PRINSIP KESANTUNAN/KESOPANAN
Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang
dapat disebut sebagai diri sendiri dan orang lain. Pandangan kesantunan dalam kajian
pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan
Levinson. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact
maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim),
maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan
maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua
peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah
penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Dewa Putu Wijana, 1996).
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang
mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap
tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk
pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut
menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan
menghindari ujaran yang tidak sopan
A. MAKSIM KESANTUNAN LEECH
1. Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)
Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur
yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai
orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan
seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan
bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih
sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim
kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Tuan rumah : Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.
Tamu : Wah, saya jadi tidak enak, Bu.
Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan
Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang Tamu.
2. Maksim Kedermawanan
Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi
apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh
tuturan berikut ini.
Anak kos A : Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang
kotor
Anak kos B : Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.
Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Anak kos A berusaha memaksimalkan
keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu
dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B
3. Maksim Penghargaan
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun
apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan
maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci,
atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di
dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian
karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan
maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Dosen A : Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business
English.
Dosen B : Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali.
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas
ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari dosen B.
4. Maksim Kesederhanaan
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan
dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang
akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan
mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim
kerendahan hati dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Ibu A : Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.
Ibu B : Waduh..nanti grogi aku.
Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan
saya. Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: Waduh..nanti
grogi aku.
5. Maksim Pemufakatan/Kecocokan
Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau
kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara
diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat
dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada
contoh tuturan berikut ini.
Guru A : Ruangannya gelap ya, Bu.
Guru B : Heeh. Saklarnya mana ya?
Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan
tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap dan kemudian
mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang.
6. Maksim Kesimpatian
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian,
diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur
wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah
penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap
antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan
maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Mahasiswa A : Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.
Mahasiswa B : Wah, selamat ya. Semoga sukses.
B. MODEL KESANTUNAN BROWN LEVINSON
1. Keinginan Wajah
Di dalam interaksi sosial sehari-hari, orang pada umumnya berperilaku seolah-olah
ekspektasi mereka terhadap public self-image yang mereka miliki akan dihargai orang lain.
Jika seorang penutur mengatakan sesuatu yang merupakan ancaman terhadap ekspektasi
orang lain mengenai self-image mereka, tindakan tersebut dikatakan sebagai Face
Threatening Act (FTA). Sebagai alternatif, seseorang dapat mengatakan sesuatu yang
memiliki kemungkinan ancaman lebih kecil. Hal ini disebut sebagai Face Saving Act (FSA).
Perhatikan contoh berikut:
Seorang tetangga sedang memainkan musik sangat keras dan pasangan suami istri sedang
mencoba untuk tidur. Si suami dapat melakukan FTA: Aku akan mengatakan padanya untuk
mematikan musik berisik itu sekarang juga! atau si istri dapat melakukan FSA: Barangkali
kita dapat memintanya untuk berhenti memainkan musik itu karena sekarang sudah mulai
larut dan kita perlu tidur.
2. Negative dan Positive Face
Menurut Brown dan levinson, negative face adalah the basic claim to territories, personal
preserves, and rights to non-distraction dan positive face adalah the positive and consistent
image people have of themselves, and their desire for approval. Dengan kata lain, negative
face adalah kebutuhan untuk mandiri dan positive face adalah kebutuhan untuk terkoneksi
(menjalin hubungan). Sehubungan dengan negative dan positive face, maka dapat
disimpulkan bahwa FSA berorientasi pada negative face dan mementingkan kepentingan
orang lain, bahkan termasuk permintaan maaf atas gangguan yang diciptakan. FSA seperti ini
dinamakan negative politeness. Sedangkan FSA yang berorientasi terhadap positive
face seseorang akan cenderung menunjukkan solidaritas dan menekankan bahwa kedua pihak
(penutur dan mitra tutur) menginginkan hal yang sama dan tujuan yang sama pula. FSA
dalam bentuk ini dinamakan positive politeness.
Secara singkat, Yule (2010:135)membedakan positive face dan negative face sebagai berikut.
Positive Face Negative Face
Keinginan Pendekatan sosial Kebebasan dari pembebanan
Kebutuhan
untuk terhubung
untuk mandiri
Untuk memiliki
kebebasan bertindak, dan
tidak terbebani
DAFTAR PUSTAKA
Cutting, Joan. 2002. Pragmatics and Discourse: A Resource Book for Students. New York:
Routledge
Leech, Geoffrey. 1991. Principle of Pragmatics. London: Longman
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press
DUA
BAB I PENDAHULUAN
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah pengertian
kesantunan dan jenis-jenis kesantunan.
1.3 Tujuan
Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung
pada jarak sosial penutur dan mitra tutur. Makna kesantunan dan kesopanan
juga dipahami sama secara umum, padahal kedua hal tersebut sebenarnya
berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal tuturan berbasis
kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan hormat, sementara
santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995).
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman
(1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada wajah
atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah, dalam hal,
ini bukan dalam arti rupa fisik, namun wajah dalam artian public image, atau
mungkin padanan kata yang tepat adalah harga diri dalam pandangan
masyarakat.
Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan
oleh Konfusius terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah,
dalam tradisi Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah
penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu.
Wajah, merupakan pinjaman masyarakat, sebagaimana sebuah gelar
akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa
ditarik oleh pemberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati
dalam berprilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka
Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut
pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Teori ini kemudian
memilah wajah menjadi dua jenis.: wajah dengan keinginan positif (positive
face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait
dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan.
Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap
mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar
terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai
seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah
satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak
nilai-nilai wajah itu.
Kesantunan sering dikaitkan dengan kesopanan, tetapi kedua kata tersebut
memiliki makna yang berbeda. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa
hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau
berperilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra
tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan
dan bukan kesopanan.
Shofi : Wes mari? Iyo wes yo Pezz mari dewe. Gelundung, gelundung dewe!
Ora bala wes. (Sudah selesai? Iya sudah ya Pez, selesai dulua. Menggelinding
sendiri ya! gak berteman lagi sudah.)
Sofi : Yo wes Pezz. Ati-ati Pezz. (Iya sudah Pezz. Hati-hati Pezz.)
Apabila dilihat sejenak, percakapan singkat antara dua orang ini terkesan tidak
sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi
seperti ini, dengan alasan mereka adalah teman dekat. Hal ini dapat dilihat
ketika Sofi berkata pada ela Iyo wes yo Pezz mari dewe. Gelundung, gelundung
dewe! Kata gelundung dewe! mungkin apabila diucapkan pada orang yang
memiliki jarak sosial agak jauh atau jauh (bukan pada Ela dalam hal ini) akan
menimbulkan ketersinggungan pada mitra tutur. Dilihat dari aspek kesopanan,
cara mereka berkomunikasi memang ganjil bahkan sedikit terkesan tidak sopan,
tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi
ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing dan menimbulkan keakraban
pertemanan. Perhatikan contoh kedua berikut ini.
Sopir A : Mus, apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai STNK kamu
yang ditahan polisi itu?
Sopir B : Eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku? Belum nih,
tidak tahu mungkin sudah mereka bakar.
Sopir A : Ah, kasih saja uang 150 biar mereka urus secepatnya.
Sopir B : Ya astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi
mereka tidak mau.
Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan
kasar, dan tidak sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka
berkomunikasi seperti ini, dengan alasan mereka adalah teman dekat, dan
mungkin berpendidikan rendah. Tidak ada yang salah dengan pendapat-
pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang ganjil,
tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi
ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing.
Tuturan sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka
(sopir A dan sopir B) terjaga. Kata pemabuk yang dituturkan oleh sopir B
adalah untuk menunjukan kedekatan jarak sosial, rasa kekoncoan, sehingga
secara psikologis tidak ada jarak pula. Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh
penggunaan bahasa semacam di atas memiliki nilai wajah positif. Seandainya
sopir B merespon pertanyaan sopir A dengan irama sopan semacam belum ada
kabar Pak maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi renggang, dan
wajah mereka terancam.
Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur
mengharapkan terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan,
maka wajah negatif ini dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya
jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan antara dua orang penumpang angkot
yang tidak saling kenal antara satu sama lain di bawah ini.
numpang A : Maaf yah, numpang tanya, apakah Gambirono masih jauh dari
sini?
numpang A : Saya tadi bilang ke sopir kalau saya mau turun di Gambirono.
Maaf, jadi apakah Gambirono masih jauh?
numpang B : Bukannya masih jauh Mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin
lebih baik Mas turun disini saja, nanti naik angkot lagi dari timur, nanti bilang
turun di Gabirono.
Sangat terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam
percakapan ini menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat
dari penggunaan kata maaf yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang
A. Penggunaan dan pengulangan penggunaan kata maaf oleh penumpang A ini
untuk menjaga wajah negatif penumpang B. Artinya, penumpang A tidak ingin
terkesan akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah individu
penumpang B.
Pengancaman wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau
penutur dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial.
Perhatikan contoh berikut ini, dimana terjadi interaksi antara tetangga yang
berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua: Heh ini kan sudah malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?
Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face
saving act) yakni dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan
mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan
wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari keinginan wajah
penutur tua untuk tidak diganggu.
Pengancaman terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif. Jika
penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah
bersifat negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial
yang jauh, maka pengancaman wajah bersifat positif.
Intinya, wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur
sebagaimana kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan
untuk bebas dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk
mitra tutur. Jika keinginan wajah positif tidak tercapai dalam bertutur, maka
ancamannya pada wajah positif. Dan jika keinginan wajah negatif tidak tercapai,
maka ancamannya pada wajah negatif. Konsekuensi logis dari ancaman wajah ini
adalah kehilangan wajah (loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah
malu atau hilang harga diri.
Istilah sopan lebih banyak digunakan oleh para linguis untuk merujuk
kepada tindakan berbahasa guna menunjukkan rasa hormat penutur terhadap
mitra tutur, setelah mempertimbangkan berbagai hal yang mengharuskan
penutur melakukan hal itu. Sementara itu, istilah santun (berbahasa) (politeness)
lebih banyak digunakan untuk mengacu pada tindak berbahasa atau komunikasi
antar personal guna menghindari rasa malu atau bahkan justru dipermalukannya
wajah salah satu atau kedua pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut.
3.1 Kesimpulan
TIGA
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu cabang dari linguistik yang mempelajari tentang ujaran dari sang penutur
adalah pragmatik. Seorang ahli bahasa Leech mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi
mengenai makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu atau dalam konteks tertentu. Atau
dengan kata lain pragmatik adalah ilmu cabang lnguistik yang mengkaji hubungan timbal
balik antara fungsi dan bentuk tuturan. Dan dalam pragmatik inilah terdapat prinsip-prinsip
tentang bagaimana seorang manusia bertutur dalam situasi tertentu. Salah satu dari prinsip
tersebut adalah prinsip kesantunan atau kesopanan. Dengan mengetahui prinsip-prinsip
kesantunan kita sebagai penutur bisa menerapkan atau mengimplementasikanany dalam
situasi atau konteks tertentu dalam membuat tuturan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak dari ahli linguistik yang mengemukakan konsep tentang kesantunan. Dan
kesemua konsep kesantunan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut berbeda-beda.
Mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang konsep tersebut. Konsep
kesantunan tersebut ada yang dirumuskan dalam bentuk kaidah yang disebut dengan prinsip-
prinsip kesantunan. Sedangkan konsep kesantunan yang dirumuskan dalam strategi-strategi
dinamakan teori kesantunan. Prinsip kesantunan (politeness principple) itu berkenaan dengan
aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral dalam bertindak tutur. Didalam
bertutur seorang penutur tidak hanya menyampaikan informasi,tugas, kebutuhan, atau
amanat, tetapi lebih dari itu, yaitu menjaga dan memelihara hubungan sosial antara penutur
dan mitra penutur.
Sejumlah ahli telah merumuskan konsep kesantunan mereka dalam prinsip kesantunan seperti
Lakoff (1972) dan Leech (1983). Sedangkan, Fraser (1978) dan Brown dan Levinson (1978)
merumuskan konsep kesantunan mereka dalam teori kesantunan.
Prinsip kesantunan Lakoff berisi 3 kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu dianggap
santun. Ketiganya antara lain yaitu:
a. Kaidah Formalitas
Kaidah ini berarti jangan memaksa atau jangan angkuh. Yang artinya bahwa sebuah
tuturan yang memaksa dan angkuh dianggap kuarng santun, dan begitu juga sebaliknya, jika
sebuah tuturan dirasa tidak angkuh dan tidak memaksa maka tuturan tersebut dianggap
santun. Seperti contoh di bawah ini:
Bersihkan lantai itu sekarang juga! (kurang santun)
b. Kaidah Ketidaktegasan
Kaidah ini berisi saran bahwa penutur supaya bertutur sedemikian rupa sehingga mitra
tuturnya dapat menentukan pilihan. Hal ini berarti sebuah tuturan dianggap santun apabila
memberikan pilihan kepada mitra tuturnya, dan juga sebaliknya jika sebuah tuturan tidak
memberikan pilhan kepada mitra tuturnya maka tuturan itu dianggap tidak santun. Seperti
contoh di bawah ini:
Jika ada waktu dan tidak lelah, perbaiki sepeda saya! (santun)
Prinsip kesantunan Brown dan Levinson ini berkisar pada nosi muka, yaitu muka
positif dan muka negatif. Muka positif adalah muka yang mengacu pada citra diri orang yang
berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan
nilai-nilai yang diyakininya, diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut
dihargai, dst. Seperti contoh di bawah ini:
Saya salut atas keteknan belajarmu. (santun)
Sedangkan muka negatif adalah muka yang mengacu pada citra diri orang yang
berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan panutur membiarkannya bebas melakukan
tindakannnya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Jangan merokok di situ! (kurang santun)
Selain hal di atas Brown dan Levinson juga merumuskan prinsip kesantunannya ke dalam
lima strategi. Kelima strategi tersebut adalah:
1) Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip
kerjasama Grice.
2) Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan posotif;
3) Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif;
4) Melakukan tindak tutur secara off records; dan
5) Tidak melakukan tindak tutur atau diamm saja.
Pemilihan strategi itu tergantung kepada besar kecilnya ancaman terhadap muka. Makin
kecil ancaman terhadap muka, makin kecil nomor pilihan strateginya dan makin besar
ancaman terhadap muka, makn besar pula nomor pilihan strategi bertuturnya.
Hal itu bisa dilihat dari jumlah kata atau ekspresi yang kita tuturkan jumlahnya lebih
besar dari tuturan mitra tutur yang berarti meminimalkan biaya kepada mitra tutur dan
memberika keuntungan yang sebesar-besarnya kepada mitra tutur.
A : Mari saya masukkan surat anda ke kotak pos.
B : Jangan, tidak usah! (santun)
A : Mari saya masukkan surat anda ke kotak pos.
B : Ni, itu baru namanya teman. (kurang santun)
Nasehat yang dikemukakan dalam bidal ini adalah bahwa pihak lain di dalam tuturan
hendaknya diupayakan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sementara itu diri
sendiri atau penutur hendaknya berupaya mendapatkan keuntungan sekrcil-kecilnya.
Bidal keperkenaan adalah petunjuk untuk meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain,
dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Contohnya di bawah ini:
A : Mari Pak, seadanya.
B : Terlalu banyak, sampai-sampai saya susah memilihnya.(santun)
A : Mari Pak, seadanya.
B : Ya, segini saja nanti kan habis semua. (tidak santun)
Nasehat dari bidal ini adalah bahwa penutur hendaknya meminimalkan pujian kepada diri
sendiri, dan juga memaksimalkan penjelekan kepada mitra tuturnya.
Saya ini anak kemarin, Pak. (santun)
Maaf, saya ini orang kampung. (santun)
Saya ini sudah makan garam. (tidak santun)
Hanya saya yang bisa seperti ini. (tidak santun)
Bidal ini berarti bahwa penutur hendaknya meminimalkan ketidaksetujuan antara diri
sendiri dengan orang lain dan memaksimalkan kesutujuan antara diri sendiri dengan pihak
lain.
Saya ikut berduka cita atas meniggalnya ibunda.
A : Pak, Ibu saya meninggal.
B : Tumben. (tidak santun)
b. Skala Keopsionalan
Skala keopsionalan adalah rentangan pilihan untuk menghitung jumlah pilihan tindakan
bagi mitra tutur. Makana skala keopsionalan itu adalah semakin memberikan banyak pilihan
pada mitra tutur semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak memberikan
pilihan tindakan pada mitra tutur, semakin kurang santunlah tuturan itu.
c. Skala Ketaklangsungan
Skala ketaklangsungan menyangkut ketaklangsungan tuturan. Makna skala
ketaklangsungan itu adalah semakin taklangsung, semakin santunlah tuturan tersebut.
Sebalikya, semakin langsung, semakin kurang santunlah tuturan tersebut.
III. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
4) SKALA KESANTUNAN
Skala kesantunan adalah rentangan tingkatan untuk mementukan kesantunan suatu
tuturan.
Ada 3 skala kesantunan:
a. Skala Biaya-Keuntungan
b. Skala Keopsionalan
c. Skala Ketaklangsungan
3.2 SARAN
1) Kita sebagai penutur harus dapat bertutur secara santun agar tercipta komunikasi yang sehat
antara penutur dan mitra tutur.
2) Kita terapkan atau implementasikan konsep-konsep kesantunan dari para ahli dalam bertutur
dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
EMPAT