Anda di halaman 1dari 30

BAB III LANDASAN TEORI

3.1

Stabilisasi Tanah Setiap konstruksi bangunan Teknik Sipil pasti berdiri diatas tanah, sehingga tanah

merupakan material yang sangat berpengaruh dalam suatu pekerjaan konstruksi. Stabilisasi tanah merupakan usaha perbaikan daya dukung (mutu) tanah yang tidak atau kurang baik, karena suatu daerah tidak akan memiliki sifat tanah yang sama dengan daerah lainnya. Kondisi tanah yang tidak selalu baik dilapangan menjadi penghambat pekerjaan konstruksi. Stabilisasi tanah dapat terdiri dari salah satu tindakan berikut : 1. Secara dinamis, yaitu pemadatan tanah dengan alat pemadat. 2. Perbaikan gradasi dengan cara menambah tanah pada fraksi tertentu yang dianggap kurang, sehingga tercapai gradasi yang rapat. Fraksi yang kurang biasanya adalah fraksi yang berbutir kasar, cara yang dilakukan adalah mencampur tanah dengan fraksi butir kasar seperti pasir, dan kerikil atau pasir saja. 3. Stabilisasi kimiawi, yaitu menambahkan bahan kimia tertentu, sehingga terjadi reaksi kimia. Bahan yang biasanya digunakan antara lain : Portland semen, kapur tohor, atau bahan kimia lainnya. Stabilisasi ini dilakukan dengan dua cara yaitu : mencampur tanah dengan bahan kimia kemudian diaduk dan dipadatkan. Cara dua adalah memasukkan bahan kimia kedalam tanah (Grouting) sehingga bahan kimia bereaksi dengan tanah. 4. Stabilisasi tanah dapat berupa suatu pekerjaan atau gabungan gabungan pekerjaan berikut : a. Stabilisasi mekanis, stabilisasi dengan berbagai macam peralatan mekanis, biasanya dilakukan dengan alat berat atau mesin penggilas. b. Stabilisasi dengan menambahkan suatu bahan tambah (additive) kedalam tanah. Dalam analisa stabilisasi tanah lempung ini, saya akan melakukan

perbaikan tanah lempung dengan campuran berupa fly ash Gunung Merapi dan kapur tohor dari desa Gamping.

Terdapat faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan bahan stabilisator, antara lain jenis tanah yang akan distabilisasi, yang mana lapisan yang akan digunakan, jenis perbaikan tanah yang diinginkan, kekuatan yang diperlukan dan daya tahan dari lapisan yang distabilisasi, biaya dan juga kondisi lingkungan. Unified Facilities Criteria (UFC) mengatakan bahwa secara umum jika dilihat dari berbagai gradasi butiran, semen merupakan pilihan yang baik sebagai stabilisator. Kapur baik digunakan untuk tanah yang memiliki nilai plastisitas sedang hingga tinggi. Kapur akan bereaksi untuk menahan nilai plastisitas pada tanah tersebut, sehingga menyebabkan berkurangnya nilai plastisitas dan bertambahnya kekuatan tanah. Fly ash perlu ditambahkan kapur jika akan digunakan sebagai bahan stabilitator.

3.2

Tanah Dasar Jalan (Subgrade) Struktur perkerasan jalan pada penelitian ini merupakan struktur perkerasan lentur

(Flexible Pavement) pada jalan Tegal-Brebes bypass. Kombinasi pada struktur perkerasan adalah lapisan dasar, fondasi dan lapisan aus yang diletakkan di atas tanah dasar untuk memikul beban lalu lintas dan menyebarkan ke badan jalan (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997). Tanah dasar (subgrade) adalah bagian di bawah fondasi jalan dan merupakan penunjang bagi struktur bagian-bagian jalan (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997). Tanah dasar jalan merupakan pondasi jalan yang mendukung perkerasan diatasnya dan mendukung beban sementara dari lalu-lintas jalan raya, sehingga tanah yang dijadikan subgrade harus merupakan jenis tanah yang baik kerena memegang peranan vital dalam struktur perkerasan jalan.

Gambar 3. Struktur perkerasan lunak (Flexible Pavement Structure)

Tanah dasar jalan bila diperbaiki dengan pemadatan atau karena adanya tanah urug dengan material yang lebih baik akan menjadi lebih kokoh, perlakuan ini disebut Improved Subgrade. Menurut Suprapto (1999), agar subgrade dapat berfungsi dengan baik, maka : 1. Bahan subgrade yang baik, bukan tanah yang sifat kembang susutnya besar. 2. Pemadatan dilakukan pada kadar air yang tepat, sehingga didapat subgrade yang seragam daya dukungnya dan stabil. Jika kekuatan tanah tidak seragam, maka sebaliknya selama pelaksanaan perlu diusahakan teknik pelaksanaan yang tepat, agar didapat keseragaman daya dukung. 3. Alinemen vertikal yang sesuai 4. Saluran drainase yang dapat berfungsi dengan baik

3.3

Pengaruh Tanah Lempung Terhadap Kadar Air dan Mineral yang Terkandung dalam Tanah Lempung Salah satu jenis tanah yang dianggap kurang baik sebagai subgrade pada

konstruksi jalan adalah tanah lempung, karena mempunyai sifat sangat dipengaruhi gayagaya permukaan serta sangat mudah mengembang oleh tambahan air. Definisi tanah lempung menurut beberapa ahli : Terzaghi (1987) Mengatakan bahwa tanah lempung adalah tanah dengan ukuran mikrokonis sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan. Permeabilitas lempung sangat rendah, bersifat plastis pada kadar air sedang. Di Amerika bagian barat, untuk lempung yang keadaan plastisnya ditandai dengan wujudnya yang bersabun atau seperti terbuat dari lilin disebut gumbo. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. Das (1988) Mendefinisikan sebagai tanah yang terdiri dari partikel-partikel tertentu yang menghasilkan sifat plastis apabila dalam kondisi basah. Bowles (1991)

Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai partikel berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah lebih dari 50 %. Hardiyatmo (1992) Mengatakan sifat-sifat yang dimiliki dari tanah lempung yaitu antara lain ukuran butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif, kadar kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat.

3.3.1

Mineral Lempung Mineral lempung berukuran sangat kecil (kurang dari 0,002mm) dan merupakan

partikel yang aktif secara elektrokimiawi yang hanya dapat diliat dengan mikroskop electron. Menurut Bowles, 1991, mineral lempung menunjukkan karakteristik daya tarikmenarik dengan air dan menghasilkan plastisitas yang tidak ditunjukkan oleh material lain, walaupun material itu berukuran lempung atau lebih kecil. Beberapa mineral lempung yang biasa terdapat adalah sebagai berikut.

Kaolanit (Kaolanite) Istilah kaolin sebenarnya menjelaskan beberapa mineral lempung yang berbeda. Istilah ini digunakan para insinyur untuk menerangkan kelompok lempung berkegiatan rendah. Kaolinit adalah mineral lempung paling tidak aktif yang pernah diamati. Satuan struktur kaolinit terdiri dari lapisan tetrahidra silika yang berganti-ganti dengan puncak yang tertanam dalam satuan octahedral aliumina dan menghasilkan yang disebut satuan dasar 1 : 1, berlapis tipis dengan ketebalan sekitar 7 (1 Angstrom = 10-10 m). Pada keadaan tertentu, partikel kaolinite dapat terdiri dari seratus tumpukan yang sulit dipisahkan, sehingga mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk di antara lempengan (air dapat menimbulkan kembang susut pada sel satuannya). Mineral 1 : 1 lain dari "keluarga kaloinit adalah haloisit (halloysite). Haloisit berbeda dengan kaloinit, karena tertumpuk secara acak dan satu molekul air dapat masuk diantara satuan-satuan 7 .

Gambar 3.. Struktur mineral kaolinit

Illit (Illite) Illite diturunkan dari muscovite (mika) dan biotit (biotite), sehingga terkadang disebut lempung mika. Mineral lempung illit terdiri dari lapisan gibsit octahedral yang berada diantara dua lapisan silica tetrahedral, yang biasa disebut mineral 1 : 2. Beberapa posisi silica akan terisi oleh atom-atom aluminium dan atom-atom potassium yang ikut berada diantara lapisan-lapisan untuk mengatasi kekurangan muatan, sehingga rekatan seperti ini mengakibatkan kondisi yang kurang stabil jika dibandingkan dengan kaolinit. Oleh karena itu, aktivitas illit adalah lebih besar. Vermikulit merupakan mineral lemung dalam keluarga illit. Lempung illit dan vermikulit banyak dipakai untuk agregat berbobot ringan (kadang-kadang disebut serpih mengembang atau vermikulit). Vermikulit terutama, sangat mengembang apabila mengalami pemanasan yang tinggi, karena lapisan-lapisan airnya mudah menguap.

Gambar 3.. Struktur mineral illit dan vermikulit

Mantmorilonit (Mantmorillonite) Mantmorilonit adalah nama yang diberikan untuk suatu mineral lempung yang ijumpai di Montmorillon, Prancis (1847). Mineral ini merupakan jenis mineral 1 : 2, yang dibentuk oleh dua lembar silika dan satu lembar aluminium (gibbsite). Mineral montmorillonite mempunyai luas permukaan yang lebih besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak bila dibandingkan dengan mineral lainnya, sehingga tanah ini mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap pengaruh air. Sifatsifat yang demikian tersebut membuat

montmorillonite sangat sering menimbulkan masalah pada bangunan. Tanah-tanah yang mengandung montmorillonite sangat mudah mengembang oleh tambahan kadar air. Tekanan pengembangan yang dihasilkan dapat merusak struktur ringan dan perkerasan jalan raya.
Silika Aluminium

Gambar 3.. Struktur mineral mantmorilonit

3.4

Abu Vulkanik Abu vulkanik terbentuk selama ledakan gunung berapi, dari longsoran batu panas

yang mengalir di sisi gunung berapi, atau dari semprotan lava pijar (Rose & Durrant, 2009). Material batuan vulkanik dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran butirnya, yaitu : Bombs and blocks, merupakan klasifikasi butiran terbesar, berukuran lebih dari 64 milimeter; Lapilli, merupakan klasifikasi butiran pertengahan, berukuran 2 64 milimeter; Volcanic ash (abu vulkanik), merupakan klasifikasi buturan terhalus, berukuran mulai dari 2 milimeter sampai dengan skala makrometer.

Abu vulkanik berwarna abuabu terang hingga hitam. Partikel abu vulkanik memiliki kepadatan yang relatif rendah karena memiliki banyak pori-pori dan rongga. Partikel-partikel ini biasanya terbang dan tersebar di udara di sekitar lokasi letusan. Penyebaran abu vulkanik di udara tergantung pada jenis dan besarnya letusan, arah angin, dan ukuran serta kerapatan dari partikel abu. Abu vulkanik termasuk dalam kelompok pozzolan yang memiliki sifat pozzolanic. Pozzolan didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengandung silika dan alumina yang bersifat reaktif. Pozzolan dalam keadaan halus apabila dicampur dengan kapur padam aktif dan air dalam beberapa waktu dapat bereaksi membentuk suatu massa yang padat dan sukar larut dalam air. Pozzolan dibagi menjadi tiga jenis (SNI 03-6863-2002), yaitu : 1. Pozolan jenis N, yakni abu terbang hasil kalsinasi dari pozzolan alam, misalnya tanah diatomite, shole, tuff, abu vulkanik, dan batu apung, diproses melalui pembakaran atau tidak melalui proses pembakaran. 2. Pozolan jenis F, yakni abu terbang yang mengandung CaO lebih kecil dari 10%, abu terbang (fly ash) ini dihasilkan dari pembakaran batubara jenis anthrchacite pada suhu kurang lebih 15600C. Abu terbang ini memiliki sifat pozzolanic. Kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 70%. 3. Pozolan jenis C, yakni abu terbang yang mengandung CaO di atas 10%, abu terbang (fly ash) ini dihasilkan dari pembakaran ligmit atau batubara dengan kadar carbon 60 % atau sub bitumen. Abu terbang ini selain bersifat pozzolanic juga memiliki sifat self hardening. Kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 50%.

Persyaratan kandungan unsur oksida yang harus ada pada suatu pozolan dapat dilihat pada Tabel 3. dan Tabel 3.. Tabel-tabel tersebut menjelaskan kandungan kimia pada bahan-bahan pozolan yang digunakan dalam stabilisasi tanah, sehingga dapat mengetahui kelas pozolan yang digunakan.

Tabel 3.. Kandungan kimia pozzolan, ASTM C 618-92a Kelas pozzolan Kandungan kimia N (%) Silikon dioksida (SiO2) + alumina oksida (Al2O3) 70 + besi oksida (Fe2O3) minimum Sulfur trioksida (SO3) maksimum 4 Kadar air maksimum 3 Hilang pijar maksimum 10 Kandungan alkali (Na2O) maksimum 1,5 F(%) 70 5 3 12 1,5 C(%) 50 5 3 6 1,5

Tabel 3.. Susunan kimia dan sifat fisik abu terbang, ASTM C 618-78 Kelas abu terbang Parameter A. Susunan Kimia Silikon dioksida (SiO2) + alumina oksida (Al2O3) + besi oksida (Fe2O3) minimum Kalium oksida (CaO) Magnesium oksida (MgO) maksimum Sulfur Trioksida (SO3) maksimum Hilang pijar maksimum Total alkali (Na2O) maksimum Kadar air maksimum B. Sifat-sifat fisik Pemuaian dengan autoclave maksimum Kehalusan 45 m maksimum N (%) 70 < 10 5 5 12 1,5 3 0,8 34 C(%) 50 > 20 5 5 6 1,5 3 0,8 34

3.5

Kapur Penelitian ini menggunakan kapur sebagai campuran terhadap abu terbang

vulkanik. Kapur dibuat dari batu kapur yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) dan dengan pemanasan 980C sehingga kandungan karbon dioksida ke luar hingga tersisa mineral kapurnya saja (CaO). Tipe-tipe dasar kapur yang dapat digunakan pada stabilisasi tanah (SNI 03-41471996) : 1. kapur tipe I adalah kapur yang mengandung kalsium hidrat tinggi; dengan kadar Magnesium Oksida (MgO) paling tinggi 4% berat;

2. kapur tipe II adalah kapur Magnesium atau Dolomit yang mengandung Magnesium Oksida lebih dari 4% dan paling tinggi 36% berat; 3. kapur tohor (CaO) adalah hasil pembakaran batu kapur pada suhu 90C, dengan komposisi sebagian besar Kalsium Karbonat (CaCO3); 4. kapur padam adalah hasil pemadaman kapur tohor dengan air, sehingga membentuk hidrat [Ca(OH)2].

Stabilisasi dengan kapur telah secara luas digunakan untuk menurunkan potensi pengembangan dan tekanan pengembangan pada tanah-tanah lempung. Penambahan kapur menghasilkan konsentrasi ion-ion kalsium yang tinggi dalam lapis ganda sekeliling partikel-partikel lempung, sehingga mengurangi tarikan bagi air. Biasanya kekuatan lempung basah dapat dinaikkan apabila ditambahkan kapur dengan jumlah yang tepat. Kenaikan kekuaran ini diakibatkan sebagian oleh penurunan sifat-sifat plastis dari lempung dan sebagian oleh reaksi pozzolanis dari kapur dengan tanah, yang menghasilkan bahan tersmen yang kenaikan kekuatannya dipengaruhi waktu. Tanahtanah yang diperbaiki dengan kapur, pada umumnya, mempunyai kekuatan yang lebih besar dan modulus elastisitas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah yang tidak diperbaiki. (Dunn, Anderson, & Kiefer, 1992) Jenis kapur yang biasanya digunakan sebagai bahan stabilisasi adalah kapur padam atau kalsium hidroksida (CaOH2), dan kapur tohor atau kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida (CaO) lebih efektif pada kasus-kasus tertentu, kapur jenis ini mempunyai kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaannya, yaitu menyebabkan alat-alat mudah berkarat dan berbahaya terhadap keselamatan para pekerjanya. Tetapi dalam pelaksanaan stabilisasi, kapur yang sering digunakan adalah kalsium hidroksida (CaOH2), sedangkan kalsium karbonat (CaCO3) kurang efektif sebagai bahan stabilisasi kecuali sebagai pengisi (Ingles dan Metcalf, 1992). Kapur yang digunakan untuk bahan stabilisasi tanah lempung disarankan memiliki spesifikasi seperti yang tercantum pada Tabel 3..

Tabel 3. Spesifikasi kapur untuk stabilisasi tanah lempung (Ingles dan Metcalf, 1992) Jenis Bahan Kapur Tohor Kapur Padam (CaO) (Ca(OH)2) Calcium dan magnesium oksida 92% 95% Carbon dioxides at kiln (ditempat pembakaran) 3% 5% Carbon dioxides at elsewhere 10% 7% Fineness 12% Menurut Das (1994) bila fly ash digunakan sebagai bahan stabilisasi sebaiknya dicampur dengan kapur, pada penelitian ini digunakan jenis kapur padam (CaO). Stabilisasi untuk badan jalan akan lebih efektif jika perbandingan campuran antara fly ash dan kapur adalah (10-30)% untuk fly ash dan (2-10)% untuk kapur. Kapur yang akan digunakan untuk stabilisasi tanah, disarankan berupa bubuk. Hal ini sangat penting untuk proses hidrasi serta dapat mengurangi masalah yang timbul. Kadar kapur yang disarankan oleh Ingles dan Metcalf (1992) tercantum pada Tabel 3.).

Tabel 3. Kadar Kapur untuk Bahan Stabilisasi (Ingles dan Metcalf, 1992) Jenis Tanah Tanah berbutir halus pecahan batu Lempung berkerikil gradasi baik Pasir Lempung Berpasir Lempung kelanauan Lempung keras Lempung sangat keras Tanah organic 3.6 Berat Jenis (Specific Gravity) Berat spesifik atau berat jenis (specific gravity) (Gs) dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara nilai berat volume butiran padat (s), dengan berat volume air (w) pada temperature 4C. Persamaan berat jenis : Gs = Gs tidak berdimensi. Secara tipikal, berat jenis berbagai jenis tanah berkisar antara 2,65 sampai 2,75 (dalam Hardyatmoko, 2006). Harga berat spesifik dari butiran tanah sering dibutuhkan dalam berbagai keperluan perhitungan mekanika tanah yang Kadar Kapur (%) Tidak direkomendasikan ~3 Tidak direkomendasikan ~5 24 38 38 Tidak direkomendasikan

dapat ditentukan secara akurat di laboratorium. Menurut Bowles (1991), setiap mineral mineral penting pada tanah memiliki nilai khas berat spesifik. Tabel 3. Berat Spesifik Mineral mineral Penting Mineral Berat Spesifik Gs Quartz (kwarsa) Kaolinite Illinite Montmorillonite Halloysite Potassium feldspar Sodium and calcium feldspar Chlorite Biotite Muscovite Hornblende Limonite Olivine 2,65 2,6 2,8 2,65-2,8 2,0-2,55 2,57 2,62-2,9 2,6-2,9 2,8-3,2 2,76-3,1 3,0-3,47 3,6-4,0 3,27-3,37

Tabel 3. Berat Jenis Tanah Macam Tanah Berat Spesifik Gs Kerikil Pasir Lanau anorganik Lempung organik Lempung anorganik Humus Gambut 2,65-2,68 2,65-2,68 2,62-2,68 2,58-2,65 2,68-2,75 1,37 1,25-1,8

3.7

Distribusi Ukuran Butiran Analisis ukuran butiran tanah adalah perhitungan presentase berat butiran pada

satu unitnit saringan dengan ukuran diameter lubang tertentu (Saringan Nomor 10, 20, 40, 60, 140, 200). Pemberian nama dan klasifikasi tanah sangat tergantung pada ukuran butirannya. Ada dua cara yang umum digunakan untuk mendapatkan distribusi ukuranukuran partikel tanah, yaitu analisa ayakan (penyaringan tanah) dan analisa hydrometer (untuk ukuran partikel-partikel berdiameter lebih kecil dari 0,075mm).

Tabel 3. Saringan Standar Amerika No. Saringan 3 4 6 8 10 16 20 30 Diameter lubang (mm) 6,355 4,75 3,35 2,36 2,00 1,18 0,85 0,60 No. Saringan 40 50 60 70 100 140 200 270 Diameter lubang (mm) 0,42 0,30 0,25 0,21 0,15 0,106 0,075 0,053

Gambar 3. Susunan saringan, sehingga ukuran lobang saringan berkurang dari puncak sampai ke dasar susunan saringan itu (dalam Bowles, 1989) Prinsip pengujian analisa hidrometer adalah butiran-butiran yang terpisah akan melewati air jernih dalam tabung berkapasitas 1000ml dengan kecepatan yang berbeda menurut besar butirannya. Alat hidrometer akan tenggelam lebih dalam bila berat jenis larutan suspense berkurang. Dalam grafik distribusi tanah, indikasi gradasi ditunjukkan pada koefisien keseragaman (Uniformly Coefficient), Cu dan koefisien gradasi (Coefficient of Gradation), Cc yang dinyatakan dalam persamaan dibawah ini. Cu = Cc =
( )

Keterangan : Cu Cc : Koefisien keseragaman : Koefisien gradasi

D10 : 10% dari berat butiran total D30 : 30% dari berat butiran total D60 : 60% dari berat butiran total Dengan persamaan tersebut, tanah dikatakan bergradasi baik jika : 1. Didapatkan nilai Cu > 4, karena rentang ukuran butirannya juga besar, sehingga tanah disebut ber-gradasi baik (well graded). Jika nilai Cu < 1, maka tanah terdiri dari ukuran yang sama (seragam), 2. Jika Cc 1 3 dengan Cu > 4, untuk kerikil, 3. Jika Cc 1 3 dengan Cu > 6, untuk pasir, 4. Jika Cu > 15, sehingga tanah disebut bergradasi baik.

3.8

Batas Konsistensi (Atterberg Limit) Dalam masalah tanah, penting untuk mengetahui pengaruh kadar air terhadap

sifat-sifat mekanis tanah, misalnya kita campurkan air terhadap suatu sampel tanah berbutir halus (lanau, lempung atau lempung berlumpur) sehingga mencapai keadaan

cair. Di awal tahun 1900, seorang ilmuwan dari Swedia bernama Atterberg mengembangkan suatu metode untuk menjelaskan sifat konsistensi tanah berbutir halus pada kadar air yang bervariasi (Das, 1988). Oleh karena itu, tanah dapat dipisahkan dalam empat keadaan dasar atas jumlah air yang dikandungnya, yaitu : padat, semi padat, plastis, dan cair, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.. Batas keadaan kandungan air pada tanah dapat dibagi menjadi : batas cair, batas susut, dan batas plastis. Batas-batas ini dikenal juga sebagai batas-batas Atterberg (Atterberg limit).

Gambar3. Batas-batas Atterberg

3.8.1

Batas Cair (Liquid Limit) Batas cair (LL) adalah kadar air tanah dalam persen, didefinisikan sebagai batas

kondisi antara cair dan plastis atau batas atas dari daerah plastis. Pengukuran batas cair pada umumnya didapatkan dari uji alat Casagrande (1948), alat ini terdiri dari mangkok kuningan yang bertumpu pada dasar karet yang keras. Tanah diletakan di atas mangkok, diratakan dan digores dengan grooving tool sehingga membentuk sebuah alur memanjang (ukuran standar), mangkok diputar dengan kecepatan putaran konstan 2 putaran/detik dengan ketinggian jatuh 1 cm, sehingga membentuk suatu pukulan teratur. Harga liquid limit adalah kadar air dimana diperlukan 25 pukulan untuk menutup alur grooving tool sepanjang .Namun, karena sulitnya mendapatkan tepat 25 kali pukulan, maka biasanya percobaan dilakukan beberapa kali. Percobaan dilakukan dengan berbagai kadar air yang berbeda-beda dengan jumlah pukulan N sekitar 15 sampai 35. Setelah itu, hubungan antara kadar air dengan jumlah pukulan diplotkan ke dalam grafik semi logaritmik, guna menentukan kadar air pada 25 kali pukulan.

Berdasarkan hasil analisis dari beberapa uji batas cair, US Waterways Experiment Station, Vicksburg, Mississippi (1949), mengajukan suatu persamaan empiris untuk menentukan batas cair, yaitu : LL = wN ( )tan Keterangan LL N :

: nilai batas cair (%) : jumlah pukulan yang dibutuhkan untuk menutup goresan selebar 0,5 in pada dasar contoh tanah yang diletakkan dalam mangkok kuningan dari alat uji batas cair

wN

: kadar air dimana untuk menutup dasar goresan dari contoh tanah dibutuhkan pukulan sebanyak N

tan : 0,121 (tidak semua tanah mempunyai harga tan = 0,121)

Gambar 3. Kurva aliran (flow curve) untuk penentuan batas cair lempung berlanau (silty clay) (dalam Das, 1988)

Gambar3. Alat uji Casagrande untuk pengukuran batas cair

3.8.2

Batas Plastis (Plastic Limit) Batas plastis (PL) adalah kadar air dalam persen, didefininisikan sebagai transisi

dari keadaan semi-padat kedalam

keadaan plastis. Batas plastis merupakan tingkat

terendah ke-plastis-an suatu tanah. Prosedur pengujian batas plastis sangat mudah, yaitu menggulung tanah berbentuk elipsoda sampai dengan diameter 1/8 in (3,2 mm) hingga retak. Indeks plastisitas [plasticity index (PI)] adalah perbedaan antara batas cair dan batas plastis suatu tanah. Indeks plastisitas dapat dihitung dengan cara : PI = LL PL Keterangan : PI LL PL : Indeks plastisitas : Batas cair : Batas plastis

Urutan pelaksanaan uji batas plastis diberikan oleh ASTM Test Designation D424 (Das, 1988). Jika tanah memiliki PI yang tinggi, maka tanah tersebut mengandung

banyak butiran lempung. Namun, jika tanah memiliki PI yang rendah, maka tanah tersebut seperti lanau yang mengalami sedikit pengurangan kadar air sehingga tanah menjadi kering. Batasan mengenai tingkat indeks plastisitas tanah dengan sifat, macam tanah dan kohesi, diberikan oleh Atterberg (1911, dalam Hardiyatmo, 2006) seperti yang tercantum pada Tabel 3.

Tabel3. Harga Indeks Plastisitas dan Macam Tanah (Atterberg, 1911 dalam Hardiyatmoko, 2006) Indeks Plastisitas 0 < 17 7 17 > 17 Sifat Tanah Non plastis Plastisitas rendah Plastisitas sedang Plastisitas tinggi Macam Tanah Pasir Lanau Lempung berlanau Lempung Kohesi Non kohesif Kohesif sebagian Kohesif Kohesif

3.8.3

Batas Susut (Shrinkage Limit) Batas susut (SL) adalah kadar air dalam persen, didefinisikan sebagai batas

dimana tanah dalam keadaan jenuh yang sudah kering tidak akan menyusut lagi, meskipun dikeringkan terus atau keadaan dimana sesudah kehilangan kadar air selanjutnya tidak menyebabkan penyusutan volume tanah. Batas susut dapat dihitung dengan persamaan berikut : SL = M {
( )

}100%

Keterangan : SL M V v0 w0 w : Batas susut (%) : Kadar air (%) : Isi tanah basah (cm3) : Isi tanah kering (cm3) : Berat tanah kering (gram) : Berat isi air (gram/cm3)

3.9

Aktivitas Tanah Aktivitas digunakan sebagai indeks untuk mengidentifikasi kemampuan

mengembang tanah lempung. Nilai atau harga dari aktivitas berbagai mineral lempung diberikan menurut Skempton (1953) dapat dilihat dalam Tabel 3.. Menurut Skempton, 1953 (dalam Hardiyatmoko, 2006) mendefinisikan bahwa aktivitas adalah perbandingan antara indeks plastis (PI) dengan persen berat fraksi lempung yang lebih kecil dari 0,002mm atau 2m. Oleh karena itu, aktivitas dapat didefinisikan sebagai : A= Tabel 3. Aktivitas beberapa mineral (Skampton, 1953) Jenis mineral Na-montmorillonit Ca-montmorillonit Illite Kaolinite Halloysite (dehydrated) Halloysite (hydrate) Aktivitas (A) 47 1,5 0,5 1.3 0,3 0,5 0,5 0,1 Jenis mineral Attapulgite Allophane Mica Calsite Quartz Aktivitas (A) 0,5 1,2 0,5 1,2 0,2 0,2 0

Seed dkk (1962), dalam Chen (1975) mengembangkan kurva berdasarkan nilai aktivitas tanah lempung dengan persentase fraksi tanah lempung. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Untuk mengetahui potensi pengembangan tanah

Gambar 3. Grafik hubungan aktivitas dengan persen fraksi lempung < 0,002 mm (Seed dkk, 1962, dalam Hardiyatmoko, 2006)

3.10

Klasifikasi Tanah Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengelompokan tanah yang berbeda-beda

tapi mempunyai sifat yang sama dan subkelompok-subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi mempermudah dalam menjelaskan secara singkat sifatsifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan detail. Sistem klasifikasi yang telah dikembangkan bertujuan untuk rekayasa, didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah sederhana seperti distribusi ukuran butiran tanah dan nilai plastisitas. Terdapat berbagai macam sistem klasifikasi tanah, tetapi tidak ada satupun dari sistem-sistem tersebut yang memberikan penjelasan detail secara tegas mengenai segala kemungkinan dalam pemakaiannya. Hal tersebut disebabkan karena sifat-sifat tanah yang sangat bervariasi (Das, 1988). Dalam penelitian ini, digunakan dua sistem klasifikasi, yaitu : Sistem Klasifikasi AASHTO dan Sistem Klasifikasi Unified [Unified Soil Classification (USC)].

3.10.1 Sistem Klasifikasi AASHTO Sistem klasifikasi AASHTO telah dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Klasifikasi dengan sistem ini dipakai hamper secara eksklusif oleh beberapa departemen transportasi Negara bagian Amerika Serikat dan oleh Federal Highway Administration (Administrasi Jalan Raya Federal) dalam menentukan spesifikasi pekerjaan tanah untuk lalu-lintas transportasi. Sistem klasifikasi AASHTO telah mengalami beberapa perbaikan, versi yang saat ini berlaku adalah yang diajukan oleh Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type Road of Highway Research Board dalam tahun 1945 (ASTM Standard no. D 3282, AASHTO metode M145). Klasifikasi AASHTO yang dipakai saat ini dapat dilihat pada Gambar 3.. Sistem ini mengklasifikasikan tanah kedalam tujuh kelompok besar, yaitu A-1 sampai dengan A7. Tanah yang diklasifikasikan ke dalam A-1, A-2, dan A-3 adalah tanah berbutir dengan kandungan 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan No. 200. Tanah dengan jumlah butiran lebih dari 35% lolos ayakan No. 200 diklasifikasikan kedalam kelompok A-4, A-5, A-6, dan A-7. Butiran dalam kelompok A-4 sampai dengan

A-7 tersebut sebagian besar adalah jenis tanah lanau dan lempung. Sistem klasifikasi ini didasarkan pada kriteria berikut : Ukuran butir : Kerikil : butiran tanah lolos ayakan dengan diameter 75 mm (3 in) dan yang tertahan pada ayakan No. 20 (2 mm). Pasir : butiran tanah yang lolos ayakan No. 10 (2 mm) dan yang tertahan pada ayakan No. 200 (0,075 mm). Lanau dan lempung : butiran tanah yang lolos ayakan No. 200. Plastisitas : Jika butiran halus dari tanah memiliki indeks plastisitas [plasticity index(PI)] sebesar 10% atau kurang masuk kedalam jenis tanah berlanau dan jika butiran halus pada tanah memiliki indeks plastisitas sbesar 11% atau lebih akan masuk kedalam jenis tanah berlempung. Ukuran batuan : Apabila ukuran batuan lebih besar dari 75 mm ditemukan dalam sampel tanah yang akan diklasifikasikan, maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu, namun persentase jumlah batuan tersebut harus dicatat terlebih dahulu.

Gambar 3. Sistem klasifikasi AASHTO untuk lapisan tanah dasar jalan raya

3.10.2 Sistem Klasifikasi Tanah Unified Sistem klasifikasi ini pada mulanya diperkenalkan oleh Casagrande dalam tahun 1942 untuk pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army Corps of Engineers selama Perang Dunia II (Das, 1988). Sistem ini telah banyak digunakan (dan juga secara internasional) dalam pekerjaan teknik fondasi, seperti untuk bangunan, bendungan, dan konstruksi sejenis lainnya. Dalam bidang transportasi, sistem ini digunakan untuk desain lapangan udara dan untuk pekerjaan tanah pada jalan. Klasifikasi dengan sistem USC mengkelompokkan tanah kedalam dua kelompok besar (Gambar3.), yaitu : 1. Tanah berbutir kasar Tanah kerikil dan pasir dengan kandungan kurang dari 50% berat total tanah sampel lolos ayakan No. 200. Kelompok tanah ini diseimbolkan dengan huruf awal G (gravel) untuk tanah berkerikil atau S (sand) untuk tanah berpasir. 2. Tanah berbutir halus Tanah dengan kandungan lebih dari 50% berat tanah sampel lolos ayakan No. 200. Kelompok ini disimbolkan dengan huruf awal C (clay) untuk lempung anorganik dan O (organic) untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gamput (peat), muck, dan tanah-tanah dengan kadar organic tinggi. Berikut symbol-simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi USC : W = tanah bergradasi baik (well graded) P = tanah bergradasi buruk (poorly graded) L = plastisitas rendah (lom plasticity) (LL < 50) H = plastisitas tinggi (high plasticity) (LL > 50)

Klasifikasi sistem USC dapat dilihat pada Tabel 3.. Pada Tabel 3. Terdapat garis diagonal pada bagian plastisitas yang dinamakan garis A, dan garis A tersebut dapat ditentukan dengan persamaan berikut : PI = 0,73 (LL 20) Untuk tanah gambut (peat), dimungkinkan perlunya identifikasi secara visual.

Tabel 3.-1 Klasifikasi tanah unified (termasuk identifikasi dan deskripsi)

3.11

Uji Pemadatan Tanah dengan Modified Proctor Test Jika tanah asli yang digunakan sebagai tanah dasar (subgrade) jalan raya kurang

mendukung atau kurang baik, tidak jarang dilakukan penimbunan, maka pemadatan sering dilakukan. Maksud pemadatan pada tanah dasar adalah untuk mempertinggi kuat geser tanah, mengurangi sifat mudah mampat, permeabilitas, serta mengurangi perubahan volume akibat perubahan kadar air, dan lain-lain. Peristiwa bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis disebut pemadatan. Oleh akibat beban dinamis, butir-butir tanah merapat satu sama lain sebagai akibat berkurangnya rongga udara. (Hardiyatmoko, 2006). Alat-alat penggilas berat yang digunakan untuk uji pmadatan di lapangan sudah banyak berkembang, sehingga uji Proctor standar harus dimodifikasi untuk dapat lebih mewakili kondisi lapangan. Uji Proctor yang dimodifikasi ini disebut Modified Proctor Test (ASTM Test Designation D-1557 dan AASHTO Test Designation T-180). Untuk melaksanakan Modified Proctor Test ini, digunakan silinder mould yang sama dengan volume 1/30 ft3 (9,44 x 10-4 m3) sebagaimana pada uji Proctor standar (Standard Proctor Test). Tetapi tanah dipadatkan dalam lima lapisan dengan menggunakan penumbuk seberat 10 lb (massa = 4,54 kg). Tinggi jatuh penumbuk adalah 18 in. (457, 2 mm). Jumlah tumbukan yang dilakukan adalah sebanyak 25 tumbukan per lapisan seperti yang dilakukan pada uji Proctor standar. Sampel tanah yang digunakan dalam uji Proctor adalah tanah-tanah berbutir halus yang lolos ayakan Amerika No.4. Energi pemadatan yang dilakukan dalam uji Proctor dimodifikasi dapat dihitung sebagai berikut :
( )( ( ) )( )( )

E =

= 56,250 ft.lb/ft3 ( 2693,3 kJ/m3)

Dalam uji pemadatan, digunakan paling sedikit lima kali dengan kadar air tiap percobaan divariasikan. Hubungan berat volume kering (d) dengan berat volume basah (b) dan kadar air (w), dinyatakan dalam persamaan : d =

Gambar3. Kurva hubungan kadar air dan berat volume kering

Apabila diketahui berat tanah basah di dalam cetakan yang volumenya diketahui, maka berat isi basah dapat langsung ihitung sebagai : b =

Berat volume kering setelah pemadatan bergantung pada jenis tanah, kadar air, dan usaha yang diberikan oleh alat penumbuknya. Nilai puncak dari berat isi kering disebut berat volume kering maksimum. Kadar air pada berat volume kering maksimum disebut kadar air optimum [optimum moisture content (OMC)]. Sebuah garis angka pori nol (zero air voids) dapat digambarkan dan selalu berada diatas kurva pemadatan bila telah didapatkan nilai Gs yang benar. Berat volume kering pada saat kejenuhan (saturation) 100 persen (S = 100) disebut kadar air nol [zero air voids (ZAV)], dan dapat langsung dihitung dengan persamaan : ZAV = Karena saat tanah jenuh (S = 100 persen) dan e = wGs maka : ZAV = Berat volume kering setelah pemadatan pada kadar air w dengan kadar udara, A (A = Va/V = volume udara/volume total) dapat dihitung dengan persamaan : d =
( )

Menurut Hardiyatmoko (2006), untuk menentukan variasi kadar air w dengan ZAV, maka dilakukan cara sebagai berikut : 1. Tentukan berat jenis (Gs) dari uji laboratorium. 2. Pilihlah beberapa kadar air (w) tertentu, misalnya, dalam pengujian kali ini saya ambil kadar air pemadatan sebelum pemeraman 14 hari sebesar 22%, 26%, 30%, dan 34%. 3. Hitung nilai ZAV untuk beberapa nilai kadar air (w) dengan menggunakan persamaan diatas.

Gambar3. Kurva hasil uji pemadatan pada berbagai jenis tanah (ASTM D-698)

3.12 California Bearing Ratio (CBR) California Bearing Ratio (CBR) adalah pengujian pada tanah untuk mengetahui perbandingan antara beban percobaan (test load) dengan standar (standard load) atau perbandingan antara tekanan yang diperlukan agar dapat menembus suatu lapisan tanah dengan piston bulat seluas 3 inch2, dengan kecepatan penetrasi 0,05 inch/menit. Bila tanah memiliki nilai CBR yang tinggi, maka ketebalan lapis perkerasan yang berada di atasnya dapat berkurang. Penentuan nilai CBR dilaksanakan terhadap contoh tanah yang sudah dipadatkan dengan pemadatan standar atau dengan pemadatan dimodifikasi. Menurut ASTM D 1883, nilai CBR yang digunakan adalah penetrasi 0,1. Namun, apabila nilai CBR dengan penetrasi 0,2 lebih besar, maka percobaan harus diulang. Jika

nilai CBR dengan penetrasi 0,2 tetap lebih besar, maka yang digunakan adalah nilai CBR dengan penetrasi 0,2. Besarnya nilai CBR didapatkan melalui Persamaan 3.. untuk penetrasi 0,1 dan Persamaan 3.. untuk penetrasi 0,2. CBR = CBR = x 100% (P1 dalam psi) x 100% (P2 dalam psi)

dengan P1 dan P2 adalah bacaan pada grafik penurunan 0,1 dan 0,2. Pengujian CBR laboratorium dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu tanpa rendaman (unsoaked) dan dengan rendaman (soaked). Pengujian CBR tanpa rendaman dilakukan dengan pengujian biasa tanpa perlakuan khusus. Setelah dilakukan pemadatan dalam silinder pemadatan, kemudian saat itu juga dilakukan pengujian. Pada penelitian ini dilakukan uji CBR menggunakan metode rendaman, pengujian ini dilakukan dengan merendam tanah hasil pemadatan kedalam bak berisi air selama 96 jam (4 hari). Hal ini dimaksudkan sebagai simulasi tanah mengalami kondisi terburuk (hujan atau banjir) dan akan mengalami penambahan kadar air pada tanah sehingga berakibat pada terjadinya pengembangan (swelling) dan penurunan kuat dukung tanah. Pada penelitian ini metode CBR yang digunakan adalah CBR rendaman. Menurut SNI 03-1732-1898 Tata Cara Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen, menerangkan bahwa CBR minimum yang dapat digunakan untuk subgrade jalan adalah 3% dan dalam keadaan terendam. Syarat inilah yang kemudian dijadikan patokan dalam penelitian ini. Tanah campuran yang paling optimum merupakan tanah yang memiliki nilai CBR tertinggi dan memenuhi syarat CBR 3 %. Berdasarkan Turnbull (1968) maupun The Asphalt Institute (1970, dalam Tallama, 2008) diketahui kriteria umum batasan nilai CBR untuk material tanah dasar (subgrade) yaitu seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3..

Tabel3. Harga-harga CBR untuk Material Tanah Dasar Nilai CBR (%) 20 30 10 20 5 10 <5 Kriteria Material Tanah Dasar Turnbull The Asphalt Institute Very Good Excelent Good to Fair Good Questionable to Fair Medium Poor Poor

Penambahan air pada tanah lempung akan mengakibatkan perubahan volume tanah. Pengembangan (Swelling) adalah persentase perubahan panjang pada benda uji setelah perendaman. Pengujian swelling diilaksanakan bersamaan dengan pengujian CBR laboratorium. Proses pengujian dilakukan dengan memasang sebual dial gauge pada benda uji saat dilakukan pengujian CBR rendaman. Sifat mengembang ini sangat penting artinya untuk subgrade karena akan mempengaruhi lapisan-lapisan diatasnya. Besarnya nilai swelling dapat diketahui dengan persamaan berikut : Pengembangan = Keterangan : x 100%

H = H2 H1 : pengembangan akibat peningkatan air (cm) H1 H2 : tinggi benda uji sebelum penambahan air (cm) : tinggi benda uji setelah penambahan air (cm)

3.13

Uji Tekan Bebas Uji tekan bebas (Uniconfined compression test) adalah bentuk pengujian yang

umum dilakukan terhadap sampel tanah lempung untuk mengetahui sensitifitas tanah terhadap suatu besaran tekanan atau beban. Pada uji ini, tegangan penyekap 3 adalah nol. Tegangan arah aksial dilakukan kepada benda uji secara relative cepat hingga mencapai keretakan dan keruntuhan. Pada titik runtuh, harga tegangan total utama kecil (total minor principal stress) adalal nol dan tegangan utama besar adalah 1 seperti terlihat pada Gambar 3.. Karena kekuatan geser, kondisi air yang termampatkan dari tanah tidak tergantung pada tegangan penyekap. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada persamaan berikut :

f =

= cu

Ketrangan : f 1 qu cu : Kekuatan geser : Tegangan utama : Kekuatan tanah kondisi tak tersekat : Kohesi

Gambar 3. Keruntuhan geser kondisi air termampatkan (Das Braja M, 1988) Nilai qu diatas menunjukan kekuatan tanah kondisi tak tersekat. Perbandingan harga-harga konsistensi tanah lempung dengan qu dapat dilihat pada Tabel 3..

Tabel3. Harga konsistensi tanah berdasarkan harga kekuatan tanah Qu Konsistensi Sangat lunak Lunak Menengah Kaku Sangat kaku Keras (ton/ft2) 0 - 0,25 0,25 - 0,5 0,5 - 1,48 1,00 - 2,96 2,00 - 4,192 >4 (kN/m2) 0 23,94 24 48 48,1 96 96,1 192 192,1 383 > 383

Secara teoritis, untuk tanah lempung jenuh air yang sama, uji tekanan tak tersekap dalam kondisi air termampatkan tak terkendali (Unconsolidatedundrained) akan menghasilkan harga cu yang sama. Tetapi pada kenyataannya, pengujian Unconfined compression pada tanah lempung jenuh air biasanya menghasilkan harga cu yang lebih kecil dari harga yang didapat dalam pengujian Unconsolidated-undrained. Ini dapat dilihat pada Gambar 3. Berikut :

Gambar 3. Perbandingan hasil uji tekanan tak tersekat unconfined-compression dan unconsolidated-drained dari tanah lempung jenuh air (Das Braja M, 1988)

3.14

Uji XRD Komposisi mineral yang terkandung dalam suatu material dapat diketahui dengan

pengujian X-Ray Diffraction (XRD). Pengujian ini dapat dilakukan di Laboratorium Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada. Sampel pada penelitian ini adalah tanah lempung, abu vulkanik dan tanah campuran optimum. Prinsip kerja uji XRD adalah dengan memasukkan sampel yang sudah berbentuk bubuk dan dicampur cairan khusus kedalam mesin XRD. Kemudian sampel ditembakkan pada titik sembarang dengan sinar-X di dalam mesin. Pembacaan yang didapatkan berupa grafik hubungan antara 2-theta (absis) dengan intensitas (ordinat). Selain grafik, juga terdapat data detail tentang pembacaan dari tembakan sinar-X tersebut yang tersedia dalam bentuk tabel. Nilai d-spacing value (), ketinggian, luas area dari mineral disajikan dalam satu tabel hasil. Langkah selanjutnya adalah mencari jenis mineral yang terkandung di dalam sampel, yang mengacu pada panduan Table of Key Lines in X-ray Powder Diffraction Patterns of Minerals in Clays and Associated Rocks (Chen,1977) atau dalam Joint Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS, 1988). Buku tersebut berisi tentang tabel daftar nama mineral beserta nilai 2-theta dan d-spacing value (). Pembacaan dimulai dengan mencari nilai main peak dan nilai d-spacing value () pada buku JCPDS. Jika tidak terdapat nilai yang sama, maka dicari nilai 2-theta dan d-spacing value ()

yang mendekati. Pembacaan yang dilakukan hanya untuk nilai 2-theta yang memiliki intensitas diatas 25%. Hal ini dilakukan karena selain untuk memudahkan dalam pembacaan juga dikarenakan nama mineral yang ingin diketahui hanyalah mineral yang dominan. Selanjutnya mencari persentase dari kandungan mineral tersebut. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan membandingkan ketinggian (height) mineral dengan ketinggian total yang terdapat dalam hasil XRD, kemudian dikalikan 100%. Setelah persentase didapatkan, maka pembacaan hasil uji XRD telah tuntas. Berdasarkan proses pemadatan mineral, terbagi menjadi dua, yaitu kristalin dan amorf. Kristalin adalah suatu padatan yang atom, molekul, dan ion penyusunnya terkemas secara teratur dan polanya berulang melebar secara tiga dimensi. Amorf adalah bahan padatan yang dicirikan oleh tidak adanya struktur yang tegas, mempunyai sifat fisik yang seragam pada semua arah.

3.15

Uji Leaching Uji leaching dengan metode Spektrofotometer Serapan Atom atau yang biasa

disebut uji AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometry) dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia yang terkandung pada suatu sampel. Sampel yang dibutuhkan untuk uji leaching sebanyak 10 gram, dapat berupa pecahan material atau sudah disaring. Uji leaching pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia pada sampel tanah lempung jalan Tegal-Brebes bypass dan abu terbang vulkanik Gunung Merapi. Prosedur pengujian dilakukan dengan menguji kandungan kimia yang dicari sesuai dengan parameter yang diinginkan. Parameter yang digunakan adalah Al2O3, CaO, Fe2O3, MgO, Na2O, K2O, SiO2, dan hilang pijar (LOI). Sampel pada saat uji leaching diset ke alat uji, setelah itu panjang gelombang parameter diukur dengan hollow cathode lamp untuk tiap parameter. Kemudian, kandungan kimia yang terkandung dalam sampel dapat diketahui.

Anda mungkin juga menyukai