Mangrove adalah pohon yang sudah beradaptasi sedemikian rupa sehingga akan
mampu untuk hidup di lingkungan berkadar garam tinggi seperti lingkungan laut. Sedangkan
hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tunbuh dan berkembang pada daerah pasang
surut pantai berlumpur (Nontji, 1993).
Sedangkan ekosistem mangrove adalah suatu ekosistem yang mempunyai cirri khusus
karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta
fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut (Duke, 1992).
Menurut Kusmandana dkk (2007), hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut (terutama di pantai yag terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang
waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut, yang komunitas
tumbuhannya toleran terhadap garam.
Komponen Mangrove
1. Mangrove Mayor (komponen utama)
Tumbuhan yang membentuk spesialisasi morfologis seperti akar udara dan
mekanisme fisiologis khusus lainnya untuk mengeluarkan garam agar dapat
beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Secara taksonomi, kelompok tumbuhan
ini berbeda dengan kelompok tumbuhan darat. Kelompok ini hanya terdapat di hutan
mangrove dan membentuk tegakan murni, tidak pernah bergabung dengan kelompok
tumbuhan darat. Contoh: Bruguiera cylindrica (Tancang), Ceriops decandra
(Kenyonyong), dan Rhizophora apiculata (Bakau).
2. Mangrove Minor (komponen tambahan/tumbuhan pantai)
Kelompok ini bukan merupakan bagian yang penting dari mangrove, biasanya
terdapat pada daerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni. Contoh:
Pemphis acidula (Sentigi), Excoecaria agallocha (Buta-buta), dan Xylocarpus
granatum (Nyirih).
5. Menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan
yang tawar
8. Mempercepat proses pembentukan daratan, yaitu pada tempat sungai bermuara yang
membawa endapan lumpur dalam jumlah yang besar.
B. Fungsi Biologis :
1. Menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi plankton,
sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai makanan.
2. Tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang.
3. Tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan satwa lain.
C. Fungsi Ekonomis :
1. Penghasil kayu : bakar, arang, bahan bangunan.
2. Penghasil bahan baku industri : pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan,
kosmetik, dll
3. Penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola tambak
silvofishery
Komponen Mangrove
A. Komponen Abiotik
Formasi mangrove yang luas umumnya terdapat di dataran lumpur pantai (mudflat)
dan delta muara yang terlindung. Topografi pantai merupakan faktor penting yang
mempengaruhi komposisi spesies, distribusi spesies dan luas kosistem mangrove.
Karakteristik pantai dipengaruhi oleh penggenangan pasang, sedimentasi, dan sifat sedimen.
Dataran lumpur dan muara dipengaruhi oleh pasang surut air laut atau sungai yang umumnya
terkait dengan kesuburan dan mendukung keragaman tumbuhan dan hewan. Semakin datar
pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar ekosistem mangrovenya (SNM,
2003). Pada dataran pantai yang sempit, mangrove tumbuh sempit, memanjang mengelilingi
pulau, seperti di Nusa Tenggara. Pada daerah pantai dengan gelombang laut yang besar dan
tidak terlindung, misalnya di pantai selatan Jawa, vegetasi mangrove sulit tumbuh. Area
mangrove yang luas dengan lebar mencapai beberapa kilometer biasanya terdapat di pantai
yang luas, seperti teluk Bintuni, Papua, berupa formasi mangrove pada daerah delta; dan
pantai timur Sumatera berupa formasi mangrove pada daerah pantai laut pedalaman (SNM,
2003).
2. Tanah
Vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada tanah lumpur, namun berberapa spesies
dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil, dan tanah gambut. Tanah mangrove
mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit, dan kaya bahan
organik. Pembentukan tanah mangrove dipengaruhi: (i) faktor fisik, seperti transport nutrien
oleh arus pasang surut dan aliran sungai, (ii) faktor fisik-kimia, seperti agregasi berbagai
partikel, dan (iii) faktor biotik, seperti produksi dan perombakan bahan organik (SNM, 2003).
Tanah mangrove tersusun atas pasir (sand), lumpur/debu (silt) dan tanah liat (clay) dengan
komposisi berbeda-beda. Topsoil tanah mangrove biasanya bertipe pasir atau lempung.
Topsoil pasir berwarna lebih terang, porous, dapat dilewati air pada saat pasang dan
mengalami aerasi pada saat surut, sedangkan topsoil lempung berwarna lebih gelap, kurang
porous dan tidak teraerasi dengan baik. Tanah subsoil selalu jenuh air dan hanya teraerasi
sedikit, sangat kaya bahan organik, namun terurai sangat lambat. Tanah ini berwarna abu-abu
gelap atauhitam (gleying), bersifat asam, dan berbau menyengat (telur busuk) menunjukkan
adanya hidrogen sulfida (H2S) (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Berdasarkan
kedalamannya, tanah mangrove dibagi dalam dua kelas, yaitu (ii) kedalaman 0-10 m, tanah
berwarna kelabu hijau, hijau, hijau kelabu hingga kuning kelabu dan berstektur berat, dan (ii)
kedalaman 10 cm, tanah berwarna kelabu berbintik-bintik coklat dan bertekstur berat.
Berdasarkan letaknya, tanah mangrove dibagi dalam dua kategori, yaitu: (i) daerah dekat laut
dengan pH 5,5 dan densitas rendah (0,6); (ii) daerah dekat darat dengan pH hampir netral
dan mengandung belerang (SNM, 2003). Kondisi tanah merupakan penyebab terbentuknya
zonasi hewan dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda menempati kondisi tanah yang
berbeda pula, di sisi lain tumbuhan Avicennia dan Sonneratia hidup dengan baik pada tanah
berpasir, sedangkan Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut, adapun Bruguiera menyukai
tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik. Adanya kalsium dari cangkan
Molluska dan karang lepas pantai menyebabkan air di ekosistem mangrove bersifat alkali.
Namun tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam, karena aktivitas bakteri pereduksi
belerang dan sedimentasi tanah lempung yang asam (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock,
1993).
Susunan dan kerapatan spesies mangrove sangat dipengaruhi tekstur dan konsentrasi
ion tanah. Lahan mangrove dengan tanah yang mengandung liat dan debu lebih banyak
memiliki tegakan lebih rapat. Tanah dengan konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K, tegakan
dikuasai Avicennia,Sonneratia, Rhizophora, atau Bruguiera. Tanah dengan konsentrasi kation
Mg>Ca>Na atau K tegakan didominasi N. fruticans. Tanah dengan konsentrasi kation
Ca>Mg>Na atau K tegakan didominasi Melaleuca SNM, 2003). Tanah mangrove umumnya
mengadung zat besi dan bahan organik yang tinggi. Keberadaan belerang membuat tanah
menjadi rentan terhadap asam sulfat karena oksidasi. Pada kondisi anaerob, belerang dari air
laut direduksi menjadi hidrogen sulfida (H2S) atau pirit (FeS2) oleh bakteri-bakteri perombak
belerang, seperti Desulfovibriodan Desulfomaculum. Drainase dan aerasi sedimen yang
mengandung piritmendorong terjadinya oksidasi dan formasi asam sulfat (H2SO4), melalui
rekasi kimia: 2FeS2+ 2H2O+ 7O2FeSO4 + H2SO4. Ketika reaksi tersebut terjadi
misalnya pada pembuatan tambak atau sawah pH tanah turun menjadi 3, sehingga
menghambat produksi petambakan, pertanian, dan regenerasi ekosistem mangrove.
Pencucian asam dari tanah ke sungai oleh hujan dapat menyebabkan kematian massal ikan
(Dunn, 1975 dalam SNM, 2003).
3. Oksigen
Tanah mangrove umumnya berupa lumpur yang selalu jenuh air, sehingga hampir
tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan
mangrove umumnya lebih rendah daripada di laut terbuka. Kandungan ini semakin rendah
pada tempat yang kelebihan bahan organik, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan
organik, sehingga terbentuk zona anoksik. Oksigen pada permukaan sedimen (sediment water
interface) digunakan bakteri untuk mengurai bahan organik dan respirasi. Oksigen ini
diperoleh dari sirkulasi pasang-surut dan pengaruh atmosfer. Di bawahnya, dalam kondisi
anoksik tumbuh bakteri anaerob yang dapat mengurai bahan organik dan menghasilkan H2S
(Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tumbuhan
mangrove beradaptasi melaui sistem perakaran yang khas. Kekurangan oksigen juga dipenuhi
oleh adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan, misalnya kepiting.
Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah,
keanekaragaman tumbuhan dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian
tertinggi terjadi pada siang hari dan terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di
ekosistem mangrove 1,7-3,4 mg/L, lebih rendah dibandingkan di luar ekosistem mangrove
yang besarnya 4,4 mg/L (SNM, 2003).
4. Nutrien
Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan organik. Nutrien inorganik yang
penting adalah N (sering terbatas), P, K, Mg, dan Na. Sumber nutrien inorganik adalah hujan,
aliran permukaan, sedimen, air laut, dan bahan organik yang terdegradasi. Nutrien organik
berasal dari bahan-bahan biogenik yang didegradasi mikrobia (SNM, 2003). Nutrien
ekosistem mangrove dihasilkan oleh ekosistem itu sendiri (autochthonous), serta dari sungai
atau laut di sekitarnya (allochthonous). Hujan secara teratur menyapu detritus dari tepian
pantai dan daerah aliran sungai ke dalam mangrove. Pada saat pasang, laut membawa bahan
organik atau organisme tersuspensi ke ekosistem mangrove yang pada saat surut akan
tersaring tanah (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Mangrove merupakan komunitas
paling produktif di dunia (Clough, 1992). Sebagian besar biomassa mangrove dihasilkan dari
serasah ( 90%), yangselanjutnya disimpan dalam sedimen ( 10%), terdekomposisi (
40%), atau terbawa ke ekosisten lain (30%) (Duarte dan Cebrin, 1996). Biomassa ini
merupakan makanan organisme detritus (Manassrisuksi dkk., 2001). Ekosistem mangrove
mendukung sejumlah besar kehidupan melalui rantai makanan (Ng dan Sivasothi, 2001;
Lovelock, 1993; Clough, 1992). Tumbuhan mangrove merupakan lumbung daun yang kaya
nutrien yang akan diuraikan oleh fungi dan bakteri atau langsung dimakan kepiting. Detritus
merupakan sumber pakan bagi Molluska, kepiting, udang dan ikan, yang selanjutnya dimakan
hewan yang lebih besar. Nutrien yang dilepaskan ke dalam air selama periuraian serasah juga
dimakan plankton dan alga. Detritus mangrove merupakan sumber utama karbon untuk
berbagai spesies laut yang terhubung dalam jaring-jaring makanan bersama dengan plankton
dan alga (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993; Clough, 1992). Ekosistem mangrove,
rumput laut dan karang disatukan oleh massa air yang mengalir pada saat pasang surut, dan
hewan yang hidup di kedua habitat tersebut. Berbagai ikan dan udang yang biasa ditemukan
di lepas pantai menggunakan mangrove pada sebagian siklus hidupnya. Sebaliknya kepiting
lumpur (Thalassina anomala) yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di mangrove dan
bergerak ke laut saat bertelur. Aliran pasang surut membawa nutrien dari mangrove ke
rumput laut dan karang. Ekosistem mangrove juga dapat mencegah sedimentasi berlebih pada
ekosistem rumput laut dan terumbu karang, sehingga mencegah kematian (Ng dan Sivasothi,
2001; Lovelock, 1993).
5. Iklim
Sebagian besar daerah pantai Indonesia beriklim tropis basah, dengan kelembaban,
angin musim, curah hujan, dan temperatur tinggi, sehingga mencegah akumulasi garam-
garam tanah. Kondisi di atas dataran terbuka dan di bawah kanopi hutan sangat berbeda.
Dataran lumpur yang tersinari matahari langsung pada saat laut surut menjadi sangat panas
dan memantulkan cahaya, sedangkan permukaan tanah di bawah kanopi tetap sejuk.
Kelembaban ekosistem mangrove lebih rendah daripada hutan tropis pada umumnya karena
adanya angin. Suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman
spesies (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
6. Cahaya
Tumbuhan mangrove umumnya membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi.
Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800
kkal/m2/hari. Pada saat bibit, tumbuhan mangrove memerlukan naungan. Intensitas cahaya
50% dapat meningkatkan daya tumbuhbibit R. mucronata dan R.apiculata. (ii) Intensitas
cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit B. gymnorrhiza.(iii) Intensitas cahaya 75%
meningkatkan tinggi bibit R. mucronata, R. apiculata dan B.gymnorrhiza. Laju pertumbuhan
tahunan dari R. mucronata, R. apiculata dan Bruguiera, dengan naungan lebih rendah
daripada dengan sinar matahari penuh, sedangkan laju kematiannya lebih tinggi. Cahaya
berpengaruh terhadap perbungaan dan perkecambahan mangrove, tumbuhan di luar gerombol
menghasilkan lebih banyak bunga dan biji (SNM, 2003).
7. Suhu
Suhu penting dalam proses fisiologi, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan
mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata > 20oC dan perbedaan suhu musiman tidak
melebihi 5oC, kecuali di Afrika Timur yang perbedaan suhu musiman mencapai 10oC.
Ekosistem mangrove di Sumatera Timur tumbuh pada suhu rata-rata bulanan berkisar 26,3o-
28,7oC (Kusmana, 1993 dalam SNM, 2003). Pertumbuhan optimum Avicennia marina pada
suhu 18-20oC, R. stylosa, Ceriops, E. agallocha dan Lumnitzera racemosapada suhu 26-
28oC, Bruguiera pada suhu 27oC, Xylocarpus pada suhu 21-26oC dan X. granatumpada suhu
28oC (Hutching dan Saenger, 1987 dalam SNM, 2003). )
8. Curah Hujan
Jumlah, durasi, dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur
perkembangan dan distribusi tumbuhan. Curah hujan juga mempengaruhi faktor lingkungan
lain, seperti suhu dan salinitas habitat mangrove. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmid-
Ferguson, ekosistem mangrove di Indonesia tumbuh pada daerah dengan tipe curah hujan A,
B, C, dan D, dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0-73,7% (Kartawinata, 1977 dalam SNM,
2003). Tumbuhan mangrove umumnya tumbuh baik di daerah dengan curuh hujan rata-rata
1500-3000 mm/tahun, namun juga tumbuh pada daerah yang bercurah hujan tinggi, yaitu
4000 mm/tahun yang tersebar selam 8-10 bulan (Aksornkoae, 1993).
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas area mangrove.
Salinitas air meningkat pada saat pasang naik, dan menurun pada saat pasang surut. Hal ini
dapat membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada area yang
selalu tergenang hanya R. mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera dan
Xylocarpusjarang mendominasi area ini. Pasang surut juga berpengaruh terhadap
perpindahan massa air tawar dan laut, sehingga mempengaruhi distribusi vertikal spesies
mangrove. Ekosistem mangrove yang tumbuh di daerah pasang harian memiliki struktur dan
kesuburan yang berbeda dari daerah semi-diurnal atau pasang campuran. Rentang pasang
surut dapat mempengaruhi sistem perakaran mangrove. Di daerah dengan rentang pasang
yang lebar, pneumatofora Rhizophora, Sonneratia, dan Aegialites tumbuh lebih tinggi
daripada di daerah yang rentangnya sempit (SNM, 2003).
11. Salinitas
B. Komponen Biotik
1. Hewan Mangrove
1) Burung.
Mangrove merupakan habitat penting bagi burung migran dan tempat berlindung pada
musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebang. Burung air yang sering
mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau, heron, sedangkan burung daratan yang
sering berkunjung adalah kutilang, burung madu, dan raja udang (Ng dan Sivasothi, 2001).
Di Segara Anak, Jawa Timur terdapat sekitar 30 spesies burung, di ekosistem mangrove
Muara Cimanuk, Jawa Barat terdapat 28 spesies burung. Di pulau Rambut, terdapat 56
spesies burung, terdiri dari 18 burung air dan 38 bukan burung air (SNM, 2003).
2) Amfibia
Katak jarang dijumpai di kawasan mangrove. Airnya yang asin barangkali kurang
cocok dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Spesies katak yang kadang-kadang dapat
ditemukan di kawasan mangrove adalah Rana cancrivora (Ng dan Sivasothi, 2001).
3) Reptilia.
Spesies reptilia yang sering dijumpai di mangrove adalah biawak (Varanus salvator),
kadal (Mabouyamultifasciata), berbagai spesies ular seperti Boiga dendrophila dan buaya
muara (Crocodilus porosus) (SNM, 2003). Buaya muara bersarang di area mangrove dan
sungai-sungai kecil di sekitarnya. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk mencari
makan. Di kawasanmangrove terdapat beberapa spesies ular yang menggunakannya sebagai
habitat utama; demikian pula kadal dan biawak yang memakan insekta, ikan, kepiting dan
kadang-kadang burung (Ng dan Sivasothi, 2001).
4) Mammalia.
Primata yang terdapat di area mangrove Jawa dan Sumatera adalah Macaca
fascicularis, sedang di Kalimantan adalah Nasalis larvatus yang langka dan endemik. Pada
beberapa lokasi konservasi seperti CA Angke-Kapuk, TN Baluran dan TN Ujung Kulon
dijumpai Presbytis cristata (SNM, 2003). Kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni
besar di ekosistem mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mammalia lain yang dapat
dijumpai antara lain berang-berang, bajing, tikus, dan celeng (Ng dan Sivasothi, 2001).
Hewan air tawar pada ekosistem mangrove termasuk ke dalam kelompok vertebrata
dengan jumlah spesies yang terbatas. Menurut Hutching dan Saenger, (1987 dalam SNM,
2003) di mangrove terdapat buaya air tawar (Crocodylus johnstone), dan kura-kura berkulit
alur (Carettochelys inscupta).
Hewan dari Laut
Hewan dari laut di area mangrove didominasi Molluska (Bivalvia dan Gastropoda),
Crustacea (Brachyura) dan ikan. Berdasarkan habitatnya, hewan ini tergolong dalam dua tipe
yaitu: (i) infaunayang hidup di kolom air, terutama berbagai spesies ikan dan udang, dan (ii)
epifaunayang menempati substrat baik yang keras (akar dan batang pohon mangrove)
maupun yang lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai spesies invertebrata
lainnya (SNM, 2003).
Hewan laut di area mangrove memiliki dua pola penyebaran (SNM, 2003): a)Hewan
yang menyebar secara vertikal (di batang dan daun pepohonan), yakni berbagai spesies
Molluska, misalnya Littorina scrabra, Cerithidea, Nerita birmanica, Chthalmus witthersii,
Murex adustus, Balanus amphitrite,Crassosraea cuculata, Nannosesarma minuta,dan
Clibanarius longitarsus. Hewan yang menyebar secara horizontal (di atas atau di dalam tanah)
yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: (1Zona pedalaman: Birgus latro,
Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma, Uca lactea, U. bellator, dan lain-lain.
(2)Hutan Bruguieradan Ceriop Sarmatium, Helice, Ilyoggrapsus, Sesarma, Metopograpsus
frontalis, Cleistosma, Thalassina anomala, Utica, Telescopium telescopium, Uca,
Cerithidea,dan lain-lain. (3)Hutan Rhizophor: Metopograpsus latifrons, Macrophthalmus,
Telescopium telescopium, dan lain-lain. (4)Zona pinggir pantai dan saluran: Scartelaos
viridus, Macropthalmus latrillei, Boleophthalmus chrysospilos, Rachypleus gigas,
Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus, Eurycarcinus integrifrons, dan lain-lain.
Ekosistem mangrove memberi lima tipe habitat bagi hewan (SNM, 2003):
b) Lobang genangan air pada batang yang dihuni serangga (terutama nyamuk).
Crustacea seperti remis, udang dan kepiting sangat melimpah di ekosistem mangrove.
Salah satu yang terkenal adalah kepiting lumpur (Thalassina anomala) yang dapat
membentuk gundukan tanah besar di mulut liangnya, serta kepiting biola (Uca)yang salah
satu capitnya sangat besar. Terdapat sekitar 60 spesies kepiting di ekosistem mangrove.
Kebanyakan memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau detritus di sedimen tanah dan
membuang sisanya dalam gumpalan-gumpalan pelet (Ng dan Sivasothi, 2001). Molluska,
beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling banyak dijumpai di ekosistem mangrove,
baik Gastropoda maupun Bivalvia (Ng dan Sivasothi, 2001).
BENTUK AKAR
1. Akar pasak (pneumatophore). Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar
kabel dan memanjang keluar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada
Avicennia, Xylocarpus dan Sonneratia.
2. Akar lutut (knee root). Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada
awalnya tumbuh ke arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi.
Akar lutut seperti ini terdapat pada Bruguiera spp.
3. Akar tunjang (stilt root). Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang
keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp.
4. Akar papan (buttress root). Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar
ini melebar menjadi bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini terdapat pada Heritiera.
5. Akar gantung (aerial root). Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang
muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar
gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia dan Acanthus.
BENTUK DAN SUSUNAN DAUN
1. BENTUK UJUNG DAUN
Runcing : ujung tidak tajam, meruncing ke arah ujung daun dengan sisi yang lurus/agak lurus
Berlekuk : memiliki takik rendah di tengah ujung daun yang berbentuk bulat
2.
RANGKAIAN BUNGA
Tunggal
Bersusun
Malai
Bulir, berbentuk payung
Tendan bergerombal lapat
TATA LETAK :
Di ujung (terminal)
Di ketiak daun (axillary)
BENTUK BUAH
Adapun beberapa jenis mangrove yang dikenal selama ini adalah:
a. Avicennia lanata
Nama setempat: api-api. belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dapat
mencapai ketinggian hingga 8 m. Memiliki akar nafas dan berbentuk pensil. Kulit kayu
seperti kulit ikan hiu (berwarna gelap), coklat hingga hitam. Daun : Memiliki kelenjar garam,
bagian bawah daun putih kekuningan, dan ada rambut halus. Unit dan letak : sederhana dan
berlawanan.
Bentuk : elips. Ujung : memundar agak meruncing, dan ukuran 9x 5 cm. Bunga :
Bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat, letak diujung atau ketiak tangkai /
tandan bunga. Formasi : bulir (8-12). Daun mahkota : 4, kuning pucat jingga tua, 4 5 mm.
Kelopak bunga : 5 buah. 4 benang sari. Buah : Buah seperti hati, ujungnya berparuh pendek
dan jelas, warna hijauagak kekuningan. Permukaan buah berbunga halus (seperti ada
tepungnya). Ukuran : sekitar 1,5 x 2,5 cm. Ekologi : Tumbuh pada dataran lumpur, tepi
sungai, daerah yang kering dan toleran terhadap kadar garam yang tinggi.
Diketahui (di Bali dan Lombok) berbunga pada bulan JuliFebruari dan berbuah
antara bulan November hingga Maret. Penyebaran : Kalimantan, Bali, Lombok,
Semenanjung, Malaysia, Singapura. Kelimpahan : Tidak diketahui. Manfaat: Kayu bakar dan
bahan bangunan (Noor et al., 1999).
b. Rhizophora apiculata
Nama setempat : Bakau minyak, bakau tandok, bakau akik, bakau puteh, bakau
kacang, bakau leutik, akik, bangka minyak, donggo akit, jangkar, abat, parai, mangi-mangi,
slengkreng, tinjang wako. Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m
dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai
ketinggian 5 meter, dan kadangkadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit
kayu berwarna abuabu tua dan berubah-ubah. Daun berkulit, warna hijau tua dengan hijau
muda pada bagian tengah kemerahan dibagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm
dan warnanya kemerahan. Unit dan letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk : elips
menyempit dan meruncing. Ukuran 7-19 x 3,5-8 cm. Bunga : Biseksual, kepala bunga
kekuningan yang terletak pada gagang berukuran < 14 mm. Letak : di ketiak daun. Formasi:
kelompok (2 bunga per kelompok). Daun mahkota : 4; kuning putih, tidak ada rambut,
panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga : 4; kuning kecoklatan, melengkung, Benang sari : 11-
12; tak bertangkai. Buah : Buah kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir ,
warna coklat, panjang 2,3-5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil Silindris, berbintil, berwarna
hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran: Hipokotil panjang
18-38 cm dan diameter 1-2 cm. Ekologi : Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan
tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang
bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi bisa mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di
suatu lokasi.
Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang
kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan
kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting dapat juga menghambat pertumbuhan mereka
karena mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat sepanjang
tahun.
Penyebaran : Srilanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia Tropis dan
Kepulauan Pasifik. Kelimpahan : Melimpah di Indonesia, tersebar jarang di Australia.
Manfaat : Kayu dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang. Kulit kayu berisi
hingga 30% tannin (per sen berat kering). Cabang akar dapat digunakan sebagai jangkar
dengan diberati batu. Di Jawa acap kali ditanam di pinggiran tambak untuk melindungi
pematang. Sering digunakan sebagai tanaman penghijauan (Noor et al, 1999).
d. Acrostichum aureum
Nama setempat mangrove varen, paku cai, hata diuk, paku laut. Batang menebal di
bagian pangkal, cokelat tua dengan peruratan yang halus, pucat, tipis. Ujung daun fertil
berwarna cokelat seperti karat, duri banyak berwarna hitam. Tumbuh di pematang tambak,
sepanjang kali dan sungai payau dan saluran. Terdapat di seluruh Indonesia. Daun tua dapat
digunakan sebagai obat, alas ternak dan dapat dimakan di daerah Timor dan Sulawesi Utara
(Noor et al., 1999).
Gambar : Acrostichum aureum