M 0322572 / UTM 9972644
Tabel 1. Pengukuran dan Pengamatan Saluran Jalur I
9
Pengamatan Sekat Kanal Titik 1
Lebar sekat kanal 4,7 meter
Titik tengah sekat kanal 2,35 meter
Titik koordinat S 00º 14.933
E 109º 24.294
1. Bagian penampungan saluran sekat
kanal:
(sisi sebelah kanan)
- Kedalaman air saluran 40 cm
- Tinggi muka air saluran 88 cm
(bagian tengah saluran)
- Kedalaman air saluran 24 cm
- Tinggi muka air tanah saluran 85 cm
(sisi sebelah kiri)
- Kedalaman air saluran 33 cm
- Tinggi muka air saluran 100 cm
2. Bagian pembuangan saluran sekat
kanal:
(sisi sebelah kanan)
- Kedalaman air saluran 49 cm
- Tinggi muka air saluran 97 cm
(bagian tengah saluran)
- Kedalaman air saluran 66 cm
- Tinggi muka air tanah saluran 92 cm
(sisi sebelah kiri)
- Kedalaman air saluran 50 cm
- Tinggi muka air saluran 92 cm
10
- Tinggi muka air tanah saluran 59 cm
(sisi sebelah kiri)
- Kedalaman air saluran 86 cm
- Tinggi muka air saluran 62 cm
4. Bagian pembuangan saluran
sekat kanal:
(sisi sebelah kanan)
- Kedalaman air saluran 105 cm
- Tinggi muka air saluran 48 cm
(bagian tengah saluran)
- Kedalaman air saluran 88 cm
- Tinggi muka air tanah saluran 49 cm
(sisi sebelah kiri)
- Kedalaman air saluran 45 cm
- Tinggi muka air saluran 51 cm
Tabel 2. Pengukuran dan Pengamatan Saluran Jalur II
HIDROLOGI
Pengamatan titik pertama
Air tanah/Genangan (cm) 14 cm
Muka air saluran 21 cm
Beda tinggi air tanah dan saluran 7
Drainase banjir/genangan (tnggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) 51 cm
Kondisi saluran Bersih
Luapan dari sekunder -
Titik koordinat 49 M / UTM 9972347
Pengamatan titik kedua
Air tanah/Genangan (cm) 25 cm
Muka air saluran 21 cm
Beda tinggi air tanah dan saluran 4
Drainase banjir/genangan (tinggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) 49 cm
Kondisi saluran Bersih
Luapan dari sekunder -
11
Titik koordinat 49 M / UTM 9972379
Pengamatan titik ketiga
Air tanah/Genangan (cm) 19,5 cm
Muka air saluran 21 cm
Beda tinggi ait tanah dan saluran 1,5 cm
Drainase banjir/genangan (tnggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) 44 cm
Kondisi saluran Bersih
Luapan dari sekunder -
Titik koordinat 49 M 0322887 / UTM 9972445
12
- Kedalaman air saluran 72 cm
- Tinggi muka air saluran 60 cm
13
TABEL PENGAMATAN JALUR 4
HIDROLOGI
Pengamatan titik pertama
Air tanah/Genangan (cm) 23 cm
Muka air saluran 71 cm
Beda tinggi ait tanah dan saluran 52 cm
Drainase banjir/genangan (tnggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) 284 cm
Kondisi saluran Baik
Luapan dari sekunder -
Titik koordinat 49 M 0322916 / UTM 9972301
Pengamatan titik kedua
Air tanah/Genangan (cm) cm
Muka air saluran cm
Beda tinggi ait tanah dan saluran
Drainase banjir/genangan (tnggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) -
Kondisi saluran Baik
Luapan dari sekunder -
Titik koordinat 49 M / UTM
Pengamatan titik ketiga
Air tanah/Genangan (cm) 28 cm
Muka air saluran -
Beda tinggi ait tanah dan saluran -
Drainase banjir/genangan (tnggi, -
frekuensi
Kadar garam (uS/cm) -
Dimensi saluran (L x D) -
Kondisi saluran Baik
Luapan dari sekunder -
Titik koordinat 49 M 0323039 / UTM 9972345
Tabel 4. Pengukuran dan Pengamatan Saluran Jalur IV
14
4. 2 Pembahasan
Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh dan
berkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai
dengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak
teroksidasi. Penanaman muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang
mengandung pirit akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang
menghasilkan senyawa sulfat. Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan
menekan kandungan oksigen yang tersedia di dalam tanah, yaitu dengan
mengatur kedalaman muka air tanah.
15
Dimensi saluran dan bentuk saluran perlu diperhatikan agar didapatkan
saluran stabil yaitu tidak mengganggu masalah erosi maupun sedimentasi.
Persoalan pada saluran yang perlu mendapat yaitu penentuan kecepatan terpakai,
agar tidak timbul erosi, sedimentasi, maupun longsoran - longsoran. Dimensi
saluran sekunder ditentukan berdasarkan kebutuhan air dari seluruh petak tersier
setiap titik yang dilayani dengan memperhitungkan kehilangan air banyak di
petak sekitar vegetasi maupun pada saluran tersier. saluran sekunder merupakan
batas dari petak tersier, sehingga penentuan dari petak tersier diusahakan
berbentuk persegi panjang (memanjang arah aliran) dengan luas disesuaikan
dengan keadaan topografi daerah.
Agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka
perlu dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran sekunder sesuai dengan
sistem usahatani yang diterapkan.
16
informasi yang diperoleh juga sangat terbatas, yaitu hanya pada titik pengamatan
dan jangka waktu pengamatan tertentu.
Data yang didapat dari pengukuran muka air tanah, pada titik pertama adalah
–4 cm, pada titik kedua adalah – 10 cm, pada titik ketiga adalah – 74 cm,
dan pada titik keempat adalah – 34 cm. setiap titik yang kami amati
didapatkan setiap titik bernilai minus yang berarti bahwa muka air tanahnya
berada dibawah permukaan tanah.
17
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
5. 2 Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
Endah, N. 2002. Tinjauan Teknis Tanah Gambut Dan Prospek
PengembanganLahan Gambut Yang Berkelanjutan.
Pidato Pengukuhan Guru Besar ITSSurabaya.Hidayanti, N., dan Riwandi. 2011.
Laju subsiden pada drainase dan pengapurantanah gambut fibrik dengan
penanaman jagung. Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Bengkulu.
Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian. Najiyati. 2003. Mengenal
Perilaku Lahan Gambut. Seri Pengelolaan Hutan danLahan Gambut, Bogor.
Nurzakiah, S. dan Achmadi J. 2004. Potensi dan kendala pengelolaan
lahangambut untuk pertanian. Balai Penelitian Pertanin Lahan Rawa
(Balitra).Kalimantan Selatan. Agroscientiae.
Rieley, J.O., R.A.J. Wüst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Wösten, A. Hooijer, F. Siegert,
S.H. Limin, H. Vasander, and M. Stahlhut. 2008. Tropical peatlands: carbon stores,
carbon gas emissions and contribution to climate change processes. Pp. 148-182.
In M. Strack (Ed.) Peatlands and Climate Change. International Peat Society,
Vapaudenkatu 12, 40100 Jyväskylä, Finland.
Page, S.E., S. Siegert, J.O. Rieley, H.D.V. Boehm, A. Jaya, and S.H. Limin.
2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia
during 1997. Nature (420):6165.
Rieley, J.O., A.A. Ahmad-Shah, and M.A. Brady. 1996. The extent and
nature of tropical peat swamps. In E. Maltby, C.P. Immirzi, R.J. Safford
(Eds.). Tropical Lowland Peatlands of Southeast Asia. Proceedings of a
Workshop on Integrated Planning
19
LAMPIRAN
Jalur I
Jalur II
Jalur III
Jalur IV
20