Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

Observasi Pelayanan Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Luar


Biasa (Lamban belajar dan Berkesulitan Belajar).
Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi
Dosen Mata Kuliah
Ahmad Yulianto,M .Pd

Disusun Oleh:
Fani Santika Sari (14820618054)
Kelas 3D
Semester III
Program Studi Pendidikan Guru sekolah Dasar (PGSD)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
(UNIMUDA) SORONG
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kehadiran buah hati dalam keluarga merupakan anugerah Tuhan, yang dinanti dan
diharapkan oleh setiap orang tua. Hadirnya buah hati dalam keluarga akan membawa suatu
kebahagiaan dan kesempurnaan dalam setiap pernikahan. Setiap orang tua tentunya berharap
agar buah hati mereka memiliki kondisi fisik dan psikis yang sempurna. Sebaliknya, orang tua
akan merasa kecewa, sedih, dan terpukul apabila buah hati yang dinanti kehadirannya tidak
sesuai dengan harapan. Yaitu dengan kondisi fisik ataupun mental yang tidak sempurna atau
mengalami hambatan perkembangan.
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri
dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada
umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan
pendidikan yang dibutuhkan. Anak berkebutuhan khusus menurut Geniofam (2010 : 11) adalah
anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selau
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.Keragaman yang terjadi, memang
terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun
apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan
yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.
Dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 51 juga menyatakan : “anak
yang menyandang cacat fisik dan mental diberikan kesempatan yang sama dan akses untuk
memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa”. Menurut UU No.44 tahun 1997
tentang penyandang cacat, pasal 5 menyatakan : “setiap penyandang cacat mempunyai dan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Untuk peningkatan
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus Kementerian Pendidikan Nasional melalui
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) memiliki kebijakan sendiri dalam
mengelompokkan anak berkebutuhan khusus.
Berdasarkan uraian di atas dan informasi yang diperoleh dari buku, maka penulis
berinisiatif melakukan observasi ke sekolah luar biasa guna mendapatkan informasi yang benar-
benar sesuai dengan keadaan di lapangan, tidak hanya sebatas teori saja. Oleh karena itu, dalam
laporan hasil observasi ini akan disajikan berbagai informasi yang diperoleh selama observasi.

2. Tujuan Observasi
 Untuk Memenuhi Tugas Pelayanan terhadap siswa di SLB
 Untuk mengetahui latar belakang Murid SLB Kabupaten Sorong
 Untuk mengetahui perkembangan Murid dalam proses belajar mengajar di SLB
Kabupaten Sorong
 Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa
BAB II
PEMBAHASAN

A. Profil singkat Sekolah SLB Kabupaten Sorong


Sekolah Luar Biasa berdiri pada Tahun 2010 yang beralamatkan di Jl. Klasemek
Kecamatan Mayamuk, Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat.

B. Kondisi dan Situasi Umum Lokasi Lapangan


Kondisi dan situasi umum di SLB Kabupaten Sorong sangat baik. Terdapat 6
Ruang kelas : 4 ruang untuk kelas SD terdapat 25 siswa yang memiliki latar belakang
yang berbeda-beda, diantaranya Bisu Tuli, Tuna Grahita, Tuna Rungu dan autis. 1
ruang untuk SMP terdapat 6 siswa yang mempunyai latar belakang yang berbeda, Tuna
Grahita dan Autis. 1 Ruang untuk SMA terdapat 6 siswa yang memiliki latar belakang
diantaranya Tuna Grahita, Tuna Rungu dan Autis.1 Ruang Kantin, 2 Kamar mandi, dan
1 tempat Ekstrakulikuler , Dan ruang kantor.

C. Hasil Observasi
Dari kegiatan observasi yang telah berlangsung selama Dua hari, kami telah
mewawancarai beberapa guru. Dan juga kita mengetahui banyak jenis — jenis anak-
anak berkebutuhan khusus yang ada di SLB Kabupaten Sorong yaitu: Tuna Grahita,
Tuna Rungu, Bisu Tuli, dan Autis.
1. Tuna grahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai
kemampuan intelektual dibawah rata-rata atau disebut juga retardasi mental, dimana hal
itu juga menjelaskan bahwa hal tersebut ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan
ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Keterbatasan kecerdasannya menyebabkan dirinya
sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal. Oleh karena
itu, anak terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan khusus.
2. Tuna rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat
menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak
terhadap kehidupannya secara kompleks.
3. Bisu adalah gangguan pada alat-alat bicara sehingga anak tidak mampu
mengeluarkan kata-kata yang bermakna. Dan Tuli adalah ketidakmampuan mendengar,
menghalangi keberhasilan memproses informasi linguistik melalui pendengaran atau
tanpa alat bantu pendengaran.
4. Autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang kompleks dan ditandai kesulitan
dalam interaksi sosial, komunikasi, perilaku terbatas, dan berulang-ulang. Gejala autis
muncul sebelum 3 tahun pertama kelahiran sang anak.
Menurut AAMD ( American Association of Mental Deficiency ) mengemukakan bahwa
keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan
disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan.
Tuna grahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan
kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang
optimal. Ada beberapa karakteristik umum tunagrahita, yaitu :
1. Keterbatasan intelegensi
Kapasitas belajar anak tuna grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan
berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa
pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
2. Keterbatasan sosial
Anak tunagrahita mengalami hambatan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat,
oleh karena itu mereka membutuhkan bantuan. Anak tuna grahita cenderung berteman dengan
anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu
memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan
diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan
akibatnya.
3. Keterbatasan fungsi mental lainnya
Anak tuna grahita memerlukan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan reaksi pada
situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal
yang rutin dan secara konsisten dialaminya. Anak tunagrahita tidak dapat mengahadapi sesuatu
kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama. Ia memiliki keterbatasan dalam penguasaan
bahasa, bukannya mengalami kerusakan artikulasi tetapi karena pusat pengolahan pengindraan
katanya kurang berfungsi, mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya.
Latihan sederhana seperti mengejakan konsep-konsep perlu pendekatan yang lebih real dan
konkret (misalnya : panjang dan pendek).
Berdasarkan pada taraf intelegensi yang diukur oleh tes Stanford binet dan skala Wescheler
( WISC). Tuna Grahita di klasifikasikan menjadi:
1. Kategori ringan (Moron atau Debil)
a) IQ = 50-55 sampai 70.
b) IQ 68 — 52, Tes Binet dan IQ 69 — 55 , Tes WISC.
c) Umumnya tidak mengalami gangguan fisik.
d) Sulit dibedakan dari anak normal sampai mereka memasuki bangku sekolah (sulit
mengikuti pelajaran layaknya anak normal/mengulang di kelas yang sama).
e) Masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana.
f) Dapat dididik menjadi tenaga kerja semi skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian,
peternakan, dll.
g) Tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen, saat dewasa dapat
merawat diri, dapat dilatih keterampilan tertentu, menikah dan memiliki anak dan
bekerja.
h) Umumnya berasal dari keluarga yang memiliki pendidikan formal, inteligensi, dan
level sosial ekonomi yang rendah.

2. Kategori sedang (imbesil)


a) IQ = 35-40 sampai 50-55.
b) IQ 51 — 36 , Tes binet dan IQ 54- 40 , Tes WISC.
c) Sering ditemukan penderita mengalami kerusakan otak dan penyakit lain.
d) Ada kemungkinan mengalami disfungsi syaraf yang mengganggu keterampilan
motorik.
e) Dapat dideteksi sejak bayi atau kanak-kanak awal karena koordinasi sensori motorik
yang jelek dan selalu lambat perkembangan keterampilan verbal dan sosial.
f) Dapat dididik mengurus diri, melindungi diri dari bahaya, dll.
g) Tidak dapat belajar secara akademik.
h) Terdapat dihampir semua kelompok sosial ekonomi.
i) Pada masa kanak-kanak dapat mengikuti kelas khusus yang lebih menekankan
perkembangan keterampilan merawat diri.
j) Dapat bekerja, meskipun dengan keterampilan terbatas, dan di lingkungan tertentu
saja serta ditempat terlindung.
k) Banyak yang hidup sangat tergantung pada keluarga dan kelompok khusus dengan
bimbingan yang khusus pula.

3. Kategori berat (severe)


a) IQ = 20-25 sampai 35-45.
b) IQ 32 — 20 , Tes Binet dan IQ 39 — 25 , Tes WISC.
c) Memiliki abnormalitas fisik bawaan dan control sensori motoric terbatas.
d) Penyebab antara lain kurang oksigen pada saat lahir atau gangguan genetik.
e) Sebagian besar penderita perlu perawatan dan bimbingan yang konstan.
f) Perlu latihan yang cukup lama untuk berbicara dan memperhatikan kebutuhan
dasarnya.
g) Latihan perawatan diri diberikan di kelas khusus dengan porsi yang dilebihkan.
h) Sebagai orang dewasa, penderita bisa menunjukkan kemarahan, meskipun hanya
dapat bercakap-cakap mengenai hal yang konkrit.
i) Sulit untuk mandiri, dapat mengerjakan tugas sederhana, dan mudah lelah.
4. Kategori sangat berat (profound)
a) IQ = dibawah 20-25.
b) IQ dibawah 19 , Tes Binet dan IQ dibawah 24, Tes WISC.
c) Perlu bimbingan penuh dan seringkali memerlukan perawatan seluruh aspek
kehidupan.
d) Banyak di antara penderita yang memiliki cacat fisik dan kerusakan syaraf.
e) Angka kematian pada masa kanak-kanak cukup tinggi.
BAB III
PENUTUP

Demikian pemaparan laporan hasil observasi yang dapat kami sampaikan, kami mengerti
bahwa penyajian kami masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang
konstruktif kami harapkan sebagai acuan untuk kemajuan kami dalam penggarapan atau sajian
laporan kami berikutnya. Mudah-mudahan apa yang kami sampaikan bermanfaat. Lebih
kurangnya kami mohon maaf.

Anda mungkin juga menyukai