Anda di halaman 1dari 8

Potensi Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tenggara pada zaman penjajahan hingga terbentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara tahun 1952 adalah suatu Afdeling, yaitu Afdeling Boeton Laiwoi dengan pusat Pemerintahannya di Bau-Bau. Afdeling Boeton Laiwui tersebut terdiri dari : Onder Afdeling Boeton; Onder Afdeling Muna; Onder Afdeling Laiwui. Onder Afdeling Kolaka pada waktu itu berada di bawah Afdeling Luwu (Sulawesi Selatan), kemudian dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1952 Sulawesi Tenggara menjadi satu Kabupaten, yaitu Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan ibu Kotanya Bau-Bau. Kabupaten Sulawesi Tenggara itu meliputi wilayah bekas Onder Afdeling Boeton Laiwui serta bekas Onder Afdeling Kolaka dan menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara dengan Pusat Pemerintahannya di Makassar (Ujung Pandang). Selanjutnya dengan UU No. 29 Tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat Kabupaten Daerah Tingkat II, yaitu : Kabupaten Daerah Tingkat II Buton ibukotanya BauBau; Kabupaten Daerah Tingkat II Muna ibukotanya Raha; Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari ibukotanya Kendari; Kabupaten Daerah Tingkat II Kolaka ibukotanya Kolaka. Daerah Sulawesi Tenggara terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan yang cukup luas, mengandung berbagai hasil tambang yaitu aspal dan nikel, maupun sejumlah bahan galian lain. Demikian pula potensi lahan pertanian cukup potensial untuk dikembangkan. Selain itu terdapat pula berbagai hasil hutan berupa rotan, damar, dan berbagai hasil hutan lain. Perekonomian daerah Sultra kental diwarnai tiga sektor utama, yaitu sektor pertanian, sektor

perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasa-jasa. Diantara semua sektor, peranan sektor pertanian terlihat amat besar, mencapai 37,27 persen. Untuk sektor pertanian, daerah ini menghasilkan bahan pangan, tanaman sayur-sayuran, buah-buahan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Produksi bahan pangan yang signifikan adalah padi, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Padi banyak dihasilkan di Kabupaten Muna, Konawe, Wakatobi, Buton, dan Bau-Bau. Produksi jagung terkonsentrasi di Kabupaten Muna. Sedangkan ubi kayu dan ubi jalar banyak dihasilkan dari Kabupaten Buton dan Muna. Jenis Tanaman Pangan yang paling dominan di Kabupaten Konawe Utara adalah padi/beras. Mengenai potensi beras dapat dilihat sebagai berikut : Luas lahan potensial yang dapat diolah adalah 46.982 Ha, lahan yang dapat dijadikan lahan iringasi teknis adalah 46,982 Ha dan baru dimanfaatkan sebesar 865 Ha. Jadi masih terdapat 46.117 Ha yang belum dimanfaatkan. Produksi yang dihasilkan adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedele, kacang hijau dan lain-lain. Sub-sektor perkebunan, lahan potensial yang dapat diolah 257.241 Ha, efektif dikelola sampai dengan tahun 2004 adalah 3.000 Ha untuk perkebunan besar dan 35.121 Ha untuk perkebunan rakyat. Komoditi yang dikembangkan dan dihasilkan adalah : Kakao, Jambu Mete, Kelapa, Kopi, Cengkeh, Lada, Pala, Vanili dan lain-lain. Potensi areal untuk pengembangan ternak kurang lebih 125.100 Ha secara umum belum termanfaatkan dengan baik, terutama untuk ternak besar, sebab pada umumnya masyarakat memelihara ternak besar masih menggunakan halaman pekarangan atau perkebunan kelapa dan mete. Potensi Perikanan baik perikanan laut maupun perikanan darat (Kolam, empang/tambak). Luas perairan laut 578.600 Ha potensi perikanan; hasil Tambak 1.211 Ha; Kolam 12.126 Ha; Perikanan Laut 1.234 Ha; Budi Daya 1.850; Penangkapan 3.936 Ha. Sedangkan luas kawasan hutan adalah 385.195 Ha dengan produksi hasil hutan berupa; Kayu Jati, Kayu Rimba Campuran, Rotan Damar dan Hasil Hutan Rotan. Berbagai daerah di Sulawesi Tenggara juga merupakan daerah penghasil sayur-sayuran. Beberapa produk andalannya adalah kacang panjang, tomat, terung, kangkung, dan sawi. Produksi kacang panjang banyak dihasilkan dari Kabupaten Kolaka, Muna, dan Konawe. Tomat banyak dihasilkan Kabupaten Konawe dan Kolaka. Terung banyak dihasilkan Kabupaten Konawe dan Kolaka. Sedangkan kangkung banyak dihasilkan Kabupaten Konawe dan Kolaka. Sementara itu, sawi banyak dihasilkan Konawe Selatan dan Kolaka. Berbagai jenis buah-buahan diproduksi daerah-daerah di Sulawesi Tenggara. Buah-buahan ini ada yang bersifat sebagai komoditi yang diperdagangkan keluar daerah, tapi ada juga jenis buahbuahan yang lebih bersifat subsisten. Contoh buah diproduksi dalam jumlah besar mangga, jeruk, pisang, durian, dan nangka.

Di Sulawesi Tenggara terdapat usaha perkebunan meskipun dalam skala tidak besar. Diantara jenis perkebunan itu antara lain coklat, jambu mete, kelapa dalam, kopi, lada, sagu, cengkeh, enau, kemiri, dan kelapa hibrida. Letak daerahnya yang memiliki garis panti menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah penghasil ikan laut dan layak dikembangkan sebagai klaster perikanan laut. Beberapa daerah yang cocok dijadikan klaster perikanan laut adalah Buton, Muna, Wakatobe, dan Konawe. Selain perikanan laut, Sulawesi Tenggara juga menghasilkan ikan tambak dan ikan darat. Produksi ikan tambak terkonsentrasi di Kabupaten Kendari. Sedangkan produksi perikanan darat terkonsentrasi di Kabupaten Konawe Selatan. Sulawesi Tenggara juga menghasilkan produk peternakan. Jenis ternak yang dikembangkan terdiri dari ternak besar yaitu Sapi, Kerbau, Kuda, ternak kecil yaitu Kambing, Domba, Babi dan jenis unggas yaitu Ayam kampung, Ayam ras dan Itik manila. Secara umum populasi ternak besar tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 2,33 persen. Dibandingkan tahun 2004 sekitar 5.166 ekor. Populasi ternak kecil mengalami kenaikan 2,44 persen dari 208.740 ekor tahun 2004 menjadi 213.840 ekor tahun 2005. Dari populasi Sapi sebanyak 213.840 Kg yang dipotong hanya sebanyak 20.931 ekor Sapi (9,79 %) dengan produksi daging 4.151.941 Kg. Jenis ternak yang dikembangkan terdiri dari ternak besar yaitu Sapi, Kerbau Kuda, ternak kecil yaitu Kambing, domba, Babi dan jenis unggas yaitu Ayam kampung, Ayam ras dan Itik/itik manila. Klaster peternakan Sapi cocok dikembangkan di Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan. Peternakan Kambing cocok dikembangkan di Kabupaten Konawe dan Kolaka. Peternakan Babi cocok dikembangkan di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, dan Kolaka. Sedangkan peternakan Ayam ras cocok dikembangkan di Kabupaten Kolaka dan Kendari. Sementara ternak Ayam buras cocok dikembangkan di Kabupaten Muna dan Konawe Selatan. Distribusi populasi ternak sapi menurut Kab./Kota adalah 29,48 % terdapat di Kabupaten Konawe Selatan, 25,64 persen; Kabupaten Konawe, 15,93 persen; Kabupaten Kolaka, 14,71 persen Kabupaten Muna, 10,21 persen, Kabupaten Bombana 4,03 persen, dan sisanya tersebar di Buton, Kolaka Utara, Wakatobi, Kota Bau-Bau dan Kota Kendari. Populasi ternak Kerbau tahun 2005 tersebar di Kabupaten/Kota sebanyak 5.150 ekor terdapat di Kolaka, 1.078 ekor; Bombana, 584 ekor; Konawe, 520 ekor; Kolaka Utara, 393 ekor; Konawe Selatan 167 ekor ; Muna, 3 ekor; Buton, 31 ekor. Dari populasi Sapi sebanyak 213.840 Kg yang dipotong hanya sebanyak 20.931 ekor sapi (9,79 %) dengan produksi daging 4.151.941 Kg. Populasi ternak Kuda tahun 2005 mencapai 4.666 ekor. Populasi tersebut tersebar di seluruh

kabupaten/kota kecuali Kab. Buton dan Wakatobi. Kab. Kolaka dan Bombana merupakan daerah ternak Kuda terbesar yaitu mencapai 43,51 persen dan 33,11 persen dari seluruh populasi yang ada. Perkembangan populasi ternak kecil di Sultra tahun 2005 tercatat 34.762 ekor dengan rincian kambing 24,170 ekor, produksi daging 302.095 kg, domba 26 ekor, produksi daging 394 kg dan babi 10.566 ekor dengan produksi daging 581.327 kg. Selanjutnya sektor pariwisata juga merupakan sektor yang berpeluang besar untuk dikembangkan lebih baik di daerah ini. Potensi wisata alam, wisata bahari, agrowisata, dan wisata budaya dapat dikembangkan lebih optimal dengan memanfaatkan kekayaan pemandangan alam di Propinsi Sulawesi Tenggara. Kondisi alam di Sultra yang bergununggunung dan berbukit-bukit, serta garis pantai yang panjang, dengan pulau-pulau dan tanaman laut yang tersebar di wilayah propinsi ini, semuanya itu sangat berpotensi mendatangkan devisa negara. Ditambah latar belakang sejarah dan keanekaragaman seni budaya serta tradisi setempat yang unik dan menarik, semua akan menarik wisatawan, domestik maupun mancanegara. Persoalannya, diperlukan pembenahan dan pemikiran kreatif untuk mewujudkan harapan itu, terutama pembenahan sarana dan prasarana yang masih dirasakan minim, seperti transportasi, penginapan, penjualan souvenir, restouran dan sebagainya. Untuk memajukan potensi pariwisata di Sultra, perlu digalang kerjasama dengan biro perjalanan dan jasa layanan lain, yang dapat memudahkan serta memacu perkembangan sektor pariwisata di propinsi ini. Selain pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pariwisata, perekonomian Sultra juga diwarnai dengan kegiatan perdagangan. Sebagai sarana penunjang berbagai kegiatan ekonomi tersebut, daerah ini tersedia hotel berbagai jenis. Jumlah hotel terbanyak terdapat di Kendari, kemudian diikuti Bau-Bau, Kolaka, Muna, Konawe, Wakatobi, Kolaka Utara, Buton, Bombana, dan Konawe Selatan.

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Kegiatan pengembangan dan pembinaan masyarakat pesisir berdasarkan kebijakan dasar dan kebijakan operasional ini mencakup tujuh program utama yang secara langsung akan memberi dampak bagi masyarakat, diantaranya yaitu: 1. pengembangan dan perumusan kebijakan umum yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. 2. 3. 4. 5. 6. 7. pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat penyusunan dan pengembanagan masyarakat pesisir dan laut pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal rehabilitasi kerusakan dan pengkayaan lingkungan dan sumberdaya pengendalian pencemaran yang besumber dari aktifitas manusia program utama mitigasi bencana alam. Masyarakat pesisir dalam hal ini pencari ikan / nelayan maupun petwani tambak keduanya hidup dalam kelompok, khususnya kelompok kerja. Pada fase awal umumnya kelompok kerja masih sepenuhnya terhimpit dengan kelompok kerja rumah tangga dalam arti bahwa semua pekerjaan dilakukan oleh tenaga kerja keluarga rumah tangga nelayan dan dikelompka sebagai nelayan individual. Setelah usaha berkembang, maka akan

mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga sebagai pekerja tetap (http://id.google.org/ pemanfaatan-sumber-daya,2011). Indonesia mempunyai potensi sektor perikanan yang sangat besar, namun produksinya baru mencapai sekitar 10 juta ton selama tahun 2009. Indonesia berada pada urutan ke-11 dalam daftar negara-negera pengekspor produk perikanan di pasar dunia, dengan nilai ekspor yang diraihnya 1,79 miliar dolar AS. Pangsa pasar ekspor perikanan Indonesia 1,74 persen dari total ekspor dunia. Negara tujuan ekspor produk perikanan Indonesia paling dominan Amerika serikat 29,04 persen, diikuti Jepang 16,90 persen, China 3,66 persen, Hongkong 3,14 persen, Singapura 3,05 persen, Thailand 2,34 persen, Malaysia 2,23 persen, Korea 2,18 persen. Tapi masih ada sekitar 37,46 potensi perikanan yang belum dimanfaatkan. Sekitar 70 persen potensi ikan tangkap atau sekitar 600 ribu ton dari 900 ton total sumber daya ikan tangkap di Sulawesi Selatan belum dimanfaatkan. "Selama ini, baru sekitar 300 ribu ton lebih per tahun yang dimanfaatkan, sehingga potensi ikan tangkap ini masih perlu dioptimalkan. pemanfaatan sumber daya laut tersebut harus tetap mengacu pada peraturan yang ada dan tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai gambaran, untuk pemanfaatan sumber daya laut, kapal tangkap yang diperkenankan di lapangan

maksimal bertonase 30 ton dan ikan yang diangkut maksimal 60 persen dari kapasitas angkutnya (www.antaranews.com,2011)

Masalah-masalah yang di hadapi dalam Pemanfaatan Kekayaan Laut Dengan kekayaan laut yang melimpah ini, sayangnya belum termanfaatkan secara optimal. Sumber daya kelautan yang begitu melimpah ini hanya dipandang sebelah mata, Kalaupun ada kegiataan pemanfaatan sumber daya kelautan, maka dilakukan kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahakan aspek kelestariannya. Bangsa Indonesia kurang siap dalam menghadapi segala konsekuensi jati dirinya sebagai bangsa nusantara atau negara kepulauan terbesar di dunia karena tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan dalam mengelola kekayaannya. Di satu sisi Indonesia memposisikan diri sebagai negara kepulauan dengan kekayaan lautnya yang melimpah, tetapi di sisi lain Indonesia juga memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani yang masih berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan dalam industri modern, negara kita kalah bersaing dengan negara lain. Semua ini berdampak juga terhadap sektor industri kelautan sehingga menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan pemanfaatan kekayaan laut. Diantaranya para nelayan Indonesia masih miskin dan tertinggal dalam perkembangan teknologi kelautan. Kemiskinan dan kemiskinan yang menyelimuti mereka karena sistem yang sangat menekan seperti pembelian perlengkapan untuk menangkap ikan yang masih harus lewat rentenir karena jika melalui Bank, prosesnya yang berbelit-belit dan terlalu birokrasi. Juga dengan produksi industri kelautan yang keadaannya setali tiga uang, terlihat dari rendahnya peranan industri domestik seperti nelayan. Selain itu, banyak nelayan asing yang mencuri ikan di wilayah perairan kita, tiap tahunnya jutaan ton ikan di perairan kita dicuri oleh nelayan asing yang rata-rata peralatan tangkapan ikan mereka jauh lebih canggih dibandingkan para nelayan tradisional kita. Kerugian yang diderita negara kita mencapai Rp 18 trilyun-Rp36 trilyun tiap tahunnya. Hal ini memang kurang bisa dicegah oleh TNI AL sebagai lembaga yang berwenang dalam mengamankan wilayah laut Indonesia, karena seperti kita ketahui keadaan alut sista (alat utama sistem senjata) seperti kapal perang yang dimiliki TNI AL jauh dari mencukupi. Untuk mengamankan seluruh wilayah perairan Indonesia yang mencapai 5,8 km2, TNI AL setidaknya harus memiliki 500 unit kapal perang berbagai jenis. Memang jika kita menengok kembali sejarah, di zaman

Sebenarnya apa yang salah dari pengelolaan laut Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pemanfaatan laut sebagai potensi bangsa yang dahsyat itu terabaikan di antaranya yaitu lemah pengamanan, lemah pengawasan, dan lemah koordinasi dari negara. Sebenarnya Indonesia memiliki Maritime Surveillance System (sistem pengamatan maritim) pada sebuah institusi militer yang domainnya memang laut.

Maritime Surveillance System dititikberatkan pada pembangunan stasiun radar pantai dan pemasangan peralatan surveillance di kapal patroli, untuk kemudian data-data hasil pengamatan dari peralatan yang terpasang tersebut dikirim ke pusat data melalui media komunikasi data tertentu untuk ditampilkan sebagai monitoring dan untuk diolah lebih lanjut. Karena itu, sistem ini lebih cenderung berlaku sebagai alat bantu penegakan keamanan di laut, meski sangat mungkin dikembangkan lebih lanjut sebagai alat bantu pertahanan.

Anda mungkin juga menyukai