Anda di halaman 1dari 159

Jurnal Ilmiah STKIP Siliwangi Bandung

SEMANTIK DAFTAR ISI


Pelindung:

Prof.H.Aas Syaefuddin,MA Pengantar Redaksi ................................................... ii


Pedoman Penulisan Naskah ....................................iii
Dr.H.Heris Hendriana,M.Pd
MODEL PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN
Drs.H.Rochmat Tri Sudrajat,M.Pd BERBASIS LINGKUNGAN.
Oleh : Dr.Endang Kasupardi,S.Pd,M.Pd ................... 1
Pimpinan Umum :
PENERAPAN TEKNIK SIKLUS BELAJAR
Prof.Dr.H.Yoyo Mulyana,M.Pd DALAM PEMBELAJARAN MENULIS
LAPORAN ILMIAH BERBASIS VOKASIONAL
DI SMK
Pimpinan Redaksi : Oleh : Dra.Teti Sobari,M.Pd .................................... 17

Dra.Teti Sobari,M.Pd SCAFFOLDING INTERACTION CYCLE IN


READING TO LEARN PROGRAM
Dewan Redaksi :
Oleh : Silvia Widianingsih,S.Pd,M.Pd ..................... 43

Dra.Hj.Wikanengsih,M.Pd MENULIS POSTER DAN SLOGAN MELALUI


PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN
Dra.Hj.Ika Mustika,M.Pd BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED
LEARNING)
Dr.Endang Kasupardi,M.Pd Oleh : Dr.Abdul Azis,M.Pd ...................................... 65
Dr.Hj.Euis Eti Rohaeti,M.Pd
PENGGUNAAN TEKNIK MIND MAPPING
DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA
Pimpinan Usaha : Oleh : M.Dudung Jamiat,S.Pd,MM ......................... 75

Drs.Dede Abdurakhman,M.Pd TEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS


(CDA) PADA PEMBELAJARAN CERPEN
oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ................................... 91
Sirkulasi :

Aditya Permana,S.Pd
KEANEKARAGAMAN PANTUN DI INDONESIA
Oleh : Dinni Eka Maulina ...................................... 107

Desain Grafis dan Editing : PENGACUAN DALAM WACANA TULIS


FACEBOOK
Firdy Ardiansyah Oleh : Eulis Anggia Budiarti .................................. 123
Alamat Redaksi :

STKIP Siliwangi
Jl. Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi Jawa Barat
Telp : 022-6658680, Fax : 022-6629735
Website : www.stkipsiliwangi.ac.id
email : bahasaindonesia@yahoo.co.id

i
PENGANTAR REDAKSI

Rencana pembangunan pendidikan nasional jangka panjang adalah membangun


pemerataan pendidikan di semua kalangan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa fokus
utama pendidikan yaitu menciptakan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing global.
Untuk mewujudkan misi tersebut dibutuhkan para penggerak yang mempunyai etos kerja,
koordinasi, dan tata nilai yang dapat mendukung terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Penerbitan Jurnal Ilmiah Semantik ini diharapkan dapat mendukung terciptanya kualitas
pendidikan yang bermutu dan berdaya saing global.

Pada edisi perdana Jurnal Ilmiah Semantik ini, kami menyajikan beberapa penulis yang
memiliki kompetensi, pengalaman, dan integritas di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, sehingga kami memandang memang perlu untuk menyebarkan gagasan dan konsep
kontemporer tentang bahasa dan sastra Indonesia kepada masyarakat luas.
Beberapa tulisan dalam edisi ini, antara lain :

Dr. Endang Kasupardi, S.Pd.,M.Pd. menyimpulkan bahwa pengalaman dan lingkungan siswa
pada proses pembelajaran menulis cerpen merupakan modal dasar dalam mengembangkan
ide cerita menjadi sebuah tulisan yang menarik dan enak dibaca. Ide yang dipahami
tersebut memiliki makna yang mendalam sehingga ia menyadari kapan cerita dimulai dan
bagaimana cerita diakhiri.
Dra. Teti Sobari, M.Pd. mengemukakan bahwa pembelajaran menulis memerlukan cara-
cara yang lebih menarik agar siswa akan lebih mudah membuat tulisan yang menjadi tugas
dari kegiatan pembelajaran. Terutama siswa kalangan SMK, memerlukan suatu latihan
dalam membuat laporan hasil dari kegiatan praktiknya. Teknik siklus belajar diharapkan
mampu memberikan warna dalam kegiatan pembelajaran menulis laporan ilmiah bagi siswa
SMK.
Dr. Abdul Aziz, Drs. M.Pd. menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, pengembangan kemampuan berpikir kreatif akan lebih tepat bila diintegrasikan
dengan pembelajaran menulis sehingga kegiatan menulis siswa akan mempertajam
kreativitas.
Sebagai penutup Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis atas kontribusinya
serta Pimpinan STKIP Siliwangi atas dukungan dalam penerbitan Jurnal Ilmiah Semantik ini.
Tidak lupa juga, kami mohon maaf apabila di dalam penulisan Jurnal Ilmiah Semantik ini
terdapat kesalahan. Untuk itu kami terbuka menerima saran dan kritik untuk memperbaiki
kualitas jurnal ini.

Cimahi, 12 Maret 2012


Redaksi

ii
PEDOMAN PENULISAN NASKAH

1. Jurnal SEMANTIK menerima naskah yang meliputi hasil penelitian,


pikiran dan pandangan dari segala bidang pendidikan atau profesi
yang belum pernah dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk
diterbitkan dalam jurnal lain.
2. Naskah dapat dikirim dalam bentuk softcopy (dalam bentuk CD) ke
Redaksi Jurnal SEMANTIK dengan alamat STKIP Siliwangi Jl.
Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi-Jawa Barat. Atau naskah dapat
dikirim ke alamat email : bahasaindonesia@yahoo.co.id
3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan
menggunakan MS Word, jarak spasi 2, jenis huruf Times New
Roman, ukuran 12, margin 1 inci pada setiap sisinya. Panjang
maksimal seluruh naskah (termasuk gambar, tabel, dan daftar
pustaka) berjumlah 20 halaman.
4. Naskah disertai abstrak dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa
Inggris terdiri dari maksimal 200 kata, dan kata kunci sebanyak 4-6
kata yang ditempatkan di bawah abstrak.
5. Sistematika penulisan naskah meliputi :
a. Pendahuluan
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan
yang telah dicapai dari penelitian yang telah dilakukan.
b. Metode
menguraikan tentang prosedur pelaksanaan penelitian, bahan
atau alat yang digunakan, serta teknik pengumpulan data.
c. Hasil dan Pembahasan
memuat gambara yang jelas tentang kajian atau hasil penelitian
yang dikaitkan dengan rumusan masalah serta hasil penelitian
sejenis yang telah dipublikasi sebelumnya. Diskusi mengenai
hasil kajian atau penelitian diuraikan pada bagian ini.
d. Kesimpulan dan Saran
memuat kesimpulan penelitian yang singkat dan jelas. Jika ada
sertakan saran-saran yang muncul sebagai akibat dari hasil
kajian atau penelitian yang telah dilakukan.
e. Daftar Pustaka
ditulis dan disusun berdasarkan abjad, dengan urutan untuk
setiap pustaka : nama penulis, tahun terbit, judul/sumber artikel,
nama penerbit,/jurnal, edisi/volume, halaman, nama kota dan
nama penerbit.
6. Naskah yang diterbitkan telah melalui penilaian sekurang-kurangnya
oleh dua independent referee.
7. Naskah yang tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan akan
dikembalikan dengan hasil penilaiannya.

iii
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

MODEL PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN


BERBASIS LINGKUNGAN
(Studi Kasus Unsur Pengalaman dan unsur waktu individu
pada siswa SMP Negeri 3 Cisurupan)

Oleh : Dr.Endang Kasupardi, S.Pd.,M.Pd


Dosen STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak
Pembelajaran menulis cerpen bagi siswa SMP cenderung kurang mampu
memaksimalkan fungsi pengalaman individu dan lingkungan sebagai sumber ide
dalam menulis. Akibatnya, keterampilan menulis cerpen sampai saat ini masih sulit
dikuasai dan dipraktikkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Padahal siswa
melalui pengalaman dan lingkungan memiliki peranan ganda yakni, sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Peranan ini menunjukkan bahwa siswa
memiliki kebebasan dalam menyikapi perbedaan dan pengaruh yang diterima
sebagai sebuah pengalaman yang menarik bagi siswa itu sendiri dan atau bagi
lingkungan sosial.

Pengalaman dan lingkungan yang dimiliki siswa pada proses pembelajaran menulis
cerpen, merupakan modal dasar dalam mengembangkan ide cerita menjadi sebuah
tulisan yang menarik dan enak dibaca. Bagi Penulis, ide yang dipahami tersebut
memiliki makna yang mendalam sehingga Ia menyadari kapan memulai dan
bagaimana cerita diakhiri.

Pada penelitian pengembangan ini, lingkungan dan pengalaman yang dimiliki siswa
menjadi sebuah model pembelajaran menulis cerpen, sehingga hambatan dan
kesuliatan siswa dalam menguasai keterampilan menulis dapat diatasi dan menjadi
kemampuan yang dimiliki siswa.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Guru sebagai pembimbing pada proses pembelajaran bahasa Indonesia di SMP


dalam upaya mengatasi kesulitan siswa menulis cerpen cenderung kurang mampu
memaksimalkan lingkungan sosial dan pengalaman siswa sebagai sebuah model
pembelajaran. Padahal lingkungan (sebagai unsur ekstrinsik) dan pengalaman siswa
(sebagai unsur intrinsik) sangat berperan pada penguasaan pengetahuan dan
kemampuan siswa selama belajar menulis cerpen di kelas. Lingkungan dan
pengalaman siswa bahkan menjadi pengetahuan mendasar dalam usaha sadar
mendapatkan pemahaman dalam proses pembelajaran yang diberikan oleh guru.

1|
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pada proses pembelajaran menulis cerpen berdasarkan lingkungan dan


pengalaman hidup, peranan siswa berfungsi sebagai pengisah dan pemberi
tanggapan terhadap pengalaman dan lingkungan sosial. Secara rinci, siswa
memahami dan dapat mendalami makna pengalaman hidup secara keseluruhan.
Siswa pun menyadari kapan mulai dan bagaimana berakhir kisah hidup yang
dialaminya. Kenyataan tersebut akan mempermudah siswa dalam belajar menulis
cerita pendek karena menjadi sebuah strategi pembelajaran yang dibimbing oleh
guru.

Namun demikian, dalam kenyataan hidup siswa, ketika lingkungan dan pengalaman
disusun menjadi sebuah model pembelajaran menulis, ternyata masih banyak
ditemukan berbagai faktor penghambat proses pembelajaran menulis cerpen
tersebut. Hal ini terjadi karena lingkungan belum secara menyeluruh dipahami
sebagai sebuah potensi bahan tulisan, keterbatasan guru dalam memahami
langkah-langkah pembelajaran menulis, keterbatasan kemampuan menganalisis
sebab akibat suatu peristiwa yang dialami, dan keterbatasan kemampuan
memahami apa, siapa, di mana, apabila, mengapa dan bagaimana menyusun unsur
intrinsik cerpen. Atas dasar hal terebut maka untuk menguasai keterampilan
menulis cerpen ternyata masih memerlukan penekanan penerapan model
pembelajaran menulis cerpen yang teruji, memenuhi kriteria pemodelan menulis,
dan yang lebih utama adalah dapat mempermudah kegiatan menulis cerpen yang
dilaksanakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran.

Menurut Kuswara (2009:32) bahwa, seorang guru dalam proses belajar mengajar
menulis cerpen kurang memperhatikan lingkungan sehingga lingkungan tidak dapat
dimanfaatkan sebagai sebuah model dalam proses pembelajaran menulis. Guru
pun menekankan kekuatan daya khayal siswa dalam membuat sebuah cerpen.
Pembelajaran menulis cerpen hanya bersifat menunjukkan kemampuan kognitif
siswa, dan tidak tidak diikuti proses afektif dan psikomotorik. Pada proses
pembelajaran menulis cerpen, guru lebih banyak menekankan pada unsur teori
bukan pada praktik, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa guru sering
melupakan lingkungan dan pengalaman hidup siswa untuk dikembangkan menjadi
ide dan bahan cerita yang menarik ketika dilaksanakan pada proses pembelajaran
menulis cerpen.

Sebuah tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi, dengan jelas menunjukkan bahwa
lingkungan dan pengalaman penulis menjadi batang tubuh cerita yang tertera
dikembangkan dari mulai awal sampai akhir tulisan. Tulisan dengan karakter
demikian ternyata memiliki kekuatan, daya pembeda, menunjukkan kemampuan
cara berpikir, bersikap dan bertindak sebagai isi sebuah tulisan. Seperti
diungkapkan beberapa tokoh, Kuswara (2009:32), berpendapat bahwa, selingkup

|2
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

pengalaman individu memiliki pangkal dan ujung yang mencerminkan lingkungan


sosial dan budaya yang terjadi pada lingkungannya. Teeuw (1983:11) menyatakan
bahwa, menulis tidak ditulis dalam kekosongan budaya, Kase, (2007:62)
berpendapat bahwa, pengalaman tidak dapat dipisahkan dari budaya yang sudah
berlangsung sebelumnya yang diperoleh dari lingkungan sosial. Menurut Sudrajat
(2010:1) bahwa, pengalaman individu merupakan selingkung kehidupan yang
pernah dialami sebelumnya, kini dan yang akan datang.

Lingkungan sebagai sarana belajar menulis bagi siswa, sebenarnya sudah


membentuk gaya tersendiri yang membedakan antara individu satu dan individu
lain. Gaya yang dimiliki individu ketika diproyeksikan pada kegiatan menulis cerpen,
menghasilkan suatu gaya penulisan yang sering dianut oleh para penulis
profesional dan berbagai lembaga penerbitan serta lingkungan menjadi ciri khas
masing-masing. Oleh karena itu, pengaruh lingkungan selain sebagai ciri seorang
individu, juga menjadi ciri lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam
membedakan dirinya dengan yang orang lain.

Lingkungan sebagai sebuah proyeksi model pada penerbitan buku berfungsi;


pertama, lingkungan sebagai ciri khas penerbit dan hanya berguna bagi penerbit
yang bersangkutan. Lingkungan menjadi gaya yang dianut secara internal oleh
penerbit yang bersangkutan; Kedua, lingkungan sebagai daya pembeda antar
penerbit satu dengan penerbit lain. Daya pembeda yang dimaksud adalah kekuatan
satu lembaga penerbitan, baik dari kemasan jilid, tata letak, penulisan dan gaya
bahasa yang digunakan; Ketiga, isi materi dan kemasan. Penerbit hanya
menerbitkan bidang keilmuan, umum, pelajaran sekolah, materi pengayaan,
keagamaan, sastra, budaya, atau hukum.

Pengalaman yang berasal dari lingkungan sebagai unsur gaya dan daya pembeda
dalam menulis, seperti ditegaskan Kuswara (2009:51) bahwa, Seorang penulis yang
ingin menggambarkan kejadian dalam suatu cerita dengan jelas, maka ia akan
mencatat apa yang terjadi, siapa pelaku cerita, dimana tempat kejadian cerita,
kapan dan mengapa terjadi serta bagaimana peristiwa itu dapat terjadi. Jawaban
terhadap berbagai pertanyaan tersebut maka seorang penulis akan
mendeskripsikannya dengan tepat dengan menyusun sesuai langkah-langkah
kejadian yang sebenarnya (Kuswara, 2009:51).

Berdasarkan pendapat Kuswara (2009:51) diketahui bahwa, lingkungan dan


pengalaman memiliki peranan penting dalam memperjelas situasi dan berbagai
sudut cerita yang dikembangkan dalam sebuah tulisan. Lingkungan dan
pengalaman dapat memberikan peranan dasar dalam pembelajaran menulis bagi
siswa. Selain itu, lingkungan memiliki rentang waktu yang dapat menentukan kapan
berlangsung kejadian nyata yang diketahui siswa, baik dialami langsung atau tidak.

3|
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Rentang waktu tersebut antara lain, pertama, pengalaman masa lalu. kedua,
pengalaman masa kini, dan ketiga pengalaman masa depan.

Rentang waktu masa lalu, siswa SMP usia 12-15 tahun dipandang sudah memiliki
pengalaman masa lalu yang terjadi pada lingkungan sosial. Rentang masa kini,
merupakan kejadian suatu peristiwa yang dialami siswa saat ini, dan atau sedang
berlangsung. Rentang waktu masa depan, merupakan pengalaman pengemasan
pengalaman masa lalu dan masa kini yang dirancangbangun, dipikirkan sebagai
sebuah proyeksi kehidupan pada masa yang akan datang.

Berdasarkan hal tersebut maka gagasan dalam menemukan pemecahan kesulitan


siswa belajar menulis cerpen terus dicari, diuji coba, dinalisis kelebihan dan
kekurangnya. Maka ketika gagasan ditemukan kemudian diterapkan pada proses
pembelajaran menulis diharapkan dapat menjadi sebuah model yang efektif dan
efisien.

Model yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran menulis merupakan
usaha untuk mengatasi kesulitan siswa menulis cerpen sehingga siswa memiliki
kemampuan menulis cerpen. Model yang efektif dan efesien dalam belajar menulis
cerpen pada proses pembelajaran, masih ditemukan berbagai hambatan seperti
hal-hal berikut. Pertama, guru memiliki keterbatasan dalam membimbing siswa
belajar menulis cerpen dengan menggunakan model yang sudah ada; kedua, guru
memiliki keterbatasan kemampuan dalam menulis cerpen; ketiga, kemampuan
guru dalam menciptakan suasana belajar menulis cerpen yang membatasi ruang
lingkup siswa dalam menetapkan tema tulisan; keempat, pembelajaran menulis
cerpen masih bersifat mengembangkan kemampuan berpikir/kemampuan
mengkhayal (kognitif) dalam menyusun cerpen; kelima, siswa memulai menyusun
cerpen berdasarkan khayalan bukan berdasarkan pada kenyataan; keenam, guru
sering menghimbau penggunaan kalimat yang berpola ejaan yang disempurnakan
(EYD) dalam cerpen yang disusun siswa; ketujuh, siswa lebih sering belajar teori
tentang cerpen daripada membuat cerpen; kedelapan, pembelajaran menulis
cerpen pada kurikulum bahasa Indonesia di SMP, hanya berkisar 8 pertemuan pada
dua semester di kelas IX dari 6 semester selama belajar di SMP; kesembilan,
Lingkungan sosial dan pengalaman siswa masih dianggap dangkal untuk sebuah
cerpen; kesepuluh, praktik menulis cerpen dipenuhi teori dan aturan menulis yang
berakibat siswa enggan dan merasa sulit dalam menulis cerpen; kesebelas, adanya
keyakinan bahwa menulis cerpen itu sulit sehingga menimbulkan keengganan
dalam menyusun cerpen.

Gambaran nyata hambatan yang dialami siswa dalam menulis cerpen pada studi
pendahuluan di SMPN 3 Cisurupan Kabupaten Garut sebagai sekolah uji coba

|4
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

terbatas berdasarkan hasil pelaksanaan tes, observasi, studi dokumentasi,


wawancara dan angket pada seluruh siswa sebanyak 525 orang, menunjukkan hasil
data sebesar 20% siswa memahami keterampilan menulis cerpen. Uraian data
tersebut antara lain, hanya 3% siswa mampu memikirkan dan mengungkapkan ide
tulisan, hanya 3% siswa mampu membuat judul yang baik, 2% siswa mampuan
membangun latar cerita, hanya 3% siswa mampu membangun alur cerita, hanya
5% siswa mampu mencitrakan dirinya dalam sudut pandang cerita, hanya 1% siswa
mampu mengembangkan ide, hanya 0.5% siswa mampu menggunakan pola kalimat
dalam cerpen, hanya 0.5% siswa mampu menganalisis kalimat dalam cerpen, dan
hanya 2% siswa mampu menyusunan cerpen.

Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran menulis cerpen di


SMPN 3 Cisurupan masih sulit dikuasai oleh siswa sebagai sebuah kemampuan hasil
pembelajaran menulis pada pelajaran bahasa Indonesia.

Adapun hambatan pembelajaran menulis cerpen bagi guru pada pra penelitian di
Rayon 6 Ciakajang Kabupaten Garut antara lain, pertama, guru malas ketika akan
mulai menulis, Kedua, guru memiliki kesibukan mengerjakan administrasi sehingga
kesempatan menulis sangat sedikit, Ketiga, guru kurang mampu dalam mengelola
waktu dan menyisihkan kegiatan untuk menulis, keempat, guru merasa kurang
bahan dalam menyusun tulisan, kelima, guru mengalami kesulitan dalam
menuangkan ide dan gagasan pada sebuah tulisan, keenam, guru sulit menentukan
topik yang menarik untuk sebuah tulisan, ketujuh, guru mengalami kesulitan
menjabarkan ide tulisan, kedelapan, guru kurang percaya diri menunjukkan hasil
tulisan, dan kesembilan, guru merasa tidak memiliki tantangan dalam menghasilkan
sebuah tulisan.

Simpulan dari berbagai hambatan menulis yang dialami oleh siswa dan guru
dinyatakan bahwa keterampilan menulis masih sulit dilakukan oleh yang
bersangkutan. Padahal hakekat kegiatan menulis merupakan suatu bentuk
komunikasi dalam menyampaikan gagasan penulis kepada khalayak pembaca yang
dibatasi oleh jarak, tempat, dan waktu, seperti halnya keterampilan berbahasa
yang lain.

Berdasarkan hal tersebut penelitian pengembangan ini berusaha mengembangkan


model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan pada siswa SMP
kemudian proses dan hasil pembelajaran tersebut diteliti dan dianalisis
perkembangan tahap demi tahap pembelajaran. Penelitian ini diberi judul,
Pengembangan Model Pembelajaran Menulis Cerpen Berbasis Lingkungan pada
Siswa Kelas IX SMP. (Studi Unsur Pengalaman Individu dengan Menerapkan
Kategori Waktu melalui Strategi Inkuri).

5|
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka rumusan


masalah penelitian pengembangan adalah sebagai berikut.
1. bagaimanakah pengembangan model pembelajaran menulis cerpen pada saat
berlangsung pelaksanaan penelitian ini?
2. bagaimana bentuk pengembangan desain model pembelajaran menulis cerpen
berbasis lingkungan yang dapat mengatasi kesulitan siswa dalam menulis
cerpen?
3. sejauhmana pengembangan desain model pembelajaran menulis cerpen
berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP?
4. bagaimanakah tingkat efektifitas hasil pengembangan model pembelajaran
menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP?
5. Bagaimanakah dampak perbedaan hasil pengembangan model pembelajaran
menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian pengembangan ini diharapkan dapat memberikan pemecahan masalah


kesulitan siswa menulis cerpen, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu
model pembelajaran menulis cerpen yang teruji dan efektif dalam memecahkan
permasalahan siswa.
Berdasar hal tersebut maka tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut;
1. menganalisis pelaksanaan pengembangan model pembelajaran menulis cerpen
pada saat berlangsung pelaksanaan penelitian ini;
2. mengembangkan bentuk pengembangan desain model pembelajaran menulis
cerpen berbasis lingkungan yang dapat membantu mengatasi kesulitan siswa
menulis cerpen;
3. merancang pengembangan desain model pembelajaran menulis cerpen berbasis
lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP;
4. menganalisis tingkat efektifitas hasil pengembangan model pembelajaran
menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP;
5. menganalisis dampak perbedaan hasil pengembangan model pembelajaran
menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP;

D. Manfaat Penelitian

|6
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Penelitian pengembangan ini diharapkan dapat menghasilkan suatu simpulan yang


dapat direkomendasikan dan menjadi masukan baru bagi pengajaran bahasa,
khususnya bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam mengusai keterampilan
menulis cerpen.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Produk akhir yang diharapkan dari hasil penelitian pengembangan ini adalah
validasi model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan melalui strategi
inkuiri. Dengan demikian penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian
pengembangan dari Borg&Gall (1979).

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi dan subjek penelitian pengembangan ini, untuk ujicoba keterpakaian model
terbatas, dilaksanakan di SMP Negeri 3 Cisurupan Kabupaten Garut. Dan uji coba
lebh luas dilaksanakan pada SMP yang berbeda di wilayah kota, tengah dan
pedesaan.

C. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

1. Sumber Data dan Informan


a. Sumber Data
Sumber-sumber data yang digunakan adalah: (a) Profil KTSP di lingkungan
SMP ujicoba terbatas dan ujicoba luas; (b) profil Silabus Bahasa Indonesia
yang digunakan di lingkungan SMP ujicoba terbatas dan ujicoba luas; (c)
Profil Guru dan siswa SMP ujicoba terbatas dan ujicoba luas; (d) profil
komponen pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas IX SMP ujicoba
terbatas dan ujicoba luas.
b. Informan
Informan yang digunakan peneliti untuk ujicoba terbatas dan ujicoba luas
berdasrakan pada Sugiyono, (2009:300). informan diminta untuk berdiskusi,
bertukar pikiran, atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari
subjek lainnya (Moleong, 1995;215). Maka data yang dikumpulkan berupa;
(a) kata-kata atau deskripsi dan narasi; (b) tindakan atau perilaku dan sikap;
(c) tulisan-tulisan; (d) foto-foto/video; (e) data-data statistik lainnya.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian, guna
mengumpulkan data yang mendukung pemecahan masalah penelitian yang

7|
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

mencakup kondisi lingkungan, dipakai dengan (1) studi dokumentasi; (2)


wawancara; (3) observasi; (4) tes sebagai studi kecenderungan mengenai data
awal yang menunjukkan adanya potensi untuk melaksanakan suatu
pengembangan Model melalui ujicoba revisi model.

III. KAJIAN PUSTAKA

A. Model

1. Konsep Model
Model tercipta berdasarkan pada sebuah pemikiran tentang permasalahan yang
rumit dan pelik sehingga timbul inisitaif untuk memecahkannya dengan cara
yang mudah serta sederhana dalam melaksanakannya. (Dep. P dan K, 1984:75).

2. Pengertian Model
Model merupakan abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih
sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau
model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada
beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya (Simamarta, 1983: ix-xii).

Penelitian ini, menggunakan referensi model seperti pada,


http://www.scribd.com/doc/ 2479292/ModeldanSistem yakni; Model
menurut referansi waktu. Model yang dibuat berdasarkan pertimbangan waktu
ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut; a) Statis, model statis ini tidak
memasukkan faktor waktu dalam perumusannya. b) Dinamis, model ini
mempunyai unsur waktu dalam perumusannya.

Model yang disusun dalam penelitian ini berdasarakan pada urutan waktu
kejadian yang dialami individu dalam lingkungannya. Namun demikian
pengalaman individu ini tidak dibatasi dengan yang pernah dialami saja tetapi
termasuk di dalamnya yang menjadi gejolak individu secara intrinsik dan
ekstrinsik. Dengan demikian pengalaman individu yang menjadi model dalam
penelitian ini bersifat rekonstruksi, konstruksi dan proyeksi. Ketiga, pengalaman
ini, disesuaikan pula dengan pengalaman bahasa yang dapat menggambarkan
kejadian yang menyertai pengalamannya.

B. Model pembelajaran menulis cerpen Berbasis lingkungan melalui strategi


Inkuiri (MPMCBLMSI)

1. Pengertian

|8
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Model pembelajaran menulis cerpen Berbasis lingkungan melalui strategi


Inkuiri (MPMCBLMSI) merupakan model pembelajaran menulis yang
memperhatikan dua unsur pendukung dalam diri seorang individu. Unsur
tersebut antara lain unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik berkaitan
dengan jiwa individu yang berproses memahami dirinya dan peduli terhadap
lingkungannya. Proses pemahaman individu bersifat kognitif, afektive, dan
psykomotor. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah pengaruh yang berasal dari luar
individu seperti lingkungan, keluarga, pertemanan, dan lingkugnan sosial yang
lebih luas lagi yang memengaruhi individu. MPMCBLMSI ini pun
memperhitungkan kejadian suatu peristiwa berlangsung dengan perangsangan
kata dan kalimat yang dapat menunjukkan waktu kejadian tersebut.

2. Parameter Pembelajaran Penyadaran Lingkungan


Pendidikan lingkungan merupakan suatu proses saling terkaiterkaitan antara
keadaan alam, lingkungan sekeliling dan manusia itu sendiri. Pendidikan yang
dikembangakan semata-mata hanya untuk memberikan penyadaran lingkungan,
diantaranya, a) menghadapkan seseorang pada persoalanan lingkungan sehari-
hari secara terus menerus pada kenyataan hidup, yang mudah dipahami dan
masuk akal dan dialami oleh siswa. b) menumbuhkan peradaban malu seperti;
mengotori tempat sendiri dan tempat orang lain, menyusahkan dan
mengganggu orang lain, merusak fasilitas umum, melanggar kaidah umum dan
kaidah sosial, menilai diri sendiri istimewa sehingga pantas didahulukan dalam
segala urusan atau pantas mendaptkannya, segala aktifitas, dikebalkan dari
segala peraturan dan ketentuan, bersembunyi dibelakang orang lain dan
melemparkan kesalahan kepada orang lain.

3. Deskripsi Teori Penelitian dan Komponen


Deskripsi teori dan komponen yang memengaruhi pembelajar menulis karena
MPMCBLMSI memiliki bagian-bagian yang memperjelas kedudukan penulis
ketika memulai kegiatannya. Komponen berbasis lingkungan yang dialami oleh
siswa yakni; komponen masa lalu (disebut memasalalukan), komponen masa
kini (disebut memasakinikan), komponen masa depan (disebut
memasadepankan), dan komponen penggunaan kategori ruang dan waktu
dengan menggunakan kosakata yang dapat menunjukan kejadian suatu
peristiwa.

Secara detil komponen-komponen MPMCBLMSI tersebut dapat diuraikan di


bawah ini;

a. Berbasis Lingkungan
Cerpen berbasis lingkungan yang dipelajari siswa ada beberapa hal yakni; 1)
lingkungan yang memberikan pengaruh kepada individu, dan 2) individu

9|
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

memberikan pengaruh kepada lingkungannya. 3) sudut pandang memaknai


lingkungan terbatas dan lingkungan lebih luas dari individu terhadap
lingkungannya, 4) respon individu terhadap lingkungannya.

b.Makna Memasalalukan
Masa merupakan rentang waktu lama, satuan waktu yang berlaku pada masa
lampau. Kejadian pada masa lampau dalam kegiatan menulis, kejadian yang
pernah dialami pada masa lalu (rekonstruksi) menjadi ide menulis yakni
segala sesuatu yang berkenaan dengan kejadian pada masa atau waktu yang
telah lalu, atau pernah dialami oleh orang yang bersangkutan.
Kejadian pada masa lalu kemudian diingat, dipikirkan, diperbaiki, dikemas,
disuguhkan kepada khalayak umum, sehingga menjadi pengalaman yang
menarik untuk dituliskannya.

c. Pengalaman Masa Kini


Masa kini (disebut juga memasakinikan) merupakan pengalaman individu
pada kehidupan nyata yang sedang berlangsung sekarang dan hari ini. Makna
memasakinikan membawa seorang individu untuk memulai menulis dari
kehidupan yang dirasakan dan sedang berlangsung sekarang (konstruksi).
Dengan demikian memasakinikan merupakan kegiatan menulis yang
berdasarakan pada kenyataan hidup yang terjadi dan sedang dirasakan
ketika kegiatan menulis itu berlangsung atau kegiatan yang tidak begitu jauh
dengan kegiatan ketika menulis.

d. Pengalaman Masa Depan


Pengalaman Masa Depan atau memasadepankan. Waktu ini bersifat
pandangan dan harapan serta cita-cita jauh kedepan yang belum teralami.
Namun demikian cerita yang dimaksud sudah dapat dibayangkan atau
diperkirakan kesinambungannya dengan kegiatan masalalu, masa kini dan
masa depannya (proyeksi).

e. Penggunaan kosa kata yang dapat menunjukkan waktu kejadian suatu


peristiwa
Ide menulis dengan menggunakan kata kunci yakni menetapakan kunci
kejadian suatu peristiwa yang dialami penulis. Kata-kata yang dapat
menentukan kejadian suatu peristiwa diurakan seperti di bawah ini;
1) Kata-kata yang dapat menunjukkan kegiatan masa lalu diantaranya
adalah; Kemarin, hari senin lalu, pada ahun 2002*, tadi malam, kemarin
dulu, kemarin pagi, sejam yang lalu, tiap hari tahun lalu, dua minggu lalu,
ketika, selagi, seperti ketika, sepanjang hari kemarin, sepanjang hari senin
lalu.

| 10
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

2) Kata-kata yang dapat menunjukkan kegiatan masa kini diantaranya


adalah; selalu, umumnya, sebenarnya, biasanya, tidak pernah, kadang-
kadang, tiap hari, ketika, sekali-kali, seuatu waktu, sering, secara teratur,
saat sekarang, dan setiap minggu.
3) Kata-kata yang dapat menunjukkan kegiatan masa depan diantaranya
adalah Nanti sore, nanti malam, besok, sebelum, sesudah, hingga, segera
sesudah, ketika, sementara waktu itu, segera, minggu depan, keesokan
harinya, minggu sebelumnya, kemari dulu, bulan sebelumnya

H. Hasil Penelitian

Pelaksanaan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan


tahun hingga kini di Kabupaten Garut, masih belum menunjukan peningkatan yang
berarti. Jumlah Ideal lembaga pendidikan SMP di Kabupaten Garut seharusnya
tersedia sebanyak 300 sekolah, namun dalam kenyataannya sekarang, Kabupaten
Garut baru memiliki 138 SMP Negeri (Pertahun pelajaran 2009), dan 51 sekolah
swasta dan MTs (pertahun pelajaran 2009).

I. Pembahasan Hasil Penelitian

Beberapa kesulitan guru, seperti diungkapkan pada latar belakang penelitian ini,
yakni; proses pembelajaran menulis masih banyak ditemukan berbagai hambatan
dalam mengusai keterampilan menulis cerpen diantaranya adalah; pertama, guru
kurang efektif dan efisien dalam mengambil model menulis cerpen bagi siswa.
Kedua, keterbatasan kemampuan guru terhadap model menulis cerpen yang
diambil, Ketiga, tingkat kemampuan dan pengalaman guru dalam menulis cerpen
yang masih kurang dan tidak merata pada semua guru, keempat, situasi
pembelajaran yang menutup ruang lingkup siswa dalam mengambil tema dan
bahan tulisan cerpen, kelima, pembelajaran menulis cerpen masih memfokuskan
pemikiran siswa terhadap kemampuan kognitif untuk menghayalkan cerita yang
dibuatnya, keenam, kemampuan menulis cerpen yang dibuatnya selalu berawal
dari khayalan dan bukan cerita nyata sebagai ide dasarnya, ketujuh selalu adanya
himbauan kegiatan dan hasil menulis cerpen yang harus selalu menggunakan
kalimat yang berpola ejaan yang disempurnakan (EYD), kedelapan, kemampuan
dasar menulis cerpen awal yang dimiliki siswa yang masih kurang. Kesembilan,
keharusan menggunakan kosa kata, tanda baca dan penyusunan kalimat, bentuk
dan jenis tulisan. Kesepuluh, pembelajaran menulis yang terdapat dalam kurikulum
bagi siswa SMP, masih bersifat instruksi yang harus dipelajari, karenanya
memerlukan penjabaran dan mencari solusi dalam memecahkannya berdasarkan
hasil-hasil penelitian. Kesebelas, pengalaman praktik menulis yang kurang,
sehingga lingkungan dan pengalaman hidup yang menarik, hanya menjadi
kenangan indah saja, dan ketika dijadikean ide bahan tulisan, seolah-olah menjadi

11 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

dangkal, datar, tidak menarik, dan kehidupan seolah-olah berjalan normal dan
stabil. Keduabelas, tidak adanya kesinambungan perasaan dan pemikiran dalam
kehidupan sehari-hari dengan bahan tulisan yang dipraktikannya. Ketigabelas,
praktik menulis selalaui dipenuhi teori dan aturan, sehingga menimbulkan
keengganan individu dalam menulis. Keempatbelas, adanya kepercayaan guru dan
siswa yang mendalam terhadap teori dan opini public tentang betapa sulitnya
menulis.

Analisis Penerapan MPMCBL


Analisis data siswa yang sulit mengusai keterampian menulis tersebut maka
ditemukan langkah-langkah menulis cerpen berbasis lingkungan melalui strategi
inkuiri. Maksud dari berbasis lingungan ini adalah, pertama, siswa menyusun
tulisan cerpen berdasarkan pada kenyataan hidup, baik itu lingkugnan terbatas
maupun lingkugnan lebih luas. Lingkugnan inilah yang menjadi objek siswa dalam
menulis cerpen. Kedua, siswa setelah mendapatkan idea tau sumebr cerita maka
guru terlebih dahulu memberikan penjelasan tentang ide siswa secara klasikal,
penjelasan ini berfungsi sebagai penyadaran lingkungan yang diberikan guru pada
siswanya yang kemudian akan dijadikan isi cerpen tersebut. Sifatnya hanya
informasi dan member penjelasan materi yang dipahami siswa. Ketiga, guru
kemudian memberikan pertanyaan Kapan, dengan pertanyaan tersebut semata-
mata guru ingin menjelaskan kapan kejadian tersebut sebagai kategori waktu
kejadian suatu peristiwa yang dialami siswa tersebut. Alas an tersebut memberikan
kejelasan pada siswa tentang kejadian yang akan dilukiskannya pada cerpen yang
dibuat siswa itu. Akiabt dari penjelasan ini, siswa akan memiliki langkah yang tepat
dalam menyusun cerpennya dari sudut pandang kisahan. Keempat, siswa
menentukan satu pilihan waktu ketika proses kisahan. Siswa menentukan peristiwa
tersebut, apakah terjadi dan berlangsung pada waktu masa lalu, masa kini atau
masa yang akan datang. Kelima, kegiatan siswa apabila mengalami hambatan
dalam memulai kisahan pada kalimat awal, tengah atau akhir, maka siswa
dianjurkan menggunakan kosa kata yang mendukung kisahannya tersebut.
Keenam, siswa menjawab pertanyaan ASDAMBA, untuk memperjelas unsure
intrinsic cerpen yang dibuatnya. Dari jawaban tersebut maka kisahan yang
dilaksanakan siswa akan jelas dan terarah. Ketujuh, siswa melakukan proses
memanifulasi kisahan dari kisah nyata menjadi kisah fiksi. Proses ini diperlukan,
mengingat kegiatan siswa adalam membuat cerita pendek sebagai sebuah karya
yang bersifat fiktif. Kedelapan, siswa diberi kesempatan untuk melakukan kreasinya
yakni berusaha menemukan gaya tuturnya. Kesembilan, siswa menysusn cerpen
dan menghasilkan karya yang merupakan tanggapan siswa terhadap lingkungan.

K. Simpulan Dan Rekomendasi

| 12
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

1. Simpulan

Penelitian pengembangan yang menjadi permasalahan pokok adalah siswa yang


sangat sulit dalam menguasai keterampilan menulis dalam pembelajaran bahasa
Indonesia. Keterampilan menulis hanya dapat dicapai 20% secara keseluruhan dan
0,5% dari keseluruhan soal yang terdapat dalam ujian sekolah atau ujian nasional.
Akhirnya pembelajaran menulis menjadi hambatan yang sangat besar untuk
dikuasai oleh siswa. Beberapa penyebab permasalahan cerpen sulit dikuasai oleh
siswa diantaranya adalah, pertama, kemampuan guru sebagai pembimbing siswa
dalam pembelajaran menulis yang tidak merata diantara guru, termasuk
didalamnya cara pengembangan metode dan model pembelajaran menulis yang
kurang dipahami oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran, kedua, Sarana dan
prasarana yang tidak mendukung berkembangnya kemampuan menulis, Ketiga,
latar belakang sekolah dan latar belakang siswa yang memiliki perbedaan dalam
mengembangkan kegiatan menulis di sekolahnya.

Berdasarkan permasalahan ini maka penelitian pengembangan ini menilai bahwa


ada kendala guru dalam memberikan pembelajarnnya, diantaranya adalah;

a. Pendekatan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran yang diambil oleh guru sebagai titik tolak atau sudut
pandangnya terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya
mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran
dengan cakupan teoretis tertentu.

b. Metode pembelajaran
Cara yang digunakan guru untuk mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Hanya bersifat menyampaikan pelajaran dengan statis dan
menyampaikan pelajaran yang normative saja.

c. Teknik pembelajaran
Cara yang dilakukan guru dalam mengimplementasikan suatu metode secara
spesifik tidak tepat atau bahkan hanya bersifat umum saja, sama seperti
mengajarkan materi lainnya.

d. Model Pembelajaran
Bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan
secara khas oleh guru dalam mengajarkan cerpen, tidak begitu banyak dikuasai
oleh guru, sehinga siswa sulit menguasai materi pelajarannya.

13 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

2. Pemecahan

Penelitian pengembangan ini berusaha mengembangkan suatu model


pembelajaran menulis cerpen yang melihat sisi tingkahlaku sikap dan cara pandang
manusia pada lingkungannya. Karena lingkungan yang berada di sekitar manusia,
disadari atau tidak sudah memberikan pengalaman baik disadari atau tidak oleh
manusia itu sendiri sudah memberikan pengetahuan dan pelajaran dalam
hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

Kase. 2002. Bukuku Cerpenku. SKM Etika. Edisi 2. Garut


Kwary. Deny A. 2008. Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik), Google.
WWW.menulis.com
De Porter, Bobbi and Hernacki, Mike. 1999. Quantum learning: Unleashing the
genius in you, atau Quantum learning: Membiasakan belajar nyaman
dan menyenangkan, terjemahan Alwiyah Abdurrahman. Bandung:
Kaifa.
Fenstermacher, Gary D.2004 Approaches to Teaching / Gary D Fenstermacher,
Jonas F. Soltis.4th ed. p. cm. (Thinking about education series)
Fromkin, Victoria & Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (6th
Edition). Orlando: Harcourt Brace College Publishers
Gie, The Liang. 2002. Terampil Mengarang. Yogyakarta: Andi.
Guntur, Hendri Tarigan. 1985. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa
Hadiyantoro, 2001. Membudayakan Kebiasaan Menulis. Jakarta: Fikananti Aniska.
Hariwijaya. 2006. Pedoman Teknis Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Citra
Pustaka.
Hammond . 1989. How to Teach Writing. Oxford: Pearson Education Limited.
Hernowo. 2003. Quantum Writing. Yogyakarta: MLC
Joyce Bruce & weil. Maesha. 1980. Model of teaching. New jersey. Prantice Hill.
Inc.
Naga, Dali S. 2002. Logika Bahasa Dan Keterampilan Menulis, bahan Disampaikan
pada seminar bulan bahasa di Universitas Negeri Jakarta:
Norton, D.E. and Norton Saundra. 1983. Through the eyes of a childrens. New York.
McMillan College Publishing Company..
Nunan, D. 1991. Language teaching methodology: A texbook For Teacher.
NewYork: Prentice Hall.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Press.

| 14
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Nursalam AR. 2008. Ruh Sebuah Tulisan www.nursalam. multiply. Com.


http://nursalam. multiply. Com
Sudrajat, Y. 2009. Menulis sejak pagi hari. Bandung: YAF Publish.

Sumber Internet:
Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran
(http://smacepiring.wordpress.com/)
http://supermahasiswa.multiply.com/journal/item/5/Sukses_Membuat_Proposa
l_Penelitia
http://en.wikipedia.org/wiki/Research

15 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 16
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

PENERAPAN TEKNIK SIKLUS BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN


MENULIS LAPORAN ILMIAH BERBASIS VOKASIONAL DI SMK

Oleh : Teti Sobari, Dra. M.Pd.


Dosen STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak

Pembelajaran menulis adalah salah satu aktivitas yang dilakukan guru dan siswa di
dalam mencapai tahap belajar. Aktivitas menulis sangat membutuhkan variasi dan
cara pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat dalam memproduksi tulisan
yang berkualitas. Kemampuan menulis yang harus dimiliki oleh siswa SMK atau
kejuruan adalah menulis laporan ilmiah. Menulis laporan ilmiah ini dibutuhkan oleh
siswa SMK karena 70% aktivitas siswa dalam kelas adalah melakukan praktik baik di
kelas maupun di lapangan dalam menghadapi dunia kerja. Agar pembelajaran
menulis lebih bervariasi, penulis mencoba menggunakan model siklus belajar.
Siklus belajar (Learning Cycle) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat
pada siswa (student centered). Siklus belajar merupakan rangkaian tahap-tahap
kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai
kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan
berperan aktif. Menurut Karli (2003: 82), siklus belajar adalah suatu teknik
pembelajaran dengan mengikuti pola tertentu. Pada tulisan ini dipaparkan suatu
upaya dalam pembelajaran menulis laporan ilmiah yang berbasis vokasional pada
siswa SMK.

A. Pendahuluan

Andai kita naik sepeda, biasanya diawali dengan mengenal sepeda kemudian
mulailah dengan memegang sepeda menaikinya dan selanjutnya mengayuh disertai
dengan menyeimbangkan badan agar sejalan dengan gerak irama sepeda.
Demikian juga dengan menulis. Diawali dengan menentukan topik yang akan ditulis
selanjutnya menuangkan ide, pengalaman, dan pengamatan. Kemudian
menyeimbangkan tulisan dengan tujuan, aspek-aspek tulisan, serta tahapan-
tahapan menulis. Menulis adalah sebuah proses rekursif dan setiap penulis
menggunakan proses yang berbeda dalam menghasilkan tulisan.

Menulis dan berpikir terjalin sangat erat. Menulis adalah sebuah proses yang
kompleks yang memungkinkan penulis untuk menggali pemikiran dan ide-ide.
Berpikir adalah dasar dari menulis dan berpikir merupakan pusat belajar. Siswa
yang mampu membuat pikiran melalui proses menghasilkan tulisan dapat
meningkatkan kemampuan belajar mereka. Namun menurut William Forrester
(2001) awali menulis dengan hati setelah itu perbaiki tulisan Anda dengan pikiran.
Dengan demikian kunci pertama dalam menulis adalah mengungkapkan apa yang
dirasakan setelah itu pikirkan.

17 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Kemampuan menulis dengan baik adalah salah satu keterampilan paling penting
yang bisa membuka jalan pikiran. Oleh karena itu, menulis merupakan suatu
keterampilan yang unik yang menuntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan.
Akhadiah (1992:2) berpendapat bahwa untuk menulis karangan sederhana
sekalipun, kita dituntut untuk dapat memenuhi persyaratan dasar, sama seperti
kita menulis karangan lainnya yang lebih rumit. Selanjutnya Nurgiantoro (1988:
270) berpendapat bahwa kemampuan menulis lebih sulit dikuasai dibandingkan
ketiga keterampilan berbahasa lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya
persyaratan penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa yang
menjadi isi tulisan. Persyaratan itu meliputi : bermakna lugas atau jelas, merupakan
kesatuan yang utuh dan bulat, singkat, padat, memenuhi kaidah kebahasaan dan
bersifat komunikatif.

Menulis melibatkan aspek bernalar dan aspek logika yang tercermin dari isi dan
komposisi tulisan, serta aspek linguistik yang tercermin dari penggunaan kata,
kalimat, dan mekanik tulisan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sirait (1985: 68)
bahwa seorang penulis sedikitnya harus menguasai lima komponen tulisan, yaitu:
1) isi (materi) tulisan; 2) organisasi tulisan; 3) kebahasaan ( kaidah bahasa tulis); 4)
gaya penulisan; dan 5) mekanisme tulisan.

Menuliskan suatu gagasan itu penting dan merupakan bagian tak terpisahkan dari
usaha untuk menguasai suatu bahasa dengan baik. Menulis itu sendiri juga penting
karena dengan menulis kita dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri
kita, kita dapat mengembangkan berbagai gagasan, dan memperluas wawasan baik
secara teoritis maupun mengenai fakta-fakta yang berhubungan (Sabarti Akhadiah,
dkk.; 1992:1) sehingga pada suatu saat nanti, lambat atau cepat, kita harus
membuat tulisan mengenai suatu hal dalam pekerjaan.

Menulis merupakan penerapan dari pengetahuan tata bahasa, kosa kata, dan
ejaan, dalam suatu bentuk wacana yang utuh, logis, koheren, dan sistematik.
Pelajaran ini harus menyadarkan bahwa tidak mungkin terus-menerus membuat
susunan kalimat yang sama, menggunakan unsur-unsur yang sama, kala yang sama,
dalam sebuah karangan, sependek kata apapun karangan tersebut. Setiap unsur
dalam sebuah karangan dipilih dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi
suatu kombinasi yang menampakkan perkembangan gagasan, keutuhan, dan
makna.

| 18
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

B. Menulis Laporan

1. Pengertian Menulis
Menulis merupakan suatu aktifitas penyampaian pesan/informasi dengan
menggunakan media bahasa tulis. Menulis adalah kegiatan untuk
menyampaikan ide, gagasan, dan perasaan seseorang yang disajikan secara
runtut dan menarik. Yang hendak disampaikan dalam sebuah tulisan adalah
pesan yang merupakan isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan.
Suatu pesan tertulis tidak dapat diterima oleh pembaca apabila tidak ada
simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati oleh para
pemakainya dalam bentuk tulisan.

Dalam komunikasi tertulis terdapat empat unsur yang terlibat yaitu 1) penulis
sebagai penyampai/pemberi informasi; 2) pesan atau isi tulisan; 3) saluran atau
media berupa tulisan; dan 4) pembaca sebagai penerima pesan/informasi. Oleh
karena itu, sebuah komunikasi tertulis tidak akan terjadi apabila salah satu
unsur tersebut tidak ada.

Menulis adalah kegiatan multiteknik dan unik yang menuntut berbagai


pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills). Kemampuan menulis
merupakan suatu keterampilan yang menuntut penguasan atas berbagai unsur
kebahasaan dan unsur di luar bahasa yang menjadi isi tulisan (Nurgiantoro,
1988: 270).

Keterampilan menulis melibatkan logika dan daya nalar. Hal ini dapat terlihat
dari isi dan komposisi tulisan, serta aspek kebahasaan lainnya seperti:
penggunaan kata, kalimat, dan sistematika penulisan.

Menulis bukan sekedar menguasai teori dan tata bahasa saja. Menulis bukan
hanya menuliskan sesuatu yang kita ketahui dalam bentuk tulisan, lebih dari itu
menulis adalah cara untuk memahami apa yang telah diketahui. Kegiatan
menulis memerlukan kemampuan berpikir logis dan dinamis, kemampuan
analitis dan kemampuan membedakan berbagai hal secara riil, valid, dan akurat.
Menulis akan meningkatkan rasa percaya diri, dan rasa percaya dirilah yang
akan memunculkan berbagai kreatifitas dan rasa bahagia.

Lado dalam Tarigan (1994:12) mendefinisikan menulis sebagai kegiatan


menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan
suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat
membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa
dan gambaran grafik itu.

19 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menulis dapat diartikan sebagai aktivitas produktif, aktivitas pengungkapan


bahasa. Nurgiantoro (1995:296) berpendapat menulis adalah aktivitas
mengemukakan gagasan melalui media bahasa. Selanjutnya Nurgiantoro,
menjelaskan bahwa menulis merupakan suatu representasi dari kesatuan-
kesatuan ekspresi bahasa. Demikian juga De Potter (1999:129) menjelaskan
bahwa menulis merupakan aktivitas seluruh otak kanan (emosional) dan otak
kiri (logika).
Berdasarkan pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa menulis
merupakan suatu aktifitas produktif yang melibatkan emosional dan logika
untuk menyampaikan pesan/informasi yang berupa ide, gagasan dan perasaan
dengan menggunakan lambang-lambang yang telah disepakati kepada para
pembacanya.

2. Fungsi Menulis
Rusyana (1986: 14) menyatakan bahwa fungsi menulis dapat dilihat dari dua
segi, yaitu:
1) Fungsi Menulis Berdasarkan Kegunaan
Menulis dapat ditinjau berdasarkan kegunaannya yaitu 1) melukiskan,
penulis menggambarkan atau mendeskripsikan sesuatu atau keadaan
sehingga pembaca dapat membayangkan secara jelas apa yang digambarkan
atau yang dideskripsikan penulisnya; 2) memberi petunjuk, penulis
memberikan petunjuk tentang tata cara melaksanakan atau membuat
sesuatu; 3) memerintahkan, penulis dalam karangan ini memberi perintah
atau melarang pembaca untuk melakukan suatu tindakan /perbuatan
sehingga pembaca memenuhi keinginan penulis; 4) mengingat, penulis
mencatat suatu peristiwa dengan tujuan mengingat peristiwa-peristiwa yang
penting agar tidak lupa; 5) mengorespondensi, penulis melakukan
komunikasi melalui surat-menyurat dengan orang lain .
2) Fungsi Menulis Berdasarkan Perannya
Selain berdasarkan kegunaan kegiatan menulis mempunyai fungsi
berdasarkan perannya yaitu 1) fungsi penataan, merupakan proses penataan
terhadap gagasan, pikiran, pendapat, dan imajinasi; 2) fungsi pengawetan,
berfungsi untuk mengawetkan pengutaraan sesuatu berwujud dokumen
tertulis; 3) fungsi penciptaan, berfungsi menciptakan sesuatu.yang demikian;
4) fungsi penyampaian, berfungsi mengawetkan gagasan, pikiran, imajinasi
yang sudah ditata.

3. Tujuan Menulis
Tujuan menulis perlu diperhatikan selama proses penulisan berlangsung,
maksudnya agar apa yang menjadi misi atau tujuan dalam tulisan itu dapat
tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Penentuan tujuan itu mutlak

| 20
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

diperlukan karena tujuan akan mempengaruhi terhadap corak, bentuk tulisan,


gaya penyampaian serta tingkat kerincian isi tulisan.

Adapun tujuan menulis menurut Hugo Hartig (Tarigan, 1983: 24-25) adalah
sebagai berikut :
a. Tujuan penguasaan (Assigment Purpose), penulis tidak memiliki tujuan untuk
apa dia menulis.
b. Tujuan altruistic (Altruistic Purpose), penulis bertujuan untuk menyenangkan
pembaca dan menghargai perasaan dalam penalaran-nya.
c. Tujuan persuasi (Persuasive Purpose), gagasan yang dikemukakan oleh
penulis harus dapat diakui kebenarannya sehingga pembaca merasa yakin
atau percaya terhadap kebenaran itu.
d. Tujuan informasi/tujuan penerangan (Informational Purpose), menulis
bertujuan untuk memberikan informasi atau keterangan kepada pembaca.
e. Tujuan pernyataan diri (Self Expressive Purpose), menulis bertujuan untuk
memperkenalkan diri atau menyatakan diri sebagai sang pengarang kepada
pembaca.
f. Tujuan kreatif (Creatif Purpose ), tujuan kreatif ini berhubungan erat dengan
tujuan pernyataan diri, tetapi, keinginan kreatif disini melebihi pernyataan
diri dan bertujuan mencapai nilai-nilai artistik atau nilai-nilai kesenian.
g. Tujuan pemecahan masalah (Problem Solving Purpose), penulis ingin
mencoba menjelaskan, menjernihkan, menjelajahi, dan meneliti secara
cermat pikiran-pikiran serta gagasan-gagasannya sendiri agar dapat dipahami
dan diterima oleh pembaca.

Rahmanto dalam bukunya Metode Pengajaran Sastra (2002: 58)


mengutarakan beberapa tujuan menulis, diantaranya:
a. Menjelaskan sesuatu kepada pembaca sehingga pembaca mengetahuinya.
b. Menyakinkan pembaca bahwa sesuatu itu begitu keadaannya sehingga
pembaca paham dan meyakininya
c. Mempengaruhi pembaca dalam penerimaan atau penanggapan terhadap
sesuatu hal.
d. Mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan cara menjelaskan,
meyakinkan, atau mempengaruhi orang lain.

4. Klasifikasi Tulisan
Adelstein dan Pival dalam Tarigan (1984:10) mengklasifikasikan tulisan
berdasarkan nada atau voice yang dirangkum sebagai berikut:
a. tulisan bernada akrab;
b. tulisan bernada penerangan;
c. tulisan bernada penjelasan;
d. tulisan bernada mendebat (tulisan argumentative dan persuasive);

21 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

e. tulisan bernada mengkritik ; dan


f. tulisan bernada otoritatif.

5. Manfaat Menulis
Dalam buku Penuntun Mengarang. Harison (1986) menjelaskan manfaat
menulis adalah sebagai berikut :
a. sarana untuk menemukan sesuatu;
b. memunculkan ide baru;
c. melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai;
d. melatih sikap objektif yang ada pada diri seseorang;
e. membantu untuk menyerap dan memproses informasi; dan
f. melatih untuk berpikir aktif.

Akhadiah (1992: 1-2) mengemukakan beberapa manfaat menulis, yaitu :


a. menulis dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri dan mengetahui
sampai dimana pengetahuan kita tentang suatu topik;
b. menulis mengembangkan berbagai gagasan;
c. menulis lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi
sehubungan dengan topik yang kita tulis;
d. menulis dapat mengkomunikasikan gagasan secara sistematis dan
mengungkapkannya secara tersurat;
e. menulis dapat menilai diri kita secara objektif;
f. menulis dapat memecahkan permasalahan yaitu dengan menganalisanya
secara tersurat dalam konteks yang konkret;
g. menulis mendorong kita belajar lebih aktif, kita menjadi penemu, serta
pemecah masalah; dan
h. menulis akan membiasakan kita berpikir secara kritis

6. Tahapan Kegiatan Menulis


Tahapan menulis harus kita pahami agar kita tidak terikat oleh kaidah-kaidah
yang tidak terlalu penting yang akan membelenggu kebebasan kita untuk
berekspresi dalam menulis. Selain itu, pemahaman terhadap tahapan menulis
akan mempermudah aktifitas kita ketika menulis.

Menurut Suparno, ( 2007: 15), ada tiga fase/tahapan menulis sebagai berikut :
a. Tahap prapenulisan, yang meliputi :
1) menentukan topik;
2) menentukan maksud dan tujuan penulisan;
3) memperhatikan sasaran penulisan;
4) mengumpulkan informasi pendukung;
5) mengorganisasikan ide dan informasi; dan

| 22
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

6) membuat kerangka karangan


b. Tahap Penulisan, mengembangkan kerangka karangan yang telah dibuat
menjadi suatu karangan yang utuh dalam bentuk buram (draft) pertama
karangan.
c. Tahap Pascapenulisan, penghalusan, dan penyempurnaan draft, yang terdiri
atas penyuntingan dan perbaikan (revisi) sehingga terbentuk suatu karangan
yang utuh dan sesuai dengan kaidah karang mengarang.

7. Pengertian Laporan
Laporan adalah segala sesuatu yang dilaporkan. Laporan adalah penyampaian
informasi sesuatu yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok (tim) atas
permintaan orang yang memberikan kegiatan. Laporan merupakan unsur yang
sangat penting, terutama dalam menyusun kebijakan-kebijakan.

The shorter Oxford English Dictionary, mendefinisikan laporan sebagai berikut :


a. cerita yang dibawakan oleh seseorang kepada orang lain, terutama tentang
sesuatu hal yang diteliti secara khusus; dan
b. pernyataan formal tentang hasil penelitian atau hal apa saja yang
memerlukan informasi pasti yang dibuat oleh seseorang atau badan yang
diperintahkan atau diharuskan untuk melaksanakan suatu tugas.

Djuharie (2001: 70) mendefinisikan laporan sebagai cara penyampaian informasi


oleh penulis atau suatu badan kepada seseorang atau badan lainnya atas
tanggung jawab yang diembannya. Laporan adalah karya ilmiah untuk
mendemontrasikan pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang akan
dilaporkan.,

Laporan adalah suatu cara berkomunikasi kepada salah seorang atau suatu
bahan karena tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Keraf, 1989: 285). Hal
ini menunjukkan bahwa laporan dibuat karena ada instruksi atau perintah dari
atasan kepada bawahan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa laporan


adalah suatu bentuk pertanggungjawaban tertulis dan pernyataan formal
tentang hasil penelitian atau hal apa saja yang memerlukan informasi pasti yang
dibuat oleh seseorang atau badan yang diperintahkan atau diharuskan.

8. Tujuan Laporan
Setiap tulisan memiliki tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan penulisan
laporan sebagai salah satu bentuk karya tulis adalah sebagai berikut:
a. memperoleh gambaran tentang situasi/kondisi permasalahan;
b. mengantisipasi dan mengatasi permasalahan;

23 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

c. memberi sumbang saran tentang suatu permasalahan;


d. mengetahui perkembangan (maju mundurnya) permasalahan; dan
e. tertib administrasi.

9. Fungsi Laporan
Fungsi laporan adalah sebagai berikut:
a. fungsi informatif artinya laporan berguna sebagai sumber informasi bagi
orang yang memberi tugas;
b. fungsi pertanggungjawaban artinya laporan merupakan pertanggungjawaban
yang diberi tugas kepada yang memberi tugas, atas kegiatan yang
dipercayakannya;
c. fungsi pengambilan keputusan artinya laporan dari pelapor dapat dijadikan
bahan pengambilan keputusan; dan
d. fungsi pengawasan artinya laporan dari pelapor dijadikan pengawasan oleh
pemberi tugas.

10.Pengertian Laporan Ilmiah


Laporan Ilmiah merupakan sajian tertulis dari hasil kegiatan ilmiah yang telah
dilakukan. Menurut Zainal Aqib (2006: 50), laporan ilmiah adalah karya tulis
yang berisi sajian penelitian, pengembangan atau evaluasi yang disajikan
dengan menggunakan kerangka isi, aturan, dan format. Laporan hasil umumnya
dipublikasikan secara terbatas, namum ada pula yang diedarkan secara nasional
dalam bentuk buku.

Laporan Ilmiah menurut Keraf (1987: 289) merupakan laporan untuk


menyampaikan hasil dari percobaan atau kegiatan yang dilakukan untuk
meneliti sesuatu. Laporan ini hanya memuat penelitian-penelitian yang telah
dilakukan.

Laporan ilmiah memiliki tujuan sebagai berikut :


a. Laporan ilmiah sebagai sajian penelitian, maksudnya laporan ilmiah sebagai
kegiatan pengkajian terhadap suatu permasalahan yang dilakukan
berdasarkan metode ilmiah yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah dari hal yang dipermasalahkan.
b. Laporan ilmiah sebagai sajian pengembangan maksudnya laporan ilmiah
sebagai aktifitas tindak lanjut penelitian untuk mendapatkan informasi
tentang tata cara mempergunakan teori-teori dan atau proses-proses untuk
tujuan-tujuan praktis.
c. Laporan ilmiah sebagai kegiatan evaluasi, maksudnya laporan ilmiah sebagai
kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diperoleh
melalui tata cara tertentu berdasar pada metode berpikir ilmiah. Hasil kerja

| 24
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

evaluasi adalah pengetahua ilmiah yang digunakan untuk pengambilan


kebijakan terhadap hal yang dipermasalahkan.

Penulis menyimpulkan bahwa laporan ilmiah atau yang lebih dikenal dengan
karya ilmiah adalah karya tulis yang bersifat formal dimana penulisannya harus
mengikuti kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan penulisan karya ilmiah.

11.Dasar-Dasar Laporan
Sebuah laporan bertolak dari beberapa dasar, yaitu sebagai berikut :
a. Pemberi laporan melibatkan orang yang memberikan informasi (laporan),
baik perorangan atau lembaga/instansi.
b. Penerima Laporan dibuat untuk disampaikan kepada orang atau instansi
yang menugaskan dan dianggap perlu untuk mendapatkan laporan tersebut.
c. Tujuan Laporan tergantung dari situasi antara pemberi laporan dan penerima
laporan. Bila laporan dibuat tanpa ditugaskan berarti tujuan laporan
dirumuskan oleh yang bersangkutan, tetapi sebaliknya bila laporan
merupakan sesuatu yang ditugaskan, maka tujuan laporan dirumuskan oleh
pemberi tugas.

Tujuan laporan meliputi: 1) untuk mengatasi masalah; 2) untuk mengambil


suatu keputusan; 3) untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan suatu
masalah; 4) untuk mengadakan pengawasan dan perbaikan; dan 5) untuk
menemukan teknik-teknik baru.

12.Sifat Laporan
Sifat-sifat sebuah laporan yang baik dapat dirangkum sebagai berikut.
a. Laporan harus diorganisir secara sistematis. Ditulis dalam bahasa yang baik
mengikuti kaidah kebahasan dan sistematika penulisan yang benar.
b. Mengandung imajinasi, pelaporan harus mengetahui dan memahami
berbagai hal yang berkaitan dengan laporan tersebut.
c. Laporan harus lengkap berisi data atau fakta, tidak boleh ada hal-hal yang
dilupakan atau diabaikan, hal ini penting untuk memperkuat kesimpulan
dalam laporan tersebut.
d. Laporan harus menarik, laporan yang baik ialah laporan yang dapat menarik
minat perhatian penerima laporan atau pembacanya berdasarkan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.
e. Uraian dalam laporan harus jelas dan tidak memberikan penafsiran ganda.
f. Laporan harus memuat hal-hal yang bersifat nyata.
g. Laporan harus bersifat objektif.
h. Tepat waktu dalam proses pengerjaannya.

13.Klasifikasi Laporan

25 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Klasifikasi laporan dapat dilihat dari dua segi, yaitu sebagai berikut.
a. Klasifikasi laporan dari cara penyajiannya, meliputi:
a. Laporan lisan adalah laporan yang disampaikan secara lisan baik melalui
tatap muka ataupun tanpa tatap muka yaitu dengan menggunakan
bantuan alat, seperti: radio, telepon, tape recorder, dan lain-lain.
b. Laporan tertulis adalah laporan yang disampaikan dalam bentuk tertulis.
b. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menulis laporan adalah sebagai
berikut:
1) Persiapan penulisan laporan
2) Sistematika laporan yang meliputi:
a) Pendahuluan; berisikan rumusan permasalahan, mengapa kegiatan itu
dilaksanakan.
b) Latar belakang kegiatan yang akan dilaksanakan.
c) Ruang lingkup kegiatan.
d) Tujuan
e) Isi laporan; berisikan hasil kegiatan yang dilaksanakan.
f) Kesimpulan.
g) Saran
c. Laporan Visual adalah laporan yang disajikan dalam bentuk gambar. Laporan
visual dapat berupa foto, film, Video/CD atau slide.
d. Klasifikasi Laporan berdasarkan situasi dan waktu.
1) Laporan dinas adalah laporan yang disusun berdasarkan rutinitas
pekerjaan dalam waktu tertentu dan bersifat insidental (sewaktu-waktu),
seperti: penelitian, perkembangan atau survai.
2) Laporan biasa. Laporan ini tidak terikat oleh kriteria tersebut namun
substansi (isi) laporan tetap harus utuh. Laporan ini tidak terikat oleh
ikatan perintah, namun tetap mengandung informasi yang penting.
Materi laporan jenis ini bersifat improvisasi (seadanya), sesuai dengan
keadaan sebenarnya.

Sedangkan Keraf (1987: 287-290) mengklasifikasikan laporan sebagai


berikut:
1) Laporan berbentuk formulir isian
2) Laporan berbentuk surat
3) Laporan berbentuk memorandum
4) Laporan perkembangan dan laporan keadaan
5) Laporan berkala
6) Laporan Laboratoris
7) Laporan formal dan semi formal.

C. Kecakapan Vokasional

| 26
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Pendidikan vokasional merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara


seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam
pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian
(apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades).
Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain, peserta didik secara langsung
dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau
bidang tugas yang akan dihadapinya.

Departemen Pendidikan Nasional mengkategorikan keterampilan-keterampilan


yang menjadi muatan kecakapan hidup dalam kurikulum SMK menjadi empat
kelompok yaitu akademik, personal, sosial, dan vokasional.

Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan


hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki
makna yang lebih luas. Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang
lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas
kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional
khusus (occupational skill).

Arah kebijakan dan tujuan pendidikan kecakapan hidup di lingkungan pendidikan


nonformal dan informal (PNFI) adalah untuk mengakrabkan peserta didik dengan
kehidupan nyata. Pendidikan vokasional yang berorientasi pada pembekalan
kecakapan hidup merupakan bisnis inti dari pendidikan non formal. Penanaman
penguasaan keterampilan vokasional memacu kreativitas dan mengembangkan
pemahaman peran individu dalam kehidupan sosial.

Pendidikan vokasional merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara


seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam
pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian
(apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades).
Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain, peserta didik secara langsung
dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau
bidang tugas yang akan dihadapinya. Pendidikan kecakapan hidup merupakan isu
sentral dalam pelayanan pendidikan. Hal tersebut merupakan jembatan
penghubung antara penyiapan peserta didik di lembaga pendidikan dengan
masyarakat dan dunia kerja.
Pembekalan kecakapan hidup secara khusus menjadi muatan kurikulum dalam
bentuk pelajaran keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. Disamping
pembekalan kecakapan hidup melalui mata pelajaran iptek dengan pendekatan
tematik, induktif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat di wilayahnya.

27 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Kecakapan hidup adalah berbagai jenis keterampilan yang memampukan remaja-


remaja menjadi anggota masyarakat yang aktif, produktif dan tangguh.
Departemen Pendidikan Nasional mengkategorikan keterampilan-keterampilan ini
menjadi empat kelompok yaitu akademik, personal, sosial dan vokasional.

Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan


hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki
makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup
sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku
positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan
tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima
jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan
sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.

Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup


merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang,
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu,
kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara
Brolin (1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup
merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang
mampu hidup mandiri. Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki
kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar
pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung,
merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam
kelompok, dan menggunakan teknologi (Dikdasmen, 2002).

Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup


merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praktis dapat membekali peserta
didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan
itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan
mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak
peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam
kehidupan.

Pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler


untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik,
emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang materinya
menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada. Penentuan isi dan bahan
pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan
agar peserta didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan

| 28
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

dikemudian hari. Isi dan bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran
yang terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri.

Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu:
Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan Kecakapan hidup spesifik
(specific life skill/SLS). Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub
kecakapan. Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal
skill), dan kecakapan sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kecakapan
dalam memahami diri (self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill).

Kecakapan mengenal diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai


makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara,
serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus
sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi
lingkungannya. Kecapakan berpikir mencakup antara lain kecakapan mengenali dan
menemukan informasi, mengolah, dan mengambil keputusan, serta memecahkan
masalah secara kreatif. Sedangkan dalam kecakapan sosial mencakup kecakapan
berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration
skill).
Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau
keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill)
atau kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan
akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau
kerja intelektual. Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih
memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan
vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus
(occupational skill).

Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian


untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif
mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi
kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan
memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri,
warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Apabila hal ini dapat dicapai,
maka ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat
pada meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti
produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
D. Teknik Siklus Belajar

a. Latar Belakang Teknik Siklus Belajar

29 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pada dasarnya Siklus belajar selaras dengan teori belajar Piaget (Renner et al,
1988:58), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa
belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan
fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang
dimiliki individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi
merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan
organisasi ( Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses
asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk
memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi
individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam
struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah,
sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari
struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental.

Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki
individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan
konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antarkonsep. Konsep yang baru harus
diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik
dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam
menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988:58)
mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas.

Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara
mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara
mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan
konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki
untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh
Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi
konsep.

b. Pengertian Teknik Siklus belajar

Teknik pembelajaran yang relevan dengan situasi dan kondisi akan menunjang
penciptaan siswa belajar secara aktif dan dapat memotivasi untuk mencapai
pembelajaran bermakna. Sebagai salah satu bagian dari teknik pembelajaran, siklus
belajar diharapkan dapat mengarahkan siswa ke arah tujuan di atas.

Siklus belajar atau dalam penulisan disingkat LC (Learning Cycle) adalah suatu
model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Siklus belajar
merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian
rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai

| 30
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Menurut Karli (2003: 82), siklus
belajar adalah suatu teknik pembelajaran dengan mengikuti pola tertentu.

Berdasarkan pengertian para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa siklus


belajar adalah suatu aktifitas pembelajaran yang mengikuti tahapan tertentu untuk
memperoleh tujuan dan kompetensi yang telah ditetapkan dengan ciri khas
pembelajaran berpusat pada siswa (student centered).

c. Tahapan Siklus belajar

Siklus belajar terdiri atas fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep


(concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application). (Karplus dan Their
dalam Renner et al, 1988).

Pada tahap eksplorasi yang merupakan fase awal dari siklus belajar, siswa diberi
kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam
berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum,
menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam
atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul
ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang
ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada
berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan
kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005).
Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator
kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya yaitu fase pengenalan konsep.

Dalam tahap ini peran guru hanya sebagai observer, fasilitator, dan motivator. Guru
tidak secara langsung terlibat dalam pembelajaran. Yang harus dilakukan guru
adalah mempersiapkan untuk mengajukan berbagai pertanyaan yang berguna
untuk membantu siswa untuk memahami materi sebagai usaha mencari dan
mengumpulkan berbagai informasi, data-data serta fakta-fakta yang diperlukan.
Dalam fase ini guru harus berusaha menggali konsepsi awal siswa

Fase kedua adalah fase Pengenalan Konsep (concept introduction) tahap dimana
guru mengumpulkan informasi dari siswa berkaitan dengan pengalaman mereka
dalam tahap eksplorasi dengan menggunakan berbagai metode dan media yang
tepat. Fase ini bertujuan untuk mengenalkan konsep baru dan sekaligus
pemantapan/penjelasan tentang suatu konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi
proses menuju keseimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa
dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada

31 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

tahap ini siswa mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru
yang sedang dipelajari.

Fase ketiga adalah fase penerapan konsep (concept application), fase dimana guru
menyiapkan situasi yang dapat dipecahkan berdasarkan pengalaman eksplorasi
dengan pengenalan konsep.

Fase terakhir, yakni aplikasi konsep, siswa diajak menerapkan pemahaman


konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan
problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut.
Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar,
karena siswa mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari.

d. Implementasi Siklus belajar dalam Pembelajaran

Implementasi siklus belajar dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai


fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari
perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan
(terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan)
sampai evaluasi.

Efektifitas implementasi siklus belajar biasanya diukur melalui observasi proses dan
pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata
belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya
harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi
kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya sampai mencapai hasil yang maksimal
dan memuaskan.

Implementasi/penerapan siklus belajar dalam pembelajaran sesuai dengan


pandangan kontruktivis adalah sebagai berikut :
1) Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan
bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2) Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi
baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu.
3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan
pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)

Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan


dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses
pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan
langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan

| 32
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

skema dalam diri siswa menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat
diorganisasi oleh siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.

Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang


implementasi siklus belajar dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan
model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan
Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar,
2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan siklus belajar
mempunyai keterampilan menjelaskan yang lebih baik daripada siswa yang
gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio,
2000) menyatakan bahwa siklus belajar merupakan strategi jitu bagi pembelajaran
di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi
kebutuhan nyata guru dan siswa.

e. Kelebihan dan Kelemahan Siklus Belajar

Dilihat dari dimensi guru penerapan teknik siklus belajar ini adalah memperluas
wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan
pembelajaran.

Sedangkan ditinjau dari dimensi siswa, penerapan teknik siklus belajar ini memberi
berbagai keuntungan sebagai berikut:
1) meningkatkan motivasi dan kreatifitas belajar siswa karena siswa dilibatkan
secara aktif dalam proses pembelajaran.
2) membantu mengembangkan sikap ilmiah siswa.
3) pembelajaran yang dilaksanakan akan menjadi lebih bermakna.

Adapun kekurangan penerapan teknik siklus belajar adalah sebagai berikut :


1) efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan
langkah-langkah pembelajaran.
2) menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan
melaksanakan proses pembelajaran.
3) memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi.
4) memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana
dan melaksanakan pembelajaran. (Soebagio, 2000).

Langkah-langkah di atas secara operasional diuraikan sebagai berikut.


1) Mengkaji teori menulis khususnya menulis laporan ilmiah, mengkaji teori teknik
khususnya teknik pembelajaran, dan mengkaji permasalahan-permasalahan
dalam pembelajaran menulis

33 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

2) Menyusun model pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis kecakapan


vokasional dengan menggunakan teknik siklus belajar, selanjutnya
mengujicobakan pada kelas penelitian
3) Melakukan analisis hasil belajar dengan menggunakan tes akhir
4) Menyusun model pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis kecakapan
voaksional dengan menggunakan teknik siklus belajar

Fase-fase Siklus Belajar


1. Fase Pendahuluan (Engagement)
Kegiatan pada fase ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian siswa, mendorong
kemampuan berpikir, membantu mereka mengakses pengetahuan awal yang telah
dimilikinya. Timbulnya rasa ingin tahu siswa tentang tema atau topik yang akan
dipelajari dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa tentang
fakta/fenomena yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari.

2. Fase Eksplorasi (Exploration)


Pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk bekerja baik secara mandiri maupun
kelompok tanpa instruksi secara langsung dari guru. Siswa bekerja memanipulasi
suatu objek, melakukan percobaan (secara ilmiah), melakukan pengamatan,
mengumpulkan data, sampai pada membuat suatu kesimpulan dari percobaan
yang dilakukan.

Guru sebagai fasilitator membantu siswa agar bekerja pada ruang lingkup
permasalahan (hipotesis yang dibuat sebelumnya). Sesuai dengan teori Piaget,
kegiatan eksplorasi siswa diharapkan mengalami ketakseimbangan kognitif .
3. Fase Penjelasan (Explanation)
Kegiatan pada fase ini bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan, dan
mengembangkan konsep yang diperoleh siswa. Guru menjelaskan konsep yang
dipahaminya dengan kata-katanya sendiri, menunjukkan contoh-contoh yang
berhubungan dengan konsep untuk melengkapi penjelasannya, serta bisa
memperkenalkan istilah-istilah baru yang belum diketahui siswa. Pada kegiatan
yang berhubungan dengan percobaan, guru dapat memperdalam hubungan antar
variable atau kesimpulan yang diperoleh siswa. Sehingga, siswa dapat
meningkatkan pemahaman konsep yang baru diperolehnya.

4. Fase Penerapan Konsep (Elaboration)


Kegiatan belajar ini mengarahkan siswa menerapkan konsep-konsep yang telah
dipahami dan keterampilan yang dimiliki pada situasi baru. Kegiatan fase ini
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang telah mereka
ketahui, sehingga siswa dapat melakukan akomodasi melalui hubungan antar
konsep dan pemahaman siswa menjadi lebih mantap.

| 34
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

5. Fase Evaluasi (Evaluation)


Ada dua hal yang ingin diketahui pada kegiatan belajar ini yaitu pengalaman belajar
yang telah diperoleh siswa dan refleksi untuk melakukan siklus lebih lanjut yaitu
untuk pembelajaran pada konsep berikutnya.

E. Penerapan Pembelajaran Teknik Siklus Belajar dalam Pembelajaran Menulis


Laporan Berbasis Vokasional

Model pembelajaran menulis laporan berbasis kecakapan vokasional dengan


menggunakan teknik siklus belajar merupakan rencana pembelajaran yang
memberikan kesempatan dan memotivasi siswa untuk memperoleh pengalaman
belajar melalui kegiatan siklus belajar dan eksplorasi yang dituangkan dalam bentuk
laporan berbasis kecakapan vokasional.

Model pembelajaran menulis laporan berbasis kecakapan vokasional merupakan


bentuk pembelajaran yang berinovasi baru. Dengan demikian model ini
pemerolehan keterampilan domain kompleks seperti menulis yang bergantung
pada observasi. Sebuah fase penting dalam belajar menulis adalah belajar menulis
melalui observasi dan mengevaluasi proses-proses yang relevan: proses menulis,
proses membaca, atau proses komunikasi antara pembaca dan penulis. Pertama,
tahap eksplorasi disajikan contoh lilmiah, kemudian guru dan siswa melakukan
tanya jawab tentang macam-macam laporan ilmiah dan sistematika penulisannya.
Guru mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan laporan ilmiah
untuk menggali konsepsi awal siswa. Kedua, tahap pengenalan konsep yaitu
menggali pemahaman siswa tentang konsep yang telah dipelajari, kemudian
mengenal konsep dan penjelasan materi baru, setelah itu menelaah buku referensi,
dan melakukan diskusi untuk mengidentifikasi format dan konteks laporan ilmiah
yang telah dianalisis. Ketiga, tahap penerapan konsep yaitu merencanakan tuisan
laporan ilmiah sesuai dengan kegiatan yang telah dilakukan kemudian menyusun
kerangka laporan ilmiah sesuai dengan ketentuan. Keempat, tahap aplikasi konsep
yaitu menulis laporan ilmiah secara lengkap dan sesuai dengan kerangka yang telah
ditetapkan. Pada kegiatan akhir guru dan siswa menyimpulkan langkah penyusunan
laporan dan karakteristik laporan ilmiah serta guru dan siswa merefleksikan
pembelajaran menulis laporan ilmiah

Berdasarkan hal di atas model pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis


kecakapan vokasional mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran bahasa,
terutama prinsip humanisme, konstruktivisme, dan progresivisme. Dalam hal ini
disimpulkan bahwa prinsip utama pembelajaran adalah proses keterlibatan siswa
dalam pembelajaran dan kebermaknaan bagi diri sendiri maupun kehidupannya.
Mereka mengamati, memproses, mengabstraksi, menggeneralisasi, dan

35 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

mengkonteksutalisasi informasi dari lingkungan pembelajaran ke pengetahuan


deklaratif, prosedural, dan kondisional, mereka memperoleh pengetahuan tentang
bagaimana laporan ilmiah yang baik itu dan menghasilkan laporan sesuai dengan
tujuannya.

Prinsip-prinsip model pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis kecakapan


vokasional dijelaskan sebagai berikut.

a. Prinsip belajar siswa aktif


Proses pembelajaran berpusat pada siswa. Aktivitas siswa hampir pada seluruh
proses pembelajaran, dari mulai fase pembelajaran, kegiatan lapangan, dan
pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlibat saat
mengidentifikasi masalah. Dalam fase kegiatan di lapangan, aktivitas siswa
mengumpulkan sumber informasi dari masyarakat yang memungkinkan dapat
diakses. Pada fase pelaporan aktivitas siswa terfokus pada pembuatan laporan
ilmiah. Segala bentuk data dan informasi disusun secara sistematis dan
didokumentasikan.

b. Kelompok belajar kooperatif


Proses pembelajaran menulis berbasis kecakapan vokasional menerapkan
prinsip belajar kooperatif yaitu proses pembelajaran yang melakukan kerjasama
antara siswa, sekolah, orang tua, dan lembaga terkait. Kerjasama antarsiswa
dilakukan pada saat siswa sudah memilih satu masalah sebagai bahan kajian
bersama juga ketika silang baca saling merevisi karangan serta kerjasama
dengan narasumber dalam memperoleh data lapangan. Orang tua, pihak
sekolah, dan lembaga terkait harus menjadi fasilitator dan mempermudah
proses pembelajaran tersebut.

c. Pembelajaran partisipatorik
Proses pembelajaran menulis berbasis kecakapan vokasional menganut prinsip
partisipatorik. Melalui model ini siswa belajar sambil diarahkan untuk terlibat
secara langsung pada kehidupan nyata agar mereka peka terhadap masalah-
masalah yang ada di masyarakat dan berusaha untuk menyelesaikan masalah-
masalah tersebut sesuai dengan kemampuannya. Guru juga harus dapat
membangkitkan minat siswa untuk belajar aktif dalam proses pembelajaran
karena siswa merupakan objek dan subjek pembelajaran.

d. Pembelajaran berbasis kerja


Pembelajaran berbasis kerja mengikuti strukturn pengalaman dalam pola sektor
umum dan pribadi di luar kelas melalui pengajaran akademik berbasis kelas dan

| 36
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

minat kerja. Aktivitas ini meliputi persiapan untuk pengalaman di tempat kerja
(termasuk keterampilan tambahan, belajar mengenai pengalaman seputar
pilihan kerja, dan perencanaan untuk pola kerja di dunia nyata), mendesain
program tempat kerja yang bekerjasama dengan pengusaha/industri/pekerja,
dan refleksi terhadap aktivitas yang terjadi. Pembelajaran berbasis kerja dapat
berbentuk magang misalnya menjadi pegawai di sebuah perusahaan.

Gambar 1
Tahap Pelaksanaan Teknik Siklus Belajar dalam Pembelajaran Menulis Laporan Ilmiah
Berbasis Kecakapan Vokasional

ENGAGEMEN
(PENDAHULUAN)

Menyampaikan topik
EXPLORATION
yang akan dipelajari
(EKSPLORASI) serta menganalisis EVALUATION
contoh laporan ilmiah (EVALUASI)

Berkelompok melakukan
Melakukan penilaian
pengamatan, percobaan, serta refleksi
pengumpulan data

EXPLANATION ELABORATION
(PENJELASAN) (PENERAPAN KONSEP)

Melengkapi, Menerapkan konsep-


menyempurnakan, dan konsep yang sudah
mengembangkan dipelajari dalam bentuk
informasi dengan kata-
laporan ilmiah
kata sendiri

Gambar di atas menunjukkan bahwa pembelajaran menulis berbasis kecakapan


vokasional dengan menggunakan teknik siklus belajar harus melalui tahap-tahap :

1. Tahap pendahuluan (engagement)

37 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Tahap pendahuluan guru menyampaikan topik yang akan dipelajari serta


memperlihatkan contoh laporan ilmiah kepada siswa. Pada tahap ini terjadi tanya
jawab serta pengenalan konsep yang akan dipelajari.

2. Tahap eksplorasi (exploration)


Pada tahap eksplorasi siswa melakukan pengamatan terhadap objek yang akan
dilaporkan, setelah itu melakukan praktik, serta mengumpulkan data yang nanti
akan diperlukan dalam laporan.

3. Tahap penjelasan (explanation)


Tahap penjelasan melengkapi informasi serta data yang akan dilaporkan sesuai
dengan kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan
mengembangkan informasi tersebut dengan pemikiran bersama.

4. Tahap penerapan konsep (elaboration)


Pada tahap elaborasi siswa menerapkan konsep-konsep yang sudah dipelajari serta
mengurutkan data dan informasi dalam bentuk membuat laporan ilmiah berbasis
kecakapan vokasional.

5. Tahap penilaian (evaluation)


Tahap akhir dari siklus belajar ini adalah melakukan penilaian terhadap laporan
yang telah dibuat serta melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran menulis
laporan ilmiah berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan teknik siklus
belajar.

Agar pembelajaran dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai kurikulum,
maka harus dibuat sebuah rencana pembelajaran yang akan membantu guru dalam
menentukan langkah-langkah pembelajaran menulis laporan. Hal ini dapat dilihat
dari contoh rencana pembelajaran di bawah ini :

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia


Tema : Pertanian
Tingkatan : SMK
Kelas/Semester : XII / II
Alokasi Waktu : 4 jam pelajaran

1. Standar Kompetensi
Berkomunikasi dengan bahasa Indonesia setara tingkat unggul
2. Kompetensi Dasar
Menulis laporan ilmiah
3. Indikator

| 38
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

1) Merumuskan judul sebagai topik bahasan


2) Menyusun sistematika laporan
3) Merencanakan rancangan isi laporan
4) Menyusun isi laporan
4. Materi Pembelajaran : Laporan ilmiah
5. Pendekatan/Teknik : Konstruktivisme/Siklus belajar
6. Kegiatan Pembelajaran :
1) Kegiatan awal
Apersepsi
2) Kegiatan inti
a) Tahap eksplorasi
(1) Menganalisis contoh laporan ilmiah
(2) Guru dan siswa bertanya jawab tentang macam-macam laporan
ilmiah dan sistematika penulisannya.
(3) Guru mengajukan berbagai pertanyaan yang berguna untuk menggali
konsepsi awal siswa.
b) Tahap Pengenalan Konsep (concept introduction)
(1) Menggali pemahaman siswa tentang konsep yang telah dipelajari.
(2) Pengenalan konsep dan penjelasan materi baru.
(3) Menelaah buku referensi.
(4) Berdiskusi untuk mengidentifikasi format dan konteks laporan ilmiah
yang telah dianalisis.
c) Tahap penerapan konsep (concept application)
(1) Merencanakan tulisan laporan ilmiah sesuai dengan kegiatan yang
telah dilakukan.
(2) Menyusun kerangka laporan ilmiah sesuai dengan ketentuan.
d) Tahap aplikasi konsep

Menulis laporan imliah secara lengkap dan sesuai dengan kerangka yang
telah ditetapkan.

3) Kegiatan akhir
a) Guru dan siswa menyimpulkan langkah penyusunan laporan dan
karakteristik laporan ilmiah.
b) Guru dan siswa merefleksikan pembelajaran menulis laporan ilmiah.
7. Sumber belajar :
1) Rekaman
2) Nara sumber
3) Modul Tingkat Semenjana
4) KBBI
8. Penilaian

39 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Penilaian hasil mengukur keterampilan siswa dalam menyusun laporan ilmiah.


Kriteria penilaian laporan penelitian dilihat dari segi :
1) kelengkapan dan ketepatan isi sesuai dengan tujuan pengamatan/penelitian,
2) keringkasan penyajian laporan sehingga mudah dibaca,
3) kebakuan bahasa yang digunakan,
4) hanya berisi fakta yang diamati bukan pendapat penulis,
5) kesesuaian laporan dengan data yang ada, dan
6) ketepatan ejaan yang digunakan dalam laporan.

Penilaian proses diarahkan pada kemampuan bekerjasama, ketekunan dalam


pelaksanaan tugas, proses perencanaan laporan, partisipasi dalam diskusi, dan
sikap terbuka untuk memperbaiki hasil pekerjaannya berdasarkan komentar
teman/guru.

Daftar Pustaka

Abraham, M.R., Renner J.W.1986. The Sequence of Learning Cycle Activity in High
School Chemistry. J. of Research in Science Teaching. Vol 23 (2), pp
121-143.
Akhadiah, S. Et. Al. 1995. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga
Anas, S 1995. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Teknik Praktek. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Depdikbud. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP): Standar Kompetensi
Bahasa Indonesia Untuk SMK Jakarta: Direktorat Pendidikan Nasional
Engkoswara. 1993. Pedoman Penyusunan Karya Ilmiah untuk Angka Kredit Guru.
Bandung : CV. Karang Sewu
Hardle and Simar. (2004). Applied Multivariate Atatistical Analysis,
Second Edition. Springer
Karli, H. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bagaimana
Mengimpkementasikannya di kelas ?. Bandung : Bina Media Informasi
Karli, H 2005. 3 H dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Generasi Info
Media
Keraf, G. 1989. Komposisi. Jakarta : Nusa Indah
Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science
Instruction.Online
(http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.html, diakses
10 Desember 2002).
Nurgiantoro, B .1988. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Yogyakarta:
BPFE

| 40
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Petrus, T. http//www/bpk Penabur.or.id.


Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan Strategi Pembelajaran Learning Cycle-
Cooperative Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA
dan Pembelajarannya. FMIPA UM Dirjen Dikti Depdiknas. 5
September 2005
Rahmanto. 2002. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Alfabeta
Rusyana, Y 1986. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Rosda
Karya
Sagala, S. 2005. Konsep dan makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan
Probelematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta
Subana, M dan Sunarti. 1990. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia:
Berbagai Teknik, Metode Teknik dan Media Pengajaran. Bandung:
Pustaka Setia
Subino.1982. Bimbingan Skripsi Rancangan Pelaksanaan Analisis dan Penulisan.
Bandung: Yapari

41 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 42
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

SCAFFOLDING INTERACTION CYCLE


IN READING TO LEARN PROGRAM

Oleh : Silvia Widianingsih,S.Pd,M.Pd


School of Post Graduate Studies
Indonesia University of Education (UPI)

ABSTRACT

This study aims to investigate three steps (Prepare, Task and Elaborate) of scaffolding
interaction cycle (Rose, 2008) in Reading to Learn program (Rose & Acevedo, 2006;
Rose, 2008) with one teacher and fifteen students as the participants at a vocational
high school. This study used a case study research design which employed two data
collection techniques, i.e. observation and document analysis of students writing in
Independent Writing stage. The study reveals three findings related to the research
questions. First, the teacher used scaffolding interaction cycle almost in all stages in
Reading to Learn program except for Preparing for Writing stage due to teachers
misunderstanding toward the strategies used in this stage. Second, Prepare moves
were mostly employed by the teacher in scaffolding interaction cycle because the
students were still reluctant to actively engage in this program. Finally, the problems
that the teacher found in the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn
program were related to teachers understanding, students questions, students
passivity and big class. It is thus recommended to the teachers to more carefully plan
the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program. Besides that,
further research is expected to deal with more texts, more intensive support, bigger
number of participants and longer time in conducting the program.

Keywords: Reading to Learn Program, Scaffolding Interaction Cycle, Teaching Cycle,


Types of Interaction Moves

Introduction

The need to include reading into EFL writing programs has been suggested by
experts working in this area, for instance Kroll (2001). However, reading and writing
in English as a foreign language have been claimed to be difficult for students
(Gibbons, 2002). This difficulty is influenced by many cultural backgrounds and the
different skills that students bring with them to school (Ross, 2008, p.3). As an
effort to overcome this problem, Rose (2004, 2005, 2006, 2007 and 2008) designed
Reading to Learn program to integrate reading and writing with teaching the
curriculum at all year levels, closing the gap in the class at the same time as
accelerating learning for all students.

As mentioned in www.readingtolearn.com.au, the program has been developed


over ten years with teachers of primary, secondary and tertiary students across

43 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Australia and internationally, to integrate reading and writing with teaching the
curriculum at all year levels. In addition, it is also mentioned that the strategies in
this program apply cutting edge research in classroom learning and language across
the curriculum, in a form that is accessible, practical and meets the needs of
teachers and students. Furthermore, Rose and Acevedo (2006a) mention that the
Catholic Education Office Melbourne (CEOM) has implemented Reading to Learn
program over three years with over 1000 students, as part of middle years
professional learning project. The results included average literacy gains at twice
the expected rates of development, and as high as four times expected rates, when
implemented during a few lessons per week with whole classes.

The Reading to Learn program is carefully designed to give all students this support
in a six stage teaching cycle (Rose, 2008): 1) Preparing before Reading; 2) Detailed
Reading; 3) Preparing for Writing; 4) Joint Rewriting; 5) Individual Rewriting; and 6)
Independent Writing. However, what is emphasised in the program, as Rose &
Acevedo (2006a, p. 36) advise, is that learners must always be adequately prepared
to perform each task successfully, before they are asked to do it. It is also
mentioned by them that once they have successfully performed the task they are
then cognitively prepared for a third step that elaborates their understanding of
the activity they have completed.

This program has a three part cycle of Prepare Task Elaborate, which is called
the scaffolding interaction cycle and is applied at all levels of the Reading to Learn
program (Rose & Acevedo, 2006a, 36). In addition, Rose (2006a) says that
scaffolding interaction cycle is the core of the Reading to Learn pedagogy.
Mentioned further by Rose (2006a), it goes a step further to describe the sequence
in which learning takes place: from a teacher preparing a learner for a task, to the
learner performing the learning task, to the teacher elaborating on what has been
learnt. It is carefully planned interaction that enables every student to read a text
with complete understanding, no matter what their starting level (Rose, 2008).

Regarding the implementation of Reading to Learn program in EFL class in


Indonesia, Emilia (2008) recommends this program be implemented in schools in
Indonesia as the exploration toward the effectivity and feasibility from this
program. In addition, Emilia (2008) mentions that this program will help the
students in learning English and the other subjects. Unfortunately, as far as this
research conducted, there has not been any study focused on scaffolding
interaction cycle in Reading to Learn program conducted in Indonesian EFL settings.

Considering the importance of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn


program in preparing learners to perform a learning task successfully by showing

| 44
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

them how to do the task and there has not been any research investigating this
topic in Indonesian EFL settings, a study investigating this research area is
considered important. Thus, the present study focused on examining scaffolding
interaction cycle in Reading to Learn program employed by a teacher in a
vocational high school. The findings are hoped to be of great contributions to the
enlightenment of the implementation Reading to Learn program in Indonesian EFL
settings.

Literature Review

Reading to Learn Program

- Conceptual Framework of Reading to Learn Program

The conceptual framework of Reading to Learn program, according to Rose,


Gray and Cowey (1999) consists of three models: written and spoken language
model, reading model and learning model.

Spoken and written language model is functional language model developed by


Halliday based on systemic functional grammar to improve reading skill from
low to high (Rose, Gray and Cowey, 1999; Acevedo and Rose, 2007). In a
functional model, language is conceived of as in terms of texts that are
exchanged in social contexts, between speakers, writers, and readers. Each text
involves three levels of organisation, as sequences of meanings, as patterns of
wordings that realise these meanings, and as soundings or letter patterns that
realise these wordings. These levels of organisation are known technically as
discourse semantics (sequences of meanings in a text), lexicogrammar (including
both words and wordings) and graphophonics (sound and letter patterns) (Rose
and Acevedo, 2006). Meanwhile, reading model used in Reading to Learn
program involves two set of skills: fluent reading and unfolds (Rose, Gray and
Cowey, 1999).

The last, learning model applied in Reading to Learn program, according to Rose,
Gray and Cowey (1999), is a learning model which is also used in genre-based
approach in teaching writing, that is the zone of proximal development
developed by Vygotsky (1978) who views learning as a social process happened
in an interaction between teacher and learner in zone of proximal
development which takes place in the gap between what a child is able to do
independently, and what they can do with the support of a teacher (Rose, Gray
and Cowey, 1999, see also Derewianka, 1990; Wells, 1999; Feez and Joyce,
1998). Another learning theory used, according to Rose, Gray and Cowey is

45 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

scaffolding introduced by Bruner (1986) which then becomes the focus of this
study.

- Principles of Reading to Learn Program

Reading to Learn is a literacy methodology and professional learning program


that has been developed over the past decade in Australia, with Indigenous
students (Carbines, Wyatt and Robb, 2005; Rose, 2006a) and mainstream
classes (Rose and Acevedo, 2006a), and internationally (Rose, 2005). The
teaching strategies have been proven to enable weak readers to rapidly learn to
read and write at grade appropriate levels, and advanced students to develop
language understandings well beyond their independent competence (Culican
2004, 2005, McCrae et al 2000). According to Rose (2006), they draw on
principles of scaffolded learning (Wells, 1999), functional linguistics (Halliday,
1993) and genre approaches to writing (Martin 1993, 1999, 2001), in a form that
is accessible, practical and meets the needs of teachers and students (Martin
and Rose 2005 in Rose 2006, Rose 2005a, Gray and Cowey 1999, Rose et al
2004). The program is based on three core principles (Rose and Acevedo, 2006b)
as mentioned in the following.

1) Reading is a fundamental mode of learning in primary and secondary school.


Therefore explicit teaching of reading needs to be integrated with teaching
the curriculum at all levels, and all teachers need skills to teach reading and
writing in their subject areas.
2) All students can and should be taught the same level of skills in reading and
writing across the school curriculum so that the gap between more and less
successful students narrows, instead of widening over the school years
(Rose, 2006b).
3) Learning takes place when teachers support students to do learning tasks
that are beyond their independent assessed abilities, thereby allowing for
learning activities to be designed to support all students to succeed at the
same high level.

According to Rose and Acevedo (2006a, p.36) Reading to Learn program


provides teacher with two sets of skills for accelerating learning and closing the
ability gap in their classrooms. The first is set of skills for interacting with
students around written texts that supports all students in a class to read high
level texts with critical comprehension, and to use what they have learned from
their reading to write successful tests. The second is a set of skills for selecting
key texts in the curriculum to work intensively, and to analyse the language
patterns in these texts to plan their lessons. Rose and Acevedo (2006c) also

| 46
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

argues that the Reading to Learn program is an intensive approach to


scaffolding student literacy using high quality, age appropriate, mainstream
curriculum texts. It redesigns classroom teaching patterns to enable success for
all learners. Mentioned further by Rose and Acevedo (2006c), the approach can
be used in mainstream or withdrawal contexts, with whole classes or small
groups, and it models literate language features in both fiction and factual texts.
Furthermore, it is capable of extending the learning of the most competent
students in the class or group.

A key principle of Reading to Learn program, as stated by Rose and Acevedo


(2006a, p.36), that also underlies much teaching practice in general, is that
learning takes place through successful performance of tasks, whether this is
reading a sentence in a new book, or learning a manual activity. Moreover, as
Rose and Acevedo (2006a, p.36) further advise, what is emphasised in the
program is that learners must always be adequately prepared to perform each
task successfully, before they are asked to do it. Once they have successfully
performed the task they are then cognitively prepared for a third step that
elaborates their understanding of the activity they have completed. Those steps
are defined as three part cycle of Prepare Task Elaborate, which is called the
scaffolding interaction cycle and is applied at all levels of the Reading to learn
program (Rose and Acevedo, 2006a, p. 36; see also Christie, 2005).

- The Reading to Learn Curriculum Cycle

Reading to Learn is carefully designed to give all students this support in a six
stage teaching cycle (Rose, 2008, p.15; Rose and Acevedo, 2006a) which begins
with Preparation before Reading and finishes with Independent Writing. In this
study, the teacher held three teaching cycles of the study in which not all the six
stages of teaching cycle were included in each teaching cycle. One or some
stage(s) were eliminated by the teacher based on the need of the teaching. In
doing so the teacher uses scaffolding interaction cycle to let the students
engage the text discussed in each stage of teaching cycle which will be further
explained in section 2.2.3 in this chapter. Meanwhile for the six stages of the
Reading to Learn program can be illustrated in following figure.

47 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Figure 1
The stages of the Reading to Learn program
(Adapted from Rose, 2008, p. 14 and Rose and Acevedo, 2006a, p.36)

The strategies used for each stage in Reading to Learn program were further
explained in detail by Rose (2008) based on the texts discussed in the class: stories
or factual texts. In this study, the teacher was focused on teaching reading and
writing stories with the consideration that students would be more actively
engaged in the pleasure of reading and writing stories (see Rose, 2008). Activities in
each stage of Reading to Learn curriculum cycle, as illustrated in Rose (2008) are as
follows.

1. Preparing before Reading

In this stage, students are first prepared to understand the text in general terms, by
providing the background knowledge they need to understand it, explaining what it
is about and summarizing the sequence in which it unfolds, in terms that all
students can understand (Rose, 2008, p.15). Mentioned further by Rose (2008) that
this allows students to follow the text with general understanding as it is read
aloud, without having to struggle to work out what is going on at each step, nor to
struggle decoding the letter patterns of unfamiliar words.

Preparing for Reading as stated by Rose and Acevedo (2006b) supports all students
to follow a text with general understanding as it is read to them. This is done by:
providing the background knowledge students need to understand the text, briefly

| 48
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

explaining what it is about and summarising what happens in terms that all
students can understand.

2. Detailed Reading

In Detailed Reading, students are prepared to read each sentence in a short


passage, by means of three preparation cues: a summary of the meaning of the
whole sentence in commonsense terms, which the teacher then reads aloud, a
position cue that tells learners where to look for the wording and the meaning of
the wording in general or commonsense terms (Rose, 2008, p.15; Rose and
Acevedo, 2006). Mentioned further by Rose (2008) students then have to reason
from the meaning cue to the actual wording on the page. Students are always
affirmed for identifying the wording, which then they mark by highlighting or
underlining. Once they have successfully identified a wording, its meaning may be
elaborated by defining technical or literary wordings, explaining new concepts or
metaphors and discussing students relevant experience. These strategies for
Detailed Reading enable all students in a class to read a passage with complete
understanding, and to understand how the author has constructed it (Rose, 2008,
p.15).

3. Preparing for Writing

After all the students can read a passage with fluency and comprehension, they
prepare to write a new text that is patterned closely on it (Rose: 2008). Rose also
states that there are two approaches to Preparing before Writing, depending on
the genre. In factual texts, students are advised to write up the wordings they have
highlighted in Detailed Reading, as dot point notes on the board. Meanwhile in
stories, arguments, and text responses, the class brainstorms new content for a
text that will use the same literary or persuasive language patterns of the text they
have read. The teachers write all ideas on the board or butchers papers.

Mentioned further by Rose (2008, p.40) for brainstorming ideas, accept and write
down all students ideas as far as possible, adjusting as necessary. Vote for ideas for
the class story, but assure students that they can use their own ideas for Individual
Rewriting. For factual texts ensure that weaker students get to scribe notes and
dictate as much as possible, so they can practice writing and spelling. If students
are not attending or disrupting, ask them to scribe or dictate.

4. Joint Rewriting

49 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Rose (2008, p.16) states that the notes that have been written on the board then
provide a framework for students to jointly write a new text on the board, guided
by the teacher. With factual texts the content of the reading text, in the notes, is
rewritten in wordings that are closer to what students would write themselves,
with the teacher providing whatever language resources they need, and guiding the
construction. Rose (2008) further mentions while the field of the new text is the
same as the original, its language patterns may be less highly written. With stories,
arguments or text responses, the reading text is followed very closely, as the
grammatical patterns of each sentence are used with new lexical items. In these
cases the field is completely different, but the language patterns will be very
similar. This provides an extremely powerful scaffold for all students to acquire the
sophisticated language resources of accomplished authors.

5. Individual Rewriting

Before students are expected to write independently, a further stage of


preparation is provided, in which they individually practice rewriting the same text
as they have rewritten jointly. For factual texts (Rose, 2008, p.16) mentions that
this may involve erasing the joint text from the board, but leaving the notes, which
students use for their own text.
For stories, arguments or text responses, students now have two models the
original reading and the joint text to practice using the same language patterns
with their own content, which may be partly derived from the earlier brainstorming
activity.

6. Independent Writing

Independent writing is the final stage of this teaching cycle. In this stage, the
students are supposed to successfully write new texts, using what they have learnt
in the preceding stages. (Rose, 2008, p.14) mentions that this is the task on which
students are assessed, whether it is a research task in society and environment, a
report in science or an essay in English. Mentioned further, the independent task
may be in a new field or about new literary text, but it will be the same genre, using
many of the same language patterns that have been practiced in the preceding
stages. Crucially the teacher, Rose adds, can be confident that all students have
been adequately prepared to complete the task successfully. However,
assessments will then provide clear measure of how successful the teaching
activities have been.

| 50
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Rose (2008, p.41) also states that teacher is supposed to ensure that all students
have been adequately prepared for the independent task, and that it is clearly
specified in the terms that have been practiced in preceding lessons. For research
projects, teacher may also need to ensure that all students have access appropriate
source texts, and help them to select the right ones.

Scaffolding Interaction Cycle

The scaffolding interaction cycle is a common pattern in parent-child reading


before school, although research has shown significant variation between families
in its application (Williams, 2001 in Rose, 2006). According to Rose (2006) in an
ideal scaffolding interaction cycle, a parents preparation move supports the child,
either to identify an element in the story they are reading, or to select what to
read, or a reaction to the story. Meanwhile, the elaboration move, Rose (2006)
further argues, extends the childs understanding, in relation either to features of
the story or to features of language.

At the level of classroom interaction, the primary task for students in each
scaffolding interaction cycle is to respond to teacher questions (Rose, 2007, p.8).
Rose also states that this pattern is endemic in classroom discourse, described as
triadic dialogue or the Initiation-Response-Feedback IRF cycle by Sinclair and
Coulthard 1975 and many others (Gibbons 2002). Mentioned further by Rose
(2007) some progressive theorists advocate that students should initiate these
cycles rather than the teacher (e.g. Wells 1999), but in reality the teacher first
needs to prompt the students to do so. In both instructional and regulative
spheres, Rose (2007) also mentions that the teacher is the one with authority in the
classroom; teachers interact with students by asking questions, to which students
respond. Under certain circumstances, students also ask questions, express
opinions or recount their experience, but usually in response to preceding cycles
that the teacher has initiated and ultimately it is the teachers role to evaluate
these responses (Rose, 2007).

Moreover, Rose (2006c) explains that the scaffolding cycle systematically renovates
the triadic dialogue or IRF (Initiation- Response-Feedback) pattern, described by
Nassaji and Wells (2000) in Rose (2006c) among many others asendemic to
classroom discourse. However there are three crucial differences between the
typical IRF classroom pattern and scaffolding interactions. Firstly the initial
scaffolding move is not simply a question eliciting a response from learners, but
consistently prepares all learners to respond successfully; secondly the follow-up
move is not simply feedback that evaluates or comments on responses, but
consistently elaborates on shared knowledge about text features; and thirdly

51 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

responses are always affirmed, whereas responses that are inadequately prepared
in IRF discourse are frequently negated or ignored.

Moreover, according to Rose (2006b), Reading to Learn program applies the


scaffolding interaction cycle at various levels of a text, to prepare students to read
it with comprehension, and to raise their critical understanding of its contents and
language patterns through the elaboration moves. The first level of preparation
enables students to follow a text or passage as it is read aloud, by first giving a
synopsis of how it will unfold. The next level of preparation enables them to
recognize patterns at the level of paragraphs, or phases of meaning in the text. The
third level then enables them to read the text themselves with critical
understanding, by giving sufficient support for them to read each sentence, or part
of a sentence, and then by elaborating on its meaning. This cycle can be illustrated
below.

Figure 1
Scaffolding Interaction Cycle
(adapted from Rose, 2008, p. 6, and Rose and Acevedo, 2006a, p.36).

Based on the analysis of learning interaction conducted (see Rose, 2007) it has
been found two general kinds of task demanded by teacher questions: if the class is
reading a text, the task is to identify some elements of the text, whether a wording
or a graphic feature such as an illustration or chart; if the task is not to identify a
text element, it is to select an element from students experience, whether this is
personal experience, concepts previously studied, or new elements to contribute to
a text. Moreover, Rose (2007) explains the teacher may prepare students to give
the desired response, or simply assume that they already have the resources to
respond successfully. For the response, it may be elaborated with new
understandings of the element that has been identified or selected, or the
response may be simply affirmed or rejected. Rose (2007) also describes that
analyses using the scaffolding interaction cycle distilled eight types of exchange
moves (see table 1). In this study, these moves are used for analysing classroom
discourse in order to find out the use of scaffolding interaction cycle in Reading to
Learn.

| 52
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Table 1
Types of Interaction Moves in the Classroom
(From Rose, 2008, p.33)

Move Description
Query teacher asks a question without preparing (or students ask question)
Prepare teacher provides information to enable successful responses
Identify students identify element in a text
Select students select elements from experience
Affirm teacher affirms student responses (or students concur)
Reject teacher rejects response by negating, ignoring or qualifying it
Elaborate define new terms, explain new concepts or relate to experience (by
the teacher or through discussion with students)
Instruct teacher directs an activity

Method
Research Site and Participants

This study was conducted at a vocational high school in Bandung, West Java,
Indonesia. This school was chosen since the researcher is one of the English
teachers in this school for five years. Thus, the researcher could get access easily to
the research site and this enhanced the feasibility of the study. Moreover, as stated
by Van Lier (1988) it will also enhance the naturalness of the setting since the
students has got used to having interactions with the teacher.

The participants of this study were one female English teacher and 15 tenth grade
students. The teacher was considered to have understood well and in the purpose
of the implementation of Reading to Learn program. In this study, the researcher
worked collaboratively with the teacher and focused on observing the scaffolding
interaction cycle used by the teacher in this program through videotaping teacher-
student interaction in this program. It is in accordance with what has been stated
by Culican (2006) that Reading to Learn program could be set collaboratively in
which teachers are requested to videotape, observe and critique their own and
colleagues practice.

Meanwhile the students voluntarily participated (see Bordens & Abbott, 2008,
p.165) and were informed the aim of the program. Here the students followed
Reading to Learn program as additional support in a small group not as part of
normal teaching practice in whole class (see Culican, 2006). They attended this
program after their class finished for almost two weeks.

Data Analysis Techniques

53 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

There are two types of data in this study: data from observation and document
analysis. In conducting classroom observation, the researcher acted as non-
participant observer (Cohen and Manion, 1994; Gay, 1992, p. 234) and recorded all
activities in the classroom by using videotape recorder (Nunan and Bailey, 2009,
p.259). Meanwhile, document analysis was carried out in this study to analyse
three Narrative texts created by the students in Independent Writing stage chosen
from fifteen students to represent different level of achievement categorized by
the teacher - weaker, middle and more experienced students. The followings are
the steps of data analysis for each data collection technique.

- Classroom Observation

There were five steps of classroom observation analysis applied in this study. First,
the classroom interaction of the implementation of Reading to Learn program was
transcribed. Second, the transcripts were coded based on types of interaction
moves devised by Rose (2008, p.33) as seen in table 1. Third, the transcripts were
analysed to find out the use of three steps of scaffolding interaction cycle (Prepare,
Task, Elaborate) in each stage of teaching cycle employed by the teacher. Forth, the
interaction moves used as the coding in the transcript were counted in the form of
percentage to find out the moves which were mostly used in the classroom. Fifth,
the problems that the teacher finds in scaffolding interaction cycle of Reading to
Learn program reflected in the classroom interaction was proposed to answer the
third research questions, i.e. to propose the use of scaffolding interaction cycle in
EFL setting.

- Document Analysis

There were two steps of document analysis applied in this study. First, three
Narrative texts made by the students in Independent Writing stage were chosen
based on the categories: weaker, middle and more experienced student. Second,
each text was analysed to see its schematic structures and linguistic features based
on the theories mentioned in chapter two. As a result, the analysis shows whether
the scaffolding interaction cycle in the preceding stages of Independent Writing
(Preparing before Reading, Detailed Reading, Preparing for Writing, Joint Rewriting
and Individual Rewriting) has been successfully used or not in this study which
support the answer for the first research question.

Data Presentation and Discussion

| 54
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

The Use of Scaffolding Interaction Cycle in Reading to Learn Program

Three steps of scaffolding interaction cycle (Prepare, Task and Elaborate) were
analysed to find out the use of scaffolding interaction cycle in each stage of
teaching cycle. The number of stages for each teaching cycle varied based on the
need and the purpose of each teaching cycle. In teaching cycle 1 and 2, five stages
were conducted by the teacher with the reason that the students had not been
ready to go through Independent Writing stage. Meanwhile in teaching cycle 3, the
teacher inovated the stages and strategies used. Besides including Independent
Writing in this teaching cycle, the teacher also eliminated Preparing for Writing
because the students were considered to have been more independent in creating
a new text. Moreover the teacher asked the students to have Joint Rewriting in
group and provided Orientation stage in Individual Rewriting to have the students
focus on writing Complication and Resolution stage. The use of scaffolding
interaction cycle for each stage in Reading to Learn program will be in the
following.

1. Preparing before Reading

The use of scaffolding interaction for this stage varied in each teaching cycle of this
program. Although this stage, according to Rose (2008), is aimed to support all
students to follow a text with general understanding as it is read to them, the
teacher had not used the scaffolding interaction appropriately in each teaching
cycle. Only in teaching cycle 1, three steps of scaffolding interaction cycle had been
used by the teacher as proposed by Rose (2008) and Rose and Acevedo (2006b,
2006c). The teacher employed Prepare step by making the students familiar with
the reading text given. In addition, the Task step had been appropriately employed
by the students through listening teachers explanation although only some of
them responds teachers explanation and questions. Meanwhile Elaborate step was
employed by the teacher by telling the stages of text as an attempt to make the
students have preliminary knowledge regarding the story in the text to be
discussed more deeply in Detailed Reading stage.

Different from teaching cycle 1, scaffolding interaction cycle for this stage was not
really appropriately employed by the teacher in teaching cycle 2 and 3. In teaching
cycle 2, scaffolding interaction cycle was only employed in the beginning of this
stage by conducting predictive reading activity (Prepare step), listening teachers
explanation (Task step) and giving preliminary knowledge of the story (Elaborate
step). The rest of activity in this stage for teaching cycle 2 was only continued by
reading aloud without explaining or discussing things as the text read aloud as
suggested by Rose (2008). Meanwhile in teaching cycle 3, the teacher only
mentioned the character of the story which made the teacher did not perform

55 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Prepare and Elaborate step and only Task step was employed in this stage, done by
the students, through listening teachers explanation. Moreover the number of the
students who participated in giving their response in this stage was increasing.

2. Detailed Reading

In this stage, scaffolding interaction cycle has been appropriately used in each
teaching cycle conducted in this program. The same activities were repeatedly
done by the teacher for each wording discussed in this stage: giving the cues,
having the students identify the wordings, instructing the students to highlight the
wordings and finally elaborating the wordings. The same as the activities conducted
in this stage, scaffolding interaction cycle was employed in the same way for each
teaching cycle. The step was begun by giving the cues of the wording to the
students as Prepare step for scaffolding interaction cycle in this stage. It was
followed by identifying and highlighting done by the students as the Task step and
elaborating the wordings as Elaborate step. These steps taken by the teacher for
the use of scaffolding interaction cycle in this stage were in accordance with what
has been suggested by Rose (2008) and Rose and Acevedo (2006b, 2006c).

The difference was found in selecting the passage of the story to be discussed in
this stage for each teaching cycle. In teaching cycle 1, the teacher only selected
three passages of the story, the Story of Aryo Menak and his wife, as an attempt to
introduce the Orientation and Complication stage of the story. As done in teaching
cycle 1, in teaching cycle 2, the teacher also only discussed one of four paragraphs
showing Resolution stage from the original reading discussed (Karens story).
Meanwhile in teaching cycle 3, the teacher discussed all the passages of the story
(Unhappily Ever After by Paul Jennings) which was followed by not only asking the
students to highlight the wordings but also discussing and elaborating the meaning
of the sentence. This resulted on much time spent for Detailed Reading in teaching
cycle 3.

3. Preparing for Writing

This stage was only employed by the teacher in teaching cycle 1 and 2 because the
teacher considered that the students had been more experienced in creating a new
text. Unfortunately, the teacher misunderstood the strategies used for this stage in
which she used strategies Preparing for Writing for factual texts in teaching stories.
In this stage, the teacher asked the students to write up the wordings they had in
Detailed Reading on the board not brainstorming new elements for a new story as
suggested by Rose (2008). Those inappropriate strategies made scaffolding
interaction cycle for this stage not appropriately used and influenced the activities

| 56
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

done in Joint Rewriting in which the teacher and students conducted their Joint
Rewriting in longer time.

4. Joint Rewriting

Although the students had successfully created Joint texts in each teaching cycle of
this program, as stated earlier, the teacher conducted this stage in longer time
compared to the other stages. Since the elements of the new story had not been
decided by the teacher, the teacher not only scaffolded students to write new
sentence but also scaffolded them to decide new elements for a new story. In
addition, although the use of scaffolding interaction cycle for this stage had been
employed by the teacher, inappropriate strategies included in this stage made
some of the steps were not correctly taken. For instance, in employing Prepare step
the teacher scaffolded the students to decide new elements by relating to the
wordings in Detailed Reading. According to Rose (2008) what the teacher had in
Detailed Reading is supposed to be paid off in Joint Rewriting because in this stage
students will understand the role of each group of words in the sentence and the
passage and will be able to plan the new story accordingly, with the teachers
guidance.

5. Individual Rewriting

Based on the texts created by the students in this stage, it was shown that the
students had successfully created their own text following the language pattern of
the model texts given. It indicates that the teacher had employed appropriate
scaffolding interaction cycle for this stage. Here, the teacher employed Prepare
step through explaining students task in this stage which is followed by the
students who completed their task in this stage by creating their own text as Task
step. However, in doing their task, the students asked a lot of questions to the
teacher regarding the words they used in their text. It shows that the students had
the idea for their own story but they still found difficulties in finding appropriate
words in English to be used in their text. It makes the Elaborate step, as the last
stage of scaffolding interaction cycle, was employed by the teacher through
elaborating the meaning of the words asked by the students. The number of
questions was decreasing as done in teaching cycle 3 which indicated that the
students had been more independent in creating their own text and ready for
Independent Writing.

6. Independent Writing

57 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

In this study, Independent Writing was only held in the teaching cycle 3 in which
the students were asked to write a new text without any scaffolding from their
teacher. In addition, they could use any model texts which had been used in this
program. By including this stage in this teaching cycle, it shows that the teacher had
considered that the students were ready to have Independent Writing as the
evaluation for what they had experienced in the preceding stages. The reason that
the teacher had in conducting this stage is in line with Rose (2008) and Rose and
Acevedo (2006b, 2006c) argues that Independent Writing is held when the teacher
is confident that all students have been adequately prepared to complete the task
successfully.

As the confirmation that the students had been able to write a new text
successfully without scaffolding from the teacher, three texts created by the
students were discussed in this study. The discussion was focused on the schematic
structures and linguistic features of a Narrative text. The three texts chosen from
fifteen texts represent different level of students achievement categorized by the
teacher - weaker, middle and more experienced students. The texts show that the
students had some improvements in writing the text compared to their diagnostic
text and texts made in Individual Rewriting. Besides that, the texts also show that
the gap of abilities among the students in creating a Narrative text was not really in
big distance in which all the students had understood the obligatory elements that
they should put in their Narrative texts. However, almost all students still need
more intensive support: Sentence Making, Spelling and Sentence Writing (see Rose,
2008) as indicated from grammatical mistakes which were still found in their texts.
According to Rose (2008) this intensive support is aimed to enable the students to
recognise and use the same language patterns in other paragraphs, passages and
texts and furthermore enable them to independently explore patterns in any text
they come across and use them in their writing.

Types of Interaction Moves

The next step after applying the scaffolding interaction cycle is analysing learning
interactions between teachers and learners (see Rose & Acevedo, 2006b). The aim,
according to Rose & Acevedo (2006b), is to get teachers to plan their teaching
interactions, in order to provide sufficient scaffolding for all students to respond
successfully. Having analysed the interaction of teacher and student in this Reading
to Learn program, 1960 moves have been used in three teaching cycles held by the
teacher in this study. The spread of the eight types of moves used by teacher and
students in this study can be seen in the following table.
Table 2
The Distribution of Types of Interaction Moves in each Teaching Cycle

| 58
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Types of Interaction Moves


Teaching
Query Prepare Identify Select Affirm Reject Elaborate Instruct
Cycle
F % F % F % F % F % F % F % F %
Teaching
74 44.5 164 40.29 69 31.3 134 56.0 158 42.5 11 64.7 107 28.9 70 41.1
Cycle 1
Teaching
36 21.6 95 23.34 43 19.5 51 21.3 94 25.3 1 5.88 86 23.2 54 31.7
Cycle 2
Teaching
56 33.7 148 36.36 108 49.0 54 22.5 119 32.0 5 29.4 177 47.8 46 27.0
Cycle 3
TOTAL 166 8.47 407 20.77 220 11.2 239 12.1 371 18.9 17 0.87 370 18.8 170 8.67

From the eight moves used in the interaction between teacher and students in this
Reading to Learn program, Prepare moves were mostly used in this study (20.77 %).
These moves were done by the teacher to let the students engage actively for the
activities in each stage of teaching cycle such as And where is the location?. It
shows that the students were still reluctant to be participated in this program so
that the teacher employed more Prepare moves to get students response.
According to Rose and Acevedo (2006a), it is important for teacher to prepare
students in doing the task so that the Task step of scaffolding interaction cycle is
successfully performed by the students.

The next moves which were also mostly used by teacher and students in their
interaction after Prepare moves were Affirm (18.9 %) and Elaborate (18.8 %).
Affirm moves show that the students had employed their task in this program
through listening or showing understanding to the teachers explanation as one of
the tasks proposed by Rose (2008) by saying Yes. These moves were employed by
the teacher to show that students answers were correct or repeating their answer.
Meanwhile Elaborate moves were mostly employed by the teacher after the
students finished doing their Task in each stage of teaching cycle. These moves
were usually employed by the teacher in the long sentences in the form of
explanation after the students completed their task. By doing that, it shows that
the teacher was in attempt to have the students be independent first in doing their
task without fully being scaffolded by the teacher. It is in line with the principle of
scaffolding interaction cycle as stated by Rose (2004a, 2005a, 2005b, 2006) in
which teacher elaborates students understanding of the activity they have
completed.

The other moves (Query, Identify and Instruct) almost had the same amount for the
moves used in the interaction between teacher and student in Reading to Learn
program. Query moves (8.47%) were used not only by the teacher but also the
students. They were used by the teacher when she developed her questions to get
the responses from the students such as What else?, And then?. Meanwhile the
students used these moves when they asked some words in English they were

59 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

going to use in their writing and they were mostly employed in Indonesia such as
Bu, kalau Dia ke binatang apa?. For Identify moves (11.2 %), they were mostly
used by the students while discussing the text in Detailed Reading. In this stage, the
students identified the wordings discussed in this stage as the Task step they
should conducted based on the cues given by the teacher. Instruct moves (8.67 %)
were mostly used by the teacher when she instructed the students to highlight the
wordings of the text in Detailed Reading. These moves were not in the large
number in the other stages since the teacher rarely instructed the students but
scaffolded them in completing their task.

Reject moves (0.87%) were the moves rarely used in the interaction between
teacher and students in this study. These moves were mostly used by the teacher
when she rejected the responses given by the students by saying no or asking the
other students find the correct answer. Although these moves could be used by the
students while identifying the wordings in Detailed Reading, found in this study, the
number of them was small. It occurred since the students almost always
successfully identified the wordings discussed in this program.

Problems Found by the Teacher in the Use of Scaffolding Interaction Cycle in


Reading to Learn Program

Having observed teacher and student interaction, there were some problems that
the teacher found in the use of scaffolding interaction cycle of Reading to Learn
Program conducted in this study. The problems were reflected from the use of
scaffolding interaction cycle and types of interaction moves employed by teacher
and student in this study. Those problems are elaborated in the following.

Firstly, in conducting Reading to Learn program, the teacher found difficulties in


understanding the approaches and strategies proposed by Rose (2008). Teachers
understanding toward this program influenced the use of scaffolding interaction
cycle for each stage in teaching cycle. As occurred in this study, the teacher
misunderstood the concept of approaches in Preparing for Writing proven by her
inappropriate strategies in teaching stories. This resulted on the scaffolding
interaction cycle for this stage which was not properly used by the teacher. It is
assumed that if the teacher used appropriate approaches for her teaching, the
scaffolding interaction cycle in this stage will be maximally used.

Secondly, as reflected to the use of scaffolding interaction cycle in Individual


Rewriting stage, the students asked a lot of words in English which they were going
to use in their writing. It made the teacher found difficulties in scaffolding the
students in that stage due to much word they asked while doing their task.

| 60
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Students lack of exploring the words in English make them confused for the words
they were going to use in their writing. It seems that the teacher was supposed to
explore or discuss more wordings in Detailed Reading or as suggested by Rose
(2008) the teacher could hold intensive support strategies such as Sentence
Making, Spelling and Sentence Writing.

Thirdly, as also reflected to the number of Prepare moves employed by the teacher
in this study, it shows that the teacher found difficulties to make all the students
involved in the discussion of the text in this program. It means that the students
were reluctant in giving their responses so that the teacher needs to encourage
them a lot to participate in the class. According to Exley (2005) it is because EFL
students, especially Indonesian students, are typically passive, shy and quiet
person. To overcome this problem, some strategies actually have been suggested
by Rose (2008) as the preparation for this program such as: giving the cues in
Detailed Reading and creating teachers own text before Joint Rewriting class. This
fact suggests that the teacher needs more preparation before the class so that the
student will be more actively engaged in this program.

Lastly, although this study was set in small class, teacher may find difficulties in
conducting this program when it is held in a big class as the characteristic of most
classes in EFL settings (see Harmer, 2008). Rose (2008) actually has anticipated this
problem by giving suggestion to the teacher to have the students work in groups. In
addition, Rose (2008) mentions that having students work in group, they can
support each other and the teacher can easily move around to check on weaker
students. Besides doing that, the teacher needs to pay attention to the setting of
the class such as having weaker students sit in front of the class so that it will be
easier for the teacher to check them (see Rose, 2008) and having weaker students
sit with more experienced students so that they can help each other (see also Rose,
2008).

Thus, from the problems discussed above some difficulties were found by the
teacher in the use of scaffolding interaction cycle of Reading to Learn program.
However those problems could be anticipated if the teacher had better
understanding for the strategies and approaches proposed for this program by
Rose (2008). By doing so, it is hoped that the teacher to be more concerned on the
use the scaffolding interaction cycle in this program so that it supports the
implementation of Reading to Learn program in EFL settings.

Conclusions

61 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

The presents study was designed to examine the use of scaffolding interaction cycle
in Reading to Learn program. The findings showed that the teacher had used
scaffolding interaction cycle almost in all stages of Reading to Learn program.
However, one stage (Preparing for Writing) had not been used well by the teacher
due to the strategies applied in this study. Here, the teacher used strategies aimed
for factual texts in teaching stories. As a result, the student had not been provided
with the elements of the story in doing Joint Rewriting.

As the confirmation for the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn
program, three students texts which represent students achievement (weaker,
middle and more experienced students) in Independent Writing were analysed. The
texts show that all the students had been able to include the obligatory elements in
their Narratives text (Orientation, Complication and Resolution stage). In this case,
due to the grammatical mistakes found in students texts, the teacher needs to give
more intensive support to the students such as Sentence Making, Spelling and
Sentence Writing (see Rose, 2008).

Concerning types of interaction moves used in the classroom of Reading to Learn


program, Prepare moves were mostly employed by the teacher in this study. It was
occurred due to the characteristics of the students which were still reluctant in
giving the responses in this program. It shows that in this study the teacher had
more preparation to have the students engaged in the discussion of the texts.

In conducting this program, the teacher found some problems for the use of
scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program conducted in this study.
Firstly, the teacher found difficulties in understanding the approaches and
strategies proposed by Rose (2008) in conducting this program. Secondly, some
difficulties were found by the teacher in answering too much question given by the
students regarding the words they were going to use in their writing. Thirdly, the
teacher found difficulties to make all the students involved in the discussion of the
text in this program due to their passivity. Lastly, teacher may find difficulties in
conducting this program when it is held in a big class as the characteristic of most
class in EFL settings.

In short, the data presented in this study has shown several aspects that the
teacher needs to pay attention with, regarding the use of scaffolding interaction
cycle in Reading to Learn program. In addition, this study also supports the
previous study conducted by Rose (2006) that students will have more
development in their writing after following this program (see Rose and Acevedo,
2006a). As presented in the data of this study, compared to students diagnostic

| 62
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

writing, the students had been able to include the obligatory elements of
Narratives text in their Independent Writing.

References

Bordens, S. K. (2008) & Abbott, B.B. Research Design and Method: A Process Approach. McGraw-Hill
International Edition.
Carbines, R., Wyatt, T. & Robb, L.(2005). Evaluation of the Years 7-10 English Aboriginal Support Pilot
Project, Final Report to the Office of the NSW Board of Studies. Sydney: Erebus
International.
Cohen & Manion. (1994). Research Methods in Education. New York: Routledge.
Culican, S. (2005). Learning to Read: Reading to Learn, A Middle Years Literacy Intervention Research
Project, Interim Report on Stage 1 May-December 2003. Catholic Education Office
Melbourne.
Culican, S. (2006). Learning to Read: Reading to Learn, A Middle Years Literacy Intervention Research
Project, Final Report 2003-4. Catholic Education Office Melbourne.
Culican S, Milburn S. & Oakley C. (2006). Scaffolding Literacy in Middle Years. Deakin University.
Derewianka, B. (1990). Exploring How Texts Work. Primary English Teaching Association.
Emilia, E. (2008). Linguistik sistemik fungsional dan program Reading to Learn dalam mengajar
membaca dan menulis. A paper presented in the first conference on applied linguistics
(2008). Retrieved on June, 13th 2010 from: inggris.sps.upi.edu/wp-
content/uploads/2010/04/Konaplin-1.doc
Gay, L.R. (1992). Educational Research: Competencies for Analysis and Application. USA: Macmillan
Publishing Company.
Gibbons, P. (2002). Scaffolding Language: Scaffolding Learning; Teaching Second Language Learners in
the Mainstream Classroom. Heinemann.
Gibbons, P. (2003). Learning to Learn in a Second Language. Primary English Teaching Association.
Gibbons, P. (2009). English Learners Academic Literacy and Thinking. Heinemann.
Halliday, M.A.K. (1994). Functional Grammar. Arnold.
Joyce, H. & Feez, S. (2000). Writing Skills: Narrative and Non-Fiction Text Types. Phoenix Education.
Joyce, H. & Feez, S. (2004). Developing Writing Skills: for junior secondary students. Book 1. Phoenix
Education.
Martin, J.R., Matthiessen MIM, Christian. & Painter, Clare. (1997). Working with Functional Grammar.
New York: St Martins Press, Inc.
Martin, J.R. & Rose, D. (2007). Working with Discourse: meaning beyond the clause. London:
Continuum.
Martin, J.R. & Rose, D. (2007). Interacting with Text: the Role of Dialogue in Learning to Read and
Write. Foreign Studies Journal, Beijing 2007. Retrieved on April 2004, from:
http://www.readingtolearn.com.au/pdf.
Martin, J.R. & Rose, D. (2008). Genre Relations: Mapping Culture. Equinox Publishing Ltd.
McRae, D., Ainsworth, G., Cumming, J., Hughes, P., Mackay, T. Price, K., Rowland, M., Warhurst, J.,
Woodans, D. & Zbar, V. (2000). What has worked, and will again: the IESIP Strategic
Results Projects. Canberra: Australian Curriculum Studies Association,
www.acsa.edu.au/publications/worked, 24-26.
Nunan, D. & Bailey, K.M. (2009). Exploring Second Language Classroom Research: A Comprehensive
Guide. USA: Heinle, Cengage Learning.
Rose, D., Gray, B. & Cowey, W. (1999). Scaffolding Reading and Writing for Indigenous Children in
School. In P. Wignell (ed.) Double Power: English literacy and Indigenous education.
Melbourne: National Language & Literacy

63 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Rose, D. (2004a). Sequencing and Pacing of the Hidden Curriculum: how Indigenous children are left
out of the chain. In Muller, J., Davies, B. & Morais, A. (eds.) Reading Bernstein,
Researching Bernstein. London: Routledge Falmer, 91-107.
Rose, D. (2004b). Reading and Writing Factual Texts. Teacher Training DVD. Sydney: Learning to Read:
Reading to Learn.
Rose, D. (2005). Democratising the Classroom: a literacy pedagogy for the new generation. In Journal
of Education, Vol 37 (Durban: University of KwaZulu Natal), 127-164
www.ukzn.ac.za/joe/joe_issues.htm.
Rose, D. (2006a). Scaffolding the English Curriculum for Indigenous Secondary Students: NSW&-10
English Syllabus Aboriginal Support Pilot Project Office of the Board Studies: Final
th
Report. January 2006. Retrieved on April 24 , 2010 from:
http://www.readingtolearn.com.au/pdf.
Rose, D. (2006b). Literacy and equality. In Proceedings of the National Conference on Future Directions
in Literacy. A. Simpson (ed.). Sydney: University of Sydney, 188-203 Retrieved on April
th
24 , 2010 from:
http://www.readingtolearn.com.au/pdf/Literacy%20and%20equality.pdf.
Rose, D. (2006c). Literacy and Social Responsibility.; Training Teachers to Teach Reading Across the
Curriculum. Public lecture for Literacy and Social Responsibility lecture series,
th
University of Sydney 2006. Retrieved on April 24 , 2010 from:
http://www.readingtolearn.com.au/pdf/
th
Rose, D. (2007). A Reading based model of schooling. Retrieved on April 24 , 2010
from:http://www.readingtolearn.com.au/pdf/A%20reading%20based%20model%20
of%20schooling.pdf
Rose, D. (2008). Reading to Learn: Accelerating learning and closing the gap: 2008 edition. David Rose
2008.
Rose, D. & Acevedo, C. (2006a). Closing the gap and accelerating learning in the Middle Years of
Schooling Australian Journal of Language and Literacy, 14.2, 32-45. Retrieved on April
th
24 , 2010 from: http://www.readingtolearn.com.au/pdf.
Rose, D. & Acevedo, C. in press (2006b). Designing literacy inservicing: Learning to Read: Reading to
Learn. Proceedings of the Australian Systemic Functional Linguistics Conference 2006,
th
University of New England. Retrieved on April 24 , 2010 from:
http://www.readingtolearn.com.au/pdf.
Rose, D. & Acevedo (2006c). Reading (and writing) to learn in the middle years of schooling. Primary
th
English Teacher Association. Retrieved on April 24 , 2010 from:
http://www.readingtolearn.com.au/pdf.
Van Lier, Leo. (1988). The Classroom and the Language Learner: Applied Linguistics and Language
Study. Longman Group UK Limited.
Van Lier, Leo. (1996). Interaction in the Language Curriculum: Awareness, Autonomy and Authenticity.
Longman Group Limited.

| 64
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

MENULIS POSTER DAN SLOGAN MELALUI PENERAPAN METODE


PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING):
Suatu Alternatif Peningkatan Keterampilan Menulis

Oleh: Dr.Abdul Azis,M.Pd


Dosen Universitas Negeri Makasar
ABSTRAK
Kegiatan menulis poster dan slogan adalah kegiatan yang bersifat produktif-kreatif.
Slogan dan poster dipergunakan oleh produsen, pemerintah, atau sebuah
organisasi untuk memperkenalkan produknya, atau untuk menyampaikan suatu
gagasan, pengumuman, dan imbauan kepada masyarakat umum. Poster dan Slogan
adalah salah satu pesan visual. Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
pengembangan kemampuan berpikir kreatif (kreativitas) akan lebih tepat bila
diintergrasikan dengan pembelajaran menulis. Kegiatan menulis akan
mempertajam kreativitas siswa.
Kata Kunci: menulis, poster dan slogan, PBL

A. PENDAHULUAN
Pemerintah telah menekankan pentingnya kreativitas dikembangkan sejak usia
pramadrasah/prasekolah sampai dengan perguruan tinggi. Namun, pada
kenyataannya sistem pendidikan lebih berorientasi pada perkembangan intelegensi
(kecerdasan) daripada pengembangan kreativitas.
Pada hakikatnya, semua siswa memiliki potensi kreatif yang harus dikembangkan
agar mereka mampu hidup penuh gairah dan produktif dalam melakukan tugas-
tugasnya. Perkembangan kemampuan siswa dalam menggali kreativitas yang
dimilikinya, akan menjadi pendorong dalam membangun kepercayaan diri dan
mengurangi timbulnya rasa takut serta rendah diri. Dengan modal tersebut, akan
timbul dalam diri siswa kegairahan dan semangat belajar yang tinggi. Kesadaran
akan adanya potensi kreatif dalam diri setiap siswa, maka kreativitas siswa harus
dikembangkan secara optimal dalam situasi belajar mengajar dengan menggunakan
metode pembelajaran yang tepat. Kreativitas dapat dikembangkan melalui belajar
pemecahan masalah.
Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pengembangan kemampuan
berpikir kreatif (kreativitas) akan lebih tepat bila diintergrasikan dengan
pembelajaran menulis. Kegiatan menulis akan mempertajam kreativitas siswa.
Menurut Nursisto (2004: 104), menulis merupakan kegiatan selangkah lebih maju
guna memberdayakan potensi kreativitas siswa sebab aktivitas ini sekaligus
menghadirkan pengoranisasian. Salah satu bentuk kegiatan menulis adalah menulis
poster dan slogan.
Kegiatan menulis poster dan slogan adalah kegiatan yang bersifat produktif-kreatif.
Slogan dan poster dipergunakan oleh produsen, pemerintah, atau sebuah

65 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

organisasi untuk memperkenalkan produknya, atau untuk menyampaikan suatu


gagasan, pengumuman, dan imbauan kepada masyarakat umum. Poster dan Slogan
adalah salah satu pesan visual. Menurut Tirtawijaya (Nurhadi, 2007: 22) bahwa
pesan visual adalah alat komunikasi penyampai pesan tertentu pada masyarakat.
Oleh karena itu, pesan visual tersebut harus kreatif (asli, luwes, dan lancar),
komunikatif, efesien, dan efektif, serta memiliki nilai estetis atau keindahan.
Pembelajaran menulis poster dan slogan melatih kemampuan siswa menulis pesan
kreatif dan memadukannya dengan seni menggambar. Proses belajar mengajar ini
akan lebih menarik dan menyenangkan bagi siswa bila ditunjang dengan
penggunaan metode pembelajaran yang tepat oleh guru.
B. PEMBAHASAN
a. Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran
Salah satu metode pembelajaran yang diharapkan mampu melatih pengembangan
kreativitas siswa dalam menulis poster dan slogan adalah metode pembelajaran
berbasis masalah (problem-based-learning). Pembelajaran menulis poster dan
slogan melalui metode pembelajaran berbasis masalah dimaksudkan agar siswa
mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya untuk mengidentifikasi masalah
yang ada di sekitarnya, memecahkan masalah tersebut, menarik sebuah simpulan,
kemudian disajikan dalam bentuk poster dan slogan. Belajar pemecahan masalah
merupakan salah satu proses kreatif yang sangat kompleks karena di dalamnya
melibatkan beragam keterampilan berpikir yaitu: merumuskan masalah,
memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
Retman (dalam Sudjana, 2005: 139) mengemukakan bahwa kegiatan belajar perlu
mengutamakan pemecahan masalah karena dengan menghadapi masalah peserta
didik akan didorong untuk menggunakan pikiran secara kreatif dan bekerja secara
intensif untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.
Hasil pembelajaran bahasa dengan metode pembelajaran berbasis masalah
diharapkan mampu memberikan pengalaman bermakna sehingga sukar dilupakan
bagi siswa. Melalui penerapan metode pembelajaran berbasis masalah akan
melatih siswa untuk terbiasa berpikir kritis dan melatih rasa tanggung jawab siswa
dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan kelak di masyarakat. Dengan
metode ini siswa mampu menghubungkan antara hal yang mereka pelajari dengan
situasi dunia nyata sehingga menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri.

Suatu masalah umumnya tidak dapat dipecahkan tanpa berpikir. Konsep Dewey
(dalam Slameto, 2003: 143) tentang berpikir menjadi dasar untuk pemecahan
masalah sebagai berikut:
1. Adanya kesulitan yang dirasakan atau kesadaran akan adanya masalah

| 66
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

2. Masalah itu diperjelas atau dibatasi


3. Mencari informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan
4. Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesis-hipotesis,
kemudian hipotesis-hipotesis itu dinilai, diuji agar dapat ditentukan
diterima atau ditolak
5. Penerapan pemecahan masalah terhadap masalah yang dihadapi sekaligus
berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan masalah tersebut untuk
dapat sampai pada simpulan.
Munculnya masalah secara sadar akan membuat siswa untuk berpikir. Proses
berpikir tersebut ditandai dengan adanya usaha mencari informasi untuk
menemukan pemecahan masalah. Selanjutnya, Guilford (dalam Slameto, 2003:
144) mengemukakan tiga komponen pokok dalam berpikir yaitu pengerjaan
(operation), isi (content), dan hasil (product).
Nursistro (2004: 119) mengemukakan bahwa kebanyakan kemampuan pemikiran
yang efektif menggunakan cara berpikir divergen dan konvergen pada saat
tertentu. Berpikir divergen tampaknya paling bermanfaat pada taraf seseorang
memulai proses pemecahan masalah. Pada saat itu, seseorang mulai menjajaki
ruang lingkup dan batasan masalah, mencari dan memproses informasi sambil
mengembangkan hipotesis dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dicari
jawabannya. Seseorang berpikir konvergen bila ia dapat mengendalikan masalah
yang dihadapinya. Masalah itu dianalisisnya melalui komponen yang lebih kecil
yang dapat dipecahkannya. Berpikir konvergen adalah berpikir reduktif, yakni
mereduksi masalah menjadi unit yang sekecil-kecilnya lalu menganalisis tiap unit
dengan cermat. Dengan memecahkan masalah tiap unit maka keseluruhan masalah
dapat terselesaikan.
b. Pemecahan Masalah
Hidup ini penuh dengan berbagai masalah ada yang sedikit, ada yang banyak, dan
adapula yang baru bagi kita. Masalah timbul tatkala peserta didik mempunyai
tujuan tetapi tidak mengetahui bagaimana cara mencapai tujuan itu. Masalah
dapat pula muncul apabila peserta didik tidak dapat keluar dari satu situasi yang
dihadapi kepada situasi lain yang dikehendaki, maka keadaan itu akan mengundang
peserta didik untuk berpikir.
Masalah yang digunakan dalam pembelajaran memiliki arti tersendiri. Menurut
Sayers (dalam Sudjana, 2005: 140) masalah yang dimaksud adalah suatu jarak
antara sesuatu keadaan pada saat ini dengan keadaan yang diinginkan di masa
yang akan datang.
Pentingnya masalah dan upaya pemecahannya dalam kegiatan belajar, didasari
beberapa alasan. Pertama, masalah dan upaya pemecahannya merupakan bagian
dari kehidupan manusia secara alamiah, karena sejak lahir sampai meninggal dunia

67 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

manusia selalu berhubungan dengan kegiatan pemecahan masalah, walaupun


dalam bentuk yang paling sederhana. Kedua, tingkat keberhasilan seseorang dalam
kehidupannya sangat erat kaitannya dengan keberhasilan dalam memecahkan
masalah yang dihadapi.
Banyak orang yang berhasil dalam tugas pekerjaan atau dalam kehidupan
masyarakat disebabkan mereka telah memiliki sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang memadai dalam memecahkan masalah. Ketiga, upaya
pemecahan masalah berangkai. Seseorang telah selesai memecahkan suatu
masalah maka akan timbul masalah lain yang menunggu pemecahan. Oleh karena
itu, siswa harus dilatih untuk terbiasa memecahkan masalah. Keempat, bahwa
dalam suatu masalah akan terdapat bagian-bagian masalah lain didalamnya.
Tak ada manusia yang lepas dari kesulitan atau masalah dalam hidupnya yang harus
di selesaikan secara rasional. Oleh sebab itu, madrasah berkewajiban melatih
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah melalui situasi belajar mengajar.
Kegiatan belajar problem-solving ini melatih kemampuan berpikir siswa dalam
upaya memecahkan suatu masalah, sehingga kegiatan belajar siswa lebih
bermakna, mantap, dan sukar dilupakan. Kegiatan belajar pemecahan masalah
memiliki ruang lingkup sikap dan perilaku yang luas. Dalam kegiatan belajar
pemecahan masalah terlibat berbagai tugas, penentuan tujuan yang ingin dicapai,
dan kegiatan untuk melaksanakan tugas.
Kegiatan belajar pemecahan masalah dilakukan melalui proses kegiatan berpikir
dan bertindak dalam dan terhadap dunia kehidupan peserta didik.
c. Hakikat Kreativitas
Selain keterampilan berpikir, komponen yang berkaitan erat dengan pemecahan
masalah adalah adanya potensi kreatif dalam diri setiap manusia untuk
menghasilkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu dapat berupa perbuatan
atau tingkah laku, hasil-hasil kesusastraan, dan lain-lain. Menghasilkan sesuatu
(benda-benda, gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu,
kesemuanya itu adalah mencakup pemecahan masalah yang merupakan sebuah
proses kreatif.

Selanjutnya, menurut Parnes (dalam Nursisto, 2004: 31) bahwa kreativitas dapat
dibangkitkan melalui masalah yang memacu pada lima macam perilaku kreatif
sebagai berikut:
1. Fluency (kelancaran), yaitu kemampuan mengemukakan ide-ide yang
serupa untuk memecahkan masalah.
2. Flexibility (keluwesan), yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai
macam ide guna memecahkan suatu masalah di luar kategori yang biasa.

| 68
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

3. Originallity (keaslian), yaitu kemampuan memberikan respon yang unik


atau luar biasa.
4. Elaboration (keterperincian), yaitu kemampuan menyatakan pengarahan
ide secara terperinci untuk mewujdkan ide menjadi kenyataan.
5. Sensitivity (kepekaan), yaitu kepekaan menghasilkan masalah sebagai
tanggapan terhadap suatu situasi.
Oleh karena itu, sangat penting memberikan latihan kepada siswa untuk
memecahkan dalam situasi belajar mengajar guna mengembangkan kreativitas
atau kemampuan berpikirnya. Klausmeier (Slameto, 2003: 152) mengemukakan
bahwa langkah-langkah yang diperlukan dalam pembentukan keterampilan
masalah berlaku pula untuk pembentukan kreativitas. Madrasah dapat menolong
siswa mengembangkan keterampilan masalah-masalah dan sekaligus
mengembangkan kreativitas.
d. Metode Pengajaran Berbasis Masalah
Pengajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi pengajaran yang
mampu mengembangkan kreativitas siswa melalui pemecahan masalah dan akan
menjadi bahasan utama dalam penelitian ini.
Menurut Nurhadi (2007: 19) pengajaran berbasis masalah (problem-based learning)
adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan
keterampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi pelajaran.
Pengajaran berbasis masalah merupakan suatu cara penyajian pelajaran dengan
cara dihadapkan pada satu masalah yang harus dipecahkan atau diselesaikan, baik
secara individual maupun kelompok. Metode ini baik untuk melatih kreativitas
siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.
Tak ada manusia yang lepas dari kesulitan atau masalah dalam hidupnya yang harus
diselesaikan secara rasional. Oleh karena itu, guru berkewajiban melatih
kemampuan siswa memecahkan masalah melalui situasi belajar-mengajar.
Menurut Djamarah (2006: 104), keunggulan dari metode pengajaran berbasis
masalah sebagai berikut:
1. Metode ini dapat membuat pendidikan di madrasah/sekolah menjadi
lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.
2. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan
para siswa mengahadapi dan memecahkan masalah secara kreatif, apabila
menghadapi permasalahan di dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat,
dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi
kehidupan manusia.

69 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

3. Metode ini merangsang pengembangan keterampilan berpikir siswa secara


kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak
melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi
dalam rangka mencari pemecahannya.
Selanjutnya, Nurhadi (2007: 56) mengemukakan lima ciri-ciri pengajaran berbasis
masalah sebagai berikut:
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Masalah yang akan diselidiki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam
pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
1. Penyelidikan autentik
2. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya
3. Siswa bekerja sama satu sama lain.
Bekerja sama dapat memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat
dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan
dialog untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir. Peran
guru dalam pengajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan
pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Tahapan pengajaran
berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan
guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan
penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Di bawah ini adalah tahapan-tahapan dalam
penerapan pengajaran berbasis masalah.
a. Tahap I
Orientasi siswa terhadap masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilihnya.

b. Tahap II
Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

c. Tahap III
Membimbing penyelidikan individual dan kelompok. Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.

d. Tahap IV

| 70
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu siswa


merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, serta membantu mereka
berbagi tugas dengan temannya.

e. Tahap V
Mengevaluasi proses pembelajaran. Guru membantu siswa melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap hasil dari proses belajar mengajar.
Lingkungan belajar dan sistem manajemen dalam pengajaran berbasis masalah
dicirikan oleh sifatnya yang terbuka, ada proses demokrasi, dan peranan siswa yang
aktif. Meskipun guru dan siswa melakukan tahapan pembelajaran yang terstruktur
dan dapat diprediksi dalam pengajaran berbasis masalah, norma di sekitar
pelajaran adalah norma inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat.
Lingkungan belajar menekankan peran sentral siswa, bukan guru yang ditekankan.

2. Tujuan Metode PBL dalam Pembelajaran


Tujuan pengajaran berbasis masalah dalam pembelajaran adalah untuk membantu
guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran
berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuan mereka berpikir, pemecahan masalah, dan
kreativitas, belajar tentang berbagai peran dewasa melalui pelibatan mereka dalam
pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pebelajar yang otonom dan
mandiri.

3. Model Pengajaran Berbasis Masalah


Berikut ini adalah langkah-langkah pengajaran berbasis masalah dalam contoh
pembelajaran menulis poster dan slogan Bahaya Narkoba untuk berbagai
keperluan.

Fase 1 Mengorientasikan siswa kepada masalah outentik


Guru masuk ke dalam kelas dengan membawa guntingan koran. Harian Fajar
sebagai berikut. Selanjutnya, guru meminta siswa mencermati isi koran tersebut.
Kemudian, guru menanyakan kepada siswa apa isi koran tersebut? Jawaban
mungkin beragam, namun siswa diarahkan kepada: Bahaya Narkoba

Tahukah kalian, mengapa ekstasi (narkoba) itu dilarang?

Guru menuliskan judul di papan tulis, seraya menyampaikan tujuan pelajaran kali
ini adalah mengidentifikasi bahaya narkoba kemudian disimpulkan, lalu
menuangkannya ke dalam bentuk sebuah poster dan slogan.

71 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fase 2 Mengorientasikan siswa untuk belajar


Guru membagi siswa dalam kelompok, kemudian masing-masing kelompok
diminta untuk mencari tahu tentang bahasa narkoba. Informasi dapat diperoleh
dari guru atau berdasarkan pada pengalaman siswa.

Fase 3 Membimbing penyelidikan


Guru membimbing siswa menemukan informasi tentang bahaya narkoba.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal tersebut dan
melakukan diskusi dengan teman kelompok. Pada akhir kegiatan ini siswa diminta
membuat kesimpulan tentang bahaya narkoba dengan jumlah kata yang telah
ditentukan, dengan kalimat yang menarik. Tapi sebelum siswa membuat simpulan
guru memperlihatkan contoh-contoh poster dan slogan. Guru menjelaskan ciri-ciri
poster yang baik dan langkah-langkah pembuatannya.

Fase 4 Guru membimbing siswa mengembangkan hasil karya


Simpulan yang telah dibuat boleh dipadukan dengan gambar, dan boleh pensil
pewarna.
Kegiatan Pemantapan

Fase 5 Evaluasi atau refleks


Guru bersama siswa berusaha mendiskusikan langkah demi langkah pemecahan
masalah yang telah dilakukan. Tiap kelompok mempresentasikan hasil karyanya.
Guru memberi komentar pemecahan masalah dan mencatat pokok-pokoknya di
papan tulis.

4. Penulisan Poster dan Slogan

Kemampuan menulis merupakan salah satu kemampuan bahasa yang semakin


penting untuk dikuasai. Salah satu kompetensi yang harus didiskusikan siswa
dalam aspek keterampilan menulis adalah siswa harus mampu menulis slogan dan
poster untuk berbagai keperluan. Slogan dan poster dipergunakan oleh produsen,
pemerintah, atau sebuah organisasi untuk memperkenalkan produknya, atau untuk
menyampaikan suatu gagasan, pengumuman, dan himbauan.

Dewasa ini, poster muncul sebagai unsur dekoratif. Unsur gambar lebih
mendominasi poster daripada tulisan, bahkan lebih banyak menonjolkan ekspresi
seninya dengan pesan-pesan kemanusiaan. Namun, tulisan pada poster masih
sangat diperlukan.

Menurut Sudjana (2005: 226) isi dari sebuah poster hendaknya: a) menarik
perhatian umum, sehingga dapat membangkitkan perasaan ingin mengetahui,

| 72
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

memiliki, atau berbuat sesuatu, b) kalimat yang digunakan singkat, tetapi jelas,
mudah dipahami, langsung menuju sasaran, dan tidak menyinggung perasaan, c)
naskah hendaknya disertai dengan gambar yang dapat mendukung bunyi kalimat
poster, ada kesamaan tema kalimat dengan gambar.

Dalam menyusun sebuah poster adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan


yaitu, a) menentukan objek yang akan diposterkan, b) merumuskan pesan yang
akan disampaikan kepada umum, c) merumuskan kalimat singkat, padat, dan jelas
sehingga inti masalah dapat dibaca sambil lalu, dan d) menggunakan kata-kata
yang sugestif (bersifat membujuk).

Selain poster, dikenal slogan. Slogan dan poster pada dasarnya sama, yang
membedakan adalah adanya unsur gambar pada poster. Slogan adalah perkataan
atau kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk
memberitahukan sesuatu. Slogan biasanya dituliskan dengan ukuran tertentu
sehingga mudah dibaca oleh konsumen.

Slogan dan poster yang baik adalah pada saat dibaca dapat mengingatkan orang
pada produk yang dimaksud. Oleh karena itu, sebelum menulis penulis harus
menentukan tujuan dari membuat slogan dan poster. Kemudian, memilih kata yang
tepat dan unik serta menyusun kalimat yang menarik dan persuasif sehingga
dengan slogan dan poster yang tersusun adalah sesuatu yang unik dan mudah
diingat pembaca sekaligus dapat meyakinkan pembaca.

Pelaksanaan sistem pendidikan tidak hanya tertuju pada pengembangan intelegensi


(kecerdasan) tetapi juga tertuju pada pengembangan kreativitas siswa, karena
keduanya sama pentingnya. Pembelajaran kreativitas akan lebih tepat bila
diintegrasikan dengan kemampuan menulis, yaitu menulis poster dan slogan.
Kreativitas dapat dikembangkan secara optimal melalui pembelajaran
memecahkan masalah.

C. Penutup

Salah satu metode mengajar yang dapat diterapkan oleh guru mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk melatih siswa memecahkan masalah dalam hal
ini pembelajaran menulis poster dan slogan adalah metode pengajaran berbasis
masalah. Melalui penerapan metode pengajaran berbasis masalah akan melatih
siswa untuk terbiasa berpikir kritis dan analitis, melatih rasa tanggung jawab siswa

73 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan kelak di masyarakat, serta melatih


siswa menghasilkan sebuah karya atau produk.

Dalam proses pengajaran berbasis masalah, siswa dihadapkan pada suatu masalah
autentik yaitu masalah sehari-hari yang terjadi di lingkungan madrasah maupun di
lingkungan tempat tinggal mereka. Kemudian siswa dibimbing untuk menemukan
solusi dari masalah tersebut dengan melakukan penyelidikan baik secara individu
maupun kelompok, bahkan diwujudkan dalam sebuah karya nyata, seperti poster
dan slogan.

DAFTAR PUSTAKA

Djamarah, Syaiful Bahri dan Azwan Zain, 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rinneka Cipta.

Nurhadi. 2007. Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning (CTL)


dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.

Nursisto, 2004. Kiat Menggali Kreativitas. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.

Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka


Cipta.

Sudjana, D. 2005. Strategi Pembelajaran Luar Sekolah. Bandung: Falah.

| 74
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

PENGGUNAAN TEKNIK MIND MAPPING


DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA
(Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong
Kabupaten Garut Tahun Pelajaran 2006-2007)

Oleh : M Dudung Jamiat, S.Pd., MM


Dosen STKIP Garut
Abstrak

Keterampilan berbicara merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan manusia


dalam berkomunikasi. Upaya meningkatkan keterampilan berbicara siswa di
sekolah, merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh guru. Dalam realitas
pembelajaran, keterampilan berbicara ini sering kali terabaikan. Kondisi ini menjadi
salah satu penyebab hasil pembelajaran keterampilan berbicara hingga kini masih
jauh dari harapan. Berkaitan dengan hal itu penulis tertarik untuk mengujicobakan
suatu teknik berbicara khususnya dalam kaitan dengan menceritakan kembali isi
sebuah cerita yaitu dengan teknik peta pikiran.

PENDAHULUAN

Setiap manusia pasti memiliki kemampuan untuk berbicara tetapi tidak semua
manusia terampil berbicara, karena untuk dapat terampil berbicara, perlu adanya
latihan atau upaya ke arah tersebut. Manusia dalam kegiatannya sehari-hari
ternyata selalu dihadapkan dengan kegiatan yang menuntut keterampilan
berbicara.

Kemampuan berbicara diperlukan hampir dalam seluruh kegiatan manusia sehari-


hari. Penelitian membuktikan bahwa 75% waktu bangun manusia berada dalam
kegiatan komunikasi. Kita hampir dapat memastikan bahwa sebagian besar
kegiatan komunikasi itu dilakukan secara lisan. Carnagie dalam Rakhmat (2001 : 2)
menyatakan bahwa bicara bisa menunjukkan bangsa, bicara mengungkapkan
apakah Anda orang terpelajar atau bukan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
berbicara.

Bahasa dalam kehidupan manusia menduduki fungsi yang utama, yaitu sebagai alat
komunikasi. Melalui bahasa, manusia dapat memenuhi salah satu kebutuhannya
yaitu bersosialisasi dengan lingkunganya, mengadakan interaksi yang satu dengan
yang lainnya. Keterampilan berbicara merupakan kegiatan yang paling sering
dilakukan manusia dalam berkomunikasi. Keterampilan berbicara berperan bagi
guru untuk menyampaikan ilmu dengan baik, sehingga dapat dipahami siswa.
Sedangkan bagi siswa, keterampilan berbicara berperan untuk mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan, gagasan atau tanggapan.

75 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Upaya meningkatkan keterampilan berbicara siswa di sekolah, merupakan satu


tantangan yang harus dihadapi oleh guru. Hal ini didasarkan pada esensi
pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2004 maupun 2006 yang
menekankan pada empat aspek keterampilan berbahasa. Namun dalam realitas
pembelajaran, keterampilan berbicara ini sering kali terabaikan. Guru hanya
mampu melakukan penilaian keterampilan berbicara ini pada tataran keberanian
siswa dalam bertanya dan menjawab pertanyaan. Sementara itu berbagai teknik
berbicara seringkali disampaikan hanya sebatas teori saja tanpa praktik berbicara
yang memadai.

Kondisi di atas menjadi salah satu penyebab hasil pembelajaran keterampilan


berbicara hingga kini masih jauh dari harapan. Tarigan dan Tarigan (1986:88)
menyatakan bahwa: Keadaan pengajaran berbicara sejalan dengan pengajaran
Bahasa Indonesia, belum memuaskan, keterampilan berbicara dalam arti luas, para
pelajar belum memadai. Kenyataan dalam diskusi, seminar, atau pun ceramah
menunjukkan bahwa sebagian besar pesertanya diam, kurang bersuara. Kecakapan
beradu argumentasi masih jauh dari memadai.

Hal yang berkenaan dengan masalah di atas juga ditemukan pada siswa Sekolah
Menengah Pertama. Selama pengamatan, mereka lebih memilih untuk mengobrol
ketika proses berdiskusi berlangsung. Tetapi ketika diberi kesempatan untuk
memberikan tanggapan, masukan atau mengajukan sebuah pertanyaan mereka
hanya diam, dengan alasan malu, tidak berani, atau takut salah.

Melihat kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa keterampilan siswa untuk


berbicara masih rendah. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada siswa menengah saja
tetapi seorang mahasiswa sekalipun masih ada yang lebih memilih untuk menjadi
pendengar setia daripada harus memberikan pendapatnya yang kalau salah akan
ditertawakan oleh teman-temannya. Masih rendahnya kemampuan siswa untuk
terampil berdiskusi sebagai akibat kurangnya latihan ataupun rangsangan untuk
dapat mengembangkan tersebut.

Dengan fenomena di atas maka jelaslah bahwa siswa dituntut untuk


mengemukakan pendapat, gagasan maupun pikiran dan perasaannya dalam proses
kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran berbicara di tingkat sekolah lanjutan
hanya ditekankan pada pembacaan pidato, bermain peran, pembacaan puisi, dan
kegiatan lainnya yang bersifat komunikasi satu arah. Hal ini terjadi karena kita
masih beranggapan bahwa komunikasi hanya bersifat unilateral dalam pengertian
dalam berkomunikasi hanya terdapat satu pembicara atau penulis dan satu orang
penyimak atau pembaca.

| 76
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Sementara itu, pada tahun 1970 seorang kepala Brain Foundation, Tony Buzan
mengembangkan sebuah teknik pencatatan yang didasarkan pada riset tentang
cara kerja otak yang sebenarnya. Teknik pencatatan tersebut dikenal dengan nama
mind mapping yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama peta pikiran.
Selanjutnya, penulis akan menyebutnya peta pikiran. Teknik peta pikiran adalah
sebuah teknik untuk menangkap informasi dengan cara menuangkan informasi
tersebut dalam bentuk gambar simbol, suara dan perasaan. Cara ini sangat
menenangkan, menyenangkan, dan kreatif. DePorter dalam Quantum Teaching
memaparkan hasil riset Super Camp, sebuah program percepatan Quantum
Learning bahwa setelah siswa diberi kiat-kiat yang meningkatkan kemampuan
menguasai segala hal termasuk teknik peta pikiran, mereka mendapatkan nilai
yang lebih baik, lebih banyak berpartisipasi, dan merasa bangga akan dirinya
sendiri (2001:178).

Lebih lanjut DePorter dalam Quantum Learning mengatakan bahwa peta pikiran
merupakan pendekatan ke seluruh otak yang akan membuat siapapun mampu
membuat catatan yang menyeluruh dalam satu halaman. Dengan menggunakan
citra visual dan perangkat grafis lainnya, peta pikiran akan memberikan kesan yang
lebih dalam (2001:178).

Teknik peta pikiran dapat digunakan untuk membantu siswa dalam pembelajaran
keterampilan berbahasa dan apresiasi sastra. Dengan proses memetakan pikiran,
siswa diberikan kebebasan untuk mengemukakan pikirannya, sehingga mampu
mengemukakan apa yang dipikirkannya dengan baik. Melalui metode mind
mapping, siswa dapat mencatatkan poinpoin utama yang akan dibicarakannya.
Sesuai dengan pernyataan DePorter, alasan pertama untuk mencatat adalah
mencatat meningkatkan daya ingat (DePorter, 2001:146). Tanpa mencatat dan
mengulanginya, kebanyakan orang hanya mampu mengingat sebagian materi yang
mereka baca atau dengar pada waktu sebelumnya. Pencatat yang efektif dalam
menghemat waktu dengan menyimpan informasi secara mudah dan mengingatnya
kembali jika diperlukan. DePorter juga mengatakan bahwa kebanyakan siswa
menganggap peta pikiran sebagai cara mencatat yang menyenangkan dan menarik
(De Porter, 2001 :146). Hal ini memang terbukti ketika sebuah SMP Norethwood
menggunakan teknik ini dalam proses belajar mengajar dan hasilnyapun sangat
mengagumkan. DePorter dalam Quantum Lerning mengatakan juga bahwa teknik
peta pikiran dapat digunakan untuk tugas membaca, curah gagasan (brain
storming) dan menulis (2001:177). Oleh karena itu, peneliti menjadi tertarik untuk
menerapkan metode ini dalam pembelajaran berbicara.

Berdasarkan batasan masalah di atas, tindakan penelitian ini dapat dirumuskan


sebagai berikut: (1) Bagaimanakah hasil pembelajaran berbicara sebelum
menggunakan teknik peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas VIII SMP Negeri

77 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

2 Leuwigoong Kabupaten Garut tahun pelajaran 2007 2008?; (2) Bagaimanakah


hasil pembelajaran berbicara setelah menggunakan teknik peta pikiran (mind
mapping) pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Leuwigoong Kabupaten Garut tahun
pelajaran 2007 2008?; dan (3) Adakah perbedaan hasil pembelajaran berbicara
siswa sebelum dan sesudah menggunakan teknik peta pikiran (mind mapping) pada
siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Leuwigoong Kabupaten Garut tahun pelajaran 2007
2008?

Sementara itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak
penggunaan teknik mind mapping pada pembelajaran bericara dengan cara
membandingkan kemampuan berbicara siswa antara sebelum dan sesudah
pembelajaran dengan menerapkan teknik mind mapping.

KAJIAN TEORETIS

A. Berbicara sebagai Salah Satu Keterampilan Berbahasa

Berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang berfungsi untuk


menyampaikan sesuatu melalui bahasa lisan dan dapat mengungkapkan suatu
ide yang jelas apabila seseorang melkukannya dengan baik. keterampilan
berbicara (speaking skills) merupakan salah satu komponen keterampilan
berbahasa yang dipergunakan oleh manusia untuk berkomunikasi. Keterampilan
berbicara tidak dapat dipisahkan dengan keterampilan yang lainnya baik
keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan menulis (writing skills),
maupun keterampilan membaca (reading skills). Oleh karena itu, Tarigan
(1982:1) menyebutkan keempat keterampilan berbahasa tersebut sebagai catur
tunggal.

Pemerolehan keempat keterampilan berbahasa tersebut berawal dari


keterampilan menyimak yaitu ketika anak masih kecil, setelah menyimak
barulah anak akan belajar berbicara. Setelah anak masuk sekolah kemudian
anak tersebut akan belajar membaca dan setelah itu belajar menulis. Oleh
karena itu keterampilan berbicara sesungguhnya adalah satu keterampilan yang
sudah lama dilatih dan dilakukan. Namun demikian, dalam kaitan berbicara di
depan khalayak atau berbicara dalam acara formal tidak semua orang dapat
melakukannya dengan baik.

Manusia adalah makhluk sosial, dan tindakannya yang pertama dan yang paling
penting adalah tindakan sosial, suatu tindakan tempat saling mempertukarkan
pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling mengutarakan
perasaan, atau saling mengekspresikan serta menyetujui sesuatu pendirian

| 78
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

atau keyakinan. Oleh karena itu, di dalam tindakan sosial haruslah terdapat
elemen-elemen yang umum, yang sama-sama disetujui dan dipahami oleh
sejumlah orang yang merupakan suatu masyarakat. Untuk menghubungkan
sesama anggota masyarakat, maka diperlukan komunikasi.

Ujaran sebagai suatu cara berkomunikasi sangat mempengaruhi kehidupan


individual kita. Dalam sistem inilah kita saling bertukar pendapat, gagasan,
perasaan, keinginan, dengan bantuan lambang-lambang yang disebut kata-kata.
Sistem inilah yang memberi keefektifan baagi individu dalam mendirikan
hubungan mental dan emosional dengan anggota-anggota lainnya. Agaknya
tidak perlu disangsikan lagi bahwa ujaran hanyalah merupakan ekspresi dari
gagasan-gagasan pribadi seseorang, dan menekankan hubungan-hubungaan
yang bersifat dua arah, memberi dan menerima.

B. Teknik Peta Pikiran (Mind Mapping)

1. Pengertian Teknik Peta Pikiran

De Porter (2001:153) dalam Quantum Learning dan Quantum Teaching


mengungkapkan bahwa Peta Pikiran adalah teknik pemanfaatan
keseluruhan otak dengan menggunakan citra visual dan prasarana grafis
lainnya untuk membentuk kesan. Sementara itu Rose dan Nicholl menyebut
Peta Pikiran sebagai Peta Konsep atau Peta Pembelajaran. Namun, pada
hakikatnya kedua hal tersebut sama. Rose dan Nicholl dalam Accelerated
Learning mengemukakan bahwa Peta Konsep adalah cara dinamik untuk
menangkap butir-butir pokok informasi yang signifikan.

Mencatat, amat mendukung dalam mengembangkan daya ingat, sesuai


dengan pernyataan DePorter Alasan pertama untuk mencatat adalah bahwa
mencatat meningkatkan daya ingat" (DePorter, 2001:146). Tanpa mencatat
dan mengulanginya, kebanyakan orang hanya mampu mengingat sebagian
kecil materi yang mereka baca atau dengar kemarin. Pencatatan yang efektif
dapat menghemat waktu dengan menyimpan informasi secara mudah dan
mengingatnya kembali jika diperlukan. DePorter dalam Quantum Learning
Menyatakan:

Berikut ini adalah dua teknik pencatatan yang saya dapati sangat efektif-
Peta Pikiran dan Catatan:TS (yang berarti Catalan: Tulis Susun). Kedua cara
ini akan membuat anda mampu melihat seluruh gambaran secara selintas,
dan menciptakan hubungan mental yang membantu anda untuk memahami
dan mengingat (2001:152).

79 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Teknik Peta Pikiran dikembangkan pada tahun 1970 oleh Tony Buzan yang
didasarkan pada riset tentang bagaimana cara kerja otak yang sebenarnya.
DePorter mengatakan kembali dalam Quantum Learning bahwa:

Peta Pikiran dapat membangkitkan ide-ide orisinal dan memicu ingatan yang
mudah. Ini jauh lebih mudah daripada metode pencatatan tradisional karena
ia mengaktifkan kedua belahan otak anda (karena itu disebut dengan istilah
pendekatan keseluruhan otak). Cara ini juga menenangkan, menyenangkan
dan kreatif' (2001:l 52).

Teknik Peta Pikiran muncul didasarkan pada penelitian ilmuwan syaraf yang
bernama Jensen pada tahun 1994 (DePorter, 2001:103) yang mengatakan
bahwa 90% masukan indra untuk otak berasal dari sumber visual dan otak
mempunyai tanggapan cepat dan alami terhadap simbol, ikon, dan gambar
yang sederhana dan kuat. Jensen juga mengatakan bahwa jika anda
menciptakan gambar yang unik untuk menjelaskan sebuah konsep, konsep
itu langsung berubah dari abstrak menjadi konkret sehingga lebih mudah
dimengerti contohnya Peta Pikiran.

DePorter mengatakan bahwa Kebanyakan siswa menganggap Peta Pikiran


sebagai cara mencatat yang menyenangkan dan menarik (DePorter,
2001:178). Hal ini memang terbukti ketika sebuah Sekolah Menengah
Pertama Northwood di US menggunakan teknik ini dalam proses belajar
mengajar.

DePorter dalam Quantum Teaching mengatakan bahwa Teknik Peta Pikiran


dapat digunakan untuk tugas membaca, curah gagasan (brainstorming) dan
menulis (2001:177). Oleh karena itu, penulis ingin mengujicobakan
penggunaan teknik ini dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita secara
lisan.

2. Cara Membuat Peta Pikiran

Peta Pikiran memang teknik mencatat yang belum banyak dikenal orang
terutama orang Indonesia. Sehingga ketika teknik ini diperkenalkan kepada
siswa, mereka harus diberi penjelasan tentang bagaimana cara membuat
Peta Pikiran. DePorter dalam Quantum Learning mengemukakan langkah-
langkah dalam membuat Peta Pikiran sebagai berikut:
a. di tengah kertas, buatlah lingkaran dari gagasan utamanya (dalam hal ini
judul dongeng). Lalu lingkupilah dengan lingkaran, persegi, atau bentuk
lain. Misalnya, Peta Pikiran saya dilingkupi oleh gambar bohlam;

| 80
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

b. tambahkan sebuah cabang dari pusatnya untuk tiap-tiap kata kunci atau
gagasan utama, gunakan pulpen wama-warni;
c. tulislah kata kunci/frase pada tiap-tiap cabang, kembangkan untuk
menambahkan detail-detail. Kata-kata kunci adalah kata-kata yang
menyampaikan inti sebuah gagasan dan memicu ingatan anda;
d. tambahkan simbol atau ilustrasi untuk mendapatkan ingatan yang lebih
baik;
e. gunakan huruf-huruf kapital;
f. tulislah gagasan-gagasan penting dengan huruf-huruf yang lebih besar;
g. hidupkanlah Peta Pikiran anda;
h. garis bawahi kata-kata itu dan gunakan huruf-huruf tebal
i. bersikap kreatif dan berani;
j. gunakan bentuk-bentuk acak untuk menunjukkan kata-kata kunci atau
gagasan-gagasan;
k. buatlah Peta Pikiran secara horizontal (2001:156).

3. Manfaat Peta Pikiran

DePorter dalam Quantum Learning mengemukakan beberapa manfaat Peta


Pikiran sebagai berikut ini.
a. fleksibel, yaitu jika seorang pembicara tiba-tiba teringat untuk
menjelaskan suatu hal tentang pemikiran, anda dapat dengan mudah
menambahkannya di tempat yang sesuai dalam Peta Pikiran anda tanpa
harus kebingungan;
b. dapat memusatkan perhatian, yaitu anda tidak perlu berpikir untuk
menangkap setiap kata yang dibicarakan. Sebaliknya, anda sapat
berkonsentrasi pada gagasan-gagasannya;
c. meningkatkan pemahaman, yaitu ketika membaca suatu tulisan atau
laporan teknik, Peta Pikiran akan meningkatkan pemahaman dan
memberikan catatan tinjauan ulang yang sangat berarti nantinya;
d. menyenangkan, yaitu imajinasi dan kreativitas anda tidak terbatas. Dan
hal itu menjadikan pembuatan dan peninjauan ulang catatan lebih
menyenangkan (2001:172).

4. Kelebihan dan Kelemahan Teknik Peta Pikiran

f. Kelebihan Teknik Peta Pikiran

81 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Setiap metode atau teknik pembelajaran tentunya memiliki kelebihan


masing-masing. Adapun kelebihan yang dimiliki teknik peta pikiran adalah
sebagai berikut ini.
1) Dapat membantu dalam meningkatkan kemampuan menulis atau
mencatat kreatif.
2) Dapat membantu dalam mengingat bahkan mendapatkan banyak
informasi yang merupakan kontribusi dari keterampilan menulis
kreatif.
3) Teknik peta pikiran dapat membangkitkan ide-ide orisinal dan memicu
ingatan yang mudah.

g. Kelemahan Teknik Peta Pikiran

Di samping memiliki kelebihan tentunya setiap metode atau teknik


pembelajaran memiliki pula kelemahan masing-masing. Kelemahan dari
teknik peta pikiran adalah ketika pembelajaran berlangsung siswa
terfokus pada apa yang sedang didengar atau dibaca. Dengan demikian
hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh terhadap
pengembangan ide.

C. Proses Belajar Mengejara Berbicara dengan Menggunakan Teknik Peta Pikiran

Berdasarkan kurikulum yang berlaku, bahwa kompetensi dasar yang hendak


dicapai dari komponen berbicara pada siswa kelas VIII SMP adalah siswa mampu
menyampaikan laporan secara lisan dengan bahasa yang baik dan benar, serta
mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan cara bermain peran.
Kedua tujuan pembelajaran berbicara tersebut merupakan hal penting yang
harus dimiliki dan dikuasai oleh siswa. Meskipun berbicara merupakan suatu
aktivitas yang biasa dilakukan, namun berbicara dengan menggunakan bahasa
yang baik dan benar serta dalam kondisi yang resmi sangat susah dilakukan.

Agar siswa memiliki kemampuan berbicara yang baik, maka perlu dilatih dan
dibina secara intensif. Salah satu pola pembinaan berbicara pada siswa di
sekolah diantarnya dengan penerapan teknik dan metoda yang tepat dalam
pembelajaran berbicara.

Peta pikiran merupakan suatu proses perencanaan pembicaraan yang tersusun


secara skematis dari ide utama sampai ide-ide penjelasnya. Peta pikiran ini
disusun secara langsung oleh siswa setelah memahami apa yang hendak mereka
kemukakan. Proses pembelajaran berbicara dengan teknik peta pikiran ini
secara umum merupakan suatu proses melatih siswa dalam mengembangkan

| 82
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

ide-ide dan gagasan-gagasannya yang akan mereka kemukakan pada saat


berbicara.

Kedudukan guru dalam proses pembelajaran berbicara dengan teknik peta


pikiran ini, hanyalah sebagai fasilitator pembelajaran. Beberapa tugas dan
kegiatan guru dalam pembelajaran berbicara dengan menggunakan teknik peta
pikiran antara lain sebagai berikut ini :

1. Secara sepintas guru menjelaskan mengenai teknik peta pikiran, serta


memberikan contoh bagaimana menyusun peta pikiran dari sesuatu yang
akan dibicarakan atau dikemukakan.
2. Memberikan bahan yang akan dibicarakan atau dikemukakan siswa. Dalam
hal ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tulisan. Secara lisan
dapat dilakukan dengan kegiatan guru menceritakan atau membacakan
suatu cerita yang akan dikemukakan kembali oleh siswa. Sementara itu,
secara tertulis dapat dilakukan dengan membagikan teks sebuah cerita
kepada siswa.
3. Apabila bahan yang akan dikemukakan siswa dalam bentuk tertulis, guru
memberikan waktu kepada siswa untuk membaca isi cerita tersebut dan
memahami isi dan maknanya serta alur ceritanya.
4. Guru menarik kembali teks cerita dan sekaligus memberi waktu kepada siswa
untuk merancang dan menyusun peta pikiran terkait dengan isi cerita yang
dibaca siswa.
5. Memanggil beberapa siswa untuk tampil di depan kelas dan menceritakan
kembali isi cerita yang telah dibacanya berdasarkan peta pikiran yang
disusunnya.
6. melakukan evaluasi hasil dan kemampuan siswa dalam menyusun peta
pikiran dan sekaligus mengoreksi kelamahan yang terjadi.

Sementara itu, kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa antara lain sebagai
berikut ini :

1. Menyimak penjelasan guru terkait dengan teknik peta pikiran.


2. Membaca teks yang diberikan guru dan membacanya secara teiliti sekaligus
berupaya memahami isi dan makna cerita yang dibacanya.
3. Mencoba menyusun peta pikiran dari isi bacaan yang telah dibacanya,
sekaligus merancang pembicaraan yang akan dikemukakannya.
4. Tampil di depan kelas dan berupaya menceritakan kembali isi cerita yang
telah dibacanya berdasarkan peta pikiran yang telah disusunnya.
5. Memperhatikan evaluasi dan koreksi yang dikemukakan guru terkait dengan
hasil dan kemampuan siswa yang lain dalam menceritakan kembali isi sebuah
cerita.

83 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

6. Memperbaiki berbagai kelemahan hasil koreksi guru dan mencoba menyusun


ulang peta pikirannya.

Bahan pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran berbicara


dengan menggunakan teknik peta pikiran ini adalah teks bacaan baik dalam
bentuk cerita maupun dalam bentuk dongeng, tape recorder untuk merekam
pembicaraan yang dikemukakan siswa sebagai bahan evaluasi, serta beberapa
buku penunjang yang terkait dengan teknik peta pikiran dan berbicara.

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Metode
ini digunakan dalam proses belajar mengajar keterampilan berbicara dengan
menggunakan teknik peta pikiran (mind mapping), terhadap siswa kelas VIII SMPN
2 Leuwigoong. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menguji tingkat
efektivitas penggunaan teknik peta pikiran (mind mapping) dalam pengajaran
keterampilan berbicara.

Sementara itu desain penelitian yang digunakan adalah One Group Pretest-Postest
Design. Sekelompok subjek dikenai perlakuan untuk jangka waktu tertentu.
Banyaknya perlakuan pembelajaran berbicara dengan teknik peta pikiran ini
dilakukan sebanyak 5 kali perlakuan. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah
perlakuan diberikan dan pengaruh perlakuan diukur dari perbedaan antara
pengukuran awal (T1) dan pengukuran akhir (T2).

Secara bagan digambarkan sebagai berikut ini.

Pretes Treatment Postes

T1 X T2

Adapun prosedurnya yaitu :


1. kenakan pretes T1 untuk mengukur mean kemampuan siswa berbicara sebelum
subjek diajar dengan teknik peta pikiran;
2. kenakan subjek perlakuan pembelajaran dengan teknik peta pikiran untuk
jangka waktu tertentu;
3. berikan postes T2 untuk mengukur kemampuan akhir siswa dalam berbicara
setelah subjek dikenakan variabel eksperimental X;

| 84
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

4. bandingkan T1 dan T2 untuk menentukan seberapa besar perbedaan yang


timbul, jika sekiranya ada itu disebabkan akibat dari digunakannya variabel
eksperimental X;
5. ujilah perbedaan itu dengan t-test apakah signifikan untuk tingkat kepercayaan
tertentu.

Populasi dan Sampel

Populasi yaitu totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitungnya ataupun
pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari
semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-
sifatnya (Sudjana, 1966:16).

Adapun populasi yang akan penulis ambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong yang berjumlah enam kelas dengan jumlah siswa 239
orang.
Untuk menentukan banyaknya sampel dalam penelitian ini, mengingat bahwa
penelitian ini bermaksud untuk melakukan uji coba suatu teknik pembelajaran
maka penulis mengambil sampel dalam bentuk kelas, yakni kelas VIII-B. Penarikan
sampel ini dilakukan dengan teknik random sampling yaitu penarikan sampel
secara acak yang didasarkan pada kelas atau kelompok.

Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah teknik
pengolahan data kuantitatif. Teknik kuantitatif penulis maksudkan untuk
membandingkan kemampuan berbicara siswa antara sebelum dan setelah
pembelajaran.

Pengolahan data penulis lakukan mulai dari penginventarisasian data yang masuk,
kemudian data tersebut diseleksi. Data-data tersebut berupa hasil kemampuan
siswa dalam berbicara. Rumus statistik yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah rumus mean (rata-rata) dan t tes untuk membandingkan kemampuan siswa
dalam berbicara antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan
teknik peta pikiran. Rumus tersebut adalah sebagai berikut:
Uji t atau t tes

Md Md
t t
x 2d x2d
N ( N 1) N ( N 1)

85 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

(Arikunto, 2002:275)
Dimana :
Md = mean dari perbedaan tes awal dan tes akhir
d
Md
rumus yang digunakan yaitu: N
d = jumlah keseluruhan nilai beda
xd = deviasi masing-masing subjek (d Md)
x2d = jumlah kuadrat deviasi
N = subjek pada sampel
HASIL PENELITIAN
Kemampuan berbicara siswa sebelum pembelajaran maupun setelah
pembelajaran, diketahui bahwa kemampuan berbicara siswa setelah pembelajaran
dengan menggunakan teknik peta pikiran lebih baik jika dibandingkan dengan
sebelum pembelajaran. Hasil tes kemampuan kemampuan berbicara yang diukur
dengan kemampuan menceritakan kembali isi sebuah cerpen sebelum
pembelajaran mencapai rata-rata 5,59. Sedangkan pada akhir pembelajaran
mencapai rata-rata 7,13. Dari data tersebut terjadi peningkatan kemampuan
berbicara sebesar 1,54. Rekapitulasi perbandingan kemampuan berbicara sebelum
dan setelah pembelajaran penulis visualisasikan pada tabel dan grafik berikut ini.

Tabel 4.3
Rekapitulasi rata-rata tes awal dan tes akhir
Kemampuan berbicara

Kriteria Tes Tes Selisih


Penilaian Awal Akhir
Isi Cerita 52 72 20
Lafal/Intona
si 60 70 10
Diksi 64 71 7
Kelancaran 52 71 19
Rata-rata 55.86 71.29 15.43
Perbandingan kemampuan berbicara tersebut divisualisasikan dalam bentuk grafik
di bawah ini.

| 86
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

80

70

60

50
pre
40
pos
30 beda
20

10

0
Isi Cerita Lafal Diksi Kelancaran Rata-rata

Grafik 4.1
Perbandingan kemampuan berbicara

Berdasarkan tabulasi dan grafik di atas, tampak terjadinya perubahan antara


kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran.
Secara umum terjadi perbedaan 15,43 antara nilai kemampuan berbicara siswa
sebelum dan sesudah pembelajaran. Kemampuan siswa dalam mengemukakan isi
cerita menunjukkan perubahan yang paling besar mencapai 20. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan teknik peta pikiran kemampuan siswa dalam
mengemukakan kembali isi cerita menunjukkan perubahan yang sangat baik.
Sementara itu, perubahan paling kecil terjadi pada kemampuan siswa dalam
penggunaan dan pemilihan diksi yang hanya mencapai 7.

Hasil pengujian statistic menunjukkan thitung > ttabel (10,23 > 2,444) pada taraf
kepercayaan 95%, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam
berbicara khususnya menceritakan kembali isi sebuah cerita sebelum pembelajaran
dan setelah pembelajaran berbeda.

Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan berbicara, terungkap bahwa kemampuan


berbicara siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita setelah
pembelajaran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan teknik peta pikiran efektif dalam meningkatkan
kemampuan berbicara siswa khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah
cerita.

Berbagai hambatan yang tampaknya dialami siswa antara lain penguasaan


lapangan dalam arti bagaimana siswa menguasai audien (pendengar). Bagi
pembicara pemula kondisi dan tanggapan audiens sering kali menjadi masalah,
perasaan tegang, malu, kurangnya keberanian, takut salah dan lain-lain merupakan
factor psikologis utama yang mempengaruhi pembicaraan. Di samping itu

87 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

penguasaan kebahasaan juga merupakan komponen penting yang menyebabkan


rendahnya kemampuan berbicara.

Kondisi lain yang tampak menjadi hambatan bagi siswa dalam melaksanakan
keterampilan berbicara adalah redahnya kemampuan terhadap isi pembicaraan.
Siswa khususnya dan pembicara pemula pada umumnya seringkali kebingungan
untuk mengemukakan apa isi dari pembicaraan yang akan dilakukannya. Apalagi
ditambah dengan suara yang pelan dan kondisi ruangan yang luas dan bising, ini
berdampak pada ketidaktersampaian maksud dari pembicaraan yang dilakukan.

Hambatan-hambatan tersebut releva dengan apa yang dikemukakan Sarani


(2001:29) yang menyatakan bahwa hambatan-hambatan yang sering dialami oleh
setiap orang dalam berbicara adalah ketidaksempurnaan alat ucap, penguasaan
komponen bahasa, penggunaan komponen isi, kelelahan dan kesehatan fisik
maupun mental, suara atau bunyi, media, pengetahuan pendengar, dan kondisi
ruangan.

SIMPULAN

Bagian akhir dari tulisan ini, penulis mencoba menarik beberapa simpulan yang
didasarkan pada rumusan masalah yang telah dituangkan pada bagian sebelumnya
serta dilandasi hasil penelitian. Simpulan yang dapat ditarik dikemukakan di bawah
ini.
1. Kemampuan berbicara sebelum menggunakan teknik peta pikiran (mind
mapping) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun pelajaran 2006-
2007, menunjukkan kemampuan yang rendah, hal ini ditandai dengan
pencapaian rata-rata pemahaman siswa terhadap cerpen yang hanya mencapai
55,86. Beberapa kriteria penilaian dan pencapaian kemampuan berbicara siswa
khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita antara lain rata-rata
kemampuan siswa dalam mengemukakan isi cerita (52%), lafal dan intonasi
(60%), penggunaan diksi (64%), serta kelancaran dalam melakukan
pembicaraan (52%).
2. Kemampuan berbicara setelah menggunakan teknik peta pikiran (mind
mapping) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun pelajaran 2006-
2007, menunjukkan kemampuan berbicara yang baik. Hal ini ditandai dengan
pencapaian rata-rata 71,29. Sementara itu, kemampuan siswa dalam
mengungkapka isi cerita dicapai sebesar (72%), lafal dan intonasi (70%),
penggunaan diksi (71%), serta kelancaran dalam melakukan pembicaraan
(71%).
3. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kemampuan siswa dalam berbicara
khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebesar 55,86 dan

| 88
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

kemampuan berbicara setelah pembelajaran dicapai rata-rata nilai 71,29.


Dengan demikian, terjadi kenaikan rata-rata kemampuan berbicara siswa
dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebesar 15,43. Sementara itu,
berdasarkan hasil perhitungan statistik uji t yang dilakukan diperoleh thitung >
ttabel (10,23 > 2,444) pada

taraf kepercayaan 95%, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan berbicara


siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebelum pembelajaran dan
setelah pembelajaran berbeda. Sementara itu, diamati dari rata-rata kemampuan
berbicara siswa menunjukkan bahwa penggunaan teknik peta pikiran efektif dalam
meningkatkan kemampuan berbicara siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Abdullah. (1983). Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Jatnika.


Aminuddin. (1995). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki. (2001). Quantum Learning. Bandung: Mizan
Media Utama.
De Porter, Bobbi dkk. (2000). Quantum Teaching. Bandung: Mizan Media Utama.
Husen. H. Akhlan. (1996). Perencanaan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Proyek
Penataran Guru SLTP Setara D-III.
Maidar, G.A (1986). (1984). Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Mulyadiana. (2000). Seni Mengukir Kata. Bandung: MLC.
Rakhmat, Jalaludin. (2001). Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Rahmanto, B dan P. Hariyanto. (1997). Cerita Rekaan dan Drama. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl. (2002). Accelerated Learning for 21st Century.
Bandung: Nuansa.
Sarani. (2001). Efektivitas Pendekatan Kooperatif Tipe Talking Chips dalam Upaya
Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas VII SMP. Bandung.
Skripsi UPI Bandung.
Suhendar, Supinah. (1992). MKDU Bahasa Indonesia, Pengajaran dan Keterampilan
Membaca dan Keterampilan Menulis. Bandung: Pionir Jaya.
Tarigan, H.G. (1981). Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Tarigan, Djago. (1996). Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia I. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Tarigan, H.G. dan Djago, Tarigan. (1986). Teknik Pengajaran Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.

89 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Tarigan, H.G. dkk. (1998). Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta:


Depdikbud.

| 90
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

TEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS (CDA)


PADA PEMBELAJARAN CERPEN

Oleh:
Drs. Didin Sahidin, M.Pd
Dosen STKIP Garut
Abstrak

Lontaran-lontaran tentang kekecewaan terhadap hasil pembelajaran sastra


meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di
Indonesia. Kondisi ini ditandai dengan masih lemahnya pemahaman siswa
mengenai hasil karya sastra yang dibacanya. Untuk menanggulangi fenomena
tersebut, perlu dicari teknik dan metode pembelajaran sastra yang cocok untuk
mencapai tujuan tersebut. Di antara sekian banyak teknik pengajaran sastra, kita
mengenal adanya suatu teknik yang berupaya untuk memahami isi wacana atau
karya sastra, yaitu teknik analisis wacana kritis atau teknik Critical Discourse
Analysis (CDA). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan
membaca cerpen sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan teknik
analisis wacana kritis atau serta untuk mengetahui perbedaan kemampuan
membaca antara sebelum dan sesudah pembelajaran. Penelitian dilakukan di kelas
VIII SMPN 2 Leuwigoong Garut Tahun Pelajaran 2005-2006 dengan menggunakan
metode penelitian yaitu metode eksperimen. Instrumen yang digunakan sebagai
alat pengumpul data berbentuk tes kemampuan memahami cerpen.

PENDAHULUAN

Dharmojo (2005:1) dalam web sitenya mengemukakan bahwa kondisi


pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal sejauh ini dapat dikatakan
mengecewakan. Kekecewaan terhadap pembelajaran sastra itu dilontarkan pula
oleh berbagai pihak, antara lain, Rusyana (1977/1978); Nasution dkk. (1981);
Rahman dkk. (1981); Rusyana (1992); Sarjono (2000); Sudaryono (2000); Sayuti
(2000); dan Kuswinarto (2001). Lontaran-lontaran tentang pembelajaran sastra
tersebut meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di
Indonesia. Simpulan umum tentang kondisi pembelajaran sastra berdasarkan hasil
penelitian dan para pemerhati pembelajaran sastra tersebut adalah (1) pada
dasarnya pembelajaran sastra berpengaruh pada minat murid terhadap sastra,
namun, ternyata tidak terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dan
kemampuan apresiasi murid; (2) pengajar tidak memiliki waktu serta tidak tahu
bagaimana cara mengikuti perkembangan sastra di luar buku wacana; dan (3)
murid tidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai etis/moral budaya
dalam kehidupan.

91 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Keberhasilan dan kegagalan pembelajaran sastra pada lembaga pendidikan sudah


barang tentu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya, karena pembelajaran
sastra merupakan sebuah sistem yang meliputi kurikulum, sarana dan prasarana,
minat baca murid, dan iklim bersastra pada umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum,
Depdiknas menyusun Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan
dan Kebudayaan (2004:15) yang secara tegas menyatakan bahwa: tujuan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik
murid sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas,
kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan
produktif serta sehat jasmani dan rohani.

Pendidikan dengan tujuan seperti itu pada dasarnya merupakan pendidikan yang
diorientasikan pada pembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalam kehidupan sosial
masyarakat (Aminuddin, 2000:46). Untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya
Aminuddin menyatakan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mesti
diorientasikan pada model literacy-based instruction. Dengan orientasi yang
demikian itu, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia selain ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai aspeknya serta
kemampuan apresiasi sastra dalam berbagai bentuknya juga diorientasikan pada
pengembangan keberwacanaan dalam bidang budaya. Implikasi dari hal itu ialah
pembelajaran sastra tidak terpisahkan dari pembelajaran menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Dalam hal demikian, materi pembelajaran sastra mestilah
memanfaatkan wacana yang secara potensial memiliki area isi kehidupan sosial
budaya.

Di samping itu kecenderungan guru Bahasa dan Sastra Indonesia dewasa ini lebih
senang mengajarkan bahasa daripada mengajarkan sastra. Kalaupun pengajaran
sastra dilakukan hanya berupa informasi mengenai teori sastra dan kurang
menuntut pengalaman berapresiasi dan berkreasi siswa terhadap sastra, sehingga
mengakibatkan daya tarik siswa terhadap pembelajaran sastra berkurang. Di antara
mereka ada yang menganggap bahwa tidak ada bedanya mempelajari sastra
dengan mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Gejala ini membuat masalah pembelajaran
sastra semakin jauh dari yang diharapkan. Di satu pihak kondisi yang berhubungan
dengan pengajaran sastra dan di pihak lain minat siswa yang berkurang.

Berdasarkan hal tersebut, bahwa dalam pengajaran sastra masih sering ditemukan
berbagai permasalahan. Di satu pihak tujuan pengajaran sastra berupaya untuk
memberikan pengalaman berapresiasi pada siswa, di pihak lain guru bahasa yang
cenderung lebih senang mengajarkan bahasa daripada sastra, kalaupun pengajaran

| 92
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

sastra diberikan sebatas teori dan informasi saja. Dengan demikian, antara tujuan
yang hendak dicapai dengan pelaksanaan pengajaran di lapangan masih belum
berjalan dengan baik.

Untuk menanggulangi fenomena tersebut, di samping guru harus terus berupaya


lebih meningkatkan kemampuannya dalam sastra, juga perlu dicari teknik dan
metode pengajaran sastra yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Di antara
sekian banyak teknik pengajaran sastra, kita mengenal adanya suatu teknik yang
berupaya untuk memahami isi wacana atau karya sastra, yaitu teknik analisis
wacana kritis atau teknik Critical Discourse Analysis (CDA).

Teknik Critical Discourse Analysis (CDA) adalah suatu teknik pembelajaran sastra
dengan mengedepankan suatu proses pemahaman untaian kata dan kalimat dalam
wacana secara analitis. Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam
kegiatan membaca wacana sastra, pembaca mesti berusaha memahami gambaran
makna dan satuan-satuan pengertian dalam wacana sehingga membuahkan
pemahaman tertentu. Di samping itu siswa diarahkan pada suatu proses
kemampuan merekonstruksi pemahaman secara baik. Dalam pembentukan ulang
pemahaman, pembaca seyogyanya tidak sekadar melakukan rekonstruksi makna
dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam wacana tersebut oleh
pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan kenyataan yang ada
pada masa sekarang, dengan kenyataan masa lalu, maupun kemungkinan
pertaliannya dengan yang akan datang.

Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, model CDA
hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi
belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra dengan
murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan
murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa pembelajaran dan
tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa
hapalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran
yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam
pembelajaran ini, murid dan pengajar bersama-sama memberikan tanggapan
terhadap fakta yang dipelajarinya, termasuk dalam hal penentuan materi yang
dipelajari. Dengan model pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-
mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi
sosial. Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui
kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu.

Berdasarkan pada uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
berkenaan dengan penggunaan teknik teknik analisis wacana kritis atau teknik

93 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Critical Discourse Analysis (CDA) dalam pembelajaran sastra khususnya dalam


pembelajaran cerpen di kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun ajaran 2005-2006.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumusan masalah dalam penelitin ini
adalah sebagai berikut Apakah penggunaan teknik analisis wacana kritis atau
Critical Discource Analysis (CDA) mampu meningkatkan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran membaca cerpen di kelas VIII SMPN 2 Leuwiggong Garut tahun
ajaran 2005-2006?.

Lebih jelasnya rumusan masalah tersebut penulis jabarkan dalam bentuk


pertanyaan penelitian sebagai berikut ini (1) Bagaimanakah kemampuan
pemahaman membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis
atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong
Tahun Pelajaran 2005-2006?; (2) Bagaimanakah kemampuan pemahaman
membaca cerpen setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical
Discource Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran
2005-2006?; dan (3) Apakah terdapat perbedaan hasil pembelajaran pemahaman
cerpen antara sebelum dan sesudah menggunakan teknik analisis wacana kritis
atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong
Tahun Pelajaran 2005-2006?

Penulis menetapkan tujuan penelitian seperti di bawah ini: (1) Untuk mengetahui
kemampuan membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis
atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong
Tahun Ajaran 2005-2006.; (2) Untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen
setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis
(CDA) pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006; dan (3)
Untuk mengetahui perbedaan hasil pembelajaran pemahaman membaca cerpen
sebelum dan sesudah meggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical
Discource Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran
2005-2006.

KAJIAN TEORETIS

1. Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai Teknik Pembelajaran

Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, teknik
CDA hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui
interaksi belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra
dengan murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau
murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa

| 94
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak
lagi bernuansa hafalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari
itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan
kolaboratif. Dalam pembelajaran yang demikian itu, murid dan pengajar
bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya
termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan teknik
pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat
mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial.
Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui kegiatan
membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu.

Pembelajaran apresiasi sastra di kelas dengan menggunakan teknik CDA,


menurut Aminuddin (2000:5051) hendaknya memperhatikan dan memenuni
persyaratan sebagai berikut. (1) Pembelajaran sastra di kelas ditandai oleh
terdapatnya aktivitas membaca karya sastra, baik itu dilakukan oleh pengajar
maupun murid. (2) Pengajar menciptakan kelas pembelajaran sastra sebagai
sebuah bentuk hubungan sosial kemanusiaan sehingga dalam pembelajaran
terjadi dialog antara murid dengan murid maupun pengajar dengan murid. (3)
Pengajar tidak lagi menggurui tetapi memberi kesempatan kepada murid
untuk menyampaikan pendapatnya secara variatif, baik secara lisan maupun
tertulis. (4) Pembelajaran sastra di kelas sungguh-sungguh tampil sebagai sosok
pembelajaran yang diisi aktivitas tukar pendapat, refleksi pemahaman, proses
penyusunan pengertian, mengkomunikasikan fakta, pendapat dan pemahaman
secara lisan maupun tertulis.

Dengan aktivitas seperti itu, lanjut Aminuddin, diharapkan akan mendorong


munculnya aktivitas murid yang satu dengan yang lain untuk (1) saling
menceritakan pengalaman dan pemahamannya setelah membaca karya sastra;
(2) bekerja sama membentuk pemahaman dan membuat kesimpulan tentang
pesan ataupun makna tersirat dalam karya sastra tertentu; (3) bertukar
pendapat dalam memberikan penilaian terhadap makna dalam wacana sastra
tertentu; dan (4) bekerja sama dalam menuliskan pemahaman dan komentar
terhadap suatu karya sastra, baik pada tahap perencanaan, penulisan naskah
awal (draft), maupun sewaktu revisi dan penyuntingan.

Dalam CDA, pembelajaran sastra dapat dilakukan dengan tata cara sebagai
berikut :

a. Pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analitis.


Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam kegiatan membaca
wacana sastra, pembaca harus berusaha memahami gambaran makna dan
satuan-satuan pengertian dalam wacana sehingga membuahkan

95 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

pemahaman tertentu. Pemahamannya dinyatakan bersifat analitis karena


nilai kebenarannya tidak harus diujikan pada kenyataan-kenyataan kongkret
secara langsung

b. Penguntaian asosiasi semantis dalam wacana dengan konteks, wacana lain


secara intertertekstual, maupun pola-pola anggapan yang terkait dengan
praanggapan logis, semantis, maupun pragmatis. Dalam proses memahami
karya sastra, penafsiran dan pengambilan kesimpulannya perlu
memperhatikan hubungan kata dan kalimat dalam keseluruhan wacananya.
Dalam proses penafsiran dan penyimpulan itu pembaca juga perlu
mengerahkan khazanah pengetahuan yang dimiliki, apakah itu terkait
dengan wacana filsafat, sejarah, agama maupun informasi dari majalah serta
koran sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar penafsiran.

c. Asumsi implisit yang melatarbelakangi, ciri koherensinya dengan makna


dalam wacana, dan inferensi. Ketika membaca wacana, pembaca perlu
membentuk asumsi sebagai anggapan dasar yang mengarahkan proses
pemaknaan yang dilakukannya. Asumsi tersebut misalnya, karya sastra
merupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan
refleksi berbagai permasalahan dalam kehidupan. Berdasarkan asumsi
demikian, maka kegiatan membaca yang dilakukan haruslah diarahkan untuk
berusaha mengeksplisitkan bayang-bayang dengan disertai upaya
menggambarkan berbagai permasalahan kehidupan yang termuat di
dalamnya. Proses pemaknaannya juga perlu memperhatikan kesatuan
hubungan isi dan pengambilan kesimpulan yang dapat dipertanggung-
jawabkan secara logis.

d. Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis. Dalam pembentukan ulang


pemahaman, pembaca seyogyanya bukan semata-mata melakukan
rekonstruksi makna dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam
wacana tersebut oleh pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan
dengan kenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataan masa
lalu, maupun kemungkinan pertaliannya dengan yang akan datang
(Aminuddin, 2000:5253).

Dengan teknik CDA, meminjam pernyataan Sayuti (2000:60) Hakikat


penyelenggaraan pendidikan harus dikembalikan kepada khitah-nya, yakni
mengkondisikan manusia-didik mencapai kepribadiannya. Dengan cara demikian,
pendidikan merupakan proses pembudayaan dan karenanya, harus berorientasi
pada tumbuh-kembangnya kesadaran budaya. Pendidikan sebagai proses
pembudayaan untuk mencapai perkembangan kepribadian murid mengandaikan

| 96
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

adanya visi dan misi pengajar untuk mengubah dan memperbarui keadaan,
sekaligus menyadarkan dan membebaskan siswa dan pengajar dari berbagai
keterpaksaan di dalam proses belajar-mengajar. Pada satu sisi upaya
pengembangan itu mengandung tindakan-tindakan kongkret, dan pada sisi lainnya,
secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran terhadap realitas yang
menumbuhkan hasrat untuk mengubahnya.

Pembelajaran sastra dengan teknik CDA mengisyaratkan adanya hak-hak para


murid untuk memperhitungkan latar belakang pengalaman dan pengetahuannya
masing-masing dalam menyusun makna wacana sastra. Caranya, meminjam
pendapat Sayuti (2000:6263), para murid tersebut memanggil kembali skema
internal yang telah mereka miliki dan mengoperasikannya tatkala berhadapan
dengan wacana tertentu dalam rangka pemahamannya. Melalui transaksi-
transaksi-nya dengan wacana sastra, para murid menyusun makna dalam
rentangan kemungkinan yang disediakan oleh wacana sastra tersebut. Terdapat
konstruk baru, makna baru yang disusun berdasarkan atas serpihan wacana
sastra yang digelutinya. Transaksi itu pada hakikatnya merupakan konversasi atau
dialog terus-menerus antara wacana sastra dan siswa yang belajar, atau menurut
Sayuti (2000:63): sebuah negosiasi antara apa yang diketahui pembaca dan apa
yang disajikan teks.

Akan tetapi, harus diwaspadai, bahwa membangun negosiasi antara pembaca dan
wacana sastra tidak pernah bisa dikerjakan dalam satu situasi yang terisolasi dari
lingkungan sosial tempat pembacaan dan pembelajaran sastra berlangsung. Itulah
sebabnya, menurut Sayuti (2000:63) membangun negosiasi juga meniscayakan
adanya perubahan yang sinambung mengenai hal yang sebelumnya telah
dihipotesiskan. Makna dalam sastra adalah sebuah opini dan opini hanya dapat
diperoleh melalui negosiasi yang dikembangkan dalam strategi transaksional.
Implikasinya, selama pembelajaran sastra belangsung, para pengajar memberi
kesempatan kepada murid untuk menduga-duga (dengan hipotesis atau asumsi-
asumsi) makna sastra yang mereka baca, merefleksikan dan membuat proses
berpikir mereka eksplisit. Untuk itu, para murid dapat dibantu untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kritisnya secara aktif dan jika diperlukan menyanggah
makna wacana sastra yang mereka baca: murid-murid dibawa masuk ke dalam
situasi perseteruan dengan wacana sastra yang dibacanya.

Implikasi seperti itu, menurut Sayuti (2000:64) dapat dilakukan melalui cara (1)
Memformulasikan teka-teki mereka sendiri dan bukannya menjawab pertanyaan
pengajarnya; (2) Melakukan spekulasi dan merumuskan hipotesis. Cara ini
merupakan aktivitas yang diarahkan melalui metode-metode pembelajaran
tertentu, yakni metode yang menghindarkan diri dari sifat memberikan hukuman
jika siswa melakukan kesalahan (menurut versi pengajarnya); dan (3) Mencocokkan

97 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

ideologi-ideologi tekstual dengan ideologi yang dimiliki oleh para siswa, misalnya
saja dengan mengajukan pertanyaan Siapa yang berbicara kepada siapa, kapan, di
mana, mengapa?, Desain apa yang dimiliki teks ini menurut pendapat saya,
seharusnyakah saya menentang dan berseteru dengannya?.

Semua itu harus diarahkan pada pemenuhan fungsi utamanya, yakni edukatif dan
kultural. Untuk itu pembelajaran yang memandang wacana sastra sebagai sesuatu
yang problematik dapat dirancang, yakni dengan teknik Analisis Wacana Kritis
(CDA). Dengan cara demikian, dominasi pengajar yang selama ini berkuasa
dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dapat dihindari. Ruang kelas dapat
dijadikan tempat perbedaan atau perseteruan gagasan, makna, dan nilai-nilai
dalam konteks dialektika budaya. Dalam praktik pembelajaran di kelas, wacana
sastra dapat didekonstruksi dan kemudian direkonstruksi, karena wacana sastra
dan pembacanya dipandang sebagai sesuatu yang problematik.

2. Implementasi Teknik CDA dalam Pembelajaran Cerpen

Sebagai sebuah teknik, CDA dapat diimplementasikan (diaplikasikan) pada


pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Oleh karena pembelajaran sastra
Indonesia telah lazim dibahas, dalam kesempatan ini akan dikemukakan
implementasi teknik CDA dalam pembelajaran sastra khususnya pembelajaran
cerpen.

Dalam praktik pembelajaran dengan teknik CDA, wacana cerpen dihadirkan di


dalam kelas. Murid atau pengajar dapat membacanya dan murid lain menyimak
dengan sebaik-baiknya. Pengajar dalam mengantarkan kegiatan pembelajaran,
tidak perlu berceramah panjang-lebar, melainkan informasi yang diberikan oleh
pengajar menyangkut hal-hal yang penting saja. Misalnya, (1) aktivitas apa yang
akan dikerjakan murid saat itu, (2) tujuan aktivitas pembelajaran, dan (3) bentuk-
bentuk aktivitas yang harus dilakukan oleh murid sehubungan dengan
pembelajaran teknik CDA.

Wacana cerpen, sebagai teks sastra yang, tentulah di dalamnya terdapat berbagai
anasir sastrawi, seperti tema dan amanat berupa pesan-pesan yang secara tersurat
atau tersirat. Hal-hal itulah yang seyogianya dijadikan bahan aktivitas membaca,
menyimak, berbicara, dan menulis bagi siswa. Pendeknya, dalam pembelajaran
teknik CDA siswa dimungkinkan mendapatkan makna rekreasi (mendapatkan
kenikmatan dan berkesempatan melakukan rekreasi (melakukan penciptaan
kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi oleh murid-
murid) (bandingkan Sudaryono, 2000:5776). Jadi, alur kegiatan pembelajaran
teknik CDA adalah: (1) membaca (wacana cerpen); (2) menyimak (secara intensif);

| 98
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

(3) berbicara (berdiskusi sesama murid lain dan pengajar); dan (4) menulis (kreatif,
yang mengarah pada penciptaan kembali makna-makna yang berhasil
dipahaminya).

Pada tahap pertama, pengajar dapat memberi kesempatan kepada salah seorang
siswa, untuk membacakan wacana cerita pendek dan para siswa lainya
menyimaknya. Sebagai variasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa
untuk memaparkan kembali cerita pendek tersebut ke dalam bahasanya sendiri.
Tujuan pemaparan ini ialah agar siswa lain dapat mengikuti proses pembelajaran.
Selain itu, dengan pemaparan itu dimungkinkan proses komunikasi diharapkan
dapat berjalan dengan lancar.

Tahap pertama itu diikuti tahap kedua, yakni seluruh siswa melakukan penyimakan
pembacaan cerita pendek. Hal-hal yang perlu disimak ialah tema dan pesan
(makna) yang ada di dalam wacana, dan berbagai hal yang dipandang penting oleh
pengajar. Sebaiknya, sebelum atau setelah pembacaan wacana cerita yang dipilih,
pengajar memberikan informasi yang secukupnya tentang latar belakang sosial
budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi yang diberikan oleh pengajar ini
penting agar makna yang diperoleh siswa benar-benar tepat sesuai dengan
konteks ceritanya.

Tahap ketiga, pengajar memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan


diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita
pendek yang dibaca. Dalam berdiskusi, prinsip kebebasan berpendapat
hendaknya menjadi perhatian pengajar. Dalam konteks ini, tidak ada pendapat
yang salah atau pendapat yang benar lebih-lebih benar atau salah menurut
versi pengajar. Pengajar sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa untuk
berpendapat mengemukakan hasil pemaknaannya masing-masing. Kedudukan
pengajar dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator agar
pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan memiliki
keterampilan berbicara.

Tahap terakhir, pengajar memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan


kegiatan rekreasi, yakni penciptaan kembali sebuah cerita, atau hasil pemaknaan,
dalam bentuk tulisan kreatif. Sekali lagi, dalam hal ini pengajar berkedudukan
sebagai dinamisator, motor, dan motivator bagi siswa. Dengan kegiatan ini, siswa
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkomunikasikan segala sesuatu yang
dipandang berharga dan bernilai sebagai manifestasi hasil pemaknaan terhadap
wacana cerita yang diangkat sebagai bahan pembelajaran. Dengan kegiatan ini
diharapkan siswa dapat menguasai keterampilan menulis.

99 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan mencapai


tingkat (1) menggemari karya sastra, (2) tingkat menikmati karya sastra, (3) tingkat
mereaksi karya sastra, dan (4) tingkat menghasilkan karya sastra. Dalam tingkat
menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai gemar terhadap
karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang siswa mulai dapat
menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi
ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan pendapatnya tentang
wacana sastra yang telah dinikmati (diapresiasi). Tingkatan menghasilkan ditandai
oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan (menulis) wacana sastra.

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

Untuk menguji permasalahan di atas, penulis akan menggunakan metode true


experimental yang merupakan salah satu kelompok dari metode eksperimen.

Metode ekperimental dalam penelitian ini menggunakan desain One group pre-test
post-test design. Perbedaan antara observasi sebelum eksperimen dan setelah
eksperimen diasumsikan merupakan efek dari treatmen atau perlakuan. Desain
penelitian ini dapat penulis gambarkan sebagai berikut.

E O1 X O2

(Suharsimi, 2002:78)

Populasi dan Sampel

1. Populasi

Yang dimaksud populasi menurut Surahmad (1989 : 93) adalah sebagai berikut:
Karena tidak mungkinnya penyelidikan selalu langsung menyelidiki segenap
populasi, padahal tujuan penyelidikan adalah menemukan generasi yang berlaku
secara umum, maka sering kali penyelidikan terpaksa menggunakan sebagian saja
dari populasi yaitu sebuah sampel yang dapat dipandang representatif terhadap
populasi.

Sedangkan yang dimaksud populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
VIII SMPN 2 Leuwiggong Garut tahun pelajaran 2005-2006 yang berjumlah empat
kelas.

2. Sampel

| 100
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Untuk menentukan banyaknya sampel dalam penelitian ini, mengingat bahwa


penelitian ini bermaksud untuk melakukan uji coba suatu teknik pembelajaran
maka penulis mengambil sampel dalam bentuk kelas, yaitu mengambil satu kelas
sebagai sampel dalam penelitian ini. Penarikan sampel ini dilakukan dengan teknik
random sampling yaitu penarikan sampel secara acak yang didasarkan pada kelas
atau kelompok. Dari hasil pengundian tersebut, yang terpilih untuk menjadi sampel
adalah kelas VIII-C.

Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah teknik
pengolahan data kuantitatif. Teknik kuantitatif penulis maksudkan untuk
membandingkan keberhasilan belajar siswa dalam pengajaran cerpen .
Pengolahan data penulis lakukan mulai dari penginventarisasian data yang masuk,
kemudian data tersebut diseleksi. Data-data tersebut berupa hasil pengajaran
berupa nilai pemahaman terhadap cerpen.
Rumus statistik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah rumus mean
(rata-rata) dan t tes untuk membandingkan keberhasilan belajar siswa antara
sebelum dan sesuadah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana
kritis atau Critical Discource Analysis (CDA). Rumus tersebut adalah sebagai berikut:

Uji t atau t tes

Md
t
x2d (Arikunto, 2002:275)
N ( N 1)
Dimana :
Md = mean dari perbedaan tes awal dan tes akhir
rumus yang digunakan yaitu:
d
Md
N
d = jumlah keseluruhan nilai beda
xd = deviasi masing-masing subjek (d Md)
x2d = jumlah kuadrat deviasi
N = subjek pada sampel

Instrumen Penelitian

Bentuk instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas dua bentuk
instrumen, yaitu instrumen pelaksanaan pembelajaran dan instrumen tes.

101 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Instrumen pelaksanaan pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan


kegiatan belajar mengajar yaitu berentuk desain pembelajaran. Sementara itu
instrumen tes digunakan untuk mengukur pemahaman siswa dalam memahami
sebuah cerpen.

HAIL PENELITIAN

Berdasarkan deskripsi data baik pemahaman membaca siswa sebelum


pembelajaran maupun setelah pembelajaran, diketahui bahwa pemahaman
membaca siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana
kritis lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hasil tes
kemampuan pemahaman membaca sebelum pembelajaran mencapai rata-rata 5,1
sementara pada akhir pembelajaran dicapai rata-rata 7,02, maka terjadi
peningkatan kemampuan pemahaman bacaan sebesar 1,91. Rekapitulasi
perbandingan kemampuan pemahaman membaca sebelum dan setelah
pembelajaran penulis visualisasikan pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Rekapitulasi Rata-rata Tes Awal dan Tes Akhir
Kemampuan Pemahaman Membaca

Kriteria Penilaian Tes Awal Tes Akhir Selisih


Tema 45,47 79,49 34,02
Alur 49,23 75,73 26,5
Tokoh 54,7 76,75 22,05
Amanat 51,97 62,39 10,42
Sinopsis 52,31 65 12,69
Nilai 51,1 70,2 19,1

Perbandingan kemampuan pemahaman bacaan tersebut divisualisasikan dalam


bentuk grafik di bawah ini.

Grafik Perbandingan Kemampuan Pemahaman Bacaan


100

Nilai 50

0
| 102 Tema Tokoh
Kriteria Penilaian
Sinop Tes Awal
Tes Akhir
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Grafik 4.1

Perbandingan Kemampuan Pemahaman Bacaan


Berdasarkan tabulasi dan grafik di atas, tampak terjadinya perubahan antara
kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran.
Secara umum terjadi perbedaan 19,1 antara nilai kemampuan pemahaman bacaan
siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Penguasaan siswa terhadap tema dan
alur cerita menunjukkan perubahan yang paling besar mencapai 34,02 dan 26,5.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik analisis wacana kritis kemampuan siswa
dalma memahami tema dan alur cerita menunjukkan perubahan yang sangat baik,
sementara itu perubahan paling kecil terjadi pada kemampuan siswa memahami
amanat yang disampaikan isi cerita yang hanya mencapai 10,42.
Hasil pengujian statistic menunjukkan bahwa thitung > ttabel (14,38 > 2,428) pada taraf
kepercayaan 95%,

sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami cerpen


sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Berdasarkan nilai rata-
rata kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen, terungkap bahwa
kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen setelah pembelajaran
lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hal ini menunjukkan
bahwa penggunaan teknik membaca analisis wacana kritis efektif dalam
meningkatkan kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen.

SIMPULAN

Bagian akhir dari tulisan ini, penulis mencoba menarik beberapa simpulan yang
didasarkan pada rumusan masalah yang telah dituangkan pada bagian sebelumnya
serta dilandasi hasil penelitian. Simpulan yang dapat ditarik dikemukakan di bawah
ini.
1. Kemampuan pemahaman membaca cerpen sebelum menggunakan teknik
analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII
SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006, menunjukkan kemampuan yang
rendah, hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata pemahaman siswa
terhadap cerpen yang hanya mencapai 5,11. Beberapa kriteria penilaian dan
pencapaian pemahaman siswa terhadap cerpen antara lain rata-rata
pemahaman terhadap tema (45,47%), alur cerita dalam cerpen (49,23%),
pemahaman terhadap tokoh dan penokohan (54,7%), pemahaman terhadap

103 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

amanat yang terkandung dalam cerpen (51,97%) serta kemampuan siswa


dalam mengungkapkan kembali isi cerpen (52,31%).
2. Kemampuan pemahaman membaca cerpen setelah menggunakan teknik
analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII
SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006, menunjukkan kemampuan
pemahaman bacaan yang baik. Hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata
7,02. Sementara itu, pemahaman siswa terhadap rata-rata tema cerpen dicapai
sebesar (79,49%), alur cerita dalam cerpen (75,73%), pemahaman terhadap
tokoh dan penokohan (76,75%), pemahaman terhadap amanat yang
terkandung dalam cerpen (62,39%) serta kemampuan siswa dalam
mengungkapkan kembali isi cerpen (65%)
3. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata pemahaman awal siswa terhadap
cerpen dicapai sebesar 51,1 dan pemahaman akhir setelah pembelajaran
dicapai rata-rata nilai 70,2, dengan demikian terjadi kenaikan rata-rata
kemampuan pemahaman siswa terhadap cerpen sebesar 19,1. Sementara itu
berdasarkan hasil perhitungan statistik uji t yang dilakukan diperoleh thitung >
ttabel (14,38 > 2,428) pada taraf kepercayaan 95%, sehingga dapat dikatakan
bahwa kemampuan siswa dalam memahami cerpen sebelum pembelajaran dan
setelah pembelajaran berbeda. Sementara itu diamati dari rata-rata
pemahaman siswa terhadap bacaan (cerpen) menunjukkan bahwa penggunaan
teknik analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis (CDA) efektif dalam
meningkatkan pemahaman siswa terhadap karya sastra khususnya cerpen.

Daftar Pustaka

Aminudin. (1987). Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Sinar Baru.


Aminuddin. (2000). Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan
Pemahaman Perubahan Ideologi. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin
Fananie (Eds.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: University
Muhamadiyah PressHISKI Komisariat Surakarta.
Arikunto, Suharsimi. (1996). Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan Praktek. Bandung:
Rineka Cipta.
Depdikbud. (2004). Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dharmojo, dkk. (1998). Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
------------- (2005). Critical Discourse Analysis (CDA) Sebagai Model Pembelajaran Sastra.
Web site.
Jabrohim (Ed.) (1994). Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kerja sama Pustaka Pelajar dan FPBS
IKIP Muhammadiyah.
Kuswinarto. (2001). Dan Sastrawan pun Tak Lagi Percaya kepada Guru Sastra. Dalam
Asep S. Sambodja, dkk. (Eds.). Cyber Graffiti Kumpulan Esai. Bandung:
Yayasan Multimedia Sastra dan Angkasa.

| 104
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Nadeak. (1985). Pengajaran Apresiasi Sastrai. Bandung: Sinar Baru.


Nasution, J.U., dkk. (1981). Minat Membaca Sastra Pelajar SMA Kelas III DKI Jakarta.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rahmanto. (1988). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kansius.
Rusyana, Y. (1977/1978). Penelitian Kegiatan Apresiasi Sastra Murid SMA Jawa Barat.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rusyana, Y. (1992). Bahan Baku dan Pengolahan Bahan Pelajaran Sastra, makalah pada
Seminar Pengelolalan Bahan Pelajaran Sastra dalam Buku Teks Bahasa dan
Sastra Indonesia. Dikumpulkan dalam Landasan Teori dan Pengolahan Bahan
Pelajaran Sastra. Bandung: Program Pascasarjana IKIP Bandung.
Sarjono, A.R. (2000). Beberapa Upaya menggairahkan Pembelajaran Sastra. Dalam Agus R.
Sarjono. Sastra dalam Empat Orba (2000, hlm. 207231). Yogyakarta:
Bentang.
Sayuti, S.A. (2000). Menuju Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang Memerdekakan:
Catatan Pengantar. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Sastra:
Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm. 5765). Surakarta: University
Muhamadiyah Press HISKI Komisariat Surakarta.
Sudaryono, (2000). Strategi Re-Kreasi dalam Pengajaran Apresiasi Puisi di Sekolah. Jurnal
Ilmiah IMPASMAJA Th. III (6) November: 5776).
Surachmad. (1989). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung:
TarsitoTarigan, H.G. (1984). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tarigan. (1985). Pengajaran Morfologi. Angkasa: Bandung.

105 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 106
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

KEANEKARAGAMAN PANTUN DI INDONESIA


Oleh : Dinni Eka Maulina
Dosen STKIP Siliwangi Bandung
Abstraksi
Dari perbandingan sejumlah pantun Melayu, Sunda, Banjar, dan Betawi, jelaslah
bahwa pantun di satu daerah dengan daerah selalu memperlihatkan adanya
persamaan dan sekaligus juga perbedaan. Kesamaan umum terletak pada fungsi
pantun yang secara sadar digunakan untuk kepentingan menyampaikan pesan-
pesan moral dan etika tentang tata kehidupan. Kesamaan lain terletak pada ciri-ciri
pantun yang ditandai dengan adanya sampiran dan isi. Hanya, jika sampiran pada
pantun Melayu lebih ditujukan untuk mengantarkan isi, tanpa ada kaitan logis
antara sampiran dan isi, dalam beberapa kasus, justru berfungsi untuk menegaskan
isi. Oleh karena itu, sampiran kadangkala juga bermakna simbolik. Jadi, dengan
demikian, kehadiran sampiran tidak sekadar sebagai pengantar memasuki
kesamaan bunyi isi, tetapi sekaligus pengantar pada tema atau persoalan yang
hendak disampaikan.

Dari sejumlah perbandingan itu, makin jelas bagi kita, bahwa pantun selain sebagai
sarana menyampaikan pesan moral dan pesan etika, juga di dalamnya
merepresentasikan kultur tempatnya. Oleh karena itu, mempelajari pantun
sesungguhnya dapat juga dijadikan sebagai pintu masuk untuk memahami
kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Begitulah, masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa


meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang
menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang
sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah
yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang
dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka,
mereka juga umumnya memahami konsepsi pantun dengan tetap
mempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pantun bagi masyarakat di kawasan Nusantara ibarat sesuatu yang begitu dekat,
tetapi kini terasa jauh ketika budaya populer (low culture) makin menjadi
primadona dalam industri hiburan. Dalam kondisi itu, pantun kini laksana
pepatah, tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi pada pantun. Seolah-
olah, ia hanya produk masa lalu yang sudah usang dan tiada berguna. Bahkan,
bagi anak-anak muda di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, pantun

107 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

seperti tidak lebih dari sekadar produk budaya Melayu, dan oleh karena itu,
dianggap hanya milik orang Melayu.

Tentu saja pemahaman itu tidaklah benar. Betul, pantun sepertinya berasal dari
tradisi Melayu yang sudah begitu kuat mengakar dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pantun boleh jadi
penyebarannya sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi
lingua franca di kawasan Nusantara. Boleh jadi karena itu pula, dibandingkan
dengan masyarakat di daerah lain, pantun bagi masyarakat Melayu sudah begitu
kukuh menyatu dan sebagai media penting dalam menyampaikan nasihat
berkenaan dengan tata pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat.

Di berbagai daerah lain di Nusantara ini, pantunpun sudah dikenal masyarakat


dengan sangat baik. Boleh jadi karena pantun mengandungi sampiran dan isi,
serta dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan dan disampaikan dalam
berbagai masa, dalam kegiatan apa pun, dan dilakukan oleh siapapun juga,
pantun pada gilirannya paling banyak diminati oleh masyarakat tanpa terikat
oleh status sosial, agama, dan usia. Pantun menjadi sarana yang efektif yang
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Itulah salah satu kelebihan
pantun dibandingkan gurindam atau syair. Pantun mudah saja diciptakan oleh
setiap anggota masyarakat dengan latar belakang budayanya sendiri. Maka,
siapapun dari etnis dan latar belakang budaya mana pun, boleh saja membuat
pantun.

2. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian pantun?


b. Bagaimana sejarah pantun masuk ke Indonesia?
c. Bagaimana perkembangan Pantun Sunda?
d. Nasib buruk pantun Banjar masa kini.
e. Apa ciri-ciri yang menonjol dari pantun Betawi?

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Pantun

Zaidan dkk (1994:143) mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang
terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik biasanya terdiri atas 4
kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada
tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini, pantun dapat dipilah-pilah
menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun mulia dan pantun tak mulia.

| 108
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan
isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara,
pantun tak mulia adalah pantun yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai
persiapan isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan
isi pantun di larik 3-4.

Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi lama yang
terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris
3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak akhir vertikal dengan pola
a/b/a/b.

Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasan pantunnya masing-
masing. Menurut Sunarti (1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang
Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya
ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang
Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan
genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan puisi rakyat yang murni
berasal dari kecerdasan linguistik lokal genius bangsa Indonesia sendiri.

Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam
bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa
Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal
sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai sisindiran, dan dalam
bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun terdiri
atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12
suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b,
atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang
dijumpai juga pantun yang tertulis.

Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran
adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya
agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan
bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan
rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari
pantun tersebut.

Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian


memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun "versi pendek"
(hanya dua baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau
lebih).
a. Peran Pantun

109 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi


kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang
berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir
asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain.

Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga
sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya
dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan
bermain-main dengan kata. Namun demikian, secara umum peran sosial
pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.

Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyelusupkan


nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa
mencederai perasaan siapa pun. Itulah kelebihan pantun. Pantun bukan saja
digunakan sebagai alat hiburan, kelakar, sindiran, melampiaskan rasa rindu
dendam, tetapi yang lebih menarik ialah peranannya sebagai media dalam
menyampaikan tunjuk ajar.

b. Struktur Pantun

Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam hal


bentuk fisik dan bentuk mental pantun, yakni :
1) Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah.
2) Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris
(pantun biasa dan pantun berkait).
3) Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir vertikal dengan
pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan
pantun berkait).
4) Khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2
berstatus isi.
5) Khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus
sampiran dan baris 3-4 berstatus isi.
6) Lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya berstatus
isi, tidak ada yang berstatus sampiran.

Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan


rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini
dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan.

| 110
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi kadang-


kadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun di
bawah ini:

Air dalam bertambah dalam


Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh

Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun


puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-6 kata
dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku.

c. Jenis Pantun

Pantun Adat
Menanam kelapa di pulau Bukum
Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
Pantun Agama
Banyak bulan perkara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuhan perkara tuhan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
Pantun Budi
Apa guna berkain batik
Kalau tidak dengan sujinya
Apa guna beristeri cantik
Kalau tidak dengan budinya
Pantun Jenaka
Pantun Jenaka adalah pantun yang bertujuan untuk menghibur orang
yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk saling
menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak
menimbulkan rasa tersinggung, dan dengan pantun jenaka diharapkan
suasana akan menjadi semakin riang. Contoh:
Jalan-jalan ke rawa-rawa
Jika capai duduk di pohon palm
Geli hati menahan tawa
Melihat katak memakai helm

Pantun Kepahlawanan

111 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pantun kepahlawanan adalah pantun yang isinya berhubungan dengan


semangat kepahlawanan
Kalau orang menjaring ungka
Rebung seiris akan pengukusnya
Kalau arang tercorong kemuka
Ujung keris akan penghapusnya
Pantun Kias
Kayu tempinis dari kuala
Dibawa orang pergi Melaka
Berapa manis bernama nira
Simpan lama menjadi cuka
Pantun Nasihat
Kemuning di tengah balai
Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencungkil duri
Pantun Percintaan
Coba-coba menanam mumbang
Moga-moga tumbuh kelapa
Coba-coba bertanam sayang
Moga-moga menjadi cinta
Pantun Peribahasa
Ke hulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian
Pantun Teka-teki
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk dihidung ?
Pantun Perpisahan
Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang ditapak tangan
Biar jauh dinegeri satu
Hilang dimata dihati jangan

2. Sejarah Pantun

| 112
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Sejarah Pantun adalah genre kesusasteraan tradisional Melayu yang berkembang di


seluruh dunia khususnya di Nusantara sejak ratusan tahun lampau. Pantun adalah
simbol artistik masyarakat Nusantara dan ia adalah lambang kebijaksanaan berfikir.
Pantun sering dijadikan sebagai alat komunikasi. Pantun bersifat ringkas, romantik
dan mampu mengetengahkan aspirasi masyarakat dengan lebih jelas. Pantun
begitu sinonim dengan pemikiran dan kebudayaan masyarakat nusantara dan
Malaysia.

Di Nusantara, pantun terwujud dalam 39 dialek Melayu dan 25 bukan dialek.


Pantun juga didapati turut berkembang di selatan Burma, Kepulauan Cocos, Sri
Lanka, Kemboja, Vietnam serta Afrika Selatan (Karena pengaruh imigran dari
Indonesia dan Malaysia).

Pantun di Malaysia dan Indonesia telah ditulis sekitar empat abad lalu. Malah, ia
mungkin berusia lebih tua daripada itu seperti tertulis dalam Hikayat Raja-Raja
Pasai dan Sejarah Melayu. Menyedari kepentingan pantun dalam memartabatkan
budaya Melayu, kerjasama kebudayaan, kesenian dan warisan negara di
Kementerian.

Ada pendapat mengatakan bahwa pantun berasal dari bahasa Minangkabau yaitu
pantun yang bermaksud pembimbing atau penasihat yang berasaskan sastra lisan
dalam pengucapan pepatah yang popular dalam masyarakat tersebut. Sehingga
hari ini, pantun sering digunakan dalam upacara peminangan dan perkawinan atau
sebagai pembuka atau penutup bicara dalam majelis-majelis resmi.

Umumnya terdapat dua jenis utama pantun yaitu pantun berkait dan pantun tidak
berkait. Bilangan baris dalam setiap rangkap pantun dikenali sebagai kerat. Lima
bentuk utama pantun ialah pantun dua kerat, pantun empat kerat, pantun enam
kerat, pantun lapan kerat dan pantun dua belas kerat.

Pantun yang popular digunakan ialah pantun dua kerat dan empat kerat. Setiap
pantun mempunyai pembayang dan maksud pantun. Pembayang dalam setiap
rangkap adalah separuh pertama daripada keseluruhan jumlah baris dalam rangkap
berkenaan. Separuh kedua dalam setiap rangkap pantun pula ialah maksud atau isi
pantun.

Antara ciri-ciri lain yang ada dalam sebuah pantun ialah pembayangnya mempunyai
hubungan yang rapat dengan alam dan persekitaran yang rapat dengan
pengucapnya seperti yang terdapat dalam contoh pantun dua kerat berikut:

Sebab pulut santan terasa,

113 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sebab mulut badan binasa

Rima pantun yang baik berakhir dengan ab,ab. bagi pantun empat kerat dan a,a.
bagi pantun dua kerat.

Selain pembayang, maksud dan rima, pantun juga terikat dengan hukum suku
katanya. Bagi pantun Melayu, suku kata untuk setiap baris antara delapan hingga
dua belas suku kata saja. Melalui bentuknya yang hemat dan padat, pantun
menjadi alat yang penting untuk menghibur, memberi nasihat dan mengungkapkan
perasaan

Pantun turut berfungsi sebagai media untuk menyampaikan hasrat seni atau
rahasia yang tersembunyi melalui penyampaian yang berkias. Orang melayu
mencipta pantun untuk melahirkan perasaan mereka secara berkesan tetapi
ringkas, kemas, tepat dan menggunakan bahasa yang indah-indah.

Pada zaman dahulu masyarakat melayu belum pandai menulis dan membaca.
karena, masyarakat Melayu pada waktu itu belum cerdas. Keadaan ini telah
membuktikan bahwa orang melayu sebelum tahu menulis dan membaca telah
pandai mencipta dan berbalas-balas pantun antara satu sama lain. Menurut kajian
bahawa pada abad yang ke-17 barulah sempurna bentuk, isi, maksud dan alasan
pantun itu.

3. Pantun Sunda

Pantun Sunda pengertiannya berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Melayu


semakna dengan "sisindiran" Sunda, yaitu puisi yang terdiri atas dua bagian;
sampiran dan isi. Sedangkan pantun Sunda adalah seni pertunjukan. Pantun
adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara
paparan (prolog), dialog, dan seringkali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan
oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang
dimainkannya sendiri.

a. Sejarah Pantun Sunda


Seni pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Disebutkan
dalam naskah Siksa Kandang Karesyan, yang ditulis pada tahun 1518 Masehi,
bahwa pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan
Siliwangi. Ceritanya pun berkisar tentang cerita-cerita Langgalarang,
Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang disajikan oleh
prepantun (tukang pantun). Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang
dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor. Dalam

| 114
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

perkembangannya, cerita-cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi itu


terus bertambah, seperti cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara,
Mundinglaya Dikusumah, Dengdeng pati Jayaperang, Ratu Bungsu
Kamajaya, Sumur Bandung, Demung Kalagan dll. Masyarakat Kanekes yang
hidup dalam budaya Sunda Kuno sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini
melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun
Kanekes yang disajikan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari
Ngora dan Lutung Kasarung.

Seni Pantun yang cukup tua usianya melahirkan beberapa tukang pantun
pada setiap zamannya. Di Cianjur misalnya, dikenal nama R. Aria Cikondang
(abad ke-17), Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja (abad ke-19). Di Bandung
terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung (awal abad ke-20) dan Pantun
Beton "Wikatmana" (pertengahan abad ke-20); dan di Bogor terkenal juru
pantun Ki Buyut Rombeng.

Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi. Pada mulanya
kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang terdapat di Baduy, yaitu
kacapi kecil berdawai 7 dari kawat. Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya
seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung (tembang), dan
akhirnya menggunakan kacapi siter (Jawa). Adapun tangga nada (laras) yang
digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog, namun selanjutnya
banyak yang menggunakan laras salendro.

b. Pertunjukan

Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk. Pertama, untuk
hiburan, dan kedua untuk acara ritual (ruwatan). Sajian hiburan, ceritanya
mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pantun, atau atas
permintaan penanggap. Sedangkan untuk acara ritual dalam ruwatan,
ceritanya sama dengan dalam pertunjukan wayang, yaitu Batara Kala, Kama
Salah atau Murwa Kala.

Dalam sajian pantun untuk ruwatan (tolak bala) diperuntukkan bagi orang-
orang yang termasuk dalam sukerta, di antaranya anak tunggal, anak
kembar, lima anak laki-laki, atau untuk keselamatan rumah baru, bangunan
baru dan lain-lain. Pertunjukannya biasa dimulai sekitar pukul 02.00 - 05.00.
Rajah dalam pertunjukan ruwatan lebih panjang lebih nampak
kesakralannya. Sedangkan sajian pantun untuk kepentingan hiburan biasanya
diadakan di rumah penanggap yang waktunya pada malam hari. Pertunjukan
dimulai pukul 20.00 dan berakhir sekitar pukul 04.00. Sekalipun pertunjukan
pantun untuk hiburan, namun tidak sembarangan disajikan. Pantun masih

115 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

dianggap oleh masyarakat Sunda memiliki sifat sakral yang selalu dikaitkan
dengan upacara penghormatan pada leluhur. Dengan demikian bentuk
pertunjukan pantun biasanya masih diikat dengan struktur pertunjukan yang
baku dengan lakon yang selalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda
masyarakat Sunda. Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan
sebagai berikut: penyediaan sesajen; ngukus (membakar kemenyan);
mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga
penutupan; ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas.

Sebagai kesenian yang hidup sejak zaman Hindu sampai Islam yang jadi
panutan masyarakat, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) ki juru
pantun merupakan pembauran keduan zaman itu. Selain isthigfar (Islam)
terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur),
buyut dll.

Kesenian pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda dengan berbagai


aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda kuno, memberi dampak pada
nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat Sunda yang berbeda dengan
kesenian-kesenian lain. Seni pantun bagi masyarakat Sunda merupakan
medium untuk dapat merasakan kembali sebuah masa keemasan sejarah
masa lampau masyarakatnya.

Dewasa ini perkembangan seni pantun harus diakui sangat memprihatinkan,


namun dari sisi lain ada hal yang cukup mengesankan, bahwa seni pantun
pun dapat bertahan dengan tidak meleburkan diri menjadi satu bentuk
kesenian yang pop/kitchs. Seni pantun dapat bertahan sebagai seni yang
adiluhung sekalipun dewasa ini ada sedikit pergeseran-pergeseran dibanding
masa lalu, terutama pada fungsinya yang sakral menjadi profan.

c. Daftar Cerita Pantun Sunda


1) Ciung Wanara
2) Lutung Kasarung
3) Mundinglaya di Kusumah
4) Aria Munding Jamparing
5) Banyakcatra
6) Badak Sangorah
7) Badak Singa
8) Bima Manggala
4. Pantun Banjar

| 116
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar.
Bahasa Banjar dituturkan oleh suku Banjar yang umumnya digunakan di Kalimantan
Selatan dan provinsi tetangganya serta daerah perantauan suku Banjar.

Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi
rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar
dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus
yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

a. Pantun Banjar Masa Kini : Bernasib Buruk

Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi
menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun tidak
ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu
kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah
Kalsel.

Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang dibacakan pada
kesempatan meminang atau mengantar pinengset (bahasa Banjar Patalian).
Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai sarana retorika
bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau dalam
naskah-naskah tausiah para ulama.

Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang
lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan berusaha untuk
menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang
fungsional (bukan sekedar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar
pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan
informal, memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koran/majalah,
melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio milik
pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berinisiatif mememasukannya
sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di
seantero daerah Kalsel.

Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh kali digelar kegiatan lomba tulis
Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai tingkatan usia. Tidak ketinggalan
Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka acara Baturai Pantun yang
digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi dengan pembawa acara
Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan

117 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

b. Fungsi Sosial Pantun Banjar

Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), pantun


tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga
difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga para
tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan
menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan
piawai pula dalam membacakannya.

Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang secara
khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun (bahasa
Banjar Pamantunan). Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang
handal dilakukan langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun
atau saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai
Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang
dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan
pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.

5. Pantun Betawi
Pantun Betawi masih tersebar di wilayah budaya Betawi yang meliputi pinggiran
Krawang, Tambun, Bekasi di bagian Timur; Depok, Cimanggis, Cibinong, dan Ciputat
di bagian selatan; dan Tanggerang di bagian timur. Adapun di wilayah Jakarta
sendiri yang menjadi daerah penelusuran pantun Betawi, dilakukan di kawasan
yang diperkirakan masih banyak dihuni masyarakat Betawi asli. Wilayah-wilayah itu
meliputi daerah pesisir utara (Marunda, Pasar Ikan, Tanjung Priok), Jakarta Pusat
(Tanah Abang, Glodok, Senen), Jakarta Selatan (Condet, Cipete, Pasar Minggu,
Pondok Labu, Lenteng Agung, dan perkampungan Betawi di Jagakarsa).
Satu hal yang sangat menonjol dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang
menunjukkan ekspresi yang spontan. Hampir semua sampiran memperlihatkan
nada yang demikian. Boleh jadi semangat dan ekspresi spontanitas itu didasari oleh
keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu, sampiran
umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu saja,
lepas, bebas, tanpa beban. Perhatikan contoh berikut:
Mbelah nangka di daon waru
Daon digelar ama pengejeg
Sapa nyangka nasibnya guru
Pagi ngajar sorenya ngojeg
Berkenaan dengan isi pantun, sejumlah besar pantun Betawi, selain coba
mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan

| 118
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

santun, dan ajaran-ajaran agama, juga begitu banyak memuat kritik sosial. Maka,
kita akan melihat, betapa pantun Betawi boleh dikatakan sebagai representasi
dinamika kehidupan sosial budaya, dan sejarah masyarakat Betawi. Perhatikan
beberapa pantun Betawi berikut ini:
Ke Setu ngorak kecapi
Kedebong ditebang sepuun
Baru satu dia punya tipi
Eh, sombongnya minta ampun
Cimuning jalannya redug
Abis ujan disamber kilat
Baju kuning nyeng nabuh bedug
Abis ajan malah gak solat
Masyarakat Betawi menyikapi perubahan zaman dalam tata kehidupan mereka
sehari-hari dalam bentuk pantun. Akibatnya, sejumlah pantun, selain memuat kritik
sosial dan potret masyarakatnya, juga laksana hendak mengusung semangat
egalitarian. Peristiwa apa pun, termasuk kehidupan di dalam rumah tangga, dan
hubungan menantumertua, dapat disampaikan secara lepas, contohnya:

Buah pinang buah belimbing


Betiga ame buah mangga
Sungguh senang berbapak suwing
Biar marah tertawa juga
Sampiran pada pantun Betawi berfungsi sebagai pengantar pada kesamaan bunyi
isi (a-b-a-b). Tetapi, kesan yang muncul pada pantun Betawi adalah kelugasan dan
semangat spontanitas, tanpa beban, bebas, lugas, dan terkesan disampaikan
sesuka hati. Meskipun demikian, kekhasan pantun Betawi terletak pada isi pantun
yang cenderung menjadi sarana untuk mengkritik apa pun, juga tanpa beban.
Akibatnya, persoalan apa pun, yang berat atau ringan, dapat dijadikan pantun yang
disampaikan secara enteng.
KESIMPULAN
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam
bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa
Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal
sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai sisindiran, dan dalam bahasa
Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Masyarakat Betawi juga
menyebutnya pantun, meskipun bahasa yang digunakannya adalah bahasa Melayu
Betawi. Semangat dan isinya pun dalam beberapa hal, agak berbeda dengan
pantun Melayu pada umumnya.

119 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap
baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a
(tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan
namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah
dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris
masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian
kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua
baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Pantun Sunda pengertiannya berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Melayu
semakna dengan "sisindiran" Sunda, yaitu puisi yang terdiri atas dua bagian;
sampiran dan isi. Sedangkan pantun Sunda adalah seni pertunjukan. Pantun adalah
cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan
(prolog), dialog, dan seringkali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang
juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang dimainkan.
Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi
rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar
dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus
yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
Sampiran pada pantun Betawi berfungsi sebagai pengantar pada kesamaan bunyi
isi (a-b-a-b), sama halnya dengan pantun Melayu. Tetapi, kesan yang muncul pada
pantun Betawi adalah kelugasan dan semangat spontanitas, tanpa beban, bebas,
lugas, dan terkesan disampaikan sesuka hati. Meskipun demikian, kekhasan pantun
Betawi terletak pada isi pantun yang cenderung menjadi sarana untuk mengkritik
apa pun, juga tanpa beban. Akibatnya, persoalan apa pun, yang berat atau ringan,
dapat dijadikan pantun yang disampaikan secara enteng.
Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama atau suku
bangsa, maka pantun, dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang, dalam situasi
apa pun, dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Berbagai
suku bangsa di wilayah Nusantara ini mengenal pantun dan kemudian
memproduksi sendiri dengan menggunakan bahasanya, idiom-idiomnya, dan
nama-nama tempat yang berada di sekitarnya. Maka, selain pantun Melayu yang
sudah sangat terkenal itu, kita juga mengenal pantun Sunda, Banjar, dan, Betawi.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1961. Puisi Lama. Djakarta: Pustaka Rakjat.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.

| 120
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Dhakidae, Daniel. 2006. Sampiran, Isi, dan Sisi-Sisi Kehidupan menurut Pantun. John
Gawa.
Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta: Buku Kompas.
Gawa, John. 2006. Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta: Buku Kompas.
http://id. wikipidia.org
Junus, Hasan. 2001. Pantun-Pantun Melayu Kuno, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau.
Mahayana, Maman S. 2005. Lebih Jauh tentang Pantun, Sembilan Jawaban Sastra
Indonesia,
Jakarta: Bening Publishing.
Mahayana, Maman S., dkk. 2008. Pantun Betawi: Refleksi Dinamika Sosial Budaya
Masyarakat
dalam Pantun MelayuBetawi. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Nurdin, Ade, dkk.2002. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia, Bandung: Pustaka Setia.
Rosidi, Ajip, dkk. 2000. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sujana, Nana. 2008. Tuntunan Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
2004. Pantun Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.
- (Ed.). 2008. Pantun di Negeri Pantun. Jakarta: Yayasan Panggung Melayu.

121 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 122
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

PENGACUAN DALAM WACANA TULIS


DI FACEBOOK

Oleh : Eulis Anggia Budiarti


Program Studi Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract:
This research includes qualitative research on the types of written discourse
on facebook regarding the use of marker variation reference cohesion. The
method used is the method intended by agih Sudaryanto (1993: 15), to
analyze and interpret text using the theory of discourse analysis as Teun van
Dijk microstruktur basis at the level of reference. Techniques of data
analysis techniques used in the form disappeared, engineering change, read
markup techniques.

From the results of discourse analysis in the type and form reference
bookmarks. Reference marker types based on where it comes endofora
reference, while according to the type includes (1) reference first persona, a
persona the second, and third person, (2) reference demonstrative public
bookmarks, bookmark the pronouns, pronouns bookmark affairs, and the
clock, and ( 3) reference comparative ekuatif level, the level of comparative,
and superlative level.

Being reference marker contained in the written discourse found in the


facebook include saya, aku, -ku, gue, kita, kamu, anda, kau-, -mu, sampean,
ente, you, antum, dia, -nya, mereka, ini, itu, sini, situ, begini, begitu, saat ini,
hari ini, kaya, macam, seperti, lebih, kurang., paling, dan semakin.

Keywords: facebook, discourse analysis, reference type, form reference

Jejaring Sosial elektronik yang paling digemari masyarakat Indonesia akhir-akhir ini
adalah facebook. Perkembangan facebook paling menyolok dibanding dengan
layanan internet pada jejaring sosial lainnya seperti friendster, Myspace, Hi5,
Twitter, Linkedl, Bebo, Fupei, dan Digli yang sudah mulai ditinggalkan para
penggemarnya.

Sebagai alat komunikasi tertulis elektronik facebook digemari karena


keunggulannya dalam berbagai layanan dan fasilitas jejaring sosial yang
mempermudah hubungan sosial. Dalam berbagai situs ensiklopedia menyebut-kan
bahwa jejaring sosial atau jaringan sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk
dari simpul-simpul (umumnya adalah individu atau organissasi) yang diikat dengan
satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, teman, keturunan, dan lain-lain.

123 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Berbagai bidang akademik penelitian telah membuktikan bahwa jaringan sosial


beroprasi pada banyak tingkatan, mulai dari individu, keluarga, kelompok atau grup
hingga negara. Jejaring sosial ini memegang peranan penting dalam menentukan
cara menyelesaikan masalah, menjalankan organisasi, serta derajat keberhasilan
seorang individu dalam mencapai tujuan.

Banyak kata terlontar di dinding status, atau komentar pengguna facebook.


Komentar tersebut ditulis oleh berbagai kalangan, status sosial, usia, profesi,
golongan atau grup tertentu. Hal inilah yang menyebabkan facebook memuat
tulisan yang beragam dan unik. Dengan beragam deskripsi di atas, tentu saja
facebook menjadi menarik untuk dianalisi keragaman wacananya.

Analisis wacana pada facebook dipandang sebagai kecenderungan baru dalam


telaah bahasa secara alami. Dikatakan demikian karena analisis wacana pada
hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi bahasa atau penggunaan bahasa
sebagai sarana komunikasi. Sebagaimana ditegaskan pula oleh Halliday dan Hasan
(1992: 6) bahwa jalan menuju pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian
teks (wacana).

Analisis wacana sebagai suatu kegiatan yang dilakukan untuk memahami fungsi
bahasa tersebut merupakan proses yang rumit. Untuk memahami fungsi bahasa,
seorang penganalisis tidak saja dituntut memiliki pamahaman terhadap ungkapan-
ungkapan verbal (faktor-faktor linguistik), namun juga ungkapan nonverbal (faktor-
faktor non-linguistik). Kedua faktor tersebut saling berinteraksi dalam membangun
sebuah wacana yang koheren.

Hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana tulis tersusun berkesinambungan


dan membentuk suatu kepaduan. Oleh karena itu, kepaduan makna dan kerapian
bentuk pada wacana tulis merupakan salah satuf aktor yang penting dalam rangka
meningkatkan tingkat keterbacaan. Informasi yang disampaikan melalui wacana
tulis tentu mempunyai perbedaan dengan infomasi yang disampaikan secara lisan.
Perbedaan itu ditandai oleh adanya keterkaitan antar proposisi. Keterkaitan dalam
wacana tulis dinyatakan secara eksplisit yang merupakan rangkaian antarkalimat
secara gramatikal. Adapun untuk bahasa lisan keterikatan itu dinyatakan secara
implisit, di mana kejelasan informasi akan didukung oleh konteks.

Berdasakan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa bahasa tulis, mementingkan


keterkaitan kalimat sebagai unsur pembangun wacana. Keterkaitan tersebut
dirangkaikan secara runtut sehingga menjadi wacana yang mempunyai kepaduan,
baik secara bentuk ataupun secara makna. Kelompok kata belum tentu disebut

| 124
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

wacana bila rentetan itu tidak memberikan informasi yang lengkap unsur-unsur
yang membangun wacana.

Hubungan antarkalimat dalam wacana tulis harus selalu diperhatikan untuk


memelihara keterkaitan dan keruntutan antarkalimat. Di dalam ilmu bahasa
keterkaitan dan kerapian bentuk dinamakan kohesi dan koherensi. Di dalam
manifestasi fonetisnya kohesi dan koherensi memiliki peran yang sangat vital untuk
memelihara keterkaitan antarkalimat, sehingga wacana menjadi padu, setiap unsur
dalam teks harus menyatakan konsep ikatan (Nunan 1992:6).

Dengan demikian, kalimat yang terdapat dalam wacana harus saling berkaitan.
Baryadi (2002:17) mengemukakan bahwa untuk menciptakan keutuhan, bagian
wacana harus saling berhubungan. Sejalan dengan pandangan bahwa bahasa itu
terdiri dari bentuk (form) dan makna (meaning), hubungan dalam wacana dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi (cohesion)
dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi
(coherence).

Salah satu hubungan bentuk dalam sebuah wacana dapat dilakukan dengan
menggunakan penanda pengacuan. Hubungan pengacuan menandai hubungan
kohesif wacana melalui pengacuan. Sumarlam (2003:23) menyebut-kan bahwa
pengacuan atau pengacuan adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang lain (atau suatu
acuan) yang mendahului atau mengikutinya.

Dalam wacana tulis terdapat berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita
perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan
tempat perbuatan (Alwi 1998:40). Unsur itu acap kali harus diulang-ulang untuk
mengacu kembali atau untuk memperjelas makna. Oleh karena itu, pemilihan kata
serta penempatannya harus tepat sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi
juga koheren. Dengan kata lain, pengacuannya atau pengacuannya harus jelas.

Pengacuan di dalam bahasa yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik
baru (untuk memperkenalkan) atau untuk menegaskan bahwa topik masih sama.
Topik yang sudah jelas biasanya dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang
panjang, biasanya muncul beberapa predikat dengan subjek yang sama dan subjek
menjadi topik juga. Subjek hanya disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu
diganti dengan acuan (pengacuan) yang sama.

Pembahasan yang akan dilakukan adalah wacana bentuk tulis dalam Facebook
mempunyai variasi penggunaan penanda kohesi pengacuan. Fungsi penanda kohesi

125 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

adalah sebagai alat penggabung antarkalimat atau antar paragraf yang satu
dengan yang lain sehingga membentuk keterkaitan.

Berdasarkan uraian di atas, pokok rumusan masalah yang akan dikaji adalah: (1)
Jenis penanda pengacuan apa yang terdapat pada wacana tulis di facebook? (2)
Bagaimana wujud penanda pengacuan yang terdapat pada wacana tulis facebook?
(3) Jenis shortcut emoticon apa yang terdapat pada wacana tulis di facebook? (4)
Bagaimana prosentasi penggunaan jenis dan wujud penanda pengacuan yang
terdapat pada wacana tulis dalam facebook ?

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendiskripsi jenis
penanda pengacuan yang terdapat pada wacana tulis di facebook. (2) Mendiskripsi
wujud penanda pengacuan yang terdapat pada wacana tulis di facebook. (3)
Mendeskripsi-kan jenis shortcut emoticon apa yang terdapat pada wacana tulis di
facebook. (4) Mendiskripsi prosentasi pengunaan jenis dan wujud penanda
pengacuan yang terdapat pada wacana tulis dalam facebook.

Untuk menjawab permasalahan di atas, peneliti akan menguraikan kajian teori


tentang facebook, analisis wacana, pengacuan dan teori tentang analisis wacana.

Facebook

Facebook adalah salah satu situs komunitas jejaring sosial nomor satu saat ini.
Jejaring sosial adalah peta semua ikatan yang relevan antar simpul yang dikaji.
Jaringan tersebut dapat pula digunakan untuk menentukan modal sosial aktor
individu. Facebook sebagai salah satu jejaring sosial adalah situs komunitas, media
seseorang untuk bisa bertemu dan bersosialisasi didunia maya.

Facebook adalah situs web yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan
oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High
School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College.
Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke sekolah lain di wilayah
Boston (Boston College, Boston University, MIT, Tufts), Rochester, Stanford, NYU,
Northwestern, dan semua sekolah yang termasuk dalam Ivy League. Banyak
perguruan tinggi lain yang selanjutnya ditambahkan berturut-turut dalam kurun
waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya, orang-orang yang memiliki
alamat surat-e suatu universitas (seperti .edu, .ac.uk, dll) dari seluruh dunia dapat
juga bergabung dengan situs ini.

Hingga Juli 2007, situs ini memiliki jumlah pengguna terdaftar paling besar di antara
situs-situs yang berfokus pada sekolah dengan lebih dari 34 juta anggota aktif yang

| 126
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

dimilikinya dari seluruh dunia. Dari September 2006 hingga September 2007,
peringkatnya naik dari posisi ke-60 ke posisi ke-7 situs paling banyak dikunjungi,
dan merupakan situs nomor satu untuk foto di Amerika Serika mengungguli situs
publik lain seperti Flickr, dengan 8,5 juta foto dimuat setiap harinya. (Ruben
Nurdiasmanto. 2008. http://jomblos.blogspot.com).

Analisis Wacana

Analisis wacana adalah kajian tentang aneka fungsi bahasa. Kita menggunakan
bahasa dalam kesinambungan wacana. Komunikasi sulit kita laksanakan tanpa
adanya hubungan-hubungan wacana yang merupakan hubungan antarkalimat dan
suprakalimat (suprasentensial) dan tanpa adanya konteks (Brown, 1996: 235).
Lebih lanjut dikemukakannnya bahwa melalui wacana orang dapat saling menyapa,
menyuruh, mengkritik, memaafkan, dan sebagainya.

Secara lebih luas, istilah wacana menunjuk pada bahasa dalam tindakan serta pola-
pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan.

Discourse is a term used in linguistics to describe the rules and conventions


underlying the use of language in extended stretches of text, spoken and writen.
(Such an academic study is referred to as discourse analysis). The term is also used
as a convenient general term to refer to language in action and the patterns which
characteristise particular types of language in action, (Brown dan Yule. 1996).

Analisis wacana, dalam arti paling sederhana adalah kajian terhadap satuan bahasa
di atas kalimat. Lazimnya, perluasan arti istilah ini dikaitkan dengan konteks lebih
luas yang mempengaruhi makna rangkaian ungkapan secara keseluruhan. Para
analisis wacana mengkaji bagian lebih besar bahasa ketika mereka saling bertautan.
Beberapa analisis wacana mempertimbangkan konteks yang lebih luas lagi untuk
memahami bagaimana konteks itu mempengaruhi makna kalimat.

Discourse analysis is sometimes defined as the analysis of language 'beyond the


sentence'. This contrasts with types of analysis more typical of modern linguistics,
which are chiefly concerned with the study of grammar: the study of smaller bits of
language, such as sounds (phonetics and phonology), parts of words (morphology),
meaning (semantics), and the order of words in sentences (syntax). Discourse
analysts study larger chunks of language as they, (Fairclough dan Wodak).

Hampir sama dengan batasan di atas, Stubbs (1983: 1) menyatakan bahwa wacana
adalah pengaturan bahasa di atas kalimat atau kalusa (unit-unit linguistik yang lebih
besar dari kalimat atau klausa), seperti pertukaran percakapan atau teks-teks

127 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

tertulis. Konsekuensinya, analisis wacana memper-hatikan bahasa pada waktu


digunakan dalam konteks sosial dan khususnya interaksi penutur.

Dari pendapat di atas disimpulkan, bahwa wacana adalah satuan bahasa yang
terlengkap dan teringgi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi
dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan
akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan
lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratanya harus dalam satu
rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat.

Pengacuan

Secara tradisiomal pengacuan berarti hubungan antara kata dengan benda. Ketika
membicarakan pandangan semantik Lyon (dalam Brown 1996: 28) mengatakan
bahwa hubungan antara kata dengan bendanya adalah hubungan pengacuan: kata-
kata menunjuk benda. Pandangan kaum tradisional ini terus berpengaruh dalam
bidang linguistik (seperti Semantik Leksikal) yang menerangkan hubungan yang ada
itu adalah hubungan antara bahasa dengan dunia (benda) tanpa memperhatikan si
pemakai bahasa tersebut. Tetapi Lyon pada pernyataan yang terbaru, ketika
membicarakan pengacuan tanpa memperhatikan si pembicara tidaklah benar. Si
pembicara yang paling tahu tentang pengacuan kalimatnya.

Dari keterangan tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada analisis wacana
pengacuan dianggap sebagai tindak tanduk dari si pembicara atau si penulis.
Dengan kata lain, pengacuan dari sebuah kalimat sebenarnya ditentukan oleh si
pembicara atau si penulis. Kita sebagai pembaca atau pendengar hanya dapat
menerka apa yang dimaksud oleh si pembaca atau si penulis.

Pengacuan atau referensial adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului
atau mengikutinya (Sumarlam 2003:23)

Pengacuan dalam analisis wacana dapat berupa endofora dan eksofora. Endofora
bersifat tekstual, acuan ada di dalam teks, sedangkan eksofora bersifat situasional
atau pengacuan di luar teks. Endofora terbagi atas anafora dan katafora
berdasarkan posisi acuannya. Anafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan
terdahulu; katafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian
(Dajajasudarma 1994:51).

Lebih lanjut Sumarlam (2003:23) menegaskan bahwa berdasarkan tempatnya,


apakah acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan

| 128
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

dibedakan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuanya berada atau
terdapat di dalam teks, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuanya berada atau
terdapat di luar teks wacana (lihat bagan 2)

Jenis pengacuan yang pertama, berdasarkan arah pengacuanya dibedakan menjadi


dua jenis, yaitu pengacuan anaforis (anaphoric reference) dan pengacuan kataforis
(cataphoric reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual
yang lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden sebelah kiri. Pengacuan
kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual
tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu
anteseden di sebelah kanan.

Bagan 1. Jenis Pengacuan

PENGACUAN/REFERENSI

Eksofora Endofor
Situasion a
al
Tekstual

Anafora Katafora
Kearah Kearah yang
yang akan
disebutkan disebutkan
lebih
dahulu

Halliday dan Hasan (dalam Hartono 2000:147) membagi pengacuan menjadi tiga
tipe, yaitu: (1) referensi personal, (2) referensi demonstratif, dan (3) referensi
komparatif.

Teori Fairclough
Fairclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa
menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologi
masing-masing. Artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang
tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan
minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Analisis
Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik
sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling

129 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari sebuah realitas, dan
struktur sosial.
Penjelasan Norman Fairclough dapat diartikan bahwa dalam analisis wacana
seorang peneliti atau penulis melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks baik
berdasarkan process of production atau text production; process of
interpretation atau text consumption maupun berdasarkan praktik sosio-
kultural. Dengan demikian, untuk memahami wacana kita tak dapat melepaskan
dari konteksnya. Untuk menemukan realitas di balik teks kita memerlukan
penelusuran atas konteks, produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya
yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas
akan kepentingan yang bersifat subjektif.

Teori Van Dijk


Menurut Van Dijk penelitian wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis
teks semata, karena teks hasil suatu praktek produksi juga harus diamati. Penelitian
mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang
kosong. Ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasan
yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/ pikiran dan kesadaran yang
membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh Van Dijk
digambarkan mempunyai tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial,
(Eriyanto, 2001: 225).
Inti analisis Van Dijk adalah menggabung-kan ketiga dimensi wacana tersebut ke
dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur teks
dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan tema tertentu. Van Dijk
memanfaatkan dan menggambil analisis linguistik tentang kosakata, kalimat,
proposisi, dan paragraf- untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Kognisi
sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi
oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu
realitas sosial. Aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini lebih dikaitkan dengan selera
masyarakat. Penulis mengangap bahwa unsur teks adalah unsur internal.
Sedangkan unsur kognisi dan konteks sosial lebih cenderung pada aspek eksternal.
Teks-teks tidak dapat selalu dianggap berdiri sendiri. Teks memerlukan unsur di
luar dirinya agar mampu berkembang dan ditelaah dalam masyarakat.

METODE
Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif, data penelitian adalah data kualitatif,
yakni data yang berbentuk verbal (narasi, deskripsi atau cerita). Bogdan dan Tylor
(Moleong, 1989: 3) mendiskripsikan penelitian kualitatif sebagai prosedur

| 130
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan,
tentang orang-orang yang diamati
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih yang
dimaksudkan oleh Sudaryanto (1993: 15). Metode agih, yaitu dengan alat penentu
dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri.
Pada analisis wacana untuk menganalisis dan menginterpretasi teks menggunakan
teori analisis wacana Teun van Dijk sebagai dasar pada tingkat microstruktur pada
pengacuan. Teori tersebut mengalami penyesuain dengan objek penelitian berupa
wacana percakapan bahasa Indonesia di facebook.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam analisis wacana percakapan di
facebook dilakukan dengan cara: (1) Pendokumentasian sampel wacana yang ada
di jejaring sosial facebook melalui copy paste. (2) Data dikumpulkan dengan teknik
catat. (3) Pada teknik menyimak akan diperiksa wacana yang diteliti satupersatu.
Pada pemeriksaan ini akan menentukan wujud penanda pengacuan yang ada pada
kalimat ataupun dalam pengalan teks. (4) Memberi warna lain pada setiap jenis
penanda pengacuan yang ditemukan. (5) Tahap selanjutnya, dilakukan pencatatan
atas data yang berupa tuturan wacana yang mengandung penanda pengacuan yang
sudah diberi warna. (6) Memberi penomoran pada korpus data. (7) Mengklasifikasi
korpus data yang sudah diberi tanda sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan
(8) Hasil pencatatan yang berupa data penelitian ini dimasukkan dalam korpus.
Sementara itu, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik data bagi unsur
langsung (segmenting immediate constituensts technique) dan teknik lanjutan,
yang berupa teknik lesap, teknik ganti, teknik baca markah.
Teknik analisis wacana percakapan di facebool dilakukan dengan cara analisis pada
bagian internal wacana, yaitu analisis struktur wacana tekstual secara mikro dalam
elemen analisis teks hanya pada (aspek gramatikal) pengacuan (referensi).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengacuan berdasarkan tempatnya, dibeda-kan menjadi dua jenis: (1) pengacuan
endofora, dan (2) pengacuan eksofora. Jenis penanda pengacuan berdasarkan
tipenya meliputi (1) pengacuan pronominal persona, (2) pengacuan pronominal
penunjuk, dan (3) pengacuan perbandingan (komparatif).
Berdasarkan letak antesedennya, maka pengacuan dibagi atas pengacuan anaforis
dan kataforis.
Dialog pada status Anjar Ariansyah Sejati berikut merupakan wacana tulis yang
mengandung pengacuan endofora anaforis.

131 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Anjar Ariansyah Sejati: @Angel: btul jga ya... Tp kalo d prhatikan hesti kyak kna
rbies ya, abis mlutx slalu ngeluarin cairan g steril so angel tlong d lap ya... Klo g nnti
muncrat Wkwkwk...
@Eka: sbenarx bkat (1) gue tu main piano, (2) kmu hrus tw... @Ervita: sory e (3)
puisiq paling bgus... Mw liat?

Data (1) terdapat pronomina persona pertama tunggal bentuk bebas gue (bahasa
Betawi) secara anaforis dan data (3) q (-ku) pentuk terikat lekat kanan. Wujud
penanda pengacuan gue dan q mengacu terhadap anteseden Anjar Ariansyah
Sejati yang terletak di sebelah kiri, pronomina gue dan q dimaksudkan untuk
menggantikan orang yang melakukan tuturan tersebut. Unsur gue dan q merujuk
silang pada unsur di dalam wacana, bersifat endofora.

Begitupun pada data (2) kamu pronominal persona kedua tunggal secara anaforis.
Karena pengacuan kamu mengacu terhadap anteseden @Eka yang berada di
sebelah kiri. Penggunaan pronominal kamu untuk menggantikan orang yang diajak
bertutur oleh Anjar yaitu Eka. Unsur kamu merujuk silang pada unsur di dalam
wacana @Eka maka bersifat endofora.

Pengacuan kataforis merupakan pengacuan yang berupa satuan lingual tertentu


yang mengacu pada satuan lain yang mengikutinya, atau mengacu terhadap
anteseden di sebelah kanan, atau yang baru disebutkan kemudian. Wacana
pengacuan endofora kataforis:

Faiza Hidayati Mardzoeki: aduh...padahal (4) ini film tuh kayak video game...gak
serem (: karena jelas betul rekayasa visual effectnya.

Pada penggalan dialog di atas terdapat demonstratif penunjuk umum ini pada data
(4) yang mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks) yang
disebutkan sesudahnya. Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat dalam tuturan data (4)
ini merupakan penanda pengacuan endofora yang bersifat kataforis. Kata ini
mengacu pada kata film di sebelah kanannya.
Pronomina Persona Pertama

Pengacuan persona pertama tunggal merupakan pengacuan yang menggunakan


satuan lingual berupa pronomina persona pertama tunggal. Dengan kata lain,
menggu-nakan kata ganti orang pertama yang sifatnya singularis. Berikut penggalan
wacana yang menggunakan pengacuan persona pertama tunggal pada status
NdukNha Hikari Aijin:

Nduk' Nha Hikari Aijin pegang pundak (5) ku jangan pernah lepaskan!

| 132
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Deka Hegi Poetra: @amay: filsafat adalah: apa yg bs anda mkn saat ini, pakaian yg
anda pake skrng, sepatu anda, kendaraan, pena, buku, bahkan handphone anda yg
anda pake u/ ngomentari statusnya nduk nha. maaf jk (6) sy slsh kt.

Pengalan dialog di facebook status Nduk Nha Hikari Aijin menggunakan pronomina
persona pertama tunggal -ku bentuk lekat kanan pada data (5) dan saya bentuk
bebas pada data (6).

Data di atas menggunakan penanda pengacuan persona secara endofora yang


bersifat anaforis. Wujud penanda pengacuan -ku mengacu terhadap anteseden
Nduk Nha Hikari Aijin yang terletak di sebelah kanan, dan penanda pengacuan
saya mengacu terhadap anteseden di depannya.

Pengacuan persona pertama jamak sebagai sarana dalam membentuk hubungan


antarkalimat secara gramatikal merupakan pengacuan yang menggunakan satuan
lingual berupa pronomina persona pertama bentuk jamak yang sifatnya pluralis.

Deka Hegi Poetra: yg sy bcrkan filsafat pembangun ornamen, instrumen, support-


thing, dunia. akui sajalah semua yg anda pake berawal dr sebuah filsafat. filsafat
:pencetus (sbgian teori aristoteles) pembangun (andr daspre), pembongkar (louis
althusser) sya fikir (7) kita bicara filsafat, ya filsafat yg back to roots..

Data (7) kita kata ganti orang pertama jamak bentuk bebas adalah mengacu pada
Amay dan Deka yang saling memberi komentar status Nduk. Kita bersifat endofora
yang anaforis.

Pronomina Persona Kedua

Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan penanda pengacuan persona
kedua tunggal.

Kukuh Febriano: jgn gt jar, mentg2 tinggi jd..entr (8) km jd mengkert lho..
Anjar Ariansyah Sejati:@angelin: ih sory e..... (9) ko pu tman hesty tu yg tkang
korek-korek gigi...Btw kyakx Qo g malming ka???

Kamu pronominal persona kedua tunggal terdapat pada data (8), mengacu pada
Anjar pemilik status, dan acuannya ada di sebelah kiri. Data (9) ko engkau
mengacu pada @Angelin. Data tersebut bersifat endorora yang anafora.

Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan penanda pengacuan persona
kedua jamak.

133 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Deka Hegi Poetra: @rahman " sukaa khwat cantik" @daniel: saya masih islam mas,
hehehe yang jelas (10) antum tau lah.. masa 'yang bilang' bim salabim avakadavra"
filsuf..???

Antum data (10) kamu sekalian dari bahasa Arab adalah pronominal persona
kedua jamak bentuk bebas mengacu pada @Ahmad Daniel dan Seno Bs yang telah
disebutkan sebelumnya sebagai orang yang diajak bicara. Data antum adalah
penanda pengacuan endofora yang bersifat anaforis.

Pronomina Persona Ketiga

Berikut penggalan wacana yang menggunakan Pengacuan persona ketiga tunggal.

Ahmad Kecil Nag Ragunan: @ aLL: hooo macm rame gitu kha....@ kukuh: hooo
thank'z ya dah membela org yang pendek dr serbuan manuzia tinggi @angelin: dr
pd korek upiL'a (11) dy mending korek (12) dy pu telinga ya.....

Dy dia adalah pronominal persona ketiga tunggal bentuk bebas pada data (11) dan
(12) mengacu pada Anjar (disebutkan sebelumnya) orang yang diperbincangkan
oleh Ahmad dan @Angelin orang yang diajak bicara oleh Ahmad. Dy endofora yang
bersifat anaforis atau anteseden di sebelah kiri.

Wujud penanda pengacuan persona ketiga bentuk jamak adalah mereka. Berikut ini
beberapa data dan analisis mengenai penggunaan penanda pengacuan persona
ketiga jamak.
Saidiman Ahmad: Ya, MUI ngaco. (13) Mereka mengiira baru nonton 2012, padahal
yang ditonton adalah The Maling Kuburans. Makanya komentarnya ngawur.

Pronomina Demonstratif (Penunjuk)

Pronomina penunjuk umum adalah kategori yang mengacu ke acuan yang dekat
dengan pembicara/penulis, ke masa yang akan datang, atau ke informasi yang akan
disampaikan; mengacu ke acuan yang jauh dari pembicara, ke masa lampau, atau
ke informasi yang sudah disampaikan. Pronomina penunjuk umum meliputi ini dan
itu. Berikut data dan analisisnya.

Amay Genta Buana: Filsafat brdialog dan sains brdialog (14) itu bnar adax. dlm sains
brdialog mggunakn fakta, krn (15) itu sumber sains. Filsafat, brdialog tdk mggunakn
fakta, imaji2 yg ada d kpala. u/ mmbuktiknx filusuf tdk dgn tindkn, ckup dgn kt2
bijak. Apa (16) itu yg d katakn 1? Ambil cntoh, 1+1=2. filsup yg menjawb 2? tdk.
Ilmuan lah yg menjawb dan membuktikn dgn dta2.

| 134
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Penanda demonstratif penunjuk umum itu ada pada data (14) menunjukan pada
filsafat, data (15) itu menunjukan dlm sains brdialog mggunakn fakta

Dalam penelitian ini ditemukan pronomina penunjuk ihwal begini (berada dekat
dari penutur), begitu (berada jauh dari penutur) dan demikian (mencangkup
keduanya). Berikut data dan analisis dari penggalan wacana tulis di facebook yang
menunjukkan penggunaan pronomina penunjuk ihwal.
Tugas Suprianto: soal setoran to, beres deh kalo soal (16) gitu sih ecek-ecek

Data (16) gitu menunjuk pada frasa soal setoran to. Penanda berada dalam teks
atau endofora dan anteseden di sebelah kiri atau anaforis. Penggunaan pronomina
begitu dimaksudkan karena ihwal yang penulis tuturkan informasinya berada jauh.

Pengacuan Komperatif

Pengacuan komparatif dalam bahasa Indonesia berkenaan dengan pembandingan


dua maujud, atau lebih meliputi tingkat kualitas atau intensitasnya dapat setara
atau tidak setara. Disamakan juga dengan penyulihan. Tingkat setara disebut
ekuatif; tingkat yang tidak setara dibagi dua: tingkat komparatif dan tingkat
superlatif. Pengacuan kompratif dalam penelitian ini meliputi tiga macam, yaitu (1)
tingkat ekuatif, (2) tingkat komparatif, dan (3) tingkat superlative

Tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang hampir sama atau
mirip. Penggunaan pananda pengacuan tingkat ekuatif menyatakan hubungan
perbandingan, kemiripan, antara unsur pengacu dengan unsur yang diacu. Beriku
data dan analisisnya.

Anjar Ariansyah Sejati: @angel: tapi hesty pu lebih prah (17) kyak air mancur. ah
kamu jga sering koq muncrat-muncrat.... hehehehehe he @ervita: brarti kamu s7
dong puisiq lbih bgus... @shinta manusia galon: aeeeh g usah

Pada penggalan dialog di atas, terdapat penanda pengacuan kyak bahasa daerah
seperti yang mengacu terhadap kadar kualitas yang sama, atau menyamakan
sesuatu yang hampir mirip. Data (17) Air liur Hersti yang keluar disamakan dengan
air mancur.

Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang lebih atau yang
kurang. Penggunaan penanda pengacuan komparatif dipakai di muka adjektiva
tertentu dengan makna di atas taraf yang diharapkan. Berikut ini data dan
analisisnya.

135 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Anjar Ariansyah Sejati: eh orang pendek g sopan tau bicara kyak g2 dengan (18)
orang yg lebih tinggi.... wakakakak

Pada penggalan wacana diatas terdapat penanda pengacuan yang berupa bentuk
komparatif lebih Data (18) bahwa orang pendek tidak sopan bicara seperti itu
dengan orang yg lebih tingg. Berdasarkan sifatnya penanda pengacuan ini bersifat
endofora.

Tingkat superlatif mengacu ke tingkat kualitas atau intensitas yang paling tertinggi
di antara semua acuan adjektiva yang dibandingkan. Adjektiva superlative dapat
diikuti frasa yang berpreposisi dari, antara, di antara, dari antara berserta nomina
yang dibandingkan. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan penanda
pengacuan bandingan yang berwujud yang paling.

Anjar Ariansyah Sejati: @Angel: btul jga ya... Tp kalo d prhatikan hesti kyak kna
rbies ya, abis mlutx slalu ngeluarin cairan g steril so angel tlong d lap ya... Klo g nnti
muncrat Wkwkwk... @Eka: sbenarx bkat gue tu main piano, kmu hrus tw... @Ervita:
sory e puisiq (19) paling bgus... Mw liat?

Pada data (19) terdapat penanda pengacuan paling di muka jektiva bagus
merupakan tingkat bandingan tertinggi diantara semua acuan yang dibandingkan.
Penanda pengacuan ini bersifat endofora, mengacu terhadap anteseden di dalam
bahasa itu.

Wujud Penanda Pengacuan

Wujud penanda pengacuan yang ditemu-kan dalam penelitian ini meliputi saya,
aku, -ku, gue, kita, kamu, Anda, kau-, -mu, sampean, you, ente, antum, dia, -nya,
mereka, ini, itu, sini, situ, sana, begini, begitu, seperti, macam, kayak, lebih,
kurang, paling dan semakin.

Saya merupakan wujud penanda pengacuan persona dengan menggunakan


pronomina persona pertama tunggal. Saya biasa digunakan sebagai kata ganti
dalam acara resmi. Penanda pengacuan ini, digunakan untuk mempersonakan
orang pertama yang sifatnya tunggal. Berikut ini data dan analisis wacana yang
menggunakan kata ganti persona pertama tunggal.

'vhita Ngga' 'Lupha: Kae..tserh udh, dripd (20) z dgar ko pnya suara..

Aku adalah wujud pengacuan persona pertama tunggal. Penanda pengacuan ini
sering digunakan dalam forum yang santai seperti percakapan dengan teman

| 136
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

akrab, atau dalam wacana tulis digunakan dalam wacana yang berbentuk cerita,
novel. Berikut ini data yang menggunakan persona pertama tunggal aku.

Shinta Abdul Rahman: (21) ak aj toh yg jd insprirasimu

Pronomina persona tunggal bentuk bebas aku pada data (21) mengacu pada teks
yang berada di dalam tuturan yang disebutkan sebelumnya, yaitu Shinta.
Berdasarkan ciri-ciri seperti yang disebutkan itu maka aku dalam tuturan (21)
merupakan pengacuan endofora, bersifat anaforis.

Satuan lingual ku merupakan wujud penanda pengacuan persona yang berasal


dari pronomina persona pertama tunggal bentuk terikat lekat kanan. Berikut ini
data dan analisis mengenai penggunaan pronomina terikat ku.

Nduk' Nha Hikari Aijin pegang pundak (22) ku jangan pernah lepaskan!

Penggalan wacana di atas menggunakan pronomina persona pertama tunggal


bentuk terikat ku pada kata pundakku pada data (22). Penggunaan pronomina ku
pada wacana tersebut bersifat anaforis, yang mengacu ke Nduk.

Anjar Ariansyah Sejati: @Angel: idung (23) gue udah pux rumput2 alami g btuh
kawat...

Penggalan wacana di atas menggunakan pronomina persona pertama tunggal


bentuk bebas gue yaitu bahasa Betawi untuk kata saya pada data (23) idung gue
bersifat anaforis, yang mengacu pada Anjar anteseden di sebelah kiri.
Pronomina persona pertama jamak kita merupakan wujud penanda pengacuan
persona. Penanda pengacuan kita digunakan untuk mempersonakan orang
pertama yang bersifat jamak atau lebih dari satu orang. Penanda pengacuan kita ini
bersifat insklusif, pengacuan yang dibentuk dengan mengguna-kan penanda
pengacuan ini mencakup semua pihak antara lain pembicara, pendengar, dan pihak
lain. Pada data berikut, ditemukan penanda pengacuan persona pertama jamak
yang bersifat inklusif.

Deka Hegi Poetra: yg sy bcrkan filsafat pembangun ornamen, instrumen, support-


thing, dunia. akui sajalah semua yg anda pake berawal dr sebuah filsafat. filsafat:
pencetus (sbgian teori aristoteles) pembangun (andr daspre), pembongkar (louis
althusser) sya fikir (24) kita bicara filsafat, ya filsafat yg back to roots..

Penggalan wacana di atas menggunakan penanda pengacuan persona pertama


jamak. kita pada data (24) mengacu terhadap anteseden sebelumya (anaforis).

137 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Penanda pengacuan kita ini bersifat insklusif. Kita pada penggalan data (24)
mengacu kepada Deka Hegi Poetra (pembicara) dan Amay yang diajak bicara.

Kamu wujud pengacuan persona kedua tunggal. Penggunaan penanda pengacuan


kamu sebagai sarana membentuk keterkaitan wacana terdapat dalam penggalan
wacana berikut.

Kukuh Febriano: jgn gt jar, mentg2 tinggi jd..entr (25) km jd mengkert lho..

Data di atas merupakan penggalan wacana yang terdapat dalam status Anjar yang
berbentuk dialog berupa percakapan, atau pembicaraan antara Anjar dengan
Kukuh, Angel, Eka, Ervita dan Shinta. Penggalan wacana tersebut menggunakan
penanda pengacuan persona berupa pronomina kamu yang mengacu terhadap
anteseden Anjar pada data (25) sebelumnya bersifat anaforis.

Pronomina persona kedua tunggal Anda juga dapat dipergunakan dalam rangka
membentuk keterkaitan wacana. Penggunaan pronomina Anda dalam kalimat
merupakan wujud penanda pengacuan persona.

Deka Hegi Poetra: @amay: filsafat adalah: apa yg bs (26) anda mkn saat ini, pakaian
yg (27) anda pake skrng, sepatu (28) anda, kendaraan, pena, buku, bahkan
handphone (29) anda yg (30) anda pake u/ ngomentari statusnya nduk nha. maaf jk
sy slsh kt.

Penanda pengacuan Anda pada data (26) s.d. (30), mengacu terhadap Amay
pembicara sebelumnya yang mengokmentari status Nduk merupakan acuan yang
berada di dalam bahasa (intertektual). Berdasarkan ciri-ciri seperti yang disebutkan
maka Anda dalam data di atas merupakan penanda pengacuan yang bersifat
endofora. Unsur Anda merujuk silang pada unsur di dalam konteks bahasa
@Amay, bersifat anaforis.

Pronomina persona kau- merupakan wujud penanda pengacuan persona kedua


tunggal bentuk terikat. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan
pronomina kau-

Anjar Ariansyah Sejati:@angelin: ih sory e..... (31) ko pu tman hesty tu yg tkang


korek-korek gigi...Btw kyakx (32) Qo g malming ka???

Pronomina kau pada data (31) mengacu pada @Angelin, sedangkan data (32)
mengacu pada Anjar unsur yang berada di dalam tuturan (teks) yang disebutkan
sebelumnya.

| 138
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Morfem terikat mu merupakan wujud penanda pengacuan persona kedua tunggal


bentuk terikat lekat kanan. Penanda pengacuan ini berfungsi mempersonakan
orang kedua tunggal. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan
pronomina terikat mu.

Angelin Yusticia: mo cr inspirasi? korek lubang idung tu, mungkin da lg smbunyi dgn
(33) upil2mu.. hahaha

Pronomina mu pada data tersebut merujuk silang pada tuturan Anjar sebelumnya.
Penanda pengacuan terikat mu termasuk pengacuan endofora yang bersifat
anaforis karena merujuk silang pada unsur yang disebutkan sebelumnya.

Pronomina persona sampean (kamu bahasa Jawa) merupakan wujud penanda


pengacuan persona kedua tunggal bentuk bebas. Penggunaan persona sampean
dapat dipastikan bahwa penutur berasal dari Jawa. Berikut ini data dan analisis
mengenai penggunaan pronomina sampean

Deka Hegi Poetra: pernyataan anda malah sangat mngaskan bahwa filsafat adalah
softbrain nya. justru karena itu ada yang namanya filsast...!!!!! saya klarifikasi kan
ke anda bahwa,.. semua berawal dari filsafat.. krna anda sudah mmbantu
menjelaskan pernyataan sy sebelumnya. omong2.. kita belum kenalan nih :-)... tau2
langsung asyik ngobrolin barang ini. :-) maaf, nama saya ..... emm... . ya seperti nick
sy di fb ini. senang ngobrol dngn (34) sampean. :-)

Persona sampean dituturkan Deka merujuk pada Amay yang berbicara sebelumnya.
Oleh karena itu data (34) sampean bersifat endofora yang anaforis.

Penanda pengacuan persona kedua tunggal ente kamu dalam bahasa Arab,
digunakan ketika komunikator dan komunikan telah saling mengenal, bahwa
mereka dalam satu komunitas. Karena kata ente hanya dikomunikasikan bila
keduanya beragama Islam. Berikut contohnya:

Ahmad Daniel: Cogito ergo sum. Thats right. Hehe...Sy trsenyum. @amay: kira2,
dgn apa y mulana hingga einstein mnelurkn teori relativitasna? Lalu e=mc2? lgsung
eksperimen y? hehe...prasaan tu saintis plg males megang alat2 lab. hehe. bcanda
om einstein. @deka: hehe...buku satu itu trnyata (35) ente baca jg y... daniel kira
cuma bwt alas tidur.. hehe.. bcanda bro. tp 1 ralat ... mgkn, klmt prtama (36) ente
bs dklarifkasi? teori pmbangun ornamenna sip, but bgmn dgn dunia yg (37) ente
cantumkn sbg buah dr flsft? isi dunia ato duniana? eleh.eleh..hati2 mas bs2 atheis
(38) ente...hehe...maaf klo slh.

139 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Penggalan wacana di atas menggunakan pronomina persona kedua tunggal bentuk


bebas ente yaitu bahasa Arab untuk kata kamu pada data (35) s.d (38) kata ente
merujuk pada @Deka. Wacana tersebut bersifat endofora yang anaforis, yang
mengacu pada anteseden di sebelah kiri.

Penanda pengacuan persona kedua tunggal you kamu dalam bahasa Inggeris,
digunakan ketika komunikator dan komunikan telah saling mengenal, bahwa yang
diajak bicara bisa berbahasa Inggeris. Karena kata you hanya dikomunikasikan bila
keduanya memahami bahasa Inggeris.

Cia Miranda Subandi: Hiks... miss (39) you my mom... Pengen peluk...

Data (39) you mengacu pada my mom anteseden disebelah kanan, maka bersifat
endofora yang kataforis.
Antum merupakan wujud pengacuan pronominal persona kedua bentuk jamak.
Pengacuan ini mengacu terhadap orang kedua yang diajak bicara yang sifatnya
lebih dari satu orang. Biasanya penggunaan persona antum terjadi bila orang yang
berkomunikasi sudah saling mengenal dan berasal dari agama yang sama yaitu
Islam. Berikut penggunaan pengacuan persona antum.

Deka Hegi Poetra: @rahman "sukaa khwat cantik" @daniel: saya masih islam mas,
hehehe yang jelas (40) antum tau lah.. masa 'yang bilang' bim salabim avakadavra"
filsuf..???

Data (40) antum merujuk pada orang yang diajak bicara oleh Deka yaitu @Daniel,
@Rahman dan @Seno B. S. yang ber-komentar sebelumnya. Oleh karena itu
sifatnya endofora yang anaforis.

Wujud pengacuan persona dia merupakan pronomina persona ketiga tunggal.


Pengacuan ini mengacu terhadap orang ketiga atau yang dibicarakan yang sifatnya
tunggal. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan wujud penanda
pengacuan persona dia.

Ahmad Kecil Nag Ragunan: @ aLL: hooo macm rame gitu kha....@ kukuh: hooo
thank'z ya dah membela org yang pendek dr serbuan manuzia tinggi @angelin: dr
pd korek upiL'a (41) dy mending korek (42) dy pu telinga ya.....

Penanda pengacuan dia yang termasuk dalam pronomina persona ketiga tunggal.
Data (41) dan (42) Dia merujuk silang terhadap anteseden Anjar pada kalimat
sebelumnya, sedangkan yang diajak bicara oleh Ahmad adalah @Angel.

| 140
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Pronomina persona nya merupakan wujud penanda pengacuan persona ketiga


tunggal bentuk terikat lekat kanan. Berikut ini data dan analisis mengenai
penggunaan pronomina terikat nya.

Amay Genta Buana: Filsafat pmbangun apa? justru filsafat a/ lwan dri sains. Filsafat
hx brkutat dlm dialog, kt2 yg brmetafora. Sains, pnuh dgn eksperimen2. Filsafat
mmbuat orag mlas u/ brtindak, malah mmbuat orag brkhayal dlm alam (43)
khayalx.

Data (43) khayalnya pada data di atas terdapat penanda pengacuan nya yang
termasuk pronominal persona ketiga lekat kanan. Penggunaan penanda pengacuan
persona -nya merujuk silang terhadap anteseden orang-orang yang disebutkan
sebelumnya jadi anteseden sebelah kiri atau bersifat endofora yang anaforis.
Penggunaan pronomina nya dimaksudkan untuk mempersonakan orang ketiga
tunggal atau orang yang dibicarakan. Berikut ini data kedua dan analisis mengenai
wujud pengacuan persona ketiga tunggal bentuk terikat nya.

Mereka merupakan wujud pengacuan persona yang berasal dari pronominal


persona ketiga bentuk jamak. Pengacuan ini mengacu terhadap orang ketiga atau
yang dibicarakan yang sifatnya lebih dari satu orang. Data dan analisis berikut ini
merupakan penggalan wacana tulis mengenai penggunaan wujud penanda
pengacuan persona mereka.

Saidiman Ahmad: Ya, MUI ngaco. (44) Mereka mengiira baru nonton 2012, padahal
yang ditonton adalah The Maling Kuburans. Makanya komentarnya ngawur.

Data (44) di atas terdapat penanda pengacuan mereka yang termasuk dalam
pronomina persona ketiga jamak. penanda pengacuan mereka pada kalimat
tersebut merujuk silang terhadap pengurus MUI yang mengeluarkan fatwa haram
pada film 2012. Berdasarkan ciri-ciri seperti yang disebutkan itu maka mereka
merupakan wujud dari penanda pengacuan endofora, yang bersifat antesedennya
berada disebelah kiri.

Deka Hegi Poetra: pernyataan anda malah sangat mngaskan bahwa filsafat adalah
softbrain nya. justru karena itu ada yang namanya filsast...!!!!! saya klarifikasi kan
ke anda bahwa,.. semua berawal dari filsafat.. krna anda sudah mmbantu
menjelaskan pernyataan sy sebelumnya. omong2.. kita belum (45) kenalan nih :-)...
Baca Selengkapnya tau2 langsung asyik ngobrolin (46) barang ini. :-) maaf, nama
saya ..... emm... . ya seperti nick sy di (47) fb ini. senang ngobrol dngn sampean. :-)

Pada penggalan wacana di atas terdapat kata ini penunjuk umum pada kenalan
nih data (45), barang ini data (46) dan fb ini pada data (47). Data tersebut merujuk

141 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

pada konteks di dalam teks endofora yang bersifat anaforis. Berdasarkan acuannya
ini pada penggalan wacana tersebut mengacu pada waktu sekarang yaitu waktu
ketika status FB Nduk dikomentarin.

Wujud pengacuan demonstratif dengan pronomina penunjuk umum yang kedua


adalah itu. Penunjukan dengan pronomina itu mengacu pada titik pangkal Jauh,
masa lampau sudah disampaikan oleh penutur. Berikut ini data dan analisisnya.

Amay Genta Buana: Filsafat brdialog dan sains brdialog itu bnar adax. dlm sains
brdialog mggunakn fakta, krn (48) itu sumber sains. Filsafat, brdialog tdk mggunakn
fakta, imaji2 yg ada d kpala. u/ mmbuktiknx filusuf tdk dgn tindkn, ckup dgn kt2
bijak. Apa (49) itu yg d katakn 1? Ambil cntoh, 1+1=2. filsup yg menjawb 2? tdk.
Ilmuan lah yg menjawb dan membuktikn dgn dta2.

Pada penggalan wacana di atas terdapat pronomina penunjuk itu sebagai


penanda pengacuan. Pada data (48) itu berujuk pada filsafat, data (49) itu merujuk
pada kata-kata bijak filsafat.

Wujud penanda pengacuan demonstratif sini merupakan jenis dari pronomina


penunjuk tempat. Penunjukan dengan pronomina sini mengacu pada titik pangkal
dekat dengan penutur (proksimal). Berikut ini data dan analisisnya.

Angelin Yusticia: Ieh,sadar diri kah.. Ko jg kalo bcr suka muncrat sna (50) sni mo,
mcm bcr dgn liur mu + keringat mu + upil mu.. wkwkwk..

Penggalan data (50) terdapat pronomina penunjuk tempat sini yang mengacu pada
lokasi menunjuk pada lokasi tempat muncrat. Penunjukan dengan pronomina sini
mengacu pada titik pangkal dekat dengan penutur, dalam hal ini Angelin (penutur)
melakukan tuturan berada dekat dengan lokasi.

Wujud penanda pengacuan jenis pronomina penunjuk tempat yang ketiga adalah
sana. Penunjukan dengan pronomina sana mengacu pada titik pangkal jauh dengan
penutur (distal). Berikut ini data dan analisisnya.

Angelin Yusticia: Ieh,sadar diri kah.. Ko jg kalo bcr suka muncrat (51) sna sni mo,
mcm bcr dgn liur mu + keringat mu + upil mu.. wkwkwk..

Pada penggalan wacana di atas terdapat pronomina penunjuk tempat sana yang
menunjuk pada lokasi. Sana pada penggalan wacana di atas mengacu pada lokasi
atau tempat yang jauh dari penutur.

| 142
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Pronomina penunjuk ihwal begini merupakan wujud pengacuan demontrstif.


Penunjukan dengan pronomina penunjuk ihwal begitu mengacu pada titik pangkal
dekat dengan penutur.

Wawan Depok: Bilang aja MUI minta jatah...pake muter2...(52) gitu aja kok repot...

Dari penggalan wacana di atas jelas bahwa penanda pengacuan begini mengacu
tehadap klausa yang menyatakan perbuatan. Pada penggalan wacana di atas
penanda pengacuan begini pada data (52) menggantikan perbuatan MUI minta
jatah.

Pronomina penunjuk ihwal kitu atau begitu merupakan wujud pengacuan


demontrstif. Penunjukan dengan pronomina penunjuk ihwal begitu mengacu pada
titik pangkal jauh dengan penutur (distal). Penutur yang menggunakan penunjuk
kitu berrati sudah mengenal lawan tuturnya berasal dari Sunda. Berikut ini data dan
analisis mengenai penggunaan pronomina begitu dalam wacana.

Dadang Hendrana: @B'Entin: It is somehwere near Baduy Village... @P'Wahyu: Oh


Bapak,... iseng Pak, ... oh Pak masih di Jepang, ulah hilap oleh oleh na... @B Yayah:
Aya naon Bu meni waduh, hararideung nya Bu @B.Lulu: Makaseeeh Bu... he he
@Neng Altie: Neng mah pami jalmi na teu keren (53) kitu... he he, Salam ke Bapak
yah... @B'Ayi: Relax sejenak bu... @B'Ida: Speed in harmony Bu..

Pada penggalan wacana kitu merupakan wujud dari penanda pengacuan


demotratif dengan menggunakan pronomina penunjuk ihwal. Pengacuan dengan
menggunakan pronomina penunjuk ihwal begitu mengacu pada titik pangkal jauh
dengan penutur (distal). Begitu pada penggalan wacana tersebut mengacu pada
perkataan Neng Altie sebelumnya. Penggunaan pronominal kitu dimaksudkan
karena lokasi Neng Altie jauh dari penutur Dadang Hendrana.

Pronomina penunjuk waktu saat ini yang mengacu pada waktu kini terdapat pada
data di bawah ini:

Deka Hegi Poetra: @amay: filsafat adalah: apa yg bs anda mkn (54) saat ini, pakaian
yg anda pake skrng, sepatu anda, kendaraan, pena, buku, bahkan handphone anda
yg anda pake u/ ngomentari statusnya nduk nha. maaf jk sy slsh kt.

Saat ini pada data (54) mengacu pada apa yang dimakan @Amay anda orang yang
diajak bicara oleh Deka anteseden di sebelah kiri.

Pronomina penunjuk waktu hari ini yang mengacu pada waktu kini terdapat pada
data di bawah ini:

143 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Neneng Dian Marlia:., dimana krisis (55) hari ini akan sepenuhnya dibebankan
terhadap klas pekerja diseluruh dunia, perampasan atas upah serta pekerjaan
sedang mereka tingkatkan begitu kira-kira.....he...he...

Data (55) hari ini menunjukan waktu sedang berlangsung yang merujik silang pada
keadaan krisis terdapat dalam teks endofora yang anteseden di sebelah kiri
anaforis.

Tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas kayak seperti yang
hampir sama atau mirip. Beriku data dan analisisnya.

Anjar Ariansyah Sejati: @angel: tapi hesty pu lebih prah (56) kyak air mancur. ah
kamu jga sering koq muncrat-muncrat.... hehehehehe he @ervita: brarti kamu s7
dong puisiq lbih bgus... @shinta manusia galon: aeeeh g usah

Penggunaan pananda kayak pengacuan tingkat ekuatif menyatakan hubungan


perbandingan, kemiripan, antara unsur pengacu dengan unsur yang diacu. Data
(56) Hesti lebih parah kaya air mancur, Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
pengacuan komperatif tingkat ekuatif kayak berposisi diantara yang mengacu
anteseden kiri dan yang diacu. Maka sifatnya endofora yang anaforis.
Macam termasuk tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas. Beriku
data dan analisisnya:

Faiza Hidayati Mardzoeki: aduh...padahal ini film tuh kayak video game...gak serem
(: karena jelas betul rekayasa visual effectnya. banyak adegan konyol. Tonton deh
sehingga tahu, dan gak curiga apa yang ada di film. film ini gak lebih dari film2
"kiamat" lain (57) macam amargendon dll. Yang 2010 lebih jelek filmnya. kayak
video game..(: emang diperlihatkan seLuruh dunia ... hancur. Semua gedung. Malah
Mesjid dan kabahnya gak hancur. YANG hancur gereja, america, negeri2 kapitalis,
non Islam ha..ha kali biar MUI puas...ha..he ):): (tapi aku dah nonton, bener, film ini
gak ada apa-apanya) semakin dilarang semakin laku ye....makanya mui kan seneng.

Data (57) macam seperti berposisi di tengah gak lebih dari film2 "kiamat" lain
macam amargendon anteseden di sebelah kiri, maka endofora yang anaforis.

Seperti termasuk tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas. Beriku
data dan analisisnya:

Neneng Dian Marlia: dhuu...dhu.. ternyata semakin seru saja soal film murahan ini,
semakian manjadi polemik dan semakin banyak kita diskusikan, maka semakin

| 144
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

banyak orang yang akan penasaran untuk menontonnya, dan bukankah ini yang
dikehendaki si pembuat Film, bukan tidak mungkin disituasi krisis (58) seperti saat
ini kapaitalime menempuh jalan apa saja untuk untuk mengeruk ... keuntungan,
salah satunya dengan membuat film yang kontroversi, selain itu bisa saja pesan flim
ini agar semua orang berada dalam situasi yang panik yang kemudian kita tidak lagi
memiliki konsentrasi atas masalah yang sedang kita hadapi, dimana krisis hari ini
akan sepenuhnya dibebankan terhadap klas pekerja diseluruh dunia, perampasan
atas upah serta pekerjaan sedang mereka tingkatkan begitu kira-kira.....he...he...

Dan data (58) situasi krisis seperti saat ini anteseden sebelah kiri, maka endofora
anaforis.

Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas ditemukan kata lebih.
Penggunaan penanda pengacuan komparatif lebih dipakai di muka adjektiva
tertentu dengan makna di atas taraf yang diharapkan. Berikut ini data dan
analisisnya.

Anjar Ariansyah Sejati: eh orang pendek g sopan tau bicara kyak g2 dengan (59)
orang yg lebih tinggi.... wakakakak

Pada penggalan wacana diatas terdapat penanda pengacuan yang berupa bentuk
komparatif lebih. Data (59) bahwa orang pendek tidak sopan bicara seperti itu
dengan orang yg lebih tingg. Berdasarkan sifatnya maka penanda pengacuan ini
bersifat endofora, acuannya komparatifnya ada di dalam teks bersifat anaforis.

Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang kurang.


Penggunaan penanda pengacuan komparatif dipakai di muka adjektiva tertentu
dengan makna di bawah taraf yang diharapkan. Berikut ini data dan analisisnya.

Nining Djohar: Lebelnya (60) kurang besar.................haram aja susah apalagi


....berlebel

Data (60) Lebelnya kurang besar anteseden di sebelah kiri, maka bersifat endofora
yang anaforis.

Ditemukan kata paling sebagai tingkat superlatif mengacu ke tingkat kualitas atau
intensitas yang paling tertinggi di antara semua acuan adjektiva yang dibandingkan.

Anjar Ariansyah Sejati: @Angel: btul jga ya... Tp kalo d prhatikan hesti kyak kna
rbies ya, abis mlutx slalu ngeluarin cairan g steril so angel tlong d lap ya... Klo g nnti
muncrat Wkwkwk...

145 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

@Eka: sbenarx bkat gue tu main piano, kmu hrus tw... @Ervita: sory e puisiq (61)
paling bgus... Mw liat?

Pada data (61) terdapat penanda pengacuan paling di muka jektiva paling
merupakan tingkat bandingan tertinggi diantara semua acuan yang dibandingkan.
Penanda pengacuan ini bersifat endofora, mengacu terhadap anteseden di dalam
bahasa itu.

Penggunaan Shortcut Emoticon

Penggunaan shortcut emoticon membuat facebook berbeda dengan bahasa


komunikasi tertulis lainnya. Karena dengan menggunakan lambang emosi, penulis
dapat menggambar-kan perasaan hatinya dan raut wajahnya tampa harus
menuliskannnya panjang lebar. Pembaca walaupun tidak melihat secra langsung,
tapi dengan lambang tersebut sudah dapat membayangkan dalam mimik seperti
ketika penulis menulis kata-kata tersebut. Data shortcut yang terdapat dalam
sampel penelitian adalah:

Ekha Risstiiana Marpaung: Ko bkin puisi mati boker ajah! Kykx mantapp tuhh (1) :p

Data (1) :p melambangkan Ekha menulis sambil menjulurkan lidah, dengan maksud
mengejek Anjar yang akan membuat puisi Ko bkin puisi mati boker ajah! Kykx
mantapp tuhh :p terus Ekha menjulurkan lidah mengejek Anjar.

Deka Hegi Poetra: pernyataan anda malah sangat mngaskan bahwa filsafat adalah
softbrain nya. justru karena itu ada yang namanya filsast...!!!!! saya klarifikasi kan
ke anda bahwa,.. semua berawal dari filsafat.. krna anda sudah mmbantu
menjelaskan pernyataan sy sebelumnya. omong2.. kita belum kenalan nih (2) :-)...
Baca Selengkapnya tau2 langsung asyik ngobrolin barang ini. (3) :-) maaf, nama
saya ..... emm... . ya seperti nick sy di fb ini. senang ngobrol dngn sampean. (4) :-)

Lambang pada data (2) a.d. (9) melambangkan emosi yang sama yaitu tersenyum,
namun senyum yang dimunculkan bermacam-macam. Seperti pada data (2), (3),
dan (4) kenalan nih -): Deka tersenyum ketika ia mengajak kenalan kepada Amay.
Data (5) Mahmud ) :)) senyum sinis ketika ia mengatakan stempel halal untuk film
2012, data (6) (: yang dimaksud senyum juga namun salah penulisan lambang
ketika Faiza mengatakan bahwa film 2012 seperti video game, data (7) Faiza ):
senyum mengejek sambil mengatakan biar MUI puas, data (8) Akhmad ) :))
senyum-senyum sinis mengatakan MUI kebagian berapa bung? Dan data (9) Eka :)
senyum sambil menyapa mbak Cia Belum tidur juga, atau sudah bangun?.

| 146
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Berikut dikemukakan prosentasi penggunaan penanda pengacuan atas dasar


identifikasi terhadap penanda pengacuan di dalam facebook. Penanda pengacuan
dengan tipe pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan
komparatif. Berikut ini disajikan tabel hasil analisis frekuensi pemakaian penanda
pengacuan.

Tabel 1. Rincian Proporsi Pemakaian Jenis Penanda Pengacuan

JUM
NO JENIS PENGACUAN (%)
1. persona pertama 31 22,96%
2. persona kedua 39 28,89%
3. persona ketiga 8 5,93%
4. penunjuk umum 27 20,00%
5. penunjuk tempat 2 1,48%
6. penunjuk ihwal 3 2,22%
7. penunjuk waktu 3 2,22%
8. tingkat ekuatif 7 5,19%
9. tingkat komparatif 9 6,67%
10. tingkat superlatif 6 4,44%
Jumlah 135

Penanda pengacuan persona yang ditemukan dalam wacana tulis di


facebook berjumlah78. Jika ditabelkan wujud penanda pengacuan tipe
pronominal persona sebagai berikut:

Tabel 2. Proporsi Wujud Penanda Pengacuan Persona

WUJUD
No JUML (%)
PENANDA
1 saya 18 23,08%
2 aku 1 1,28%
3 -ku 3 3.85%
4 gue 2 2.56%
5 kita 7 8,97%
6 kamu 4 5,13%
7 anda 13 16,67%
8 Kau- 8 10,26%
9 -mu 6 7,69%

147 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

10 sampean 1 1,28%
11 ente 5 6,41%
12 you 1 1,28%
13 antum 1 1,28%
14 dia 4 5,13%
15 -nya 2 2,56%
16 mereka 2 2,56%
Jumlah 78

Penanda pengacuan tipe pronomina penunjuk dalam wacana tulis di


facebook berjumlah 13. Jika ditabelkan wujud penanda pengacuan
demonstratif sebagai berikut:

Tabel 3. Pengacuan Demostratif di Facebook

NO PENGACUAN DEMOSTRATIF JUML (%)


1 umum Ini 14 40,00%
2 Itu 13 37,14%
3 tempat Sini 1 2,86%
4 Sana 1 2,86%
5 ihwal Begini 2 5,71%
6 Begitu 1 2,86%
7 waktu Saat ini 2 5,71%
8 Hari ini 1 2,86%
Jumlah 35

Penanda pengacuan komperatif pun bervariasi. Variasi-variasi itu mencakup


perbandingan tingkat ekuatif, perbandingan tingkat komperatif, dan
perbandingan tingkat superlatif seperti dalam table di bawah ini:

Tabel 4. Pengacuan Pembanding di Facebook

NO PEMBANDINGAN JUM (%)


1 Tingkat Macam 1 5,88%
2 ekuatif Seperti 1 5,88%

| 148
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

3 Tingkat Lebih 7 41,18%


4 komperatif Kurang 2 11,76%
5 Tingkat Paling 2 11,76%
6 superlatif Semakin 4 23,53%
Jumlah 17

Simpulan dan Saran

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa wacana tersebut


cukup kohesi dan koheren. Kekohesian wacana di facebook didukung oleh
pengacuan pronominal persona pertama dan kedua sebagai pengacuan
tertinggi, kemudian didukung oleh pengacuan pronominal penunjuk dan
perbandingan.

Pengacuan atau referensi merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang
mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului. Dalam facebook
terdapat jenis dan wujud penanda pengacuan. Jenis penanda pengacuan
berdasarkan tempat acuannya menyangkut pengacuan endofora, sedangkan
jenis penanda pengacuan menurut tipenya meliputi (1) pengacuan persona
pertama, persona kedua, dan persona ketiga, (2) pengacuan demonstratif
penunjuk umum, pronomina penunjuk tempat, pronomina penunjuk ihwal,
dan penunjuk waktu, dan (3) pengacuan komparatif tingkat ekuatif, tingkat
komparatif, dan tingkat superlatif.

Wujud penanda pengacuan yang terdapat dalam wacana tulis di facebook yang
ditemukan meliputi saya, aku, -ku, gue, kita, kamu, Anda, kau-, -mu, sampean,
ente, you, antum, dia, -nya, mereka, ini, itu, sini, situ, begini, begitu, saat ini, hari
ini, kaya, macam, seperti, lebih, kurang., paling, dan semakin.
Terdapatnya pengacuan berbahasa daerah Jawa sampean, Arab ente, antum,
bahasa Inggeris you, bahasa informal kaya, macam dan semakin, dapat dijelaskan
bahwa bahasa di faceebook adalah bahasa tulis informal cenderung santai, tempat
komunikasi antar teman yang berasal dari berbagai daerah. Oleh karena itu bahasa
yang digunakan pun beragam dan bercampur dengan bahasa daerah orang
tersebut.

Berdasarkan hasil prosentase terhadap penanda pengacuan yang digunakan, jika


dikaitkan dengan fungsi wacana tulis dalam facebook menunjukkan hubungan yang
erat antara penanda yang digunakan dengan fungsi wacana tersebut. Ditandai
dengan penggunaan pronomina persona pertama dan kedua yang menggantikan
anteseden sebanyak 31 atau 22,96% dan 39 atau 28,89% dari data 135. Jika kedua

149 |
SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

persona dijumlahkan adalah 70 data atau 51,85%. Jadi lebih dari setengah jumlah
keseluruhan data merupakan penanda persona sebagai pengganti orang pertama
dan kedua yang berdialog aktif dalam facebook.

Pengacuan pronominal persona ditunjang oleh pengacuan penunjuk sejumlah 35


data atau 25,92% dari 135 penanda pengacuan yang ditemukan, dan didukung oleh
penggunaan pronomina umum sebanyak 27 atau 20%-nya. Hal ini, disebabkan
karena penanda pengacuan ini 14 data mengacu dekat dengan penulis, ke masa
yang akan datang, atau ke informasi yang akan disampaikan; dan ini 13 data
bersifat umum, acuannya dapat mengacu ke acuan yang jauh dari penulis, ke masa
lampau, atau ke informasi yang sudah disampaikan.

Sedangkan pengacuan perbandingan berjumlah 22 data atau 16,30% dari jumlah


keseluruhan data 135. Pengacuan perbandingan ini merupakan pendukung ketiga
kepaduan wacana dialog di facebook.

Saran-saran sebagai berikut, khusus penulis yang menggunakan bahasa Indonesia


sebagai bahasa pengantar. Penulisan wacana tulis berbahasa Indonesia harus
memperhatikan pembentukan kalimat yang membentuk paragraf yang utuh.
Keterkaitan dalam pembentukan paragraf dapat dilakukan dengan mengunakan
penanda pengacuan. Penanda pengacuan merupakan salah satu cara membentuk
hubungan dalam paragraf secara gramatikal.

DAFTAR REFERENSI

A. Hamid Hasan Lubis. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.


Abdul Syukur Ibrahim (edt). 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Adjat Sakri. 1992. Bangun Paragraf Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit ITB.
Bambang Hartono. 2000. Kajian Wacana Bahasa Indonesia. Diktat Perkuliahan.
Universitas Negeri Semarang.
Brown and Yule. 1996. Discourse Analysis. Penerjemah I. Soetikno. Jakarta:
Gramedia.
Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai
Pustaka.
Jorgensen, Marianne W. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
M. Ramlan. 1993. Paragraf Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Andi Offset.

| 150
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

Nunan, David.1992. Mengembangkan Pemahaman Wacana: Teori dan Praktik.


Terjemahan Elly, W. Silangen. Jakarta: Rebia Indah Pustaka.
Praptomo Baryadi. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Sarwiji Suwandi. 2009. Serba Linguistik. Surakarta: Sebelas Maret University Pres.
Sumarlam edt. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
------------------ edt. 2008. Analiss Wacana Iklan Lagu Puisi Cerpen Novel Drama.
Bandung: Pakar Raya.
Sumadi, dkk. 2009. Kohesi dan Koherensi dalam Wacana Naratif Bahasa
Jawa.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Titscher, Stefen. 2009. Methods of Text and Discourse Analysis. Terjemahan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

151 |

Anda mungkin juga menyukai