Anda di halaman 1dari 21

KONFLIK ANTARA SUKU DAYAK

DAN MADURA DI SAMPIT

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

Disusun Oleh:
 Rany Khoirunnissa Putri
 Rendy Setrisnandi
 Rifzqi Widhiyanto
 Rizaldy Fathoni
 Syahrizki Rafi’ Asy’ari

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PAMULANG
KONFLIK ANTARA SUKU DAYAK
DAN MADURA DI SAMPIT

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

Disusun Oleh:
 Rany Khoirunnissa Putri
 Rendy Setrisnandi
 Rifzqi Widhiyanto
 Rizaldy Fathoni
 Syahrizki Rafi’ Asy’ari

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PAMULANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT. atas


berkah dan rahmatnya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Serta banyak ucapan terima
kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman kami yang telah
memberi banyak semangat sehingga makalah ini dapat terwujud.
Makalah berjudul ‘Konflik Antara Suku Dayak dan Madura di Sampit’
ini diajukan sebagai tugas dalam mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Penulis berharap makalah ini dapat menjadi sumber
pengetahuan dan referensi bagi para pembaca, serta menambah
wawasan mengenai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Penulis
juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, dibutuhkan kritik dan saran
yang membangun agar penulis dapat mengetahui letak kekurangan
yang ada dalam penulisan makalah ini, serta dijadikan sebagai motivasi
untuk kedepannya.

Pamulang, 21 Juni 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
B. Pengertian Hak Asasi Manusia
C. Faktor-faktor Penyebab Konflik Suku Dayak
dan Madura
D. Upaya-upaya yang Dilakukan Agar Kejadian
yang Sama Tidak Terulang Lagi
BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi,


karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga
Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara
Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600
korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan
tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan
oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh
pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk
21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak
puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura
yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan
warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri
komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan
perkebunan.

Dengan adanya latar belakang mengenai permasalahan ini


penulis mengkaji dari materi perkuliahaan hubungan antar suku
bangsa. Dimana konflik yang terjadi antara suku bangsa
Indonesia yakni Dayak dan Madura tidak terjadi dengan semerta-
merta tanpa proses yang panjang. Sehinggga identitas dari
kesukubangsaan Dayak dibangkitkan untuk melakukan
perlawanan terhadap identitas suku bangsa Madura yang
menurut masyarakat asli Kalimantan Tengah yakni Suku Dayak
mendominasi elemen dari kehidupan masyarakat asli.

Dimana adanya penguasaan terhadap sumber daya yang ada


di dalam lingkungan teritorial masyarakat. Ketertinggalan
masyarakat asli terhadap pendatang di Sampit menyebabkan
jatuhnya korban jiwa yang memperlihatkan adanya ketidak-
teraturan dalam hal pembagian sumber daya yang ada di dalam
lingkup teritorial masyarakat Sampit.

B. Rumusan Masalah
a. Apakah faktor yang menjadi penyebab konflik antara suku
Dayak dan Madura?
b. Bagaimana mengatasi konflik yang melibatkan suku Dayak
dan Madura agar tidak terjadi lagi?

C. Tujuan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana pihak


kepolisian mampu mengatasi konflik antar suku bangsa seperti
yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan Teori

Menurut Coser, konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap


tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan
dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan
yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan.

2. Konflik Non-Realistis, konflik yang bukan berasal dari


tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan
untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu
pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf
pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh,
santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju
melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti
ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya
menjadi lawan mereka.

B. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (disingkat HAM, bahasa Inggris: human


rights, bahasa Prancis: droits de l'homme) adalah sebuah
konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa
manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia
adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku
kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga
sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut.
Hak asasi manusia juga tidak dapat dibagi-bagi, saling
berhubungan, dan saling bergantung. Hak asasi manusia
biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain,
negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk
dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang
dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi modern, hak asasi
manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang
berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta
hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses
ke barang publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan
yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan).

C. Faktor-faktor Penyebab Konflik Suku Dayak dan Madura

Permasalahan konflik tidak terlepas dari adanya interaksi


antar suku bangsa didalam penguasaan sumber daya yang ada
di dalam lingkup teritorialnya. Pada awalnya masyarakat
yang berada di Sampit sangat konformitas terhadap
persinggungan budaya. Hal ini dikarenakan tragedi Sampit
yang menjatuhkan korban jiwa yang cukup banyak dari suku
Madura merupakan kompleksitas dari tragedi-tragedi kecil
yang sebelumnya pernah terjadi. Sehingga masyarakat suku
Dayak memberikan label terhadap suku Madura sebagai suku
yang antagonis sehingga atas ketidakberdayaannya melawan
pengaruh-pengaruh penguasaan suku pendatang secara
dominan terhadap suku yang seharusnya menjadi pemilik
teritorial sumber daya dominan yang dilakukan oleh suku
Madura yang menyebabkan kecemburuan secara sosial dan
ekonomi.

Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan


hak asasi manusia, baik langsung maupun tidak langsung.
Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan
selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di
atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak
memiliki izin penambangan, hingga kampung mereka yang
harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari
para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam
hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh
ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat
pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak
menjadi korban kasus-kasus tersebut.

Tidak sedikit kasus pembunuhan orang Dayak (sebagian


besar disebabkan oleh aksi premanisme etnis Madura) yang
merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka
(kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili
oleh aparat penegak hukum.

Etnis Madura yang juga punya latar belakang budaya


kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap
tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai
pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah
larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan
didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah
satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.

Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang


perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu kasar
oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat
Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk
mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak
pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua
suku Madura bersifat seperti ini.

Ada yang mengungkapakan bahwa pertikaian yang sering


terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme
yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah
yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan.
Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang
berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang
Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun
pergi, membuat orang Dayak melihat sang “tamu”-nya selalu
siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata
tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau
berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan dari soal
salah menyabit rumput sampai kasus tanah amat mungkin
persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan
manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala Saat terjadi
pembantaian di Sampit entah bagaimana cara mereka (etnis
Dayak) yang tengah di rasuki kemarahan membedakan suku
Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku
lainnya luput dari “serangan beringas” orang-orang Dayak.

Begitu pula adanya catatan ingatan dari suku asli tentang


perlakuan-perlakuan yang tidak adil terhadap suku asli yang
menyebabkan meningkatnya konformitas dan identitas
kesukuan yang dibangkitkan oleh masyarakat Dayak. Ada
beberapa peristiwa yang menjadi catatan ingatan dari
masyarakat Dayak yang menurut masyarakat dayak adalah
perlakuan yang tidak wajar terhadap masyarakat suku Dayak
antara lain:

1. Tahun 1972 di Palangkaraya, seorang gadis Dayak


diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian
dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat (entah
benar entah tidak pelakunya orang Madura)

2. Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas


seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan
atau penyelesaian secara hukum tidak ada.

3. Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang


warga Kasongan etnis Dayak di bunuh. Perkelahian antara
satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tiga puluh orang
Madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama
Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku
Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan
peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan,
yang kemudian diadakan perdamaian ditandatangani oleh
kedua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila
orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap
untuk keluar dari Kalteng.

4. Tahun 1996, di Palangkaraya, seorang gadis Dayak


diperkosa di gedung bioskop Panala dan dibunuh dengan
kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya
sangat ringan.

5. Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan, orang


Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan
kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua.
Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri
menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang berhasil
dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang
Dayak adalah dihukum berat.

6. Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan


Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati
terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si
belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat
lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu
persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai
dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya
kebetulan lewat di tempat kejadian saja.

7. Tahun 1998, di Palangkaraya, orang Dayak dikeroyok oleh


empat orang Madura hingga meninggal. Pelakunya belum
dapat ditangkap karena melarikan diri. Kasus inipun tidak ada
penyelesaian secara hukum.
8. Tahun 1999, di Palangkaraya, seorang petugas Tibum
(ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di
tahan di Polresta Palangkaraya, namun besok harinya datang
sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut
dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta
Palangkaraya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.

9. Tahun 1999, di Palangkaraya, kembali terjadi seorang


Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena
masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian
tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos,
malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena
dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku
pembunuhan yang melarikan diri itu.

10. Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara,


Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal
dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa
mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas.
Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua
belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.

11. Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman


terhadap suami-istri bernama Iba oleh tiga orang Madura.
Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris
Sylvanus, Palangkaraya. Biaya operasi dan perawatan
ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak
ditangkap, katanya? Sudah pulang ke pulau Madura.
Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah
keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih,
karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di
gelas, mereka membacoknya. Saat istri Iba mau membela,
juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita
mau membalas dendam, tapi salah alamat.

12. Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu


keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku
pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.

13. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 (satu) orang suku Dayak


di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung
Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses
hukum.

14. Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten


Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap Sendung
(nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura,
para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya
sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena
pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikan-
nya (tidak tuntas).

15. Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001), warga


Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura
terlebih dahulu menyerang warga Dayak.

16. Tahun 2001, di Palangkaraya (25 Februari 2001), seorang


warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum
terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak
hidup berdampingan dengan damai dengan suku lainnya di
Kalimantan Tengah, kecuali dengan suku Madura. Kelanjutan
peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah
terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.

Apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap


dalam menghadapi warga Madura? Hampir semua warga dan
tokoh Dayak yang menunjuk perilaku kebanyakan etnis
Madura sebagai penyebabnya. H. Charles Badarudin, seorang
tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga
Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa “di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia mencontohkan
salah satunya dalam soal tanah.

Maka dari itu, terpapar diatas bahwasanya persinggungan


penguasaan sumber daya yang tidak terdistribusi secara
merata dalam persaingan dan kerjasama sebelum meningkat
menjadi konflik juga dipicu karena permasalahan label dari
masyarakat suku Dayak terhadap suku Madura dalam segi
budaya yang menimbulkan etnosentrisme sehingga terjadi
konflik.

Menurut Coser, jika diimplementasikan dalam per-


masalahan konflik antara suku Dayak dan Madura adalah
sebagai berikut:

1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap


tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan
dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan,
dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap
mengecewakan. Terhadap persoalan konflik antara suku
bangsa Dayak dan Madura, yaitu adanya permasalahan
penguasaan sumber daya yang tidak merata dari segi
ekonomi dan lebih menguntungkan suku dayak sebagai
pendatang dengan segala bentuk arogansi menurut suku
asli terhadap penguasaan sumber daya teritorial. Sehingga
dalam bentuk kekecewwaan terhadap perlakuan yang
tidak adil menurut suku dayak tersebut sehingga mereka
membangkitkan identitas kesukubangsaannya untuk
mempertahankan penguasaannya dalam hal teritorial
sumber daya yang ada di wilayah teritorial kekuasaan suku
asli.

Terhadap perlakuan yang ingin memonopoli penguasaan


sumber daya tersebut dilakukan dengan cara memusnahkan
segala sesuatu yang berkaitan dengan suku Madura, karena
batas-batas rasionalitas kemanusiaan sudah tidak lagi menjadi
tolak ukur pada saat konflik. Maka dari itu, ada banyak anak-
anak bayi, perempuan, wanita hamil suku Madura dianggap
menjadi musuh bersama dan dapat menjadi cikal bakal yang
menjadi potesi regenerasi penguasaan sumber daya tersebut.

2. Konflik Non-Realistis, konflik yang bukan berasal dari


tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari
kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari
salah satu pihak.

Dalam hal ini pemerintah sebagai pihak ketiga yang mampu


memfasilitasi sebagala kebuntuan yang membuat masyarakat
berhentik berkonflik agar tidak jatuh korban jiwa berikutnya.
Tetapi permasalahan ini tetap menjadi bahan referensi oleh
suku Dayak walaupun pemerintah sebagai fasilitator untuk
mendamaikan kedua belah pihak dengan peran-peran dari
para tokoh masing-masing suku agar menjaga masyarakatnya
untuk mengatur kembali tatanan-tatanan sosial yang ada di
dalam struktur dan fungsional dari masyarakatnya untuk
meraih sumber daya yang ada dalam lingkup teritorialnya.

D. Upaya-upaya yang Dilakukan Agar Kejadian yang Sama


Tidak Terulang Lagi

Agar kasus serupa tidak terulang lagi, harus dilakukan sebuah


tindakan, seperti menegakkan HAM. Ini menjadi sangat
penting dikarenakan konflik Sampit ini melanggar Hak Asasi
Manusia karena banyaknya orang-orang yang terbunuh dalam
kasus tersebut. Aparat kepolisian dan pemerintah dapat
berperan andil dalam menegakkan HAM, dibantu oleh
masyarakat sekitar. Dapat dilakukan penyuluhan ataupun
memberikan materi Hak Asasi Manusia kepada masyarakat,
termasuk kepada siswa di sekolah.

Selain itu, ada juga upaya-upaya yang harus dilakukan baik


oleh kepolisian maupun pemerintah yakni:

1. Kepolisian

Yang dapat dilakukan oleh kepolisian dalam mengatasi kasus


serupa agar tidak terulang lagi antara lain:

a. Kepolisian harus mampu deteksi dini pada kasus-kasus


yang melibatkan perebutan sumber daya di Sampit dan
bekerja sama dengan Pemerintah Daerah agar dapat mencari
solusi dalam penyelesaian masalah-masalah yang melibatkan
munculnya persinggungan antar kedua suku.

b. Melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh kedua suku


agar kasus ini tidak terulang lagi dan meyakinkan kedua belah
pihak bahwa solusi terbaik terhadap permasalahan perbedaan
antar suku bangsa masih bisa di fasilitasi dengan cara
berkomunikasi untuk mencari problem solving terhadap
permasalahan tersebut.

c. Penegakan hukum secara tegas dan menunjukkan netralitas


aparat kepolisian dalam menciptakan stabilitas keamanan dan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum negara.

2. Pemerintah

Berdasarkan dari analisa kasus yang terjadi diatas, dapat kita


ketahui bahwa ketidaktegasan pemerintah terhadap per-
masalahan lahan dan aturan-aturan yang ada dalam transaksi
ekonomi dan sosial memberikan dampak buruk terhadap
persaingan dalam mencari sumber rezeki masyarakat.
Sehingga peran dari pemerintah adalah membuka ruang-
ruang ekonomi masyarakat yang lebih meluas dan
memberikan keseimbangan diantara kemajemukan
masyarakat terutama antara masyarakat dominan dan
masyarakat mayoritas.

Pemerintah membuat paguyuban bersama antara suku-suku


bangsa yang menjadikan arena komunikasi yang solutif
sebelum terjadinya permasalahan yang melibatkan
permasalahan kesukuan yang tidak menutup kemungkinan
dengan adanya rangkaian sejarah kejadian Sampit
menjadikan tolak ukur yang menimbulkan gab antara suku
Dayak dan Madura.
BAB III

PENUTUP

Permasalahan konflik antara suku Dayak dan Madura adalah


rangkaian panjang dari perjalanan interaksi antara kekuatan-kekuatan
sosial dalam struktur sosial dalam memperebutkan sumber daya yang
ada di Sampit, yang menimbulkan pesaingan dan akibat dari tidak
meratanya pendistribusian sumber daya yang ada akan menyebabkan
konflik. Perbedaan budaya bukan merupakan penyebab konflik, tetapi
bisa menjadi pemicu terjadinya konflik. Maka dari itu pihak kepolisian
dan pemerintah daerah sangat berperan untuk memberikan solusi-solusi
terhadap permasalahan yang ada di masyarakat Sampit.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia

http://panglimatathyadharaka.blogspot.com/2013/03/konflik-antara-
suku-dayak-dan-madura-di.html

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Edisi Ketiga, Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik#cite_note-Lewis_Coser-5

http://mbahkarno.blogspot.com/2012/10/pengertian-etnosentrisme-
dan.html

Republika, Tangisan Bumi Pertiwiku

Parsudi Suparlan, suku bangsa dan hubungan antar – suku bangsa

http://www.mentari.biz/peristiwa-memicu-tragedi-sampit-dayak-vs-
madura.html

http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/teori-konflik-dari-coser-
dahrendorf.html

Anda mungkin juga menyukai