Anda di halaman 1dari 31

REPORT MANAJEMEN STUDI PENANGANAN PERUBAHAN GARIS

PANTAI WILAYAH SAYUNG, DEMAK


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Kelayakan Manajemen Proyek

Disusun oleh :

Ma'ariq Badrutamam S. 26020216120023


Oceana Windyartanti 26020216130057
Sagita Difa Wardhani 26020216120033
Anisa Nabila 26020216140113
Osen Faber Romario Tampubolon 26020216120010
Fernandito Suryo Hutomo 26020215130114
Heru Nur Krisna 26050118130097

Oseanografi B

Dosen Mata Kuliah :


Dr. Aris Ismanto, S.Si, M.Si
NIP. 19820418 200801 1 010

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir menjadi destinasi kegiatan sosial dan ekonomi dimana ada interaksi antara

dua wilayah, yaitu laut dan daratan. Daerah pesisir mendapatkan tekanan dari berbagai aktivitas

dan fenomena yang terjadi di darat maupun di laut. Fenomena yang terjadi di daratan seperti erosi

banjir dan aktivitas yang dilakukan seperti pembangunan pemukiman, pembabatan hutan untuk

persawahan, pembangunan tambak dan sebagainya pada akhirnya memberi dampak pada

ekosistem pantai. Demikian pula fenomena di lautan seperti pasang surut air laut, gelombang badai

dan sebagainya. Selain dampak pada ekosistem ada pula perubahan konfigurasi pantai. Perubahan

konfigurasi pantai di wilayah pesisir dapat disebabkan oleh kegiatan atau proses proses alami dan

non alami (kegiatan manusia) baik yang berasal dari darat maupun dari laut. Proses proses hidro-

oseanografi dari laut yang dapat memberikan pengaruh antara lain, hempasan gelombang,

perubahan pola arus, serta fenomena pasang surut yang kadang kadang diperkuat oleh pengaruh

perubahan iklim. Fenomena alami dari darat yang ikut memberikan pengaruh terjadinya perubahan

garis pantai, antara lain erosi dan sedimentasi akibat arus pasang akibat banjir serta perubahan arus

aliran sungai (Widada et al., 2012).

Wilayah Kabupaten Demak, khususnya di Kecamatan Sayung memiliki beban lingkungan

yang tinggi. Ini berarti Kabupaten Demak adalah salah satu wilayah kabupaten pesisir di Jawa

Tengah yang terkena dampak bencana yang cukup parah. Ada beberapa potensi bencana yang

mengancam. Kecamatan Sayung mengalami dampak abrasi yang mengakibatkan banyak

permasalahan seperti hilangnya lahan pemukiman, lahan pertambakan dan mata pencaharian yang

berdampak langsung pada penurunan kualitas hidup masyarakat. Masyarakat yang hidup di

wilayah pesisir seperti nelayan, petani dan petambak kehidupannya tergantung pada sumberdaya
alam. Menurut Damaywanti (2013), kondisi lingkungan dan sumberdaya alam pesisir yang rentan

tersebut berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya penduduk. Kegiatan kegiatan

tersebut misalnya industri (berpotensi menimbulkan pencemaran, abrasi dan akresi), reklamasi

(perubahan pola arus yang menyebabkan terjadinya abrasi dan akresi), perumahan (limbah padat)

pertanian (sedimentasi, pencemaran) kegiatan transportasi laut dan pelabuhan (pencemaran).

Berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan ini mengancam kelestarian usaha dan atau mata

pencaharian penduduk, oleh sebab itu dilakukan studi untuk kemudian memberikan rekomendasi

terkait penanganan perubahan garis pantai di wilayah tersebut.

1.2. Tujuan

1. Mengetahui karakteristik perairan Sayung, Demak.

2. Memberikan rekomendasi penanganan yang tepat terhadap perubahan garis pantai akibat

abrasi di wilayah Sayung, Demak.

1.3. Kondisi Lokasi Studi Secara Umum

Gambar 1. Perubahan bentang lahan di Pesisir Demak


Sumber : (Ecoshape Consortium Int. Indonesia)
Kecamatan Sayung berada di daerah pesisir di Kabupaten Demak, terletak pada lintang 06°

55’23.3” LS, dan 110° 28’36.4” BT, dengan luas seluas 7869 ha. Secara administratif, Kecamatan

Sayung terbagi menjadi 16 desa. Desa Bedono, Desa Timbulsloko dan Desa Surodadi merupakan

3 desa yang terletak di daerah pesisir. Kecamatan Sayung merupakan daerah perairan yang di

pengaruhi oleh fenomena rob, yang merupakan bagian dari sirkulasi pasang surut dan arus laut,

yang selalu berubah sesuai dengan perubahan musim. Hal ini karena rata-rata ketinggian

permukaan tanah di Kecamatan Sayung berada pada ketinggian permukaan air surut terendah dan

pasang tertinggi. Kecamatan Sayung termasuk dataran rendah yang memiliki topografi lelatif

datar, dengan ketinggian 3 meter diatas permukaan laut. Pengaruh arus terhadap genangan rob di

Kecamatan Sayung Kabupaten Demak seperti ini mengakibatkan daerah tersebut berpotensi

terkena banjir (rob) jika terjadi kenaikan muka air laut (Widada et al., 2012).

Umumnya di seluruh Pantai Utara Jawa mempunyai curah hujan tinggi. Pada pantai utara

Jawa, kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit aliran dan beban sedimen

yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan kondisi air tanah pada umumnya berasa payau

hingga asin, yang hampir merata di seluruh satuan dataran pantai yang berlumpur (endapan

aluvium). Kondisi hidrologi seperti ini merupakan faktor penyebab bahaya banjir fluvial (saat

musim hujan) dan banjir rob (saat musim kemarau). Curah hujan yang tinggi pada daerah hulu

(hinterland), sedangkan daerah hilir (low land) berupa dataran dengan material lempung dan

sedimentasi yang intensif, dapat menyebabkan banjir musiman dan genangan. Fenomena pasang

surut di pantai utara Jawa mengikuti kondisi pantai pada umumnya, yang mendapat pengaruh besar

dari gelombang pasang surut yang masuk dari laut lepas. Dengan demikian pola arus di pantai

utara Jawa pada musim timur telah mengalami perubahan arah arus sebagai pengaruh dari siklus

angin yang terjadi dibumi. Pantai utara Jawa juga memiliki kerawanan lingkungan relatif rentan
terhadap pencemaran perairan sungai akibat limbah domestik (perkotaan) dan industri (Widada et

al., 2012).

Disamping itu pengaruh abrasi cukup memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi

lokasi studi. Abrasi akhir-akhir ini cenderung meningkat di berbagai daerah, dalam kaitan ini

pemadatan daratan mengakibatkan permukaan tanah turun dan tergenang air laut sehingga garis

pantai berubah. Pantai dikatakan mengalami abrasi bila angkutan sedimen yang terjadi ke suatu

titik lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah sedimen yang terangkut ke luar dari titik tersebut.

Di pantai utara Jawa Tengah, luasan abrasi sudah mencapai 5.500 hektar yang tersebar di 10

kabupaten/kota. Salah satu daerah yang mengalami abrasi cukup parah adalah pantai di Kecamatan

Sayung, kab. Demak. Di daerah tersebut permasalahan yang terjadi cukup berat khususnya

menyangkut penurunan fungsi lahan dikarenakan abrasi pantai, dan penggenangan air laut di

kawasan tambak seluas 582,8 ha yang selama lima tahun ini tergenang dan kemudian hilang

(Damaywanti, 2013).
II. PEMBAHASAN

2.1. Parameter Utama

2.1.1. Transpor Sedimen

Transport sedimen sejajar pantai merupakan transport sedimen yang memiliki arah rata-rata

sejajar pantai (Triatmodjo, 1999). Kondisi lingkungan pantai di wilayah Kabupaten Demak

mengalami penurunan kualitas yang cukup memprihatinkan. Panjang pantai di Kabupaten Demak

yang terbentang dari barat ke timur sepanjang 34,1 kilometer mengalami kerusakan yang cukup

serius akibat abrasi air laut dan mengakibatkan kerusakan serta banyak hilangnya areal

pertambakan yangdimiliki petani tambak di Kabupaten Demak. Fenomena tersebut terjadi akibat

adanya penjalaran gelombang ke arah pantai yang berasal dari quadran arah yang berbeda, secara

terus menerus dan terjadi berbeda arah setiap musimnya. Sehingga dalam setahun, arah transport

sedimen sejajar pantai dapat bergerak pada arah berlawanan. Sehingga transport sedimen sejajar

pantai total (Qnet)didefinisikan dalam persamaan (1) :

Qnet = QR + QL (1)

Dimana QR diberi tanda positif dan QL diberi tanda negatif. Sehingga Qnet dapat bernilai

positif jika QR > QL , dan bernilai negatif jika QR < QL (CEM, 2002).

Identifikasi transport sedimen sejajar pantai dapat dilakukan melalui pengukuran

eksperimental, dan prediksi dengan memanfaatkan parameter berdasarkan studi empiris para ahli.

Pengukuran eksperimental biasanya difokuskan pada pengukuran suspended load transport.

Transport sedimen sejajar pantai didapatkan dari hasil bead load dan suspended load transport.

Indicator kualitatif yang dibutuhkan berupa arah dari hasil kenampakan tertentu di lapangan dan

identifikasi mineral dalam sedimen. Sedangkan indicator kuantitatif berupa magnitude dari

transport sedimennya. Magnitude diperoleh menggunakan sand tracer. Nilai yang diperoleh
merupakan estimasi jangka pendek, sehingga estimasi jangka panjang dapat dilihat berdasarkan

pola dari hasil pengamatan foto udara atau citra satelit (CEM, 2002).

Gambar 2. Perbandingan rumus transport sedimen sejajar pantai


Sumber : (Triatmodjo, 1999)

Transport sedimen seajajar pantai dapat diprediksi dengan pendekatan empiris rumus-

rumus dari berberapa ahli (Gambar 5). Menurut CERC (1984), transport sedimen sejajar pantai

dapat didekati dnegan menghitung energy flux gelombang diberikan dalam persamaan (2) :

𝑃1 = (𝐸𝐶𝑔 )𝑏 𝑠𝑖𝑛𝛼𝑏 𝑐𝑜𝑠𝛼𝑏 (2)

Dimana Eb merupakan energi gelombang pada gelombang pecah (3)


𝜌𝑔𝐻𝑏2
𝐸𝑏 = (3)
8

Dan Cgb merupakan kecepatan grup gelombang pada gelombang pecah (4)

𝐶𝑔𝑏 = √𝑔𝑑𝑏 (4)

Dimana 𝛼𝑏 adalah sudut datang gelombang pecah (deg), Hb merupakan tinggi gelombang

pecah (m), dan db adalah kedalaman gelombang pecah (m). Sehingga nilai transport sedimen

sejajar pantai didekati dengan persamaan (5)

𝐾𝐴𝜌𝑔𝐻𝑏2 𝑇𝑠𝑖𝑛(2𝛼𝑏 )
𝑄= (5)
64𝜋

Dimana Q adalah transport sedimen sejajar pantai (m3/tahun), K adalah konstanta empiris
1
(bernilai 0.39), 𝐴 = (𝜌 , 𝜌𝑠 adalah densitas sedimen (kg/m3), 𝜌 adalah densitas air laut
𝑠 − 𝜌) 𝑔(1−𝜌)

(kg/m3), g adalah percepatan gravitasi (m/s2), p adalah faktor porositas (0.4), T dalah periode

gelombang (s), dan 𝛼𝑏 adalah sudut datang gelombang pecah (deg).

Persamaan lainnya dikemukakan oleh (Walton Jr & Bruno, 1989) dengan menggunakan

tinggi gelombang pecah dan arus sejajar pantai. Sehingga nilai transport sedimen dapat dihitung

dengan persamaan (6) :

𝐾𝐴𝜌𝑔𝐻𝑏 𝑊𝑉𝐶𝑓
𝑄= 5𝜋 𝑉 (6)
0.78( )( )
2 𝑉0 𝐿𝐻

Dimana V adalah rata-rata kecepatan arus sejajar pantai (m/s) persamaan (7)

𝑉 = 20.7𝑚(𝑔𝐻𝑏 )1/2 𝑠𝑖𝑛(2𝛼𝑏 ) (7)

W adalah lebar surf zone (m), Cf adalah koefisien friksi, (V/Vo)LH adalah teori kecepatan

arus sejajar pantai dengan parameter campuran bernilai 0.4.

Transport sedimen sejajar pantai dapat diperoleh dari kemiringan pantai, periode

gelombang, dan ukuran butir sedimen (d50) yang dikembangkan oleh (Kamphuis, 2003)
berdasarkan eksperimen laboratorium dan data lapangan. Persamaan transport sedimen

diekspresikan dalam persamaan (8) :

2.27𝐻𝑏2 𝑇𝑃1.5 𝑚0.75 𝑑50


−0.25
𝑠𝑖𝑛(𝛼𝑏 )
𝑄=[ (𝜌𝑠 − 𝜌) 𝑔(1−𝜌)
] (8)

2.1.2. Arus Laut

Arus laut adalah gerakan massa air yang berpindah dari suatu tempat (posisi) yang

mempunyai tekanan lebih tinggi ke tempat dengan tekanan yang lebih rendah. Adanya perbedaan

pemanasan matahari terhadap permukaan bumi menimbulkan pula perbedaan energi yang diterima

permukaan bumi. Perbedaan ini menimbulkan fenomena arus laut dan angin yang menjadi

mekanisme untuk menyeimbangkan energi di seluruh muka bumi. Kedua fenomena ini juga saling

berkaitan erat satu dengan yang lain. Angin merupakan salah satu gaya utama yang menyebabkan

timbulnya arus laut selain gaya yang timbul akibat dari tidak samanya pemanasan dan pendinginan

air laut (Aziz, 2006).

Menurut Gross (1990), terjadinya arus di lautan disebabkan oleh dua faktor utama yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti perbedaan densitas air laut, gradien

tekanan mendatar, dan gesekan lapisan air. Sedangkan faktor eksternal seperti gaya tarik matahari

dan bulan yang dipengaruhi oleh tahanan dasar laut dan gaya coriolis, perbedaan tekanan udara,

gaya gravitasi, gaya tektonik, dan angin. Arus yang timbul akibat kesetimbangan antara gaya

Coriolis dan gaya gesekan disebut Arus Ekman. Ada 2 hal penting yang diperoleh dari model

Ekman :

1. Arus permukaan arahnya tidak sama dengan arah angin permukaan tetapi disimpangkan 450

ke arah kanan (BBU) atau kiri (BBS) arah angin.


2. Angin yang berhembus di atas permukaan laut menimbulkan transport massa yang arahnya

tegak lurus kekanan arah angin di BBU dan kekiri arah angin di BBS.

Perairan Sayung memiliki kecenderungan pola arus yang berubah ubah-ubah sesuai dengan

arah angin yang berada di sekitar daerah tersebut. Keadaan tersebut menyebabkan arus yang

bergerak menuju pantai akan menimbulkan arus laut yang bergerak sepanjang pantai. Keadaan

tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan wilayah pesisir. Fenomena arus laut tersebut

dijelaskan oleh bahwa arus di laut terjadi karena adanya pergerakan massa air dari satu tempat ke

tempat yang lain. Matahari merupakan energi penggerak dari massa air, adanya perbedaan

pemanasan matahari yang diterima oleh bumi akan berakibat terhadap perbadaan energi yang

diterima oleh bumi. Energi akan mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah.

Apabila keadaan seperti ini terjadi di permukaan laut maka akan menyebabkan terjadinya arus.

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin di

permukaan, karena perbedaan densitas air laut, arus pasang surut dan arus yang disebabkan oleh

gelombang internal. Oleh karena itu arus di laut berperan penting terhadap aktivitas lingkungan

sekitar pantai (Widada et al., 2012).


2.2. Hasil Analisis Parameter

Gambar 3. Peta Regional Kab. Demak


Sumber : (Pemkab. Demak, 2015)

Demak sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah terletak pada koordinat 6043’26” –

7009’43” Lintang Selatan dan 110027’58” – 110048’47” Bujur Timur. Wilayah ini sebelah utara

berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Kudus dan Kabupaten Grobogan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan

Kabupaten Semarang, serta sebelah barat berbatasan dengan Kota Semarang. Jarak terjauh dari

barat ke timur adalah sepanjang 49 km dan dari utara ke selatan sepanjang 41 km. Dilihat dari

ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut (elevasi), wilayah Kabupaten Demak terletak

mulai dari 0 m sampai dengan 100 m dari permukaan laut, yang dibatasi atas tiga region, yaitu: a.)

Region A dengan elevasi 0 – 3 m meliputi sebagian besar Kecamatan Bonang, Demak,


Karangtengah, Mijen, Sayung dan Wedung; b.) Region B dengan tiga elevasi, yaitu elevasi 3 – 10

m meliputi sebagian besar dari tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Demak, elevasi 10 –25 m

meliputi sebagian dari Kecamatan Dempet, Karangawen dan Mranggen, serta elevasi 25 – 100 m

meliputi sebagian kecil dari Kecamatan Mranggen dan Kecamatan Karangawen; c.) Region C

dengan elevasi lebih dari 100 m meliputi sebagian kecil dari Kecamatan Karangawen dan

Mranggen (Pemkab. Demak, 2015).

Kondisi lingkungan pantai di wilayah Kabupaten Demak mengalami penurunan kualitas

yang cukup memprihatinkan. Panjang pantai di Kabupaten Demak yang terbentang dari barat ke

timur sepanjang 34,1 kilometer mengalami kerusakan yang cukup serius akibat abrasi air laut dan

mengakibatkan kerusakan serta banyak hilangnya areal pertambakan yang dimiliki petani tambak

di Kabupaten Demak. Sejak tahun 2000 sampai dengan 2004, panjang pantai yang terkena abrasi

menunjukkan kecenderungan meningkat yaitu 12,6 km, 13,1 km, 13,6 km, 14 km, dan 14,6 km

masing-masing untuk tahun 2000, 2001, 2002, 2003 dan 2004. Kondisi ini bila dibiarkan berlarut

akan mengakibatkan daya dukung lingkungan yang tidak seimbang karena adanya abrasi,

pencemaran laut, penyakit ikan dan rusaknya mangrove yang akan mengancam potensi

sumberdaya perikanan dan kelautan (Pemkab. Demak, 2015).

Menurut hasil penelitian Manurung et al. (2017) menunjukkan bahwa nilai muka air rata-

rata (MSL) sebesar 70 cm, nilai muka air tertinggi (HWL) sebesar 120 cm, nilai muka air terendah

(LWL) sebesar 30 cm, nilai muka air rendah terendah (LLWL) sebesar 2 cm dan nilai muka air

tinggi tertinggi (HHWL) sebesar 138 cm. Melalui komponen pasang surut dapat diketahui bahwa

tipe pasang dan surut di sekitar perairan Muara Sungai Wulan, Demak dengan nilai Formzahl

sebesar 1,67 termasuk ke dalam perairan dengan tipe pasang surut campuran condong harian

tunggal. Pada tipe ini, dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi
kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi

dan periode yang berbeda.

Pada dasarnya, saat massa air bertambah ataupun berkurang, kondisi perairan yang lebih

dalam cenderung lebih banyak mengalami turbulensi dan pengadukan. Turbulensi ini

menyebabkan material terendapkan tercampur dengan material melayang dan menambah muatan

partikel tersuspensi di suatu perairan. Pengadukan tersebut merupakan hasil dari pergerakan arus

laut di suatu perairan. Setelah massa air mengalami perubahan volume secara signifikan, arus

bergerak dan bergesekan dengan dasar perairan, gesekan inilah yang menyebabkan sedimen dasar

terangkat dan teraduk kembali. Dari hasil pengamatan di lapangan dan melalui analisis

laboratorium ternyata sejalan. Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kandungan sedimen

tersuspensi ada banyak, dan yang akan dibahas di sini adalah kedalaman perairan, kecepatan arus

laut dan bagaimana pengaruh pasang dan surut berperan di dalamnya.

Gambar 4. Peta Sebaran MPT saat pasang menuju surut kedalaman 0.8 d
Sumber : (Manurung et al., 2017)
Gambar 5. Peta Sebaran MPT saat pasang menuju surut kedalaman 0.2 d
Sumber : (Manurung et al., 2017)

Berdasarkan hasil laboratorium yang diperoleh, konsentrasi MPT tertinggi baik pada kondisi

surut menuju pasang maupun pada kondisi pasang menuju surut berada pada kedalaman 0,8d.

Sebaran MPT di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh fenomena pasang dan surut. Fenomena

pasang dan surut sangat dipengaruhi oleh interaksi matahari, bulan dan bumi. Ketika laut

mengalami pasang dan amplitudonya cukup besar, maka sungai-sungai di sekitar sebelum muara

kemungkinan akan mengalami banjir dan menyebabkan intrusi air laut yang besar pula ke daratan.

Saat air laut mulai naik dan mencapai crest, maka kecepatannya akan menurun. Seiring dengan

kecepatannya yang semakin melemah, saat itu juga banyak material padatan tersuspensi yang

dilepaskan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran MPT tertinggi terjadi pada kondisi

surut menuju pasang. Mengingat bahwa daerah perairan di sekitar muara Sungai Wulan termasuk

ke dalam tipe muara yang didominasi oleh debit sungai, pada kondisi surut menuju pasang,

kecepatan aliran arus selain didukung oleh arus pasang juga disuplai oleh debit yang keluar melalui

hilir sungai dan pengadukan yang saling berlawanan ini menyebabkan turbulensi yang lebih
maksimal dibanding pada kondisi pasang menuju surut. pada musim peralihan pertama (menuju

musim timur), sehingga buangan dari daratan seharusnya tidak lebih besar daripada musim

penghujan (musim barat). Dari analisis ini dapat diambil hipotesis bahwa, nilai konsentrasi MPT

pada penelitian ini harusnya lebih sedikit dibanding jika penelitian dilakukan pada musim barat

dan atau pada musim peralihan kedua.

Berdasarkan hasil pengamatan seperti yang tersaji pada peta sebaran MPT di atas,

konsentrasi MPT baik pada kondisi surut menuju pasang maupun kondisi pasang menuju surut

lebih terkonsentrasi dari arah hilir sungai, hal ini sejalan dengan literatur menurut Lanuru dan

Ferayanti (2011), bahwa proses transpor MPT di sungai dan laut memiliki korelasi dengan elevasi

muka air. Ketika terjadi pasang, muka air laut akan lebih tinggi dibanding daerah badan dan mulut

sungai/muara, sehingga pengadukan dan pelepasan MPT lebih banyak terjadi di muara sungai.

Sebaliknya pada saat kondisi pasang menuju surut, sebaran MPT cenderung mengarah ke laut,

karena elevasi yang rendah di muara menyebabkan turbulensi yang intens dan MPT banyak

dilepaskan di laut. Pergerakan air akibat rotasi bumi ini menyebabkan terjadinya penambahan dan

pengurangan volume air laut. Pada kondisi surut menuju pasang, air laut bergerak menuju daratan

yang menyebabkan volume air mengarah ke daratan bertambah. Menurut Triatmodjo (2012), pada

saat air surut, sedimen akan terdorong ke muara dan menyebar di laut. Ketika kecepatan aliran

mengecil selama periode menuju surut, sebagian sedimen tersuspensi mengendap di dasar perairan.

Berbeda pada kondisi surut menuju pasang, kecepatan arus bertambah dan mendorong

sedimen tersuspensi dari laut masuk ke sungai dan bercampur dengan sedimen tersuspensi dari

hulu sungai. Pada alur sungai menuju surut, kecepatan aliran air bertambah dan sedimen yang telah

terendapkan tergerus kembali dan kemudian masuk ke laut. Pola sebaran sedimen tersuspensi

terjadi pada musim peralihan pertama di bulan Maret, sehingga sebaran sedimen suspensi bergerak
dominan dari barat ke timur. Sedimen tersuspensi bergerak dominan menuju selatan pada kondisi

surut menuju pasang dan dominan menuju barat daya pada kondisi pasang menuju surut. Nilai

MPT tertinggi terjadi pada saat pasang dikarenakan kecepatan arus yang lebih kuat dan terjadi

pengadukan di muara yang lebih dominan. Sedimen tersuspensi dengan konsentrasi tertinggi

terletak pada stasiun di sekitar hilir Sungai. Hal ini disebabkan karena perairan di daerah tersebut

mengalami pengadukan yang lebih fluktuatif dan sumber material didominasi oleh daratan.

Mengingat pada kondisi tersebut kecepatan aliran arus lebih besar menuju ke badan sungai, maka

dapat disimpulkan bahwa persebaran MPT tertinggi terjadi pada kondisi surut menuju pasang.

Sedangkan konsentrasi MPT di perairan Timbulsloko memiliki nilai yang beragam. Saat

pasang naik konsentrasi MPT tertinggi yaitu 800-1000 mg/l baik pada siklus pasang purnama dan

perbani terdapat di stasiun 1 yang terletak dekat dengan talut/seawall. Hal ini disebabkan

penumpukan massa air dari laut kearah darat pada bagian perairan semi tertutup antara

talut/seawall dan ekosistem mangrove. Penumpukan massa air meningkatkan konsentrasi sedimen

tersuspensi. Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa pasang tinggi dapat membawa partikel

padatan tersuspensi jauh sampai ke hulu sehingga secara langsung mempengaruhi besar

konsentrasi MPT di daerah tersebut (Satriadi dan Sugeng, 2004). Konsentrasi terendah yaitu 100-

200 mg/l terdapat di stasiun 3 yang terletak jauh dari batas daratan baik talut/seawall dan ekosistem

mangrove. Konsentrasi MPT semakin berkurang kearah laut, serupa dengan hasil penelitian

Helfinalis (2005) bahwa sebaran total suspended solid ini nilainya semakin rendah ke arah laut.

Pengaruh pengadukan terhadap kedalaman semakin berkurang karena pengaruh kedalaman. Jenis

sedimen yang terdapat di Perairan Muara Sungai Sayung adalah pasir, pasir lanauan, lanau pasiran

dan lanau.
Gambar 6. Pola Arus di Perairan Sayung Menuju Pasang
Sumber : (Pratiwi et al., 2015)

Gambar 7. Pola Arus di Perairan Sayung Menuju Surut


Sumber : (Pratiwi et al., 2015)
Di dalam Kawasan mangrove Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak terdapat

dua jenis sedimen ukuran butir yaitu pasir lanauan, dan lanau pasiran. Kecepatan arus di perairan

Sayung, Demak tergolong rendah baik pada saat pasang maupun surut (Berdasarkan penelitian di

perairan Sayung, Demak dapat disimpulkan bahwa jenis sedimen pada perairan demak didominasi

oleh jenis lanau. Kecepatan arus rata-rata pada saat pasang dan surut memiliki kecepatan yang

lambat yaitu masih dibawah 10 m/s. Dan ukuran butir yang diperoleh didaerah dekat pantai

semakin halus.

2.3. Hybrid Engineering

Gambar 8. Hybrid Engineering


Sumber : maritim.go.id

Upaya yang dapat dilakukan untuk penanganan perubahan garis pantai teknologi sederhana

dan murah yaitu dengan membangun benteng yang dikenal dengan hybrid. Hybrid adalah metode

ramah lingkungan yang mengakomodasi kebutuhan pembangunan ekonomi dan mata pencaharian,

dan menggabungkan solusi teknis dan berbasis ekosistem (Saengsupavanich, 2013). Struktur ini

merupakan konsep inovatif pembangunan yang berusaha bekerjasama dengan alam (building with
nature) untuk mengembalikan proses hilangnya sedimen sehingga tidak terjadi perubahan garis

pantai.

Hybrid-engineering yang selain bertujuan untuk memulihkan pantai lumpur untuk daerah

penanaman mangrove juga untuk mengembalikan wilayah yang hilang karena erosi dan abrasi.

Pembangunan ini memungkinkan pemulihan habitat untuk mangrove yang membutuhkan

pendangkalan sedimen halus dan tingkat sedimentasi yang lebih besar sehingga pemulihan

kerusakan pesisir akan dilakukan lebih cepat. Tingkat sedimentasi sebanding dengan konsentrasi

sedimen di kolom air, dimana konsentrasi sedimen di kolom air dapat ditingkatkan dengan agitasi

pengerukan, dan ini untuk mengatur restorasi menjadi gerak sehingga tidak terjadi perubahan garis

pantai.

Teknik hybrid engineering diterapkan dalam bentuk petak‐petak, ditujukan secara perlahan

tapi pasti untuk mengembalikan tanah yang terabrasi oleh laut. Teknik ini telah berhasil diterapkan

dirawa‐rawa pantai di Belanda selama berabad‐abad. Teknik hybrid engineering saat ini semakin

banyak diterapkan diseluruh dunia pada wilayah pesisir yang rentan, untuk menggantikan struktur

keras dengan cara dan biaya yang lebih efektif. Namun, teknik ini hanya akan berhasil jika

diterapkan dengan benar. Struktur permeable baru perlu ditempatkan diujung arah laut setelah

sedimen sudah cukup banyak terperangkap dipantai dan sudah memenuhi jumlah lahan yang

tereklamasi.
III. REKOMENDASI

3.1. Hybrid Engineering dan Fungsinya

Hybrid Engineering adalah metode ramah lingkungan yang mengakomodasi kebutuhan

ekonomi dan mata pencaharian, dan menggabungkan solusi teknis dan berbasis ekosistem.

Bendungan semipermeable yang terbuat dari tumpukan bambu dan kayu telah berhasil mengurangi

erosi dan menambah sedimentasi di lingkungan berlumpur (Ismanto et al., 2017). Permeable dams

Hybrid Enginerring memerangkap sedimen dengan menduplikasi sistem perakaran mangrove

(Puspitasari et al., 2014).

Gambar 9. Konsepsi dasar struktur Hybrid Engineering dalam rehabilitasi ekosistem dan kawasan pantai
yang terabrasi.
Sumber: (Ecoshape Consortium, 2016.)

Menurut Winterwerp et al. (2014), untuk menghentikan proses erosi dan mendapatkan

kembali garis pantai yang stabil, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengembalikan

keseimbangan sedimen. Lebih banyak sedimen perlu disimpan di pantai daripada jumlah yang
terdegradasi. Cara yang baik untuk melakukan ini adalah dengan bekerja dengan alam dan

menggabungkan solusi teknis yang cerdas. Sambil meningkatkan masukan sedimen dari sungai,

sedimen hasil gelombang/ombak dari laut harus dibatasi. Struktur permeabel yang terbuat dari

bahan lokal seperti bambu, ranting atau kayu lainnya dapat ditempatkan di depan garis pantai untuk

mengurangi kehilangan sedimen.

Bambu adalah bahan konstruksi berkelanjutan dan terbarukan untuk penggunaan yang

berkembang dalam konstruksi rekayasa. Bambu dapat digunakan secara murah dan teknik

konstruksi yang sederhana adalah dua aspek terpenting dari pendekatan biaya yang hemat, praktis

dan terjangkau bagi pemangku kepentingan dan pihak berwenang setempat (Kamali dan Hashim,

2010). Struktur ini membiarkan air laut dan air sungai melewatinya, menghilangkan gelombang

daripada merefleksikannya. Akibatnya, gelombang kehilangan tinggi dan energinya sebelum

mencapai garis pantai. Struktur permeabel juga membuat lumpur terendapkan, sekaligus

menciptakan kondisi air yang tenang yang memungkinkan pengendapan sedimen yang halus.

Dengan cara ini struktur akan meningkatkan jumlah sedimen yang terjebak di atau dekat pantai.

Perangkat ini meniru alam, menirukan struktur sistem akar mangrove alami (Gambar 14)

(Winterwerp et al., 2014).

Gambar 10. Ilustrasi Permeable Dams yang mengadaptasi Sistem Perakaran Mangrove
Sumber : (Winterwerp et al., 2014).
Pendekatan Hybrid Engineering menggabungkan struktur permeabel ini (untuk memecah

gelombang dan menangkap lebih banyak sedimen) dengan metode teknik, seperti pengadukan dan

pengerukan, yang meningkatkan jumlah sedimen yang tersuspensi di dalam air. Begitu proses erosi

telah berhenti dan garis pantai telah meningkat, mangrove diperkirakan akan bertambah banyak

secara alami. Sabuk mangrove baru bisa lebih jauh memecah ombak dan menangkap sedimen

dalam jangka panjang. Teknik Hybrid Engineering yang dijelaskan di atas diterapkan pada grid,

atau pada struktur permeabel yang lebih panjang untuk terus menangkap sedimen dari laut.

Rekayasa Hybrid semakin diterapkan di daerah pesisir yang rawan di seluruh dunia, menggantikan

struktur keras dengan biaya yang efektif. Namun, metode ini hanya bekerja jika diterapkan dengan

benar. Pemeliharaan struktur permeabel secara teratur sangat diperlukan. Struktur baru perlu

ditempatkan di ujung yang mengarah ke laut setelah endapan telah cukup terperangkap di pantai

atau telah direklamasi (Winterwerp et al., 2014).

3.2. Dampak Terhadap Lokasi Studi

Struktur permeabel dapat ditempatkan di depan garis pantai, dimana struktur dapat dilalui

oleh air laut tetapi tidak memantulkan gelombang melainkan memecahnya. Sehingga, gelombang

akan berkurang ketinggian dan energinya sebelum mencapai garis pantai. Struktur permeabel juga

dapat memungkinkan lumpur untuk melewatinya, dan meningkatkan jumlah sedimen terperangkap

pada atau dekat pantai. Perangkat ini meniru proses alam, yaitu meniru fungsi dari struktur sistem

perakaran mangrove alami.

Teknik hybrid engineering diterapkan dalam bentuk petak‐petak, ditujukan secara perlahan

tapi pasti untuk mengembalikan tanah yang terabrasi oleh laut. Teknik ini telah berhasil diterapkan

di rawarawa pantai di Belanda selama berabad‐abad. Teknik hybrid engineering saat ini semakin

banyak diterapkan di seluruh dunia pada wilayah pesisir yang rentan, untuk menggantikan struktur
keras dengan cara dan biaya yang lebih efektif. Namun, teknik ini hanya akan berhasil jika

diterapkan dengan benar. Struktur permeabel baru perlu ditempatkan di ujung arah laut setelah

sedimen sudah cukup banyak terperangkap di pantai dan sudah memenuhi jumlah lahan yang ter‐

reklamasi.

Aplikasi hybrid engineering berupa struktur permeabel merupakan salah satu alternatif solusi

perlindungan pantai yang diaplikasikan di Desa Timbulsloko. Struktur permeabel yang terbuat dari

kayu dan ranting tersebut berfungsi sebagai peredam ombak/gelombang dan perangkap sedimen.

Mangrove yang tumbuh alami atau ditanam pada lahan hasil penangkapan sedimen oleh struktur

inilah yang akan memberikan fungsi perlindungan terhadap pesisir dan masyarakat. Karena tujuan

akhir dari konsep ini adalah mengembalikan fungsi perlindungan mangrove, maka proses

penerapan aplikasi hybrid engineering dari mulai pemasangan struktur permeabel hingga

reklamasi lahan dan tumbuhnya mangrove akan memakan waktu yang cukup lama.

3.3. Komponen dan Perencanaan dalam Pembuatan Hybrid Engineering

Perencanaan pembangunan struktur Hybrid Engineering membawa pendekatan

rekayasa/teknik pantai untuk melihat penyebab abrasi dan potensi sukses atau tidaknya intervensi

struktur Hybrid Engineering yang akan dibangun di lokasi kegiatan. Studi pendahuluan dalam

perencanaan mencakup batimetri, ketebalan sedimen dasar dan konsentrasi sedimen layang untuk

estimasi sumber sedimen bagi struktur Hybrid Engineering. Dinamika arus dan gelombang

dianalisa dalam hubungannya dengan angkutan sedimen akibat arus dan gelombang pada saat

sebelum dan sesudah pembangunan struktur Hybrid Engineering (KKP, 2018).

Analisa kestabilan struktur Hybrid Engineering merupakan elemen penting dalam membuat

perencanaan. Mengacu kepada fungsinya yang lebih banyak ke sediment trapping dan bukan ke

Alat Pemecah Ombak (APO) stabilitasi struktur perlu dianalisas dalam kaitannya dengan estimasi
tinggi gelombang maksimum dimana struktur Hybrid Engineering dapat bertahan. Komponen

bahan dipilih dari material yang tersedia luas di lokasi kegiatan. Sebagai material utama pembuatan

pagar, di sepanjang pantai utara Jawa digunakan bambu. Akan tetapi di Kalimantan misalnya

bambu tidak tersedia, maka bisa diganti dengan kayu ulin atau kayu lainnya. Di tempat lain seperti

di pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia dimana kayu dan bambu sama-sama sulit didapatkan,

maka material utama pagar bisa diganti dengan pipa paralon yang diisi dengan semen sebagai

pengganti bambu atau kayu. Pemilihan material yang tersedia di lokasi kegiatan dimaksudkan agar

dalam perawatan struktur nantinya dapat secara swadaya dilakukan oleh masyarakat penerima

manfaat (KKP,2018).

Pelibatan pemangku kebijakan terkait di lokasi kegiatan baik pada masa perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan struktur Hybrid Engineering sangat penting. Permasalahan status lahan

sebelum dan sesudah munculnya tanah timbul bisa menjadi persoalan pelik di daerah. Sehingga

keterlibatan aparatur pemerintah sampai tingkat desa sangat penting tidak hanya dalam

menjelaskan status lahan lokasi pembangunan Hybrid Engineering, tetapi juga dalam menentukan

pengelolaan tanah timbul setelah kawasan yang terabrasi pulih kembali. Pada saat pembangunan

struktur Hybrid Engineering selesai, pemeliharaan secara terus menerus merupakan komponen

kunci agar struktur Hybrid Engineering dapat berdayaguna maksimal dalam fungsi rehabilitasi

kawasan terabrasi. Untuk itu, dibutuhkan institusionalisasi penyelenggaraan pemeliharaan struktur

Hybrid Engineering yang disiapkan dari awal. Pola swadaya masyarakat dengan menggunakan

alokasi dana desa merupakan opsi yang paling memungkinkan agar pemeliharaan bisa

berkelanjutan (KKP, 2018).


3.4. Desain Umum Struktur Hybrid Engineering

Gambar 11. Struktur Hybrid Engineering


Sumber : (KKP, 2018).

Komponen struktur Hybrid Engineering pada dasarnya hanya terdiri dari dua bagian yakni

komponen bambu pancang dan ranting pengisi diantara dua pagar bambu. Akan tetapi, bergantung

kepada hasil analisa gelombang dan kriteria stabilitas dari struktur Hybrid Engineering

menghadapi aksi gelombang, tambahan bambu perangkai (posisi menyilang dari bambu pancang)

dan struktur bambu penguat sesuai kebutuhan. Panjang bambu pancang disesuaikan dengan hasil

pengamatan ketebalan lapisan sedimen (lumpur) dan ketinggian pasang surut khususnya
ketinggian maksimal pada saat pasang tertinggi sebagai batas atas pengisian ranting. Pemancangan

bambu di tiap segmen sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alat ukur theodolite untuk

menjamin simetri dan konsistensi dari dimensi struktur. Untuk pemancangan bambu di lokasi

bekas mangrove, biasanya ada kendala dimana bambu tidak bisa dipancang sesuai kedalaman yang

diharapkan. Untuk kondisi ini, disarankan menggunakan alat pemancang menggunakan kompresor

udara agar bambu dapat ditekan sampai kedalaman yang diinginkan. Kedalaman ideal pengisian

ranting adalah masuk sampai batas kedalaman lumpur keras, akan tetapi pelaksanaan di lapangan

sangat sulit karena pengisian ranting dilakukan dengan tenaga manusia. Batas pengisian ranting di

bawah lumpur paling tidak 0.5 m dibawah batas permukaan lumpur lunak. Pengisian ranting

dilakukan bertahap dari dasar lumpur lunak sampai ketinggian maksimal di batas HHWS (Highest

High- Water Level) tetapi langsung dalam satu segmen. Bertahap maksudnya pemasangan ranting

dilakukan sedikit demi sedikit agar pemadatan ranting sempurna (KKP, 2018).

Komponen pendukung seperti struktur penguat dapat dibuat atau tidak tergantung kebutuhan

dan panjang segmen struktur Hybrid Engineering. Untuk struktur Hybrid Engineering yang

dibangun di lokasi dengan kondisi ombak besar dan kedalaman lumpur lunak yang dangkal maka

diperlukan komponen struktur penguat yang cukup rapat untuk menjamin kestabilan struktur.

Komponen penunjang lainnya adalah bambu perangkai atau bambu yang dipasang menyilang

(horizontal) untuk mengikat 15 – 20 batang bambu pancang. Komponen ini dipasang juga melihat

kebutuhan akan stabilitas struktur. Untuk struktur yang membutuhkan bamboo perangkai, maka

komponen ini dipasang dua lajur yakni pada ketinggian ~ 25 cm diatas permukaan lumpur lunak

dan pada ketinggian yang sama dengan level muka air pada saat pasang tertinggi (HHWS | Highest

High-Water Level) (KKP, 2018).


3.5. Tantangan dalam Pembangunan Hybrid Engineering

Struktur Hybrid Engineering yang selesai dibangun harus mendapatkan pemeliharaan dan

pengawasan dari Dinas setempat dan masyarakat penerima manfaat. Kendala dalam perawatan

struktur Hybrid Engineering di lapangan datang dari perilaku masyarakat misalnya pengambilan

tali pengikat atau bambu struktur. Lebih jauh, struktur Hybrid Engineering juga biasanya

digunakan masyarakat untuk pengikat atau tambat kapal mulai dari kapal kecil sampai kapal besar.

Untuk itu fungsi pengawasan dari Kelompok Masyarakat Pengawas (PokMasWas) sangat

diperlukan disamping sosialisasi menerus ke masyarakat akan fungsi penting struktur Hybrid

Engineering. Kendala lain dalam perawatan struktur Hybrid Engineering adalah ketersediaan dan

alokasi anggaran dari pemerintah daerah. Akan tetapi, seringkali ketersediaan anggaran di daerah

menjadi kendala. Berikutnya adalah kendala dari faktor alam, bambu pancang di laut menjadi

sasaran hama seperti teritip atau sejenis siput yang memakan bambu sehingga pancang menjadi

keropos dan lapuk (KKP, 2018).

Penggunaan bambu perangkai harus memperhatikan kriteria stabilitas struktur terhadap

gelombang. Dalam beberapa kejadian, keberadaan bamboo perangkai bisa membuat kerusakan

segmen Hybrid Engineering akibat aksi gelombang atau ulah manusia menjadi lebih masif karena

terikat oleh bambu perangkai. Untuk jenis ranting yang digunakan, tidak diperbolehkan

menggunakan ranting bambu atau ranting lain yang berongga. Keharusan menggunakan ranting

padat untuk mengurangi kemungkinan ranting mengapung dan menghempas pada saat gelombang

datang yang berpotensi merusak susunan pagar bambu pancang sisi belakang (sisi darat).

Penyusunan ranting di dalam struktur Hybrid Engineering selain dilakukan secara bertahap, perlu

diperhatikan bahwa ikatan ranting harus dilepas sehingga ranting bisa disusun dan dipadatkan satu-

persatu. Ranting tanpa ikatan juga akan mempercepat proses penyusunan dan pemadatan secara
alami setelah dimasukkan ke dalam air laut. Pengikatan ranting harus dilakukan dengan rapi dan

saling silang serta overlapping satu sama lain. Pengikatan ranting dilakukan setelah ranting

terendam air selama ~3 hari atau setelah mengalami penyusutan di air garam. Panjang ranting

minimal adalah 1.5 m. Pemasangan bambu penahan (stut) setiap 1 (satu) meter lari membantu

menjamin ranting tidak terhempas keluar struktur pada saat gelombang tinggi (KKP, 2018).
IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Karakteristik oseanografi Perairan Demak dari kecepatan arus anara 0,1 – 0,8m/s, suhu

permukaan laut 29 -34 ⁰C cocok untuk daerah penangkapan, salinitas 10 - 30‰, kedalaman

0,25 – 1,23m, tinggi gelombang sekitar 1,3m dilihat dari Laut Jawa, dan jenis pasang surut

campuran condong ke harian tunggal. Pengaruh kedalaman air terjadi pada mulut kawasan

erosi dan mengalami penurunan akibat reduksi kedalaman. Karakteristk sedimentasi pada

Perairan Demak dengan laju sedimentasinya rata-rata relatif fluktuatif dari titik yang berada

di dekat daratan dengan titik yang dekat dengan laut lepas yaitu sekitar 81,35 – 501,01

(mg/cm2/hari). Jenis sedimen yang terperangkap dalam sediment trap tersebut termasuk

dalam jenis lempung berdebu dengan jenis sedimen berupa liat (clay) dan debu (silt). Pola

sedimentasi bergantung pada kondisi fisik perairan yang bergantung pada musim. Sifat

sedimentasi mempunyai kecenderungan kesamaan dengan kedalaman dan salinitas.

2. Pesisir Kabupaten Demak, khususnya di pesisir Kecamatan Sayung umumnya digunakan

sebagai tambak dan sebagian kecil untuk pemukiman. Terjadinya proses abrasi di wilayah

tersebut dapat ditanggulangi dengan menggunakan Hybrid Engineering yang tepat

digunakan pada daerah berlumpur, dimana teknologi ini telah mampu menanggulangi proses

abrasi secara efektif dan sangat terjangkau secara finansial.

4.2. Saran

1. Penggunaan teknologi Hybrid Engineering ini dapat mencegah proses abrasi secara efektif.

2. Perawatan Hybrid Engineering ini sangat murah dan dapat dijangkau oleh penduduk.
DAFTAR PUSTAKA

Astra, A. S., Sabarini, E. K., Harjo, A. M., Maulana, M. B.2014.Laporan Kegiatan Keterlibatan
Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut, Studi Kasus : Kawasan
Perlindungan Pesisir Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Bogor:
Mangrove Capital Project.
Azis, M. Furqon. 2006. Gerak Air Laut. Oseana, Vol. 31(4).
CEM, USACoE. 2002. Coastal Engineering Manual.
CERC, Shore Protection Manual. 1984. Coastal Eng. Research Centre. US Army Corps of Eng.,
Washington.
Damaywanti, K. 2013. Dampak Abrasi Pantai terhadap Lingkungan Sosial (Studi Kasus Di Desa
Bedono, Sayung Demak). 363-367.
Gross, M.G. 1990. Oceanography : A View of Earth. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff . New
Jersey.
Iskandar, Nabila Alia P., 2018, Pengaruh Struktur Hybrid Terhadap Karakteristik Deformasi
Gelombang di Perairan Kabupaten Demak. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro.
Ismanto, Aris., Muhammad Zainuri, Sahala Hutabarat, Denny Nugroho Sugianto, Sugeng Widada
and Anindya Wirastariya. 2017. Sediment Transport Model In Sayung District, Demak. IOP
Conf. Series: Earth and Environmental Science 55, pp. 1-6.
KKP. 2018. Struktur Hybrid Engineering: Solusi Rekayasa Berbasis Ekosistem Untuk Restorasi
Kawasan Pesisir. Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P4K).
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Manurung, J.G., A.A.D. Nugroho, dan Hariadi. 2017. Analisis Pengaruh Pasang Surut Terhadap
Sebaran Muatan Padatan Tersuspensi di Sekitar Perairan Muara Sungai Wulan, Kabupaten
Demak. Jurnal Oseanografi. 6(1): 68-78.
Pratiwi, M.J., Muslim dan H. Suseno. 2015. Studi Sebaran Sedimen Berdasarkan Tekstur Sedimen
di Perairan Sayung, Demak. Jurnal Oseanografi. 4(3): 608-613.
Puspitasari, Vera Chandra., Purwanto dan Warsito Atmodjo. 2014. Penjalaran Gelombang Di
Lokasi Pembangunan Permeable Dams Hybrid Engineering, Timbul Sloko, Demak. Jurnal
Oseanografi. 3 (4): 566-573.
Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta 397.
Widada, S. R, Baskoro dan H, Endrawati. 2012. Pengaruh Arus terhadap Genangan Rob di
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Buletin Oseanografi Marina Januari 2012, 1: 31 – 39
Winterwerp, Han., B. van Wesenbeeck, J. van Dalfsen, Femke Tonneijck, Apri Astra, Stefan
Verschure and P. van Eijk. 2014. A Sustainable Solution for Massive Coastal Erosion in
Central Java, Towards Regional Scale Application of Hybrid Engineering. [Discussion
Paper]. Deltares – Wetlands International, 45 p.

Anda mungkin juga menyukai