Anda di halaman 1dari 56

ANALISIS WACANA KRITIS

(TEORI DAN PRAKTIK)

Oleh:

Ismail Marzuki, M.Pd.

1
KATA PENGATAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas izin-Nya buku
“Analisis Wacana Kritis (Teori dan Praktik)” dapat diselesaikan. Sholawat dan
salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW semoga kelak di akhirat
mendapatkan syafaatnya. Aamin.
Buku ini membahas tentang analisis wacana kritis yang berasumsi bahwa
bahasa sebagai intrumen kekuasaan. Melalui AWK ini bahasa dilihat tidak
sekedar sebagai alat komunikasi tetapi dibalik bahasa ada ideologi yang ingin
disampaikan kepada pembaca. AWK juga ingin mencairkan ideologi dibalik teks
tentang ketidakberesan sosial. Sehingga melalui AWK ini ada kemungkinan-
kemungkinan yang bisa diungkapkan, seperti ketidakberesan sosial, diskriminasi,
dominasi dan lain sebagainya.
Melalui buku ini harapannya pembaca terutama mahasiswa yang mengambil
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia atau Komunikasi dibekali dalam membaca
suatu teks atau wacana. Wacana harus dilihat sebagai tindakan (praktik sosial),
memiliki konteks (lahir dari sosial budaya), histori (ada peristiwa lain yang
berhubungan), sebagai instrumen kekuasaan, dan ideologi (maksud tertentu yang
diinginkan oleh penulis).
Selain itu juga, melalui buku ini tidak hanya memberikan pemahaman
tentang apa itu teori AWK tetapi mencoba memberikan contoh penerapan AWK
Norman Fairclough. Contoh penerapan AWK dalam buku ini adalah hasil dari
penerapan pada wacana berita. Ini dilakukan karena wacana berita adalah wacana
yang paling sering atau dekat dengan kehidupan kita lebih-lebih di era digital saat
ini. Harapannya adanya pemahaman tentang AWK, kita tidak langsung menerima
berita sebagai suatu kebenaran yang diyakini tetapi perlu dikritisi kebenarannya.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada UNIMUDA Press yang
sudah bersedia menerbitkan buku ini. Tentu buku ini jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan buku
sangat diharapkan penulis.

Sorong, 23 Februari 2021

Ismail Marzuki

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR ............................................................................................... ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. PENGERTIAN DAN PARADIGMA ANALISIS WACANA KRITIS ...... 1
B. TUJUAN ANALISIS WACANA KRITIS (AWK) ..................................... 4
C. PRINSIP ANALISIS WACANA KRITIS ................................................... 5
D. PERBEDAAN ANALISIS WACANA DAN AWK ................................... 7
E. KARAKTERISTIK ANALISIS WACANA KRITIS .................................. 9
1. Tindakan ................................................................................................. 10
2. Konteks ................................................................................................... 10
3. Historis .................................................................................................... 11
4. Kekuasaan ............................................................................................... 11
5. Ideologi ................................................................................................... 14
BAB II. MODEL-MODEL ANALISIS WACANA KRITIS .......................... 17
A. MICHEL FOUCAULT .............................................................................. 17
B. ROGER FOWLER, ROBERT HODGE, GUNTHER KRESS, DAN TONY
TREW (FOWLER dkk) ............................................................................ 18
C. THEO VAN LEEUWEN ........................................................................... 21
D. SARA MILS............................................................................................... 26
E. TEUN A. VAN DIJK ..................................................................................28
F. NORMAN FAIRCLOUGH ........................................................................32
a. Teks……………………………………………………………….34
b. Intertekstualitas ..........................................................................................40
c. Praktik Wacana (Discourse Paractice) ......................................................44
d. Praktik Sosial-Budaya (Sociocultural Practice) ........................................45
BAB III. CONTOH ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN
FAIRCLOUGH ................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 49

iii
TENTANG PENULIS ......................................................................................... 52

iv
BAB I PENDAHULUAN

Istilah analisis wacana atau diskursus banyak digunakan dalam berbagai


literatur, baik yang berhubungan dengan masalah sosial, politik, dan budaya. Di
wilayah sosial, istilah wacana diarahkan pada pemahaman tentang isu-isu yang
berhubungan dengan masalah kehidupan sosial-masyarakat. Mulai dari persoalan
individu, ras, gender, sex, pendidikan, agama, strata sosial dan lain sebagainya,
yang semuanya itu sebagai wacana yang tidak ada habisnya dalam kehidupan
sosial. Di ranah politik, istilah wacana digunakan sebagai alat untuk mengungkap
persoalan kebijakan, keadilan, hukum, dan hal-hal yang bersentuhan dengan
pemerintahan. Begitu juga di ranah budaya, istilah wacana digunakan untuk
membahas persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan kebiasaan-kebiasaan
suatu kelompok dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena itu, istilah wacana-
diskursus tidak bisa dibatasi dalam persoalan teks saja. Namun, istilah wacana
menyangkut semua hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia baik secara
lisan dan tulisan.
Tiga ranah di atas yaitu sosial, politik dan budaya memiliki hubungan yang
sangat erat dan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Di mana ada
manusia saling berinteraksi di situ ada wacana. Wacana digunakan sebagai media
untuk mewujudkan sesuatu yang tadinya bersifat abstrak menjadi konkret. Tentu
setiap wacana yang lahir dari hubungan manusia tersebut tidak lepas dari
pemilihan kata, kalimat, dan paragraf yang digunakan untuk menyampaikan
maksud dan tujuan. Semuanya itu bisa jadi untuk menguasai dan mendapat empati
dari lawan tutur atau bicara. Ini menunjukkan bahwa wacana sebagai peraktik
sosial (Fairclough, 2003) dan menurut Faocault sebagai peraktik kekuasaan.
Penjelasan di atas adalah pandangan umum mengenai wacana atau
diskursus. Ini harus dipahami oleh setiap orang yang akan memasuki teori analisis
wacana kritis atau sering disingkat dengan AWK. Lebih-lebih mempraktikkan
AWK untuk membedah wacana (baik wacana lisan atau wacana tulisan)
Pandangan umum mengenai wacana/diskursus ini harus dipahami oleh setiap
orang yang akan bersentuhan AWK.

A. PENGERTIAN DAN PARADIGMA ANALISIS WACANA KRITIS


AWK merupakan paradigma analisis mutakhir yang dikembangkan oleh
beberapa pemikir kritis. AWK sangat berbeda dengan pendahulunya yaitu
paradigma analisis wacana positivistik dan analisis wacana kontruktivitistik.
AWK ini adalah sebuah metode yang digunakan dalam penelitian-penelitian sosial
di mana tujuan utamanya adalah membongkar ideologi dan kekuasaan yang
mamapan di dalam masyarakat atau sebuah kebudayaan. AWK disepakati menjadi

1
sebuat metode pertama kali disepakati di Amsterdam oleh beberapa tokoh seperti
Routh Wodah, Faucoult, Norman Fairclough, Teuw Van Djik, dan beberapa
pemikir kritis lainnya pada tahun 1991.
Ada beberapa pembeda yang dimiliki oleh AWK dengan analisis wacana
yang lain. Hal ini dilihat dari beberapa pondasi yang digunakan dalam paradigwa
AWK ini. Sebuah bangunan tentu tidak lepas dengan pondasi yang dimiliki. Kuat
tidaknya sebuah bangunan sangat ditentukan oleh pondasi yang dimiliki. Ini sudah
menjadi kerangka berpikir alamiah dan sering digunakan sebagai perumpaan di
setiap bidang untuk memahami setiap hal termasuk dalam paradigma AWK ini.
Nantinya, pondasi inilah menjadi orientasi pemecahan persoalan sosial yang
sudah terkonstruksi dan kokoh dalam sosial budaya. Bahkan dalam paradigma
AWK ini, pondasi-pondasi ini dijadikan sebagai orientasi pemecahan sosial baik
yang tampak sebagai teks (lisan dan tulisan), simbol (gambar visual), dan budaya.
Adapun pondasi-pondasi yang dimaksud yaitu:
1. Setiap pendekatan harus berorientasi pada masalah sosial.
Masalah sosial yang dimaksud adalah masalah yang meliputi sosial itu
sendiri. Mulai dari persoalan bahasa, ekonomi, politik, agama, dan budaya. Di
mana semua persoalan itu memiliki tatanannya sendiri dalam konteks sosial
tertentu. Dalam paradigma AWK semua hal yang meliputi sosial harus
dipandang sebagai objek kajian yang mesti diselesaikan. Dengan kata lain
semua objek yang berhubungan dengan manusia. Masalah sosial yang timbul
dari objek-objek tersebut seperti bahasa, ekonomi, politik, agama, dan budaya
inilah yang harus diselesaikan sampai didapatkanya sebuah kebenaran yang
hakiki.
2. Mendemistifikasi ideologi dan kekuasaan melalui penggunaan bahasa
dan artisitik visual (melalui data semiotika: tulisan, lisan, gambar).
Bahasa dalam paradigma AWK, dipandang sebagai media yang digunakan
oleh seseorang untuk menyalurkan ideologi dan membentuk kekuasaannya.
Di mana dalam praktiknya, bahasa itu dibagung dalam kerangka berpikir
yang kompleks berdasarkan sosial budaya yang melatarinya. Begitu pun
dalam artistik visual harus dilihat sebagai hasil kebudayaan manusia di mana
di dalamnya terdapat maksud tertentu. Maka tidak heran, dalam paradigma
AWK ini digunakan pendekatan semiotik dalam pemecahan-pemecahan
persoalan tersebut-sebagai simbol yang mewakili manusia itu sendiri.
Menggunakan paradigma AWK harus memandang setiap manusia memiliki
seperangkat ideologi dan kompetensi. Sifat manusia yang menghasilkan
sebuah simbol (baik bahasa maupun objek lainya) harus dilihat apakah
memiliki ideologi dan kekuasaan tertentu.
Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan mendefistifikasi? Dasar kata
mistifikasi adalah mistis. Mistis atau mitos adalah sesuatu yang sudah ada

2
atau mapan selama ini diterima sebagai sebuah kebenaran tanpa pernah
mengkritisinya.
Mendemistifikasi adalah lawan dari mistifikasi (mitos sebagai kebenaran).
Mendemistifikasi adalah tindakan yang membongkar ideologi tertentu yang
ada dalam mitos atau objek sosial budaya yang selama ini dianggap benar.
Artinya, objek sosial yang ada dipikirkan ulang atau dikritisi apakah
mengandung ideologi tertentu atau konstruksi kekuasaan yang mapan. Oleh
karena itu, AWK digunakan untuk mendemistifikasi ideologi dan kekuasaan.
3. AWK selalu reflektif dalam proses penelitian
Dalam hal ini kita harus mengembalikan pada pondasi pertama dan kedua
dimana menusia selalu memiliki masalah dalam tanda petik “manusia
menjadi korban dari ideologi dan kekuasaan tertentu”. Maka dalam proses
penelitiannya, kaidah-kaidah yang ditemukan harus menjadi solusi atau
reflektif. Hasil yang diharapkan menjadi pengetahuan baru tentang apa yang
selama ini menjadi mitos atau hal yang dianggap benar. Pemikiran seperti ini
berangkat dari sebuah keyakinan kritis “apa yang kita yakini selama ini benar
sering kali salah” Pemikiran seperti ini harus dimiliki oleh peneliti AWK
yang mendudukkan setiap objek sosial dan kebudayaan yang mapan harus
dipikirkan ulang untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
Yang dimaksud objek kebudayaan di sini adalah semua hasil dari cipta karsa
manusia mulai dari bahasa, benda, regulasi, gambar dan berbagai hal yang
dihasilkan oleh manusia. Semua itu tidak lepas dari ideologi si pembuat dan
apakah menguntungkan pembuat (menguasai) atau merugikan orang lain
(korban).
Reflektif dalam artian memiliki solusi untuk memecahkan mitos yang selama
ini dianggap benar dalam tatanan sosial budaya. Praktik-praktik sosial yang
ada tentu tidak lepas dari apa yang dimaksud dengan ideologi dan kekuasaan.
Tiga pondasi ini tidak ditemukan dalam paradigma wacana yang lain seperti
paradigma positivistik dan kontruktivistik. Di mana dua paradigma tersebut masih
pada ranah struktur bahasa (linguistik), membongkar makna dari penggunaan
bahasa atau suatu objek. Tidak sampai masuk ke dalam wilayah yang lebih dalam.
Seperti dalam penggunaan bahasa yaitu apa ideologi yang disalurkan?, apakah
penggunaan bahasa membentuk kekuasaan?, dan sosial budaya apa yang melatari
penggunaan bahasa tersebut?
Paradigma AWK sesuai dengan namanya yaitu mengkritisi. Kita tidak
sekedar memberikan makna pada penggunaan bahasa atau objek tertentu tetapi
bagaimana subjek-subjek atau manusia itu berperan memberikan makna pada
bahasa atau objek tertentu. Ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia yang
satu dengan yang lain, atau individu yang satu dengan individu yang lain adalah
unik-sehingga melalui AWK mencoba membongkar ideologi yang digunakan

3
setiap individu dalam memperoduksi dan memberikan pemaknaan pada objek
yang sedang dikaji.

B. TUJUAN ANALISIS WACANA KRITIS (AWK)


Paradigma kritis ini tentu tidak lepas dari tujuan yang ingin dicapai. Sebuah
paradigma sebagai suatu pendekatan harus mampu memecahkan persoalan
manusia, di mana semuanya diorientasikan pada pemecahan-pemecahan masalah
manusia. Paradigma kritis ini berangkat dari lemahnya paradigma analisis wacana
sebelumnya, di mana hanya memberikan pemaknaan teks saja dan tidak sampai
pada peran manusia dalam memberikan pemaknaan pada suatu objek.
Masalah-masalah ketidakadilan, ketidaksetaraan, dominasi, dan diskriminasi
tidak ada habisnya dalam kehidupan sosial budaya dan terus dipraktikkan. Melalui
paradigma AWK ini diharapkan mampu membongkar masalah-masalah tersebut.
Tujuan utama dari AWK adalah membongkar ketidakadilan, ketidaksetaraan,
dominasi, dan diskriminasi. Sehingga AWK tidak sekedar sebagai seperangkat
teori untuk dipahami saja, tetapi bisa menjadi seperangkat kesadaran atas realitas
yang umumnya dipraktikkan dan dibuat dengan tujuan atau ideologi tertentu.
Praktik ketidakadilan banyak kita temukan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Di mana aturan dan regulasi hanya diperuntukkan kepada
orang atau kelompok tertentu. Melalui AWK diharapkan mampu menemukan dan
melihat ideologi yang digunakan, siapa yang diuntungkan?, dan siapa yang
dirugikan? Minimal yang dihasilkan adalah seperangkat pengetahuan tentang
praktik ketidakadilan yang selama ini mapan di masyarakat.
Ketidaksetaraan juga menjadi kegelisahan yang harus dipecahkan. Ini sering
dikolokasikan pada pemaknaan terhadap hubungan antara individu yang satu
dengan individu yang lain atau hubungan laki-laki dan perempuan dalam tatanan
sosial tertentu. Mulai dari urusan rumah tangga, perkantoran, politik dan lain
sebagainya. Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah perbedaan hak yang diterima
oleh individu dalam satu sistem, di mana antara individu yang satu dengan yang
lain berjalan bersama. Seperti dalam pemberian upah, perlakuan, tindakan, dan
lain sebagainya. Untuk itu, melalui paradigma AWK ini berusaha memecahkan
persoalan tersebut agar tidak terjadi jarak yang begitu jauh antara individu yang
satu dengan individu yang lain dalam suatu sistem sosial.
Selain itu, dominasi menjadi persoalan yang tidak habis dibicarakan dalam
hubungan manusia dengan manusia yang lain. Praktik dominasi dilakukan dengan
cara nyata dan tidak nyata. Seiring perkembangan zaman dominasi tidak lagi
dilakukan melalui lembaga kemasyarakatan, seperti pemerintah, lembaga adat dan
lembaga-lembaga lainnya. Dominasi sekarang ini banyak dilakukan melalui media
massa dan media sosial. Di media massa berita atau informasi dikemas
sedemikian rupa dengan tujuan mencerahkan masalah atau memperkeruh masalah.

4
Di media sosial dibuat sebuah kelompok yang disebut dengan buzzer media.
Tujuan pembuatan kelompok ini untuk mendukung ideologi orang atau kelompok
tertentu. Bahkan sering kita dengar istilah pengalihan isu dalam pemberitaan. Ini
dilakukan untuk menguasai khalayak agar lupa dengan situasi tertentu.
Praktik diskriminasi juga menjadi persoalan yang tidak ada habisnya. Di
mana berbagai kejadian yang menunjukkan kesan diskriminatif. Diskriminasi
terjadi apabila terjadi antara dua orang atau dua kelompok saling menjatuhkan.
Wujud diskriminasi yang sering kita temukan adalah permasalahan rasisme.
Dengan menggunakan AWK praktik diskriminasi bisa diangkat ke permukaan
untuk disadari sebagai hal yang tidak baik. Kenyataan di sosial masyarakat praktik
diskriminasi atau bias-bias diskriminasi masih kokoh. Misalnya, seorang guru di
suatu kelas belajar memberikan perhatian dan perlakuan yang berbeda. Baik
dalam masalah komunikasi (saat menyapa/memberikan perintah) atau tindakan-
tindakan tertentu. Lebih-lebih antara guru dan anak pejabat tersebut tinggal di
tempat sosial yang sama. Pembedaan warna kulit, keturunan, marga, tingkat
ekonomi, pendidikan dan tingkatan lainnya masih berdiri kokoh sebagai
instrumen pembanding antara manusia yang satu dengan manusia yang lain atau
individu dengan individu yang lain.
AWK harus menjadi metode yang bisa memecahkan persoalan manusia
yang begitu kompleks. Sehingga dalam praktik penelitiannya harus mengarah
pada refleksi sosial. Sampai pada akhirnya, kita mendapatkan cara pandang yang
lebih maju, humanis, dan demokratis.

C. PRINSIP ANALISIS WACANA KRITIS


Ada beberapa prinsip yang harus kita perhatikan bila sudah bersentuhan
dengaan AWK. Prinsip ini bertujuan untuk mengetengahkan perbedaan antara
praktik analisis yang diterapkan menggunakan paradigma kontruktivistik dan
positivitik. Bagi para peneliti, prinsip ini harus dipahami dengan baik, sehingga
tujuan yang diharapkan bisa didapatkan dengan maksimal. Berikut beberapa
prinsip AWK yang harus dipahami oleh para peneliti bahasa:
1. Prinsip Pemahaman teks dan Konteks
Seorang peneliti harus memahami apa itu teks dan konteks. Teks dalam arti
umum adalah objek yang di dalamnya mengandung unsur bahasa baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan. Teks atau objek harus merupakan data yang
diambil dari realitas. Seperti, video yang merekam suatu peristiwa, teks dalam
media massa, karya sastra, dan objek lain yang di dalamnya mengandung
unsur bahasa. Teks harus dibiarkan apa adanya atau belum diedit agar dapat
dipelajari apa adanya. Seorang peneliti harus memastikan keaslian data yang

5
akan dikritisi. Jangan sampai mengambil data yang sudah terkontaminasi
dengan pemikiran tertentu atau diedit. Karena itu akan menghilangkan esensi
makan yang dikandung. Bisa saja, teks yang sudah mengalami proses edit
akan berganti makna karena sudah ada ideologi lain yang mempengaruhinya.
Sumber primer harus menjadi objek utama kajian dalam AWK.
Adapun konteks adalah semua hal yang meliputi teks tersebut. Konteks dalam
hal ini adalah setting, partisipan, peran komunikatif dan sosial, pengetahuan
sosial yang relevan, norma, nilai, struktur institusi, dan organisasi. Semakin
tinggi pemahaman seseorang akan konteks yang melatari teks tersebut maka
semakin paham ia akan ideologi yang terkandung dalam teks tersebut.
Konteks harus dilihat sebagai kesadaran atas sesuatu yang mempengaruhi
terciptanya sebuah teks. Hal ini harus dipertanyakan secara berulang dalam
memahami teks secara kritis. Siapa pembuatnya? Siapa partisipannya? Norma
apa yang dibela dan didukung? Dan lain sebagainya. Tanpa adanya
pemahaman atas konteks, maka analisis yang dilakukan akan terasa hambar
dan biasa. Oleh karena itu, hal yang paling penting dilakukan oleh peneliti
adalah memastikan apakah sudah paham teks dan konteksnya.
2. Prinsip Keberurutan dan Intertektualitas
Prinsip kedua ini lebih mengarah pada urutan teks yang akan dijadikan objek
kajiannya. Apakah teks teks tersebut merupakan produksi pertama atau punya
hubungan urutan dengan teks sebelumnya. Seorang peneliti harus
memastikan linieralitas teksnya, baik dalam produksi maupun pemahaman
wacana (teks antar teks). Bersifat linier artinya antara teks yang satu dengan
teks yang lain saling berhubungan tentang peristiwa atau kejadian yang
menjadi persoalan utama teks. Sedangkan apa yang dimaksud dengan
pemahaman wacana adalah teks yang satu memiliki hubungan makna yang
saling menunjang. Seperti, pengarang yang sama atau isi yang sama meski
dibuat dengan bahasa yang berbeda.
Adapun yang dimaksud dengan intertektualitas adalah bentuk kehadiran
unsur-unsur dari teks lain dalam suatu teks yang bisa berwujud kutipan, acuan
atau isi. Dalam hal ini, peneliti harus memastikan kemunculan ini tidak terjadi
secara alami, tetapi lebih pada usaha untuk meyakinkan seseorang. Misalnya,
pada penggunaan partisipan. Si pembuat teks tidak mungkin menggunakan
pernyataan seorang petani jika teks tersebut membahas tentang hukum. Si
pembuat teks pasti menggunakan ahli hukum atau hal lain yang menyangkut
hukum. Ini adalah logika sederhana, di mana seseorang akan menggunakan
hal lain (fakta pendukung) untuk meyakinkan semua orang. Sehingga apa
yang ditulis sebagai suatu yang bisa diterima atau kebenaran.
3. Prinsip Konstruksi dan Strategi

6
Seperti pernyataan Fairclough, bahwa awacana adalah praktik sosial. Untuk
itu, sebuah teks tidak lepat dengan proses konstruksi dan penggunaan strategi
kebahasaan tertentu. Wacana adalah hasil kontruksi yang dilakukan oleh
penulisnya. Sebuah teks dikonstruksi dari pembendaharaan kata (pilihan
kata), metafora, dan unsur-unsur bahasa lain yang membentuk makna. Karena
wacana sebagai hasil dari kontruksi, maka tentu tidak lepas dari nilai-nilai
yang ada di sosial tempat diproduksinya teks. Sehingga ini juga akan
mempengaruhi pemilihan kata atau unsur bahasa lain sampai terbentuknya
apa yang dinamakan teks.
Adapun yang di maksud strategi di sini adalah lebih pada penggunaan bahasa
atau pemilihan bahasa. Dengan menentukan gaya bahasa tertentu, maka
makna yang akan diterima oleh pendengan atau pengonsumsi teks akan sesuai
dengan harapan si penulis atau pembicara. Misalanya, dengan memilih
bahasa yang ringan dan sederhana, makna sesbuah teks akan mudah juga
dipahami oleh pembaca. Cara ini dilakukan bergantung pada tujuan yang
ingin dicapai oleh penulis. Semua ini dilakukan agar orang mau melakukan
tindakan tertentu. Ini tidak lepas dari fungsi bahasa sebagai alat
mempengaruhi.
4. Prinsip Interdiskursivitas (Multiwacana)
Setiap teks mengandung gaya atau genrenya. Teks sastra mungkin akan lebih
bebas pemilihan bahasanya dibandingkan dengan teks bergenre berita,
begitupun teks lain. Suatu teks pada prinsipnya mengandung banyak wacana,
bergantung pada genre dan gayanya. Genre mengaru pada bentuk wacana,
seperti laporan, berita, novel, iklan, future, puisi, tajuk rencana, opini, dan
lain sebagainya. Sedangkan gaya (style) mengacu pada cara penutur/penulis
menggunakan bahasa. Seperti bertujuan untuk melaporkan, menghasut,
mempengaruhi, memprovokasi, menceritakan dan lain sebagainya. Misalnya,
berita tentang Palestina, di dalamnya bisa jadi berisi atau memiliki tujuan
yang berbeda-untuk (meyakinkan, mempengaruhi, membenarkan) dan
makna-makna lain di dalamnya. Oleh karena itu, seorang peneliti harus
mengantisipasi maksud-maksud yang lain dalam acuan yang sama
mendapatkan sebutan yang berbeda (multi wacana).

D. PERBEDAAN ANALISIS WACANA DAN AWK


Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak ilmu
dan dengan berbagai pengertian. Paling tidak ada tiga pandangan mengenai
bahasa dalam analisis wacana. Pertama, pandangan positivisme-empiris, penganut
aliran ini, bahasa dipandang dan dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan
objek di luar dirinya. Kedua, pandangan kontruktivisme, pandangan ini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi dengan kata lain aliran ini menolak

7
pandangan eperisme/positivisme. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur
dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Oleh karena itu,
analisis wacana menurut pandangan kedua ini adalah sebagai suatu analisis untuk
membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu, karena wacana adalah
suatu upaya pengungkapan suatu pernyataan.
Ketiga, pandangan kritis yaitu pandangan yang ingin mengoreksi pandangan
konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna
yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis wacana dalam
paradigma ini menekankan pada konstelasi (bangunan) kekuatan yang terjadi pada
proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek
yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena
sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat. Menurut Eryanto (2001:6) bahasa dalam paradigma kritis dipahami
sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema
tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Dengan demikian, analisis wacana
kritis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa;
batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti
dipakai, dan topik apa yang dibicarakan.
Pendekatan kritis memandang bahasa selalu terlibat dalam hubungan
kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek serta berbagai tindakan represetasi
yang terdapat dalam masyarakat. Pendekatan kritis menganalisis bahasa tidak saja
dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks
yang dimaksud adalah tujuan dan praktik tertentu.
Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik-
kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam
moderenitas terkini (Jorgensen dan Phillips, 2010:116). Hal ini terbukti dari
banyaknya penelitian di bidang wacana kritis telah mencakup pada bidang analisis
organisasi, pedagogi, rasisme, komunikasi masa, nasionalisme, identitas, dan
ekonomi. Jadi, analisis wacana kritis tidak hanya berkutat pada bidang kebahasaan
saja, tetapi mampu menjawab pada dimensi-dimensi fenomena lain.
Bagi analisis wacana kritis, wacana merupakan bentuk praktik sosial yang
menyusun dunia dan disusun oleh praktik-praktik sosial yang lain. Sebagai praktik
sosial, wacana berada dalam hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial
yang lain. Wacana tidak hanya memberikan kontribusi pada pembentukan dan
pembentukan kembali struktur sosial, namun merefleksikan pembentukan dan
pembentukan kembali struktur sosial tersebut (Jorgensen dan Phillips, 2010:117).
Artinya wacana mampu memberikan bentuk yang terkondisi melalui refleksi-
refleksi yang diuraikan melalui bahasa secara terorganisir. Hal ini senada dengan
pendapat Faiclough tentang bahasa sebagai bagian dari masyarakat atau fenomena
sosial. Bahasa dikatakan sebagai fenomena sosial, karena dimanapun orang

8
berbicara, mendengar, menulis atau membaca, mereka melakukan dengan cara-
cara yang bergantung pada kognisi sosial dan juga mempunyai efek sosial
(Fairclough, 2003:25).
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa, analisis wacana kritis
merupakan suatu kajian secara mendalam yang berusaha mengungkap kegiatan,
pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana.

E. KARAKTERISTIK ANALISIS WACANA KRITIS


Dalam wacana kritis, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai studi
bahasa. Walaupun pada dasarnya wacana menggunakan bahasa dalam teks untuk
dianalisis. Akan tetapi bahasa yang dianalisis relatif berbeda dengan studi bahasa
pada pengertian linguistik tradisional. Dalam hal ini Eryanto (2003:28)
menyatakan bahwa, bahasa yang dianalisis bukan digambarkan semata-mata dari
aspek kebahasaan, melainkan juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks
yang dimaksud digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di
dalamnya praktik kekuasaan untuk memarjinalkan individu atau kelompok
tertentu.
Menurut Fairclough dan Wodak (dalam Eryanto, 2003:8), analisis wacana
kritis melihat wacana-pemakaian bahasa dalam tuturan dan lisan sebagai bentuk
dari praktik sosial. Artinya wacana bukan dilihat sebagai bentuk teks yang hanya
menampakkan struktur bahasa, melainkan mengandung sebuah ideologi dari
praktik sosial yang menghadirkan wacana tersebut. Dalam menggambarkan
wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara
peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang
membentuk wacana tersebut.
Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting yakni
bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam
masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa bahasa memang tidak bisa dipisahkan
dari masyarakat. Dimana ada masyarakat di situ pula ada bahasa. Melalaui bahasa
tersebut tersirat adanya kepentingan dan kekuasaan yang dapat merugikan dan
memarjinalkan pihak lain. Seperti yang diungkapkan oleh Fairclough, analisis
wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada
saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini disajikan
karakteristik penting dari analisis wacana kritis. Dengan memahami karakteristik
ini, kita akan memahami sesuatu (ideologi) di dalam diskursus atau di balik
diskursus.
Dalam menganalisis wacana perlu dipahami terlebih dahulu adalah
karakteristik dari analisis wacana kritis. Dengan memahami karakteristik analisis
wacana kritis dapat memudahkan penganalisis dalam memahami ideologi atau
maksud yang dikandung di dalam diskursus atau di balik diskursus. Dengan

9
memahami karakteristik ini, kita akan mengetahui perbedaan AWK dengan kajian
wacana biasa atau kajian analisis bahasa lain, seperti semiotika, pragmatik dan
lain sebagainya. Ada lima karakteristik dari analisis wacana kritis yaitu (1)
tindakan, (2) konteks, (3) historis, (4) kekuasaan, dan (5) ideologi. Karakteristik
ini sendiri sebagai pembeda dengan analisis lain.
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai bentuk tindakan (action). Dengan pemahaman
semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana
ditempatkan seperti ruang tertutup dan internal. Menurut Eriyanto (2003:8) orang
berbicara atau menulis bukan ditafsirkan sebagai ia menulis atau berbicara untuk
dirinya sendiri, akan tetapi seseorang berbicara, menulis, dan menggunakan
bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain sebagai bentuk
tindakan.
Berdasarkan uraian tersebut, ada konsekuensi bagaimana wacana harus
dipandang. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk
mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi dan sebagainya.
Artinya seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu. Wacana
dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan, secara sadar, terkontrol, bukan
sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran. Jika ada orang
mengigau pada saat tidur atau terhipnotis itu bukan wacana, karena bahasa yang
diucapkan atau yang ditulis tidak terjadi secara sadar atau terkontrol.
2. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti
latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang sebagai suatu yang
diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu (Eriyanto.
2003:8). Analisis wacana juga memeriksa konteks dari aspek komunikasi. Artinya
siapa yang mengomunikasikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak
dan situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari
perkembangan komunikasi, dan bagaimana hubungan dari setiap masing-masing
pihak.
Titik tolak dari analisis wacana di sini adalah bahasa tidak bisa dimengerti
sebagai mekanisme internal bahasa semata atau bukan suatu objek yang diisolasi
dalam ruangan yang tertutup, tetapi bahasa di sini dipahami dalam konteks secara
keseluruhan termasuk unsur-unsur eksternal wacana, seperti sosial, politik dan
budaya yang mengitari wacana tersebut. Wacana di sini dimaknai sebagai teks dan
konteks bersama-sama dalam suatu komunikasi. Hal tersebut, dibutuhkan tidak
hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya
yang dibawa dalam teks. Wujud wacana berupa teks selalu memasukkan konteks,
karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi
tanpa partisipan, interaksi, situasi dan sebagainya.

10
Wacana tidak dianggap sebagai wilayah yang konstan, terjadi di mana saja
dan kapan saja, dalam situasi apa saja. Wacana dibentuk sehingga harus
ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus. Wacana kritis mendefinisikan
teks dan percakapan pada situasi tertentu; wacana berada dalam situasi sosial
tertentu (Eriyanto, 2003:10). Ini menunjukkan bahwa, wacana ada atau tercipta
berdasarkan suatu kondisi, di mana kondisi tertentu melahirkan bentuk wacana
tertentu.
Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya
yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks
yang dimaksudkan dalam teks. Kaitannya dengan penelitian ini yang menganalisis
teks perseteruan antara KPK dengan Polri yang termuat dalam surat kabar harian
Kompas akan memasukkan konteks-konteks yang diperlukan saja, seperti konteks
situasi yang melatarbelakangi perseteruan dan kondisi percaturan perpolitikan di
Indonesia, serta konteks yang melatari produksi wacana berita perseteruan. Hal
tersebut bisa dipahami dari intertekstualitas yang ditampilkan oleh
wartawan/media dalam pemberitaan.
Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi
wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis
kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, regulasi politik, dalam
banyak hal relevan menggambarkan wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti
tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah
konteks yang berguna untuk mengerti atau memahami wacana. Misalnya,
permbicaraan di lingkungan kuliah berbeda dengan di jalan, pembicaraan di
kantor berbeda dengan pembicaraan di kantin. Oleh karena itu, wacana harus
dipahami dan ditafsirkan berdasarkan kondisi dan lingkungan sosial yang
mendasarinya.
3. Historis
Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana
diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan
konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks
adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu (Eriyanto,
2003:11). Misalnya sesuai dengan obyek penelitian ini tentang perseteruan antara
KPK dengan Polri. Pemahaman mengenai wacana berita tersebut, hanya diperoleh
jika bisa memahami konteks historis di mana wacana berita itu diciptakan.
Bagaimana situasi sosial politik dan suasana pada saat terjadinya perseteruan saat
itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti
mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa
bahasa yang dipakai seperti itu dan seterusnya tidaklah lepas dengan konteks
historis yang melatari berita tersebut.
4. Kekuasaan

11
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power)
dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan
atau apapun itu, tidak dipandang sebagai suatu yang alamiah, wajar, dan netral
tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan (Eriyanto, 2003:11). Diskursus
atau wacana biasanya dijadikan sebagai tempat di mana hubungan-hubungan
kekuasaan benar-benar dijalankan dan diperankan (Fairclough, 2003:49). Hal ini
menandakan bahwa bahasa digunakan untuk menyalurkan ideologi kekuasaan
melalui propaganda-propagandanya dalam mempertahankan atau meraih
kekuasaan.
Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan
masyarakat, seperti kekuasaan laki-laki kepada perempuan dalam wacana
mengenai seksisme, kekuasaan orang kulit putih terhadap kulit hitam, kekuasaan
perusahaan berbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan, dan
sebagainya. Pemakaian bahasa bukan hanya pembicara, penulis, pendengar, atau
pembaca, bahasa juga bagian dari anggota kategori sosial tertentu, bagian dari
kelompok profesional, agama, komunitas, atau masyarakat tertentu. Hubungan
yang terjadi antara KPK dengan Polri dalam pemberitaan bukan hanya berstatus
sebagai penegak hukum saja, tatapi menampakkan kekuatan alasan hukum dalam
berita perseteruan. Hal tersebut mengimplikasikan analisis wacana kritis tidak
membatasi dirinya pada detail teks atau struktur wacana saja, tetapi juga
menghubungkannya dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan
budaya yang ada.
Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa
yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang atau
mengontrol kelompok lain lewat wacana. Kontrol yang dimaksudkan di sini
tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara
mental atau pisikis (Eriyanto, 2003:12). Dalam suatu kasus, kelompok yang
dominan mungkin membuat kelompok lain bertindak seperti yang diinginkan
olehnya, berbicara dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Yang menjadi
pertanyaan kita sekarang adalah, kenapa hanya bisa dilakukan oleh kelompok
dominan? Karena, mereka lebih mempunyai akses dibandingkan dengan
kelompok yang tidak dominan. Kelompok dominan lebih mempunyai akses
seperti pengetahuan, uang, dan pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang
tidak dominan. Oleh karena itu, semakin besar akses yang dimiliki maka semakin
besar peluangnya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan
Menurut Fairclough (2003:49) kekuasaan baik yang berada di dalam
maupun di balik diskursus tidak akan pernah secara jelas dibentuk oleh seseorang
atau suatu kelompok sosial, karena kekuasaan hanya dapat dimenangkan dan
dijalankan melalui pertentangan-pertentangan sosial di mana kekuasaan itu sendiri
mungkin saja sirna. Pertentangan yang terjadi antara KPK dengan Polri dalam

12
pemberitaan sudah barang tentu menunjukkan kekuatan atau kekusaan masing-
masing. Mengenai kekuasaan dalam diskursus, Fairclough membagi kekuasaan
dalam tiga bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan dalam diskursus lisan, kekuasaan
lintas budaya, dan kekuasaan tersembunyi dalam media massa. Berkenaan dengan
kajian penelitian ini terfokus pada bentuk kekuasaan tersembuyi dalam media
massa.
Dalam lapangan berita, banyak ditemukan, pemilik atau politisi yang
posisinya kuat menentukan sumber mana atau bagian mana yang harus diliput dan
sumber mana atau bagian mana yang tidak perlu atau bahkan dilarang untuk
diberitakan. Selain konteks, kontrol tersebut juga diwujudkan dalam bentuk
mengontrol struktur wacana. Seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan
bukan hanya menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan dan mana yang
tidak perlu ditampilkan, tetapi juga bagaimana berita itu harus ditampilkan. Hal
ini dapat diamati atau dilihat dari penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu.
Menurut Thomas dan Wareing (2007:19) kekuasaan seringkali ditunjukkan lewat
bahasa, dan bahkan kekuasaan juga diterapkan atau dijalankan lewat bahasa. Oleh
karena itu, kekuasaan seringkali diwujudkan melalui bahasa yang bertujuan untuk
mendominasi melalui penonjolan kata-kata tertentu.
Kekuasaan adalah sebuah proses penciptaan, perawatan, dan reproduksi
makna dan praktik yang menguasai kehidupan masyarakat secara bawah sadar.
kekuasaan akan berakibat kepada situasi dimana sesuatu kelompok yang berkuasa
menggunakan wewenang, otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelompok-
kelompok subordinat lewat kemenangan konsensus, tanpa harus melalui ancaman
fisik (Santoso, 2012:60). Fairclough mengeksplorasi beragam dimensi hubungan
antara kekuasaan dan bahasa, akan tetapi ia memfokuskan diri pada dua aspek
pokok yakni hubungan kekuasaan bahasa dalam wacana dan kekuasaan di balik
wacana (Fairclough, 2003:49). Kekuasaan dalam wacana membahas wacana
sebagai suatu tempat dimana hubungan-hubungan kekuasaan yang benar-benar
dijalankan dan diperankan, dalam hal ini biasanya terjadi dalam wacana lisan
‘berhadapan muka (face-to face), kekuasaan dalam wacana ‘lintas budaya’ dimana
para partisipan berasal dari kelompok-kelompok etnis yang berbeda, dan
kekuasaan tersembunyi wacana media massa. Adapun kekuasaan di balik wacana
lebih mengarah pada bagaimana tatanan wacana, sebagai dimensi tatanan sosial
dari institusi-institusi sosial maupun masyarakat, dipertajam dan diberi suatu
kekuasaan oleh hubungan-hubungan kekuasaan yakni sebuah proses.
Kekuasaan dalam media seringkali memperlihatkan adanya pihak yang
berkuasa dan pihak yang termarjinal. Seperti yang sudah banyak dikaji oleh
beberapa peneliti yang menemukan aktor perempuan seringkali termarjinal dalam
wacana media. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh proses produksi wacana media
yang tidak menepatkan perempuan pada porosnya. Artinya dapat dikatakan bahwa

13
produsen menerapkan kekuasaan pada para konsumen karena merekalah satu-
satunya memiliki hak-hak untuk memproduksi (Fairclough, 2003:57). Pihak
produsen dapat menentukan apa yang akan dimasukkan dan akan dibuang,
bagaimana peristiwa-peristiwa yang disajikan, dan (seperti sering kita lihat)
mereka bahkan juga mencantumkan posisi-posisi subyek partisipan-partisipan
mereka seperti contoh yang disebutkan di atas yakni selalu menempatkan posisi
perempuan pada posisi yang termarjinalkan. Kekuasaan seperti ini disebut juga
dengan kekuasaan yang tersembunyi di balik wacana, dikarenakan semua
produsen wacana harus memproduksi dengan sejumlah interpretasi dalam pikiran,
apa yang dilakukan oleh produsen media adalah memfokuskan diri pada subyek
yang ideal baik itu pendengarnya, penontonnya maupun pembacanya. Sehingga
secara tidak sadar sering kali pihak pembaca mudah dikuasai.
5. Ideologi
Masalah ideologi juga merupakan konsep yang sentral dalam analisis
wacana yang bersifat kritis. Dalam hal ini, karena teks, percakapan atau yang
lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi
tertentu (Eriyanto, 2003:13). Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya
mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan
tujuan untuk memproduksi dan meligitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi
yang biasa digunakan adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa
dominasi itu diterima secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan
semacam ini dipandang sebagai medium terhadap kelompok yang dominan
mempersuasi dan mengomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan
dominasi yang mereka miliki tampak begitu benar.
Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada
kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal
tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Ideologi dimaksudkan untuk mengatur
masalah tindakan dan praktik individu atau kelompok. Ideologi membuat anggota
dari suatu kelompok bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan
masalah mereka, dan memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dan
kohesi di dalam kelompok.
Dalam perspektif tersebut, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting
yaitu: Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau
individual; ia membutuhkan hubungan (share) di antara kelompok, organisasi atau
kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-share tersebut bertujuan untuk
membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap.
Misalnya, kelompok yang mempunyai feminis, antirasis, dan pro lingkungan.
Masing-masing kelompok tersebut membutuhkan share untuk membentuk
solidaritas dan kesatuan langkahnya.

14
Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal
diantara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya
menyediakan fungsi koordinasi dan kohesi, tetapi juga membentuk identitas diri
kelompok, membedakan kelompok lain. Ideologi yang dimaksudkan di sini
bersifat abstrak, umum, dan nilai-nilai terbagi antaranggota kelompok
menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan
semacam ini, wacana tidak dipahami sebagai suatu yang netral dan berlangsung
secara alamiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk
mendominasi dan berebut pengaruh. Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa
menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama
bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam
bentuk wacana. Dalam teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang
muncul tersebut tercermin dari ideologi seseorang, apakah feminis, antifeminis,
kapitalis, sosialis, rasis dan sebagainya (Eriyanto. 2003:14).
Ideologi dan bahasa adalah dua concern (persoalan) yang koneksi tertutup,
karena teori ideologi umumnya berusaha menguji cara-cara dimana ‘makna’ atau
‘ide’ mempengaruhi konsepsi dan aktivitas individu maupun kelompok yang
membentuk dunia sosial (Thompson, 2014:110). Analisis ideologi dalam
pemahaman yang mendasar adalah studi bahasa dalam dunia sosial, karena ia
berhubungan dengan bahasa yang maknanya dimobilisir dalam keinginan individu
atau kelompok tertentu.
Menurut Thompson (2014:110) pengakuan adanya koneksi tertutup antara
teori ideologi dan studi bahasa menawarkan kemungkinan menghubungkan
analisa ideologi dengan bentuk-bentuk filsafat yang difokuskan pada ciri bahasa
dan makna, di satu sisi, dan bentuk-bentuk bahasa yang sedang diaplikasikan pada
teks literer dan interaksi sosial.
Dalam memahami ideologi membutuhkan sebuah pendekatan, karena tugas
memahami fenomena ideologi membutuhkan pendekatan yang menyatu dengan
sifat analisa bahasa dalam dunia sosial. Artinya, bahasalah yang menjadi
pendekatan untuk mengungkapkan ideologi yang terdapat dalam dunia sosial yang
ada. Aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata
bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur gramatika,
dipahami sebagai pilihan oleh seseorang untuk diungkapkan dan akan membawa
makna ideologi tertentu. Ideologi tersebut ada dalam taraf yang umum,
menunjukkan bagaimana suatu kelompok berusaha memenangkan dukungan
publik dan bagaimana kelompok lain berusaha dimarjinalkan melalui pemakaian
bahasa dan struktur gramatika tertentu.
Santoso (2012:59) dalam bukunya yang berjudul ‘Sudi Bahasa Kritis’
mengungkapkan makna ideologi sebagai sistem ide. Dalam penelitiannya ia
mengungkapkan ideologi berkaitan dengan representasi kaum perempuan.

15
Ideologi dimaknai sebagai sistem ide, seperangkat pola-pola kepercayaan,
seperangkat nilai, perspektif, atau pandangan dunia dan representasinya yang terus
dipegang dan diperjuangkan oleh kaum perempuan. Ideologi yang dimaksud
dalam penelitian ini berkenaan dengan (1) pelembagaan gagasan-gagasan
sistematis yang diartikulasikan oleh kelompok sosial tertentu, (2) teks-teks dan
praktik budaya tertentu yang menghadirkan pelbagai citra tentang realitas yang
sudah terdistorsi, baik oleh kelompok dominan maupun kelompok subordinat, (3)
teks yang mengartikulasikan keberpihakan, (4) ritual dan kebiasaan tertentu yang
menghasilkan akibat-akibat yang mengikat dan selalu melekatkan individu pada
tatanan sosial tertentu, dan (5) usaha yang menjadikan apa yang faktanya parsial
dan khusus menjadi universal dan legitimate dan sekaligus juga usaha untuk
melewatkan hal-hal yang bersifat kultural sebagai hal yang alamiah.
Menurut Thompson (2014:61) mempelajari ideologi bukan berarti
menganalisa bentuk wacana tertentu yang didapatkan dalam bentuk masyarakat
tertentu, tetapi utamanya untuk menguji cara dimana makna dapat membenarkan
relasi dominasi. Ideologi dalam hal ini bersifat ‘imanen’ dan ‘transendental.
Ideologi Imanen dalam relasi sosial artinya, sejauh penggunaan bahasa merupakan
aktivitas sosial yang saling berkaitan dengan yang lainnya. Sedangkan ideologi
transedental artinya sejauh ekspresi digunakan untuk membenarkan dominasi
untuk melampaui apa yang ada

16
BAB III MODEL-MODEL ANALISIS WACANA KRITIS

Meski analisis AWK sebagai salah satu disiplin ilmu yang kajiannya secara
eksplisit tetapi tidak lepas dengan teori yang lain. Seperti teori sosial, teori
budaya, dan teori-teori yang lain. Menganalisis sebuah wacana secara kritis tidak
lepas dengan model-model yang ditawarkan oleh para tokoh AWK seperti Michel
Foucault, Roger Fowler dkk, Teun Van Leuwen, Sara Mills, Teun Van Djik, dan
Norman Fairclough. Berikut akan dijelaskan masing-masing model-model AWK
yang dikembangkan oleh pemikir kritis.

A. MICHEL FOUCAULT
Michel Foucault lahir di Poitiers, Prancis pada tahun 1926. Ia menggeluti
bidang ilmu yang cukup beragam seperti filsafat, sejarah, psikologi, dan
psikopatologi. Ia juga dikenal juga dengan pemikiran kritisnya lewat judul buku
“Arkeologi Pemikiran”. Semasa hidupnya Ia mengabdikan dirinya dalam bidang
pendidikan-sebagai staf pengajar pada Universitas Uppsala (Swedia) untuk bidang
Sastra dan Kebudayaan Prancis dan juga sebagai dosen di berbagai Universitas di
Prancis. Ia juga sebagai pendiri Universitas Paris Vincenes. Ia meninggal dunia di
usia 57 tahun pada tahun 1984.
Menurut Foucautl, wacana bukan hanya sebagai rangkaian kata atau
proposisi dalam teks, melainkan sebagai suatu yang memproduksi hal yang lain.
Sehingga dalam menganalisis wacana, hendaknya mempertimbangkan peristiwa
bahasa dengan melihat bahasa dari dua segi yaitu arti dan referensi. Ia juga
menyatakan bahwa, wacana adalah instrumen kekuasaan, hegemoni, dominasi
budaya, dan ilmu pengetahuan.
Bagi Michel Foucault, kekuasaan, wacana, dan pengetahuan merupakan
aspek yang tidak terpisahkan. Di mana ketiga hal itu membentuk mata rantai yang
saling berhubungan dalam praktiknya. Bahasa sebagai seperangkat pengetahuan
dalam pembentukan wacana dan digunakan sebagai alat/instrument kekuasaan. Ia
menentang anggapan yang menyatakan, pengetahuan mungkin bisa berkembang
di luar wilayah kekuasaan. Namun, bagi Faucaut pengetahuan justru memiliki
relasi yang saling berkembang. Terbukti bahwa, tidak ada praktik pelaksanaan
kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan dan pengetahuan di dalamnya
mengandung relasi kuasa. Di semua proses itu tidak lepas dari penggunaan
wacana yang bertujuan untuk mempengaruhi dan mendapat dukungan dari
berbagai pihak.
Bagi Foucault, kuasa ada di mana-mana. Kakuasaan dapat ditemukan dalam
segala bidang interaksi manusia, seperti keluarga, politik, ekonomi, sosial,
pendidikan, agama, budaya dan lain sebagainya. Melalui formasi-formasi bahasa

17
dan diskursus dalam kehidupan sosial ditemukan kategori pihak yang
dikuasai/dikontrol dan pihak yang menguasai/mengontrol.
Gagasan Foucault mengenai diskursus (wacana) sangat mempengaruhi
perkembangan diskursus sebagai objek kajian sosial yang cukup menarik untuk
dilakukan. Baginya, bahasa adalah mediator atau instrumen. Wacana bukan
sekedar perbincangan sehari-hari yang hadir begitu saja, tetapi sebagai suatu yang
sangat penting dan serius dalam intensitasnya membangun relasi kekuasaan.
Karena, saat berbahasa tidak lepas dari proses berpikir yang kompleks, di mana si
penutur berpikir juga dengan konteks yang melatari pembicaraan tersebut. Inilah
yang disebut dengan relasi pengetahuan dengan kuasa melahirkan wacana.
Kekuasaan pada dasarnya menyebar tanpa dikolokasi pada wilayah tertentu
atau kekuasaan itu ada di mana-mana, meresap dalam relasi sosial . Kekuasaan
tidak dimonopoli oleh siapapun, tetapi beroperasi dalam relasi pengetahuan dan
situasi yang kompleks di masyarakat. Kekuasaan dapat dikatakan sebagai suatu
disiplin yang memiliki relasi yang kuat dengan pengetahuan; yang tidak selalu
represif, tetapi selalu produktif. Kekuasaan harus dilihat dari bagaimana
kekuasaan itu dipraktikkan oleh pihak tertentu dengan ideologi tertentu untuk
diterima sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, AWK harus dilihat sebagai
cara untuk membongkar kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang dengan
pemanfaatan bahasa/wacana.

B. ROGER FOWLER, ROBERT HODGE, GUNTHER KRESS, DAN


TONY TREW (FOWLER dkk)
Fowler dkk adalah sekelompok pengajar di universitas Ert Anglia, sebuah
aliran Linguistik Eropa kontinental. Karya besar meraka adalah sebuah buku yang
cukup terkenal dalam bidang bahasa yang berjudul “Language and Central (1976)
dengan sebuah pendekatan Critical Linguistic yang memandang bahwa bahasa
sebagai praktik sosial. Pandangan ini sependapat dengan tokoh AWK yaitu
Norman Fairclough yang memandang bahasa/wacana sebagai praktik sosial.
Pendekatan ini dikembangkan dari linguistik para ahli bahasa masa itu yang
melihat dalam penggunaan tata bahasa (grammar) menjadi pilihan kata (diksi)
yang selalu membawa implikasi dan ideologi tertentu pula.
Faowler dkk dalam membangun model analisis AWK-mendasarkan pada
penjelasan halliday mengenai struktur dan fungsi bahasa menjadi struktur bahasa.
Penggunaan tata bahasa tertentu sangat menentukan implikasi yang akan
ditimbulkan dari bahasa tertentu dan ideologi tertentu. Dalam praktik berbahasa
(penggunaan tata bahasa, maka kosa kata (lihan kata tertentu) bisa digunakan
untuk mengetahu ideologi tertentu.
Mereka berpandangan bahwa, bahasa merupakan sistem klasifikasi, maka
pilihan kata yang berbeda akan menimbulkan efek atau realitas yang berbeda pula

18
ketika diterima oleh khalayak. Oleh karena itu, fokus model analisis AWK Fowler
dkk adalah persoalan tata bahasa yang membawa implikasi dan ideologi tertentu.
Dalam penerapan model analisis AWK Fowler dkk, tidak lepas dari apa yang
menjadi fungsi dari kata itu sendiri yaitu.
a) Kosakata: membuat kalasifikasi
Bahasa pada dasarnya menyediakan klasifikasi, maka realitas yang satu
dapat dibedakan dari penggunaan bahasa dari realitas yang satu dengan
realitas yang lainnya. Kalasifikasi ini mengukur bagaimana suatu
peristiwa dilihat dari berbagai sisi, sehingga memaksa kita untuk
memahami ralitas berdasarkan penggunaan kosakata/bahasa.
b) Kosakata: membatasi pandangan
Penggunaan kosa kata tertentu untuk membatasi hal tertentu. Ini
menegaskan bahasa bahasa pada dasarnya bersifat membatasi.
Penggunaan kosa kata dalam sebuah wacana sangat berpengaruh pada
bagaimana memahami dan memaknai suatu peristiwa. Orang mungkin
tidak bisa dalam tempat terjadinya peristiwa-karena dibatasi jarak waktu
yang beitu jauh. Tetapi, melalui penggunaan kosa kata dapat kita pahami
dan maknai peristiwa yang telah terjadi. Sehingga saat menggunakan
kosa kata tertentu akan dihubungkan dengan ralitas tertentu.
c) Kosakata: pertarungan wacana
Pemilihan kata tertentu pada dasarnya untuk memberikan kesan atau
makna bahwa ada sesuatu yang dibela dan diperjuangkan. Sebut saja,
jargon yang cukup terkenal yang mampu menggerakkan semangat
seluruh lapisan masnyarakat pada masa penjajahan yaitu “Merdeka atau
Mati”. Pilihan kata ini cukup kuat di semua lapisan masyarakat saat di
masa itu. jargon itu juga mampu mempengaruhi dan memberikan
pemaknaan pada sebuah kondisi memilih mati atau merdeka. Pemilihan
ini semata-mata untuk mempertarungkan wacana kemerdekaan saat itu.
Dalam urusan wacana, setiap pihak memiliki pendapat sendiri-sendiri
dalam suatu masalah, sehingga selalu berusaha pendapatnya diterima
oleh setiap kalangan. Tentu dalam peran bahasa dimanfaatkan untuk
mengekspresikan pemikirannya dengan mempertimbangkan konteks di
sekitarnya. Kosakata “Merdeka atau Mati” pada masa perjuangan sangat
tepat untuk mewakili setiap orang yang bercita-cita merdeka dan bebas
dari kata penjajahan. Berbeda sekali kosakata “Merdeka atau Mati” bila
disuarakan di masa kemerdekaan. Boleh jadi orang yang menyuarakan
jargon tersebut bisa tidak diterima. Oleh karena itu, pemilihan kosakata
bertujuan untuk memenangkan opini publik. Masing-masing orang
dalam kehidupannya menggunakan kosakata untuk memaksakan agar
kosakata itu bisa diterima oleh publik.

19
d) Kosakata: marginalisasi
Setiap pemilihan kata atau kosakata selalu membawa nilai ideologi. Kata
bukanlah suatu yang netral dalam wacana. Kosakata selalu mengalami
proses pemikiran sebelum dikatakan atau disampaikan ke pubik baik
lisan maupun tulisan. Sebut saja, dalam pemberitaan tentang hukum,
media akan memilih kosakata tertentu yang mendukung ideologi
pemberitaan. Atau media memunculkan partisipan publik untuk
menyuarakan kosakata tertentu yang mendukung ideologi pemberitaan.
Pemilihan kosakata membawa ideologi tertentu dan bukan sesuatu yang
terjadi secara netral. Fowler dkk dalam AWK selalu memandang, bahwa
kosakata tertentu selalu memuat ideologi.
e) Tata Bahasa
Fowler dkk berpandangan juga, bahwa minimal ada dua hal yang harus
diperhatikan dalam wacana yang mengandung atau menggunakan tata
bahasa yaitu efek bentuk kalimat fasif dan efek nominalisasi. Kedua
efek ini cenderung menghilangkan pelaku dalam sebuah pemberiataan
atau umumya dalam teks. Misalnya pada kalimat fasif “wanita itu
disetubuhi oleh pelaku”. Dalam kalimat ini, si penulis sengaja
menyembunyikan perempuan sebagai korban dari laki-laki buka pelaku.
Begitu juga pada nominalisasi yang dilakukan oleh penulis pada kata
“pembunuhan, pemerkosaan, penembakan, pembakaran, pemadaman”
dan lain sebagainya. Berbeda sekali maknanya jika penulis
menggunakan kata kerja aktif “membunuh, merkosa, menembak,
membakar, dan memadam”. Nominalisasi tersebut mengandung makna
suatu perbuatan yang terencana atau sengaja direncanakan. Oleh karena
itu, AWK model Fowler dkk, memberi perhatian pada analisa tata
bahasa kata kerja pasif dan nominalisasi yang tidak lepas dari
pemaknaan terhadap realitas yang memiliki tujuan tertentu. Apakah
bermaksud memperjuangkan atau mempertentangkan. Semuanya
bergantung pada ideologi yang dipertaruhkan.

Kerangka Analisis
Kerangka AWK Roger Fowler dkk dalam membedah suatu teks dibagi ke
dalam dua level analisis yaitu level kata dan level tata bahasa. Kedua level ini
sebagai pusat perhatian dalam proses analisis wacana.
Pertama, level kata. Pada level ini, hal yang diamati adalah bagaimana
peristiwa dan aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa hendak dibahsakan. Kata-
kata harus dipandang oleh peneliti wacana bukan hanya sebagai penanda atau
identitas, tetapi harus dicurigai mengandung ideologi tertentu. Sehingga, seorang
peneliti wacana harus memiliki sensitifitas tinggi dalam memaknai pilihan-pilahan

20
kata tertentu yang digunakan oleh penulis wacana.makna apa yang ingin
dikomunikasikan kepada khalayak? Pihak atau kelompok mana yang diuntungkan
atau dirugikan menggunakan kosakata tersebut? Atau pihak mana yang
dimarjinalkan dengan pemakaian kata tersebut?
Kedua, level tata bahasa (susunan kata atau kalimat). Pada level ini,
penyusunan kata atau kalimat kemudian dipahami sebagai seperangkat
pengetahuan yang diterima oleh khalayak bukan semata sebagai persoalan teknik
kebahasaan, namun memiliki praktik berbahasa yang bersifat strategis. Bahasa
disusun bukan hanya betujuan untuk menginformasikan suatu peristiwa, tetapi
memiliki ideologi tertentu. Perlu diperhatikan dalam analisis tata bahasa ini adalah
bagaimana pola pengaturan, penggabungan, penyusunan tersebut memiliki efek
tertentu dan memiliki bias tertentu yang mengarah pada tujuan yang diinginkan
oleh si penulis/pembicara. Pengaturan pola tata bahasa ini juga memiliki dampak
yang sangat strategis yang mengarah pada pihak mana yang diuntungkan dan
dirugikan atau dimarjinalkan dalam wacana. berikut bagan yang menjadi pola
AWK Roger Flower dkk:

Level Analisis Fokus Pengamatan


Kata Pilihan kosa kata yang dipakai
untuk menggambarkan peristiwa
Pilihan kosakata yang dipakai
untuk menggambarkan aktor yang
terlibat dalam peristiwa
Tata Bahasa Bagaimana peristiwa digambarkan
lewat rangkaian kata dan kalimat
yang menggambarkan makna
tertentu

C. THEO VAN LEEUWEN


Model AWK Van Leeuwen memiliki sudut pandang bahwa wacana sebagai
tempat pertarungan di mana ada yang mendominasi dan dimasjinalkan di
dalamnya. Model AWK ini memperkenalkan analisis wacana untuk mendeteksi
dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalkan posisinya
dalam suatu wacana. Di mana kelompok dominan lebih memegang kendali dalam
menafsirkan suatu peristiwa. Sementara kelompok lain yang posisinya lebih
rendah cenderung menjadi objek pemaknaan yang direpresentasikan dengan
buruk. Analisis model ini menghubungkan logika sosial yang ada di masyarakat,
di mana kelompok yang kuat akan selalu mendominasi kelompok yang lemah. Ini
menunjukkan bahwa, persoalan bahasa sebagai bagian kecil dari struktur sosial
yang ada. Sebuah media akan selalu mencari keuntungan di balik wacana yang

21
dibuatnya. Penggunaan bahasa dalam media akan cenderung membela
kepentingan orang yang lebih kuat atau lebih banyak.
Van Leeuwn berpandangan bahwa wacana sebagai alat untuk
mendefinisikan, membenarkan, dan menyalahkan sesuatu atau peristiwa. Dalam
hal ini, agen yang paling berperan untuk menafsirkan suatu hal atau peristiwa
adalah media. Secara umum AWK Van Leeuwn menampilkan bagaimana pihak-
pihak dan aktor (orang atau kelompok) yang lebih dominan ditampilkan dalam
pemberitaan.
Model AWK Van Leeuwen ini memiliki dua pusat perhatian yaitu melihat
proses eksklusi dan proses inklusi. Model ini lebih melihat pada proses wacana itu
dibuat atau diproduksi baik yang bersifat perorangan atau kelompok.
1) Proses pengeluaran (eksklusi)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, media memiliki peran yang sangat
vital dalam kehidupan sosial menafsirkan atau mendefinisikan suatu
peristiwa. Dalam proses eksklusi ini, ada pihak yang dikeluarkan dalam
wacana. dalam arti yang sederhana, ada hal yang tidak ditampilkan secara
jujur dalam pemberitaan. Semua ini dilakukan bertujuan untuk mengubah
persepsi masyarakat tentang suatu peristiwa. Misalnya, peristiwa demonstrasi
yang dilakukan oleh mahasiswa dikemas dengan cara penominasian
(pendemo, perusuh), pemasifan kalimat. Kedua cara ini sangat efektif
digunakan dalam proses pemarjinalan kelompok tertentu. Pada dasarnya
strategi ini digunakan untuk melindungi diri agar terus eksis dalam
pemberitaan yang diterima dalam kehidupan sosial. Logika media ingin selalu
berkembang, jaya, besar dengan tetap melakukan apa saja yang
menguntungkan media itu sendiri.
2) Proses pemasukan (inklusi)
Dalam pemberitaan ada pihak yang ditampilkan lewat pemberitaan. Strategi
bahasa yang digunakan dalam proses ini adalah dengan penggantian atau
pemberian anak kalimat dalam wacana. Proses ini akan memberikan
penafsiran yang berbeda dibandingkan dengan penggunaan kalimat langsung.
Keberadaan subjek akan berbeda pemaknaannya bagi pembaca bergantung
pada cara pengemasan kalimatnya. Contoh, pernyataan “polisi menembak
seorang mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi hingga tewas” ini
penggunaan kalimat langsung. Akan berbeda makanannya jika pernyataannya
seperti ini “Untuk mengendalikan demontrasi mahasiswa, polisi lepaskan
tembakan”. Strategi pemasifan ini akan menggambarkan mahasiswa sebagai
segerombolan yang salah dan pantas diberikan tindakan tegas dengan
melakukan penembakan oleh Polisi. Penambahan anak kalimat ini
memberikan pemaknaan bahwa pelaku penembakan bersembunyi dibalik
kalimat.

22
Kalau eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau kelompok
dikeluarkan atau dibiaskan, maka insklusi berhubungan dengan bagaimana
seseorang atau kelompok tertentu ditampilkan dalam berita dengan maksud
tertentu. Meskipun seseorang atau pihak tidak dihilangkan, tetapi proses
pemarginalan itu tetap dilakukan dengan pengemasan bahasa tertentu seperti
yang sudah dijelaskan di atas.
Ada beberapa cara pengemasan berita yang dilakukan oleh media dalam
proses inklusi ini yaitu strategi diferensiasi-indiferensiasi, objektivasi-
abstraksi, dan nominasi-kategorisasi.
a) Diferensiasi-indiferensiasi
Strategi ini bertujuan menciptakan pemaknaan lain yang betolak
belakang dari kenyataannya. Strategi ini digunakandengan pemasifan
kalimat. Strategi ini ingin menunjukkan bahwa bagaimana media
menghadirkan pihak lain dalam teks berita, tujuannya adalah ingin
menunjukkan bahwa adalah salah satu orang atau kelompok yang
dominan dalam pemberitaan dan kelompok ini sebagai orang yang
direpresentasikan buruk dengan pengemasan yang halus. Contoh
menggunakan indeferensiasi “Para Mahasiswa masih melanjutkan
demontrasi di depan gedung rektorat” berbeda jika memakai diferensiasi,
“Para Mahasiswa masih sampai kemarin melanjutkan demontrasi di
depan gedung rektorat. Sementara tawaran rektor yang menawarkan
perundingan tidak ditanggapi oleh para mahasiswa. Kedua contoh di atas
secara pemaknaan sangat berbeda, di mana pada contoh indeferensiasi,
yang dimarjinalkan atau yang disalahkan adalah rektor sebagai penyebab
dari para mahasiswa melakukan demo. Sedangkan pada contoh
diferensiasi, para mahasiswa dimarjinalkan oleh media. Mahasiswa
direpresentasikan sebagai orang yang ngotot melakukan demo, dan rektor
direpresentasiakan sebagai orang yang lebih manusiawi.
b) Objektivasi-abstrasksi
Strategi ini melihat pada proses produksi wacana yang berhubungan
dengan pernyataan media yang menampilkan fakta atau peristiwa yang
konkret (objektivasi) atau dengan mengabstraksi fakta atau peritiwa yang
sedang diberitakan. Contoh yang menggunakan objektivasi “Para
pemuda sudah dua kali melakukan demo di kanotor lurah”, sedangkan
cara abstraksi “Para pemuda sudah berulang kali melakukan demo di
kantor lurah”. Kedua pengemasan teks di atas secara pemaknaan tentu
berbeda. Strategi objektivasi yaitu mengungkap fakta dengan jelas tanpa
menimbulkan penafsiran di benak pembaca, sedangkan strategi abstraksi
tentu menimbulkan penafsiran yang beragam di benak pembaca.
Kehadiran fakta “dua kali” dan “berulang kali” akan berbeda proses

23
pemaknaanya di benak pembaca. Bagi Van Leweun, bentuk abstraksi ini
bukan kelalaian seorang penulis/wartawan tentang suatu kejadian, akan
tetapi ini cara penulis untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok
tertentu. Dalam hal ini adalah para pemuda. Dengan pemilihan kata
“berulang kali melakukan demo” memberikan pemaknaan bahwa
pemuda setempat sebagai tukang demo.
c) Nominasi-kategorisasi
Strategi ini lebih pada bagaimana cara media menampilkan aktor
(orang/kelompok) dalam suatu pemberitaan atau wacana. Cara
menampilkan yang dimaksud adalah apakah apa adanya atau
pengkategorian tertentu yang bersifat negatif atau positif. Pengkategorian
ini menunjukkan ciri penting dari seseorang yang diberitakan atau
dibicarakan yang bertendensi pada hal tertentu. Seperti, agama, ras,
budaya, marga, status sosial dan lain sebagainya. Contoh nominasi
“Seorang laki-laki ditangkap karena sedang merampok”, akan berbeda
maknanya jika menggunakan kategorisasi “Seorang laki-laki berkulit
hitam dan keriting ditangkap karena sedang merampok”. Dari contoh di
atas, media sengaja menggunakan kategorisasi sebagai cara untuk
memojokkan atau memarjinalkan seseorang/kelompok. Sehingga
pemaknaan yang ada dibenak pembaca adalah umumnya orang yang
berkulit hitam dan keriting suka merampok, padahal kenyataan banyak
orang yang berkulit sawo matang, putih dan jenis kulit lainnya
merampok.
d) Nominasi-identifikasi
Strategi inklusi ini mirip dengan kategorisasi. Bedanya pada proses
identifikasi dan proses pendefinisisan dengan menambahkan anak
kalimat sebagai penjelas. Strategi ini digunakan semata-mata untuk
memperjelas apa atau siapa yang dibicarakan. Contoh Nominasi
“Seorang wanita ditemukan tewas, diduga sebelumnya diperkosa”
sedangkan identifikasi “Seorang wanita yang sering keluar malam
ditemukan tewas. Diduga sebelumnya diperkosa”. Idenfitikasi dengan
menyertai “sering keluar malam” menjadi pemahaman bagi kahalayak
bahwa hal tersebut sebagai sebab kematiannya. Pelabelan ini menginklusi
wanita sebagai orang yang salah dan perbuatan pembunuhan dan
pemerkosaan yang dilakukan oleh laki-laki sebagai suatu kewajaran.
e) Determinasi-indeterminasi
Dalam kasus pemberitaan, aktor disebut secara jelas namun ada juga
yang diungkapkan dengan tidak jelas atau anonim. Ini tidak lepas dari
tujuan media atau bisa saja media tidak mendapat fakta yang lengkap
dengan aktor yang dibicarakan. Tetapi kebiasaan menyembunyikan aktor

24
dalam pemberitaan tidak lepas dari ideologi tertentu dengan maksud
membela pihak tertentu. Apapun bentuknya, penganoniman ini akan
memberikan pemaknaan yang berbeda di benak kahlayak. Ada
generalisasi yang tidak spesifik yang ditimbulkan oleh strategi ini.
Contoh indeterminasi “Habis Rizik disebut-sebut akan membuat negara
khilafah di Indonesia”, sedangkan determinasi, “Pembesar FPI disebut-
sebut akan membuat negara khilafah”. Dari kedua contoh di atas akan
berbeda pemaknaannya dibenak khalayak. Ketik apenyebutan aktor jelas
“Habib Rizik” dalam wacana akan memberikan makna spesifik siapa
pelakunya. Akan tetapi akan berbeda pemaknaannya jika yang digunakan
kata “pembesar FPI” tidak lagi bermakna tunggal tetapi jamak,
mengesankan bahwa orang-orang yang berperan di FPI akan membuat
negara khilafah. Pemaknaanya pun beragam siapa yang dimaksud dengan
pembesar FPI?
f) Asimilasi-individualisasi
Strategi ini lebih pada proses relasi apa yang dimiliki oleh aktor dalam
pemberitaan. Penulis atau wartawan dalam pemberitaannya
menggunakan strategi ini dengan cara tidak menyebutkan kategorisasi
yang dimiliki oleh aktor, tetapi menyebutkan kelompok sosial yang
dimiliki. Contoh menggunakan asimilasi “Arif, mahasiswa Trisakri,
tewas ditembak polisi” adapun menggunakan individualisasi, “Arif tewas
ditembak polisi”. Strategi asimilasi lebih pada penyembutan kelompok,
sedangkan strategi individualisasi mengarah pada perseorangan.
g) Asosiasi-disaosiasi
Strategi erat hubungannya dengan pertanyaan, pakah aktor yang
ditampilkan dalam beritas sebagai pihak pribadi atau dihubungkan
dengan kelompok lain yang lebih besar. Ini proses yang dering
ditemykan dalam berita, di mana perseorangan selalu memiliki relasi atau
sengaja dihubungkan dengan kelompok tertentu. Ini adalah strategi media
yang jarang disadari. Sadar atau tidak, setiap orang akan selalu
dihubungkan dengan pekerjaan, sosial, atau hal yang lebih besar diluar
diri aktor tersebut. Ini yang dimaksud dengan asosiasi, di mana setiap
orang selalu dihubungkan dengan apa yang diluar dirinya. Contoh
asosiasl “Ummat islam di mana-mana selalu dijadikan sasaran
pembantaian”, sedangkan diasosiasi “Sebanyak 20 ummat muslim di
Gaza dibantai”. Strategi asosiasi selalu menampilkan sesuatu yang lebih
besar dari fakta yang semestinya ditampilkan, dan menimbulkan makna
yang lebih luas. Oleh karena itu, strategi asosiasi selalu menampilkan
sesuatu yang lebih besar. Sehingga makna yang ada dibenak pembaca

25
mengandung imajiner dengan komunitas yang lebih besar di luar fakta
yang sedang dibicarakan.

Kerangka Analisis
AWK Van Leeuwen memandang wacana beroperasi untuk mendefinisikan,
membenarkan, atau menyalahkan seseorang atau kelompok. Analisisnya
menyoroti bagaimana wacana diproses dan diproduksi. Ada dua level analisis
sekaligus menjadi pusat perhatiannya yaitu proses eksklusi dan proses indklusi.
Proses eksklusi Berpihak pada yang lebih dominan dengan
cara
a. Penominasian
b. Pemasifan

Proses inklusi Media menampilkan seseorang atau


kelompok ke dalam wacan dengan maksud
menghasilkan makna tertentu
a. Diferensiasi-indeferensiasi
b. Objektivasi-abstraksi
c. Nimnasi-kategorisasi
d. Nominasi-identifikasi
e. Determinasi-indeterminasi
f. Asimilasi-individualisasi
g. Asosiasi-disasosiasi

D. SARA MILS
Pondasi teori AWK Sara Mills berangkat dari teori Foucault yang
menganggap bahwa bahasa adalah instrumen kekuasaan. Namun, Sara Mills
mendekati wacana dari pemosisian aktor dalam wacana. Bagaimana aktor
ditampilkan baik sebagai subyek maupun objek dalam teks. Ada kekhasan
tersendiri dalam AWK Sara Mills yaitu mengarah pada analisis gender. Hal ini
dipengaruhi dari ketokohannya sebagai tokoh yang selalu menyuarakan
persoalan.persoalan gender dan feminisme. Bahkan ada orang yang mengatakan,
AWK Sara Mills cocok untuk menganalisis wacana yang membicarakan
feminisme dan maskulinisme. Bagi Sara Mills, dengan melihat posisi aktor dalam
wacana akan lebih mudah memahami ideologi apa yang ingin disampaikan oleh
penulis. Karena soal berbahasa tidak luput dari pembicara dan pendengar serta
siapa saja yang dibicarakan dalam teks.
Ada dua konsep dasar dalam AWK Sara Mills dan sekaligus sebagai tingkat
level analisisnya yaitu:

26
1. Posisi Subyek-Obyek
Pemahaman posisi subyek-obyek akan mempermudah kita dalam memahami
siapa yang berbicara dan orang atau apa yang dibicarakan. Posisi ini
menempatkan-bagaimana pentingnya representasi dari aktor yang
dimunculkan dalam wacana. Masalah ini berbeda dengan analisis wacana
positivisme dan konstruktivisme yang memusatkan perhatian pada struktur
kata, kalimat, dan tata bahasa sebagai sumber pemaknaan yang literal. Posisi
ini akan melihat siapa aktor atau partisipan yang dimunculkan ke dalam
wacana. Tidak hanya itu, posisi subyek-obyek menentukan bentuk
teks/wacana yang hadir di masyarakat. Misalnya, seorang aktor yang
memiliki drajat tinggi dalam sosialnya akan ditampilkan sebagai orang yang
mendominasi.
2. Posisi Penulis-Pembaca
Sara Mills juga mengamati posisi penulis-pembaca dalam wacana. Adanya
kesadaran bahwa wacana/teks sebagai sara komunikasi tidak langsung akan
mengantarkan kita pada pemahaman siapa yang dibela dan dimarjinalkan oleh
si penulis.
Model AWK Sara Mills ini berusaha mengkonkretkan posisi penulis dan
pembaca sebagai bentuk kesadaran berbahasa. Di mana seorang
pembicara/penulis tidak lepas dari kepada siapa ia berbicara/menulis. Artinya,
seorang penulis akan memikirkan segala hal yang meliputi khalayak yang
menjadi sasaran, seperti konteks sosial dan budaya dan hal-hal lain yang
dimiliki oleh pembaca. Sehingga apa yang dibaca sebagai seperangkat
kebenaran yang bisa diterima oleh akal sehat.
Sara Mills menolak pandangan, bahwa sebuah teks bebas dari nilai di luar
teks tersebut. Teks dianggap sebagai teks semata yang diproduksi oleh
penulis dan tidak memiliki hubungan dengan pembaca yang berstatus sebagai
konsumen tanpa mempengaruhi proses pembuatan teks/wacana. Bagi Sara
Mils, teks adalah hasil dari negosiasi antara penulis dan pembaca dalam
proses produksinya. Misalnya, penulisan sebuah peristiwa murni menulis
peristiwa/kejadian tanpa memikirkan siapa pembacanya, budaya, nilai, dan
norma yang dianut oleh pembaca.

Kerangkan Analisis
Kerangka analisis AWK Sara Mills memakai analisis Althusser yang
menekankan, bagaimana aktor diposisikan dalam wacana/teks.
Level Analisis Fokus pengamatan
Posisi Subyek-Objek Bagaimana peristiwa dilihat?
Dari sudut padang siapa peristiwa itu
dilihat?

27
Siapa yang diposisikan sebagai
pencerita (subjek) dan siapa yang
menjadi objek yang diceritakan?
Apakah masing-masing aktor atau
kelompok sosial diberikan kesempatan
untuk menampilkan diri, gagasan, dan
pemikiran baik secara langsung atau
diwakilkan?

Posisi Penulis-Pembaca Bagaimana posisi penulis menampikan


dirinya; langsung atau sebagai orang
ketiga?
Bagaiman posisi pembaca ditampilkan
dalam teks?
Bagaimana penulis dan pembaca
mengidentifikasi dirinya dalam
wacana?

E. TEUN A. VAN DIJK


Model AWK Van Dijk dikenal juga dengan istilah model kognisi sosial.
Analisisi Van Dijk tidak hanya melihat pada analisis teks semata, tetapi melihat
teks sebagai hasil dari produksi yang mempertimbangkan nilai-nilai di luar teks
itu sendiri. Kognisi sosial merupakan seperangkat pengetahuan wartawan tentang
reliatas sosial yang memiliki beragam nilai dan budaya. Nilai-nilai ini bergerak
secara alamiah yang menjadi pertimbangan pemilihan bahasa tertentu untuk
digunakan dalam teks/wacana oleh wartawan. Misalnya, teks yang
menggambarkan marjinalisasi atau rasisme sebagai wujud kesadaran mental yang
dilakukan oleh penulis dalam melihat realitas. Oleh karena itu, AWK Van Dijk
tidak mengeklusifkan seakan-akan teks bebas dari nilai di luar wacana atau
sesuatu yang bebas nilai. Sebaliknya, wacana adalah bagian kecil dari struktur
masyarakat.
Pendekatan kognisi sosial ini melihat bagaimana produksi teks yang
melibatkan proses yang kompleks bisa dipelajari dan dijelaskan. Karena pada
dasarnya, wacana yang dibuat oleh media yang disebarkan kepada khalayak
masyarakat adalah wacana yang sudah mengalami proses filterasi, seleksi, editing,
dan pengaturan lainnya melalui dpur redaksi. Melalui pendekatan ini ingin
membongkar atau mendemistifikasi teks/wacana sebagai praktik sosial yang tidak
lepas dengan struktur sosial yang ada tempat diterbitkannya wacana. Van dijk
melalui model analisisnya ini ingin menyambungkan wacana dengan konteks

28
sosialnya. Dalam hal ini konteks sosial sebagai elemen besar (struktur makro) dan
elemen-elemen wacana lain seperti gaya bahasa dan kalimat.
AWK Van Dijk ini memiliki tiga level analisis yaitu teks, kognisi sosial,
dan konteks sosial.
1. Teks (struktur mikro)
Melalui teks, Van Dijk berusaha melihat dan memaknai bagaimana struktur
teks dan strategi wacana secara kebahasaan seperti bentuk kalimat, pilihan
kata, dan metafora yang dipakai dalam wacana. Ada 4 elemen selain yang
sudah disebutkan tadi yang dikaji pada tataran struktur mikro ini yaitu elemen
sintaksis, semantis, stilistika dan retoris yang digunakan oleh pengarang
dalam wacananya.
a. Analisis semantik
Tinjauan semantik suatu berita atau laporan akan meliputi latar, detail,
ilustrasi, maksud, dan pengandaian yang ada ladam wacana itu sendiri
1) Latar: latar merupakan elemen wacana yang dapat mempengaruhi
(arti kata) yang ingin disampaikan. Seorang penulis atau wartawan
ketika menyampaikan pendapat biasanya mengemukakan latar
belakang atas pendapatnya. Atau bisa juga si wartawan
menggunakan pendapat lain untuk mendukung pendapatnya atas
peristiwa yang terjadi. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana
khlayak hendak dibawa. Semakin banyak fakta yang diungkapkan
oleh wartawan untuk menggambarkan latar belakang peristiwa
yang dibicarakan, maka semakin cepat khalayak menerima berita.
2) Detail: Elemen ini berhubungan dengan kontrol informasi yang
ditampilkan oleh seorang penulis atau wartawan. komunikator akan
menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan
dirinya atau citra yang baik pada dirinya atau lembaga yang
dimilikinya. Sebaliknya akan membuang atau menampilka dengan
jumlah informasi yang sedikit dan minimalis yang merugikan
dirinya atau citra dan kedudukannya. Kedua hal ini sebagai sifat
alamiah manusia dalam mengungkapkan segala hal yang
menyangkut dirinya atau lembaganya.
3) Maksud: Elemen ini melihat apakah teks itu disampaikan secara
ekspelisit atau tidak. apakah fakta yang disajikan dalam berita
secara jujur/telanjang, gamblang, atau tidak.
4) Pra anggapan: Elemen ini pada dasarnya digunakan untuk
memberikan basis rasional, sehingga teks yang disajikan
komunikator tampak benar dan meyakinkan. Pra anggapan ini
hadir untuk memberi pertanyaan yang dipandang terpercaya dan
tidak perlu lagi dipertanyakan kebenarannya karena hadirnya

29
pernyataan tersebut. Pada bagian ini, wartawan akan menggunakan
partisipan publik untuk mendukung argumennya.
b. Analisis kalimat (sintaksis).
Ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam level analisis kalimat ini
yaitu sebagai berikut:
1) Koherensi: adalah jalinan atau pertalian antara kata, proposisi atau
kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi yang menggambarkan
fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan melihat koherensi.
Koherensi sederhana dapat dipahami sebagai kesatuan makna
antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Koherensi ini
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu, koherensi sebab
akibat, penjelasan, dan pembeda.
2) Pengingkaran: Bentuk praktik wacana yang menggambarkan
bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin
diekspresikan secara implisit (tidak langsung) Pengingkaran
seolah-olah saling bertentangan, tetapi bermaksud untuk
menonjolkan maksud tertentu. Seperti, menunjukkan kelebihan,
kualitas, dan lain sebagainya, karena dengan adanya pembandingan
ini, maka kualitas dan kuantitas suatu hal bisa dinilai.
Pengingkaran digunakan oleh wartawan untuk menunjukkan
sebuah persetujuan atas hal tersebut, tetapi hakikatnya untuk
menyetujui.
3) Bentuk kalimat: Ini berkaitan dengan cara berpikir seseorang yang
tergambar dalam sebuah teks. Misalnya penggunaan prinsip
kausalitas sebagai bagian dari cara berpikir logis. Umumnya, setiap
hal atau peristiwa tidak terjadi begitu saja, tetapi memiliki
hubungan kausalitas dengan peristiwa sebelumnya. Hubungan
kausalitas ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan
subjek (orang yang menerangkan), predikat (suatu
perbuatan/tindakan), dan objek (hal atau peristiwa yang
diterangkan. Misalnya, dalam kalimat yang berstruktur aktif,
seseorang akan dipahami sebagai pelaku atau yang melakukan
suatu perbuatan. Sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi
objek yang dibicarakan. Bentuk kalimat aktif dan pasif dalam
sebuah teks misalnya, tidak terjadi begitu saja, tetapi lebih pada
cara penulis menyampaikan maksudnya. Di mana konsekuensi dari
pemilihan ini adalah bermaksud mendominasi atau didominasi.
Dalam kalimat aktif, subjek akan selalu sebagai orang yang
melakukan, sedangkan dalam kalimat pasif subjek sebagai orang
yang diperlakukan.

30
4) Kata ganti: Alat yang digunakan oleh penulis/pembicara untuk
mencapai ideologi tertentu. Di mana kata ganti ini digunakan untuk
memanipulasi bahasa dengan menciptakan komunitas imajinatif
tertentu. Seorang orator menggunakan kata kita untuk
memposisikan dirinya sebagai bagian dari orang banyak atau
membela kelompok tertentu. Padahal pada kenyataannya, itu
adalah bahasanya sendiri, tetapi ideologi yang dimiliki oleh
seorang orator adalah untuk mempengaruhi agar orang melakukan
apa yang diinginkan. Bila diamati, ada usaha keras yang dilakukan
oleh seorang orator dengan menggali fakta yang berhubungan
dengan topik pembicaraan dan karakteristik siapa yang menjadi
lawan bicara. Oleh karena itu, kata ganti merupakan elemen yang
dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi
seseorang dalam wacana.

2. Kognisi sosial (superstruktur)


Kognisi sosial hadir untuk menjembatani antara teks dan konteks. Kognisi
sosial ini berkaitan dengan proses mental dan proses produksi wacana.
Untuk melihat kognisi sosial ini, seorang penganalisis bisa membuat daftar
pertanyaan yang diajukan kepada pembuat wacana atau tim redaksi jika
wacana itu hadir dari media massa baik yang bersifat elektronik maupun
cetak. Melalui analisis kognisi sosial ini, kita bisa menanyakan konteks
apa yang mempengaruhi wacana dan nilai apa saja yang ada di sosial
masyarakat yang mempengaruhi wacana. Seorang penulis atau pembuat
wacana pada dasarnya berbicara secara tidak langsung kepada masyarakat.
Secara logika berbahasa, seorang pembicara akan memperhatikan lawan
bicaranya, memperhatikan konteksnya, dan nilai sosial budaya apa yang
meliputi pembicaraan itu. Inilah yang mendasari Van Dijk dalam
analisisnya menjadikan kognisis sosial sebagai jambatan antara teks dan
konteks sosial. Dari penjelasan tersebut, kognisi sosial pada dasarnya ingin
menyoal bagaimana proses produksi teks yang melibatkan kognisi
individu atau ruang redaksi wacana.
3. Konteks sosial (struktur makro)
Analisis konteks sosial dilakukan melalui studi intertekstualitas yaitu
dengan mengaitkan suatu wacana dengan wacana yang sebelumnya dan
sesudahnya. Van Dijk memandang konteks sosial ini sebagai struktur
makro atau struktur yang lebih besar. Ini menunjukkan bahwa teks pada
dasarnya adalah bagian kecil dari struktur sosial yang ada. Konteks sosial
ini juga dilihat sebagai struktur luar pembentuk wacana yang perannya
sangat besar dalam proses menghadirkan wacana.

31
F. NORMAN FAIRCLOUGH
Analisis wacana kritis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan
besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat
yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang
mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia
mengombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa dari dalam
ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Menurut Eriyanto
(2001:285) titik perhatian besar Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik
kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa, analisis wacana kritis Fairclough merupakan
analisis wacana yang paling lengkap dalam mengungkap ideologi yang
terkandung dalam teks. Makna yang terkandung dilihat dari tiga dimensi mulai
dari teks, produksi teks, dan sosiokultural yang membangun teks.
Perbedaan penting antara Fairclough (dengan analisis wacana kritis secara
umum) dan teori wacana postrukturalis adalah bahwa pada analisis wacana kritis,
wacana tidak hanya dipandang bersifat konstitutif, namun juga tersusun.
Pendekatan Fairclough intinya menyatakan bahwa, wacana merupakan bentuk
penting praktik sosial yang memproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas,
dan hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk
oleh struktur dan praktik sosial yang lain (Jorgensen dan Philips, 2010:122-123).
Oleh sebab itu, dalam tatanan diskursus Fairclough, wacana memiliki hubungan
dialektik dengan dimensi-dimensi sosial yang lain. Artinya wacana dibangun
bukan hanya dari bahasa saja tetapi wacana dibangun berdasarkan tatanan sosial
atau prakteks sosial yang direfleksikan melalui medium bahasa (linguistik).
Fairclough memahami struktur sosial sebagai hubungan sosial di
masyarakat secara keseluruhan dan di lembaga-lembaga khusus yang terdiri atas
unsur-unsur kewacanaan dan non kewacanaan. Yang dimaksud dengan
kewacanaan dan non kewacanaan adalah bahasa (wacana) dan nonkewacanaan
(masyarkat). Menurut Fairclough (2003:25) tidak ada hubungan eksternal antara
bahasa dan masyarakat, namun pada hubungan internal dan dialektikal. Bahasa
adalah bagian dari masyarakat, fenomena linguistik adalah fenomena sosial yang
khusus, dan fenomena sosial adalah sebagai fenomena linguistik.
Bahasa sebagai praktik sosial, menampakkan hubungan yang sangat erat
antara fenomena linguistik dengan tatanan sosial yang ada. Fenomena linguistik
bersifat sosial, di mana pun orang berbicara, mendengar, menulis, dan membaca,
mereka melakukan dengan cara-cara yang tergantung pada kondisi sosial dan juga
mempunyai efek sosial (Fairclough, 2003:25).
Menurut Eriyanto (2001:285) Norman Fairclough membangun sebuah
model yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang
didasarkan pada linguistik dan pemikiran sosial dan politik, dan secara umum

32
diintegrasikan pada perubahan sosial. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa,
model Fairclough sebagai model perubahan sosial.
Pemusatan Fairclough pada bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada
aktivitas individu untuk merefleksikan sesuatu. Menurut Eriyanto (2001:286)
dalam hal ini mengandung sejumlah implikasi yaitu; 1) wacana adalah bentuk dari
tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan
khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas, 2) adanya
hubungan timbal balik antara wacana dengan struktur sosial, kelas, dan relasi
sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu.
Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi yaitu teks,
discourse practice dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough, teks
dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, kalimat dan semantik. Di
samping itu juga, ia juga memperhatikan kohesifitas dan koherensitas, bagaimana
antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Semua
elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut yaitu;
(a) ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan
dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologi tertentu. Analisis ini pada
sasrnya melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa jadi
membawa muatan ideologis tertentu, (b) relasi, merujuk pada analisis bagaimana
konstruksi hubungan antara wartawan dengan pembaca, seperti apakah teks
disampaikan secara formal dan informal, terbuka atau tertutup, dan yang terakhir
(c) identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan dan
pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan
(Eriyanto, 2001:286-287).
Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses
produksi dan konsumsi teks (Eriyanto, 2001:287). Sebuah teks berita pada
dasarnya dihasilkan lewat produksi teks yang berbeda, seperti bagaimana pola
kerja, bagan kerja, dan rutinitas dalam menghasilkan berita. Sering kali ditemukan
adanya perbedaan cara menyampaikan atau produksi berita oleh wartawan, karena
hal tersebut dipengaruhi oleh media yang satu mungkin sekali mempunyai pola
kerja dan kebiasaan yang berbeda dibandingkan dengan media lain.
Adapun sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan
konteks di luar teks (Eriyanto, 2001:288). Pada konteks ini banyak memasukkan
hal lain seperti, konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktik institusi dari
media sendiri dalam hubugannya dengan masyarakat atau budaya dan politik
tertentu. Misalnya politik media, budaya media atau ekonomi media tertentu yang
berpengaruh terhadap berita yang dihasilkannya. Ketiga dimensi yang
dikembangkan oleh Norman Fairclough dapat digambarkan sebagai berikut.

33
Produksi teks

Text
Konsumsi teks

Discourse Practice

Sociocultural Practice

Sebelum dimensi-dimensi tersebut dideskripsikan, perlu diketahui bahwa


dalam penelitian ini akan menganalisis teks berita yang bersifat hardnews. Artinya
teks-teks yang akan dianalisis merupakan berita asli yang ditulis oleh wartawan
yang dimuat dalam surat kabar Kompas, bukan berita yang bersifat artikel,
editorial, opini atau teks lainnya. Mengenai hal ini Fairclough mengistilahkannya
dengan order of discourse (praktik diskursif dari komunitas pemekai bahasa). Hal
tersebut perlu ditegaskan, karena perbedaan dalam praktik diskursif ini akan
menghasilkan struktur wacana yang berbeda pada pilihan kata, kalimat, dan
kutipan. Misalnya, editorial dengan opini berbeda seperti yang satu harus bersifat
objektif sementara yang lain murni opini. Bukan hanya pilihan kata atau kalimat
yang berbeda tetapi proses produksi dan konsumsi berita juga berbeda. Bagaimana
berita dihasilkan umumnya berbeda dengan pembuatan editorial yang umumnya
personal. Demikian juga dengan konteks situasi di mana teks tersebut dihasilkan.

A. TEKS
Faircloucgh melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan
hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana
hubungan antarobjek didefinisikan (Eriyanto, 2003:289). Dalam dimensi teks ini,
ada tiga elemen dasar yang dikemukakan oleh Fairclough untuk menggambarkan
suatu objek yaitu representasi, relasi dan identitas. Setiap teks pada dasarnya,
menurut Fairclough dapat diuraikan dan dianalisis dari tiga unsur ini. Ketiga
elemen tersebut dapat dijelaskan sebegai berikut.
1) Representasi
Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok,
tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi dalam pengertian
Fairclough dilihat dari dua hal, yaitu bagaimana seseorang, kelompok, dan

34
gagasan ditampikan dalam anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antar anak
kalimat (Eriyanto, 2003:290). Artinya representasi seseorang, kelompok, dan
gagasan-gagasan mengenai objek yang dibicarakan ditampilkan dalam bentuk-
bentuk anak kalimat dan rangkaian antar anak kalimat.
1) Representasi dalam Anak Kalimat
Dalam representasi anak kalimat ini berhubungan dengan bagaimana
seseorang, kelompok, dan kegiatan yang ditampilkan dalam teks (Eriyanto, 290).
Anak kalimat dalam sebuah teks biasanya mengambarkan seseorang, kelompok
atau kegiatan tertentu. Melalui anak kalimat ini, akan ditemukan bagaimana
seseorang, kelompok, atau bentuk kegiatan ditampilkan dengan bertujuan
memarginalkan, mendiskriminasi dan lain sebagainya.
Menurut Fairclough, ketika sesuatu tersebut ditampilkan, pada dasarnya
pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua pilihan. Pertama, pada tingkat
kosa kata; kosa kata apa yang dipakai untuk menampilkan dan menggambarkan
sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu
set kategori. Misalnya, Apakah pertentangan KPK dengan Polri dikatakan sebuah
permusuhan, konflik atau kisruh? Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat
grammar (tata bahasa). Terutama pada perbedaan diantara tindakan (dengan aktor
sebagai penyebab) dan sebuah peristiwa (tanpa aktor sebagai penyebab atau
pelaku). Ini bukan hanya masalah ketatabahasaan, karena realitas yang dihadirkan
dari pemakaian tata bahasa ini berbeda. Pemakai bahasa dapat memilih, apakah
seseorang, kelompok atau kegiatan tertentu hendak ditampilkan sebagai sebuah
tindakan ataukah sebagai sebuah peristiwa (dalam Eriyanto, 2003:290). Misalnya
saja, kata “kisruh” adalah kata yang menunjukkan sebuah peristiwa, tetapi dalam
kenyataannya bisa mengacu pada sebuah makna tindakan.

Selanjutnya, Fairclough (2003:126) menyatakan bahwa kata-kata dan tata


bahasa (geramtika) mampu merepresentasikan seseorang, kelompok atau kegiatan
yang dapat dicermati dengan mengajugan beberapa pertanyaan. Beberapa
pertanyaan yang dimaksud Firclough pada tataran kosa kata yaitu:
a) Nilai-nilai eksperiensial apa yang terkandung dalam kata?
Pengelompokan apakah yang tergambar dalam kata-kata?
Adakah kata-kata yang secara ideologis tidak pantas atau tidak
sesuai?
Adakah penyusunan kata kembali (rewording) atau kelebihan
penyusunan kata (overwording)?
Hubungan makna yang signifikan secara ideologis apakah
(sinonim, hiponim, antonim) yang ada dalam kata-kata?
b) Nilai-nilai relasional apakah yang termuat dalam kata-kata?
Adakah ungkapan-ungkapan eufemisme?

35
Adakah kata-kata informal yang menonjol?
c) Nilai-nilai ekspresif apakah yang terkandung dalam kata-kata?
d) Metafora-metafora apa yang digunakan?
Adapun pada tataran tata bahasa (gramatika) Fairclough (2003:127)
mengajukan beberapa pertanyaan untuk melihat bentuk perepresentasian
seseorang, kelompok atau kegiatan.
a) Nilai-nilai ekprensial apa yang terkandung pada aspek-aspek
gramatika?
Tipe-tipe proses dan partisipan apa yang lebih dominan?
Apakah agen tidak jelas?
Apakah proses-proses seperti tampaknya?
Apakah pengangkaan digunakan?
Apakah kalimat-kalimatnya aktif atau pasif?
Apakah kalimat-kalimatnya positif atau negatif?
b) Nilai-nilai relasional apa yang terdapat pada aspek-aspek gramatika?
Model-model apakah (deklaratif, pertanyaan gramatikal, imperatif)
yang digunakan?
Adakah aspek-aspek penting modalitas relasional?
Apakah digunakan kata ganti kita dan anda, kalau ada bagaimana?
c) Nilai-nilai ekspresif apa yang ada pada aspek-aspek gramatikal?
Adakah aspek-aspek penting modalitas ekspresif?
d) Bagaimana kalimat-kalimat (sederhana) saling berkaitan?
Kata penghubung logis apa yang digunakan?
Apakah kalimat kompleksnya ditandai dengan koordinasi atau
subordinasi?
Arti apa yang digunakan untuk merujuk sesuatu yang ada di dalam
atau di luar teks?
Berdasarkan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan oleh
Fairclough tersebut, dapat memberikan keluasan pemahaman dalam menemukan
kata-kata atau tata bahasa yang merepresentasikan tindakan seseorang, kelompok,
atau suatu kegiatan. Pertanyaan-pertanyaan itu juga menjadi modal bagi pembaca
untuk memahami ideologi yang terselubung dibalik pemakaian kata yang
digunakan oleh seseorang atau kelompok untuk memarjinalkan kelompok tertentu,
karena kata-kata yang sepadan maknanya dapat menampilkan realitas yang
berbeda-beda dalam konteks tertentu di dalam wacana.
Pilihan kosa kata yang dipakai terutama berhubungan dengan bagaimana
peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dikategorisasikan dalam
suatu set tertentu. Kosa kata ini sangat menentukan, karena berhubungan dengan
pertanyaan bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa itu
dimunculkan realitas bentukan tertentu (Eriyanto, 2003:290-291). Artinya pilihan

36
kosa kata sangan menentukan realitas apa yang ditampilkan dalam sebuah teks.
Yang menarik di sini bukan hanya bagaimana pilihan kata yang dipilih
menimbulkan realitas yang berbeda, tetapi juga bagaimana realitas yang sama
dapat dibahasakan secara berbeda. Misalnya, degan pemakaian seperti kata
miskin, tidak mampu, kurang beruntung, dalam konteks yang berbeda akan
menimbulkan realitas makna yang berbeda pula. Walaupun pada dasarnya semua
kata tersebut dibatasi pada persoalan rakyat miskin semata.
Selain kata-kata, pilihan dapat juga dilihat dari pemakaian metafor yang
dipakai. Menurut Fairclough, pilihan pada metafor merupakan kunci bagaimana
realitas ditampilkan dan dibedakan dengan yang lain. Metafor bukan hanya
persoalan keindahan litrer, karena bisa menentukan apakah realitas itu dimaknai
dan dikategorikan sebagai hal yang positif ataukah negatif (dalam Eriyanto,
2003:292). Misalnya, kata ‘buaya’ dapat ditampilkan dengan memberi metafor
kepada Polisi, sedangkan kata ‘cicak’ memberi metafor pada KPK dalam berita
perseteruan. Metafor ini bukan sekedar pemberi identitas atau identifikasi, tetapi
terkandung di dalamnya penilaian positif dan negatif.
Selanjutnya, pada tingkat tata bahasa, Eriyanto (2003:292) menyatakan
bahwa, analisis Faiclough terutama dipusatkan pada apakah tata bahasa
ditampilkan dalam bentuk proses ataukah dalam bentuk partisipan. Dalam bentuk
proses apakah seseorang, kelompok, kegiatan ditampilkan sebagai tindakan,
peristiwa, keadaan, ataukah proses mental. Ini terutama didasarkan pada
bagaimana suatu tindakan hendak digambarkan. Bentuk tindakan menggambarkan
bagaimana aktor melakukan suatu tindakan tertentu kepada seseorang yang
menyebabkan sesuatu. Mengenai tata bahasa yang menggambarkan bentuk suatu
tindakan, peristiwa, keadaan, dan proses mental dapat dicermati pada contoh
berikut ini
Tindakan : Oknum polisi memperkosa seorang wanita
Peristiwa : Oknum polisi melakukan pemerkosaan
Seorang wanita mengalami pemerkosaan
Keadaan : Seorang wanita diperkosa
Proses mental: Pemerkosaan terjadi lagi di Jakarta
Selain yang sudah dijelaskan di atas, bentuk partisipan juga melihat
bagaimana aktor ditampilkan. Apakah aktor ditampilkan sebagai pelaku atau
korban dalam pemberitaan? Hal tersebut dapat dijawab dengan mengidentifikasi
partisipan yang ditampilkan dalam teks. Sebagai pelaku, umumnya ditampilkan
dalam bentuk kalimat aktif. Sedangkan bentuk kalimat pasif umumnya
menampilkan partisipan sebagai korban (Eriyanto, 2003:293). Bentuk lain dalam
menampilkan partisipan yaitu dengan membentuk nominalisasi, di mana yang
ditampilkan adalah bentuk dari suatu kegiatan tanpa perlu merujuk kepada
partisipan atau pihak-pihak yang terlibat.

37
2) Representasi dalam Kombinasi Anak Kalimat
Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabung
sehingga membentuk suatu pengertian yang dapat dimaknai. Pada dasarnya
realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu anak kalimat dengan
anak kalimat yang lain (Eriyanto, 2003:294). Yang dimaksud dengan antara anak
kalimat dengan anak kalimat yang lain adalah adanya dua fakta yang terpisah
digabungkan menjadi satu sehingga membentuk suatu makna. Gabungan antar
anak kalimat ini akan membentuk koherensi lokal, yakni pengertian yang didapat
dari gabungan anak kalimat satu dengan yang lain, sehingga kalimat itu
mempunyai arti. Tentunya ini tidak lepas dengan penggunaan kata penghubung
yang membentuk koherensi antar anak kalimat.
Koherensi antar anak kalimat ini mempunyai tiga bentuk yaitu: (1)
elaborasi, anak kalimat yang satu menjadi penjelas dari anak kalimat yang lain.
Umumnya bentuk ini dihubungkan dengan pemakaian kata sambung seperti;
yang, lalu, dan selanjutnya, dan (2) perpanjangan, di mana anak kalimat satu
merupakan perpanjangan anak kalimat yang lain. Umumnya bentuk dihubungkan
dengan kata hubung seperti; dan, atau, tetapi, meskipun, akan tetapi, dll, dan (3)
mempertinggi, di mana anak kalimat yang satu posisinya lebih besar dari anak
kalimat yang lain. Kata hubung yang biasa digunakan yaitu; karena atau
diakibatkan.
3) Representasi dalam Rangkaian Antarkalimat
Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang
lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang lain (Eriyanto, 2003:296).
Artinya, representasi dalam rangkaian antar anak kalimat ini berhubungan dengan
bagaimana dua kalimat atau disusun dan dirangkai sehingga membentuk makna
yang koheren. Salah satu aspek yang penting adalah apakah partisipan dianggap
mandiri ataukah ditampilkan memberikan reaksi dalam teks tersebut. Hal tersebut,
dapat diidentifikasi paling tidak ada tiga bentuk pernyataan ditampilkan dalam
teks yaitu: (1) dengan mengutip secara langsung apa yang dikatakan oleh aktor,
(2) dengan meringkas apa inti yang disampaikan oleh aktor, dan (3) lewat
evaluasi, di mana menyatakan aktor dievaluasi kemudian ditulis ke dalam berita.
Pembagian ini sering ditemukan pada judul dan lead surat kabar. Pernyataan
seperti ini bukan hanya teknis jurnalistik, tetapi juga membawa konsekuensi
ideologi tertentu. Umumnya surat kabar lebih suka menampilkan evaluasi atas
pernyataan seorang aktor dalam pemberitaan, seperti pernyataan aktor atau
pendapat ahli. Pengutipan pendapat seperti ini oleh wartawan bisa dideteksi
dengan dua asumsi dasar yaitu apakah pendapat itu dijadikan sebagai ide dominan
dalam pemberitaan?, atau apakah sebagai sesuatu yang harus dikritisi?

38
2) Relasi
Relasi berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media
dihubungkan dan ditampilkan dalam teks. Media di sini dipandang sebagai suatu
arena sosial, di mana semua kelompok, golongan, dan khalayak yang ada dalam
masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan versi pendapat dan
gagasannya (Eriyanto, 2003:300). Selanjutnya, beliau merumuskan pendapat
Fairclough mengenai persoalan ini, setidaknya ada tiga kategori partisipan utama
dalam media yang menunjukkan relasi yaitu: wartawan (memasukkan diantaranya
reporter, redaktur, pembaca berita untuk televisi dan radio), khalayak media, dan
partisipan publik, memasukkan diantaranya politisi, pengusaha, tokoh
masyarakat, artis, ulama, ilmuan, dan sebagainya.
Titik perhatian dari analisis hubungan, bukan pada bagaimana partisipan
publik itu ditampilkan dalam media (representasi), tetapi bagaimana pola
hubungan di antara ketiga aktor tadi ditampilkan dalam teks: antara wartawan
dengan khalayak, antara partisipan publik, baik politisi, pengusaha, atau lainnya
dengan khalayak, dan antara wartawan dengan partisipan publik. Semua analisis
hubungan itu diamati dari teks (Eriyanto, 2003:300). Analisis hubungan diamati
dalam teks berita lebih ditekankan pada pola hubungan yang dijalin oleh
wartawan, khalayak media dan partisipan publik dalam pemberitaan.
Analisis tentang konstruksi hubungan ini dalam media sangat penting dan
signifikan terutama kalau dihubungkan dengan konteks sosial, karena pengaruh
dari posisi-posisi mereka yang ditampilkan dalam media menunjukkan konteks
masyarakat (Eriyanto, 2003:301). Konstruksi hubungan yang ditampilkan dalam
media di antara khalayak dan kekuatan sosial yang mendominasi kehidupan
ekonomi, politik, dan budaya merupakan bagian yang penting dalam memahami
perkembangan relasi kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat.
Analisis hubungan yang terkonstruksi dalam media ini penting dalam dua
hal yaitu: Pertama, kalau dikatakan bahwa media adalah ruang sosial di mana
masing-masing kelompok yang ada dalam masyarakat saling mengajukan gagasan
dan pendapat, dan berebut mencari pengaruh agar lebih diterima oleh publik,
maka analisis hubungan akan memberi informasi yang berharga bagaimana
kekuatan-kekuatan sosial ini ditampilkan dalam teks. Kelompok yang mempunyai
posisi tinggi, umumnya ditempatkan lebih tinggi dalam relasi hubungan dengan
wartawan dibandingkan dengan kelompok minoritas. Kedua, analisis hubungan
juga penting untuk melihat bagaimana khalayak hendak ditempatkan dalam
pemberitaan. Bagaimana pola hubungan antara wartawan dengan partisipan lain
itu ingin dikomunikasikan kepada khalayak (Eriyanto, 301-303). Dari kedua hal
tersebut dapat dikatakan bahwa, pola-pola hubungan yang dibentuk oleh wartawan
dalam pemberitaan yang dikomunikasikan kepada khalayak menggambarkan
hubungan tinggi-rendah antara wartawan, khalayak media dan partisipan publik.

39
3) Identitas
Faiclough melihat aspek identitas ini dengan melihat bagaimana identitas
wartawan ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks pemberitaan. Yang manarik,
menurut Fairclough, bagaimana wartawan menempatkan dan mengidentifikasi
dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang terlibat: ia
mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok mana? Apakah
wartawan ingin mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari khalayak ataukah
menampilkan dan mengidentifikasi dirinya secara mandiri (Eriyanto, 2003:304).
Dalam pemberitaan, wartawan menempatkan dirinya sebagai orang yang bebas
dalam mengambil peran identitas. Artinya wartawan bisa saja menempatkan
dirinya sebagi orang yang pro (atau bagian dari masyarakat/kelompok tertentu)
dan kontra (atau bukan bagian dari masyarakat/kelompok tertentu) terhadap apa
yang diberitakan.

B. INTERTEKSTUALITAS
Intertektualitas adalah sebuah istilah di mana teks dan ungkapan dibentuk
oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari
teks tersebut mengantisipasi lainnya (Eriyanto, 2003:305). Setiap ungkapan
dihubungkan dengan rantai dari komunikasi. Artinya semua pernyataan-
pernyataan yang ada dalam teks dihubungkan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya, sehingga membentuk rantai komunikasi yang utuh, karena semua
pernyataan/ungkapan didasarkan oleh ungkapan lain, baik itu bersifat eksplisit
atau implisit. Dalam hal ini, wartawan memberitakan dengan kata-kata lain,
dievaluasi, diasimilasi, disuarakan, dan diekspresikan kembali dengan bentuk lain.
Menurut Eriyanto (2003:320) wacana bersifat dialogis, seorang penulis teks
pada dasarnya tidak berbicara dengan dirinya sendiri dan menyuarakan dirinya
sendiri. Artinya, seorang (wartawan) dalam memberitakan informasi pada
dasarnya dihadapkan dengan suara-suara lain dan menempatkan dirinya dalam
suara-suara itu. Bahkan apa yang dihadapi oleh wartawan lebih kompleks, karena
ia memberitakan peristiwa dengan aneka suara dari begitu banyak pandangan dan
suara. Teori intertekstualitas ini dipakai untuk menghadirkan bagaimana wartawan
menghadapi aneka suara itu dan bagaimana ia menampilkan suara dan pandangan
banyak pihak itu dihadapkan dengan suaranya sendiri yang akan ditampilkan
dalam teks berita.
Masalah intertekstualitas dalam berita dapat dideteksi dari pengutipan
sumber berita/narasumber dalam berita. Menurut Fairclough (dalam Eriyanto,
2003:307), suara seseorang sumber berita yang akan dijadikan berita bisa
ditapilkan secara langsung (direct discourse) dapat juga secara tidak langsung
(indirect discourse). Pemilihan antara pengutipan langsung dengan pengutipan
tidak langsung bukanlah semata-mata persoalan teknis jurnalistik, karena

40
sebetulnya pilihan mana yang diambil menggambarkan strategi wacana
bagaimana wartawan menempatkan dirinya di tengah banyak suara yang berada di
luar dirinya.
Wartawan pada dasarnya, tidak berbicara atas dirinya sendiri kepada
khalayak, tetapi ia berhadapan dengan beragam pandangan, ide, suara-suara yang
harus ia tampilkan. Wartawan dalam menyuarakan ide, pandangan atau apa saja
dengan menggunakan kutipan langsung dan tidak langsung. Dalam kutipan
langsung, ditandai dengan pemakaian tanda kutip untuk menunjukkan bahwa
bagian yang dikurung dengan tanda kutip tersebut merupakan suara atau pendapat
orang. Jika wartawan menggunakan kutipan langsung dalam menyuarakan
pendapat seseorang, berarti suara seseorang tersebut ditampilkan secara eksplisit.
Sebaliknya, dalam kutipan wacana tidak langsung, suara orang lain tersebut
disuarakan lewat mulut dan suara wartawan secara implisit. Ini bisa dideteksi di
dalam suatu berita seperti pemakaian kata mengatakan, menyerukan,
mengharuskan, atau pemakaian kata keterangan bahwa yang menegaskan bahwa
wartawanlah yang menyampaikan apa yang disuarakan oleh orang lain.
Dalam intertekstualitas, sering kali terjadi ambiguitas dalam bahasa. Di satu
sisi, teks menampilkan suara wartawan, di sisi lain menampilkan suara atau teks
lain di luar dirinya. Masalah ambiguitas ini dapat dilihat dari pemakaian kata-kata,
kalimat, dan ungkapan yang dipakai oleh wartawan. Hal tersebut dapat dideteksi
apakah kata-kata, kalimat, atau ungkapan itu merupakan ungkapan yang diberikan
oleh sumber, ataukah kata-kata yang disuarakan oleh wartawan sendiri, ini dapat
dideteksi dengan memahami pola kalimat yang digunakan, sehingga dapat
dipahami makna dari kata-kata, kalimat atau ungkapan tersebut, karena
pengubahan dari kutipan langsung menjadi kutipan tidak langsung berpengaruh
pada perubahan semantik kalimat tersebut. Oleh sebab itu, untuk memahami
apakah itu suara wartawan atau suara orang lain dalam berita, dapat dicermati dari
pemakaian pola kalimat (kutipan langsung/tidak langsung) dan mengajukan
pertanyaan “Apakah bahasa yang direpresentasikan dalam teks berita tersebut
merupakan bahasa dia (wartawan) sendiri ataukah bahasa suara orang lain?” pada
setiap kata, kalimat atau ungkapan yang kira-kira terlihat ambiguitas.
Selanjutnya, menurut Eriyanto (2003:310) intertekstualitas secara umum,
dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu, manifest intertectuality dan
interdiscursivity. Manifest intertectuality adalah bentuk intertekstualitas di mana
teks yang lain atau suara yang lain itu muncul secara eksplisit dalam teks. Dalam
manifets intertectuality, teks lain hadir secara eksplisit dalam teks, yang muncul
misalnya dalam bentuk kutipan. Sebuah teks mungkin menggabungkan teks yang
lain tanpa secara langsung mengutip teks yang lain. Hanya mendasari melalui
berbagai kovensi dalam proses produksi teks.

41
Menurut Eriyanto (2003:311-312) ada beberapa jenis dari intertekstualitas
yang manifes ini, seperti (a) representasi wacana, (b) Pengandaian, (c) negasi, (d)
ironi, dan (e) metadiskursus.
a) Representasi wacana
Represesntasi wacana digunakan untuk menunjuk pada suatu istilah
bagaimana peristiwa tersebut dilaporkan dalam berita. Mengapa wartawan
memilih suatu jenis laporan atau wacana tertentu dibandingkan yang lain?
Apa yang ditampilkan tersebut bukan hanya ucapan, tetapi juga tulisan, dan
tidak hanya gambaran tata bahasa, tetapi juga tipe wacana tertentu.
Bagaimana pendapat, percakapan, dan wawancara ditampilkan dalam suatu
tipe laporan tertentu, dan apa yang ditampilkan dalam suatu tipe laporan
tertentu. Dan apa yang ditampilkan tersebut bisa sama sekali berbeda.
b) Pengandaian
Pengandaian adalah proposisi yang diterima oleh pembuat teks yang siap
ditempatkan sebagai suatu yang dipandang benar dan ditempatkan dalam
organisasi teks secara keseluruhan. Kata-kata seperti “ingat”, “tahu”, ketahui
bersama”, adalah contoh dari pengandaian sesuatu. Seperti dalam kalimat:
“Seperti diketahui, KPK dengan Polri...dst” ini mengandaikan ada teks lain
bahwa apa yang dikatakan itu benar. Pengandaian umumnya hadir tanpa
disadari oleh wartawan, dan diterima sebagai suatu kebenaran. Proposisi ini
juga bisa muncul lewat makna yang diterima, dan sering kali tidak
dipertanyakan. Artinya ada teks berupa peristiwa-peristiwa lain di mana
kemudian muncul pandangan semacam itu. Akan tetapi pengandaian ini hadir
sebelum peristiwa, bahkan hadir sebelum penilaian diberikan pada peristiwa,
sesuatu yang diterima taken for granted, sehingga memanipulasi peristiwa
karena selalu dihubungkan dengan pengandaian semacam itu.
c) Negasi
Kalimat negasi sering kali digunakan untuk tujuan polemik. Kalimat negasi
membawa tipe khusus dari pengandaian di mana juga bekerja secara
intertekstualitas, masuk dalam teks lain. Misalnya dalam ungkapan Budi
Gunawan: “Saya tidak menerima uang sepeser pun”, mengandaikan ia tidak
menerima apa-apa.
d) Ironi
Ironi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahwa apa yang
dikatakan sebelumnya bukan apa yang ingin diungkapkannya. Itu hanya
dimaksudkan untuk menyindir, atau untuk tujuan humor, dan sebagainya.
Kalau hari ini mendung dan kita mengatakan “liburan yang baik adalah ketika
cuaca terang” adalah ironi karena keadaan saat itu tengah mendung.
Pernyataan yang ironi biasa digunakan untuk menyindir keadaan, peristiwa,
kebijakan yang tidak sesuai dengan sebenarnya, dan lain sebagainya.

42
e) Metadiskursus
Metadiscourse adalah bentuk dari manifest intertectuality di mana pembuat
teks memberikan tingkat yang berbeda ke dalam teks yang dia miliki dan
membuat jarak darinya dengan tingkat teks yang lain. Metadiscourse ini
umumnya dipakai dengan membatasi objek pembicaraan dengan
pengungkapan tertentu seperti “termasuk” atau “tertentu”. Misalnya sebuah
berita dengan mengatakan “Joko Widodo tipe pemimpin yang paternalistik”
adalah membuat batas atau jarak dengan memberi identifikasi dan jenis
tertentu pada objek pembicaraan. Metadiscourse menampilkan pembicara
dalam situasi yang dominan dan memosisikan objek pada kelompok yang
tidak dominan atau menjadi objek yang didefinisikan.
Selanjutnya, jenis yang kedua dalam intertektualitas yaitu interdiscursivity.
Kalau dalam manifest intertectuality, teks-teks lain itu dapat diamati dan berwujud
dalam teks. Sedangkan interdiscursivity, teks-teks lain tersebut mendasari
konfigurasi elemen-elemen yang berbeda dari order of dicourse. Fairclough
menyatakan, prinsip dari interdiskursif tersebut dijalankan pada berbagai level
yaitu: pada tingkat societals, institusional, personal, dan sebagainya. menurut
Fairclough (dalam Eriyanto, 2003:313), ada beberapa elemen dari interdiskursif
ini yaitu: (a) genre, (b) tipe aktivitas (activity type), (c) gaya (style), dan (d)
wacana. Elemen-elemen tersebut dapat dirangking karena satu elemen
menjelaskan atau menjabarkan elemen yang lain. Artinya antara elemen yang satu
dengan elemen yang lain saling berkaitan dalam suatu teks.
Mengenai elemen-elemen interdiskursif tersebut dapat digambarkan dalam
tabulasi berikut:
a) Genre
Istilah genre adalah bagian dari konvensi yang dihubungkan dengan
tindakan: membeli barang di toko, wawancara pekerjaan, sebuah puisi,
artikel ilmiah, dan lain sebagainya. Sebuah genre tidak hanya menampilkan
tipe teks tertentu, tetapi juga proses produksi, distribusi, dan konsumsi dari
teks. Misalnya, puisi dan berita bukan hanya berbeda dalam cara produksi
(yang satu diproduksi secara kolektif kerjasama, sedangkan yang kedua
diproduksi individual), tetapi perbedaan dalam hal konsumsi teks. Berita
diterima dengan deskripsi, sedangkan puisi diterima dan dihayati dengan
jalan interpretasi dan dihayati maknanya.
b) Tipe aktivitas
Tipe akativitas lebih spesifik dari genre. Tipe aktivitas merupakan genre
tertentu yang dihubungkan dengan struktur komposisi tertentu. Salah satu
aktivitas, menurut Fairclough, ditandai dengan bagaimana tindakan dan
subjek dikomposisikan dalam suatu organisasi tipe aktivitas tertentu. Melalui
komposisi/organisasi tersebut, tindakan, subjek, dan objek diatur dalam suatu

43
tata aturan tertentu dalam suatu tipe aktivitas tertentu. Misalnya, tipe
aktivitas membeli barang di warung dengan di supermarket (membeli barang
diwarung ada aktivitas tawar-menawar harga, sedangkan di supermarket
mencari sendiri dengan lebel harga yang diinginkan). Oleh karena itu,
perbedaan tipe aktivitas tersebut terjadi di banyak tempat. Tempat dan situasi
berpengaruh dalam menentukan tipe aktivitas. Di sini genre disesuaikan
dengan tipe aktivitas tertentu. Misalnya saja, kegiatan mengajar berbeda
antara tipe megajar di kelas dengan di pesantren, dan sebagainya.
c) Gaya
Sebuah genre juga dihubungkan dengan gaya tertentu, ia mempunyai
beberapa alternatif melalui mana genre disebarkan. Gaya ini menentukan
bagaimana partisipan dalam suatu interaksi. Misalnya, genre wawancara
dapat memilih gaya seperti formal, informal, santai, dan sebagainya. Gaya
ini bukan hanya menentukan bagaimana seseorang berinteraksi tetapi juga
kata-kata dan istilah yang dipakai dalam interaksi tersebut. Misalnya, sebuah
tulisan akademik, juranlistik, formal, dan lain sebagainya.
d) Wacana
Wacana menunjuk pada dimensi teks yag secara umum didefinisikan sebagi
isi, ide, tema, topik, dan sebagainya. Di sini wacana menunjuk pada apa yang
disampaikan oleh teks tersebut. Misalnya wacana feminis tentang
seksualitas, di sini menunjuk pada bagaimana tema seksualitas dikonstruksi
dari pandangan kaum feminis. Atau wacana ilmiah dunia kedokteran,
menunjuk bagaimana diskursus mengenai medik dikontruksi.

Berbagai jenis dari interterdiskursif tersebut dapat digambarkan sesuai


dengan objek penelitian ini. Penelitian ini meneliti genre surat kabar Harian
Kompas yang memberitakan perseteruan antara KPK dengan Polri. Tipe aktivitas
dari berita tersebut adalah hardnews, yang memposisikan pembuat berita sebagai
subjek dan khalayak sebagi pembaca. Berita dengan tipe semacam ini
memasukkan struktur judul, topik, ringkasan (summary), tubuh berita (isi), dan
penutup. Laporan berita memasukkan beberapa gaya (style) yang dapat dilihat dari
pilihan kosakata dan retorika yang disajikan. Wartawan sebagai pembuat berita,
mengkonstruksi pengetahuan dan informasi kepada khalayak. Kosakata banyak
mengambil dari perpolitikan, demikian juga dengan retorika dan metafora yang
digunakan dalam pemberitaan perseteruan KPK dengan Polri.

C. PRAKTIK WACANA (DISCOURSE PARACTICE)


Analisis discourse practice memusatkan perhatian pada bagaimana produksi
dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang akan
menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi (Eriyanto, 2003:316). Misalnya,

44
wacana di kelas, wacana ini terbentuk lewat suatu praktik diskursus yang
melibatkan bagaimana hubungan antara guru dan murid, bagaimana pola
hubungan dan posisi murid dalam pelajaran di kelas, dan sebagainya akan
menghasilkan wacana yang berbeda.
Hal yang sama terjadi dalam media. Teks berita melibatkan praktik
diskursus yang rumit dan kompleks. Praktik wacana inilah yang menentukan
bagaimana teks tersebut dibentuk. Dalam pandangan Fairclough, ada dua sisi dari
praktik diskursus tersebut, yaitu produksi teks (di pihak media) dan konsumsi teks
(di pihak khalayak). Jadi kedua hal ini berhubungan dengan jaringan yang
kompleks yang melibatkan berbagai aspek praktik diskursif (Eriyanto, 2003:317).
Artinya, sebuah topik berita atau permasalahan yang diberitakan harus dicari tahu
bagaimana teks tersebut diproduksi dan bagaimana juga teks tersebut dikonsumsi.
Dalam produksi teks dan konsumsi teks yang dianggap berhubungan secara
kompleks, setidaknya ada tiga aspek penting yaitu (1) dari sisi wartawan itu
sendiri, (2) dari sisi bagaimana hubungan antara wartawan dengan struktur
organisasi media, baik dengan sesama anggota redaksi (hubungan antara redaktur,
redaktur pelaksana, reporter, dan sebagainya) maupun dengan bidang lain dalam
satu media (periklanan, pemasaran, distribusi, dan sebagainya), dan (3) praktik
kerja/rutinitas editing sampai muncul sebagai tulisan di media (Eriyanto,
2003:317). Ketiga elemen ini merupakan keseluruhan praktik wacana dalam suatu
media yang membentuk mata rantai dalam memproduksi suatu wacana berita.

D. PRAKTIK SOSIAL-BUDAYA (SOCIOCULTURAL PRACTICE)


Analisis sociocultral practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial
yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam
media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau kotak kosong yang
steril, tetapi sangat ditentukan oleh faktor di luar dirinya (Eriyanto, 2003:320).
Selanjutnya, beliau juga menyatakan bahwa, sociocultural praktice ini memang
tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan
bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Artinya, sosiokutural yang ada di luar
redaksi itu sangat berpengaruh dalam produksi dan konsumsi teks yang
dimunculkan. Idiologi masyarakat yang patriarki, komunis, kapitalis, borjuis,
agamis sangat berperan dalam membentuk teks yang patriarkial, komunis, kapital,
dan berbau agama. Eriyanto (2003:321) menegaskan bahwa, sociocultural
practice menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam
masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan pada masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan besar dalam masalah ini adalah, bagaimana
sociocultural practice ini menentukan teks? Menurut Fairclough (dalam Eriyanto,
2003:321), hubungan itu bukan langsung tetapi dimediasi oleh dicourse practice.
Kalau ideologi dan kepercayaan masyarakat itu paternalistik, maka hubungannya

45
dengan teks akan dimediasi oleh bagaimana teks tersebut diproduksi dalam satu
proses dan praktik pembentukan wacana.
Mediasi itu menyangkut dua hal yaitu: (1) bagaimana teks tersebut
diproduksi. Ideologi patriarkial itu akan mewujud dalam bagaimana teks
diproduksi dalam ruang-ruang kerja redaksional dan penentuan berita yang akan
menghasilkan teks berita tertentu. Praktik diskursus inilah yang secara langsung
akan menentukan bagaimana teks patriarkal tersebut diproduksi, dan (2) khalayak
juga akan mengonsumsi dan menerima teks tersebut dalam pandangan patriarkal.
Misalnya, khalayak yang memang suka membaca berita mengenai perkosaan yang
korbannya wanita diaggap sebagai suatu kewajaran dan tidak perlu dikritisi.
Mengenai sociocultural practice ini, Fairclough (dalam Eriyanto, 2003:322)
membuat tiga level analisis yaitu level situasional, institusional, dan sosial.
1. Situasional
Dalam konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi di antaranya
memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut diproduksi. Teks dihasilkan
dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik, sehingga satu teks bisa jadi
berbeda dengan teks yang lain. Jika wacana dipahami sebagai suatu tindakan,
maka tindakan itu sesungguhnya adalah upaya untuk merespons situasi atau
konteks sosial tertentu. Pemberitaan mengenai perseteruan antara KPK dengan
Polri sejak mulainya sampai pada pasca perseteruan muncul secara berbeda,
karena setiap peristiwa dibuat dengan konteks situasional yang khas, yang
melibatkan emosi dan nuansa tertentu.
2. Institusional
Pada level institusional melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi
dalam praktik produksi wacana, institusi ini bisa berasal dalam diri media sendiri,
bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses
produksi berita. Faktor institusi yang penting adalah institusi yang berhubungan
dengan ekonomi media (Eriyanto, 2003:323). Produksi berita di media kini tidak
mungkin bisa dilepaskan dari pengaruh ekonomi media yang sedikit banyak bisa
berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan.
Selain ekonomi media, faktor institusi lain yang berpengaruh adalah politik.
Institusi politik yang mempengaruhi kehidupan dan kebijakan yang dilakukan
oleh media. Seperti institusi negara yang bisa menentukan sejauh mana kondisi
dan imitasi politik di mana media terbit yang sedikit banyak akan sangat
berpengaruh terhadap wacana yang diberitakan. Oleh karena itu berita yang
dipilih harus disesuaikan agar tidak menjadi ancaman terhadap kelangsungan
kehidupan media. Produksi berita merupakan proses yang kompleks karena media
tersebut menyertakan dan berhubungan dengan banyak kekuatan dan faktor yang
ada dalam masyarakat, dan hasil akhir dari seluruh proses negosiasi semacam itu

46
adalah berita (Eriyanto, 2003:324) Hal ini juga berkaitan dengan regulasi dan
aneka pengaturan yang membatasi proses produksi berita.
Institusi politik dalam arti bagaimana media digunakan oleh kekuatan-
kekuatan plitik yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, media bisa menjadi
alat kekuatan-kekuatan dominan yang ada dalam masyarakat untuk merendahkan
dan memarjinalkan kelompok lain, diantaranya dengan menggunakan kekuatan
media. Seringkali kali terlihat dalam bentuk ekstrim dari elemen ini adalah media
partisan, yang sengaja dibentuk untuk mendukung gagasan atau kekuatan politik
tertentu dengan menggunakan media sebagai alatnya (Eriyanto, 2003:325).
3. Sosial
Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam
pemberitaan. Bahkan Fairclough (dalam Eriyanto, 2003:325) menegaskan bahwa,
wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam
level sosial, budaya masyarakat sangat menentukan perkembangan dari wacana
yang diberitakan oleh media. Kalau aspek situasional lebih mengarah pada waktu
atau suasana yang lebih mikro, sedangkan sistem sosial lebih melihat pada aspek
makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat
secara keseluruhan. Sistem itu menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa
yang dominan dalam masyarakat. Di samping itu juga, sistem nilai dan kelompok
yang berkuasa itu sangat mempengaruhi dan menentukan media. Misalnya, teks
berita yang dibuat oleh wartawan dari sistem politik demokrasi tentu saja berbeda
dengan teks berita dari wartawan yang dihasilkan dalam sistem politik liberal atau
otoriter dan lain sebagainya.

47
BAB VI CONTOH ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN
FAIRCLOUGH

“ANALISIS WACANA KRITIS BERITA PERSETERUAN KPK DAN POLRI


PADA HARIAN KOMPAS”

48
DAFTAR PUSTAKA

Achmad dan Abdullah. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama.Analisis Wacana.
Badara, Aris. 2013. Analisis Wacana: Teori. Metode dan Penerapannya pada
Wacana Media. Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Bland, Michael. 2001. Hubungan Media Yang Efektif. Terjemahan Syahrul, S.E.
2004. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Pubdlik, dan Ilmu Sosial. Jakarta: Kenaca.
______2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis Dan
Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Darma, Yoce Aliah. 2014. Analisis Wacana dalam Multiperspektif. Bandung: PT
Refika Aditama.
_______2013. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Penerbit YRAMA WIDYA.
David, Howard dan Walton Paul. 1894. Bahasa, Citra, Media. Terjemahan
Ikramullah Mahyuddin 2010. Yokyakarta: Jalasutra Anggota IKA.
Eriyanti, Ribut Wahyu. 2014. Konstruksi Ideologi Bahasa Guru Dalam
Pembelajaran Di Kelas. Jurnal Litera, (Online), 13 (1):53-66,
(http//journal.uny.ac.id), diakses 15 Desember 2016.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Teks Media. Yokyakarta: LkiS


Yogyakart.
Fairclough, Norman. 1989. Language And Power; Relasi Bahasa, Kekuasaan dan
Ideologi. Terjemahan Indah Rohmani-Komunitas Ambarawa. 2003.
Malang: Boyan Publishing.
Fauzan, Umar. 2014. Analisis Wacana Kritis Dari Model Fairclough Hingga
Mills. Jurnal Pendidikan, (Online), 6 (1):1-15, (http//academia.edu.com),
diakses 1 Oktober 2016.
Fisher, Alec. 2007. Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Terjemahan Benyamin
Hadinata. 2008. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hamad, Ibnu. 2014. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa (studi Pesan
Politik Dalam Media Cetak Pada Pemilu 1999), Jurnal Makara, Humaniora
Sosial (Online), 8 (1): 21-32, (http://journal.ui.ac.id), diakses, 23 Mei 2016.
Ibrahim, Ida Subandy. 2011. Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan
Gaya Hidup Dalam Proses Demokratisasi Di Indonesia. Yokyakarta:
Jalasutra

49
Indrawan, Rully dan Yaniawati, Poppy. R. 2014. Metodologi Penelitian:
Kuantitatif, Kualitatif, dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan,
dan Pendidikan. Bandung: PT. Rflika Aditama.
Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise J. Analisis Wacana Teori dan
Metode. Terjemahan Imam Suyitno dkk 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntoro. 2008. Analisis Wacana Kritis (Teori Van Djik Dalam Kajian Teks
Media Massa). Jurnal Leksika, (Online), 2 (2): 45-55,
(http//jurnal.ump.ac.id), diakses, 8 Oktober 2016.
Lukmana, Iwa. 2010. Analisis Bahasa Untuk Kajian Sosial: Pemaknaan Kritis
Terhadap Praktek Berwacana Sebagai Praktek Sosial. Jurnal Linguistika.
(Online), 17 (23): 1-14, (http//ujs.unud.ac.id), diakses 8 Oktober 2016.
Manan, Abdul. dkk. 2005. Media Sadar Publik. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP)
Mayr, Andrea. 2008. Language Anda Power; An Introduction To Institutional
Discourse. New York: Continuum.
Merista, Sheila. 2012. Diskriminasi Terhadap Buruh Batam Dan Artikel Labor
Violence Eruptis Inverstor Haven Batam: Analisis Wacan Kritis. Jurnal e-
jurnal Mahasiswa. (Online), 1 (1): 1-12, (http//jurnal.unpad.ac.id), diakses 8
2016.
McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa McQuail. Terjemahan Putri Iva
Izzati. Jakarta: Salemba Humanika.
Mujiyanto, Yan. 2009. Penerapan Analisis Wacana Kritis Dalam Pembelajaran
Keterampilan Mengarang Bahasa Inggris. Junal Lingua. (Online), 5 (1): 85-
94, (http://journal.unnesac.id), diakses, 8 Oktober 2016.
Rahardi, Kunjana. 2012. Menulis Artikel Opini dan Kolom Di Media Masa.
Yokyakarta: Penerbir Erlangga.
Rahayau dan Perdi, Siti. 2015. Analisis Wacana Iklan Perawatan Kulit Wajah
Pada majalah Femme Actuelle (Pendekatan Mikrostruktural dan
Mikrostruktural). Jurnal DIKSI, (Online), 23 (1): 67-76,
(http//journal.uny.ac.id), diakses 13 Agustus 2016.
Rani, Abdul dkk. 2013. Analisis Wacana Tinjauan Deskriptif. Malang: Surya
Pena Gemilang.
________2015. Analisis Wacana Kritis: Produksi Gaya Hidup Dalam Televisi.
Jurnal DIKSI, (Online), 23 (1): 1-10. (http://journal.uny.ac.id), diakses 13
Agustus 2016.
Santoso, Anang. 2012. Studi Bahasa Kritis Menguak Bahasa Membongkar Kuasa.
Bandung: CV. Mandar Maju.
Setiawan, Yulianto Budi. 2011. Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Kekerasan
Berbasis Gender Di Surat Kabar Harian Merdeka. Jurnal Ilmiah

50
Komunikasi Makna. (Online), 2 (1): 13-20, (http://journal.unissula.ac.id),
diakses, 8 Oktober 2016.
Shiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suharyo, Surono, dan Armin Mujib F. 2014. Bahasa Dan Ideologi Dan Kekuasaan
Simbolik Dibalik Penggunaan Bahasa (Kajian Teks Media Melalui Analisis
Wacana Kritis). Jurnal Humanika, (Online), 19 (1): 42-58,
(http://ejournal.undip.ac.id), diakses, 2016.
Suriasumartini, Jujun. S. 2003. Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Thompson, John B. 1984. Analisis Ideoogi Dunia, Kritik Wacana Ideologi-
Ideologi Dunia. Terjemahan Haqqul Yakin. 2014. Yokyakarta: IRCiSod.
Thomas, Linda dan Wareing, Shan. 1999. Basa Masyarakat dan Kekuasaan.
Terjemahan Sunoto dkk 2007. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Utama, I Dewa Gede Budi. 2012. Analisis Wacana Kritis Berita Mengenai
Pendatang Pascalebaran Tahun 2010 Pada Surat Kabar “Bali Post”. Jurnal
Prasi. (Online), 7 (13): 46-56, (http://ejurnal.undiksha.ac.id), diakses, 8
Oktober 2016.
Wodak, Ruth dkk. 2000. Methods of Text and Discorse Analysis (Metode Analisis
Teks dan Wacana). Terjemahan Gazali dkk 2009. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
_______2007. Methods of Text and Discorse Analysis. New Delhi: SAGE
Publication.

51
TENTANG PENULIS

Lahir di Dusun Asmalang, Desa Lenek Lauk, Kec. Lenek.


Kab. Lotim-NTB, 09 Maret 1991. Memperoleh gelar
sarjana pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di
Universitas Nahdlatul Wathan (UNW) Mataram (2014). Memperoleh gelar
Magister Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (2017). Sejak tahun 2017-2019
mengabdikan diri menjadi dosen Fakultas Sastra UNW dan juga menjadi Guru
Bahasa Indonesia di MA NW Lenek Lauk dan MTs. Mu’alimin NW Anjani serta
aktif dibeberapa organisasi. Pada akhir tahun 2019 bersama istri memutuskan
untuk menjadi dosen di Univeristas Pendidikan Muhammadiyah (UNIMUDA)
Sorong di fakultas yang sama. Sekarang menjabat sebagai dosen tetap di Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan dipercayakan sebagai editor pada Jurnal
Pendidikan UNIMUDA Sorong. Saat ini, menfokuskan kajian keilmuannya di
bidang Analisis Wacana Kritis (AWK), Pragmatik, dan Sosiolinguistik. Beliau
juga aktif menulis di media massa seperti Kompasiana, Academiedu, dan
mengelola Blog pribadi. Sehari-hari kebiasaan yang dilakukan adalah menikmati
Puisi, Cerpen, Novel dan semua hal yang berkaitan dengan Bahasa dan Sastra
Indonesia.

52

Anda mungkin juga menyukai