Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TEKNIK BUDIDAYA UDANG

PEMILIHAN LOKASI (SIDE SELECTION) TAMBAK


( PFA1417 )

Dosen Pengampu :
Pindo Witoko, S.Pi., M.P

Disusun Oleh :

Jeply Nurhidayah
18742027

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERIKANAN


JURUSAN PETERNAKAN
POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Untuk memenuhi kebutuhan udang di pasar dunia dalam rangka meningkatkan


perolehan devisa negara dan pendapatan masyarakat pembudidaya, diperlukan
percepatan produksi budidaya tambak yang berkelanjutan. Ke depan, pembangunan
budidaya perikanan tersebut harus mampu mendayagunakan teknologi budidaya intensif
secara berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi sumber daya pesisir melalui
kelayakan lahan budidaya tambak yang ada.

Pada umumnya dalam pengembangan usaha budidaya tambak berkelanjutan


sering kali terdapat permasalahan yaitu terjadinya benturan kepentingan dalam
penggunaan sumber daya lahan pesisir, baik dari sektor perikanan sendiri maupun
dengan sektor lain. Kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan pesisir ini disebabkan
meningkatnya permintaan akan lokasi dan sumber daya lahan tersebut oleh berbagai
jenis kegiatan, yang seiring dengan meningkatnya degradasi kualitas lingkungan di
sekitarnya. Semua kegiatan ini mengakibatkan adanya perubahan ekosistem dan fungsi
lahan sehingga dapat menyebabkan berkurangnya akses dan kontrol bagi sumber daya
perikanan serta terjadinya kerusakan ekosistem habitat perikanan.

Usaha budidaya tambak udang yang berkelanjutan dapat diartikan dengan


kegiatan budidaya tambak udang ramah lingkungan yaitu usaha budidaya yang dalam
pengembangannya mempertimbangkan karakteristik biofisik lokasi yang sesuai dengan
daya dukung lingkungan wilayahnya. Menurut Beveridge (1996), pemilihan lokasi
budidaya merupakan langkah awal dan umumnya sebagai tahapan yang sangat penting
untuk menentukan perikanan budidaya yang berkelanjutan, dan salah memilih lokasi
menyebabkan kegiatan budidaya mengalami kegagalan. Dalam hal ini, kondisi
lingkungan biofisika-kimia tanah dan air menjadi salah satu acuan penting bagi
pemilihan lokasi pengembangan kawasan budidaya tambak. Keberlanjutan manfaat
sumber daya lahan pesisir bagi usaha perikanan budidaya dalam jangka waktu yang
panjang sangat dipengaruhi oleh dinamika kondisi kualitas lingkungan sekitarnya yang
memiliki pengaruh yang kecil bagi kegiatan tersebut.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kesesuaian lingkungan untuk perikanan


budidaya antara lain: karakteristik biofisik lokasi (biologi, hidrologi, meteorologi,
kualitas tanah dan air); karakter spesifik dari biota yang dibudidayakan; metode
budidaya (konstruksi dan desain, level produksi dan operasi); kemampuan akses untuk
pinjaman dan informasi serta teknologi yang sesuai (Radiarta et al., 2005). Pada
umumnya kegagalan yang dialami oleh pembudidaya tambak udang dimulai dengan
kesalahan dalam perencanaan pengembangan, yang salah satunya disebabkan
kurangnya pengetahuan tentang lingkungan dan data parameter kualitas tanah serta air
yang sesuai bagi kegiatan budidaya tambak di lokasi tersebut. Agar kegiatan budidaya
tambak udang dapat berhasil, kegiatan tersebut harus ditempatkan pada lokasi yang
memiliki karakteristik biofisik sesuai dengan jenis udang yang dibudidayakan.

1.2 Tujuan

Pemilihan lokasi tambak bertujuan untuk mendapatkan lokasi tambak yang


optimal dalam kegiatan budidaya mulai dari tingkat elevasi tanah, jenis tanah, kualitas
tanah, aksesibilitas dan ke optimalan dalam mendapatkan sumber air, sehingga kegiatan
berbudidaya menjadi sukses dan mendapatkan keuntungan.
BAB II
ISI

Dalam melakukan pemilihan lokasi, banyak sekali faktor-faktor yang harus


diperhatikan dalam pemilihan lokasi tersebut. Faktor-faktor tersebut sangatlah
mempengaruhi keberhasilan suatu tambak budidaya sehingga pemilihan lokasi tambak
adalah hal yang sangat penting dilakukan. Pemilihan lokasi yang tepat untuk usaha
budidaya udang vaname akan menentukan tingkat keberhasilan produksi. Penentuan
lokasi budidaya merupakan rangkaian persyaratan dalam budidaya yang harus dipenuhi
(SNI 01-7246-2006). Kesesuaian lahan merupakan salah satu aspek yang menentukan
keberhasilan kegiatan budidaya tambak di wilayah pesisir. Budidaya tambak memiliki
komponen keruangan serta perbedaan karakteristik biofisik dan sosial-ekonomi dari
setiap lokasi. Persyaratan lahan tambak meliputi sebagai berikut.

2.1 Persyaratan Minimal Kualitas Lahan

Persyaratan minimum kualitas lahan meliputi beberapa aspek seperti jenis tanah,
kandungan bahan organik, pH tanah. Aspek tersebut harus diperhatikan dalam
pemilihan lokasi tambak karena memiliki dampak yang tidak baik jika memilih lahan
yang kualitasnya tidak sesuai. tambak udang/ikan yang baik proporsi pasir dan
lempungnya adalah 30-40% (pasir) dan 70-60% (lempung) (Direktorat Pembudidayaan,
2003). Komposisi tanah yang baik bagi tambak akan mempengaruhi kualitas tambak
tersebut seperti daya resap air ketanah yang rendah, minimnya terjadi longsor karena
kualitas tanah yang baik.

Boyd et.al, (2002) yang menyatakan bahwa 414 Samsul Bahri, Indra & Muyassir.
Kualitas Lahan Tambak dan Sosial Ekonomi Pada Budidaya Udang dan Ikan di
kandungan bahan organik yang sangat baik dan mendukung pertumbuhan
mikroorganisme bila ada pada kisaran 1,5-2,5 %. Jika bahan organik melebihi atau
kurang dari angka tersebut dapat merugikan pertumbuhan mikroorganisme. Perlakuan
yang dapat dilakukan untuk tambak yang kandungan bahan organiknya kurang dari 1.5
% adalah dengan cara pemberin pupuk kandang sebanyak 2 ton/ha. Sedangkan untuk
tambak yang mempunyai kandungan bahan organik lebih dari 2.5 %, maka dapat
dilakukan pembuangan endapan bahan organik terutama yang berwarna gelap atau
hitam yang menumpuk di lapisan dasar tambak.

Gambar 1. Peta tekstur tanah ditambak wilayah pesisir kec. Mlonggo

Nilai pH tanah akan berpengaruh pada kesuburan perairan karena kelarutan unsur
hara dalam air ditentukan oleh derajat keasaman tanah dan air. Tanah yang asam akan
mempengaruhi pH air, dengan demikian perlu upaya menetralisasi. Tanah tambak bisa
memiliki pH kurang dari 4 atau lebih dari 9, namun pH tanah yang ideal untuk tambak
adalah pH 6-8. Angka ini merupakan kondisi pH yang optimal bagi keberadaan phosfor
di dalam tanah, serta sangat cocok untuk berbagai mikroorganisme dekomposer seperti
bakteri (Boyd et.al, 2002). Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi
asam di dalam tanah tambak tersebut yaitu dengan cara melakukan pengapuran pada
dasar tanah. Perlukuan pemberian kapur untuk meningkatkan pH tanah, selanjutnya
dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan penambahan kapur berdasarkan nilai pH tanah dan alkalinitas

Kebutuhan Penambahan Kapur


pH Tanah
(kg/Ha)

< 5,00 3000

5,00 – 5,4 2500

5,5, - 5,9 2000

6,0 – 6,4 1500

6,5 – 6,7 1000

2.2 Topografi Tanah

Topografi adalah suatu studi yang mempelajari hal mengenai bentuk permukaan
tanah. Lokasi lahan tambak harus memiliki wilayah yang memiliki relief cenderung
datar. Topografi yang terlalu tinggi maupun rendah, keduanya akan menyebabkan
kesulitan dalam pengelolaan air. Jika tempat itu terlalu rendah tidak dapat diairi dengan
cukup sesuai kebutuhan, sedangkan kalau terlalu rendah tidak dapat dikeringkan dengan
seksama (Hardjowigeno 2017:154). Chanratchakool et al. (1995) menyarankan lahan
yang baik untuk budidaya tambak adalah relatif datar. Ketinggian seluruh tempat itu
tidak boleh melebihi tinggi permukaan air pasang tertinggi (misalnya tempat yang
letaknya terlalu jauh ke pedalaman), dan juga tidak boleh kurang (lebih rendah)
daripada tinggi permukaan air surut terendah, (Soesono 1983:44). Berdasarkan
pemaparan yang telah disampaikan, bentuk topografi yang sesuai untuk dijadikan lahan
tambak adalah wilayah dengan bentuk relief cenderung datar, karena berpengaruh
terhadap pasokan air ke dalam tambak. Bentuk topografi yang datar memudahkan dalam
memasukkan sekaligus mengeluarkan air dari tambak dengan pasang surut nya air laut.
2.3 Elevasi Tanah

Elevasi (ketinggian tempat) calon lokasi tambak, terhadap permukaan air laut
dicari yang masih berada di daerah pasang-surut. Ketinggian seluruh tempat itu tidak
boleh melebihi tinggi permukaan air pasang tertinggi (misalnya tempat yang letaknya
terlalu jauh ke pedalaman), dan juga tidak boleh kurang (lebih rendah) daripada tinggi
permukaan air surut terendah, (Soesono 1983:44). Elevasi tanah berhubungan dengan
kemampuan irigasi untuk mencapai suatu tempat, karena jika semakin tinggi elevasi
maka akan semakin sulit untuk dijangkau oleh pasang surut. Semakin landai lahan
lokasi akan semakin banyak lahan untuk pembuatan tambak.

Gambar 2. Peta elevasi dasar tambak dengan referensi MSL-lokal (A = 2-D view dan B
= 3-D view
Gambar 2 menunjukkan karakteristik elevasi dasar tambak budidaya (dasar atau
pelataran caren) dengan referensi MSL. Nilai negatif menunjukkan elevasi berada di
bawah muka laut rata-rata. Berdasarkan informasi spasial dari nilai elevasi tambak pada
Gambar 2 tersebut diketahui bahwa 78% dari seluruh petakan tambak memiliki elevasi
dasar lebih rendah jika dibandingkan elevasi ideal tambak tradisional (ekstensif) dan
semi-intensif. Untuk elevasi tambak tradisional plus dan semi-intensif ketinggian dasar
tambak sebaiknya terletak di antara rataan pasang tinggi (MHHW) dan rataan pasang
rendah (MLLW) atau dengan kata lain berada di sekitar ketinggian mean sea level
(MSL) (± 0,15 m dari MSL) (Poernomo, 1992). Ketinggian dasar tambak tersebut
disarankan berdasarkan kedalaman air yang dikehendaki dan pertimbangan ekonomis
konstruksi. Namun demikian kondisi elevasi dasar yang lebih rendah pada tambak
silvofishery masih dapat dipahami, antara lain dengan pertimbangan susahnya
pemasukan air lewat saluran laut untuk mendapatkan volume yang sesuai dengan
kebutuhan. Ketersediaan dan pergantian air meskipun dalam volume kecil juga
dimaksudkan untuk menjaga pertumbuhan dan kelangsungan mangrove dalam petakan
yang pada habitat alaminya menyesuaikan diri dengan siklus pasut. Dengan
karakteristik demikian sebagian besar petakan tambak tersebut jarang dikeringkan
secara sempurna sebagaimana yang umumnya dilakukan pada pengelolaan tambak
ekstensif. Input nutrien diharapkan utamanya berasal dari pergantian air lewat saluran
dan nutrien yang dari pelataran yang ditumbuhi mangrove, dan bukan dari hasil
pengelolaan tanah dasar.

2.4 Pasang Surut

Pasang surut merupakan fenomena umum di lautan yang menunjukkan perbedaan


tinggi permukaan air laut. Pasang laut dipengaruhi oleh gravitasi bulan dan matahari
meskipun bulan memiliki pengaruh yang lebih besar karena jaraknya lebih dekat dengan
bumi. Jika Bumi ini berbentuk bulatan sempurna tanpa ada benua atau daratan besar
maka semua wilayah di planet ini akan mengalami dua kali pasang dan surut sepanjang
hari.
Menurut Wibisono (2005), ada tiga tipe dasar pasang-surut yang didasarkan pada
periode dan keteraturannya, yaitu sebagai berikut:

1. Pasang-surut tipe harian tunggal (diurnal type) yaitu jika dalam 24 jam terjadi 1 kali
pasang dan 1 kali surut.

2. Pasang-surut tipe tengah harian/ harian ganda (semi diurnal type) yaitu jika dalam 24
jam terdapat 2 kali pasang dan 2 kali surut.

3. Pasang-surut tipe campuran (mixed tides): yaitu jika dalam 24 jam terdapat bentuk
campuran yang condong ke tipe harian tunggal atau condong ke tipe harian ganda.

Gambar 3. Tipe pasang surut diurnal, semidiurnal dan campuran

Kondisi tambak yang dibuat bekas lahan mangrove cenderung rata dan rendah.
Sehingga dengan pengaruh gravitasi masih dapat mengalami pasang surut air laut
(Ratnawati dan Asaad 2012).

3.5 Kualitas Tanah

Kesuburan tambak umumnya ditentukan oleh kandungan liat sampai pada kadar
50 persen (Hanafi dan Badayos, 1989). Hasil pengukuran terhadap tekstur tanah pada
setiap lokasi penelitian menunjukkan bahwa di Muara Badak dan Samboja mempunyai
jenis tanah dengan kandungan pasir lebih besar dibandingkan kandungan liat dan debu.
Sebaliknya di Muara Jawa dan Muara Pantuan mempunyai kandungan liat dan debu
lebih besar dari kandungan pasir. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada tambak di
Muara Badak dan Samboja mempunyai kesuburan tanah tambak lebih rendah
dibandingkan dengan tambak di Muara Jawa dan Muara Pantuan. Jenis tanah yang baik
untuk usaha pertambakan adalah lempung berpasir (clay loam) liat berpasir (sandy
clay), liat berlumpur (silty clay) dan liat (clay). Jenis tanah lempung berpasir sangat
sesuai untuk pertumbuhan makanan alami, sedangkan jenis tanah pasir dan pasir
berlumpur bersifat sangat porous, sehingga tidak dapat menahan air serta miskin hara.

Tabel 2. Hanafi dan Badayos (1989)

Kandungan %
Jenis tanah Pertumbuhan Klekap
Liat Pasir Lumpur
Liat ( clay ) 50 28 22 Sangat lebat
Liat Berlumpur ( silky loam
) 42 14 33 lebat
Lempung Liat Berpasir 22 63 14 sedikit
Lempung Berpasir 11 79 10 sangat sedikit

3.6 Kualitas Air

Jenis air yang ada di sekitar pesisir pantai adalah air payau yang merupakan
campuran air sungai (tawar) dengan air laut (asin), air payau juga yang nantinya akan
mengisi lahan tambak sebagai tempat berkembangnya ikan ataupun udang. Air payau
baik sebagai penyangga perubahan pH, sehingga sangat jarang pH turun menjadi 6,5
atau naik menjadi > 9 (Hardjowigeno (2017:151).

Untuk pertumbuhan ikan secara umum dapat disebutkan bahwa pada:

pH < 4 = ikan mulai mati


4–6 = pertumbuhan terhambat
6–9 = pertumbuhan baik
9 – 11 = pertumbuhan lambat
> 11 = mulai mati
Achmad (1991) dalam Hardjowigeno (2017:152) menyebutkan bahwa khusus
untuk udang, pH yang baik adalah antara 7,0 – 9,0, sedangkan pH >10 tidak baik untuk
pertumbuhan udang. Untuk bandeng, pH yang baik adalah antara 7,5 – 8,5 (Arsyad dan
Samsi, 1990 dalam Hardjowigeno, 2017:152). pH air memang sangat berpengaruh bagi
mahluk hidup tak terkecuali bagi perkembangan ikan dan udang yang hidup di dalam
tambak, seperti yang telah diuraikan sebelumnya pH yang baik untuk perkembangan
ikan dan udang berkisar antara 7 sampai 9, pertumbuhan ikan dan udang akan terhambat
bahkan sampai menyebabkan kematian pada ikan dan udang jika pH air terlalu asam
ataupun terlalu basa.

Suhu air berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju
konsumsi oksigen hewan air. Suhu air berbanding terbalik dengan konsentrasi oksigen
terlarut, tetapi berbanding lurus dengan laju konsumsi oksigen hewan air dan laju reaksi
dalam air. Suhu yang baik untuk ikan atau udang adalah 27 – 31oC, meskipun sampai
suhu 35oC masih dapat tumbuh dan hidup normal. Pada suhu antara 18 – 27oC nafsu
makan udang mulai turun dan pada suhu antara < 120C udang mulai mati
(Hardjowigeno, 2017:150).

Air laut digunakan untuk mengisi pasokan air tambak selain air sungai. Air laut
juga berfungsi mengatur salinitas atau kadar garam yang mempengaruhi pertumbuhan
udang ataupun ikan. Jarak lokasi tambak dari pantai yang masih sesuai adalah 300 –
4000 meter. Pada interval jarak ini, tambak masih terjangkau pasang surut sehingga
pengelola tambak akan mudah memperoleh air asin untuk menaikkan salinitas tambak.
Jarak yang kurang dari 300 meter tidak sesuai untuk dibangun tambak karena tempat
tersebut lebih sesuai digunakan untuk sempadan pantai sehingga pantai akan terlindung
dari abrasi (Syaugy, 2012:52). Garis sempadan sungai telah diatur dalam Peraturan
Presiden No.51 Tahun 2016 Pasal 1 ayat 2 yaitu minimal 100 (seratus) meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat. Berdasarkan kesesuaian jarak garis pantai untuk lahan
tambak, jarak yang paling baik adalah 300-500 meter karena pada jarak tersebut lahan
tambak masih bisa mendapatkan pasokan air saat laut sedang pasang. Selain itu juga
lahan 24 tambak berada di luar batas sempadan pantai sehingga lahan tambak tidak
mengganggu ekosistem yang ada di pantai.
6.7 Vegetasi

Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pada tambak


antara lain dilakukan dengan penanaman mangrove atau sering disebut dengan tambak
wanamina (Purwiyanto dan Agustriani, 2014). Penanaman tersebut bertujuan untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan lebih lanjut pada tambak serta
meningkatkan kelayakan tambak untuk kegiatan budidaya melalui jasa-jasa lingkungan
yang dihasilkan (Walters et al., 2008). Dukungan mangrove dalam tambak wanamina
salah satunya yaitu dalam mensuplai nutrien. Suplai nutrien yang dihasilkan dari
tegakan mangrove mampu meningkatkan kelimpahan pakan alami bagi kultivan
budidaya (Primavera dan Esteban, 2008). Namun, informasi mengenai bagaimana
tegakan mangrove mempengaruhi kandungan nutrien dalam tambak belum banyak
dikaji. Padahal, berbagai informasi terkait faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas tambak diperlukan untuk dapat mengoptimalkan kegiatan budidaya yang
ada disamping upaya melestarikan lingkungan.

Salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan dalam tambak wanamina yaitu jenis
mangrove yang ditanam. Setiap jenis mangrove memiliki fungsi yang berbeda dalam
ekosistem (Hossain dan Hoque, 2008), sehingga dampak yang ditimbulkan pada
penanaman dalam tambak wanamina pun akan berbeda. Diantara berbagai jenis
mangrove yang ada, mangrove jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata
merupakan jenis-jenis vegetasi mangrove yang paling banyak digunakan (Mwaluma,
2002). Namun, pengaruh spesifik struktur vegetasi mangrove dalam penerapannya pada
tambak wanamina belum banyak diketahui. Mengingat pentingnya informasi tersebut,
maka penelitian mengenai pengaruh spesifik struktur komposisi jenis mangrove
terhadap kualitas lingkungan tambak perlu dilakukan. Populasi mangrove yang ditanam
pada tambak wanamina memiliki nilai penting dalam menentukan kapasitas daya
dukung lingkungannya (Barbier, 2000). Semakin tinggi populasi mangrove yang
ditanam, maka semakin tinggi pula daya dukung yang dimiliki. Namun, daya dukung
lingkungan dalam suatu ekosistem dapat disesuaikan dengan kebutuhan sumber daya
yang ada (Suprakto et al., 2014). Dalam tambak wanamina, daya dukung lingkungan
yang dibutuhkan hanya sebatas pada kebutuhan untuk mendukung kegiatan budidaya
yang dilakukan, dalam hal ini luas tambak yang ada (dimiliki). Hal ini dikarenakan
semakin tinggi populasi mangrove yang ditanam, maka semakin luas pula kolam
tambak yang digunakan untuk penanaman yang berarti luas kolam yang digunakan
untuk membudidayakan ikan semakin sempit yang berakibat pada rendahnya padat
tebar dan produktivitas tambak (Triyanto et al., 2012).
BAB III
KESIMPULAN

Kegiatan budidaya udang ditambak merupakan kegiatan yang berprospek tinggi


dan juga maju. Dalam kegiatan budidaya, banyak faktor yang harus diperhatikan salah
satunya dalam pemilihan lokasi tambak. Dalam pemilihan lokasi tambak, perlu
dipahami mengenai persyaratan lahan yang sesuai dengan tambak baik dari segi lokasi
yang harus strategis, topografi yang relative datar, dengan elevasi yang sesuai
kebutuhan tambak, pasang surut, kualitas tanah dan kualitas air yang baik, serta vegetasi
di lahan tambak sebagai daerah intertidal. Pemilihan lokasi tambak harus diperhatikan
dengan baik supaya kegiatan budidaya pada tambak berlangsung optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Barbier, E.B. 2000. Valuin the Environment As Input: Review of Applications to


Mangrove-Fishery Linkages. Ecological Economics 35: 47 – 61.
Beveridge, M.C.M. 1996. CageAqua-culture. Second edition. Fishing News Books
LTD. Farnham, Surrey, England, 352 pp.
Boyd, C.E., Wood, C.W., & Thunjai, T. 2002a. Aquaculture pond bottom soil quality
management. Pond Dynamics/Aquaculture Collaborative Research Support
Program Oregon State University, Corvallis, Oregon, 41 pp.
Boyd, C.E., Wood, C.W., & Thunjai, T. 2002b. Pond soil characteristics and dynamics
of soil organic matter and nutrients. In McElwee, K., Lewis, K., Nidiffer, M., &
Buitrago, P. (Eds.), Nineteenth Annual Technical Report. Pond
Dynamics/Aquaculture CRSP, Oregon State University, Corvallis, Oregon, p. 1-
10.
Chanratchakool, P., J.F. Turnbull, S. Funge-Smith, and C. Limsuwan. 1995. Health
Management in Shrimp Ponds. Second edition. Aquatic Animal Health Research
Institute, Department of Fisheries, Kasetsart University Campus, Bangkok. 111
pp
Hanafi, A and RB. Badayos. 1989. Evaluation of Brackishwater Fish Pond Productivity
in Bulacan Province, Philipines. J. PBP 5. (1) : 66-76.
Hardjowigeno, Sarwono., Widiatmaka. 2017. Evaluasi Kesesuaian Lahan &
Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 352
hlm. ISBN: 978-979-4206-62-1.
Hossain, M. dan A.K.F. Hoque. 2008. Litter Production and Decomposition in
Mangroves – A Review. Indian Journal of Forestry 31(2): 227 – 238.
Mwaluma, J. 2002. Pen Culture of the Mud Crab Scylla serrata in Mtwapa Mangrove
System, Kenya. Western Indian Ocean J. Mar. Sci. 1(2): 127 – 133.
Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta.
Primavera, J.H. 2006. Overcoming the Impacts of Aquaculture on the Coastal Zone.
Ocean & Coastal Management 49: 531 – 545.
doi:10.1016/j.ocecoaman.2006.06.018
Purwiyanto, A.I.S. dan F. Agustriani. 2014. Effect of Silvofishery on Ponds Nutrient
Levels. Ilmu Kelautan 19(2): 81 – 87.
Radiarta, I N., Saputra, A., & Priono, B. 2005. Identifikasi kelayakan lahan budidaya
ikan dalam keramba jaring apung dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis di
Teluk Pangpang, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(11): 31-
42.
Ratnawati, E. dan Asaad, A, I. 2012. Daya Dukung Lingkungan Tambak di Kecamatan
Pulau Derawan Dan Sambaliung, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau .Sulawesi Selatan.
SNI 01-7246-2006. Produksi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Di Tambak
Dengan Teknologi Intensif. Badan Standarisasi Nasional.
Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak.: PT. Gramedia, Jakarta.
148 hlm.
Suprakto, B., Soemarno, Marsoedi dan D. Arfiati. 2014. Development of Mangrove
Conservation Area Based on Land Suitability and Environmental Carrying
Capacity (Case Study from Probolonggo Coastal Area, East Java, Indonesia).
International Journal of Ecosystem 4(3): 107 – 118. DOI:
10.5923/j.ije.20140403.02
Syaugy, Afwan. Vincentius P. Siregar, dan Risti Endriani Arhatin. 2012. Evaluasi
kesesuaian lahan tambak udang di kecamatan cijulang dan parigi, ciamis, jawa
barat. Jurnal. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. J. Teknologi Perikanan dan Kelautan.
Vol. 3. No. 1 November 2012: hlm 43-56.
Triyanto, N.I. Wijaya, T. Widiyanto, I. Yuniarti, F. Setiawan dan F.S. Lestari. 2012.
Pengembangan Silvofishery Kepiting Bakau (Scylla serrata) dalam Pemanfaatan
Kawasan Mangrove di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar
Nasional Limnologi VI. Pp: 739 – 751
Walters, B.B., P. Ronnback, J.M. Kovacs, B. Crona, S.A. Hussain, R. Badola, J.H.
Primavera, E. Barbier dan F. DahdouhGuebas. 2008. Ethnobiology,
SocioEconomics and Management of Mangrove Forests: A Review. Aquatic
Botany 89: 220–230
WIBISONO, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta: 224 hal.

Anda mungkin juga menyukai