Anda di halaman 1dari 162

i

Strategi Coping
bagi
Keluarga Korban Gempa
dan Tsunami Aceh
Karya ini spesial aku persembahkan untuk orang-orang yang
sangat aku cintai dan sayangi yaitu: Suamiku Drh. Fadli A.Gani,
M.Si yang selalu memberikan motivasi, bantuan moril, material,
tenaga dan waktu serta pengertian dan toleransi yang tinggi
dalam segala hal; Anak-anakku Fatmawati, Muhammad Taufik,
Nadia Isnaini dan Rizka Fadila yang senantiasa memberikan
semangat dan pengertian; Ayahanda Samaun Andah yang selalu
memberikan do’a restu, perhatian dan kasih sayang sejak
penulis masih kecil hingga saat ini; Almarhumah Ibunda Saerah
Mahmud yang semasa hidupnya selalu memberikan do’a restu
dan kasih sayang serta perhatian
SITI MARYAM

Strategi Coping
bagi
Keluarga Korban Gempa dan Tsunami
Aceh
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Siti Maryam
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh

Unimal Press
xiv, 206 hlm; 160 x 240 mm (UNESCO Standard)
I SBN 979137200 - 4

9 7 9 9 7 9 1 3 7 2 0 0 7

1. Coping 2. Tsunami 3. Aceh 4. Maryam, Siti I. Judul


I. Malikussaleh, Univ.

Unimal Press
Cetakan ke-1 Oktober 2009.

Universitas Malikussaleh: Hak Cipta © 2009, Siti Maryam


Jl. Panglateh No. 10, ® All rights reserved
Keude Aceh, Lhokseumawe
P.O. Box 141, Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa
Nanggroe Aceh Darussalam dan Tsunami Aceh
INDONESIA
 +62-0645-41373-40915 Hak Penerbitan:
 +62-0645-44450 Unimal Press

Design Cover dan Layout:


M. Muntasir Alwy
Alamat Penerbit:
Unimal Press Foto Cover:
Jl. Panglateh No. 10, mertua & menantu, korban tsunami aceh by
Keude Aceh, Lhokseumawe 24351 ironeidris http://www.flickr.com/photos/
Nanggroe Aceh Darussalam 7519784@N02/437406679/
INDONESIA
 +62-0645-47146 Dicetak oleh:
 +62-0645-47512 Unimal Press
Email: unimalpress@unimal.ac.id
unimalpress@gmail.com Cetakan Pertama, Oktober 2009
Website: www.unimal.ac.id/unimalpress

No parts of this book may be reproduced by any means, electronic or


mechanical, including photocopy, recording, or information storage and retrieval
system, without permission in writing from the publisher.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
Kata Pengantar
v

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya, maka tulisan ini akhirnya terwujud. Buku ini merupakan hasil
penelitian untuk desertasi yang dilakukan di 2 (dua) kecamatan yang ada di Kota
Banda Aceh yaitu Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Kuta Alam yang memakan
waktu selama satu tahun mulai dari pra-survei sampai data cleaning. Bantuan dana
penelitian berasal dari berbagai pihak, mulai dari Direktorat Pendidikan Tinggi
(Dikti), Departemen Pendidikan Nasional (melalui beasiswa BPPS), bantuan
PEMDA Nanggroe Aceh Darussalam melalui Universitas Malikussaleh
Lhokseumawe dan dari International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF)
di Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-
tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu baik secara teknis
maupun saran profesional serta bantuan finansial hingga tulisan ini terwujud.
Secara spesifik, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Komisi pembimbing disertasi Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc (Ketua), Dr. Ir.
Suprihati Guharja,MS, Prof. Dr. Pang S Asngari dan Dr. Ir. Euis Sunarti
(anggota) atas semua bimbingan, bantuan, saran-saran, kesabaran dan
ketelatenan yang luar biasa selama pelaksanaan penelitian dan penulisan
disertasi,
2. Dua Penguji Luar yaitu Dr. Ir. H. Ahmad Humam Hamid, MA dari Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh dan Dr. Diah K.
Pranadji, MS dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
3. Dr. Ir Herien Puspitawati, M.Sc selaku dosen penguji ujian tertutup
4. Dr, Titik Sumarti, MS selaku pimpinan sidang ujian tertutup
5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Ahmad Ansori Mattjik,M.Sc
6. Dekan Sekolah Pasca sarjana-IPB atas perizinan dan pembinaan selama
menjadi mahasiswa,
7. Dekan Fakultas Pertanian-IPB Prof, Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr.
8. Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Prof. Dr. Ir Hardinsyah, MS
9. Dr. Ir. Evy Damayanti, MS selaku Ketua Departemen Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga
10. Dr. Ir Hartoyo. M selaku Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
(IKK), Fakultas Ekologi Manusia-IPB
11. Prof. Dr Ali Khomsan, MS Ketua Progran Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga untuk tingkat Pascasarjana
12. Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
13. Rektor Universitas Malikussaleh Drs. Hadi Arifin, MSc yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan program Doktor (S3) di
Institut Pertanian Bogor
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
vi

14. Direktur International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) yang


telah memberikan bantuan finansial sehingga penelitian ini dapat berjalan
tepat pada waktunya,
15. Supervisor dari pihak ICRAF Dr. Suyanto yang telah banyak memberikan
masukan dan bimbingan dalam pelaksanaan penelitian,
16. Diah Wulandari yang telah banyak memberikan arahan dalam penyelesaian
administrasi dengan pihak ICRAF,
17. Camat Kecamatan Meuraxa Drs. Tarmizi Yahya yang telah memberikan izin
untuk melakukan penelitian di Desa Lamjabat, Lampaseh Aceh dan Desa
Surin,
18. Camat Kecamatan Kuta Alam M. Dahlan yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian di Desa Lampulo, Lamdingin, Lambaro Skep,
19. Kepala Desa Lampulo, Lamdingin, Lambaro Skep, Lamjabat, Lampaseh
Aceh dan Desa Surin yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data,
20. Kepala barak di Desa Lampulo, Lamdingin, Lambaro Skep, Lamjabat,
Lampaseh Aceh dan Desa Surin yang telah banyak meluangkan waktu untuk
ikut terlibat dalam mengumpulan data,
21. Teman-teman sekolega di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK)
dan di Departemen Gizi Masyarakat (GM) yang senantiasa memberikan
motivasi
22. Suami tercinta Drh. Fadli A.Gani, M.Si yang selalu memberikan motivasi,
bantuan moril, material, tenaga dan waktu serta pengertian dan toleransi yang
tinggi dalam segala hal,
23. Anak-anak tersayang, Fatmawati, Muhammad Taufik, Nadia Isnaini dan
Rizka Fadila yang senantiasa selalu memberikan semangat dan pengertian,
24. Ayahanda tercinta, Samaun Andah yang selalu memberikan do’a restu,
perhatian dan kasih sayang mulai dari penulis masih kecil hingga saat ini
25. Almarhumah Ibunda tercinta Saerah Mahmud yang semasa hidupnya selalu
memberikan do’a restu dan kasih sayang serta perhatian
26. Kakak dan Adik kandung yang telah banyak memberikan bantuan moril
27. Semua pihak yang telah ikut terlibat dalam penelitian ini baik langsung
maupun tidak langsung

Akhirnya, penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah, dan


ketidaksempurnaan adalah milik manusia. Untuk itu penulis memohon maaf apabila
ada kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam karya ini.

Bogor, Agustus 2007

Siti Maryam


Kata Pengantar
vii
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
viii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................v
DAFTAR ISI...................................................................................................vii
DAFTAR ISI....................................................................................................ix
DAFTAR TABEL.........................................................................................xiii

Bab Satu PENDAHULUAN............................................................................1


A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Kondisi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh.............................3
C. Bahasan Studi dalam Buku Ini.................................................................5

Bab Dua STUDI TENTANG STRES, COPING, DAN FUNGSI


KELUARGA.....................................................................................................7
A. Stres..........................................................................................................7
A.1. Pengertian Stres.................................................................................7
A.2. Sumber Stres.....................................................................................8
A.3. Gejala Stres.......................................................................................9
A.4. Pengukuran Tingkat Stres dengan Metode Holmes dan Rahe........11
A.5. Pengukuran Tingkat Stres Metode Family Inventory of Life.........13
A.6. Model Stres Keluarga......................................................................13
B. Coping....................................................................................................15
B.1. Pengertian Coping...........................................................................15
B.2. Strategi Coping................................................................................16
B.3. Sumberdaya Coping........................................................................22
C. Keberfungsian Keluarga.........................................................................25
C.1. Definisi Keluarga.............................................................................25
C.2. Ruang Lingkup Ilmu Keluarga........................................................25
C.3. Landasan Teori (Struktural Fungsional)..........................................26
C.4. Fungsi Keluarga...............................................................................27

Bab Tiga TEKNIK DAN STRATEGI COPING BAGI KELUARGA


KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI ACEH................................................33
A. Bencana, Stress dan Coping Keluarga Korban Gempa dan
Tsunami Aceh.............................................................................................33
B. Disain Penlitian, Sampel dan Teknik Pengumpulan Data
Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh.............................................35
C. Beberapa Definisi Operasional...............................................................39
D. Metode Pengukuran Peubah, Validitas, Reliabilitas Instrumen,
Pengolahan dan Analisis Data.....................................................................41
Daftar Isi
ix

Bab Empat HASIL STRATEGI COPING BAGI KELUARGA


KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI ACEH................................................55
A. Gambaran Umum Aceh Pasca Gempa dan Tsunami.............................55
A.1. Sarana Fisik Provinsi NAD Awal Pasca Gempa dan
Tsunami...................................................................................................55
A.2. Letak Geografis...............................................................................56
A.3. Penduduk.........................................................................................56
A.4. Perumahan.......................................................................................58
A.5. Adat dan Budaya Masyarakat Aceh................................................58
B. Masalah-Masalah Keluarga Pasca Gempa dan Tsunami........................60
B.1. Masalah Pangan...............................................................................61
B.2. Masalah Kesehatan..........................................................................62
B.3. Masalah Pendidikan.........................................................................63
B.4. Masalah Perumahan/Tempat Tinggal..............................................64
B.5. Masalah Pakaian..............................................................................65
B.6. Masalah Pekerjaan/Pendapatan.......................................................66
C. Sumberdaya Coping...............................................................................67
C.1. Karakteristik Sosial-Ekonomi Keluarga..........................................67
C.1.1. Jumlah Anggota Keluarga........................................................67
C.1.2. Pekerjaan..................................................................................68
C.1.3. Pengeluaran..............................................................................69
C.1.4. Pendapatan................................................................................72
C.1.5. Aset...........................................................................................72
C.2. Ciri-ciri Pribadi................................................................................74
C.2.1. Umur.........................................................................................74
C.2.2. Tingkat Pendidikan...................................................................75
C.2.3. Tingkat Kesehatan....................................................................75
C.2.4. Kepribadian..............................................................................78
C.2.5. Konsep Diri..............................................................................79
C.3. Dukungan Sosial..............................................................................80
C.4. Korelasi antar Peubah Sumberdaya Coping....................................81
C.5. Pengaruh Sumberdaya Coping terhadap Masalah Keluarga...........82
D. Tingkat Stres..........................................................................................83
D.1. Tingkat Stres (Family Inventory of Life).........................................83
D.2. Gejala Stres Fisik............................................................................84
D.3. Gejala Stres Psikis...........................................................................85
D.4 Gejala Stres Kognitif........................................................................86
D.7. Pengaruh Sumberdaya Coping dan Masalah Keluarga
terhadap Tingkat Stres.............................................................................89
E. Strategi Coping Keluarga.......................................................................92
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
x

E.1. Strategi Coping Berfokus pada Masalah.........................................93


E.1.1. Planful problem solving............................................................94
E.1.2. Confrontatif Coping..................................................................94
E.1.3. Seeking Social Support.............................................................95
E.2. Strategi Coping Berfokus pada Emosi.............................................96
E.2.1. Positive Reappraisal..................................................................97
E.2.2. Accepting Responsibility..........................................................98
E.2.3. Self Controlling........................................................................99
E.2.4. Distancing...............................................................................100
E.2.5. Escape Avoidance...................................................................101
E.3. Korelasi antar Peubah Coping Strategi..........................................102
F. Hubungan antara Tingkat Stres dan Strategi Coping Keluarga............103
G. Keberfungsian Keluarga.......................................................................105
G.1. Fungsi Ekspresif............................................................................106
G.2. Fungsi Instrumental.......................................................................107
H. Hubungan antara Coping dan Keberfungsian Keluarga.......................108
I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping Keluarga..............109
J. Pengaruh Sumberdaya Coping, Masalah Keluarga dan Strategi
Coping terhadap Keberfungsian Keluarga................................................112

Bab Lima FUNGSI REHABILITASI STRATEGI COPING BAGI


KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI ACEH..............................................117
A. Coping, Bencana, dan Tingkat Stres....................................................117
B. Tingkat Stres Keluarga.........................................................................120
C. Strategi Coping.....................................................................................121
D. Keberfungsian Keluarga.......................................................................124
D.1. Implikasi terhadap Kebijakan........................................................126
D.2. Implikasi terhadap Keilmuan........................................................127
D3. Keterbatasan Penelitian..................................................................127

Bab Enam KESIMPULAN...........................................................................129

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................133
INDEKS........................................................................................................141
LAMPIRAN..................................................................................................143
RIWAYAT PENULIS..................................................................................159


Daftar Isi
xi
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
xii

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penyebab dan tingkat stres menurut metode Holmes dan
Rahe................................................................................................11
Tabel 2. Ukuran contoh berdasarkan desa, tipologi keluarga dan
populasi...........................................................................................37
Tabel 3. Peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran......................38
Tabel 4. Pembobotan pertanyaan penyebab stres menggunakan Skala
Holmes dan Rahe............................................................................45
Tabel 5. Jenis data, peubah dan skoring yang digunakan.............................47
Tabel 6. Hasil uji reliabilitas dan validitas peubah-peubah penelitian
saat penelitian utama......................................................................50
Tabel 7. Kelurahan/Gampong pada Kecamatan Kuta Alam dan
Kecamatan Meuraxa.......................................................................56
Tabel 8. Jumlah penduduk Kecamatan Kuta Alam pasca gempa dan
tsunami............................................................................................57
Tabel 9. Jumlah penduduk Kecamatan Meuraxa pasca gempa dan
tsunami............................................................................................57
Tabel 10. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah
pangan.............................................................................................61
Tabel 11. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah
kesehatan........................................................................................62
Tabel 12. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah
pendidikan......................................................................................63
Tabel 13. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah
perumahan......................................................................................65
Tabel 14. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah
pakaian............................................................................................66
Tabel 15. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah
pekerjaan.........................................................................................67
Tabel 16. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori jumlah
anggota............................................................................................67
Tabel 17. Sebaran contoh menurut kategori pekerjaan utama dan
tambahan.........................................................................................68
Tabel 18. Sebaran contoh menurut kategori pekerjaan utama anak dan
anggota keluarga lain......................................................................69
Tabel 19. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pengeluaran........70
Tabel 20. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pengeluaran
pangan dan non pangan..................................................................71
Tabel 21. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pendapatan.........72
Daftar Tabel, Daftar Gambar, dan Daftar Lampiran
xiii

Tabel 22. Rata-rata nilai aset yang masih dimiliki keluarga...........................73


Tabel 23. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori umur......................74
Tabel 24. Sebaran contoh menurut kategori pendidikan formal.....................75
Tabel 25. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori skor
kesehatan selama enam bulan terakhir...........................................75
Tabel 26. Sebaran keluarga menurut jenis penyakit yang diderita (hari)
enam bulan terakhir........................................................................76
Tabel 27. Rata-rata lama sakit (hari) selama enam bulan terakhir..................77
Tabel 28. Sebaran keluarga menurut frekuensi penyakit yang diderita
selama dalam enam bulan terakhir.................................................77
Tabel 29. Sebaran keluarga menurut upaya pengobatan penyakit yang
dilakukan........................................................................................78
Tabel 30. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori skor
kepribadian.....................................................................................78
Tabel 31. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori skor konsep
diri...................................................................................................79
Tabel 32. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori skor
dukungan sosial..............................................................................80
Tabel 33. Daftar bantuan yang diberikan kepada masyarakat di
Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa...........................81
Tabel 34. Korelasi Spearman antar peubah sumberdaya coping....................82
Tabel 35. Masalah keluarga sebagai peubah tidak bebas dengan
sumberdaya coping sebagai peubah bebas.....................................82
Tabel 36. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres
(metode Family Inventory of Life).................................................84
Tabel 37. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres
fisik.................................................................................................85
Tabel 38. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres
psikis...............................................................................................86
Tabel 39. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres
kognitif............................................................................................87
Tabel 40. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres
perilaku...........................................................................................88
Tabel 41. Statistik dan sebaran keluarga berdasarkan tingkat stres
keluarga dengan menggunakan Skala Holmes dan Rahe...............89
Tabel 42. Stres Family Inventory of Life sebagai peubah tidak bebas
dengan masalah keluarga dan sumberdaya coping sebagai
peubah bebas...................................................................................90
Tabel 43. Stres Holmes dan Rahe sebagai peubah tidak bebas dengan
masalah keluarga dan sumberdaya coping sebagai peubah
bebas...............................................................................................91
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
xiv

Tabel 44. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping total........92
Tabel 45. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
berfokus pada masalah....................................................................93
Tabel 46 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
planful problem solving..................................................................94
Tabel 47. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
confrontatif.....................................................................................95
Tabel 48. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
seeking social support....................................................................96
Tabel 49. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
berfokus pada emosi.......................................................................97
Tabel 50. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
positive reappraisal........................................................................97
Tabel 51. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
accepting responsibility..................................................................98
Tabel 52. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping self
controlling......................................................................................99
Tabel 53. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
distancing......................................................................................100
Tabel 54. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping
escape avoidance..........................................................................101
Tabel 55. Korelasi Spearman antar peubah coping strategi..........................102
Tabel 56. Sebaran keluarga berdasarkan coping berfokus pada
masalah dan Tingkat stres.............................................................104
Tabel 57. Sebaran keluarga berdasarkan coping berfokus pada emosi
dan tingkat stres............................................................................104
Tabel 58. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori
keberfungsian total.......................................................................106
Tabel 59. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori fungsi
ekspresif........................................................................................107
Tabel 60. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori fungsi
instrumental..................................................................................108
Tabel 61. Sebaran keluarga berdasarkan jenis coping dan fungsi
ekspresif........................................................................................108
Tabel 62. Sebaran keluarga berdasarkan jenis coping dan fungsi
instrumental..................................................................................109
Tabel 63. Coping berfokus pada masalah sebagai peubah tidak bebas
dengan tingkat stres, masalah keluarga dan sumberdaya
coping sebagai peubah bebas........................................................109
Daftar Tabel, Daftar Gambar, dan Daftar Lampiran
xv

Tabel 64. Coping berfokus pada emosi sebagai peubah tidak bebas
dengan tingkat stres, masalah keluarga dan sumberdaya
coping sebagai peubah bebas.......................................................111
Tabel 65. Fungsi ekspresif keluarga sebagai peubah tidak bebas
dengan sumberdaya coping, masalah keluarga dan strategi
coping sebagai peubah bebas........................................................113
Tabel 66. Fungsi instrumental keluarga sebagai peubah tidak bebas
dengan sumberdaya coping, masalah keluarga dan strategi
coping sebagai peubah bebas........................................................114

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model T ganda ABCX (McCubbin & Patterson, 1980)...............14
Gambar 2. Kerangka berpikir operasional strategi coping bagi
keluarga korban gempa dan tsunami Aceh..................................35
Gambar 3. Bagan penarikan contoh...............................................................37

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji reliabilitas instrumen penelitian pada saat uji coba.........143
Lampiran 2. Sebaran contoh berdasarkan masalah-masalah yang
dihadapi keluarga...................................................................145
Lampiran 3. Sebaran contoh berdasarkan kepribadian..............................146
Lampiran 4. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan konsep diri.............146
Lampiran 5. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan dukungan
sosial......................................................................................147
Lampiran 6. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres fisik.......................147
Lampiran 7. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres psikis.....................148
Lampiran 8. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres kognitif.................149
Lampiran 9. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres perilaku yang
dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami.........................149
Lampiran 10. Sebaran contoh berdasarkan penyebab stres yang
dihadapi keluarga dengan menggunakan skala Holmes
dan Rahe................................................................................150
Lampiran 11. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping
plantul problem solving.........................................................151
Lampiran 12. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping
confrontatif............................................................................152
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
xvi

Lampiran 13. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping


seeking social support............................................................152
Lampiran 14. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping
positive reappraisal................................................................153
Lampiran 15. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping
accepting responsibility.........................................................154
Lampiran 16. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping
self controlling.......................................................................154
Lampiran 17. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping
Distancing..............................................................................155
Lampiran 18. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping
escape avoidance...................................................................155
Lampiran 19. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan fungsi
ekspresif keluarga..................................................................156
Lampiran 20. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan fungsi
instrumental keluarga............................................................157


Daftar Tabel, Daftar Gambar, dan Daftar Lampiran
xvii
Pendahuluan
1

Bab Satu
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang
Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan Sumatera
Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang cukup besar,
(b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur dasar, serta (d)
hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Bencana berdampak besar pada kondisi
psikologis penduduk, lumpuhnya pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan,
keamanan, sosial, serta kurang berfungsinya pemerintahan disebabkan oleh
hancurnya sarana dan prasarana dasar dan berkurangnya sumberdaya manusia
aparatur. Kegiatan produksi termasuk perdagangan dan perbankan mengalami
stagnasi total dan memerlukan pemulihan segera. Sistem transportasi dan
telekomunikasi juga mengalami gangguan yang serius dan harus segera ditangani
agar lokasi bencana dapat segera diakses. Sistem sosial ekonomi dan kelembagaan
masyarakat memerlukan revitalisasi untuk memulihkan kegiatan sosial ekonomi
masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan laporan Satkorlak (2005), jumlah korban pasca gempa dan
tsunami mencapai 236.116 ribu jiwa, jumlah pengungsi 514.150 jiwa, jumlah anak
yatim 1.086 jiwa, persentase penduduk yang kehilangan mata pencaharian mencapai
44.1 persen, tingkat kerusakan pada berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial
(perumahan = 34.000 unit, pendidikan = 105 unit, kesehatan, agama) sebesar $1.657
juta, infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi, air dan sanitasi, saluran irigasi)
$877 juta, produktif (pertanian, perikanan, industri dan pertambangan) $1.182 juta,
lintas sektoral (lingkungan, pemerintahan, bank dan keuangan) sebesar $652 juta,
dan lain sebagainya. Jumlah kerugian dari berbagai sektor diperkirakan sebesar US$
4.57 milyar atau Rp 43.5 trilyun.
Kondisi seperti tersebut di atas akan berdampak terhadap kehidupan
masyarakat yaitu meningkatnya angka kemiskinan karena kehilangan lapangan
pekerjaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan keluarga. Sebelum
terjadinya gempa dan tsunami BPS menyebutkan Aceh mempunyai tingkat
kemiskinan yang terus menerus naik setiap tahunnya. Sejak 1999, perlahan tapi pasti
jumlah penduduk miskin naik 1.1 juta (2000), 1.2 juta (2001), 1.4 juta (2002) dan
1.7 juta (2003). Jumlah penduduk miskin meningkat tajam setelah terjadinya gempa
dan tsunami tanggal 26 Desember 2004, yaitu 2.703.897 jiwa atau 65% dari
penduduk Aceh saat ini yaitu 4.104.187 jiwa.
Rencana penanggulangan bencana alam gempa bumi dan gelombang
Tsunami di wilayah NAD dan Sumatera Utara mencakup tiga tahapan utama: tahap
tanggap darurat; tahap pemulihan yang mencakup rehabilitasi sosial dan restorasi
fisik; serta tahap rekonstruksi. Tahap tanggap darurat dilaksanakan dalam 6-20
bulan, sedangkan tahap rehabilitasi sosial dan fisik akan dilaksanakan dalam 1.5-2
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
2

tahun dan tahap rekonstruksi dilaksanakan dalam waktu 5 tahun. Sasaran dalam
tahap tanggap darurat adalah penyelamatan korban melalui: (a) pembangunan dapur
umum, (b) pembangunan infrastruktur dasar, (c) penguburan korban meninggal, dan
(d) penyelamatan korban yang masih hidup. Sasaran dalam tahap pemulihan adalah
pulihnya standar pelayanan minimum melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya
manusia, (b) pemulihan pelayanan publik, (c) pemulihan fasilitas ekonomi, lembaga
perbankan, dan keuangan, (d) pemulihan hukum dan ketertiban umum, dan (e)
pemulihan hak atas tanah. Adapun sasaran dalam tahap rekonstruksi adalah
terbangunnya kembali seluruh sistem sosial dan ekonomi melalui: (a) pemulihan
kondisi sumberdaya manusia, (b) pembangunan kembali sistem ekonomi, (c)
pembangunan kembali sistem infrastruktur regional dan lokal, (d) revitalisasi sistem
sosial dan budaya, (e) pembangunan kembali sistem kelembagaan, dan (f)
pembangunan sistem peringatan dini untuk meminimalisir dampak bencana.
(BAPPENAS Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009).
Upaya rekonstruksi Provinsi NAD akan cepat berhasil apabila sikap budaya
masyarakat Aceh yang bernilai positif terutama yang terkait dengan keyakinan
agama dan kepedulian pada sesama seperti gotong royong, ramah tamah,
kekeluargaan dan sebagainya dikembangkan, dan sikap negatifnya ditinggalkan.
Bahkan kuatnya keinginan sebagian masyarakat Aceh ke arah kemajuan menjadi
indikator adanya kesadaran masyarakat untuk memperbaiki ketinggalan budaya
yang diduga selama ini telah ketinggalan jauh dari masyarakat lain (Kurdi, 2005).
Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang secara turun temurun tetap
diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai permasalahan pasca gempa dan
tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali, membangkitkan, memotivasi dan
mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di masyarakat yang kemudian diubah
menjadi gagasan strategis sebagai bagian yang penting, bahkan terpenting dalam
pembangunan masyarakat dan keluarga (Hikmat, 2001).

B. KONDISI KELUARGA KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI ACEH


Tingginya angka kemiskinan di Aceh mempunyai korelasi positif terhadap
angka pengangguran. BKKBN Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 mencatat
300.000 jiwa menganggur, tahun 2002 sekitar 48.8 persen (1.073.600 jiwa) dari 2,2
juta angkatan kerja menganggur. Tentunya angka pengangguran di Aceh akan
bertambah pasca tsunami mengingat banyaknya masyarakat yang kehilangan mata
pencaharian terutama yang berprofesi sebagai nelayan dan pedagang yang tempat
tinggalnya dekat dengan pantai (coastal zone). Kehilangan pekerjaan berarti tidak
memiliki pendapatan dan akan berdampak langsung terhadap kehidupan keluarga
dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya.
Kehilangan pekerjaan seperti nelayan dan petani tambak merupakan
masalah besar, nelayan tidak dapat ke laut karena perahu dan peralatan melaut
hancur dan hilang tanpa bekas, petani tambak juga merasakan bahwa tambaknya rata
seperti laut tanpa ada pembatas satu dengan lainnya. Hal yang sama juga dirasakan
oleh orang-orang yang profesinya sebagai pedagang, toko dan barang dagangannya
Pendahuluan
3

hancur berantakan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari


pemerintah dan LSM memberikan bantuan berupa bahan makanan, pakaian, sarana
kesehatan dan lain sebagainya serta uang yang jumlahnya Rp 90.000/orang/bulan.
Selain itu pemerintah dan LSM juga membantu menata kembali perekonomian
masyarakat Aceh, mulai dari memberikan bantuan perahu, menata kembali tambak
yang berantakan dan memberikan pinjaman modal usaha dengan tujuan supaya
masyarakat dapat bekerja kembali sehingga perekonomian mayarakat Aceh secara
keseluruhan cepat stabil.
Dalam bidang pendidikan kerusakan yang terjadi adalah untuk tingkat
SD/MI 27 persen, SLTP/MTs 31 persen, dan SLTA/MA 38 persen. Jumlah pendidik
dan tenaga kependidikan yang meninggal/hilang sebanyak 1.400 orang, peserta
didik dan mahasiswa yang meninggal/hilang sebanyak 40.900 orang.
Rusak/hilangnya berbagai sarana dan prasarana tersebut membuat pendidikan di
Aceh pasca tsunami menjadi menurun. Jumlah guru yang minim, kurangnya fasilitas
prasarana dan sarana pendidikan, menjadi faktor penyebab turunnya kualitas
pendidikan di Aceh. Tidak dipungkiri kalau hilang/meninggalnya guru-guru yang
merupakan asset human resource di sekolah atau perguruan tinggi tertentu juga
menjadi pemicu semakin turunnya pendidikan di Aceh. Pemerintah telah
mengirimkan beberapa tenaga pendidik dari luar daerah untuk Aceh mengisi
kekosongan guru sehingga tidak ada alasan adanya proses pembelajaran yang
terhenti. Untuk saat ini, Aceh membutuhkan 12.000 guru tambahan yang akan
ditempatkan di seluruh kabupaten/kota. Kekurangan ini diharapkan bisa teratasi
apabila adanya perekrutan yang baru sekitar 5.000 orang.
Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), ketika
terjadi gempa dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam, rumah sakit yang
rusak dan hancur 8 buah dan puskesmas 232 buah dan banyaknya tenaga medis yang
meninggal dan hilang yang menyebabkan pelayanan kesehatan menurun. Untuk
membantu pelayanan kesehatan masyarakat Menteri Kesehatan telah mengirim 761
tenaga kesehatan (110 orang dokter PTT, 79 bidan desa, 110 sarjana kesehatan
masyarakat, 48 ahli gizi, 55 ahli kesehatan lingkungan, 330 perawat dan 29 tenaga
farmasi. Semua petugas kesehatan ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan akan
pelayanan kesehatan masyarakat pasca gempa dan tsunami.
Masalah tempat tinggal menjadi persoalan tersendiri yang penyelesaiannya
memerlukan waktu yang lama. Untuk sementara seluruh pengungsi ditempatkan di
barak-barak yang disediakan oleh pemerintah walaupun dengan kondisi yang tidak
memadai. Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani Masholih Aceh (HTI, Januari
2005), anggota masyarakat yang selamat dari musibah gempa dan tsunami
ditampung di lokasi-lokasi pengungsian, di tiap kecamatan terdapat sekitar 2-5
posko besar, posko-posko tersebut menampung sebanyak 300-500 orang, ada juga
yang menampung 1000 - 4000 pengungsi. Jumlah pengungsi di posko tidak tetap
karena mereka akan pindah ke tempat lain pada saat tidak betah dan atau alasan lain.
Selain di posko pengungsian, korban bencana juga ada yang menumpang di rumah-
rumah penduduk yang masih utuh.
Banyaknya permasalahan yang terjadi pasca gempa dan tsunami seperti
yang telah disebutkan di atas akan berdampak terhadap kehidupan keluarga.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
4

Kehidupan keluarga yang semula berjalan normal tiba-tiba terganggu dengan


berbagai persoalan seperti kurangnya bahan pangan, pelayanan kesehatan terganggu,
sarana pendidikan yang hancur, rumah yang rata dengan tanah, kehilangan aset dan
pekerjaan yang dapat mempengaruhi pendapatan serta hilangnya anggota keluarga
yang sangat dicintai. Semua permasalah ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah
terbayangkan sebelumnya, sehingga membuat keluarga menjadi kebingungan dan
stres.
Untuk mengatasi stres yang dialami keluarga pasca gempa dan tsunami,
setiap keluarga dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Dengan demikian keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang
memadai yang disebut strategi “coping”. Hal tersebut didukung oleh Friedman
(1998), yang mengatakan bahwa “coping” keluarga adalah respon perilaku positif
yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres
yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu. Keluarga diharapkan mampu
berperan dalam menyelesaikan masalah melalui strategi coping yang efektif.
Apabila keluarga mampu melakukan “coping” dengan baik, akan berdampak positif
terhadap keberfungsian keluarga. Sebagaimana dinyatakan oleh Berns (1997), untuk
memahami pentingnya keluarga, kita harus kembali pada fungsi dasarnya. Secara
umum, keluarga melakukan berbagai fungsi yang memungkinkan masyarakat
bertahan, walaupun fungsi-fungsi tersebut sangat beragam. Berdasarkan
permasalahan di atas, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
(1) Masalah-masalah apa saja yang dihadapi keluarga pasca gempa tsunami?
(2) Bagaimanakah tingkat stres yang dialami keluarga?
(3) Sumberdaya coping apa saja yang dimiliki oleh keluarga?
(4) Bagaimanakah strategi coping keluarga?
(5) Bagaimanakah keberfungsian keluarga?
(6) Apakah ada perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya coping,
strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi keluarga?
(7) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi coping?
(8) Bagaimana pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi coping
terhadap keberfungsian keluarga?

C. BAHASAN STUDI DALAM BUKU INI


Secara umum buku ini bertujuan untuk menganalisis strategi coping keluarga
yang terkena gempa dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Studi-
studi yang akan diarah dalam buku ini antara lain:
(1) Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi keluarga
(2) Mengidentifikasi tingkat stres yang dialami keluarga
(3) Mengidentifikasi sumberdaya coping keluarga
(4) Mengidentifikasi strategi coping keluarga
(5) Mengidentifikasi keberfungsian keluarga
(6) Untuk menganalisis perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya
coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi
keluarga
(7) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping keluarga
Pendahuluan
5

(8) Menganalisis pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi


coping terhadap keberfungsian keluarga

Dari poin-poin arahan studi dalam buku ini diharapkan akan dapat dijadikan:
(1) Informasi dan bahan masukan bagi pemerintah baik ditingkat daerah maupun
ditingkat pusat dalam hal penanggulangan korban bencana
(2) Bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak terkait dalam memberikan
arahan dan bimbingan kepada masyarakat, agar masyarakat dapat melaksanakan
penanggulangan bencana secara lebih mandiri, dengan cara melibatkan
masyarakat dalam berbagai kegiatan penanggulangan bencana
(3) Bahan pengembangan ilmu pengetahuan tentang teori dan konsep ilmu keluarga,
terutama dalam kondisi pasca krisis yang disebabkan oleh bencana alam.
(4) Bahan masukan bagi penelitian berikut yang relevan.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
6

Bab Dua 


STUDI TENTANG
STRES, COPING, DAN FUNGSI
KELUARGA

A. STRES

A.1. Pengertian Stres


Pengertian stres (cekaman), menurut Haber dan Runyon (1984), adalah
konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta permasalahan lainnya
dalam kehidupan. Lazarus dan Folkman (1984) memberikan pengertian stres adalah
keadaan atau situasi yang rumit dan dinilai sebagai keadaan yang menekan dan
membahayakan individu serta telah melampui sumber daya yang dimiliki individu
untuk mengatasinya
Selye (1982) yang dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah stres,
mendefinisikan stres sebagai respon umum dan tidak spesifik terhadap setiap
tuntutan fisik maupun emosional, baik dari lingkungan (eksternal) maupun dari
dalam diri (internal). Robins (2001) mengatakan bahwa stres adalah suatu kondisi
dinamik, dalam hal ini seorang individu dihadapkan dengan sebuah peluang yang
dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya. Stres tidak hanya mempunyai nilai
negatif, tetapi juga positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu menawarkan
perolehan yang potensial. Stres juga sebagai kendala jika dapat menghambat
seseorang mengerjakan apa yang diinginkannya.
Para ahli psikologi seperti Baum, Coyne dan Holroy (Sarafino, 2002),
mengelompokkan stres dalam tiga perspektif yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai suatu respon dan stres sebagai suatu proses. Menurut perspektif stres sebagai
stimulus, stres terjadi disebabkan oleh lingkungan atau kejadian yang dapat
mengancam atau berbahaya, sehingga menimbulkan ketegangan dan perasaan tidak
nyaman. Menurut pandangan stres sebagai respon, stres merupakan reaksi/respon
individu terhadap kejadian yang tidak menyenangkan. Stres sebagai suatu proses
terjadi karena adanya interaksi antara individu dan lingkungan.
Alva (2003) mengklasifikasikan stres menjadi dua jenis, yaitu stres akut
(acute stres) dan stres kronis (chronic stres). Stres akut, yang berjangka waktu tidak
lama (short-item), adalah reaksi segera terhadap ancaman, yang secara umum
diketahui sebagai respons melawan (fight) atau menghindar (flight). Ancaman
tersebut dapat berupa setiap situasi yang dialami, bahkan di bawah sadar, sebagai
sesuatu yang berbahaya. Sumber stres akut pada umumnya meliputi keributan,
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
7

kerumunan, terisolasi, kelaparan, bahaya, infeksi, dan membayangkan suatu


ancaman atau mengingat peristiwa yang berbahaya.
Orang yang sering mengalami berbagai situasi yang sifatnya mencekam
secara terus menerus dalam waktu yang lama akan mendorong untuk bertindak
maka stres menjadi kronis. Sumber stres kronis pada umumnya meliputi peristiwa
yang sangat menekan secara terus-menerus, masalah-masalah hubungan jangka
panjang, kesepian, dan kekhawatiran akan finansial karena kepala rumahtangga
sebagai pencari nafkah menjadi korban bencana. Ini banyak dialami oleh para
pengungsi, seperti di tempat penampungan atau barak-barak dalam jangka waktu
lama. Mereka berada dalam situasi ketidakpastian terutama dalam kehidupannya di
masa mendatang.

A.2. Sumber Stres


Menurut Lazarus dan Cohen (Gatchel, Baum & Krantz, 1989), sumber stres
dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
(1) Perubahan menyeluruh (cataclymic stressor). Kejadian yang dapat
menimbulkan stres dan terjadi secara tiba-tiba serta dirasakan oleh banyak orang
secara bersamaan seperti bencana alam (banjir, badai, tsunami).
(2) Sumber stres dari pribadi (personal stressor). Perubahan yang terjadi dalam
kehidupan seseorang turut berpotensi menimbulkan stres, misalnya: pernikahan,
perceraian, kematian pasangan, mencari atau kehilangan pekerjaan.
(3) Sumber stres dari lingkungan fisik. Kejadian atau keadaan yang berupa
ketidaknyamanan dalam keseharian seseorang. Kejadian ini merupakan
gangguan kecil tetapi berlangsung terus-menerus, sehingga menjadi masalah
yang mengganggu dan menekan emosional, contohnya: lingkungan rumah/kerja
yang bising, pencahayaan yang tidak terang dan sebagainya.

Lazarus (1976) membagi sumber stres berdasarkan sifatnya, yaitu:


(1) Sumber stres yang bersifat fisik. Atwater (1983) menyebut stres yang
disebabkan oleh sumber stres fisik ini sebagai stres biologis. Stres biologis dapat
mempengaruhi daya tahan tubuh dan emosi.
(2) Sumber stres bersifat psikososial. Menurut Atwater (1983) stres psikologis dapat
mempengaruhi kesehatan fisik. Terdapat empat sumber stres yang bersifat
psikososial yaitu:

(a) Tekanan. Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal dari


dalam diri, luar, atau gabungan keduanya. Dalam porsi yang tidak
berlebihan tekanan dalam individu memang diperlukan untuk dapat berbuat
yang terbaik. Sebaliknya, bila berlebihan tekanan dapat merugikan individu
atau membuatnya tidak berdaya.
(b) Frustasi. Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya atau
tidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dapat pula diakibatkan oleh
tidak adanya subjek atau objek yang diinginkan.
(c) Konflik. Konflik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya dua atau
lebih pilihan yang bertentangan, sehingga pemenuhan suatu pilihan akan
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
8

dapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.


(d) Kecemasan. Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan aman. Dalam
keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseorang untuk lebih
menyadari akan situasi bahaya tertentu. Sebaliknya, bila berlebihan dapat
memperburuk perilaku individu.

A.3. Gejala Stres


Gejala stres mencakup gejala psikis, fisik dan perilaku, misalnya gejala
psikis kelelahan mental, diikuti gejala fisik seperti gangguan kulit, dan perubahan
perilaku yaitu penurunan kualitas hubungan interpersonal.
Menurut Cox dan Ferguson (1991), stres berkembang secara bertahap, tetapi
gejala-gejalanya dapat dikenali sejak dini. Tanda-tanda stres dapat dilihat dari
beberapa aspek:
Kognitif:
(1) Ketidakmampuan untuk menghentikan berpikir tentang bencana.
(2) Kehilangan objektivitas
(3) Ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau mengekspresikan dirinya baik
secara verbal maupun tulisan

Fisik:
(1) Overwhelming/kelelahan kronik/gangguan tidur
(2) Gangguan pencernaan, sakit kepala, dan keluhan lainnya
(3) Adanya masalah makan, misalnya nafsu makan bertambah atau hilangnya selera
makan

Afektif:
(1) Timbul keinginan bunuh diri, depresi berat
(2) Mudah marah
(3) Sinisme dan atau pesimisme yang berlebihan
(4) Kekhawatiran yang berlebihan mengenai korban dan keluarganya
(5) Merasa cemburu melihat pihak lain yang sedang menangani korban
(6) Merasa ada tekanan/paksaan
(7) Adanya keresahan yang signifikan setelah mendapatkan penanganan

Tingkah laku:
(1) Mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat
(2) Menarik diri dari hubungan dengan teman, rekan kerja, dan keluarga.
(3) Bertingkah laku sesuka hatinya.
(4) Merasa tidak perlu untuk melakukan hubungan dengan korban lain
(5) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan atau bertanggung jawab atas pekerjaan
secara normal
(6) Berusaha untuk tidak tergantung kepada tim penanganan korban
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
9

Allen (2001) mengidentifikasi gejala-gejala (symptoms) orang mengalami


stres, baik secara fisik, mental, maupun psikologis. Simtom-simtom tersebut adalah
sebagai berikut:
(1) Pikiran-pikiran menakutkan (scary-thought)
(2) Ada gangguan (distraction)
(3) Pikiran bersaing (racing mind)
(4) Tidak yakin atau ragu-ragu (uncertainty)
(5) Tidak logis (illogic)
(6) Lupa (forgetfulness)
(7) Kecurigaan (suspicion)
(8) Lekas marah (irritability)
(9) Kecemasan (anxiety)
(10) Depresi (depression)
(11) Gusar atau marah-marah (anger)
(12) Kesepian (lonliness)
(13) Rendah diri (low-self esteem)
(14) Gangguan perut (upset stomach)
(15) Keletihan (fatigue)
(16) Sakit punggung (backache)
(17) Sakit kepala (headache)
(18) Sembelit (constipation)
(19) Diare (diarrhea)
(20) Dada sumpek (chest tightness)
(21) Kebiasaan tidur yang buruk (poor sleeping habits)
(22) Kebiasaan bangun yang buruk (poor calling habits)
(23) Berbicara cepat (rapid speech)
(24) Menggunakan obat-obatan (drug use)
(25) Mengendarai dengan sembrono (reckless driving)
(26) Merokok berlebihan (excessive smoking)
(27) Minum (Alkohol) berlebihan (excessive drinking)

Dari beberapa gejala stres yang telah disampaikan oleh para ahli ada yang
telah mengarah kepada coping yang tidak efektif (maladaptif) seperti Kebiasaan
tidur yang buruk, kebiasaan bangun yang buruk, berbicara cepat, menggunakan
obat-obatan, mengendarai dengan sembrono, merokok berlebihan dan minum
alkohol dan obat terlarang.

A.4. Pengukuran Tingkat Stres dengan Metode Holmes dan Rahe


Pada tahun 1967, Dr. Thomas H. Holmes dan Dr. Richard H. Rahe telah
mengembangkan alat ukur stres diri yang disebut “Social Readjusment Rating
Scale” (Tabel 1). Holmes dan Rahe mengkategorikan tingkat stres kedalam empat
katagori. Skor kurang dari 150 sebagai stres minor, skor 150-199 tergolong stres
ringan, skor 200-299 tergolong stres sedang dan skor di atas 300 tergolong stres
mayor/berat. Holmes dan Rahe memperkirakan bahwa 35 persen individu dengan
skor di bawah 150 akan mengalami sakit atau kecelakaan dalam dua tahun, 51
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
10

persen individu dengan skor antara 150-300 dan mereka dengan skor di atas 300
berpeluang 80% mengalami sakit atau kecelakaan. Dalam penelitian ini tidak semua
item yang dinyatakan oleh Holmes dan Rahe diadopsi, hanya 10 item dan
disesuaikan dengan kondisi di lapangan yaitu: kematian pasangan, perpisahan
perkawinan, kehilangan aset, perubahan kondisi keuangan, kematian anggota
keluarga, luka atau sakit parah, kematian teman dekat, perubahan jenis
pekerjaan,pinjaman keuangan dan perubahan tempat tinggal. Pengkatagoriannya
tetap mengadopsi dari Holmes dan Rahe.

Tabel 1. Penyebab dan tingkat stres menurut metode Holmes dan Rahe
N Penyebab Stres Skor
o
1 Kematian pasangan 100
2 Perceraian 73
3 Perpisahan perkawinan 65
4 Masuk penjara 63
5 Kematian anggota keluarga 63
6 Luka atau sakit parah 53
7 Perkawinan 50
8 Dipecat dari pekerjaan/kehilangan aset 47
9 Pensiun 45
10 Rekonsiliasi perkawinan 45
11 Perubahan kesehatan atau perilaku anggota keluarga 44
12 Kehamilan 40
13 Masalah seksual 40
14 Memperoleh anggota keluarga baru lewat kelahiran atau 39
adopsi
15 Penyesuaian bisnis secara besar-besaran 39
16 Perubahan kondisi keuangan 38
17 Kematian teman dekat 37
18 Perubahan jenis pekerjaan 36
19 Perubahan banyaknya argumen dengan rekan 35
20 Mengambil hipotek baru/pinjaman keuangan 31
21 Penyitaan hipotek atau pinjaman 30
22 Perubahan tanggung jawab 29
23 Anak meninggalkan rumah 29
24 Masalah dengan mertua 29
25 Prestasi individu yang luar biasa 28
26 Rekan mulai/berhenti bekerja 26
27 Mulai atau tamat sekolah 26
28 Perubahan kondisi kehidupan 25
29 Revisi kebiasaan individu 24
30 Masalah dengan pimpinan 23
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
11

31 Perubahan jam atau kondisi kerja 20


32 Perubahan tempat tinggal 20
33 Perubahan sekolah 20
34 Perubahan kebiasaan tamasya 19
35 Perubahan aktivitas gereja 19
36 Perubahan aktivitas sosial 18
37 Pembelian besar seperti mobil baru 17
38 Perubahan kebiasaan tidur 16
39 Perubahan pertemuan keluarga 15
40 Perubahan kebiasaan makan 15
41 Liburan 13
42 Ketaatan terhadap Natal atau liburan 12
43 Pelanggaran kecil pada hukum 11

A.5. Pengukuran Tingkat Stres Metode Family Inventory of Life


Family Inventory Life Efents and Changes (FILE) mengukur setumpuk
peristiwa yang dialami keluarga dan dikembangkan sebagai indeks stres keluarga
(McCubbin, Patterson & Wilson, 1979). Versi pertama FILE (McCubbin, Patterson
& Wilson, 1979) terdiri dari 171 item yang secara konseptual dikelompokkan
menjadi delapan kategori yaitu perkembangan keluarga, pekerjaan, manajemen,
kesehatan, keuangan, aktivitas sosial, hukum dan hubungan keluarga luas. Pemilihan
item pertanyaan ditentukan oleh perubahan kehidupan individu (Dohrenwend,
Krasnoff, Askenasy & Dohrenwend, 1978; Coddington, 1972; Holmes dan Rahe,
1967). Selain itu, dimasukkan pula perubahan situasional dan perkembangan yang
dialami keluarga pada tahapan yang berbeda pada siklus kehidupan. Item-item
tersebut berasal dari pengalaman klinis dan penelitian tentang stres keluarga serta
dari literatur tentang stresor yang diidentifikasi selama dekade terakhir. Dalam
penelitian ini item pertanyaan tidak semuanya diadopsi, namun disesuaikan dengan
kondisi sampel penelitian. Pertanyaan terutama yang berhubungan dengan gejala-
gejala stres yang dialami keluarga baik secara fisik, psikis, kognitif dan perilaku
yang diakibatkan oleh bencana gempa dan tsunami.

A.6. Model Stres Keluarga


Model ABCX dari McCubbin dan Patterson (1980) merupakan bentuk
pengembangan dari teori ABCX-nya Hill. Mengingat teori Hill meliputi variabel-
variabel krisis, teori McCubbin dan Patterson menjelaskan perbedaan dalam
adaptasi keluarga pasca krisis. Setiap variabel asli (ABCX) diuji kembali dan
definisi-definisinya dimodifikasi. Setiap variabel dalam model digambarkan secara
ringkas pada Gambar 1.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
12

Gambar 1. Model T ganda ABCX (McCubbin & Patterson, 1980)

Keterangan:
X = Krisis keluarga/masalah keluarga
R = Tingkat regeneratif keluarga
T = Tipologi keluarga
AA = Setumpuk stresor keluarga
BB = Sumberdaya coping keluarga
BBB = Dukungan sosial
CC = Persepsi rumahtangga terhadap stresor
CCC = Skema keluarga
XX = Adaptasi Keluarga
PSC = Penyelesaian masalah keluarga

Dalam Model ABCX T ganda setumpuk stresor keluarga (AA) yaitu


beberapa stresor utama, yang bertumpuk menjadi “stresor keluarga", ini berpengaruh
penting dalam tingkat adaptasi keluarga, karena krisis keluarga berkembang dan
berubah dalam satu kurun waktu, penumpukan stresor (AA) juga diakibatkan oleh
perubahan siklus hidup dan ketegangan yang tidak terse- lesaikan.
Persepsi keluarga terhadap stresor (CC) pada dasarnya menyangkut
penilaian keluarga terhadap stres yang dialami. Penilaian dan adanya tuntutan
keluarga, secara sadar atau tidak sadar memunculkan interpretasi dari pengalaman
sebelumnya. Untuk memenuhi berbagai tuntutan, keluarga memiliki potensi yaitu
sumberdaya dan kemampuan. Dalam model ABCX T ganda, sumberdaya dan
kemampuan keluarga terdiri dari sumberdaya pribadi anggota keluarga dan
sumber-sumber internal dan sistem keluarga (faktor BBB) mencakup semua
karakteristik, kompetensi dan makna personal termasuk pendidikan, kesehatan,
karakteristik kepribadian dan dukungan masyarakat yang merupakan lembaga di
luar keluarga yang dapat diakses untuk memenuhi tuntutan keluarga.
Dalam model ABCX T ganda, faktor tipologi keluarga menjadi suatu hal
penting karena tipologi keluarga (faktor T) merupakan suatu kekuatan yang dapat
mempengaruhi bagaimana penyesuaian dan adaptasi keluarga dilakukan, karena
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
13

keluarga memegang teguh kepercayaan atau asumsi-asumsi yang disebut skema


keluarga yakni hubungan satu sama lain dan hubungan keluarga dengan masyarakat
dan sistem. Untuk mengatasi berbagai stresor dan krisis, keluarga melakukan coping
adaptif (PSC). Dalam proses coping keluarga mengalokasikan sumberdaya dan
kemampuan semua anggota keluarganya untuk memenuhi berbagai tuntutan yang
dihadapi keluarga.
Adaptasi Keluarga (XX) dalam model ABCX Ganda terdiri dari tiga tingkat
analisis yaitu anggota keluarga (individu), unit keluarga dan komunitas. Masing-
masing unit ini memiliki tuntutan dan kemampuan. Adaptasi keluarga dicapai lewat
hubungan timbal balik, tuntutan dari satu unit keluarga dipenuhi lewat
kemampuan dari yang lain, untuk mencapai suatu keseimbangan secara simultan
pada dua tingkat interaksi primer antara individu dan sistem keluarga dan antara
sistem keluarga dengan komunitas diperlukan adanya adaptasi keluarga. Adaptasi
keluarga (faktor XX) merupakan outcome dari upaya keluarga untuk mencapai
tingkatan baru dari keseimbangan dan penyesuaian setelah krisis keluarga. Dalam
penelitian ini Model ABCX dari McCubbin dan Patterson (1980), dijadikan sebagai
kerangka konseptual yang melandasi pembuatan kerangka berpikir operasional.

B. COPING

B.1. Pengertian Coping


Coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan
seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam
kondisi yang penuh stres (Achir Yani, 1997). Menurut Sarafino (2002), coping
adalah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Dalam
pandangan Haber dan Runyon (1984), coping adalah semua bentuk perilaku dan
pikiran (negatif atau positif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani
individu agar tidak menimbulkan stres.
Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa keadaan stres yang dialami
seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara
fisiologis maupun psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif ini terus
terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasinya. Tindakan yang
diambil individu dinamakan strategi coping. Strategi coping sering dipengaruhi oleh
latar belakang budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan,
kepribadian, konsep diri, faktor sosial dan lain-lain sangat berpengaruh pada
kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya.
Dari beberapa pengertian coping yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa coping merupakan (1) respon perilaku dan fikiran terhadap stres;
(2) penggunaan sumber yang ada pada diri individu atau lingkungan sekitarnya; (3)
pelaksanaannya dilakukan secara sadar oleh individu dan (4) bertujuan untuk
mengurangi atau mengatur konflik-konflik yang timbul dari diri pribadi dan di luar
dirinya (internal or external conflict), sehingga dapat meningkatkan kehidupan yang
lebih baik. Perilaku coping dapat juga dikatakan sebagai transaksi yang dilakukan
individu untuk mengatasi atau mengurangi berbagai tuntutan (internal dan eksternal)
sebagai sesuatu yang membebani dan mengganggu kelangsungan hidupnya.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
14

B.2. Strategi Coping


Strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa
menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya (resources) yang
dimiliki. Sumberdaya coping yang dimiliki mempengaruhi strategi coping. Menurut
John, Catherine dan MacArthur (1998), ada dua jenis mekanisme coping yang
dilakukan individu yaitu coping yang berpusat pada masalah (problem focused form
of coping mechanism/direct action) dan coping yang berpusat pada emosi (emotion
focused of coping/palliatif form).
Menurut Stuart dan Sundeen (1991), yang termasuk mekanisme coping yang
berpusat pada masalah adalah:
(1) Konfrontasi (Confrontative) adalah usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau
menyelesaikan masalah secara agresif dengan menggambarkan tingkat
kemarahan serta pengambilan resiko.
(2) Isolasi. Individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu
dengan masalah yang dihadapi.
(3) Kompromi. Mengubah keadaan secara hati-hati, meminta bantuan kepada
keluarga dekat dan teman sebaya atau bekerja sama dengan mereka.

Mekanisme coping yang berpusat pada emosi menurut Stuart dan Sundeen
(1991) adalah sebagai berikut:
(1) Denial, menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada
dirinya.
(2) Rasionalisasi, menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan diterima
oleh orang lain untuk menutupi ketidakmampuan dirinya. Dengan rasionalisasi
kita tidak hanya dapat membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi juga merasa
sudah selayaknya berbuat demikian secara adil.
(3) Kompensasi, menunjukkan tingkah laku untuk menutupi ketidakmampuan
dengan menonjolkan sifat yang baik, karena frustasi dalam suatu bidang maka
dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi timbul
karena adanya perasaan kurang mampu.
(4) Represi, yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari
ingatannya dan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan
(5) Sublimasi, yaitu mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau
kemampuan dengan sikap positif.
(6) Identifikasi, yaitu meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku orang lain.
(7) Regresi, yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti
anak kecil
(8) Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau
melampiaskan kesalahannya kepada orang lain
(9) Konversi, yaitu mentransfer reaksi psikologi ke gejala fisik.
(10) Displacement, yaitu reaksi emosi terhadap seseorang kemudian diarahkan
kepada seseorang lain
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
15

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), secara umum strategi coping dapat
dibagi menjadi dua yakni:
(1) Strategi coping berfokus pada masalah. Strategi coping berfokus pada masalah
adalah suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah. Individu
akan cenderung menggunakan perilaku ini bila dirinya menilai masalah yang
dihadapinya masih dapat dikontrol dan dapat diselesaikan. Yang termasuk
strategi coping berfokus pada masalah adalah:
(a) Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha
tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan
analitis dalam menyelesaikan masalah. Contohnya seseorang yang
melakukan coping planful problem solving akan bekerja dengan penuh
konsentrasi dan perencanaan yang cukup baik serta mau merubah gaya
hidupnya agar masalah yang dihadapi secara berlahan-lahan dapat
terselesaikan.
(b) Confrontative coping yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat
menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil. Contohnya seseorang
yang melakukan coping confrontative akan menyelesaikan masalah dengan
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku walaupun
kadang kala mengalami resiko yang cukup besar.
(c) Seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak
luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional.
Contohnya seseorang yang melakukan coping seeking social support akan
selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan cara mencari bantuan dari
orang lain di luar keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan dan
profesional, bantuan tersebut bisa berbentuk fisik dan non fisik.

Perilaku coping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika


individu merasa bahwa sesuatu yang kontruktif dapat dilakukan terhadap situasi
tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat mengubah situasi,
contoh penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al. (1998), yakni strategi coping
yang digunakan rumahtangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akibat
banjir besar di Bangladesh adalah strategi coping berpusat pada masalah yaitu:
melakukan pinjaman dari bank, membeli makanan dengan kredit, mengubah
perilaku makan dan menjual aset yang masih dimiliki.
(2) Strategi coping berfokus pada emosi (Lazarus & Folkman, 1984) adalah
melakukan usaha-usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa
melakukan usaha mengubah stressor secara langsung. Yang termasuk strategi
coping berfokus pada emosi adalah:
(a) Positive reappraisal (memberi penilaian positif), adalah bereaksi dengan
menciptakan makna positif yang bertujuan untuk mengembangkan diri
termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Contohnya adalah
seseorang yang melakukan coping positive reappraisal akan selalu berfikir
positif dan mengambil hikmahnya atas segala sesuatu yang terjadi dan tidak
pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang masih
dimilikinya
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
16

(b) Accepting responsibility (penekanan pada tanggung jawab) yaitu bereaksi


dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang
dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya.
Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping accepting
responsibility akan menerima segala sesuatu yang terjadi saat ini sebagai
nama mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang
dialaminya
(c) Self controlling (pengendalian diri) yaitu bereaksi dengan melakukan
regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya adalah seseorang
yang melakukan coping ini untuk penyelesaian masalah akan selalu berfikir
sebelum berbuat sesuatu dan menghindari untuk melakukan sesuatu
tindakan secara tergesa-gesa
(d) Distancing (menjaga jarak) agar tidak terbelenggu oleh permasalahan.
Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini dalam penyelesaian
masalah, terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang
sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolah-olah tidak pernah
terjadi apa-apa.
(e) Escape avoidance (menghindarkan diri) yaitu menghindar dari masalah
yang dihadapi. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini
untuk penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang selalu menghindar
dan bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan yang negatif
seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang dan tidak mau
bersosialisasi dengan orang lain

Perilaku coping yang berpusat pada emosi cenderung dilakukan bila


individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat
menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu mengatasi
situasi tersebut, contohnya masih dalam penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al.
(1998), yakni strategi coping yang digunakan rumahtangga dalam mengatasi
masalah pangan akibat banjir besar di Bangladesh berpusat pada emosi adalah
pasrah menerima apa adanya, berdo’a dan mengharapkan bantuan, simpati dan belas
kasihan dari masyarakat dan pemerintah.
Jenis coping mana yang akan digunakan dan bagaimana dampaknya, sangat
tergantung pada jenis stres atau masalah yang dihadapi. Pada situasi yang masih
dapat berubah secara konstruktif (seperti mengalami kelaparan akibat bencana)
strategi yang digunakan adalah problem focused. Pada situasi yang sulit seperti
kematian pasangan, strategi coping yang dipakai adalah emotion focused, karena
diharapkan individu lebih banyak berdo’a, bersabar dan tawakkal. Keberhasilan atau
kegagalan dari coping tersebut akan menentukan apakah reaksi terhadap stres akan
menurun dan terpenuhinya berbagai tuntutan yang diharapkan.
Menurut Friedman (1998), terdapat dua tipe strategi coping keluarga, yaitu
internal atau intrafamilial dan eksternal atau ekstrafamilial. Ada tujuh strategi
coping internal, yaitu:
(1) Mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga. Untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapinya, keluarga seringkali melakukan upaya untuk
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
17

menggali dan mengandalkan sumberdaya yang dimiliki. Keluarga melakukan


strategi ini dengan membuat struktur dan organisasi dalam keluarga, yakni
dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota
keluarga yang lebih ketat. Hal ini diharapkan setiap anggota keluarga dapat
lebih disiplin dan patuh, mereka harus memelihara ketenangan dan dapat
memecahkan masalah, karena mereka yang bertanggung jawab terhadap diri
mereka sendiri.
(2) Penggunaan humor. Menurut Hott (Friedman, 1998), perasaan humor
merupakan aset yang penting dalam keluarga karena dapat memberikan
perubahan sikap keluarga terhadap masalah yang dihadapi. Humor juga diakui
sebagai suatu cara bagi seseorang untuk menghilangkan rasa cemas dan stres.
(3) Musyawarah bersama (memelihara ikatan keluarga). Cara untuk mengatasi
masalah dalam keluarga adalah: adanya wak -tu untuk bersama-sama dalam
keluarga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan malam bersama,
adanya kegiatan bersama keluarga, beribadah bersama, bermain bersama,
bercerita pada anak sebelum tidur, menceritakan pengalaman pekerjaan maupun
sekolah, tidak ada jarak diantara anggota keluarga. Cara seperti ini dapat
membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan memelihara serta dapat
mengatasi tingkat stres, ikut serta dengan aktivitas setiap anggota keluarga
merupakan cara untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat dalam sebuah
keluarga.
(4) Memahami suatu masalah. Salah satu cara untuk menemukan coping yang
efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah
yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya yang
dialami. Menambah pengetahuan keluarga merupakan cara yang paling efektif
untuk mengatasi stresor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian
yang positif. Menurut Folkman et al. (Friedman, 1998), keluarga yang
menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dari suatu kejadian
yang penyebab stres.
(5) Pemecahan masalah bersama. Pemecahan masalah bersama dapat digambarkan
sebagai suatu situasi dimana setiap anggota keluarga dapat mendiskusikan
masalah yang dihadapi secara bersama-sama dengan mengupayakan solusi atas
dasar logika, petunjuk, persepsi dan usulan dari anggota keluarga yang berbeda
untuk mencapai suatu kesepakatan.
(6) Fleksibilitas peran. Fleksibilitas peran merupakan suatu strategi coping yang
kokoh untuk mengatasi suatu masalah dalam keluarga. Pada keluarga yang
berduka, fleksibilitas peran adalah sebuah strategi coping fungsional yang
penting untuk membedakan tingkat berfungsinya sebuah keluarga.
(7) Normalisasi. Salah satu strategi coping keluarga yang biasa dilakukan untuk
menormalkan keadaan sehingga keluarga dapat melakukan coping terhadap
sebuah stressor jangka panjang yang dapat merusak kehidupan dan kegiatan
keluarga. Knafl dan Deatrick (Friedman, 1998), mengatakan bahwa normali-
sasi merupakan cara untuk mengkonseptualisasikan bagaimana keluarga
mengelola ketidakmampuan seorang anggota keluarga, sehingga dapat
menggambarkan respons keluarga terhadap stres.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
18

Strategi coping eksternal ada empat yaitu:


(1) Mencari informasi. Keluarga yang mengalami masalah rnemberikan respons
secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berubungan
dengan stresor. Hal ini berfungsi untuk mengontrol situasi dan mengurangi
perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan membantu keluarga
menilai stresor secara lebih akurat.
(2) Memelihara hubungan aktif dengan komunitas. Coping berbeda dengan coping
yang menggunakan sistem dukungan sosial. Coping ini merupakan suatu coping
keluarga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum, bukan
sebuah coping yang dapat meningkatkan stresor spesifik tertentu. Dalam hal ini
anggota keluarga adalah pemimpin keluarga dalam suatu kelompok, organisasi
dan kelompok komunitas.
(3) Mencari pendukung sosial. Mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja
sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama.
Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga,
kelompok profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan
pada kepentingan bersama. Menurut Caplan (Friedman, 1998), terdapat tiga
sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial
informal, penggunaan sistem sosial formal, dan penggunaan kelompok-
kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal yang
biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh masyarakat. Penggunaan sistem
sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika keluarga gagal untuk menangani
masalahnya sendiri, maka keluarga harus dipersiapkan untuk beralih kepada
profesional bayaran untuk memecahkan masalah. Penggunaan kelompok
mandiri sebagai bentuk dukungan sosial dilakukan melalui organisasi.
(4) Mencari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan keluarga berusaha
mencari dukungan spiritual anggota keluarga untuk mengatasi masalah.
Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa merupakan cara paling penting bagi
keluarga dalam mengatasi stres.

Strategi coping yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen (1991) dan
Lazarus dan Folkman (1984) memiliki beberapa persamaan yaitu secara garis besar
strategi coping dilakukan dengan dua cara yaitu berfokus pada masalah dan berfokus
pada emosi. Coping berfokus pada masalah menurut Stuart dan Sundeen (1991)
dapat dilakukan dengan cara konfrontasi dan kompromi, hal yang sama juga
dikatakan oleh Lazarus dan Folkman (1984) bahwa coping berfokus pada masalah
dapat dilakukan dengan confrontative dan seeking social support. Kedua jenis
strategi coping memiliki pengertian yang sama. Selain persamaan ada juga
perbedaan dari kedua pendapat tersebut yaitu pada coping yang berfokus pada
masalah yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen (1991) menambahkan strategi
coping Isolasi dan Lazarus dan Folkman (1984) memasukkan planful problem
solving, kedua coping tersebut memiliki pengertian yang bertolak belakang.
Persamaan coping yang berfokus pada emosi yang dikemukakan oleh Stuart
dan Sundeen dengan Lazarus dan Folkman yaitu pada hal-hal yang positif yakni
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
19

identifikasi dan sublimasi dengan positive reappraisal, accepting responsibility dan


self controlling. Perbedaan kedua pendapat tersebut adalah strategi coping berfokus
pada emosi yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen lebih banyak yang
mengarah kepada perilaku yang negatif atau tidak menguntungkan seperti denial,
rasionalisasi, kompensasi, represi, regresi, konversi, proyeksi dan displacement.
Strategi coping yang berfokus pada emosi yang dikemukakan oleh Lazarus dan
Folkman lebih banyak hal-hal yang positif seperti positive reappraisal, accenting
responsibility dan self controlling.
Coping yang dikemukakan oleh Friedman tidak jauh berbeda dengan coping
yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Strategi coping dengan cara
memahami suatu masalah dan mencari dukungan spiritual memiliki pengertian yang
sama dengan coping positive reappraisal. Accepting responsibility memiliki
pengertian yang sama dengan pemecahan masalah bersama. Mencari informasi sama
dengan self controlling. Seeking social support
sama maksudnya dengan mencari pendukung sosial. Walaupun banyak persamaan
jenis coping yang dikemukakan oleh dua tokoh tersebut masih ada perbedaan yaitu
adanya perilaku coping yang negatif yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman
dan semua coping yang dikemukakan oleh Friedman bersifat positif.
Dalam penelitian ini, strategi coping yang digunakan adalah strategi coping
yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman karena dalam strategi coping ini
terlihat dengan jelas upaya penyelesaian masalah yang dilakukan melalui starategi
coping berfokus pada masalah yaitu melalui coping planful problem solving. Selain
itu strategi coping yang berfokus pada emosi lebih banyak ke arah yang positif
seperti positive reappraisal, accenting responsibility dan self controlling. Hal ini
sangat sesuai dengan lokasi penelitian yang masyarakatnya yang sebagian besar
beragama islam.

B.3. Sumberdaya Coping


Sumberdaya mengandung dua arti yakni sumber dan daya, yang bermakna sebagai
sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan.
Dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai input dari proses produksi (Suratman,
1994/1995). Menurut Firebaugh dan Deacon (1988), sumber- daya diartikan sebagai:
(1) Alat atau bahan yang mempunyai kemampuan untuk memenuhi atau mencapai
tujuan
(2) Bahan yang tersedia atau kemampuan potensial untuk mengatasi keadaan.
Bahan tersebut dapat bersifat materi atau non materi.

Dengan demikian sumberdaya merupakan alat dan potensi yang digunakan


untuk mencapai kebutuhan. Dalam keluarga sumberdaya terdiri atas:
(1) Unsur manusia: jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, hubungan antar
anggota dalam keluarga dan hubungan antara keluarga dengan keluarga lain, dan
faktor-faktor yang ada pada manusia seperti pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skills) dan minat (intrest).
(2) Unsur materi: pendapatan berupa uang atau barang, kekayaan milik keluarga
dapat berupa lahan (pekarangan, kebun, sawah serta rumah yang dihuni
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
20

(3) Unsur waktu. Menurut Steidl dan Bratton (1968), waktu adalah salah satu
sumberdaya, sehingga pemanfaatan waktu perlu dikelola agar seluruh kegiatan
dapat dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Sumberdaya coping dapat diartikan segala sesuatu yang dimiliki keluarga


baik bersifat fisik dan non fisik untuk membangun perilaku coping. Sumberdaya
coping tersebut bersifat subjektif sehingga perilaku coping bisa bervariasi pada
setiap orang. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), cara seseorang atau keluarga
melakukan strategi coping tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Adapun
sumberdaya tersebut antara lain:
(1) Kondisi kesehatan. WHO (1984) mendefinisikan sehat sebagai status kenyamanan
menyeluruh dari jasmani, mental dan sosial, dan bukan hanya tidak adanya penyakit
atau kecacatan. Kesehatan mental diartikan sebagai kemampuan berfikir jernih dan
baik, dan kesehatan sosial memiliki kemampuan untuk berbuat dan mempertahankan
hubungan dengan orang lain. Kesehatan jasmani adalah dimensi sehat yang nyata dan
memiliki fungsi mekanistik tubuh. Kondisi kesehatan sangat diperlukan agar seseorang
dapat melakukan coping dengan baik agar berbagai permasalahan yang dihadapi dapat
diselesaikan dengan baik.
(2) Kepribadian adalah perilaku yang dapat diamati dan mempunyai ciri-ciri biologi,
sosiologi dan moral yang khas baginya yang dapat membedakannya dari
kepribadian yang lain (Littauer, 2002). Pendapat lain menyatakan bahwa
kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas
dikaitkan dengan diri seseorang. Dapat dikatakan bahwa kepribadian itu
bersumber dari bentukan-bentukan yang terima dari lingkungan, misalnya
bentukan dari keluarga pada masa kecil dan juga bawaan sejak lahir misalnya
orang tua membiasakan anak untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri,
menyelesaikan setiap permasalahan bersama-sama, tidak mudah
tersinggung/marah dan harus selalu bersikap optimis. Menurut Maramis
(1998), kepribadian dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (a) Introvert,
adalah orang yang suka memikirkan tentang diri sendiri, banyak fantasi, lekas
merasakan kritik, menahan ekspresi emosi, lekas tersinggung dalam diskusi,
suka membesarkan kesalahannya, analisis dan kritik terhadap diri sendiri dan
pesimis; dan (b) Ekstrovert, adalah orang yang melihat kenyataan dan
keharusan, tidak lekas merasakan kritikan, ekspresi emosinya spontan, tidak
begitu merasakan kegagalan, tidak banyak mengadakan analisis dan kritik
terhadap diri sendiri, terbuka, suka berbicara dan optimis.
(3) Konsep diri. Menurut Maramis (1998), konsep diri adalah semua ide, pikiran,
kepercayaan dan pendirian seseorang yang diketahui dalam berhubungan
dengan orang lain. Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman
berhubungan dengan orang lain misalnya orang tua yang menginginkan anak-
anaknya tetap sekolah walaupun dalam keadaan darurat, sehingga berupaya
keras mencarikan sekolah untuk anaknya.
(4) Dukungan sosial adalah adanya keterlibatan orang lain dalam menyelesaikan
masalah. Individu melakukan tindakan kooperatif dan mencari dukungan dari
orang lain, karena sumberdaya sosial menyediakan dukungan emosional,
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
21

bantuan nyata dan bantuan informasi. Menurut Cronkite dan Moos (Holahan &
Moos, 1987), orang yang mempunyai cukup sumberdaya sosial cenderung
menggunakan strategi problem-focused coping dan meng- hindari strategi
avoidance coping dalam menyelesaikan berbagai masalah.
(5) Aset ekonomi. Keluarga yang memiliki aset ekonomi akan mudah dalam mela-
kukan coping untuk penyelesaian masalah yang sedang dihadapi. Namun
demikian, tidak berimplikasi terhadap bagaimana keluarga tersebut dapat
menggunakannya (Lazarus & Folkman, 1984). Menurut Bryant (1990) aset
adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga. Aset akan berperan
sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki banyak
aset cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memilki
aset terbatas.

Dalam penelitian ini sumberdaya coping yang digunakan adalah karak-


teristik sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga, umur, pendidikan ayah/ibu,
pekerjaan, pendapatan keluarga, aset ekonomi, dan tingkat kesehatan), ciri-ciri
pribadi (kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial.

C. KEBERFUNGSIAN KELUARGA

C.1. Definisi Keluarga


Definisi keluarga menurut Mattesssich da Hill (Zetlin et al., 1995) adalah
suatu kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal, dan
hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal yaitu
hubungan intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi
dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan memelihara
tugas-tugas keluarga. Para ahli keluarga seperti Gelles (1995); Vosler (1996); Day et
al. (1995) dan UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, mendefinisikan keluarga
sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan
dari semua institusi, yang merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau
lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah,
hubungan darah dan adopsi.
Menurut BKKBN (1997), keluarga yang sejahtera diartikan sebagai
keluarga yang dibentuk berdasarkan atas ikatan perkawinan yang sah, mampu
memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota
keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Keluarga
sebagai unit terkecil dalam masyarakat, memiliki kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan anak-anaknya yang meliputi pendidikan, agama, kesehatan dan lain
sebagainya.

C.2. Ruang Lingkup Ilmu Keluarga


Ilmu keluarga secara ontologi membatasi lingkup penelaahan keilmuannya
pada jangkauan fenomena serta interpretasi atau penafsiran hakekat realitas dari
objek kegiatan organisasi kehidupan yang paling primer yang disebut keluarga.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
22

Objek formal dari ilmu keluarga adalah (1) terjadinya/terbentuknya keluarga


(perkawinan); (2) memelihara keluarga (mengusahakan makanan, pakaian,
perumahan, pendidikan/pengasuhan, kesehatan, dan lain-lain); (3) meningkatkan
mutu/kualitas keluarga dan anggota-anggotanya (interaksi antar anggota dalam
keluarga, keluarga dengan keluarga lain dan masyarakat luas); (4) tingkat kehidupan
yang dicapai, kualitas individu-individu yang akan terjun ke masyarakat luas
dan/atau membentuk keluarga-keluarga baru (produk yang dihasilkan).
Dilihat dari segi epistemologi tampak bahwa ilmu keluarga dalam
memperoleh, menilai dan memahami fenomena serta realitas dari fenomena obyek
formalnya (misalnya, pola asuh anak dalam keluarga, interaksi antar anggota dalam
keluarga yang berakibat keharmonisan atau konflik, perilaku keluarga pada setiap
perubahan strukturnya) menerapkan metode-metode ilmiah secara konsisten,
sehingga dicapai hasil yang obyektif, rasional, logis, empiris, pragmatis dan
transparan. Secara aksiologi, ilmu keluarga merupakan alat untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia seutuhnya dalam konteks kehidupan keluarga dan
interaksinya dengan lingkungan. Biasanya kajian dalam ilmu keluarga akan
berkaitan dengan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, hukum, bisnis.dan
biologi/ekologi.

C.3. Landasan Teori (Struktural Fungsional)


Para sosiolog ternama seperti William F Ogburn dan Talcott Parsons
mengemukakan pentingnya pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan
keluarga saat ini, karena pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam
kehidupan sosial yang kemudian diakomudasi dalam fungsi yang sesuai dengan
posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi, 1999). Newman dan
Grauerholz (2002) mengatakan bahwa pendekatan teori struktural fungsional dapat
digunakan untuk menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik dan
menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Macionis (1995) mengatakan
pendekatan teori struktural fungsional juga menganalisis adanya penyimpangan,
misalnya penyimpangan nilai-nilai budaya dan norma, kemudian memperhitungkan
seberapa besar penyimpangan dapat berkontribusi pada stabilitas atau perubahan
sosial.
Menurut Megawangi (1999), konsep teori struktural fungsional antara lain:
(1) Setiap subsistem, elemen atau individu dalam sebuah sistem mempunyai peran
dan konstribusi kepada sebuah sistem secara keseluruhan
(2) Adanya saling keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dalam sebuah
sistem (Interdepedensi)
(3) Keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dicapai melalui konsensus
daripada konflik
(4) Untuk mencapai keseimbangan diperlukan keteraturan atau integrasi antar
subsistem, elemen atau individu
(5) Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan adanya perubahan secara
evolusioner.
Penganut teori ini melihat sistem sosial sebagai sistem yang harmonis,
berkelanjutan, dan senantiasa menuju kepada suatu keseimbangan, konsep dari
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
23

keseimbangan mengacu kepada konsep homeostasis suatu organisme, yaitu


kemampuan untuk menjaga stabilitas agar kelangsungan sistem tetap terjaga
(Winton, 1995). Teori struktural fungsional menjadi keharusan yang harus ada agar
keseimbangan sistem tercapai baik pada tingkat masyarakat maupun pada tingkat
keluarga. Adanya struktur atau strata dalam keluarga dimana masing-masing
individu mengetahui dimana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi
struktur dapat menciptakan ketertiban sosial. Menurut Megawangi (1999), ada tiga
elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu:
(1) Berdasarkan status sosial,
keluarga inti biasanya mencakup tiga struktur utama, yaitu bapak/suami (pencari
nafkah), ibu/istri (ibu rumahtangga), dan anak-anak (balita, sekolah, remaja,
dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda.
(2) Konsep peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu menurut
status sosialnya dalam sebuah sistem. Ketidakseimbangan antara peran
instrumental (oleh suami/bapak) dan eksprensif (oleh istri/ibu) dalam keluarga
akan membuat keluarga tidak seimbang.
(3) Norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana
sebaiknya seseorang bertindak atau bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya.
Norma sosial berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian
dari kebudayaan. Setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik
untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam hal pembagian tugas
dalam rumahtangga, yang merupakan bagian dari struktur keluarga untuk
mengatur tingkah laku setiap anggota dalam keluarga.

C.4. Fungsi Keluarga


Salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional adalah dalam
setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas, fungsi
tersebut terpolakan dalam sebuah struktur hirarkis yang harmonis, dan komitmen
terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Peran adalah sejumlah kegiatan
yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga sebagai subsistem
keluarga dengan baik untuk mencapai tujuan sistem.
Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar
sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan,
integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga
(Megawangi, 1999). Resolusi Majelis Umum PBB menguraikan fungsi utama
keluarga adalah “Keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan
sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan
lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera” (Megawangi,
1994). Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu peningkatan
fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran dimana sistem
sosial dibangun.
Di Indonesia, PP Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera menjelaskan bahwa keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya,
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
24

atau ibu dan anaknya. Menurut BKKBN (1997), fungsi keluarga secara umum
diarahkan sebagai berikut:
(1) Fungsi Keagamaan, keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh
anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insan-insan
agamais yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh
anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka
ragam dalam satu kesatuan.
(3) Fungsi Cinta Kasih, keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap
hubungan anak dengan anak, suami dengan isteri, orang tua dengan anaknya,
serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah
utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin.
(4) Fungsi Melindungi, dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa aman dan
kehangatan
(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang
direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang
penuh iman dan takwa.
(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga untuk
mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupan
di masa depan.
(7) Fungsi Ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan
keluarga.
(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya
dukung alam dan lingkungan yang berubah.

Menurut Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga kita harus


kembali kepada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai fungsi
yang memungkinkan masyarakat bertahan walaupun fungsi-fungsi tersebut sangat
beragam. Kesuksesan keluarga dapat dipandang sangat berfungsi dan tidak sukses
atau disfungsi. Keluarga yang mengalami stres berisiko mengalami disfungsi kecuali
mereka dapat memperoleh dukungan untuk berfungsi dengan baik. Fungsi keluarga
ada lima, yakni:
(1) Reproduksi. Keluarga menjamin bahwa populasi masyarakat akan stabil,
sehingga sejumlah anak akan terlahir dan dirawat untuk menggantikan mereka
yang telah meninggal
(2) Sosialisasi/Pendidikan. Keluarga menjamin bahwa nilai-nilai masyarakat,
kepercayaan, sikap, pengetahuan, keahlian dan teknologi akan ditransfer kepada
yang lebih muda
(3) Peran Sosial. Keluarga memberikan identitas bagi keturunannya (ras, etnis,
agama, sosial ekonomi dan peran gender). Sebuah identitas mencakup perilaku
dan kewajiban.
(4) Dukungan Ekonomi. Keluarga memberikan tempat berlindung, memelihara dan
melindungi. Pada beberapa keluarga, semua anggota keluarga kecuali anak yang
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
25

masih kecil memberikan kontribusi terhadap fungsi ekonomi melalui produksi


barang. Pada keluarga lainnya, salah satu atau kedua orang tua membayar
barang yang dibeli oleh semua anggota keluarga sebagai konsumen
(5) Dukungan Emosional. Keluarga memberikan pengalaman pertama pada anak
dalam melakukan interaksi sosial. Interaksi ini dapat mengakrabkan, mengasuh
dan sekaligus memberikan jaminan emosional bagi anak, dan perawatan
keluarga bagi anggotanya ketika mereka sakit, luka dan tua.

Menurut Guhardja et al. (1989), keluarga bertanggung jawab dalam


menjaga anggotanya serta menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian anggota
keluarganya. Kelanjutan dari suatu masyarakat dimungkinkan adanya orang tua dan
anak. Oleh sebab itu, tujuan kebanyakan rumahtangga dan kelu- arga adalah
reproduksi, adopsi dan sosialisasi. Fungsi keluarga dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Pemeliharaan dan dukungan terhadap anggota keluarga. Pangan, pakaian dan
tempat tinggal adalah kebutuhan dasar dari setiap individu yang harus dipenuhi
keluarga. Rumah dan sandang memberikan perlindungan dan merupakan
sumber ekspresi bagi individu. Pangan yang cukup diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan gizi, sehingga mampu melaksanakan segala akti- vitasnya.
Memelihara kesehatan adalah juga tanggung jawab keluarga
(2) Perkembangan anggota keluarga. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar dari
anggota keluarga, maka kesempataan berkembang yang lebih luas dapat
dibangun. Melalui kesempatan yang lebih banyak, individu dan keluarga akan
mendapatkan ekspresi yang lebih banyak dalam aspek budaya, intelektual dan
aspek sosial dari kehidupan mereka

Rice dan Tucker (1986) membagi fungsi keluarga menjadi dua fungsi
utama, yakni fungsi instrumental seperti memberikan nafkah dan memenuhi
kebutuhan biologis dan fisik kepada para anggota keluarga. Fungsi kedua adalah
fungsi ekspresif yaitu memenuhi kebutuhan psikologis, sosial dan emosi serta
pemenuhan kebutuhan psikologis seperti kasih sayang, kehangatan, aktualisasi dan
pengembangan diri anak.
Parsons dan Bales (Megawangi, 1999) menyatakan bahwa peran orang tua
dalam keluarga meliputi peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami
atau bapak dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur
istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran pencari nafkah untuk
kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada
bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti suami
sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan secara
keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran memberi dan
menerima, mencintai dan dicintai, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan
untuk dapat mengintegrasikan atau mencip- takan suasana harmonis dalam keluarga
serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar
anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Suami diharapkan berada di
luar rumah untuk mencari nafkah, istri biasanya tinggal di rumah, maka istri
diharapkan berperan memberikan kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
26

keluarga dapat tercapai. Keseimbangan antara peran instrumental dan ekspresif


dalam keluarga perlu dijaga dan dipertahankan.
Parsons dan Bales (Nye & Berardon, 1967) mengemukakan bahwa kajian
tentang hubungan internal dalam sebuah keluarga berfokus pada pembagian tugas
dalam keluarga secara seksual, yakni antara fungsi ekspresif dan instrumental.
Pembedaan fungsi sebenarnya bukan hanya terkait dengan jenis kelamin, tetapi juga
dengan proses interaksi dalam pengambilan keputusan. Proses interaksi ini
menyebabkan spesialisasi dua jenis aktivitas yang berbeda, yakni ekspresif dan
instrumental.
Fungsi instrumental secara primer berkaitan dengan hubungan keluarga
dengan situasi eksternal dan penetapan hubungan keluarga. Menurut Slater (1974),
keterkaitan fungsi ini dengan proses atau upaya adaptasi keluarga dengan situasi
eksternal menyebabkan penyebutan fungsi ini menjadi fungsi instrumental-adaptif.
Fungsi atau aktivitas ini menjadi peran utama dari ayah atau suami, dan salah satu
aspeknya adalah pencari nafkah (breadwinner).
Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ini dengan fungsi kontrol, yang
didasarkan pada penerapan otoritas dan tanggung jawab orangtua terhadap
kesejahteraan anaknya. Fungsi kontrol merupakan mekanisme yang mendasari
proses sosialisasi anak dengan pola perilaku, nilai-nilai, norma sosial, dan sikap
yang dianggap baik dan penting bagi anak untuk adaptasi (child adjustment) dengan
lingkungan eksternal. Berdasarkan penjelasan Winch, maka fungsi dan aktivitas
instrumental-adaptif ini lebih luas. Ayah bukan saja dominan sebagai pencari
nafkah, tetapi juga sebagai agen utama sosialisasi ini, perilaku, sikap, dan norma
sosial.
Fungsi ekspresif dikaitkan terutama dengan solidaritas keluarga, hubungan
internal antar anggota keluarga, dan pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional
anggota keluarga. Ibu atau istri dianggap paling dominan dalam melaksanakan
fungsi ini, karena itu dia dianggap menjadi simbol integratif keluarga. Penekanan
fungsi ini pada masalah integrasi keluarga menyebabkan ia disebut juga fungsi
ekspresif-integratif (Slater, 1974).
Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ekspresif dengan fungsi peng-
asuhan (nurturance). Fungsi ini secara sempit diartikan sebagai kegiatan atau
penanganan aspek pemeliharaan (maintenance) anak sehari-hari seperti makan,
memandikan, dan mengenakan baju. Dalam pengertian yang lebih luas pengasuhan
diartikan sebagai proses psikologis pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional
anak melalui ucapan (termasuk bercerita, menyanyi), tinda- kan, dan sentuhan fisik.
Kegiatan ini sering dikaitkan dengan istilah penyediaan kehangatan untuk anak.
Benson (Bigner, 1979) mengemukakan bahwa ibu yang baik juga melak-
sanakan bagian-bagian tertentu dari fungsi instrumental, ayah yang baik
melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu yang bersifat ekspresif. Parke (1996)
menjelaskan bahwa akhir-akhir ini fatherhood ideology dalam parenting semakin
fenomenal. Ini menandai bangkitnya sebuah era yang mengakui pentingnya
parenting yang dilakukan oleh ayah. Kecenderungan ini harus dipahami tidak dalam
konteks pergantian fungsi (role replacement). Ayah tetap dianggap sebagai pelaku
Studi tentang Stres, Coping, dan Fungsi Keluarga
27

utama dari fungsi instrumental, yang dalam momen-momen tertentu dia juga bisa
terlibat dalam fungsi ekspresif.
Dari beberapa fungsi keluarga yang telah dikemukakan di atas ada beberapa
persamaan antara fungsi keluarga yang dikemukaan oleh BKKBN (1997), Berns
(1997), Guhardja et al. (1989) dan Rice dan Tucker (1986) yaitu: (1) sebagai
mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya melestarikan
eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) memiliki kewajiban untuk
memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai dari sandang, pangan,
perlindungan, pendidikan, kesehatan serta kebutuhan emosional lainnya, dan (3)
memberikan peran sosial dan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan
keikutsertaannya dalam mengabdikan norma-norma sosial dan keagamaan melalui
interaksi anak-anak dan orangtua dalam keluarga dan interaksi keluarga dengan
masyarakat serta interaksi dengan Yang Maha Pencipta.
Perbedaan dari fungsi-fungsi keluarga yang telah disebutkan di atas terletak
pada peran orang tua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Rice dan
Tucker (1986) membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi
instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah
dan fungsi ekspresif diperankan oleh ibu. BKKBN (1997), Berns (1997), Guhardja
et al. (1989) tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga ke dalam
peran ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan
bersama-sama. Dalam penelitian ini, fungsi keluarga yang digunakan adalah yang
dikemukakan oleh Rice dan Tucker (1986) dengan alasan peneliti ingin melihat
apakah kedua fungsi keluarga yaitu instrumental yang diperankan oleh ayah dan
ekspresif yang diperankan oleh ibu telah dapat dijalankan dengan baik pasca
terjadinya gempa dan tsunami.


Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
28

Bab Tiga
TEKNIK DAN STRATEGI COPING
BAGI KELUARGA KORBAN
GEMPA DAN TSUNAMI ACEH
A. BENCANA, STRESS DAN COPING KELUARGA KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI ACEH
Permasalahan yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami seperti
masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian dan pekerjaan sangat
dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki keluarga. Apabila sumberdaya yang
dimiliki keluarga sangat terbatas, maka masalah yang dihadapi akan sulit
terselesaikan dan akhirnya dapat menimbulkan stres. Stres yang dialami keluarga
dapat dilihat dari gejala-gejala yang muncul baik fisik, psikis, perilaku dan kognitif.
Gejala-gejala tersebut mempunyai ciri adanya perasaan yang mencemaskan dan
menegangkan yang ditimbulkan oleh sumber stres. Sumber stres bagi seseorang bisa
berbeda-beda, sangat tergantung pada penilaian dan persepsi seseorang. Proses
penilaian yang dilakukan individu terhadap suatu kejadian yang penuh stres akan
sangat menentukan tingkat stres yang dialami keluarga. Untuk mengatasi masalah-
masalah yang dihadapi keluarga yang dapat mengakibatkan stres, keluarga secara
alamiah akan melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan disebut
“strategi coping”.
Strategi coping yang dilakukan keluarga dalam penelitian ini diadopsi dari
model Lazarus dan Folkman (1984), yakni strategi coping berpusat pada masalah
dan strategi coping berpusat pada emosi. Strategi coping mana yang digunakan
sangat tergantung kepada masalah dan sumber stres sebagai penyebab terjadinya
suatu ketegangan. Strategi coping yang dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi
stres sangat ditentukan oleh sumberdaya coping yang dimiliki keluarga. Boss
(Sussman & Steinmetz, 1988), mengatakan bahwa sumberdaya coping keluarga
merupakan kekuatan individual dan kekuatan bersama pada saat menghadapi
sesuatu kejadian sebagai penyebab stres. Sumberdaya coping mencakup
karakteristik sosial ekonomi keluarga, ciri-ciri pribadi dan dukungan sosial.
Karakteristik sosial ekonomi mencakup jumlah anggota keluarga, pendapatan, aset
dan pengeluaran. Ciri-ciri pribadi mencakup umur, pendidikan pandidikan dan
tingkat kesehatan, kepribadian, konsep diri dan dukungan sosial terdiri dari bantuan
yang berasal masyarakat sekitar, teman, pemerintah dan LSM/NGO.
Strategi coping yang dilakukan keluarga akan sangat menentukan
keberlangsungan fungsi keluarga. Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai
tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan
pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau
pemeliharaan keluarga (Megawangi, 1999). Keluarga sebagai wahana untuk

34
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
29

mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh


anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga
sejahtera (Megawangi, 1994). Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal,
perlu peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian
peran dimana sistem sosial dibangun. Menurut Rice dan Tucker (1986) fungsi
keluarga ada dua yakni fungsi ekspresif yang diperankan oleh ibu untuk memenuhi
kebutuhan sosial dan emosi, serta kebutuhan psikologis seperti kasih sayang,
kehangatan, aktualisasi dan perkembangan diri anak serta fungsi instrumental yang
diperankan oleh ayah yang berkewajiban memberikan nafkah dan memenuhi
kebutuhan biologis dan fisik kepada para anggota keluarga. Kehidupan keluarga
akan sejahtera kalau masing-masing peran dapat dijalan dengan baik. Kerangka fikir
operasional tentang strategi coping keluarga pasca gempa dan tsunami disajikan
pada Gambar 2.
Dalam penelitian ini penulis merumuskan hipotesis bahwa masalah
keluarga, tingkat stres dan sumberdaya coping berpengaruh nyata terhadap strategi
coping keluarga pasca gempa dan tsunami. Di samping itu masalah keluarga,
sumberdaya coping dan strategi coping berpengaruh nyata terhadap keberfungsian
keluarga pasca gempa dan tsunami.

Gambar 2. Kerangka berpikir operasional strategi coping bagi keluarga korban gempa dan
tsunami Aceh

B. DISAIN PENLITIAN, SAMPEL DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA KELUARGA KORBAN


GEMPA DAN TSUNAMI ACEH
Disain penelitian ini adalah cross-sectional dan retrospective study. Data
yang dikumpulkan adalah kondisi yang dialami keluarga setahun setelah terjadinya
gempa dan tsunami mencakup data tingkat stres dan strategi coping yang diambil
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
30

secara retrospektif. Data retrospektif lainnya yang diambil adalah tingkat kesehatan
yang diderita keluarga enam bulan terakhir. Data cross-sectional mencakup masalah
keluarga, sumberdaya coping dan keberfungsian keluarga. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan kuesioner mulai bulan Mei sampai Juli 2006.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa Kota
Banda Aceh yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan kedua Kecamatan
tersebut terkena musibah gempa dan tsunami terparah pada tanggal 26 Desember
2004.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang wilayahnya
terkena masalah gempa dan tsunami yang berada pada dua Kecamatan yang telah
disebutkan di atas. Contoh yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan
metode penarikan contoh acak berlapis (stratified random sampling) secara
proporsional sebagai representasi dari populasi. Lapis pertama adalah kumpulan
keluarga yang ada ayah dan ibu yang disebut tipologi keluarga utuh, lapis kedua
adalah keluarga ada ayah (tidak memiliki ibu) atau tipologi keluarga duda dan lapis
ketiga keluarga ada ibu (tidak memiliki ayah). atau tipologi keluarga janda
Selanjutnya pada tiap lapis dilakukan penarikan contoh menggunakan acak
sederhana.
Penentuan jumlah contoh dalam penelitian ini menurut Cochran (1982)
dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

Z 12 / 2 p (1  p )
n
d2
Keterangan:
n = jumlah contoh
Z = nilai z tabel
p = proporsi keluarga yang kehilangan rumah
d = akurasi (perbedaan antara proporsi dengan penduganya)
Jika dalam penelitian ini digunakan nilai  = 0.05, p (kejadian kehilangan
rumah sebesar 90%) dan akurasi =0.05, maka jumlah contoh minimal yang
dibutuhkan sebesar:
(1.96)2 (0.9) (0.1) 0.346
n= = = 138 orang
(0.05)2 0.0025
Dengan demikian, ukuran contoh yang diambil adalah minimal 138 contoh. Proporsi
jumlah contoh yang diambil ditentukan dengan rumus berikut:
Ni
ni = xn
N
Keterangan:
ni = Ukuran contoh
Ni = Ukuran populasi pada tiap kelompok contoh
N = Ukuran populasi keseluruhan
n = Ukuran contoh yang diinginkan
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
31
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
32

Adapun kerangka penarikan contoh yang dilakukan dalam penelitian ini


disajikan pada Gambar 3.

Provinsi NAD

Kota Banda Aceh

Kec. Kuta Alam Kec. Meuraxa


(Kel 1) (Kel 2)
Stratifikasi Stratifikasi

Utuh Duda Janda Utuh Duda Janda


(2378 kk) (368 kk) (226 kk) (531 kk) (207 kk) (184kk)

Acak Acak Acak Acak Acak Acak


Propor
84 kk 13 kk 8 kk 19 kk 7 kk 7 kksional

Gambar 3. Bagan penarikan contoh.

Jumlah populasi di Kecamatan Kuta Alam lebih banyak dibandingkan


Kecamatan Meraxa, sehingga proporsi jumlah contoh yang berasal dari Kecamatan
Kuta Alam lebih banyak dibandingkan Kecamatan Meraxa. Secara umum, tipologi
keluarga utuh lebih banyak dibandingkan dengan tipologi keluarga duda dan tipologi
keluarga janda (Tabel 2).

Tabel 2. Ukuran contoh berdasarkan desa, tipologi keluarga dan populasi


Jumlah Ukuran
Kecamatan Desa Tipologi keluarga Populasi
Keluarga contoh
Ayah + Ibu (utuh) 1345 48
Lampulo 1537 Ada Ayah (duda) 115 4
Ada Ibu (janda) 77 3
Ayah + Ibu (utuh) 427 15
Kuta Alam Lamdingin 618 Ada Ayah (duda) 109 4
Ada Ibu (janda) 82 3
Ayah + Ibu (utuh) 606 21
Lambaro Skep 817 Ada Ayah (duda) 144 5
Ada Ibu (janda) 67 2
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
33

Sub Total 1   2972   2972 105


Ayah + Ibu (utuh) 82 3
Lamjabat 193 Ada Ayah (duda) 59 2
Ada Ibu (janda) 52 2
Ayah + Ibu (utuh) 320 11
Lampaseh
Meraxa 459 Ada Ayah (duda) 68 2
Aceh
Ada Ibu (janda) 71 3
Ayah + Ibu (utuh) 129 5
Surin 270 Ada Ayah (duda) 80 3
Ada Ibu (janda) 61 2
Sub Total 2 922   922 33
Total (1+2) 3894   3894 138

Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi: (1) Masalah-masalah yang dihadapi keluarga pasca
gempa dan tsunami; (2) Tingkat stres; (3) Sumberdaya coping keluarga yang
mencakup karakteristik sosial ekonomi keluarga (jumlah anggota keluarga
pendapatan, aset dan pekerjaan, ciri-ciri pribadi (umur, tingkat pendidikan, tingkat
kesehatan, kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial; (4) Strategi coping
(coping berpusat pada masalah dan coping berpusat pada emosi); dan (5)
Keberfungsian keluarga. Data sekunder mencakup profil kedua Kecamatan dan data
bantuan dari pemerintah, NGO/LSM dan lainnya kepada korban gempa dan tsunami.
Secara rinci peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran penelitian disajikan
pada Tabel 3.

Tabel 3. Peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran


Alat dan Cara
No. Peubah Skala Responden
Pengukuran
1 Masalah-masalah keluarga pasca gempa
dan tsunami
1. Pangan
2. Kesehatan Kuesioner/
Ordinal Ibu/Bapak
3. Pendidikan wawancara
4. Perumahan/Tempat Tinggal
5. Pakaian
6. Pekerjaan/Pendapatan
2. Sumberdaya coping keluarga Ibu/Bapak Kuesioner/
Karakteristik Sosial Ekonomi wawancara
Keluarga:
1.Jumlah anggota keluarga Rasio
2.Pendapatan Rasio
3.Aset Ekonomi Rasio
4. Pekerjaan
Ciri-ciri Pribadi:
1. Umur Rasio
2. Pendidikan formal Ordinal
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
34

Alat dan Cara


No. Peubah Skala Responden
Pengukuran
3. Tingkat Kesehatan Ordinal
4. Kepribadian Ordinal
5. Konsep diri Ordinal
Dukungan Sosial Ordinal
3 Tingkat Stres (Family Inventory of Life)
1. Tingkat stres fisik
2. Tingkat stres psikis
Kuesioner/
3. Tingkat stres kognitif Ordinal Ibu/Bapak
wawancara
4. Tingkat stres perilaku
Tingkat stres (Skala Holmes dan Rahe)

4 Strategi coping keluarga:


Coping berpusat pada masalah
1. Planful Problem Solving Kuesioner
2. Confrontatif coping wawancara
3. Seeking social support dengan
Coping berpusat pada emosi Ordinal Ibu/Bapak metode Ways
1. Positive reappraisal of Coping Scale
2. Accepting responsibility (Lazarus &
3. Self controlling Folkman, 1984)
4. Distancing
5. Escape-Avoidance
5 Keberfungsian keluarga
Kuesioner/
Ekspresif Ordinal Ibu/Bapak
wawancara
Instrumental

C. BEBERAPA DEFINISI OPERASIONAL


(1) Masalah-masalah Keluarga adalah berbagai persoalan/ permasalahan yang
dialami keluarga sekitar 1.5 tahun setelah terjadinya gempa dan tsunami yang
dapat memicu terjadi stres yang mencakup masalah pangan, masalah kesehatan,
masalah pendidikan, masalah perumahan/tempat tinggal, masalah pakaian dan
masalah pekerjaan/pendapatan
(2) Sumberdaya coping adalah sumberdaya yang dimiliki keluarga meliputi
karakteristik sosial ekonomi keluarga (jumlah anggota keluarga, pendapatan,
aset, pekerjaan), ciri-ciri pribadi adalah (umur, tingkat pendidikan, tingkat
kesehatan, kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial
(3) Jumlah anggota keluarga adalah semua individu yang tinggal di bawah
satu atap dan makan dari dapur yang sama.
(4) Pendapatan adalah upah, gaji atau hasil yang diperoleh dari semua anggota
keluarga, baik berupa barang, jasa dan lain-lain yang dinilai dengan uang selama
satu bulan terakhir.
(5) Aset adalah seluruh kekayaan berupa uang, barang, modal atau sesuatu yang
dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh keluarga
(6) Pekerjaan adalah jenis profesi yang digeluti oleh ayah/ibu, anak maupun
anggota keluarga lain pasca gempa dan tsunami dan mencakup utama dan
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
35

sampingan yang mendapat imbalan berupa gaji/upah.


(7) Umur adalah usia ayah/ibu pada saat penelitian berlangsung yang
dinyatakan dalam tahun
(8) Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang dicapai oleh
ayah/ibu
(9) Tingkat kesehatan adalah tingkat kesehatan ayah/ibu selama 6 bulan
terakhir yang mencakup jenis penyakit yang diderita, frekuensi, lama sakit dan
upaya pengobatannya.
(10) Kepribadian adalah sikap dan perilaku ayah atau ibu dalam menangkapi
berbagai permasalahan yang dihadapi
(11) Konsep diri adalah pengetahuan dan persepsi ayah dan ibu terhadap dirinya
sendiri.
(12) Dukungan sosial adalah bantuan yang diterima keluarga baik berupa uang,
makanan, perumahan dan bantuan lainnya yang berasal dari masyarakat, teman,
pemerintah dan LSM baik dalam maupun luar negeri
(13) Tingkat stres adalah respon spesifik dari ibu/ayah akibat gempa dan
tsunami yang dialami 1 tahun pasca gempa dan tsunami yang diketahui dari
gejala-gejala yang muncul baik fisik, psikis, perilaku dan kognitif.
(14) Strategi coping keluarga adalah respon perilaku yang digunakan kepala
keluarga untuk memecahkan suatu masalah untuk mengurangi stres yang
diakibatkan oleh gempa dan tsunami. Strategi coping yang dilakukan mencakup
coping berfokus pada masalah dan berfokus pada emosi.
(15) Strategi coping yang berfokus pada masalah adalah upaya yang
dilakukan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan yang dapat menimbulkan stres
dengan mengembangkan sumberdaya untuk mengatasinya. Coping yang
berpusat pada masalah mencakup:
(1) Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha
tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan
analitis dalam menyelesaikan masalah.
(2) Confrontative yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat
menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil.
(3) Seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak
luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional.
(16) Strategi coping berfokus pada emosi yaitu individu melakukan usaha-
usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha
untuk mengubah stresor secara langsung. Strategi coping ini mencakup:
(1) Positive reappraisal, adalah bereaksi dengan menciptakan makna positif
dalam diri yang bertujuan untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan
diri dalam hal-hal yang religius.
(2) Accepting responsibility yaitu bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran
akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi, dan berusaha
mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya.
(3) Self controlling atau mengendalian diri yaitu bereaksi dengan melakukan
regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
36

(4) Distancing atau menjauhkan diri yaitu tidak melibatkan diri dalam
permasalahan.
(5) Escape avoidance yaitu menghindari atau melarikan diri dari masalah yang
dihadapi.
(17) Keberfungsian Keluarga adalah berfungsinya keluarga sebagai wahana
untuk mendidik, mengasuh, sosialisasi dan mengembangkan kemampuan
seluruh anggotanya agar dapat menjalankan perannya dalam keluarga serta
memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya
keluarga sejahtera. Dalam penelitian ini fungsi keluarga mencakup:
(1) Fungsi instrumental adalah fungsi yang berkaitan dengan hubungan
keluarga dengan situasi eksternal. Fungsi instrumental dikaitkan dengan
peran ayah sebagai pencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh
anggota keluarga
(2) Fungsi Ekspresif adalah fungsi keluarga yang dikaitkan terutama dengan
integritas dan solidaritas keluarga. Fungsi ekspresif dikaitkan dengan peran
ibu dalam pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional anggota keluarga.
(18) Tipologi Keluarga adalah penggolongan keluarga contoh menjadi tiga
kelompok yakni keluarga utuh, duda dan janda.

D. METODE PENGUKURAN PEUBAH, VALIDITAS, RELIABILITAS INSTRUMEN, PENGOLAHAN


DAN ANALISIS DATA
Metode pengukuran peubah akan menguraiakn sistem skoring dan
pengkategorian skor yang diperoleh dari variabel-variabel penelitian. Berdasarkan
peubah-peubah penelitian dan metode pengukuran yang dilakukan untuk
mengkuantifikasi data-data yang dikumpulkan yang selanjutnya akan digunakan
untuk analisis statistik. Untuk menyamakan satuan yang digunakan maka semua
skor yang diperoleh dikonversi dalam bentuk persen (0-100). Adapun rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut:

X- Nilai Minimum X
Y= x 100
Nilai Maksimum X – Nilai Minimun X
Keterangan:
Y= skor dalam persen
x = skor yang diperoleh untuk tiap responden

(1) Masalah-masalah keluarga pasca gempa dan tsunami


Skoring jawaban terhadap masalah-masalah keluarga dilakukan dengan
memberi skor 0 jika contoh mengalami masalah dan diberi skor 1 jika tidak
mengalami masalah. Semua pertanyaan memungkinkan untuk dijawab oleh
responden. Ada tujuh kelompok permasalahan yang digali dari contoh yakni:
(1) Masalah pangan diukur dengan tiga item pertanyaan dengan skor 0=tidak
dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 3.
(2) Masalah kesehatan diukur dengan dua item pertanyaan dengan skor 0=tidak
dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan maksimum 2.
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
37

(3) Masalah pendidikan diukur dengan tiga item pertanyaan dengan skor
0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan maksimum 3.
(4) Masalah perumahan/tempat tinggal diukur dengan empat item pertanyaan
dengan skor 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan
skor maksimum 4.
(5) Masalah pakaian diukur dengan dua item pertanyaan dengan skor 0=tidak
dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 2.
(6) Masalah pekerjaan/pendapatan diukur dengan dua item pertanyaan dengan
skor 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor
maksimum 2.

Selanjutnya skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-100


dengan menggunakan rumus yang telah disebut sebelumnya. Total skor yang
diperoleh dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kelas interval yaitu rendah
(skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor 66.8-100.0)
(2) Sumberdaya coping
Sumberdaya coping mencakup karakteristik sosial ekonomi keluarga (jumlah
anggota keluarga, pendapatan, aset dan pekerjaan), ciri-ciri pribadi (umur, tingkat
pendidikan, tingkat kesehatan, kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial
(1) Jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga dikelompokkan menjadi
3 (tiga) yakni < 4 orang, 5-6 orang dan > 6 orang.
(2) Pendapatan Keluarga. Pendapatan keluarga dibagi dengan jumlah anggota
keluarga sehingga diperoleh pendapatan per kapita per bulan. Adapun
kategori pendapatan yang digunakan adalah < Rp 100.000, > Rp 100.000 -
250.000, > Rp 250.000 - 500.000, > Rp 500.000 - 750.000, > Rp 750.000 -
1.000.000 dan > Rp 1.000.000.
(3) Aset adalah seluruh kekayaan berupa lahan, barang baik elektronik,
perhiasan, modal, asuransi/surat berharga atau sesuatu yang dapat dinilai
dengan uang yang dimiliki oleh keluarga. Untuk aset ekonomi yang dimiliki
seperti tabungan, rumah, tanah, emas dan aset lainnya yang dinilai dalam
bentuk uang, sehingga diperoleh nilai aset dalam rupiah
(4) Pekerjaan. Profesi contoh dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 6,
yakni: 1. Buruh; 2. Tidak Bekerja; 3. Pedagang/Wiraswasta; 4. Swasta; 5.
PNS/ABRI; dan 6. LSM/Relawan
(5) Umur. Usia contoh dikelompokkan menjadi 4 kategori yakni (1) < 21 tahun,
(2) 21-40 tahun, (3) 41-60 tahun dan (4) > 60 tahun.
(6) Tingkat pendidikan. Pendidikan ayah/ibu dikelompokkan menjadi: 1.Tidak
sekolah; 2. SD/sederajat; 3. SLTP/sederajat; 4. SLTA/sederajat dan 5. PT
(7) Tingkat kesehatan. Skor tingkat kesehatan diperoleh dengan cara
menjumlahkan frekuensi, lama sakit dan skor upaya pengobatan. Upaya
pengobatan dinilai berdasarkan kualitas pengobatan yang diterima semakin
rendah kualitas pengobatan yang dilakukan misalnya tidak diobati maka
skornya akan semakin tinggi. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka
tingkat kesehatan akan semakin tinggi. Skor yang diperoleh ditransformasi
ke dalam skala 0-100 dengan menggunakan rumus yang telah disebut
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
38

sebelumnya, kemudian dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kelas


interval yaitu rendah (skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor
66.8-100.0)
(8) Kepribadian. Peubah ini mencakup 17 item pertanyaan. Kategori jawaban
untuk peubah ini adalah 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor
minimum 0 dan skor maksimum 17. Skor yang diperoleh ditransformasi ke
dalam skala 0-100. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin baik
kepribadian contoh. Total skor yang diperoleh dibagi menjadi dua kategori
yakni introvert (skor 0-66.7%) dan ekstrovert (skor 66.8-100.0%).
(9) Konsep diri. Peubah ini mencakup lima item pertanyaan. Kategori jawaban
untuk peubah ini adalah 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor
minimum 0 dan maksimum 5. Skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam
skala 0-100. Semakin tinggi skor yang diperoleh semakin baik konsep diri
contoh. Total skor yang diperoleh dibagi menjadi dua kategori yakni negatif
(skor 0-66.7%) dan positif (skor 66.8 -100.0%).
(10) Dukungan sosial. Peubah ini mencakup empat item pertanyaan. Kategori
jawaban untuk peubah ini adalah 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor
minimum 0 dan skor maksimum 4. Skor yang diperoleh ditransformasi ke
dalam skala 0-100. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin baik
dukungan sosial yang diperoleh. Total skor yang diperoleh dibagi menjadi
dua kategori berdasarkan kelas interval yaitu mendukung dengan skor 0-
66.7 dan tidak mendukung dengan skor 66.8-100.0.
(3) Tingkat Stres dengan metode Family Inventory of Life
Jumlah item pertanyaan adalah 30. Kategori jawaban untuk peubah tingkat
stres keluarga adalah “tidak pernah terjadi”, “kadang-kadang terjadi” dan
“sering terjadi” Pertanyaan yang diberikan adalah seputar gejala-gejala stres
baik fisik, psikis, kognitif dan perilaku yang dialami contoh pasca gempa dan
tsunami. Jawaban “tidak pernah terjadi” diberikan jika gejala stres tidak pernah
dialami pasca gempa dan tsunami dan diberi nilai 0. Jawaban “kadang-kadang
terjadi” diberikan jika gejala stres dialami kurang dari tiga kali selama pasca
gempa dan tsunami dan diberi nilai 1. Jawaban “sering terjadi” diberikan jika
gejala stres dialami lebih dari tiga kali selama pasca gempa dan tsunami dan
diberi nilai 2. Gejala stres yang dialami dapat saja dirasakan sekaligus oleh
contoh sehingga total skor yang diperoleh adalah minimal 0 dan maksimal 60,
semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi tingkat stres yang
dialami. Selanjutnya skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-100
dengan menggunakan rumus yang telah disebut sebelumnya, kemudian dibagi
menjadi empat kategori tingkat stres yang diadopsi dari Holmes dan Rahe
(1967) yakni stres minor (skor < 35.3), stres ringan (skor 35.3-46.8), stres
sedang (skor 46.9-70.4) dan stres mayor/berat (skor > 70.4).
(1) Gejala stres fisik diukur dengan delapan item pertanyaan sehingga diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 16.
(2) Gejala stres psikis diukur dengan tujuh item pertanyaan dengan skor 0=tidak
pernah, 1=kadang-kadang dan 2=sering, sehingga diperoleh skor minimum
0 dan skor maksimum 14.
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
39

(3) Gejala stres kognitif diukur dengan lima item pertanyaan sehingga diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 10.
(4) Gejala stres perilaku diukur dengan sepuluh item pertanyaan sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 20.
(4) Tingkat Stres dengan metode Holmes dan Rahe
Peubah ini mencakup 10 item pertanyaan. Kategori jawaban untuk
peubah tingkat stres keluarga ini adalah 0=tidak dan 1=ya. Setiap pertanyaan
dibobot dengan menggunakan skala Holmes dan Rahe seperti disajikan pada
Tabel 4. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan akan diperoleh skor minimum 0
dan maksimum 425 apabila stres yang dirasakan contoh disebabkan oleh item 1,
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Tingginya skor ini diakibatkan adanya pembobotan yang
dilakukan pada setiap item pertanyaan berdasarkan derajat beratnya stresor.
Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi tingkat stres yang
dialami. Skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-100 dengan
menggunakan rumus yang telah disebutkan sebelumnya dan kemudian dibagi
menjadi empat kategori stres dengan mengadopsi dari Holmes dan Rahe (1967)
yakni stres minor (skor < 35.3), stres ringan (skor 35.3-46.8), stres sedang (skor
46.9-70.4) dan stres mayor/berat (skor > 70.4).

Tabel 4. Pembobotan pertanyaan penyebab stres menggunakan Skala Holmes dan Rahe
No Penyebab Stres Skor
1 Kematian pasangan 100
2 Perpisahan perkawinan 65
3 Kehilangan aset 47
4 Perubahan kondisi keuangan 63
5 Kematian anggota keluarga 53
6 Luka parah 53
7 Kematian teman dekat 37
8 perubahan jenis pekerjaan 36
9 Pinjaman keuangan 30
10 Perubahan tempat tinggal 20

(5) Strategi Coping


Instrumen yang digunakan untuk peubah strategi coping keluarga adalah
yang dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman (1984) yang diberi nama Ways
of Coping Scale. Alat ukur ini berupa kuesioner yang mengukur strategi coping
berfokus pada masalah dan coping berfokus pada emosi. Strategi coping yang
berfokus pada masalah ada tiga yaitu: planful problem solving, confrontatif dan
seeking social support, dan strategi coping berfokus pada emosi ada lima yaitu:
positive reappraisal, accepting responsibility, self controlling, distancing dan
escape avoidance. Skoring dilakukan dengan cara merangking jawaban
responden, dimana jawaban diberi skor 3 = sering sekali, 2 = sering, 1 = kadang-
kadang dan diberi skor 0 = tidak pernah, sehingga diperoleh data dengan skala
pengukuran ordinal. Pertanyaan peubah ini terdiri dari 36 item. Semua
pertanyaan memungkinkan untuk dijawab oleh responden sehingga diperoleh
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
40

skor minimum 0 dan skor maksimum 108. Selanjutnya skor yang diperoleh
ditransformasi ke dalam skala 0-100 dengan menggunakan rumus yang telah
disebut sebelumnya dan kemudian dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan
kelas interval yaitu rendah (skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi
(skor 66.8-100.0).

Coping Berfokus pada Masalah


Peubah ini mencakup 16 item pertanyaan. sehingga diperoleh skor
minimum 0 dan skor maksimum 48.
(1) Planful Problem Solving. Peubah ini mencakup tujuh item pertanyaan,
sehingga diperoleh skor minimum 0 dan maksimum 21. Semakin tinggi skor
yang diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
(2) Confrontatif. Peubah ini mencakup empat item pertanyaan, sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 12. Semakin tinggi skor
yang diperoleh maka semakin tidak baik strategi coping yang dilakukan.
(3) Seeking Social Support. Peubah ini mencakup lima item pertanyaan,
sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 15. Semakin tinggi
skor yang diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.

Coping Berfokus pada Emosi


Peubah ini mencakup 20 item pertanyaan, sehingga diperoleh skor
minimum 0 dan skor maksimum 60.
(1) Positive reappraisal. Peubah ini mencakup lima item pertanyaan, sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 15. Semakin tinggi skor
yang diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
(2) Accepting responsibility. Peubah ini mencakup empat item pertanyaan,
sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 12. Semakin tinggi
skor yang diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
(3) Self controlling. Peubah ini mencakup enam item pertanyaan, sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 18. Semakin tinggi skor
yang diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
(4) Distancing. Peubah ini mencakup tiga item pertanyaan, sehingga diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 9. Semakin tinggi skor yang diperoleh
maka semakin tidak baik strategi coping yang dilakukan.
(5) Escape avoidance. Peubah ini mencakup lima item pertanyaan, sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 15. Semakin tinggi skor
yang diperoleh maka semakin tidak baik strategi coping yang dilakukan.
(6) Keberfungsian Keluarga
Peubah keberfungsian keluarga terbagi menjadi dua, yakni fungsi
ekspresif dan fungsi instrumental. Total jumlah pertanyaan peubah
keberfungsian keluarga adalah 39 item. Skoring dilakukan dengan memberi
skor 1 jika jawaban sangat sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh
peneliti dan diberi skor 0 jika sangat tidak sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan oleh peneliti sehingga diperoleh data dengan skala pengukuran
nominal. Semua pertanyaan memungkinkan untuk dijawab oleh responden
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
41

sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 39. Selanjutnya skor
yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-100 dan kemudian dibagi
menjadi tiga kategori berdasarkan kelas interval yaitu rendah (skor 0-33.3),
sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor 66.8-100.0).
(1) Fungsi ekspresif. Jumlah pertanyaan peubah fungsi ekspresif adalah 17 item,
sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 17.
(2) Fungsi instrumental. Jumlah pertanyaan peubah fungsi instrumental adalah
22 item, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 22.

Secara rinci, jenis data, peubah maupun cut off yang digunakan disajikan
pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis data, peubah dan skoring yang digunakan


Jumlah Skor Skor
No Peubah
Item Min Max
1 Masalah pasca gempa dan tsunami 19 0 19
Tingkat Stres Ibu (Family Inventory of Life) 30 0 60
- Fisik 8 0 16
2 - Psikis 7 0 14
- Kognitif 5 0 10
- Perilaku 10 0 20
3 Tingkat Stres (Holmes dan Rahe) 10 0 425
4 Kepribadian 17 0 17
Konsep Diri 5 0 5
5
Dukungan Sosial 4 0 4
6 Coping 36 0 108
Coping Berfokus pada Masalah 16 0 48
- Planful Problem Solving 7 0 21
6.1
- Confrontatif Coping 4 0 12
- Seeking Social Support 5 0 15
Coping Berfokus pada Emosi 20 0 60
- Positive Reappraisal 5 0 15
- Accepting Responsibility 4 0 12
6.2
- Self Controlling 3 0 9
- Distancing. 3 0 9
- - Escape Avoidance 5 0 15
Keberfungsian Keluarga 39 0 39
7
- Fungsi Ekspresif 17 0 17
 
- Fungsi Instrumental 22 0 22

Adapaun mengenai validitas dan reliabilitas instrumen untuk pengelolaan


data ada beberapa langkah yang akan dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol
kualitas data, yakni:
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
42

(1) Validasi content pada saat pengembangan atau modifikasi instrumen. Menurut
Babbie (1992), bila koefisien korelasi antara skor suatu indikator dengan skor
total seluruh indikator positif dan lebih besar dari 0.3 (r <0.3), maka instrumen
tersebut valid.
(2) Uji coba kuesioner sebelum pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui
pilihan dan bentuk kuesioner (pernyataan atau pertanyaan), kedalaman
pertanyaan, ketepatan pemilihan kata, dapat tidaknya suatu pertanyaan
ditanyakan, pilihan jawaban yang dimungkinkan, serta lama maksimal
wawancara dan mengukur reliabilitas kuesioner (alpha cronbach)

Reliabilitas atau keterandalan menunjukan kekonsistensi suatu alat ukur


dalam mengukur hal yang sama. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995),
reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil
pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih.
Reliabilitas suatu alat ukur adalah sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau
dapat diandalkan. Hasil pengukuran dapat dipercaya, bila beberapa kali pelaksanaan
pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama
selama aspek yang diukur tidak berubah.
Pada penelitian ini, uji reliabilitas yang digunakan adalah metode Cronbach
atau Cr. Alpha berdasarkn skala Cr. Alpha 0 sampai dengan 1 dengan rumus:

n 
  vi 

  1 i 1

n 1  vt 
 
Keterangan: α = koefisien Alpha Cronbach (koefisien realibilitas)
n = besar sampel pada uji instrumen
Vi = ragam bagian ke i kelompok indikator
Vt = ragam Skor total (perolehan)

Suatu instrumen (keseluruhan indikator) dianggap sudah cukup reliabel


(reliabilitas konsistensi internal ), bilamana α ≤0.6 (Babbie, 1992).
Selama penelitian penjajakan, pengumpulan data penelitian berjalan lancar
dan tidak ditemukan kendala yang berarti. Responden yang dijadikan contoh dalam
uji coba ini adalah keluarga yang menjadi korban gempa dan tsunami yang saat ini
berdomisili di Bogor. Karakteristik responden sangat beragam dari yang statusnya
sebagai mahasiswa sampai kepada pedagang kaki lima di pasar Anyar Bogor. Dari
15 responden yang diambil selama penjajakan rata-rata waktu yang dibutuhkan
untuk pengisian kuesioner dan wawancara berkisar antara 30 sampai 45 menit. Hasil
pengujian di lapangan menunjukkan bahwa reliabilitas instrumen yang digunakan
cukup handal dan signifikan dengan nilai -cronbach antara 0.6316 - 0.8573.
Pada peubah penelitian masalah-masalah keluarga pasca gempa secara
umum (pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan/tempat tinggal, pakaian,
pekerjaan/pendapatan dan kehilangan anggota keluarga) nilai reliabilitas yang
diperoleh sudah cukup baik yakni lebih dari 0.7. Demikian pula untuk peubah ingkat
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
43

stres metode Family Inventory of Life dan tingkat stres Holmes dan Rahe nilai
cronbach alpha yang diperoleh relatif baik dengan nilai > 0.60.
Pada instrumen peubah kepribadian, konsep diri dan dukungan sosial perlu
dilakukan penghapusan terhadap pertanyaan yang dinilai kurang valid (nilai korelasi
negatif) karena nilai cronbach alpha yang diperoleh lebih kecil dari 0.6, tiga
pertanyaan pada peubah kepribadian yang dihapus yakni: no.10,12 13.
Peubah strategi coping keluarga mencakup dua sub peubah yakni berfokus
pada masalah dan berfokus pada emosi. Pada instrumen peubah strategi coping
keluarga dilakukan pengurangan lima pertanyaan yakni no. 8, 27, 30, 40, 41.
Penghapusan satu pertanyaan dilakukan pada sub peubah coping berfokus pada
masalah yakni no 8 pada coping confrontatif. Pada peubah coping berfokus pada
emosi dikurangi sebanyak empat pertanyaan yakni no. 27, 29, 40, 41 untuk
menghasilkan nilai cronbach ≥ 0.60. Peubah keberfungsian keluarga dilakukan
pengurangan empat pertanyaan yaitu 16, 22, 24, 20 untuk menghasilkan nilai
cronbach ≥ 0.60. Untuk lebih jelas nilai reliabilitas instrumen dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Setelah pengumpulan data pada penelitian utama, kembali dilakukan uji
reliabilitas peubah-peubah penelitian (Tabel 6). Hasil analisis menunjukkan nilai
cronbach alpha peubah penelitian berkisar antara 0.6124-0.9306. Dengan demikian,
hasil ini membuktikan bahwa instrumen yang digunakan benar-benar reliabel dan
handal. Nilai cronbach alpha yang diperoleh dari data penelitian utama sejalan
dengan hasil yang diperoleh pada saat uji coba instrumen penelitian.

Tabel 6. Hasil uji reliabilitas dan validitas peubah-peubah penelitian saat penelitian utama
Jumlah Nilai Cronbach
No Peubah Penelitian Validitas
Item Alpha
Masalah keluarga 16 0.7279 0.220*-0.751* 
1. Masalah Pangan 3 0.6377 0.507*-0.678*
2. Masalah Kesehatan 2 0.6620 0.305*-0.859*
1 3. Masalah Pendidikan 3 0.7446 0.776*-0.833*
4. Masalah Perumahan/Tempat Tinggal 4 0.8797 0.764*-0.886
5. Masalah Pakaian 2 0.6607 0.799*-0.815*
6. Masalah Pekerjaan/Pendapatan 2 0.6848 0.731*-0.893*
Tingkat Stres (Family Inventory of Life) 30 0.9306 0.267*-0.671*
a. Fisik 8 0.8570 0.599*-0.758*
2 b. Psikis 7 0.7600 0.517*-0.737*
c. Kognitif 5 0.7874 0.610*-0.767*
d. Perilaku 10 0.8827 0.394*-0.672*
3 Tingkat Stres (Holmes & Rahe) 10 0.6124 0.006-0.686*
4 Ciri-Ciri Pribadi
a. Kepribadian 17 0.6707 0.186*-0.571*
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
44

b. Konsep Diri 5 0.9211 0.705*-0.825*


5 Dukungan Sosial 4 0.7589 0.186*-0.571*
Strategi Coping Keluarga
Berfokus pada masalah 16 0.6353 0.088-0.527*
a. Planful Problem Solving 7 0.6291 0.241*-0.622*
b. Confrontatif coping 4 0.6448 0.014-0.787*
c. Seeking social support 5 0.6760 0.367-0.772*
6 Berfokus pada emosi 20 0.7750 0.239*-0.571*
a. Positive reappraisal 5 0.7757 0.584*-0.816*
b. Accepting responsibility 4 0.6415 0.505*-0.735*
c. Self controlling 3 0.7591 0.255*-0.453*
d. Distancing 3 0.8573 0.832*-0.875*
e. Escape-Avoidance 5 0.7835 0.541*-0.777*
Keberfungsian Keluarga 39 0.8610 0.017-0.709*
7 a. Fungsi Ekspresif 17 0.8337 0.205*-0.528*
b. Fungsi Instrumental 22 0.8175 0.086-0.747*

Adapun pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS


10.1 dan SAS 6.12. Tahapan-tahapan pengolahan data yang dilakukan dalam
penelitian ini mencakup:
(1) Penyusunan code-book sebagai panduan entri dan pengolahan data
(2) Setelah data dientri, kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan
tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Data dicek dengan menyajikan
statistik deskriptif mencakup rata-rata, standar deviasi, nilai maksimum dan
nilai minumun untuk setiap peubah
(3) Skoring terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian
(4) Transformasi skor dalam bentuk skala 0-100
(5) Kategorisasi terhadap data skor hasil transformasi
(6) Analisis deskriptif dan tabulasi silang
(7) Analisis statistik inferensia mencakup analisis regresi linier berganda program
SAS for Window.

Tahap analisis dilakukan dengan menggunakan program SAS for Window.


Secara rinci, analisis data yang digunakan untuk menjawab masing-masing tujuan
adalah:
(1) Untuk menjawab tujuan 1 sampai 5 digunakan analisis statistik dasar
(elementary statistic analysis) yang meliputi frekuensi distribusi dan ukuran
sebaran (rata-rata dan standar deviasi) dan tabulasi.
(2) Untuk menjawab tujuan 6 yakni menganalisis perbedaan masalah keluarga,
tingkat stres, sumberdaya coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga
berdasarkan tipologi keluarga digunakan analisis ragam (anova). Uji lanjut
(Post Hoc) yang digunakan adalah uji beda Duncan.
Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
45

(3) Untuk menjawab tujuan 7 yakni menganalisis pengaruh masalah keluarga,


tingkat stres dan sumberdaya coping terhadap strategi coping keluarga
digunakan pendekatan analisis regresi linier berganda. Model analisis regresi
linier yang digunakan ada dua yakni model sub komposit untuk peubah x
yakni:

Y1-2 =  + 1X1 + 2 X2 + 3 X3 + ....+ 21 X21 + 


Keterangan:
 = Konstanta
1, 2...22 adalah parameter
Y1 = Coping berfokus pada masalah (skor)
Y2 = Coping berfokus pada emosi (skor)
X1 = Duda
X2 = Janda
X3 = Pendapatan (rasio)
X4 = Umur (rasio)
X5 = Jumlah anggota keluarga
X6 = Aset (rasio)
X7 = Pendidikan (ordinal)
X8 = Kepribadian (skor)
X9 = Konsep Diri (skor)
X10 = Dukungan Sosial (skor)
X11 = Tingkat kesehatan (skor)
X12 = Masalah pangan (skor)
X13 = Masalah kesehatan (skor)
X14 = Masalah perumahan/tempat tinggal (skor)
X15 = Masalah pendidikan (skor)
X16 = Masalah pakaian (skor)
X17 = Masalah pekerjaan/pendapatan (skor)
X18 = Tingkat stres fisik (skor)
X19 = Tingkat stres psikis (skor)
X20 = Tingkat stres kognitif (skor)
X21 = Tingkat stres perilaku (skor)
X22 = Tingkat stres Holmes dan Rahe (skor)
ε = Galat

(4) Untuk menjawab Tujuan 8 yakni menganalisis pengaruh masalah keluarga,


sumberdaya coping dan strategi coping terhadap keberfungsian keluarga
digunakan analisis regresi linier berganda. Model analisis regresi linier yang
digunakan ada dua yakni model sub komposit untuk peubah x yakni:

Y 3-4 =  + 1X1 + 2 X2 + 3 X3 + ....+ 25 X25 + 

Keterangan:
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
46

 = Konstanta
1, 2...25 adalah parameter
Y1 = Fungsi ekspresif keluarga (skor)
Y2 = Fungsi instrumental keluarga (skor)
X1 = Duda
X2 = Janda
X3 = Pendapatan (rasio)
X4 = Umur (rasio)
X5 = Jumlah anggota keluarga
X6 = Aset (rasio)
X7 = Pendidikan (ordinal)
X8 = Kepribadian (skor)
X9 = Konsep Diri (skor)
X10 = Dukungan Sosial (skor)
X11 = Tingkat kesehatan (skor)
X12 = Masalah pangan (skor)
X13 = Masalah kesehatan (skor)
X14 = Masalah perumahan/tempat tinggal (skor)
X15 = Masalah pendidikan (skor)
X16 = Masalah pakaian (skor)
X17 = Masalah pekerjaan/pendapatan (skor)
X18 = Coping Planful Problem Solving (skor)
X19 = Coping Confrontatif (skor)
X20 = Coping Seeking Social Support (skor)
X21 = Coping Positive Reappraisal (skor)
X22 = Coping Accepting Responsibility (skor)
X23 = Coping Self Controlling (skor)
X24 = Coping Distancing (skor)
X25 = Coping Escape Avoidance (skor)
ε = Galat


Teknik dan Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
47
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
48

Bab Empat
HASIL STRATEGI COPING BAGI
KELUARGA KORBAN GEMPA
DAN TSUNAMI ACEH
A. GAMBARAN UMUM ACEH PASCA GEMPA DAN TSUNAMI

A.1. Sarana Fisik Provinsi NAD Awal Pasca Gempa dan Tsunami
Bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam
pada 26 Desember 2004 telah menimbulkan banyak sekali korban jiwa, luka-luka
dan hilang serta menyebabkan hancurnya harta benda dan rusaknya infrastruktur.
Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), jumlah korban
yang meninggal dan hilang akibat gempa dan tsunami mencapai 236.116 jiwa yang
tersebar diseluruh Nanggroe Aceh Darussalam, 18.761 km jalan dan 499 buah
jembatan yang putus yang mengakibatkan transportasi dari satu kabupaten ke
kabupaten lainnya terhambat dan 1.644 buah kantor pemerintah rusak dan hancur,
sehingga pelayanan publik terganggu.
Bencana yang mengakibatkan hilangnya kepemilikan materi dan keluarga
dalam sekejap, apalagi dalam jumlah besar, sangat potensial menggoreskan trauma
dan menyisakan ketakutan luar biasa bagi yang mengalaminya, sehingga beberapa
hal dapat terjadi antara lain: (1) wajar jika orang menampilkan respon perilaku tidak
lazim menyusul suatu kejadian yang sangat di luar batas kewajaran. Ada yang
menyangkal bahwa keluarga besarnya hilang dan ditemukan tak bernyawa sehingga
merasa sangat bersalah karena ia hidup sendirian. Beberapa hari setelah bencana,
banyak orang merespon dengan cara-caranya sendiri diantaranya dengan menangis
atau justru diam seribu bahasa, berteriak-teriak memanggil anaknya yang tidak
ditemukan, tidak membolehkan jenazah orang terdekatnya diambil untuk
dimakamkan dan sebagainya; dan (2) manusia memiliki coping mechanism
alamiahnya sendiri sehingga dari sejumlah besar orang yang mengalami kekerasan
atau bencana, cukup banyak yang mampu bangkit dari keruntuhan bencana.
Beberapa hari setelah tsunami, masyarakat Aceh mulai “menggeliat” satu demi satu
perlahan bergerak, bangun, berjalan, bahkan mencoba berjualan lagi. Hal tersebut
menjadi contoh bahwa manusia dibekali dengan kemampuan menyelesaikan
masalah secara alamiah. Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan di lapangan
masih terdapat korban bencana yang mengalami masalah-masalah lebih serius,
mengalami gangguan pasca trauma atau diagnosa lain, tetapi persentasenya relatif
kecil, mungkin 5 persen saja dari keseluruhannya.

A.2. Letak Geografis


Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
49

Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Mauraxa adalah dua dari sembilan
kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh. Kecamatan Kuta Alam membawahi
sebelas kelurahan/gampong dan Kecamatan Meuraxa membawahi enam belas
kelurahan/gampong (Tabel 7). Batas-batas Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh
yaitu sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan
Baiturrahman, sebelah barat dengan Kecamatan Meuraxa dan sebelah timur dengan
Kecamatan Syiah Kuala. Adapun batas-batas Kecamatan Meuraxa sebelah utara
berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan Jaya Baru,
sebelah timur dengan Kecamatan Kuta Raja dan sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Peukan Bada.

Tabel 7. Kelurahan/Gampong pada Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa


No Kecamatan Kuta Alam Kecamatan Meuraxa
1 Kota Baru Alue Deaah Tengoh
2 Bandar Baru Asonanggroe
3 Kuta Alam Blang Oi
4 Peunayong Cot Lamkuweuh
5 Mulia Deah Baro
6 Keuramat Deah Gampong
7 Laksana Gampong Baru
8 Beurawe Gampong Blang
9 Lampulo Gampong Pie
10 Lamdingin Lamjabat
11 Lambaro Skep Lampaseh Aceh
12 - Lambung
13 - Punge Ujong
14 - Punge Jurong
15 - Surin
16 - Ulhee-lhee

A.3. Penduduk
Sebelum terjadi gempa dan tsunami jumlah kepala keluarga (KK) di
Kecamatan Kuta Alam adalah 11.731 KK, dengan jumlah penduduk 54.017 jiwa,
yaitu laki-laki 28.340 jiwa dan perempuan 26.673 jiwa. Pasca bencana gempa dan
tsunami jumlah kepala keluarga yang selamat sampai Desember 2005 adalah 10.810
KK, dengan jumlah penduduk 47.280 jiwa dengan rincian laki-laki 25.369 jiwa dan
perempuan 21.911 (Tabel 8).
Pasca bencana gempa dan tsunami, jumlah kepala keluarga yang selamat di
Kecamatan Meuraxa sampai Desember 2005 adalah 4.725 KK, dengan jumlah
penduduk 11.396 jiwa dengan rincian laki-laki 7210 jiwa dan perempuan 4.186 jiwa
(Tabel 9). Kalau diperhatikan jumlah penduduk yang tersisa di Kecamatan Meuraxa
pasca gempa dan tsunami hanya sekitar 25 persen dari jumlah penduduk Kecamatan
Kuta Alam, padahal sebelumnya wilayah ini merupakan wilayah padat penduduk.
Hal ini disebabkan hampir semua kelurahan/gampong yang ada di Kecamatan
Meuraxa berhadapan langsung dengan laut dan pelabuhan Ulele.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
50

Tabel 8. Jumlah penduduk Kecamatan Kuta Alam pasca gempa dan tsunami
Jumlah Penduduk Pasca Gempa dan Tsunami
No Kelurahan/Gampong
KK LK PR 
1 Kota Baru 408 1.081 973 2.054
2 Bandar Baru 1.273 3.675 3.709 7.384
3 Kuta Alam 1.175 2.623 2.219 4.842
4 Peunayong 813 1.956 1.376 3.332
5 Mulia 805 1.839 1.320 3.159
6 Keuramat 934 2.494 2.536 5.030
7 Laksana 664 3.177 2.492 5.669
8 Beurawe 1.766 3.359 3.037 6.399
9 Lampulo 1.537 1.977 1.446 3.423
10 Lamdingin 618 1.270 991 2.261
11 Lambaro Skep 817 1.918 1.809 3.727
Jumlah 10.810 25.369 21.911 47.280
Laporan Camat Kuta Alam, 2006.

Tabel 9. Jumlah penduduk Kecamatan Meuraxa pasca gempa dan tsunami


Jumlah Penduduk Pasca Gempa dan Tsunami
No Kelurahan/Gampong
KK LK PR 
1 Alue Deaah Tengoh 270 247 128 375
2 Asonanggroe 136 154 110 264
3 Blang Oi 417 735 446 1181
4 Cot Lamkuweuh 280 188 152 340
5 Deah Baro 165 210 102 312
6 Deah Gampong 193 205 155 360
7 Gampong Baru 285 300 237 537
8 Gampong Blang 93 143 71 214
9 Gampong Pie 93 132 40 172
10 Lamjabat 193 192 109 301
11 Lampaseh Aceh 459 750 450 1200
12 Lambung 309 677 313 990
13 Punge Ujong 300 786 229 1015
14 Punge Jurong 736 1432 1003 2435
15 Surin 270 324 247 571
16 Ulhee-lhee 526 735 394 1129
Jumlah 4725 7210 4186 11396
Laporan Yayasan Lamjabat, 2006

Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani Masholih Aceh (HTI, Januari 2005),


anggota masyarakat yang selamat dari musibah gempa bumi dan tsunami ditampung
di lokasi-lokasi pengungsian, ditiap kecamatan terdapat sekitar 2-5 posko besar yang
menampung sebanyak 300-4.000 pengungsi. Jumlah pengungsi di posko tidak tetap
karena mereka pindah ke tempat lain pada saat tidak betah dan atau alasan lain.
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
51

Selain di posko pengungsian, korban bencana juga ada yang masih tinggal di rumah-
rumah penduduk yang masih utuh.

A.4. Perumahan
Jumlah rumah yang hancur/hilang/rusak akibat bencana gempa dan tsunami
di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh 5.327 unit, dengan rincian rumah
hancur/hilang 2.586 unit, rusak berat 1.147 unit dan rusak ringan 1.310 unit. Di
Kecamatan Meuraxa Jumlah rumah yang rusak dan hancur hampir mencapai 100
persen dan yang tersisa hanyalah puing-puing dan bahkan tidak meninggalkan
bekas.

A.5. Adat dan Budaya Masyarakat Aceh


Budaya merupakan salah satu warisan masyarakat di suatu desa atau daerah
yang paling tinggi nilainya. Warisan ini tercipta dari hasil karya dan karsa
masyarakat yang diterima secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Budaya adalah milik rakyat, baik yang berdomisili di daerah terisolir
maupun masyarakat diperkotaan. Budaya akan selalu mengalami perubahan. Hal ini
disebabkan adanya dinamika sosial atau terjadinya proses perubahan sosial seiring
dengan berjalannya waktu (Nyakpha, 2004).
Dalam sebuah tradisi budaya, katakanlah dalam masalah saudara, bagi
masyarakat Aceh jika dikatakan, ”Saboh syehdara” atau “Saboh taloe darah,” artinya
diantara mereka mempunyai hubungan darah atau hubungan kekerabatan. Pada
“syedara lingka” dan “syedara gampoeng” didasarkan pada tempat tinggal atau
tempat menetap. “Syehdara kaweun” (kawin) merupakan kekeluargaan yang
dibangun melalui hubungan darah dan hubungan perkawinan (Kurdi, 2005).
Ketenteraman, keseimbangan, keamanan dan kedamaian merupakan hal-hal
yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Mereka selalu
berupaya dan menghormati nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah disepakati
bersama atau aturan yang telah ditetapkan agama. “Seubakhe-bakhe ureung Aceh,
wate geusebut nan Allah dan Nabi teuiem atawa seungap,” artinya sebodoh-
bodohnya orang Aceh ketika disebut nama Allah dan nabinya mereka akan terdiam,
tak meneruskan pekerjaan yang sedang dilakukan (Syahrizal, 2004). Budaya ini
masih dirasakan dan terlihat dalam kehidupan hari-hari. Dengan menghargai adat
masyarakat Aceh masih dapat bertahan hidup dalam kedamaian hati, ketenteraman
jiwa, keseimbangan dan teguh dalam pendirian (Kurdi, 2005).
Bagi orang Aceh mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam merupakan
bagian dari kehidupan budaya, seakan-akan diri mereka telah menyatu dengan
ajaran Islam (Husein, 1970). Ajaran itu memberi pengaruh terhadap perilaku
masyarakat Aceh dalam membina hubungan dengan Allah SWT, hubungan
masyarakat dengan alam sekitarnya dan hubungan dengan dirinya sendiri.
Struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari syedara saboh ma, syedara
saboh nek, syedara saboh aneuk, syedara lingka, syedara gampong dan kaoem.
Artinya, struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari saudara satu ibu, saudara satu
nenek, saudara sesama anak, tetangga, sekampung dan sesama kaum muslimin.
Latar belakang yang dibangun oleh masyarakat Aceh dalam memahami dan
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
52

mengikat hubungan antara saudara adalah berdasarkan norma-norma agama. Oleh


karena itu, tatanan budaya dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama di desa-
desa, sering terdengar ungkapan “han teupeh bak tajak han teupeh bak tawoe saboeh
nangroe Tuhan peulara” yang artinya kemanapun kita pergi dan pulang tidak ada
yang menghalangi, karena semua dijaga oleh Allah yang maha Kuasa. Kalimat itu
memiliki nilai sastra yang tinggi yang menunjukkan bahwa budaya orang Aceh tidak
mengalpakan nilai-nilai keagamaan dalam setiap kesempatan baik berkaitan dengan
kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial budaya (Sufi, 2002).
Orang Aceh pada umumnya berkarakter keras, tidak mau didikte, tidak
cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi
masalah. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan makanan yang di konsumsi
dalam keseharian. Orang Aceh gemar makanan yang pedas-pedas, seperti gulai pliek
ue, gulai kambing, ikan lele dan sambal yang terdiri dari asam sunti dan rempah-
rempah yang sebagian besar bumbunya itu adalah cabe dan lada. Daging merupakan
makanan yang mengandung protein yang dibutuhkan oleh tubuh apalagi ditambah
dengan bumbu cabe dan lada membuat orang jadi “panas dan pedas”. Begitu juga
dengan ikan lele dan ramuan-ramuan lainnya, jika kita perhatikan hampir semua
makanan dari masakan tradisional aceh itu dapat dikatakan tidak ada yang tidak
pedas (Sufi, 2002).
Menurut Hill (1960), sebelum tsunami, masyarakat Aceh memiliki banyak
rujukan budaya yang menjadi dasar pemikiran mereka seperti lembaga adat, Hadih
Maja, adat istiadat, seni budaya, hikayat, pantun, syair dan struktur-struktur adat
lainnya. Dalam karya seni tari, ditemukan gerak, likok, dan syair yang memuat
pesan dengan kandungan nilai yang bersifat implisit, seperti dalam Tari Laweuty,
Tari Pho, Tari Seudati, Tari Saman dan sebagainya. Pasca tsunami struktur lembaga
dan seni-seni budaya yang ada dalam masyarakat Aceh itu sudah tidak dapat
dijadikan rujukan karena di samping hancurnya lembaga adat, struktur budaya dari
ketua-ketua adat meninggal dunia, khususnya mereka yang berdomisili dekat pesisir
Aceh Barat dan Kota Banda Aceh.
Dalam beberapa kesempatan, ungkapan yang sering dijadikan rujukan
perilaku terkesan memiliki bukti yang nyata. Sebelumnya orang Aceh mengetahui
dan mempraktekkan adat-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, namun sekarang
sudah ditinggalkan. Mereka suka mengutip beberapa sumber nilai dalam Hadih
Maja, sehingga ditemukan sifat-sifat yang terpuji dengan konsekuensi buruk,
memperlihatkan bukti yang amat nyata. Sifat geumaseh (pemurah) dan seutia (loyal-
setia) adalah sifat dan perilaku yang amat terpuji dalam kurun waktu tertentu, namun
pada kurun waktu lain sifat itu menjadi buruk akibatnya.
Banyak orang yang terlibat ketika terjadi tsunami pada tanggal 26 Desember
2004 yang lalu. Masing-masing mereka lari menyelamatkan diri. Banyak orang yang
tidak setia kepada sanak keluarga apalagi kepada orang lain. Mayat bergelimpangan
dimana-mana dalam keadaan telanjang bulat hanya sedikit diantara mereka yang
memiliki budaya kesetiakawanan sosial. Di tempat lain ditemukan pula ungkapan
serupa, “Ta weueh ie mata gob saboh tima, rho ie mata droe teueh saboh blang,”
(untuk mencegah agar air mata orang lain jangan tumpah seember, akan boleh jadi
tumpah air mata sendiri satu hamparan sawah). Ungkapan ini memiliki arti bahwa
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
53

jika membantu orang, ingat-ingat nasib sendiri. Ini adalah suatu contoh bagaimana
sifat suka menolong dan membantu kesulitan orang lain, justru harus dibayar dengan
kerugian lebih besar pada diri sendiri, padahal sifat dan perilaku suka menolong
orang lain merupakan sifat sangat terpuji dalam tata kehidupan orang Aceh (Kurdi ,
2005).

B. MASALAH-MASALAH KELUARGA PASCA GEMPA DAN TSUNAMI


Pengungsian, baik yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir,
gempa bumi, angin topan (tornado), gelombang pasang (tsunami), maupun yang
disebabkan oleh bencana sosial dan politik seperti tawuran antar warga, konflik
antar ras, peperangan, dan lain-lain menyisakan permasalahan yang perlu segera
ditangani. Permasalahan tersebut berdampak pada terhambatnya pemenuhan
kebutuhan dasar, tercerai berainya anggota keluarga dan timbulnya masalah
psikososial yang pada akhirnya mempengaruhi keberfungsian sosial korban
bencana. Bantuan pangan, sandang dan pemukiman yang bersifat sementara dapat
saja diusahakan dengan segera untuk mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan
dasar (fisiologis) korban bencana melalui bantuan pemerintah atau bantuan dari
organisasi-organisasi non pemerintah. Berbagai masalah dihadapi keluarga korban
bencana gempa dan tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam
penelitian ini permasalahan-permasalahan yang dihadapi keluarga dikelompokkan
menjadi enam, yaitu masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian
dan pekerjaan/pendapatan.

B.1. Masalah Pangan


Permasalahan pangan yang masih dialami oleh 52.2 persen keluarga adalah
tidak adanya pangan hewani dalam menu yang disajikan setiap hari, dan makan
kurang dari 3 kali sehari dengan menu bukan empat sehat masih juga dialami oleh
26.8 persen keluarga (Lampiran 2).
Jika dicermati data pada Tabel 10, secara keseluruhan masih ada 12.3 persen
keluarga mengalami masalah pangan walaupun bencana sudah berlalu 1.5 tahun.
Rata-rata skor masalah pangan secara keseluruhan adalah 29.21. Berdasarkan
tipologi rata-rata masalah pangan paling tinggi dialami oleh keluarga utuh (30.08)
dan terendah dialami oleh keluarga janda (24.43). Rendahnya masalah pangan yang
dihadapi keluarga janda karena adanya bantuan-bantuan khusus untuk anak yatim.

Tabel 10. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pangan
Kategori masalah Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Pangan n % n % n % n %
Rendah 90 87.4 18 90.0 13 86.7 121 87.7
Sedang 7 6.8 1 5.0 2 13.3 10 7.2
Tinggi 6 5.8 1 5.0 0 0.0 7 5.1
100.
Total
103 100.0 20 100.0 15 0 138 100.0
Rata-Rata 30.08 28.32 24.43 29.21
Standar deviasi 25.36 24.84 23.46 24.98
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
54

Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00


Maksimum 100.00 100.00 66.70 100.00
Analisis Anova antar
0.708
tipologi keluarga

Pada saat data dikumpulkan, sebagian besar keluarga masih mendapatkan


bantuan bahan makanan berupa beras (10 kg/individu), minyak (1 kg/individu) mie
dan sarden yang diberikan tiap bulan yang jumlahnya berdasarkan banyaknya
anggota keluarga. Namun demikian, tidak semua keluarga bernasib baik karena
sebagian desa sudah tidak menerima bantuan apapun baik dari pemerintah maupun
dari LSM.

B.2. Masalah Kesehatan


Adanya fasilitas pelayanan kesehatan gratis dari pemerintah dan LSM dalam
dan luar negeri membuat keluarga tidak mengalami banyak masalah dalam hal
pengobatan. Petugas medis secara rutin datang ke barak-barak pengungsian untuk
memeriksa kesehatan tanpa dikenakan biaya. Namun demikian masih ada keluarga
yang mengalami kesulitan untuk membayar biaya pengobatan pada saat mereka
berobat ke dokter praktek. Hal ini dikarenakan mereka sakit pada saat petugas medis
tidak datang ke barak-barak sehingga harus berobat sendiri ke dokter atau ke rumah
sakit. Hasil penelitian menunjukkan masih ada 47.8 persen contoh menyatakan
mengalami kesulitan dalam membayar obat-obatan. Jika dilihat berdasarkan
tipologinya, 65 persen keluarga duda menyatakan sulit membayar obat-obatan dan
hanya sebagian kecil (8.7%) keluarga yang menyatakan bahwa jika ada anggota
keluarga yang sakit tidak selalu dibawa berobat ke dokter atau puskesmas (Lampiran
2).
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor masalah kesehatan yang paling
rendah dijumpai pada tipologi keluarga utuh (25.73), dan skor tertinggi pada
keluarga duda (40.00). Tingginya skor masalah kesehatan yang dihadapi oleh
tipologi duda dimungkinkan karena contoh harus menghadapi sendiri masalah
kesehatan anggota keluarga yang sebelumnya dibantu oleh istri.

Tabel 11. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah kesehatan
Kategori masalah Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Kesehatan n % n % n % n %
Rendah 55 53.4 8 40.0 7 46.7 70 50.7
Sedang 43 41.7 8 40.0 7 46.7 58 42.0
Tinggi 5 4.9 4 20.0 1 6.7 10 7.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 25.73 40.00 30.00 28.26
Standar Deviasi 29.59 34.79 36.84 31.37
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis Anova antar
0.173
tipologi keluarga
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
55

Pada keluarga utuh, adanya orang tua yang masih lengkap, permasalahan
kesehatan dapat ditanggulangi bersama-sama. Pada tipologi janda, peran ibu relatif
masih berfungsi terkait dengan kesehatan anggota keluarga. Namun demikian,
berdasarkan analisis anova tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah
kesehatan antara ketiga tipologi keluarga.

B.3. Masalah Pendidikan


Pada bulan-bulan pertama pasca bencana, proses belajar-mengajar sulit
dilakukan. Bukan saja karena gedung sekolah rusak, tetapi juga karena sebagian
guru yang mengajar dan siswa juga tak jelas keberadaannya atau kehilangan
keluarga. Sekolah-sekolah di kawasan yang selamat dari amukan tsunami, masih
dimanfaatkan menjadi tempat pengungsian (Hidayati, 2005).
Secara keseluruhan, masih ada 21.0 persen keluarga mengalami masalah
pendidikan dengan kategori tinggi. Berdasarkan tipologi, keluarga duda mengalami
masalah pendidikan paling tinggi dengan rata-rata 48.34, paling rendah dialami oleh
tipologi keluarga janda yakni 35.55 (Tabel 12). Berdasarkan analisis anova tidak ada
perbedaan yang nyata terkait masalah pendidikan antara ketiga tipologi keluarga.

Tabel 12. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pendidikan
Kategori masalah Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
pendidikan n % n % n % n %
Rendah 63 61.2 13 65.0 10 66.7 86 62.3
Sedang 19 18.4 3 15.0 1 6.7 23 16.7
Tinggi 21 20.4 4 20.0 4 26.7 29 21.0
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 37.22 48.34 35.55 38.65
Standar Deviasi 40.24 38.21 38.77 39.72
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis Anova antar
0.496
tipologi keluarga

Pada saat penelitian ini dilakukan masih ada 5.3 persen anak usia sekolah
yang tidak bersekolah pasca gempa dan tsunami. Untuk melaksanakan wajib belajar
bagi anak usia sekolah pemerintah daerah telah memberikan perhatian yang serius
dengan memberikan biaya pendidikan gratis mulai dari TK hingga jenjang SLTA,
termasuk fasilitas sekolah seperti seragam, tas, sepatu, buku-buku dan snack gratis
yang dibagikan seminggu sekali di sekolah.
Selain pendidikan formal, saat ini banyak pendidikan non formal yang
bermunculan di Banda Aceh seperti yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat di
Kecamatan Meuraxa. Yayasan ini melaksanakan berbagai kegiatan seperti pelatihan
komputer, perbengkelan, menjahit, memasak dan pelatihan pertanian yang dilakukan
oleh BRR dan LSM dengan sasaran utama adalah para remaja yang tidak
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ibu-ibu yang tidak bekerja dan bapak-
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
56

bapak yang kehilangan pekerjaan. Hal yang sama juga dilakukan di Kecamatan Kuta
Alam. Namun demikian masih ada 33.9 persen anak keluarga contoh yang tidak
mengikuti pendidikan non formal dengan berbagai alasan antara lain: (1) tidak
sesuai dengan bakat; (2) tidak memiliki modal jika ingin buka usaha sendiri; (3)
kurangnya lapangan pekerjaan; dan (4) membosankan. Permasalahan pendidikan
lainnya yang dihadapi 48.6 persen keluarga adalah tidak mampu menyediakan
fasilitas belajar di rumah untuk keperluan sekolah anak. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar keluarga masih tinggal di barak pengungsian (Lampiran 2).

B.4. Masalah Perumahan/Tempat Tinggal


Masalah perumahan/tempat tinggal sangat dirasakan oleh karena keluarga
korban tsunami masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Sebagian besar keluarga
merasa tidak nyaman dengan fasilitas sangat tidak memadai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 34.8 persen keluarga
menyatakan rumah untuk tempat berlindung tidak memadai, 29.7 persen
menganggap rumah tidak dilengkapi dengan fasilitas MCK (mandi, cuci dan kakus),
31.4 persen menyatakan kurangnya ruangan untuk sekeluarga dan 25.4 persen
keluarga menyatakan bahwa rumah/tempat tinggal saat ini tidak memiliki cukup
penerangan (Lampiran 2). Hal tersebut dimungkinkan karena keluarga tinggal di
barak-barak pengungsian karena pembangunan perumahan untuk para korban
bencana yang dijanjikan pemerintah belum semua selesai. Disamping itu juga
karena memang status mereka sebelum tsunami sebagai pengontrak yang tidak
memiliki lahan untuk perumahan, jadi terus bertahan tinggal di barak-barak
walaupun kondisi barak yang tidak memenuhi standar kesehatan. Hal ini dilakukan
karena tidak mampu mengeluarkan biaya kontrak yang harganya sangat tinggi. Di
tenda-tenda pengungsian, para pengungsi sering harus saling menyesuaikan diri,
terutama karena situasi yang serba darurat. Sebagian pengungsi mengalami kesulitan
untuk dapat menyesuaikan diri karena mengalami perubahan status, misalnya ibu
rumahtangga yang menjadi janda, bapak-bapak yang menjadi duda biasanya
mengalami kekakuan dalam berperilaku.
Hasil pengkategorian skor masalah perumahan/tempat tinggal yang dihadapi
keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 25.4 persen keluarga mengalami masalah
perumahan dengan kategori tinggi (Tabel 13). Skor masalah perumahan paling
tinggi dialami oleh keluarga utuh (29.1 persen) dan paling rendah keluarga janda
yaitu 6.7 persen. Tingginya skor permasalahan perumahan pada tipologi keluarga
utuh dimungkinkan karena barak yang disediakan hanyalah satu ruangan yang
berukuran 4x4 m dimana seluruh anggota keluarga baik laki-laki dan perempuan
harus melakukan semua aktivitas dalam suatu ruangan tanpa ada dinding pembatas.
Tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah perumahan antara ketiga tipologi
keluarga.

Tabel 13. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah perumahan
Kategori masalah Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
rumah n % n % n % n %
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
57

Rendah 61 59.2 16 80.0 13 86.7 90 65.2


Sedang 12 11.7 0 0.0 1 6.7 13 9.4
Tinggi 30 29.1 4 20.0 1 6.7 35 25.4
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 33.74 28.75 15.00 30.98
Standar Deviasi 40.78 39.96 28.03 39.68
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis Anova antar
0.225
tipologi keluarga

B.5. Masalah Pakaian


Pada hari-hari pertama bencana gempa dan tsunami, masalah pakaian sangat
dirasakan oleh para korban yang selamat, 6 bulan pasca bencana bantuan pakaian
yang diterima oleh korban cukup memadai , hal ini terbukti saat penelitian ini
berlangsung hanya 16.7 persen anggota keluarga tidak memiliki pakaian yang
memadai yaitu pakaian di rumah dan pakaian untuk bepergian (Lampiran 2). Bagi
keluarga yang bekerja di kantor pemerintahan dan swasta disediakan pakaian dinas
yang baru untuk menggantikan pakaian dinas yang hilang akibat tsunami.
Rendahnya masalah pakaian ini juga diperkuat oleh sebagian keluarga yang
menganggap masalah pakaian bukanlah masalah penting yang harus selalu dipenuhi,
dan sudah menjadi suatu kebiasaan bagi keluarga yang berpenghasilan rendah
pakaian baru hanya dibeli setahun sekali yaitu pada saat lebaran saja.
Terkait dengan masalah pakaian, secara keseluruhan hanya 8.0 persen
keluarga tergolong dalam kategori tinggi (Tabel 14). Hasil analisis deskriptif
mengindikasikan bahwa rata-rata skor masalah pakaian terendah dijumpai pada
keluarga tipologi janda (10.00), tertinggi adalah pada tipologi keluarga duda (27.50).
Tingginya skor permasalahan pakaian pada tipologi keluarga duda dimungkinkan
karena tidak adanya istri yang mengurus masalah pakaian bagi seluruh anggota
keluarga

Tabel 14. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pakaian
Kategori masalah Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
pakaian n % n % n % n %
Rendah 75 72.8 17 85.0 12 80.0 104 75.4
Sedang 18 17.5 3 15.0 2 13.3 23 16.7
Tinggi 10 9.7 0 0.0 1 6.7 11 8.0
100.
Total
103 100.0 20 100.0 15 0 138 100.0
Rata-Rata 15.05 27.50 10.00 16.30
Standar Deviasi 30.39 37.96 20.70 30.90
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 50.00 100.00
Analisis Anova antar
0.182
tipologi keluarga
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
58

B.6. Masalah Pekerjaan/Pendapatan


Setelah 1.5 tahun pasca bencana, masih terdapat 15.2 persen contoh tidak
bekerja dan 24.6 persen contoh menyatakan bahwa penghasilan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari (Lampiran 2). Alasan contoh tidak
bekerja adalah karena tidak memiliki modal untuk memulai usaha kembali dan tidak
memiliki fasilitas untuk kelaut mencari ikan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari, sebagian contoh bekerja sebagai buruh bangunan yang saat ini banyak
dibutuhkan dan tidak memerlukan modal.
Kehilangan pendapatan adalah salah satu gambaran adanya penurunan
sumberdaya material yang sangat berpengaruh terhadap keberfungsian keluarga.
Beberapa LSM yang ada di Provinsi NAD berinisiatif membuka lapangan pekerjaan
bagi masyarakat yakni membersihkan puing-puing sisa bangunan yang sudah hancur
dengan gaji Rp 35.000/hari dan memperoleh makan siang gratis.
Secara keseluruhan masih ada 10.1 persen keluarga yang mengalami
permasalah pekerjaan dengan kategori tinggi (Tabel 15). Berdasarkan tipologi
masalah pekerjaan terendah dialami oleh keluarga utuh dengan rata-rata 18.45. dan
tertinggi dialami oleh keluarga janda dengan rata-rata 30.00. Tingginya skor
masalah pekerjaan/pendapatan pada keluarga janda disebabkan tidak adanya lagi
penopang nafkah keluarga yang sebelum tsunami umumnya dipegang oleh suami.
Hilangnya pencari nafkah utama keluarga membuat keluarga pada tipologi janda
mengalami masalah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tabel 15. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pekerjaan
Kategori masalah Utuh (n=103) Duda (n20) Janda (n=15) Total (n=138)
Pekerjaan n % n % n % n %
Rendah 72 69.9 16 80.0 9 60.0 97 70.3
Sedang 21 20.4 3 15.0 3 20.0 27 19.6
Tinggi 10 9.7 1 5.0 3 20.0 14 10.1
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 18.45 20.00 30.00 19.93
Standar Deviasi 32.83 34.03 36.84 33.39
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimal 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis Anova
0.460
antar tipologi keluarga

C. SUMBERDAYA COPING

C.1. Karakteristik Sosial-Ekonomi Keluarga

C.1.1. Jumlah Anggota Keluarga


Secara keseluruhan rata-rata jumlah anggota keluarga contoh adalah 4 orang.
Berdasarkan tipologi rata-rata jumlah anggota keluarga pada tipologi keluarga utuh
lebih banyak daripada keluarga duda dan janda. Kisaran jumlah anggota keluarga
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
59

pada tipologi keluarga utuh adalah 3 hingga 8 orang, keluarga duda 2 hingga 7 orang
dan keluarga janda 2 hingga 4 orang (Tabel 16).

Tabel 16. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori jumlah anggota
Utuh Duda Janda Total
Kategori Jumlah
(n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
Anggota Keluarga
n % n % n % n %
≤ 4 orang 70 68.0 18 90.0 15 100.0 103 74.6
5-6 orang 24 23.3 1 5.0 0 0.0 25 18.1
≥ 7 orang 9 8.7 1 5.0 0 0.0 10 7.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 4.28 (a) 2.75 (bc) 2.47(cd) 3.86
Standar Deviasi 1.34 1.29 0.64 1.46
Minimum 3.00 2.00 2.00 2.00
Maksimum 8.00 7.00 4.00 8.00
Analisis Anova antar
0.000
tipologi keluarga
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda
berarti berbeda nyata

Jumlah anggota keluarga pada keluarga utuh dengan keluarga duda dan
janda pasca gempa dan tsunami berbeda nyata (p<0.01). Hal ini berarti bencana
tersebut telah mengakibatkan berkurangnya jumlah anggota keluarga ketiga tipologi
keluarga. Secara umum, jumlah anggota keluarga setelah gempa dan tsunami
termasuk dalam kategori keluarga kecil yakni lebih kecil atau sama dengan empat
orang.

C.1.2. Pekerjaan
Pasca gempa dan tsunami banyak orang yang kehilangan pekerjaannya,
setahun setelah bencana sebagian besar telah kembali bekerja. Jenis pekerjaan utama
contoh sangat bervariasi, diantaranya buruh, PNS/ABRI, pedagang/wiraswasta,
karyawan swasta dan LSM/relawan. Dilihat dari jenis pekerjaannya, persentase
terbesar (30.4%) keluarga utuh berprofesi sebagai buruh dan keluarga duda (35%)
dan janda (46.7%) berprofesi sebagai pedagang/wiraswasta dan ada 15.2 persen
contoh yang tidak memiliki pekerjaan. Sebagian besar (94.2%) contoh tidak
mempunyai pekerjaan tambahan yang dapat memberikan tambahan pemasukan
untuk keluarga. Hanya sebagian kecil (5.8%) contoh yang mempunyai pekerjaan
tambahan bekerja sebagai pedagang/wiraswasta, mengurus barak dan buruh.

Tabel 17. Sebaran contoh menurut kategori pekerjaan utama dan tambahan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Jenis Pekerjaan
n % n % n % n %
Utama
1. Buruh 36 35 3 15 3 20 42 30.4
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
60

2. Tidak Bekerja 18 17.5 1 5 2 13.3 21 15.2


3. Pedagang/Wiraswasta 22 21.4 7 35 7 46.7 36 26.1
4. Swasta 13 12.6 4 20 1 6.7 18 13.0
5. PNS/ABRI 11 10.7 4 20 2 13.3 17 12.3
6. LSM/Relawan 3 2.9 1 5 0 0 4 2.9
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tambahan 
1. Tidak Bekerja 97 94.2 19 95.0 14 93.3 130 94.2
2. Pedagang/Wiraswasta 4 3.9 1 5.0 1 6.7 6 4.3
3. Mengurus barak 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
4. Buruh 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100 20 100.0 15 100.0 138 100.0

Sebagian besar (90.6%) anak keluarga contoh tidak mempunyai pekerjaan


yang dapat membantu keuangan keluarga. Hanya 9.4 persen anak keluarga contoh
yang bekerja sebagai buruh, PNS/ABRI, swasta dan pedagang/wiraswasta.
Rendahnya persentase anak keluarga contoh yang bekerja dimungkinkan karena
usianya masih di bawah umur. Hal yang sama juga terjadi pada anggota keluarga
lain hanya 1.4 persen yang bekerja sebagai buruh dan pedagang/wiraswasta

Tabel 18. Sebaran contoh menurut kategori pekerjaan utama anak dan anggota keluarga lain
Pekerjaan Anak & Anggota Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Keluarga Lain n % n % n % n %
Anak
1. Tidak Bekerja 92 89.3 19 95.0 14 93.3 125 90.6
2. Buruh 7 6.8 0 0.0 1 6.7 8 5.8
3. PNS/ABRI 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4
4. Swasta 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4
5. Pedagang/wiraswasta 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Anggota keluarga lain    
1. Tidak Bekerja 102 99.0 19 95.0 15 100.0 136 98.6
2. Buruh 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
3. Pedagang/wiraswasta 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0

C.1.3. Pengeluaran
Rata-rata pengeluaran keluarga secara keseluruhan adalah Rp 542.819.
Berdasarkan tipologi keluarga, rata-rata pengeluaran keluarga pada keluarga tipologi
duda paling tinggi (Rp 726.900) dibandingkan keluarga tipologi janda (Rp 611.892)
dan utuh (Rp 497.016) (Tabel 19).
Berdasarkan kategori pengeluaran, sebagian besar keluarga dari tipologi
utuh dan janda berada pada kisaran antara Rp 100.000-250.000/kapita/ bulan, dan
pada tipologi keluarga duda sebanyak 35 persen berada pada kategori Rp > 250.000-
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
61

500.000/kap/bulan. Hasil analisis anova menunjukkan adanya perbeda- an


pengeluaran antara ketiga kelompok tipologi keluarga. Analisis lanjut dengan
metode Duncan menunjukkan bahwa yang berbeda nyata adalah pengeluaran
tipologi keluarga utuh dan duda.
Jika dibandingkan dengan batas kemiskinan Provinsi NAD pada tahun 1999
(BPS, 2002) yakni sebesar Rp 83.683 untuk wilayah perkotaan, maka rata-rata
pengeluaran keluarga dalam penelitian ini masih di atas ambang kemiskinan.
Bahkan bila dibandingkan dengan garis batas kemiskinan Indonesia pada tahun 2002
yakni sebesar Rp 130.499 maka pengeluaran rata-rata keluarga penelitian masih
berada di atas ambang kemiskinan. Hal ini mengindikasikan, keluarga dalam
masyarakat NAD, khususnya keluarga yang termasuk dalam penelitian ini
perekonomiannya telah bangkit kembali setelah bencana gempa dan tsunami
melanda.

Tabel 19. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pengeluaran

Kategori Pengeluaran Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
(Rp/kap/bulan) n % n % n % n %
< 100.000 22 21.4 1 5.0 3 20.0 26 18.8
> 100.000 - 250.000 48 46.6 6 30.0 6 40.0 60 43.5
> 250.000 - 500.000 24 23.3 7 35.0 2 13.3 33 23.9
> 500.000 - 750.000 8 7.8 5 25.0 4 26.7 17 12.3
> 750.000 - 1.000.000 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
> 1.000.000 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 497.016.(ac) 726.900(bc) 611.892.(cb) 542.819
Standar Deviasi 288.282 23.871 25.000 328.564
Minimum 131.800 272.142 25.000 25.000
Maksimum 2.170.333 1.908.250 1.297.833 2.170.333
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.011
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda
berarti berbeda nyata

Jenis pengeluaran keluarga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
pengeluaran pangan dan non pangan. Secara naluri setiap keluarga lebih dahulu
memanfaatkan setiap pendapatannya untuk pangan, kemudian untuk kebutuhan non
pangan. Namun demikian, perilaku ini tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala
keluarga, lokasi tempat tinggal dan musim (Mangkuprawira, 1989).
Secara umum, rata-rata pengeluaran pangan keluarga contoh adalah Rp
286.559/kap/bulan. Jumlah ini lebih besar dibandingkan pengeluaran non pangan
yaitu Rp 260.221/kap/bulan. Hal ini sejalan dengan persentase pengeluaran pangan
51.9 persen yang lebih tinggi dibandingkan pengeluaran non pangan 48.1 persen.
Berdasarkan tipologi keluarga, maka pengeluaran pangan keluarga duda adalah yang
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
62

paling tinggi Rp 367.379 dibandingkan tipologi keluarga janda Rp


314.061/kap/bulan dan utuh Rp 267.646/kap/ bulan. Pengeluaran non pangan
tertinggi juga dijumpai pada tipologi keluarga duda yaitu Rp 377.890/kap/bulan
diikuti oleh tipologi keluarga janda sebesar Rp 319.105/kap/bulan dan keluarga utuh
Rp 229.369/kap/bulan. Analisis anova menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
nyata pengeluaran non pangan antar ketiga tipologi keluarga. Selanjutnya uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata hanya antara pengeluaran non
pangan keluarga utuh dan duda, pengeluaran pangan keluarga janda tidak berbeda
dengan dua tipologi lainnya (Tabel 20).

Tabel 20. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pengeluaran pangan dan non
pangan
Pengeluaran (Rp/bulan Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Pangan
Rata-rata 267.646 367.379 314.061 286.559
Standar Deviasi 157.825 223.606 216.663 177.195
Minimum 79.000 94.285 25.000 25.000
Maksimum 1.232.000 975.000 827.000 1.232.000
Persentase 53.9 50.5 51.3 51.9
Analisis Anova antar
0.063
tipologi keluarga
Non Pangan
Rata-Rata 229.369 377.890 319.105 260.221
Standar Deviasi 169.657 286.008 229.410 202.880
Minimum 0.00 60.000 84.750 0.00
Maksimum 938.333 1.337.500 735.555 1.337.500
Persentase 46.1(ac) 49.5(bc) 48.7(cba) 48.1
Analisis Anova antar
0.005
tipologi keluarga
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda
berart berbeda nyata

Pengeluaran keluarga merupakan salah satu indikator yang dapat


memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan
maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk pangan ke
pengeluaran non pangan (BPS, 1998). Hal ini sesuai dengan hukum Engel mengenai
hubungan pendapatan dan pengeluaran, persentase pengeluaran untuk pangan akan
menurun bila pendapatan semakin tinggi (Bryant, 1990). Pergeseran pola
pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya
rendah. Artinya konsumsi suatu barang akan menurun bila pendapatan meningkat,
sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya
tinggi. Dengan demikian, kenaikan pendapatan berakibat pada kenaikan permintaan
terhadap suatu barang (BPS, 1998).

C.1.4. Pendapatan
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
63

Rata-rata pendapatan keluarga per kapita per bulan pasca bencana gempa
dan tsunami disajikan pada Tabel 21. Secara umum, rata-rata pendapatan keluarga
adalah Rp 628.925/kap/bulan dengan kisaran Rp 96.000/kap/bulan hingga Rp
3.666.667/kap/bulan. Rata-rata pendapatan keluarga paling tinggi dijumpai pada
keluarga dengan tipologi duda yakni Rp 832.922/kap/bulan, selanjutnya keluarga
janda dengan rata-rata Rp 602.000/kap/bulan dan terendah pada keluarga utuh Rp
451.853/kap/bulan. Hasil analisis anova menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(p<0.05) antar pendapatan pada ketiga tipologi keluarga. Banyak keluarga yang
kehilangan sumber penghasilannya pasca gempa dan tsunami sehingga mereka harus
merintis kembali usaha/pekerjaan yang dilakukan sebelumnya atau mencari
pekerjaan baru untuk menghidupi keluarganya

Tabel 21. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pendapatan


Kategori Pendapatan Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
(Rp/kap/bulan) n % n % n % n %
1. < 100.000 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4
2. > 100.000 - 250.000 17 16.5 4 20 1 6.7 22 15.9
3. > 250.000 - 500.000 57 55.3 4 20 7 46.7 68 49.3
4. > 500.000 - 750.000 17 16.5 8 40 5 33.3 30 21.7
5. > 750.000 -1.000.000 5 4.9 0 0 1 6.7 6 4.3
6. > 1.000.000 5 4.9 4 20 1 6.7 10 7.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 451.853(ac) 832.922 (bc) 602.000(cba) 628.925
Standar Deviasi 258.649 839.151 335.797 477.866
Minimum 96.000 150.000 150.000 96.000
Maksimum 1.500.000 3.666.667 1.500.000 3.666.667
Analisis Anova antar
0.001
tipologi keluarga
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda
berarti berbeda nyata

C.1.5. Aset
Berbagai aset yang masih dimiliki oleh keluarga pasca gempa dan tsunami
mulai dari rumah, tanah, kolam/tambah, ternak, kendaraan, perhiasan/barang
berharga, tabungan dan barang elektronika (Tabel 22). Data yang diperoleh
menunjukkan ada empat keluarga yang sama sekali tidak memiliki aset karena
mereka kehilangan seluruh harta benda yang dimiliki. Rata-rata nilai aset yang
dimiliki keluarga secara keseluruhan adalah Rp 20.442.237.06. Berdasarkan
tipologi, nilai aset tertinggi dimiliki keluarga janda (Rp 25.193.444) dan terendah
dimiliki oleh keluarga utuh (Rp 19.810.416). Artinya meskipun keluarga utuh tidak
mengalami kehilangan pasangan, kehilangan ataupun kerusakan harta benda
dampaknya dirasakan bersama dengan keluarga janda dan duda. Namun, hasil
analisis anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara aset pada
keluarga utuh, duda dan janda.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
64

Aset berupa ternak hanya dimiliki oleh keluarga utuh. Nilai aset terbesar
keluarga berasal dari kolam/tambak yang mengalami kerusakan yang sangat parah
pada saat bencana. Aset kendaraan lebih banyak dimiliki oleh keluarga utuh dan
keluarga duda. Dan aset berupa tabungan untuk anak dimiliki oleh semua tipologi
keluarga, tetapi tabungan khusus pendidikan hanya dimiliki oleh keluarga utuh.

Tabel 22. Rata-rata nilai aset yang masih dimiliki keluarga


Janda Total
Aset Utuh (n=103) Duda (n=20) (n=15) (n=138)
51.250.000. 65.571.428.
1. Rumah 56.038.461.5 0 6 57.619.963.4
37.994.444. 35.928.571.
2. Tanah 48.238.024.7 4 4 40.720.346.8
60.000.000.
3. Kebun 0.0 0 0.0 20.000.000.0
158.000.000. 137.500.000 100.000.000 131.833.333.
4. Kolam/tambak 0 .0 .0 3
Ternak:
1. Kambing 3.750.000.0 0.0 0.0 1.250.000.0
2. Itik 205.000.0 0.0 0.0 68.333.3
3. Ayam 196.000.0 0.0 0.0 65.333.3
Kendaraan:
112.500.000
1. Mobil 41.166.666.7 .0 0.0 51.222.222.2
11.785.714.
2. Motor 9.567.641.0 3 7.666.666.7 9.673.340.7
3. Sepeda 2.241.875.0 250.000.0 0.0 830.625.0
14.000.000.
4. Becak 11.000.000.0 0 0.0 8.333.333.3
Perhiasan dan Surat Berharga:
1. Emas 4.610.052.6 7.200.000.0 2.590.000.0 4.800.017.5
2. Investasi 50.000.000.0 0.0 0.0 16.666.666.7
3. Surat Berharga  0.0 5.000.000.0 0.0  
Tabungan: 0.0
1. Tabungan anak 11.000.000.0 2.000.000.0 9.000.000.0 7.333.333.3
2. Tabungan Penddk 50.000.000.0 0.0 0.0 16.666.666.7
Barang Elektronik:
1. Radio 205.833.3 108.750.0 175.000.0 163.194.4
2. Televisi 1.605.084.8 1.362.500.0 1.357.142.9 1.441.575.9
3. Tape 315.882.4 650.000.0 0.0 321.960.8
4. Vcd 320.232.6 435.714.3 325.000.0 360.315.6
5. Rice cooker 253.510.6 290.000.0 265.000.0 269.503.5
6. Mesin cuci 1.050.000.0 0.0 0.0 350.000.0
7. Kipas angin 145.000.0 0.0 0.0 48.333.3
8. Dispenser 135.000.0 0.0 0.0 45.000.0
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
65

9. Komputer 3.000.000.0 0.0 0.0 1.000.000.0


10. Kulkas 1.575.000.0 0.0 1.750.000.0 1.108.333.3
11. Mesin jahit 1.900.000.0 0.0 0.0 633.333.3
19.810.416.3 20.132.708. 25.193.444. 20.442.237.0
Rata-Rata 2 35 44 6
24.878.571.7 18.117.314. 24.429.740. 23.877.078.5
Standar Deviasi 0 41 37 0
2.500.000.0
0.00 0.00 0.00
Minimum 0
145.325.000. 69.750.000. 81.075.000. 45.325.000.0
Maksimum 00 00 00 0
Analisis Anova antar tipologi
0.718
keluarga

Kepemilikan aset merupakan salah satu sumberdaya materi ataupun modal


yang dapat dimanfaatkan keluarga untuk memulai usaha yang mengalami
kehancuran pada saat gempa dan tsunami terjadi. Banyak diantara keluarga yang
menjual aset yang dimiliki untuk menopang kehidupannya meskipun mereka
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak seperti pemerintah, LSM dalam maupun
luar negeri.

C.2. Ciri-ciri Pribadi

C.2.1. Umur
Rata-rata umur kepala keluarga berkisar antara 41 sampai 45 tahun, dan
masih termasuk usia produktif. Bila dilihat berdasarkan kategori, 50.5 persen
keluarga utuh dan 55 persen keluarga duda berusia 41 - 60 tahun. Berbeda dengan
keluarga janda 66.7 persen berusia 21 - 40 tahun (Tabel 23). Namun demikian, hasil
uji anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata umur antara kedua tipologi
keluarga. Masih tingginya persentase contoh yang tergolong dalam kelompok umur
21-40 tahun khususnya bagi contoh dari tipologi keluarga janda yang sebagian besar
masuk dalam usia reproduksi menunjukkan masih tingginya peluang untuk menikah
lagi dan memiliki anak. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya lost generation
akibat gempa dan tsunami tidak separah yang diperkirakan.

Tabel 23. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori umur


Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Kategori umur
n % n % n % n %
< 21 tahun 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
21-40 tahun 46 44.7 8 40.0 10 66.7 64 46.4
41-60 tahun 52 50.5 11 55.0 4 26.7 67 48.6
> 60 tahun 4 3.9 1 5.0 1 6.7 132 95.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 42.31 44.85 41.60 42.60
Standar Deviasi 8.88 8.96 8.34 8.82
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
66

Minimum 20.00 31.00 30.00 20.00


Maksimum 68.00 71.00 62.00 71.00
Analisis Anova antar
0.452
tipologi keluarga

C.2.2. Tingkat Pendidikan


Tingkat pendidikan kepala keluarga secara keseluruhan (60.9%) adalah
SLTA/sederajat. Meskipun demikian terdapat 11.7 persen pada tipologi keluarga
utuh dan 6.7 persen pada tipologi keluarga janda yang berpendidikan perguruan
tinggi Meskipun demikian. Tetapi masih ada 1.4% kepala keluarga utuh dan janda
yang tidak pernah menduduki bangku sekolah (Tabel 24). Tingkat pendidikan yang
semakin tinggi diharapkan dapat mempermudah keluarga dalam menata
kehidupannya kembali pasca gempa dan tsunami baik dari aspek ekonomi maupun
trauma psikologis yang dialaminya.

Tabel 24. Sebaran contoh menurut kategori pendidikan formal


Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Pendidikan Formal n % n % n % n %
1. Tidak Sekolah 1 1.0 0 0.0 1 6.7 2 1.4
2. SD/sederajat 10 9.7 2 10.0 2 13.3 14 10.1
3. SLTP/sederajat 20 19.4 2 10.0 3 20.0 25 18.1
4. SLTA/sederajat 60 58.3 16 80.0 8 53.3 84 60.9
5. PT 12 11.7 0 0.0 1 6.7 13 9.4
Total 103 100.0 20 100.0 15 100 138 100.0

C.2.3. Tingkat Kesehatan


Skor tingkat kesehatan merupakan indikator tingkat kesehatan yang dapat
menggambarkan kondisi kesehatan keluarga pasca enam bulan terakhir. Semakin
tinggi skor yang diperoleh maka tingkat kesehatan semakin rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kesehatan kepala keluarga selama enam terakhir
sebagian besar (87.0%) cukup baik (Tabel 25).

Tabel 25. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori skor kesehatan selama enam
bulan terakhir
Kategori Tingkat Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Kesehatan n % n % n % n %
Rendah 1 1.0 3 15.0 0 0.0 4 2.9
Sedang 11 10.7 3 15.0 0 0.0 14 10.1
Tinggi 91 88.3 14 70.0 15 100.0 120 87.0
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 13.73(ac) 28.35(b) 9.73(ca) 15.41
Standar Deviasi 14.10 27.79 6.50 17.02
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
67

Maksimum 68.80 100.00 23.90 100.00


Analisis Anova antar
0.001
tipologi keluarga
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda
berarti berbeda nyata

Hal ini dimungkinkan dengan semakin membaiknya sarana pelayanan


kesehatan yang disediakan oleh pemerintah maupun LSM yang sifatnya gratis. Di
tenda-tenda pengungsian yang masih ada, tersedia pelayanan kesehatan secara cuma-
cuma sehingga masyarakat dapat berobat tanpa memikirkan biaya yang harus
dikeluarkan. Hasil analisis anova menunjukkan ada perbedaan yang nyata (p<0.05)
tingkat kesehatan antara ketiga tipologi. Uji lanjut Duncan mengindikasikan
perbedaan yang nyata antara tingkat kesehatan keluarga duda dengan keluarga janda
dan utuh. Hal ini dapat dimaknai bahwa pada keluarga utuh dan janda perawatan
kesehatan lebih baik dengan membawa anggota keluarga yang sakit ke tempat
pengobatan atau dengan adanya tindakan yang bersifat kuratif.
Jika dilihat berdasarkan jenis penyakit, terdeteksi 9 jenis penyakit yang
diderita oleh keluarga pada enam bulan terakhir (Tabel 26). Jenis penyakit yang
paling banyak diderita oleh ketiga tipologi keluarga adalah pilek/influenza (47.8%),
panas (29%) dan ISPA (25.4%).

Tabel 26. Sebaran keluarga menurut jenis penyakit yang diderita


(hari) enam bulan terakhir
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Jenis Penyakit
n % n % n % n %
Panas 30 29.1 6 30.0 4 26.7 40 29.0
Pilek/influenza 46 44.7 14 70.0 6 40.0 66 47.8
ISPA 25 24.3 8 40.0 2 13.3 35 25.4
Batuk Pilek 20 19.4 5 25.0 4 26.7 29 21.0
Diare (>5 kali) 6 5.8 2 10.0 0 0.0 8 5.8
Mencret biasa 6 5.8 1 5.0 0 0.0 7 5.1
Asma 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
Malaria 8 7.8 0 0.0 2 13.3 10 7.2
Gatal-gatal/eksim 10 9.7 2 10.0 2 13.3 14 10.1

Rata-rata lama sakit bagi sebagian besar keluarga adalah 2.58 hari untuk
jenis penyakit gatal-gatal/eksim. Hal ini dimungkinkan oleh sanitasi terutama
ketersediaan air bersih yang masih kurang memadai terutama untuk wilayah
pengungsian yang menyebabkan jenis penyakit ini mudah terjangkit (Tabel 27).

Tabel 27. Rata-rata lama sakit (hari) selama enam bulan terakhir
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
68

Jenis Penyakit Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
1. Panas demam 1.27 1.20 0.87 1.22
2. Pilek/influenza 1.78 2.25 1.27 1.79
3. Batuk biasa (ISPA) 1.25 1.90 0.60 1.28
4. Batuk pilek 1.06 0.85 1.00 1.02
5. Diare (>5 kali) 0.18 0.15 0.00 0.16
6. Mencret biasa 0.16 0.10 0.00 0.13
7. Asma 0.07 0.00 0.00 0.05
8. Malaria 1.36 0.00 2.47 1.28
9. Gatal-gatal/eksim 2.55 2.55 2.80 2.58

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu enam bulan terakhir


frekuensi penyakit gatal-gatal/eksim paling banyak (64.3%) dan malaria (50.0%)
diderita keluarga dengan frekuensi 4 kali/6 bulan (Tabel 28). Seringnya penyakit ini
diderita keluarga dapat diakibatkan oleh sanitasi air yang digunakan untuk mandi sangat
rendah, apalagi dengan adanya sisa-sisa air laut pada saat tsunami yang belum kering

Tabel 28. Sebaran keluarga menurut frekuensi penyakit yang diderita selama dalam enam
bulan terakhir
Frekuensi (kali/6 bulan)/Persentase
Jenis Penyakit
1 2 3 4
1. Panas demam 40.0 37.5 5.0 17.5
2. Pilek/influenza 12.1 53.0 13.6 21.2
3. Batuk biasa (ISPA) 20.0 40.0 0.0 40.0
4. Batuk pilek 24.1 27.6 27.6 20.7
5. Diare (>5 kali) 50.0 12.5 0.0 37.5
6. Mencret biasa 28.6 42.9 14.3 14.3
7. Asthma 100.0 0.0 0.0 0.0
8. Malaria 20.0 30.0 0.0 50.0
9. Gatal-gatal/eksim 21.4 14.3 0.0 64.3

Upaya penanggulangan penyakit yang dilakukan oleh keluarga adalah


dengan berobat ke dokter praktek, mantri, rumah sakit umum, puskesmas, dan posko
kesehatan. Namun yang paling banyak dilakukan adalah berobat ke puskesmas dan
posko kesehatan. Pengobatan secara gratis yang tersedia di puskesmas dan posko
menjadi pilihan para keluarga karena disediakan secara cuma-cuma (Tabel 29).

Tabel 29. Sebaran keluarga menurut upaya pengobatan penyakit yang dilakukan
Posko
Puske Dokter Obat
ke- RS Mantr Beli Tidak
Jenis Penyakit s Prakte Sendir
sehata U i di Apotik Diobati
mas k i
n
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
69

26.
1. Panas demam 38.1 21.4 2 9.5 2.4 0.0 0.0 2.4
2. Pilek/influenza 39.4 13.6 1.5 6.1 1.5 1.5 7.6 28.8
3. Batuk biasa
(ISPA) 34.3 34.3 2.9 5.7 0.0 0.0 5.7 17.1
4. Batuk pilek 42.9 21.4 3.6 7.1 7.1 3.6 0.0 14.3
12.
5. Diare (>5 kali) 12.5 37.5 5 0.0 0.0 0.0 0.0 37.5
12.
6. Mencret biasa 12.5 37.5 5 12.5 0.0 12.5 12.5 0.0
7. Asthma 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
30.
8. Malaria 30.0 30.0 0 10.0 0.0 0.0 0.0 0.0
20.
9. Gatal-gatal/eksim 36.0 28.0 0 12.0 0.0 4.0 0.0 0.0

C.2.4. Kepribadian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (87.0%) kepribadian
kepala keluarga tergolong pada kategori ekstrovert. Berdasarkan tipologi, persentase
contoh yang termasuk kategori ekstrovert pada keluarga utuh dan janda lebih besar
daripada keluarga duda. Hasil analisis anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang
nyata (p>0.05) kepribadian di antara ketiga tipologi (Tabel 30). Orang yang
ekstrovert dalam kesehariannya melihat kenyataan dan keharusan, tidak lekas
merasakan kritikan, ekspresi emosinya spontan, tidak begitu merasakan
kegagalan, tidak banyak mengadakan analisis, sifatnya yang terbuka dan kritik
terhadap diri sendiri. Pribadi yang intovert dengan ciri orang yang suka
memikirkan tentang diri sendiri, banyak fantasi, lekas merasakan kritikan,
menahan ekspresi emosi, sifatnya yang tertutup, lekas tersinggung dalam diskusi,
suka membesarkan kesalahannya, analisis dan kritik diri menjadi buah pikirannya
(Lampiran 3).

Tabel 30. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori skor kepribadian
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Kategori Skor Kepribadian
n % n % n % n %
Intovert 10 9.7 5 25.0 3 20.0 18 13.0
Ekstrovert 93 90.3 15 75.0 12 80.0 120 87.0
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 81.2 74.7 80 78.6
Standar Deviasi 12.1 11.9 13.8 12.6
Minimum 35.3 52.9 52.9 35.3
Maksimum 100 94.1 100 100
Analisis Anova antar
0.100
tipologi keluarga
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
70

C.2.5. Konsep Diri


Konsep diri sebagian besar (93.5%) contoh termasuk dalam kategori positif.
Pada ketiga tipologi keluarga, persentase terbesar berada pada kategori konsep diri
positif. Dilihat dari rata-rata skor konsep diri, skor tertinggi ditemukan pada tipologi
keluarga utuh (93.4%), diikuti tipologi keluarga janda (91.7%) dan terakhir tipologi
keluarga duda (82.5%) (Tabel 31).

Tabel 31. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori skor konsep diri
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Kategori Skor Konsep Diri
n % n % n % n %
Negatif 4 3.9 4 20.0 1 6.7 9 6.5
Positif 99 96.1 16 80.0 14 93.3 129 93.5
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 93.4 82.5 91.7 89.2
Standar Deviasi 17.8(ac) 32.5(bc) 15.4(cab) 21.9
Minimum 0 0 50 0
Maksimum 100 100 100 100
Analisis Anova antar
0.025
tipologi keluarga
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan;
huruf yang berbeda berarti berbeda nyata

Hasil analisis anova menunjukkan ada perbedaan yang nyata (p<0.05)


konsep diri di antara ketiga tipologi. Selanjutnya, analisis Duncan menunjukkan
perbedaan konsep diri yang nyata antara tipologi keluarga utuh dan duda. Individu
yang mempunyai konsep diri yang negatif pada umumnya akan mudah sekali stres
Tingginya konsep diri terbukti dari beberapa pertanyaan yang diajukan, menurut
pandangan sebagian besar keluarga, mereka telah menjadi seorang yang baik ketika
menjadi orang tua, pasangan, teman, tetangga maupun dalam menjalankan
agamanya (Lampiran 4).

C.3. Dukungan Sosial


Dukungan sosial adalah adanya keterlibatan orang lain dalam menyelesaikan
masalah. Individu melakukan tindakan kooperatif dan mencari dukungan dari
orang lain, karena sumberdaya sosial menyediakan dukungan emosional, bantuan
nyata dan bantuan informasi. Dalam hal ini bantuan yang diterima keluarga baik dari
keluarga maupun lembaga pemberi bantuan seperti LSM maupun pemerintah.
Secara keseluruhan, dukungan sosial yang diterima oleh sebagian besar (86.2%)
keluarga dapat mendukung upaya keluarga dalam menyelesaikan masalah pasca
gempa dan tsunami (Tabel 32). Hal yang sama juga terjadi pada ketiga tipologi
keluarga. Rata-rata skor dukungan sosial tertinggi dijumpai pada tipologi keluarga
utuh (92.8), diikuti tipologi keluarga janda (84) dan keluarga duda (76).
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
71

Tabel 32. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori skor dukungan sosial

Kategori Skor Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Dukungan Sosial n % n % n % n %
Tidak mendukung 10 9.7 6 30.0 3 20.0 19 13.8
Mendukung 93 90.3 14 70.0 12 80.0 119 86.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 92.8 76 84 84.3
Standar Deviasi 22.9 37 31.4 30.4
Minimum 0 0 0 0
Maksimal 100 100 100 100
Analisis Anova antar
0.093
tipologi keluarga

Keluarga yang menerima bantuan sosial umumnya adalah keluarga yang


tidak memiliki pekerjaan tetap dan berpenghasilan rendah, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sangat mengharapkan bantuan dari berbagai pihak.
Sedangkan keluarga yang tidak menerima bantuan sosial adalah keluarga-keluarga
yang kehidupan ekonominya lebih baik. Hasil analisis anova menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata (p>0.05) dukungan sosial di antara ketiga tipologi. Pada
Lampiran 5 disajikan pernyataan dukungan sosial yang ditanyakan kepada keluarga.
Secara umum, keluarga memperoleh bantuan fisik dan non fisik dari masyarakat,
teman, keluarga dan pemerintah serta LSM. Korban bencana yang secara ekonomi
tidak mencukupi, apabila tidak memperoleh dukungan sosial akan mengalami stres
lebih tinggi dibandingkan korban yang memperoleh dukungan sosial (Baum, 1990;
Fleming, Baum, Gisriel & Gatchel, 1982).
Bantuan dari berbagai pihak sangat dirasakan mulai hari pertama terjadinya
bencana sampai saat penelitian ini berlangsung masih berjalan terus walaupun dalam
jumlah terbatas. Jenis bantuan yang diterima sangat beragam mulai dari pangan,
kesehatan, beasiswa, perumahan, pakaian dan penyediaan lapangan kerja. Berikut
ini sebagian daftar bantuan yang diberikan kepada

Tabel 33. Daftar bantuan yang diberikan kepada masyarakat di Kecamatan Kuta Alam dan
Kecamatan Meuraxa
No Jenis bantuan Sumber bantuan
1 Pangan Depsos, Media group, Perindustrian,
 Beras, indomie, sarden, Masyarakat Indonesia
minyak goreng, ikan asin,
biskuit dan lain sebagainya
 Peralatan masak
2 Kesehatan Depkes, PMI, UNICEF, Media Group dan
 Pembangunan rumah sakit dan puskesmas lain sebagainya
 Tenaga medis
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
72

 Pengobatan gratis
 Makanan tambahan
3 Pendidikan Diknas, Palang Merah Irlandia (Irish Red
 Gedung sekolah Cross), PMI, Yayasan SUKMA, TPI, RCTV
 Perlengkapan sekolah dan lain sebagainya
 Beasiswa
4 Perumahan (Rehabilitasi dan Rekonstruksi) CARE, Aceh Relif, UN.Habitat, BRR, Wold
Vasion, ADB, Peduli Bangsa, OXFAM,
LION GROUP, Muslim ED dan lain
sebagainya
5 Pakaian Depsos, Media Group dan seluruh
masyarakat Indonesia
6 Pekerjaan/pendapatan Depsos, Bank Indonesia, Depnaker,
Departemen perdagangan, Departemen
pekerjaan umum dan lain sebagainya
Laporan Kantor Camat Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa Banda Aceh.

C.4. Korelasi antar Peubah Sumberdaya Coping


Hasil analisis korelasi antara peubah sumberdaya seperti yang disajikan pada
Tabel 34 mengindikasikan adanya hubungan negatif nyata antara pendapatan dengan
jumlah anggota keluarga dan hubungan positif nyata antara pendapatan dengan
tingkat kesehatan. Artinya semakin banyak jumlah anggota keluarga maka
pendapatan akan semakin rendah, sedangkan semakin tinggi tingkat pendapatan
keluarga, maka tingkat kesehatan akan semakin baik. Kepribadian berhubungan
negatif nyata dengan tingkat kesehatan dan berhubungan positif nyata dengan
dukungan sosial yang berarti semakin ekstrovert kepribadian contoh semakin baik
tingkat kesehatan contoh, serta semakin ekstrovert kepribadian contoh maka
dukungan sosial yang diperoleh juga akan semakin tinggi. Konsep diri juga
berhubungan positif nyata dengan dukungan sosial, yang berarti semakin positif
konsep diri contoh, maka dukungan sosial juga akan semakin tinggi.

Tabel 34. Korelasi Spearman antar peubah sumberdaya coping


Jml Pend Konse
Pendpt Umur Tk. Duk. Kepribd
Peubah ang. . Aset p
n KK keshtn Sos n
Kel. KK Diri
Jumlah anggota
keluarga                  
-.376(**
Pendapatan
)                
Umur kk .317(**) -0.139              
-
Pendidikan kk
0.145 0.13 0.162            
Aset -0.155 0.163 0.105 0.067          
Tingkat - -
Kesehatan 0.003 .174(*) 0.076 0.009 0.051        
- -
Dukungan Sosial
0.154 -0.135 0 0.097 0.028 -0.086      
Kepribadian 0.108 -0.100 0.098 - - -.193(* .384(**)    
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
73

0.025 0.086 )
- -
Konsep Diri
0.014 0.079 0.026 0.004 0.095 -0.145 .275(**) 0.14  

C.5. Pengaruh Sumberdaya Coping terhadap Masalah Keluarga


Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh
sumberdaya coping terhadap masalah keluarga pasca gempa dan tsunami (Tabel 35)
Nilai R2 yang diperoleh adalah sebesar 0.5175 artinya pengaruh sumberdaya coping
terhadap masalah keluarga adalah 51.75 persen, sisanya yakni 48.25 persen adalah
pengaruh variabel lain diluar penelitian. Ada dua variabel yang secara nyata
berpengaruh terhadap masalah keluarga yakni kepribadian dan aset. Adapun variabel
yang paling tinggi pengaruhnya secara signifikan adalah kepribadian yakni 49.33
persen.

Tabel 35. Masalah keluarga sebagai peubah tidak bebas dengan sumberdaya coping
sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang
Konstanta 115.50509388
Kepribadian -0.98845851 0.4933 0.4933 0.0001
Aset -16.67505391 0.0242 0.5175 0.0103

Kepribadian berpengaruh negatif nyata terhadap masalah keluarga yang


bermakna semakin ekstrovert kepribadian yang dimiliki kepala keluarga akan
membuat masalah yang dihadapi semakin rendah. Hal ini dapat dipahami karena
orang yang ekstrovert akan lebih mampu menghadapi masalah, karena sikapnya
yang terbuka dan mau menerima setiap persoalan dengan hati terbuka.
Aset keluarga juga berpengaruh negatif nyata terhadap masalah keluarga,
artinya semakin banyak aset yang tersisa pasca gempa dan tsunami maka masalah
yang dihadapi keluarga akan semakin rendah. Aset merupakan salah satu
sumberdaya materi yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk mengatasi masalah yang
dihadapi keluarga.

D. TINGKAT STRES

D.1. Tingkat Stres (Family Inventory of Life)


Sumber stres kronis pada umumnya meliputi peristiwa yang sangat menekan
secara terus-menerus, masalah-masalah hubungan jangka panjang, kesepian, dan
kekhawatiran akan finansial karena suami menjadi korban bencana. Hal ini banyak
dialami oleh para pengungsi yang tinggal di barak-barak dalam jangka waktu yang
lama. Berada dalam situasi ketidakpastian terutama dalam kehidupannya di masa
mendatang.
Tingkat stres yang disajikan pada Tabel 36 merupakan kategori skor
komposit dari gejala stres fisik, psikis, kognitif dan perilaku. Hasil penelitian
mengindikasikan bahwa tingkat stres yang dialami oleh keluarga contoh setahun
pasca gempa dan tsunami sebagian besar (88.4%) termasuk stres minor yang
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
74

dicerminkan dengan rendahnya rata-rata skor stres contoh yakni 19.13. Hanya 0.7
persen contoh yang mengalami stres mayor/berat akibat bencana gempa dan
tsunami. Demikian pula jika dilihat berdasarkan tipologi keluarga, pada semua
tipologi terlihat bahwa persentase terbesar berada pada kategori stres minor. Hasil
temuan ini agak berbeda dengan data yang diproyeksikan WHO bahwa setahun
setelah bencana tsunami sebanyak 3-4 persen korban mengalami stres berat (berupa
psikosis, depresi berat, kelelahan yang berat), sekitar 20 persen mengalami
gangguan mental ringan atau moderat dalam bentuk depresi dan kelelahan), 30-50
persen mengalami stres moderat atau berat dan 20-40 persen mengalami stres
psikologi ringan (WHO, 2005).
Tingkat stres dengan metode Family Inventory of Life tertinggi ditemukan
pada tipologi keluarga duda dengan skor rata-rata 24.17 dan terendah keluarga utuh
18.12. Adanya dukungan keluarga yang memotivasi ternyata dapat mengurangi
tingkat stres keluarga. Rendahnya tingkat stres keluarga setahun pasca tsunami dapat
terlihat saat diwawancara, umumnya contoh mengatakan bahwa sudah dapat dapat
melupakan bencana yang pernah dialami, semua ini merupakan kehendak dari Yang
Maha Kuasa dan siapapun tidak bisa menyesalinya. Sikap mereka yang tabah dan
pasrah membuat mereka dapat mengendalikan diri dari stres yang mereka alami,
sehingga saat ini mereka dapat menata kembali kehidupan yang lebih baik.

Tabel 36. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres (metode Family
Inventory of Life)

Kategori tingkat stres Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
(Family Inventory of Life) n % n % n % n %
Stres Minor 91 88.3 17 85.0 14 93.3 122 88.4
Stres Ringan 5 4.9 1 5.0 0 0.0 6 4.3
Stres Sedang 7 6.8 1 5.0 1 6.7 9 6.5
Stres Mayor/Berat 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 18.12 24.17 19.33 19.13
Standar Deviasi 15.28 18.81 11.21 15.50
Minimum 0.00 3.30 10.00 0.00
Maksimum 68.30 80.00 53.30 80.00
Analisis Anova antar
0.281
tipologi keluarga

Rendahnya tingkat stres keluarga utuh menurut Potter & McKenzie (2000)
karena adanya dukungan keluarga yang dapat menciptakan penilaian positif
terhadap keberadaan keluarga sehingga memberikan kontribusi pada kemampuan
keluarga dalam menghadapi stres secara efektif. Dukungan keluarga akan
memberikan kontribusi pada kemampuan keluarga untuk menghadapi stres atau
krisis secara efektif. Sumberdaya yang memadai mampu mengatasi sebuah kejadian,
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
75

tingkat stres yang dialami akan relatif rendah atau bahkan tidak ada sama sekali,
tetapi jika seseorang merasa bahwa sumberdaya yang dimiliki tidak mencukupi
untuk menghadapi ancaman, tantangan atau situasi yang membahayakan, maka ia
akan mengalami tingkat stres yang tinggi (Anonim, 2006).

D.2. Gejala Stres Fisik


Secara keseluruhan (73.2%) tingkat stres fisik contoh setahun pasca tsunami
termasuk kategori stres minor dengan skor rata-rata 22.87. Tingkat stres fisik
terendah ditemukan pada tipologi keluarga utuh dengan skor rata-rata 22.09 dan
tertinggi pada tipologi keluarga duda dengan skor rata-rata 26.56 (Tabel 37). Gejala-
gejala stres fisik yang dialami oleh contoh setahun pasca gempa dan tsunami
disajikan pada Lampiran 6. Dari delapan gejala stres fisik yang ditanyakan, sebagian
besar keluarga menyatakan tidak pernah mengalaminya. Pada tipologi janda,
terdapat beberapa gejala yang sebagian besar kadang-kadang dirasakan yakni pusing
atau sakit kepala tanpa alasan, kejang otot/kram dan tangan gemetaran serta merasa
letih/lesu/lemas yang luar biasa atau terasa tenaga terkuras habis. Gejala stres fisik
yang sama juga dialami oleh keluarga utuh, meskipun persentasenya masih di bawah
10 persen. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) tingkat stres
fisik antara ketiga tipologi keluarga.

Tabel 37. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres fisik

Kategori tingkat Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
stres fisik n % n % n % n %
Stres Minor 77 74.8 12 60.0 12 80.0 101 73.2
Stres Ringan 10 9.7 4 20.0 1 6.7 15 10.9
Stres Sedang 14 13.6 4 20.0 2 13.3 20 14.5
Stres Mayor/Berat 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 22.09 26.56 23.33 22.87
Standar Deviasi 19.84 20.47 17.75 19.64
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 68.80 62.50 100.00
Analisis Anova antar
0.648
tipologi keluarga

D.3. Gejala Stres Psikis


Pada awal bencana banyak pengungsi yang merasa putus asa, memandang
dirinya tidak berdaya dan tidak berguna lagi, karena kehilangan semua orang yang
dicintainya, suami atau isteri dan anak-anaknya, termasuk harta benda. Seiring
dengan berjalannya waktu, yakni setahun setelah bencana, umumnya korban
tsunami sudah dapat bangkit kembali dan tidak menunjukkan gejala stres psikis lagi.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
76

Rendahnya tingkat stres psikis yang dialami contoh terlihat dari persentase
terbesar (76.8%) termasuk dalam kategori stres minor dengan skor rata-rata 22.46
Tingkat stres psikis tertinggi ditemukan pada keluarga duda dengan skor rata-rata
28.93, diikuti oleh keluarga janda 23.81 dan keluarga utuh 21.01 (Tabel 38). Tidak
ditemukan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) tingkat stres psikis antara ketiga
tipologi keluarga. Tingginya tingkat stres yang dialami keluarga duda karena
sebagian besar menyatakan kadang-kadang mengalami mimpi-mimpi buruk
(Lampiran 7). Menurut Hartiningsih (2005), dalam banyak kasus bencana dengan
jumlah korban yang banyak, sekitar 70 persen penduduk, gejala-gejala stres psikis
seperti yang telah disebutkan sebelumnya akan hilang dalam satu sampai dua bulan.
Hal ini disebabkan karena manusia memiliki mekanisme coping secara alamiah.
Sekitar 30 persen lainnya akan memperlihatkan gejala-gejala lain seperti mimpi
buruk terus-menerus, kehilangan semangat dan lain-lain setelah enam bulan. Dari
jumlah itu, sekitar 7-10 persennya mengalami disorientasi sosial-psikologis, seperti
agresif, tidak mau makan dan tidak mau bicara.

Tabel 38. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres psikis

Kategori tingkat Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
stres psikis n % n % n % n %
Stres Minor 80 77.7 14 70.0 12 80.0 106 76.8
Stres Ringan 9 8.7 2 10.0 2 13.3 13 9.4
Stres Sedang 13 12.6 3 15.0 1 6.7 17 12.3
Stres Mayor/Berat 1 1.0 1 5.0 0 0.0 2 1.4
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 21.01 28.93 23.81 22.46
Standar Deviasi 18.49 21.17 13.94 18.56
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 78.60 85.70 50.00 85.70
Analisis Anova antar
0.210
tipologi keluarga

D.4 Gejala Stres Kognitif


Gejala stres kognitif adalah pengalaman subjektif yang didasarkan atas
persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sejalan dengan tingkat stres fisik dan psikis, tingkat
stres kognitif juga termasuk dalam kategori minor dengan skor rata-rata 15.87 yang
dialami oleh 82.6 persen contoh (Tabel 39). Demikian pula jika dilihat berdasarkan
tipologi sebagian besar keluarga pada ketiga tipologi juga tergolong kategori stres
minor. Rata-rata skor tingkat stres kognitif terendah adalah pada keluarga janda
(14.00), dan tertinggi pada tipologi keluarga duda (19.00). Tidak ditemukan adanya
perbedaan yang nyata (p>0.05) tingkat stres kognitif antara ketiga tipologi keluarga.
Rendahnya tingkat stres kognitif pada ketiga tipologi dapat dilihat dari lima item
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
77

gejala stres kognitif yang ditanyakan kepada keluarga, sebagian besar keluarga
menyatakan tidak mengalaminya (Lampiran 8).

Tabel 39. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres kognitif

Kategori tingkat Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
stres kognitif n % n % n % n %
Stres Minor 87 84.5 14 70.0 13 86.7 114 82.6
Stres Ringan 6 5.8 3 15.0 0 0.0 9 6.5
Stres Sedang 9 8.7 3 15.0 2 13.3 14 10.1
Stres Mayor/Berat 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 15.53 19.00 14.00 15.87
Standar Deviasi 19.13 19.17 18.82 19.02
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 80.00 50.00 60.00 80.00
Analisis Anova antar
0.701
tipologi keluarga

D.5. Gejala Stres Perilaku


Rendahnya tingkat stres fisik, psikis dan kognitif, diikuti juga oleh tingkat
stres perilaku, karena sebagian besar (92.0%) contoh mengalami tingkat stres
perilaku yang termasuk kategori stres minor dengan skor rata-rata 15.44 (Tabel 40).
Rata-rata tingkat stres perilaku tertinggi ditemukan pada keluarga duda (21.50%)
dan terendah pada keluarga utuh (14.22%). Tidak ada perbedaan yang nyata
(p>0.05) tingkat stres perilaku antara ketiga tipologi. Rendahnya rata-rata skor
tingkat stres perilaku terlihat dari sepuluh item pertanyaan yang diajukan, sebagian
besar contoh menyatakan kadang-kadang mengalami sukar tidur atau tidur terlalu
lama, hilang nafsu makan atau sebaliknya nafsu makan tinggi dan kadang-kadang
melamun/termenung (Lampiran 9).
Menurut Joseph, Yule, Williams dan Hodkinson (1993), studi-studi yang
dilakukan di seluruh dunia selama lebih dari 25 tahun menunjukkan berbagai
dampak bencana alam seperti yang terjadi pada korban topan Andrew, gempa bumi
di Kota Mexico dan Armenia. Rasa shock dan kesedihan yang mendalam dirasakan
oleh hampir semua korban, perasaan menyalahkan diri sendiri dan takut peristiwa itu
terulang kembali, hal ini dapat menimbulkan ketidakmampuan dalam mengambil
keputusan sehingga mempengaruhi perilaku seeorang dalam menyelesaikan masalah
secara tepat. Gangguan tidur dan kehilangan selera akan juga seringkali terjadi.
Untuk mengatasi kelelahan dan depresi, korban bencana mengkonsumsi alkohol dan
merokok dalam jumlah yang tinggi, minum pil tidur dan anti depresi.

Tabel 40. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres perilaku
Kategori tingkat Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
78

stres perilaku n % n % n % n %
Stres Minor 96 93.2 18 90.0 13 86.7 127 92.0
Stres Ringan 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4
Stres Sedang 3 2.9 0 0.0 2 13.3 5 3.6
Stres Mayor/Berat 2 1.9 2 10.0 0 0.0 4 2.9
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 14.22 21.50 15.67 15.44
Standar Deviasi 15.73 25.65 15.45 17.50
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 50.00 100.00
Analisis Anova antar
0.236
tipologi keluarga

D.6. Tingkat Stres (Holmes dan Rahe)


Selain dengan menggunakan metode Family Inventory of Life untuk
mengukur tingkat stres keluarga, pengukuran tingkat stres dilakukan juga dengan
menggunakan metode Holmes dan Rahe. Hasil kategorisasi skor menunjukkan
bahwa tingkat stres contoh tersebar pada keempat kategori, persentase terbesar yakni
44.9 persen termasuk dalamtingkat stres sedang. Berdasarkan tipologi, keluarga
duda mengalami tingkat stres tertinggi dengan rata-rata 65.02 dan terendah dialami
oleh keluarga utuh dengan rata-rata 35.63. (Tabel 41). Terdapat perbedaan yang
signifikan antara tingkat stres keluarga utuh dengan keluarga janda dan duda. Pada
keluarga utuh penyebab stres tertinggi adalah kehilangan aset, dan pada keluarga
duda dan janda penyebab stres tertinggi adalah kematian pasangan (Lampiran 10).
Murphy (1984) peneliti korban ledakan gunung berapi Mount Saint Helen,
Washington pada tanggal 18 Mei 1980. Korban yang kehilangan kerabat atau teman
merupakan masalah besar yang mengakibatkan tingkat stres yang lebih tinggi dan
status kesehatan mental yang rendah dibandingkan dengan korban lain. Tetapi
korban tidak menunjukkan kondisi fisik yang lebih parah dibandingkan yang tidak
kehilangan. Korban yang kehilangan kerabat atau teman dekat namun belum pasti,
terlihat stres saat diwawancara. Mereka mengatakan bahwa “menunggu adalah
sebuah penderitaan”, “berharap mereka belum meninggal” dan bahwa ”sulit
menerima tanpa melihat fisik korban langsung”. Orang-orang yang kehilangan
rumah, dilaporkan menunjukkan tingkat stres yang sama dengan yang kehilangan
kerabat, namun tidak mengalami kesulitan emosional atau fisik yang lebih parah
dibandingkan yang tidak kehilangan. Mereka juga menunjukkan kemarahan yang
lebih besar, menyalahkan diri sendiri dan tidak puas terhadap bantuan yang diterima.
Sebagian besar korban menyatakan bahwa 11 bulan setelah bencana mereka belum
pulih.

Tabel 41. Statistik dan sebaran keluarga berdasarkan tingkat stres keluarga dengan
menggunakan Skala Holmes dan Rahe
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
79

Kategori tingkat Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
stres Holmes n % n % n % n %
Stres Minor 43 41.7 0 0.0 1 6.7 44 31.9
Stres Ringan 21 20.4 1 5.0 1 6.7 23 16.7
Stres Sedang 39 37.9 13 65.0 10 66.7 62 44.9
Stres Mayor/Berat 0 0.0 6 30.0 3 20.0 9 6.5
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 35.63 (a) 65.02 (bc) 62.99 (cb) 42.86
Standar Deviasi 19.41 10.96 14.92 21.80
Minimum 0.00 35.30 30.70 0.00
Maksimum 65.90 82.90 83.60 83.60
Analisis Anova antar
0.000
tipologi keluarga
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda
berarti berbeda nyata

Freedy, Shaw, Jarrell, dan Masters (1992) dan Kaiser, Sattler, Bellack, dan
Dersin (1996) menemukan bahwa 1-2 bulan setelah bencana Hugo (Charleston,
1989), kehilangan harta benda paling berpengaruh terhadap tingkat stres. Sattler
(2001) menemukan bahwa satu bulan setelah gempa Northridge (Los Angeles
County, California, 1994) kehilangan harta benda adalah variabel yang paling
berpengaruh terhadap tingkat stres, diikuti oleh karakteristik demografi, coping
keluarga dan dukungan sosial. Orang-orang yang memiliki sumberdaya keuangan
terbatas dan jaringan dukungan sosial yang kurang akan mengalami kesulitan untuk
bangkit jika dibandingkan dengan orang yang memiliki sumberdaya dan jaringan
sosial yang kuat, mereka dengan cepat memperoleh ganti rugi dari kehilangan yang
dialami (Holahan, Moos, Holahan, & Cronkite, 1999; Kaniasty & Norris, 1995).

D.7. Pengaruh Sumberdaya Coping dan Masalah Keluarga terhadap Tingkat


Stres
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh
sumberdaya coping dan masalah keluarga terhadap tingkat stres Family Inventory of
Life pasca gempa dan tsunami (Tabel 42). Nilai R 2 yang diperoleh adalah sebesar
0.2963 artinya pengaruh sumberdaya coping dan masalah keluarga terhadap
terhadap tingkat stres Family Inventory of Life adalah 29.63 persen, sisanya yakni
71.37 persen adalah pengaruh variabel lain diluar penelitian. Ada tiga variabel yang
secara nyata berpengaruh terhadap tingkat stres Family Inventory of Life yakni
pekerjaan kepala keluarga, konsep diri dan aset. Adapun variabel yang paling tinggi
pengaruhnya secara signifikan adalah pekerjaan kepala keluarga yakni 14.03 persen
(Tabel 42).

Tabel 42. Stres Family Inventory of Life sebagai peubah tidak bebas dengan masalah
keluarga dan sumberdaya coping sebagai peubah bebas
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
80

Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang


Konstanta 39.51888537
Pekerjaan KK -0.15128373 0.1403 0.1403 0.0001
Konsep diri -0.28228469 0.1224 0.2627 0.0001
Aset 0.00000003 0.0336 0.2963 0.0126

Pekerjaan kepala keluarga berpengaruh negatif terhadap tingkat stres kepala


keluarga, artinya semakin baik pekerjaan kepala keluarga mengakibatkan stres yang
dialami semakin rendah. Ini dapat dipahami bahwa kepala keluarga yang memiliki
pekerjaan tetap walaupun terjadi bencana tidak akan menpengaruhi pendapatan
keluarga. Dengan pendapatan yang cukup semua kebutuhan keluarga dapat
terpenuhi, sehingga tinggat stres yang dialami menjadi rendah.
Konsep diri berpengaruh negatif terhadap tingkat stres kepala keluarga,
artinya konsep diri yang positif yang dimiliki kepala keluarga dapat membantu
menurunkan tingkat stres yang dialami kepala keluarga akibat banyak permasalahan
yang dihadapi pasca gempa dan tsunami.
Aset keluarga berpengaruh positif terhadap masalah keluarga, artinya
semakin banyak aset yang hilang maka tingkat stres kepala keluarga cendrung lebih
meningkat. Hal ini dapat dipahami bahwa aset yang dimiliki keluarga merupakan
salah satu modal untuk kehidupan anggota keluarga di masa depan, baik untuk
berusaha maupun untuk biaya pendidikan. Dengan demikian kehilangan aset berarti
kehilangan masa depan baik untuk berusaha maupun untuk pendidikan.
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh
sumberdaya coping dan masalah keluarga terhadap tingkat stres Holmes dan Rahe
pasca gempa dan tsunami (Tabel 43). Nilai R 2 yang diperoleh adalah sebesar 0.4568
artinya pengaruh sumberdaya coping dan masalah keluarga terhadap terhadap
tingkat stres Holmes dan Rahe adalah 45.68 persen, sisanya yakni 54.32 persen
adalah pengaruh variabel lain diluar penelitian. Ada empat variabel yang secara
nyata berpengaruh terhadap tingkat stres Holmes dan Rahe yakni tipologi keluarga
janda, kepribadian, masalah rumah dan masalah pekerjaan. Adapun variabel yang
paling tinggi pengaruhnya secara signifikan adalah tipologi keluarga duda yakni
32.61 persen

Tabel 43. Stres Holmes dan Rahe sebagai peubah tidak bebas dengan masalah keluarga
dan sumberdaya coping sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang
Konstanta 98.82476674
D1 24.54096483 0.3261 0.3261 0.0001
Kepribadian -0.43828369 0.0712 0.3973 0.0001
Masalah rumah 0.14213838 0.0411 0.4384 0.0021
Masalah pekerjaan 0.09485398 0.0184 0.4568 0.0354

Tipologi keluarga janda berpengaruhnya positif terhadap tingkat stres


Holmes dan Rahe, artinya dengan status keluarga single perent akan membuat
tingkat stres yang dialami semakin tinggi. Ini memiliki makna bahwa kehilangan
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
81

pasangan merupakan suatu hal yang paling menyakitkan dan sulit untuk dilupakan.
Bagi sorang istri, suami adalah orang yang bertanggung jawab untuk kehidupan
keluarga, suami sebagai tumpuan harapan untuk kehidupannya, tempat berbagi suka
maupun duka. Dengan demikian, kehilangan suami berarti semua tanggung jawab
keluarga beralih kepada istri. Istri yang tidak memiliki pekerjaan tetap akan
mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya.
Kepribadian kepala keluarga berpengaruh negatif nyata terhadap tingkat
stres, artinya bahwa kepribadian yang ekstrovet mampu menurunkan tingkat stres.
Ini dapat dipahami bahwa orang yang ekstrovet lebih terbuka dalam menghadapi
suatu persoalan dan mau berbagi suka dan duka dengan orang lain.
Masalah rumah/tempat berpengaruh positif nyata terhadap tingkat stres, ini
memiliki makna bahwa semakin tinggi masalah rumah yang dihadapi kepala
keluarga maka tingkat stres juga semakin meningkat. Hal ini dapat dipahami
masalah perumahan menjadi suatu persolan yang cukup serius karena menyangkut
ketenangan dan kenyamanan bagi anggota keluarga. Rumah yang tidak memadai
dan tidak memenuhi standar kesehatan dapat mempengaruhi aktivitas anggota
keluarga sehari-hari.
Masalah pekerjaan kepala keluarga juga berpengaruh positif nyata terhadap
tingkat stres. Artinya hilangnya pekerjaan akibat gempa dan tsunami dapat
mengakibatkan tingkat stres semakin meningkat. Ini dapat dipahami bahwa kepala
keluarga yang tidak memiliki pekerjaan dapat mempengaruhi pendapatan keluarga
sehingga kebutuhan keluarga sehari-hari dapat terganggu.

E. STRATEGI COPING KELUARGA


Strategi coping adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga dalam
menyelesaikan masalah pasca gempa dan tsunami. Setiap keluarga memiliki strategi
coping masing-masing, ada yang berfungsi efektif dan ada yang tidak. Persepsi
keluarga terhadap masalah dapat berpengaruh terhadap kemampuannya untuk
memecahkan masalah tersebut. Jika sebuah masalah dipandang berat dan sulit untuk
diatasi maka keluarga tersebut akan benar-benar sulit untuk memecahkan dan
sebaliknya (McCubbin, 1975).
Strategi coping yang dilakukan keluarga mencakup dua kelompok yakni
strategi coping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada emosi.
Sebelum mencermati secara khusus kedua kelompok strategi coping, terlebih dahulu
akan dibahas strategi coping secara keseluruhan yakni skor coping komposit kedua
jenis strategi coping yang akan disebut sebagai strategi coping total. Pada Tabel 44
disajikan kategori strategi coping total yang dilakukan keluarga pasca gempa dan
tsunami. Data pada tabel tersebut menunjukkan hanya 21.7 persen keluarga yang
mampu melakukan strategi coping dengan kategori tinggi dan sisanya (78.3%)
termasuk kategori sedang dengan rata-rata 64.7. Berdasarkan tipologi secara
keseluruhan keluarga janda lebih tinggi melakukan strategi coping dengan rata-rata
66.2 dan paling rendah dilakukan oleh keluarga utuh dengan rata-rata 62.3. Namun
demikian hasil analisis anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05)
coping total di antara ketiga tipologi. Data ini juga memperlihatkan bahwa ketiga
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
82

tipologi keluarga belum mampu secara maksimal melakukan strategi coping untuk
penyelesaian masalah yang dihadapi.

Tabel 44. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping total
Utuh Duda Janda Total
Kategori Coping Total (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0.0
1
Sedang 83 80.6 3 65 12 80 108 78.3
Tinggi 20 19.4 7 35 3 20 30 21.7
2
Total 103 100 0 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 62.3 65.6 66.2 64.7
Standar deviasi 9.4 11.9 12.4 11.2
Minimum 38.9 43.5 53.7 38.9
Maksimum 97.2 88.9 90.7 97.2
Analisis Anova antar tipologi
0.192
keluarga

E.1. Strategi Coping Berfokus pada Masalah


Menurut Rice (1999), strategi coping berfokus pada masalah adalah strategi
coping yang dilakukan individu dengan mencoba mengembangkan perencanaan
langkah yang konkrit dan menggunakannya sebagai kontrol langsung. Menurut
Parker dan Endler (1996), coping berfokus pada masalah mempunyai lima dimensi
yakni perilaku aktif mengatasi stres, perencanaan, penekanan kegiatan, penundaan
kegiatan dan pencarian dukungan sosial
Secara keseluruhan, hanya 44.2 persen keluarga yang melakukan strategi
coping berfokus pada masalah yang tergolong ke dalam kategori tinggi dan sisanya
55.8 persen termasuk dalam kategori sedang dengan rata-rata secara keseluruhan
67.9 (Tabel 45). Tipologi keluarga janda lebih tinggi melakukan strategi coping
berfokus pada masalah (60%) jika dibandingkan dengan keluarga utuh yang hanya
(43.7%) dan duda (35%). Hasil analisis anova menunjukkan tidak ada perbedaan
yang nyata (p>0.05) coping berfokus pada masalah di antara ketiga tipologi. Tidak
maksimalnya strategi coping berfokus pada masalah yang dilakukan keluarga
dimungkinkan karena sumberdaya yang dimiliki keluarga sangat terbatas.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan diketahui bahwa sebagian
keluarga berusaha sendiri untuk menyelesaikan masalah, tidak mau terlalu
tergantung kepada pemberi bantuan yang sifatnya sementara, harus bisa berdiri di
atas kaki sendiri tanpa harus dibantu oleh orang lain. Orang yang selalu menerima
bantuan dari orang lain adalah orang pemalas yang selalu minta dikasihani. Namun
demikian masih banyak keluarga yang penghasilannya sangat tergantung kepada
bantuan pihak lain.

Tabel 45. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping berfokus pada masalah
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
83

Utuh Duda Janda Total


Kategori Skor
(n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
Coping Berfokus pada Masalah
n % n % n % n %
Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0.0
Sedang 58 56.3 13 65 6 40 77 55.8
Tinggi 45 43.7 7 35 9 60 61 44.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 67 66.3 70.4 67.9
Standar deviasi 9.5 10.8 12 10.8
Minimum 39.6 45.8 52.1 39.6
Maksimum 93.8 87.5 100 100.0
Analisis Anova antar
0.409
tipologi keluarga

E.1.1. Planful problem solving


Planful problem solving merupakan upaya keluarga bereaksi dengan
melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan dan
diikuti pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah. Secara umum, (66.7%)
keluarga melakukan coping planful problem solving termasuk dalam kategori tinggi
(Tabel 46). Hal yang sama juga ditemukan pada ketiga tipologi keluarga, dimana
persentase terbesar adalah pada kategori tinggi. Meskipun tidak terlalu berbeda, rata-
rata coping planful problem solving yang dijumpai pada tipologi duda (75.7%) lebih
tinggi daripada keluarga janda dan utuh. Namun demikian, tidak ada perbedaan yang
nyata untuk coping planful problem solving antar ketiga tipologi.

Tabel 46 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping planful problem solving
Kategori Skor Planful Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Problem Solving n % n % n % n %
Rendah 1 1 0 0 0 0 1 0.7
Sedang 33 32 7 35 5 33.3 45 32.6
Tinggi 69 67 13 65 10 66.7 92 66.7
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 72.8 75.7 73.7 74.1
Standar deviasi 12.3 15.3 14.5 14.0
Minimum 28.6 42.9 42.9 28.6
Maksimum 100 100 100 100.0
Analisis Anova antar tipologi
0.658
keluarga

Strategi coping planful problem solving sering sekali dilakukan oleh kepala
keluarga untuk mengatasi permasalahan yang muncul pasca gempa dan tsunami,
walaupun hasil yang diperoleh tidak maksimal. Tidak maksimalnya hasil yang
dicapai karena upaya menjual aset/barang yang masih dimiliki dan mencari
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
84

pinjaman kepada tetangga yang masih memilikinya serta merubah gaya hidup tidak
dilakukan oleh sebagian keluarga (Lampiran 11).

E.1.2. Confrontatif Coping


Berbeda dengan coping planful problem solving yang sebagian besar
tergolong kategori tinggi, maka pada coping confrontatif dimana keluarga bereaksi
untuk mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat risiko yang harus
diambil. Hasil yang diperoleh sebanyak 64.5 persen keluarga yang melakukan
coping confrontatif termasuk dalam kategori sedang (Tabel 47). Berdasarkan
tipologi, skor rata-rata coping confrontatif keluarga janda lebih tinggi (55.6)
dibandingkan dengan keluarga utuh (51.9) dan duda (48.3). Tidak ada perbedaan
yang nyata dalam hal coping confrontatif diantara ketiga tipologi keluarga.
Upaya confrontatif coping yang dilakukan dengan berusaha menghubungi
orang yang bertanggung jawab dianggap oleh sebagian besar keluarga sangat sering
dilakukan, demikian pula dengan usaha untuk mencoba melakukan sesuatu
meskipun tidak yakin terhadap hasil yang akan diperoleh juga sering dilakukan oleh
sebagian besar keluarga (Lampiran 12). Coping dengan cara membiarkan perasaan
atau emosi keluar dan mengambil suatu kesempatan yang besar walaupun itu sangat
berisiko tidak pernah dilakukan oleh sebagian besar keluarga.

Tabel 47. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping confrontatif
Kategori Skor Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Coping Confrontatif n % n % n % n %
Rendah 19 18.4 4 20 1 6.7 24 17.4
Sedang 65 63.1 13 65 11 73.3 89 64.5
Tinggi 19 18.4 3 15 3 20 25 18.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 51.9 48.3 55.6 51.9
Standar deviasi 21.1 16.1 19.1 18.8
Minimum 0 16.7 33.3 0.0
Maksimum 100 75 100 100.0
Analisis Anova antar tipologi
0.577
keluarga

E.1.3. Seeking Social Support


Coping dengan cara mencari dukungan sosial (seeking social support) dilakukan
keluarga dengan berupaya mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi,
bantuan nyata, maupun dukungan emosional. Secara keseluruhan stretegi coping
dengan cara mencari dukungan sosial hanya 52.9 persen keluarga yang masuk dalam
kategori tinggi. Berdasarkan tipologi, keluarga janda lebih tinggi melakukan coping
seeking social support dengan skor rata-rata 77.8, diikuti keluarga utuh (70.9) dan
yang terendah adalah pada keluarga duda (67.3). Tidak terdapat perbedaan yang
nyata antar ketiga tipologi keluarga. (Tabel 48).
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
85

Tidak maksimalnya upaya mencari dukungan sosial yang dilakukan


keluarga diketahui pada item pertanyaan yang sebagian keluarga menyatakan jarang
menerima bantuan, simpati dan pengertian dari orang lain. Namun demikian,
sebagian besar keluarga masih tetap berusaha mencari dukungan sosial dengan
berupaya untuk bertanya, berbicara ataupun meminta nasehat kepada saudara,
tetangga maupun profesional untuk mengatasi permasalahan pasca gempa dan
tsunami (Lampiran 13).

Tabel 48. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping seeking social support
Utuh Duda Janda Total
Kategori Skor Seeking Social (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
Support n % n % n % n %
Rendah 5 4.9 0 0 0 0 5 3.6
Sedang 46 44.7 9 45 5 33.3 60 43.5
Tinggi 52 50.5 11 55 10 66.7 73 52.9
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 70.9 67.3 77.8 72.0
Standar deviasi 17.6 18 15.3 17.0
Minimum 20 40 46.7 20.0
Maksimum 100 100 100 100.0
Analisis Anova antar tipologi
0.211
keluarga

E.2. Strategi Coping Berfokus pada Emosi


Menurut Rice (1999), strategi coping berfokus pada emosi adalah strategi
yang dilakukan individu dengan mencoba mengontrol dan melepaskan perasaan
negatif (seperti kemarahan, frustasi, dan ketakutan) yang ditimbulkan oleh suatu
insiden. Parker dan Endler (1996) mengatakan bahwa coping berfokus pada emosi
memiliki lima dimensi yakni mencari dukungan sosial untuk alasan emosional,
interpretasi kembali secara positif dan pendewasaan diri, penolakan, penerimaan dan
berpaling pada agama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan (81.9 persen)
keluarga melakukan strategi coping berfokus pada emosi tergolong dalam katagori
sedang dan hanya 18.1 persen keluarga melakukan coping berfokus pada emosi
dengan katagori tinggi. Berdasarkan tipologi strategi coping berfokus pada emosi
tertinggi dilakukan oleh keluarga duda dengan rata-rata (65.1%), dan yang terendah
adalah pada keluarga utuh (58.5%). Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal
coping berfokus pada emosi di antara ketiga tipologi keluarga (Tabel 49). Menurut
Lazarus dan Folkman (1984), strategi coping berfokus pada emosi cenderung
dilakukan bila individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan
hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup
untuk menghadapi tuntutan sosial. Dari hasil wawancara di lapangan ditemukan
bahwa coping berfokus pada emosi dilakukan oleh sebagian keluarga karena
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
86

ketidakmampuan untuk berbuat atau bekerja, sehingga lebih banyak mengharapkan


belas kasihan dan bantuan dari orang lain.

Tabel 49. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping berfokus pada emosi
Kategori Skor Coping Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Berfokus pada Emosi n % n % n % n %
Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0.0
Sedang 89 86.4 12 60 12 80 113 81.9
Tinggi 14 13.6 8 40 3 20 25 18.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 58.5 65.1 62.9 62.2
Standar deviasi 11.6 14.8 15.2 13.9
Minimum 38.3 41.7 41.7 38.3
Maksimum 100 96.7 98.3 100.0
Analisis Anova antar tipologi
0.064
keluarga

E.2.1. Positive Reappraisal


Positive reappraisal merupakan coping yang dilakukan oleh keluarga
dengan cara bereaksi menciptakan makna positif dalam diri dengan memfokuskan
pada pengembangan diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius.
Secara keseluruhan sebanyak 86.2 persen keluarga melakukan coping positive
reappraisal dengan kategori tinggi dengan rata-rata 91.4 (Tabel 50).

Tabel 50. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping positive reappraisal
Kateori Skor Positive Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Reappraisal n % n % n % n %
Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Sedang 17 16.5 2 10.0 0 0.0 19 13.8
Tinggi 86 83.5 18 90.0 15 100.0 119 86.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 89.1 91.3 93.8 91.4
Standar deviasi 13.9 11.9 7.3 11.0
Minimum 40 66.7 80 40.0
Maksimum 100 100 100 100.0
Analisis Anova antar
0.375
tipologi keluarga

Upaya coping yang dilakukan oleh keluarga janda lebih tinggi


dibandingkan keluarga utuh dan duda meskipun secara statistik tidak ada perbedaan
diantara ketiga tipologi. Tingginya skor coping positive reappraisal dikarenakan
dengan terjadinya bencana ini, keluarga lebih memperbanyak shalat, berzikir,
berdo’a dan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, karena Allah pasti mendengar
do’a setiap hambanya serta bersyukur dengan apa yang masih dimiliki.
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
87

Coping positive reappraisal dianggap oleh sebagian besar keluarga sangat


penting dan sering sekali dilakukan sebagai upaya pemulihan pasca gempa dan
tsunami (Lampiran 14). Keluarga menganggap bahwa dengan berserah diri kepada
Allah SWT dapat memacu mereka untuk bangkit kembali memulai kehidupan baru.

E.2.2. Accepting Responsibility


Coping menerima tanggung jawab (accepting responsibility) yaitu keluarga
bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang
dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Hasil
penelitian menunjukkan secara keseluruhan coping accepting responsibility yang
dilakukan keluarga termasuk kategori tinggi dengan skor rata-rata 75.2 (Tabel 51).
Secara tipologi, coping accepting responsibility tertinggi dilakukan oleh keluarga
duda dengan rata-rata skor 78.8, diikuti oleh keluarga janda 77.8 dan yang terendah
adalah keluarga keluarga utuh 69. Hasil analisis anova menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata diantara ketiga tipologi keluarga dalam hal coping accepting
responsibility.

Tabel 51. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping accepting responsibility
Utuh Duda Janda Total
Kategori Skor Accepting Responsibility (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 6 5.8 0 0 0 0 6 4.3
Sedang 48 46.6 8 40 5 33.3 61 44.2
Tinggi 49 47.6 12 60 10 66.7 71 51.4
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-rata 69 78.8 77.8 75.2
Standar deviasi 20.5 16.6 17.4 18.2
Minimum 0 50 41.7 0.0
Maksimum 100 100 100 100.0
Analisis Anova antar
0.057
tipologi keluarga

Tingginya skor coping accepting responsibility terjadi karena sebagian besar


keluarga sering melakukan kritik/introspeksi diri sendiri terhadap permasalahan
yang dihadapi, demikian pula dengan upaya belajar hidup dalam kondisi pasca
bencana dan bisa menerima semua yang telah terjadi dan tidak bisa dirubah kembali
(Lampiran 15). Dalam hal ini keluarga contoh mampu menyesuaikan diri dengan
kondisi apa adanya. Hal senada diungkapkan oleh Rice (1999) dan Lazarus (1993),
salah satu kemampuan yang penting yang harus dimiliki untuk menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan ini adalah kemampuan
menyesuaikan diri karena adaptasi terhadap perubahan merupakan salah satu
penyebab stres.

E.2.3. Self Controlling


Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
88

Self controlling atau kendali diri merupakan reaksi keluarga dengan


melakukan pengaturan atau kontrol dalam perasaan maupun tindakan. Coping self
controlling yang dilakukan keluarga persentase terbesar (52.2%) termasuk kategori
sedang dengan skor rata-rata 74.4 (Tabel 52). Secara tipologi rata-rata skor coping
self controlling tertinggi ditemukan pada keluarga janda (80.8) dan terendah adalah
keluarga duda (71.1). Analisis uji beda anova tidak menghasilkan perbedaan yang
nyata dalam hal coping self controlling pada ketiga tipologi keluarga.
Pada Lampiran 16 disajikan item-item pernyataan strategi coping self
controlling keluarga pasca gempa dan tsunami. Hasil tersebut mengindikasikan
bahwa sebagian besar keluarga sering memikirkan terlebih dahulu terhadap apa yang
ingin dilakukan, menolak atau menghindari untuk melakukan sesuatu secara tergesa-
gesa, memperhatikan seseorang yang dikagumi dalam menyelesaikan suatu masalah
dan mencoba untuk melupakan segalanya adalah hal yang tidak pernah dilakukan
oleh tipologi keluarga utuh dan janda. Tidak mau memikirkan permasalahan terlalu
serius kadang-kadang dilakukan oleh keluarga duda dan janda, tetapi bagi sebagian
keluarga utuh hal tersebut sering dilakukan untuk mengurangi stres. Bersikap biasa
saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dirasakan tidak membantu mengurangi
stres

Tabel 52. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping self controlling
Utuh Duda Janda Total
Kategori Skor (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
Self Controlling
n % n % n % n %
Rendah 5 4.9 0 0.0 0 0.0 5 3.6
Sedang 53 51.5 13 65.0 6 40.0 72 52.2
Tinggi 45 43.7 7 35.0 9 60.0 61 44.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 74.1 71.1 80.8 74.4
Standar deviasi 19.3 12.2 13.6 18.0
Minimum 0.0 55.6 66.7 0.0
Maksimum 100.0 100.0 100.0 100.0
Analisis Anova antar
0.281
tipologi keluarga

E.2.4. Distancing
Distancing adalah coping yang dilakukan dengan cara menjauhkan diri atau
tidak melibatkan diri dalam permasalahan. Secara keseluruhan, (50.7%) coping
distancing yang dilakukan keluarga termasuk dalam kategori rendah dengan rata-
rata skor 45.2 (Tabel 53). Bila ditinjau berdasarkan tipologi, keluarga janda paling
rendah melakukan coping distancing dengan skor rata-rata 39.2 jika dibandingkan
dengan keluarga utuh dan keluarga duda. Hasil analisis anova mengindikasikan
bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.1) coping distancing antara ketiga
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
89

tipologi. Rendahnya strategi coping ini dilakukan karena hampir 50% keluarga tidak
mau memikirkan hal itu terlalu serius, bersikap biasa-biasa saja seolah-olah tidak
pernah terjadi apa-apa dan saya mencoba untuk melupakan segalanya (Lampiran
17). Melarikan diri dari permasalahan yang dihadapi tidak dapat menyelesaikan
masalah, bahkan dapat menambah permasalahan baru.

Tabel 53. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping distancing
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Kategori Skor Distancing
n % n % n % n %
Rendah 51 49.5 8 40.0 11 73.3 70 50.7
Sedang 31 30.1 10 50.0 0 0.0 41 29.7
Tinggi 21 20.4 2 10.0 4 26.7 27 19.6
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 46.2 44.4 39.2 45.2
Standar deviasi 33.6 25.5 38.7 33.0
Minimum 0.0 0.0 0.0 0.0
Maksimum 100.0 88.9 100.0 100.0
Analisis Anova antar
0.748
tipologi keluarga

E.2.5. Escape Avoidance


Escape avoidance merupakan coping yang dilakukan keluarga dengan cara
menghindari atau melarikan diri dari masalah yang dihadapi. Tujuannya adalah
untuk menghindari atau melarikan diri dari stresor, dan menetralkan emosi distres.
Strategi maladaptif yang dilakukan di antaranya adalah pengguna- an alkohol atau
obat-obatan, lari kepada fantasi atau mimpi-mimpi. Strategi coping escape
avoidance yang lebih konstruktif adalah menyibukkan diri dengan hobi atau
pekerjaan. Dalam jangka pendek strategi ini efektif, namun dalam jangka panjang
akan terjadi ketidaksesuaian dan muncul distres psikologi yang dimanifestasikan
sebagai kelelahan dan depresi (Anonim, 2006).
Coping escape avoidance dari sebagian besar (87.0%) keluarga tergolong
kategori rendah (Tabel 54). Berdasarkan tipologi, persentase tertinggi juga termasuk
kategori rendah. Rata-rata skor tertinggi ditemukan pada tipologi keluarga duda
yakni 27.7 dan skor terendah tipologi keluarga utuh yakni 19.2. Analisis uji beda
anova menunjukkan tidak ada perbedaan coping escape avoidance yang nyata
diantara ketiga tipologi keluarga. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa
rendahnya coping escape avoidance yang dilakukan terjadi karena adanya kesadaran
bahwa pelarian kepada perbuatan yang negatif hanya dirasakan sesaat dan tidak
dapat menyelesaikan masalah tetapi menambah masalah dan dapat merusak diri
sendiri dan keluarga.

Tabel 54. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping escape avoidance
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
90

Utuh Duda Janda Total


Kategori Skor Escape
(n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
Avoidance
n % n % n % N %
Rendah 90 87.4 17 85 13 86.7 120 87.0
Sedang 8 7.8 1 5 0 0 9 6.5
Tinggi 5 4.9 2 10 2 13.3 9 6.5
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 19.2 27.7 24 23.6
Standar deviasi 21.4 25.2 27.9 24.8
Minimum 0.0 0.0 0.0 0.0
Maksimum 100.0 100.0 100.0 100.0
Analisis Anova antar tipologi
0.274
keluarga

Berharap ada keajaiban yang terjadi dianggap oleh sebagian besar keluarga
dari tipologi duda sering sekali dilakukan untuk mengurangi stres (Lampiran 18),
sebaliknya bagi keluarga dari tipologi keluarga utuh dan janda upaya ini tidak
pernah dilakukan. Upaya melarikan diri dari permasalahan dengan merokok, tidur
terlalu lama, melemparkan permasalahan kepada orang lain dan hanyut dalam
permasalahan dianggap oleh sebagian besar keluarga tidak dapat membantu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurut Folkman dan Lazarus (1985),
salah satu aspek kunci coping adalah upaya individu untuk menerima kenyataan atau
mengeliminir ketidakpuasan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu usaha
positif dalam menghadapi suatu kondisi yang menyebabkan stres, sehingga pada
akhirnya dapat menciptakan harapan baru yang lebih nyata.
Suls dan Fletcher (1985) mengumpulkan berbagai hasil studi melalui meta-
analisis yang menjelaskan efek strategi coping escape-avoidance. Kesimpulan yang
diperoleh adalah strategi coping escape-avoidance hanya memberikan manfaat
dalam waktu pendek. Studi satu tahun yang dilakukan Holahan dan Moos (1987)
pada keluarga yang menggunakan pendekatan coping escape-avoidance
menunjukkan bahwa keluarga yang mengalami stres yang masuk kategori tinggi
selama intervensi adalah mereka yang cenderung menggunakan metode escape-
avoidance. Pada akhir studi, banyak keluarga yang mengalami gejala psychosomatic
seperti sakit kepala dan maag.

E.3. Korelasi antar Peubah Coping Strategi


Hasil analisis korelasi Spearman antar peubah coping strategi
mengindikasikan bahwa adanya hubungan positif nyata yang erat (rs=0,407) antara
strategi scoping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada emosi
(Tabel 55). Hal ini bermakna bahwa kedua jenis coping ini dilakukan secara
bersamaan oleh keluarga korban gempa dan tsunami. Fakta ini terlihat dengan
adanya hubungan positif nyata (p<0.01) antara plantful problem solving yang
tergolong ke dalam coping berfokus pada masalah dengan positive reappraisal dan
self controlling pada coping berfokus pada emosi. Coping seeking social support
berhubungan positif nyata (p<0.01) dengan positive reappraisal, accepting
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
91

responsibility dan escape avoidance. Cooper dan Payne (1991) mengatakan bahwa
individu tidak hanya menggunakan satu strategi coping saja melainkan beberapa
strategi coping yang dinilai tepat dan sesuai dengan dirinya sendiri.

Tabel 55. Korelasi Spearman antar peubah coping strategi


Copin
Plantf Seek
Confr Accent g Coping
ul ing Positiv Self Escap
on- ing Dista Berfo- Berfo-
Proble Soci e Con- e
tatif Respo n- kus kus
m al Reap- trollin Avoi-
Copi nsi- cing pada pada
Solvin Supp praisal g dance
ng bility Masa- Emosi
g ort
lah
Plantful
Problem
Solving 1.000                  
Confron
tatif
Coping -0.127 1.000                
Seeking
Social
Support .198(*) 0.071 1.000              
Positive .
Reappr . - 304(*
aisal 219(**) 0.104 *) 1.000            
Accenti
ng .
Respon 436(* .
si-bility .177(*) 0.165 *) 321(**) 1.000          
.
Distanci
256(* -
ng
0.050 *) 0.037 -0.075 0.165 1.000        
Self . .
Controlli . 375(* . 329(*
ng 280(**) 0.054 *) 0.152 320(**) *) 1.000      
Escape . .
Avoidan 372(* . . - 223(*
ce 0.096 0.081 *) 306(**) 361(**) 0.081 *) 1.000    
Coping
Berfoku . . .
s pada . 386(* 695(* . . 380(* .
Masalah 620(**) *) *) 233(**) 394(**) 0.127 *) 286(**) 1.000  
Coping
Berfoku . . . .
s pada 182(* 456(* . . 416(* 572(* . .
Emosi 0.147 ) *) 519(**) 776(**) *) *) 526(**) 407(**) 1.000
. . . .
Coping
. 320(* 669(* . . 312(* 554(* . . .
Total
432(**) *) *) 483(**) 701(**) *) *) 472(**) 787(**) 845(**)
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
92

F. HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES DAN STRATEGI COPING KELUARGA


Pada Tabel 56 disajikan sebaran keluarga berdasarkan strategi coping
berfokus pada masalah dan tingkat stres yang mengindikasikan adanya
kecenderungan coping berfokus pada masalah yang dilakukan keluarga tidak
dipengaruhi tinggi rendahnya stres dengan metode family inventory of life. Dalam
hal ini proporsi terbesar keluarga pada kedua kategori coping yakni rendah dan
tinggi terbesar pada stres minor.
Pada kategori tingkat stres metode Holmes dan Rahe, terlihat pola yang
menyebar pada kedua kategori coping, dimana pada keempat kategori stres, coping
yang dilakukan keluarga tidak terlalu dipengaruhi oleh tingkat stres. Pada coping
berfokus pada emosi terlihat pola yang tidak jauh berbeda dengan coping berfokus
pada masalah. Keluarga yang melakukan coping yang tergolong rendah maupun
tinggi ternyata mempunyai tingkat stres minor.

Tabel 56. Sebaran keluarga berdasarkan coping berfokus pada masalah dan Tingkat stres
Coping Berfokus pada Masalah
Tingkat Stres Sedang Tinggi Total
n % n % n %
Family Inventory of Life
Stres Minor 67 87.0 55 90.2 122 88.4
Stres Ringan 4 5.2 2 3.3 6 4.3
Stres Sedang 6 7.8 3 4.9 9 6.5
Stres Mayor/Berat 0 0.0 1 1.6 1 0.7
Total 77 100.0 61 100.0 138 100.0
Holmes dan Rahe
Stres Minor 28 36.4 16 26.2 44 31.9
Stres Ringan 13 16.9 10 16.4 23 16.7
Stres Sedang 31 40.3 31 50.8 62 44.9
Stres Mayor/Berat 5 6.5 4 6.6 9 6.5
Total 77 100.0 61 100.0 138 100.0

Hal ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya yang mengindikasikan


hubungan yang sangat erat antara coping berfokus pada masalah dan emosi sehingga
tidak mengherankan bahwa pola yang sama akan terlihat bila strategi coping
dihubungkan dengan tingkat stres. Meskipun demikian, ada satu hal yang dapat
dicermati pada Tabel 57 yakni terdapat 44.9 persen keluarga yang melakukan
coping berfokus pada emosi seiring semakin tingginya tingkat stres dengan metode
Holmes dan Rahe. Data ini mencerminkan bahwa upaya coping berfokus pada emosi
dari keluarga yang mengalami kehilangan keluarga dekat akan lebih besar
dibandingkan keluarga yang tidak mengalami kejadian ini.
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
93

Tabel 57. Sebaran keluarga berdasarkan coping berfokus pada emosi


dan tingkat stres
Coping Berfokus pada Emosi
Tingkat Stres Sedang Tinggi Total
n % n % n %
Family Inventory of Life
Stres Minor 101 89.4 21 84.0 122 88.4
Stres Ringan 4 3.5 2 8.0 6 4.3
Stres Sedang 8 7.1 1 4.0 9 6.5
Stres Mayor/Berat 0 0.0 1 4.0 1 0.7
Total 113 100.0 25 100.0 138 100.0
Holmes dan Rahe
Stres Minor 41 36.3 3 12.0 44 31.9
Stres Ringan 20 17.7 3 12.0 23 16.7
Stres Sedang 47 41.6 15 60.0 62 44.9
Stres Mayor/Berat 5 4.4 4 16.0 9 6.5
Total 113 100.0 25 100.0 138 100.0

G. KEBERFUNGSIAN KELUARGA
Keluarga sebagai suatu sistem harus memelihara homeostasis. Homeostasis
diartikan sebagai suatu keadaan seimbang atau keseimbangan, atau disebut juga
equilibrium. Keseimbangan diperlukan oleh sebuah sistem agar semua komponen-
komponennya atau subsistem-subsistemnya yang saling berinteraksi, saling
ketergantungan dan saling mempengaruhi sehingga memungkinkan untuk
memperoleh dan memelihara identitasnya sehingga keluarga sebagai suatu sistem
harus dapat berfungsi.
Menurut Epstein, Bishop, dan Baldwin (Zeitlin et al., 1995) keluarga
berfungsi efektif bila dapat memecahkan masalah-masalah dengan mudah,
sebaliknya tidak efektif bila tidak dapat memecahkan beberapa masalah yang
dihadapi. Keluarga berfungsi efektif bila dapat berkomunikasi secara jelas dan
langsung, memiliki peranan yang jelas dan beralasan, serta akuntabilitas, mampu
mengekspresikan sejumlah emosi sepenuhnya, terlibat dalam kegiatan-kegiatan
keluarga dengan penuh empati, memiliki perhatian terhadap individu-individu
anggota keluarga, serta fleksibel dalam mengontrol perilaku.
Keberfungsian keluarga yang terlebih dahulu akan dibahas adalah komposit
skor fungsi ekspresif dan instrumental pasca gempa dan tsunami yang disebut
sebagai keberfungsian keluarga total. Secara umum masih ada 16.6 persen keluarga
tidak dapat melakukan perannya dengan baik, dan ini banyak terjadi pada tipologi
keluarga duda dan janda (Tabel 58). Rata-rata skor keberfungsian keluarga total
seluruh keluarga adalah 77.4 dengan skor tertinggi dijumpai pada tipologi keluarga
utuh 81.6, diikuti oleh tipologi keluarga janda dan duda yang hampir sama yakni
masing-masing 75.7 dan 75. Data yang diperoleh tersebut bermakna bahwa pada
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
94

tipologi keluarga utuh fungsi keluarga yang dilakukan melalui peran ayah dan ibu
telah dapat berjalan lebih baik dibandingkan kedua tipologi lainnya. Secara statistik,
hasil analisis anova menunjukkan perbedaan yang nyata dalam hal keberfungsian
keluarga antara ketiga tipologi keluarga, uji lanjut Duncan tidak menghasilkan
perbedaan antar tipologi.

Tabel 58. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori keberfungsian total
Kategori Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Keberfungsian
Keluarga total n % n % n % n %
Rendah 0 0 1 5 0 0 1 0.7
Sedang 14 13.6 4 20 4 26.7 22 15.9
Tinggi 89 86.4 15 75 11 73.3 115 83.3
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 81.6 (ac) 75 (bc) 75.7 9 (cab) 77.4
Standar deviasi 11.6 18.1 12.6 14.1
Minimum 35.9 20.5 48.7 20.5
Maksimum 100 94.9 94.9 100.0
Analisis Anova antar
0.046
tipologi keluarga
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda
berarti berbeda nyata

G.1. Fungsi Ekspresif


Fungsi ekspresif keluarga berhubungan dengan pengembangan rasa kasih
sayang, rasa memiliki dan dimiliki, serta saling memberi dan menerima. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (91.3%) fungsi ekspresif keluarga
termasuk kategori tinggi dengan rata-rata 85.5 (Tabel 59). Rata-rata skor fungsi
ekspresif pada tipologi keluarga utuh lebih tinggi yakni 91.8 jika dibandingkan
dengan keluarga janda (85.9) dan keluarga duda (78.8). Hasil analisis anova
menunjukkan perbadaan fungsi ekspresif yang nyata antara ketiga tipologi keluarga.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa fungsi ekspresif tipologi keluarga utuh
berbeda dengan tipologi keluarga duda.
Pada Lampiran 19 yang berisi sebaran pernyataan fungsi ekspresif keluarga,
terlihat bahwa merencanakan untuk menambah anggota keluarga baru hanya ingin
dilakukan oleh kurang dari setengah contoh pada keluarga utuh dan hampir pada
semua pernyataan, lebih dari 80 persen keluarga menyatakan melakukan fungsi
ekspresif. Tipologi keluarga duda mempunyai kecenderungan persentasenya lebih
rendah melakukan fungsi ekspresif dibandingkan tipologi keluarga utuh dan janda.
Hal tersebut dapat dipahami bahwa fungsi ekspresif berhubungan dengan peran ibu,
sehingga keluarga duda merasa fungsi ini kurang mampu dilakukan secara sempurna
oleh ayah

Tabel 59. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori fungsi ekspresif
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
95

Kategori Keberfungsian Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Keluarga (ekspresif) n % n % n % n %
Rendah 0 0 1 5 0 0 1 0.7
Sedang 5 4.9 4 20 2 13.3 11 8.0
Tinggi 98 95.1 15 75 13 86.7 126 91.3
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 91.8 (ac) 78.8 (bc) 85.9 (cba) 85.5
Standar deviasi 10.4 22.8 13.1 15.4
Minimum 41.2 11.8 58.8 11.8
Maksimum 100 100 100 100.0
Analisis Anova antar
0.000
tipologi keluarga
Ket: * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda
berarti berbeda nyata

G.2. Fungsi Instrumental


Fungsi instrumental adalah fungsi yang berkaitan dengan pengadaan dan
pengalokasian sumberdaya yang terbatas untuk mencapai berbagai tujuan keluarga.
Secara umum, masih ada 37.7 persen keluarga yang kurang mampu melakukan
fungsi instrumental melalui peran ayah untuk memenuhi kebutuhan anggota
keluarga (Tabel 60). Rata-rata skor terendah untuk fungsi instrumental ini dijumpai
pada tipologi keluarga janda yaitu 67.9 dan tertinggi pada keluarga utuh. Secara
statistik tidak ada perbedaan yang nyata diantara ketiga tipologi keluarga dalam hal
fungsi instrumental keluarga. Tidak maksimalnya fungsi instrumental dilakukan
pada keluarga janda dikarena fungsi ini umumnya diperankan oleh ayah/suami.
Sepeninggal suami akibat gempa dan tsunami peran pencari nafkah yang biasa
dilakukan oleh suami diambil alih oleh istri untuk memenuhi kebutuhan anggota
keluarganya. Seorang istri akan mengalami kesulitan melakukan peran ini yang
sebelumnya tidak pernah dilakukan. Pada Lampiran 20 disajikan pernyataan fungsi
intrumental keluarga. Terdapat beberapa item pernyataan fungsi instrumental yang
persentasenya lebih rendah dibandingkan pernyataan lainnya pada ketiga tipologi
keluarga yakni selain pekerjaan tetap, juga memiliki pekerjaan sampingan, keluarga
memiliki asuransi untuk kesehatan, keluarga memiliki asuransi untuk pendidikan
nggota keluarga ke depan dan memutuskan untuk membeli barang berharga.

Tabel 60. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori fungsi instrumental

Kategori Skor fungsi Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
instrumental keluarga n % n % n % n %
Rendah 2 1.9 1 5 0 0 3 2.2
Sedang 34 33 7 35 8 53.3 49 35.5
Tinggi 67 65 12 60 7 46.7 86 62.3
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 73.7 72 67.9 71.2
Standar deviasi 17.3 20.4 18.6 18.8
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
96

Minimum 22.7 27.3 40.9 22.7


Maksimum 100 100 100 100.0
Analisis Anova antar
0.498
tipologi keluarga

H. HUBUNGAN ANTARA COPING DAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA


Pada Tabel 61 disajikan sebaran keluarga berdasarkan jenis coping dan
fungsi ekspresif yang mengindikasikan adanya kecenderungan tidak ada pola yang
terlalu ekstrim. Fungsi ekspresif keluarga pasca gempa dan tsunami hampir sama
pada ketiga kategori coping baik pada coping berfokus pada masalah maupun
berfokus pada emosi. Data yang dapat dicermati adalah persentase yang cukup
tinggi dari keluarga dengan fungsi ekspresif tinggi sebagai hasil dari upaya coping
berfokus pada emosi yang sedang.

Tabel 61. Sebaran keluarga berdasarkan jenis coping dan fungsi ekspresif
Fungsi Ekspresif
Coping Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Berfokus pada Masalah
Sedang 1 100.0 6 54.5 70 55.6 77 55.8
Tinggi 0 0.0 5 45.5 56 44.4 61 44.2
Total 1 100.0 11 100.0 126 100.0 138 100.0
Berfokus pada Emosi
Sedang 1 100.0 6 54.5 106 84.1 113 81.9
Tinggi 0 0.0 5 45.5 20 15.9 25 18.1
Total 1 100.0 11 100.0 126 100.0 138 100.0

Data pada Tabel 62 dapat memberikan satu kesimpulan bahwa umumnya


coping berfokus pada masalah dan emosi keluarga pasca gempa dan tsunami tidak
secara serta merta mengakibatkan tingginya fungsi instrumental keluarga. Terdapat
proporsi yang merata pada keluarga dengan fungsi instrumental yang sedang
maupun tinggi dengan sedangnya coping berfokus pada masalah dan emosi yang
dilakukan keluarga pasca gempa dan tsunami. Untuk melihat lebih jelas pengaruh
coping terhadap keberfungsian keluarga dapat ditelaah pada bagian analisi pengaruh.

Tabel 62. Sebaran keluarga berdasarkan jenis coping dan fungsi instrumental
Fungsi Instrumental
Coping Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % N % n %
Berfokus pada Masalah
Sedang 3 100.0 27 62.8 47 51.1 77 55.8
Tinggi 0 0.0 16 37.2 45 48.9 61 44.2
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
97

Total 3 100.0 43 100.0 92 100.0 138 100.0


Berfokus pada Emosi
Sedang 3 100.0 39 90.7 71 77.2 113 81.9
Tinggi 0 0.0 4 9.3 21 22.8 25 18.1
Total 3 100.0 43 100.0 92 100.0 138 100.0

I. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRATEGI COPING KELUARGA


Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh tingkat
stres, masalah keluarga dan sumberdaya coping terhadap coping berfokus pada
masalah keluarga pasca gempa dan tsunami (Tabel 63). Nilai R2 yang diperoleh
adalah sebesar 0.2644 artinya pengaruh tingkat stres, masalah keluarga dan
sumberdaya coping terhadap coping berfokus pada masalah adalah 26.44 persen,
sisanya yakni 73.56 persen adalah pengaruh variabel lain diluar penelitian.

Tabel 63. Coping berfokus pada masalah sebagai peubah tidak bebas dengan tingkat stres,
masalah keluarga dan sumberdaya coping sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang
Konstanta 76.01058148
Masalah kesehatan 0.12998797 0.0912 0.0912 0.0008
Stres Kognitif -0.15750541 0.0508 0.1420 0.0096
Dukungan sosial -0.10986383 0.0626 0.2046 0.0031
D1 -9.57078617 0.0341 0.2386 0.0252
D2 -4.73526717 0.0257 0.2644 0.0483

Ada lima variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap strategi coping
berfokus pada masalah yakni masalah kesehatan, stres kognitif, dukungan sosial,
tipologi janda dan tipologi duda. Adapun variabel yang paling tinggi pengaruhnya
diantara kelima variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah masalah
kesehatan yakni 9.1 persen.
Masalah kesehatan memberikan pengaruh positif nyata terhadap coping
berfokus pada masalah artinya ada kecenderungan meningkatnya masalah kesehatan
akan membuat keluarga melakukan tindakan yang diarahkan kepada pemecahan
masalah. Keluarga yang bermasalah dengan kesehatan akan melakukan upaya
pengobatan dengan mengunjungi pusat pelayanan kesehatan dan jika memerlukan
biaya dapat diperoleh dengan cara meminjam. Permasalahan kesehatan yang dialami
menuntut tindakan nyata dan keluarga menilai masalah yang dihadapinya masih
dapat dikontrol dan dapat diselesaikan melalui upaya konstruktif. Coping ini terlihat
pula pada hasil penelitian Ninno et al. (1998) yang memperlihatkan strategi coping
berpusat pada masalah yang digunakan rumahtangga dalam mengatasi masalah
kekurangan pangan akibat banjir besar di Bangladesh yaitu: (1) melakukan
pinjaman/berhutang pada bank; (2) membeli makanan dengan kredit; (3) mengubah
perilaku makan; dan (4) menjual aset yang masih dimiliki.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
98

Tingkat stres kognitif berpengaruh negatif nyata terhadap coping berfokus


pada masalah yang bermakna semakin tinggi tingkat stres kognitif akan semakin
rendah upaya coping berfokus pada masalah yang dilakukan keluarga. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingginya tingkat stres kognitif membuat keluarga tidak
dapat berpikir dengan jernih, tidak bisa konsentrasi dalam bekerja atau mencari
pemecahan masalahnya.
Dukungan sosial berpengaruh negatif nyata terhadap coping berfokus pada
masalah menunjukkan bahwa keluarga dengan dukungan sosial yang tinggi
cenderung kurang melakukan coping berfokus pada masalah. Tipologi keluarga
duda dan janda juga berpengaruh negatif nyata terhadap coping berfokus pada
masalah, artinya status kepala keluarga sebagai duda dan janda cenderung kurang
melakukan coping berfokus pada masalah. Kedua tipologi keluarga ini mengalami
ketimpangan struktur keluarga dengan hilangnya kepala keluarga pada tipologi
janda dan ibu rumah tangga pada keluarga duda sehingga membuat upaya
penyelesaian masalah tidak dapat dilakukan dengan maksimal.
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh tingkat
stres, masalah keluarga dan sumberdaya coping terhadap coping berfokus pada
emosi. Nilai adjusted R2 yang diperoleh adalah sebesar 0.2445 persen, artinya
pengaruh tingkat stres, masalah keluarga dan sumberdaya coping terhadap coping
berfokus pada emosi adalah 24.45 persen, sisanya yakni 75.55 persen adalah
pengaruh variabel di luar penelitian (Tabel 64).

Tabel 64. Coping berfokus pada emosi sebagai peubah tidak bebas dengan tingkat stres,
masalah keluarga dan sumberdaya coping sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang
Konstanta 86.92638883
Kepribadian 0.29681547 0.1412 0.1412 0.0001
Dukungan sosial -0.12870525 0.0462 0.1874 0.0111
Umur kepala keluarga 0.34686839 0.0305 0.2140 0.0499
Jumlah anggota keluarga 1.63843430 0.0266 0.2445 0.0333

Ada empat variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap strategi coping
berfokus pada emosi yakni kepribadian, dukungan sosial, umur kepala keluarga dan
jumlah anggota keluarga. Hal ini sejalan dengan pendapat Sussman dan Steinmetz
(1988), strategi coping individu dipengaruhi oleh latar belakang budaya,
pengalaman, lingkungan, kepribadian, konsep diri dan faktor sosial. Menurut
Lazarus dan Folkman (1988b) coping berfokus pada emosi cenderung dilakukan bila
individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat
menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup untuk
menghadapi tuntutan sosial. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa
coping berfokus pada emosi yang dilakukan oleh keluarga karena ketidakmampuan
mereka untuk berbuat atau bekerja, sehingga mereka lebih banyak mengharapkan
belas kasihan dan bantuan dari orang lain. Adapun variabel yang paling tinggi
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
99

pengaruhnya diantara keempat variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah


kepribadian yakni 14.12 persen.
Kepribadian berpengaruh positif nyata terhadap coping berfokus pada emosi
keluarga yang bermakna semakin ekstrovert kepribadian yang dimiliki keluarga
akan membuat upaya coping yang berfokus pada emosi akan semakin tinggi. Hal ini
dapat dipahami karena orang yang ekstrovert akan lebih mampu melakukan coping
mengedepankan coping emosi. Strategi coping ditentukan oleh karakteristik yang
melekat pada individu, seperti ciri kepribadian (Bolger & Zuckerman, 1995; Costa,
Somerfield, & McCrae, 1996; Hewitt & Flett, 1996).
Dukungan sosial berpengaruh negatif nyata terhadap coping berfokus pada
emosi artinya semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh keluarga akan
membuat upaya coping yang berfokus pada emosi akan semakin rendah. Hal ini
memberikan suatu pengertian bahwa dukungan sosial yang diterima dapat
mengurangi upaya keluarga untuk melakukan berbagai hal yang bersifat positif,
seperti tidak mau mengembangkan diri, kurang melibatkan diri dalam permasalahan
yang dihadapi dan kurang mau mengendalikan diri baik dalam sikap maupun
tindakan. Namun demikian dukungan sosial juga dapat mengurangi tindakan-
tindakan yang bersifat negatif.
Umur kepala keluarga berpengaruh positif nyata terhadap coping berfokus
pada emosi, ini bermakna semakin tua umur kepala keluarga akan membuat
keluarga lebih melakukan upaya coping yang berfokus pada emosi. Hal ini dapat
dimengerti karena ada kecenderungan semakin tua umur seseorang akan membuat ia
lebih mengedepankan aspek spritual ataupun yang berkaitan dengan faktor emosi
yang positif dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif nyata terhadap coping
berfokus pada emosi, maksudnya jumlah anggota keluarga yang semakin besar akan
membuat upaya coping yang berfokus pada emosi akan semakin tinggi. Hal ini
dapat dipahami karena dengan banyaknya anggota keluarga yang selamat dari
gempa dan tsunami membuat keluarga lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta
dan bersyukur atas keselamatan mereka dari gempa dan tsunami.

J. PENGARUH SUMBERDAYA COPING, MASALAH KELUARGA DAN STRATEGI COPING


TERHADAP KEBERFUNGSIAN KELUARGA
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh
sumberdaya coping, masalah keluarga dan strategi coping terhadap fungsi ekspresif
keluarga pasca gempa dan tsunami (Tabel 65). Ada empat variabel yang
berpengaruh secara nyata terhadap fungsi ekspresif keluarga yakni tingkat
pendidikan KK, masalah rumah, konsep diri dan jumlah anggota keluarga. Nilai
adjusted R2 yang diperoleh sebesar 0.4358, artinya pengaruh sumberdaya coping,
masalah keluarga dan strategi coping terhadap fungsi ekspresif keluarga pasca
gempa dan tsunami adalah 43.58 persen, sisanya yakni 56.42 persen adalah
pengaruh variabel lain di luar model. Adapun variabel yang paling tinggi
pengaruhnya diantara sembilan variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah
tingkat pendidikan KK yakni 27.33 persen.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
100

Tingkat pendidikan KK berpengaruh positif terhadap fungsi ekspresif


keluarga dapat berarti semakin tinggi pendidikan KK maka perannya akan semakin
tinggi dalam keberlangsungan fungsi ekspresif keluarga. Kepala keluarga yang
berpendidikan tinggi lebih dianggap lebih memahami dan menjalankan fungsi
ekspresif baik secara langsung maupun melalui transfer pengetahuan kepada istri.

Tabel 65. Fungsi ekspresif keluarga sebagai peubah tidak bebas dengan sumberdaya
coping, masalah keluarga dan strategi coping sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang
Konstanta 20.75287812
Tingkat pddk KK 0.59031062 0.2733 0.2733 0.0001
Masalah Rumah -0.09609684 0.0658 0.3391 0.0126
Konsep diri 0.20922815 0.0606 0.3997 0.0128
Jumlah anggota keluarga 1.72770310 0.0361 0.4358 0.0471

Masalah rumah berpengaruh negatif terhadap fungsi ekspresif keluarga


dapat berarti semakin besar masalah rumah yang dihadapi keluarga akan dapat
mengganggu fungsi ekspresif keluarga. Rumah yang tidak memadai dan tidak
kondusif dapat berpengaruh pada hubungan antar anggota keluarga dan pada
akhirnya berdampak pada tidak berjalannya fungsi ekspresif.
Konsep diri berpengaruh positif terhadap fungsi ekspresif keluarga dapat
berarti semakin positif konsep diri contoh maka fungsi ekspresif dalam keluarga
akan dapat berjalan dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Maramis
(1998), konsep diri yang baik akan menghasilkan hubungan yang baik pula dengan
orang lain.
Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
ekspresif keluarga yang bermakna jumlah anggota keluarga yang semakin besar
mampu mendorong fungsi ekspresif keluarga berjalan dengan baik. Ikatan diantara
keluarga yang selamat dari bencana akan semakin erat dibandingkan sebelum
bencana yang menimbulkan fungsi afektif, rasa memiliki dan dimiliki, serta saling
memberi dan menerima semakin kuat pula.
Analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh sumberdaya
coping, masalah keluarga dan strategi coping terhadap fungsi instrumental keluarga
pasca gempa dan tsunami. Ada 7 variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap
fungsi instrumental keluarga yakni seeking social support, tingkat kesehatan KK,
confrontatif, planful problem solving, jumlah anggota keluarga, masalah pendidikan
dan masalah pakaian. Nilai adjusted R2 yang diperoleh adalah sebesar 0.3683,
artinya pengaruh sumberdaya coping, masalah keluarga dan strategi coping terhadap
fungsi instrumental keluarga pasca gempa dan tsunami adalah 36.83 persen, sisanya
yakni 63.17 persen adalah pengaruh variabel lain di luar penelitian (Tabel 66).
Adapun variabel yang paling tinggi pengaruhnya diantara keenam variabel yang
berpengaruh secara signifikan adalah yakni seeking social support 12.73 persen.

Tabel 66. Fungsi instrumental keluarga sebagai peubah tidak bebas dengan sumberdaya
coping, masalah keluarga dan strategi coping sebagai peubah bebas
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
101

Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang


Konstanta -8.11036667
Seeking social support 0.38616450 0.1273 0.1273 0.0001
Tingkat kesehatan KK 0.30033987 0.0629 0.1902 0.0032
Confrontatif 0.20319866 0.0525 0.2427 0.0054
Planful Problem Solving 0.18628526 0.0324 0.2751 0.0254
Jumlah anggota Keluarga 0.00000004 0.0364 0.3114 0.0156
Masalah pendidikan 0.11491817 0.0311 0.3425 0.0227
Masalah pakaian 0.09746892 0.0257 0.3683 0.0348

Seeking social support berpengaruh positif nyata terhadap fungsi


instrumental artinya upaya keluarga untuk melakukan coping dengan mencari
dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan
emosional membuat fungsi instrumental keluarga dapat berjalan dengan baik.
Menurut Caplan (Friedman, 1998), mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja
sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama.
Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok
profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan
bersama.
Menurut Caplan (Friedman, 1998), terdapat tiga sumber dukungan sosial
yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial
formal, dan penggunaan kelompok-kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem
dukungan sosial informal yang biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh
masyarakat. Penggunaan sistem sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika
keluarga gagal untuk menangani masalahnya sendiri, maka keluarga harus
dipersiapkan untuk beralih kepada profesional bayaran untuk memecahkan masalah.
Penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk dukungan sosial dapat dilakukan
melalui organisasi.
Tingkat kesehatan kepala keluarga berpengaruh positif nyata terhadap
fungsi instrumental yang bermakna semakin tinggi tingkat ksehatan kepala keluarga
sebagai pencari nafkah keluarga maka fungsi instrumental keluarga akan semakin
baik. Hal ini dapat dipahami karena kesehatan yang lebih baik akan membuat kepala
keluarga mampu melakukan tugasnya dengan lebih baik dan berupaya mencari
peluang-peluang untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Coping Confrontative yang dilakukan keluarga berpengaruh positif nyata
terhadap fungsi instrumental, hal ini bermakna semakin tinggi upaya keluarga untuk
bereaksi dalam mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang
harus diambil membuat fungsi instrumental keluarga semakin baik. Hal ini dapat
dipahami apalagi dengan besarnya bencana yang terjadi membuat keluarga harus
melakukan coping confrontative untuk keberlangsungan fungsi instrumental
keluarga.
Plantful problem solving berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
instrumental keluarga yang bermakna upaya keluarga dalam bereaksi dengan
melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti
pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah membuat fungsi instrumental
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
102

keluarga semakin baik. Upaya coping yang dilakukan dengan menganalisis


permasalahan keluarga secara bersama-sama dapat membentuk hubungan yang
efektif dalam suatu ikatan moral yang kuat yang dapat membimbing anggota
keluarga untuk bekerja sama secara kooperatif dalam keluarga yang terintegrasi
(Slater, 1974).
Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
instrumental keluarga yang bermakna jumlah anggota keluarga yang semakin besar
mampu mendorong fungsi instrumental keluarga berjalan dengan baik. Dengan
anggota keluarga yang lebih lengkap, maka fungsi instrumental keluarga seperti
hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik pasca gempa dan tsunami dan
peran anggota keluarga dalam menjaga keberlangsungan keluarga dapat tetap
berjalan dengan baik.
Masalah pendidikan dan pakaian berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
instrumental keluarga yang bermakna semakin banyak masalah pendidikan dan
masalah pakaian yang dialami keluarga justru membuat fungsi instrumental keluarga
semakin baik. Adanya masalah pendidikan dan pakaian yang dialami keluarga justru
lebih mendorong peran instrumental sebagai pencari nafkah untuk kelangsungan
hidup seluruh anggota keluarga.
Hasil Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
103


Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
104

Bab Lima
FUNGSI REHABILITASI
STRATEGI COPING BAGI
KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI
ACEH
A. COPING, BENCANA, DAN TINGKAT STRES
Bencana yang menimpa umat manusia bisa berupa bencana alam maupun
bencana akibat perilaku manusia. Bancana gempa dan tsunami salah satu dari
bencana alam. Bencana akibat perilaku manusia seperti pengundulan hutan yang
mengakibatkan banjir dan tanah longsor, selain itu bencana yang diakibatkan oleh
konflik yang berkepanjangan. Respon terhadap kedua jenis bencana tersebut
kemungkinan besar tidaklah sama.
Di Nanggroe Aceh Darussalam telah terjadi dua bencana sekaligus baik
bencana alam maupun bencana yang diakibatkan konflik bersenjata, kedua bencana
tersebut telah banyak menelan korban jiwa. Dalam penelitian ini lebih difokuskan
pada korban bencana alam yang diakibatkan oleh gempa dan tsunami pada tanggal
26 Desember 2004. Kota Banda Aceh merupakan salah satu daerah yang tertimpa
bencana alam, tetapi tidak terkena bencana yang diakibatkan oleh konflik bersenjata.
Bencana gempa dan tsunami menyisakan berbagai persoalan baik ditingkat
pusat maupun daerah. Pada level keluarga persoalan yang dihadapi antara lain
masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian (sandang) dan masakah
pekerjaan/pendapatan. Pada awal terjadinya bencana masalah pangan dialami
hampir semua keluarga korban bahkan hampir seluruh masyarakat Banda Aceh. Hal
ini dikarenakan persediaan makanan di lokasi bencana terbatas dan juga transfortasi
yang terputus sehingga pasokan pangan dari daerah lain terhenti. Beberapa hari
setelah terjadi bencana bantuan pangan mulai berdatangan, sehingga beberapa bulan
pasca bencana banyak keluarga yang masih menerima bantuan berupa beras, lauk
pauk, minyak goreng, mie instan, gula pasir dan bantuan lainnya yang bisa
dikonsumsi. Selain itu keluarga juga menerima uang tunai Rp 90.000/orang/bulan.
Kebutuhan pangan keluarga saat itu sangat tergantung kepada bantuan orang lain.
Saat penelitian ini berlangsung yaitu 1.5 tahun pasca tsunami bantuan
pangan mulai berkurang dan hanya diprioritaskan kepada anak yatim dan orang-
orang yang benar-benar tidak mampu, sehingga masalah pangan mulai dirasakan
kembali oleh sebagian keluarga. Hasil temuan di lapangan masih ada 5.1 persen
keluarga yang mengalami masalah dengan pangan. Angka ini memang relatif kecil
jika dibandingkan dengan bencana yang luar biasa. Ada beberapa alasan mengapa
masalah pangan tidak begitu dirasakan oleh sebagian keluarga antara lain karena
Fungsi Rehabilitasi Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
105

banyaknya bantuan yang diterima. Selain itu kondisi kehidupan keluarga saat
sebelum bencana tidak termasuk dalam katagori penduduk miskin, terbukti sebagian
besar keluarga masih memiliki aset yang masih bisa dijual untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Masalah kesehatan setelah 1.5 tahun pasca tsunami hanya dialami oleh
sebagian kecil (7.2%) keluarga. Hal ini disebabkan karena masih adanya posko-
posko kesehatan yang menyediakan pengobatan gratis bagi keluarga korban yang
mengalami masalah kesehatan. Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat luas di Kota Banda Aceh pasca tsunami, beberapa rumah sakit besar,
puskesmas, puskesmas pembantu dan klinik kesehatan telah mengalami perbaikan
baik dari segi fisiknya, penambahan tenaga medis dan perbaikan anministrasi. Kalau
diperhatikan secara tipologi, masalah kesehatan lebih tinggi dialami oleh keluarga
duda jika dibandingkan dengan keluarga utuh dan janda, ini disebabkan karena pada
keluarga duda masalah pengasuhan dan perawatan kesehatan lainnya merupakan hal
baru yang harus ditangani sendiri, dimana sebelumnya masalah ini ditangani oleh
istri.
Masalah lain yang dialami oleh sebagian besar keluarga di Aceh adalah
masalah pendidikan yang mengalami penderitaan ganda. Pertama, sistem pendidikan
lumpuh karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan warga sipil
dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana alam yang menghancurkan sarana
pendidikan dan tenaga pendidik. Membangun kembali prasarana dan sarana
pendidikan pasca-bencana disatu sisi memberi semacam keuntungan berupa
kesempatan membangun kembali sistem pendidikan yang menghindari kelemahan
dan kesalahan di masa lalu, menciptakan sistem pendidikan yang menghargai harkat
kemanuasiaan, menciptakan solidaritas dan harmoni yang memecah akar-akar
konflik politik. Demikian juga merupakan sebuah kesempatan untuk
merekonseptualisasi kurikulum dan metode dalam kerangka jangka panjang berdasar
kebutuhan nyata siswa, termasuk memperkuat sistem formasi pengajar dengan
memberi berbagai macam pelatihan yang dibutuhkan. Secara tipologi masalah
pendidikan lebih banyak dialami oleh keluarga janda karena ketiadaan orang yang
mencari nafkah untuk keperluan pendidikan.
Namun demikian satu hal yang cukup membanggakan bagi masyarakat Aceh
saat ini yaitu perhatian PEMDA dengan memberikan pendidikan gratis mulai dari
TK sampai SLTA. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan semua anak-anak usia
sekolah dapat mengikuti wajib belajar 9 tahun. Di samping itu, banyak beasiswa
yang diberikan kepada mahasiswa yang sedang mengikuti pendidikan baik di Aceh
maupun luar Aceh mulai dari Diploma sampai Program Doktor (S3).
Masalah perumahan/tempat tinggal dialami hampir semua korban, karena
keluarga tinggal di tenda atau barak pengungsian yang kondisinya tidak memenuhi
standar kesehatan. Di barak ruangan yang disiapkan hanya satu ruangan yang
berukuran 4x4 meter persegi yang harus dihuni untuk satu keluarga. Semua aktivitas
harus dilakukan dalam satu ruangan tanpa ada pembatas. Di samping itu juga tidak
tersedianya MCK yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Untuk
mengatasi permasalahan perumahan yang dialami sebagian besar keluarga di Kota
Banda Aceh, BRR berusaha membangun kembali rumah-rumah penduduk yang
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
106

hancur, namun usaha itu belum seluruhnya terpenuhi, karena terkendala dengan
permasalahan hak kepemilikan tanah. Banyak sertifikat yang hilang sehingga
menyulitkan penetaan kembali tanah-tanah penduduk yang pemiliknya hilang. Di
samping itu, masalah pembangunan rumah juga pada awal pelaksanaannya tidak
melibatkan masyarakat setempat, pembangunan dilakukan oleh para kontraktor dan
buruh bangunan dari luar Aceh. Masyarakat setempat menjadi penonton di negeri
sendiri tanpa bisa berbicara sepatahpun dan dipaksa untuk menerima apa adanya.
Banyak rumah yang sudah siap, tetapi tidak layak untuk ditempati, tidak memiliki
MCK, berlantaikan tanah dan tidak memiliki kamar. Secara tipologi masalah
perumahan lebih banyak dialami oleh keluarga utuh jika dibandingkan dengan
keluarga duda dan janda, ini dikarenakan pada keluarga utuh kehidupan keluarga
sedikit berbeda, sehingga barak yang hanya disediakan satu ruangan dirasakan
sangat tidak memadai.
Awal terjadinya bencana masalah pakaian merupakan masalah besar, namun
beberapa hari kemudian hal tersebut dapat segera diatasi karena banyaknya bantuan.
Pada saat penelitian ini dilakukan masalah pakaian ini tidak menjadi suatu
permasalahan yang besar, karena banyaknya bantuan pakaian yang diterima
keluarga. Selain itu bagi keluarga yang kehidupannya biasa-biasa saja pakaian
bukanlah hal pokok yang harus selalu terpenuhi untuk berbagai kesempatan. Pakaian
baru hanya dibeli pada saat-saat tertentu saja misalnya saat lebaran.
Saat ini yang menjadi satu permasalahan besar adalah masalah pekerjaan.
Hilangnya pekerjaan berarti tidak memilki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari, hal ini dapat mempengaruhi tingkat stres keluarga. Saat
penelitian ini berlangsung ada 10.1 persen keluarga kehilangan pekerjaan yang
dikarenakan tidak memiliki modal untuk usaha, kehilangan peralatan untuk ke laut
bagi para nelayan dan hancurnya tambak. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah dan LSM untuk mengatasi masalah pekerjaan ini misalnya memberikan
pinjaman modal usaha, memberikan bantuan perahu dan menata kembali tambak-
tambak penduduk yang hancur. Di samping itu juga banyak dilakukan pelatihan
untuk membantu para remaja yang tidak melanjutkan pendidikan, ibu-ibu yang tidak
bekerja dengan tujuan agar para remaja dan ibu-ibu memiliki keterampilan dan
dapat bekerja untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Secara tipologi masalah
pekerjaan lebih banyak dialami oleh keluarga janda. Ini disebabkan keluarga janda
harus bekerja sendiri untuk menggantikan suami mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.

B. TINGKAT STRES KELUARGA


Salah satu faktor yang perlu diperhatikan keberhasilan program
pembangunan di Aceh saat ini, adalah faktor psikologi dan sosiologi masyarakat
Aceh agar bisa keluar dari trauma kehilangan keluarga dan harta untuk masuk ke
dalam kehidupan yang penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Sikap ini
juga harus didukung oleh semangat solidaritas dan rasa senasib sepenanggungan kita
semua untuk membangun Aceh kembali.
Banyak permasalahan yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami
yang tidak dapat diselesaikan dapat menimbulkan stres. Kemampuan individu dalam
Fungsi Rehabilitasi Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
107

melakukan tindakan yang kongkrit dan membuat suatu keputusan yang dapat
memberikan hasil yang menyenangkan, serta menghindari diri dari situasi yang
menyulitkan. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya tingkat stres yang dialami
keluarga setelah 1 tahun pasca bencana diperlihat dari gejala-gejala stres yang
dialami keluarga relatif kecil baik secara fisik, psikis, kognitif dan perilaku.
Rendahnya tingkat stres tidak berarti telah melupakan semua peristiwa yang pernah
dialami. Peristiwa itu tidak pernah terlupakan seumur hidup, tetapi masyarakat Aceh
umumnya dapat menerima segala sesuatu yang sudah kehendak Yang Maha Kuasa
siapapun tidak dapat menyangkalnya.
Pengukuran tingkat stres dengan menggunakan pendekatan Family
Inventory of Life dalam penelitian ini tidak dapat menggungkap tingkat stres yang
dialami kepala keluarga yang disebabkan oleh mata-mata peristiwa yang lalu, karena
gejala-gejala yang dirasakan sekarang sebagai penyebab stres sudah tidak dirasakan
lagi oleh sebagian besar kepala keluarga, sehingga tingkat stres yang diperlihatkan
menjadi rendah, namun dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh
Holmes dan Rahe mampu mengungkap tingkat stres sebagai akibat peristiwa masa
lalu, karena di dalam instrumen tersebut tercantum butir-butir yang menyebabkan
stres seperti kehilangan pasangan, kehilangan aset, kematian keluarga dekat,
perubahan kondisi keuangan dan kematian teman dekat, perubahan tempat tinggal
dan lain sebagainya adalah sesuatu hal yang masih dapat memicu stres keluarga
dengan skor yang telah ditentukan, sehingga satu tahun pasca gempa dan tsunami
stres kepala keluarga masih tetap dirasakan.
Secara tipologi, kematian pasangan merupakan penyebab stres terbesar yang
dirasakan oleh keluarga duda dan janda, tetapi pada keluarga utuh penyebab stres
terbesar adalah kehilangan aset. Temuan ini diperkuat oleh Darmaningtyas (2005)
yang menyatakan bahwa kematian merupakan dimensi utama kehilangan dan
merupakan kejadian paling traumatis yang dialami oleh seorang individu. Stres
paling berat yang dirasakan orang dewasa adalah karena kehilangan orang-orang
dekat yang dicintai sekaligus kehilangan rumah dan harta benda. Lebih lanjut
Freedy, Saladin, Kilpatrick, Resnick, dan Saunders (1994) dalam penelitiannya
menemukan bahwa kehilangan sumberdaya adalah prediktor yang lebih penting dari
stres psikologi dibandingkan ancaman hidup yang dirasakan 4-7 bulan setelah
gempa Sierra Madre (Los Angeles County, California, 1991).

C. STRATEGI COPING
Keadaan stres yang dialami seseorang akan menimbulkan efek yang kurang
menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Setiap individu tidak akan
membiarkan efek-efek negatif itu terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan
untuk mengatasi permasalahan yang disebut dengan coping. Respon coping individu
itu akan diolah sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu perilaku coping
dengan tujuan: (1) mengurangi bahaya dari lingkungan sekitar: (2) mengatur dan
bertahan pada realitas yang ada; (3) memelihara self-image yang positif; (4)
mengatur keseimbangan emosi dan (5) membina hubungan baik dengan pihak lain
(Lazarus, 1993).
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
108

Pada dasarnya, manusia melakukan perilaku coping dengan tujuan untuk


keluar dari situasi yang tidak menyenangkan dan mengembalikan fungsi psikologis
(menstabilkan atau menetralisir kembali keadaan yang mengganggu). Tingkah laku
ini timbul dari sejumlah tahap, pertama menilai sumber stres yang dihadapi serta
sumber-sumber yang dimiliki untuk mengatasinya dan kemudian baru bertindak.
Penilaian terhadap suatu situasi tidak dapat digeneralisasikan sama pada semua
individu. Setiap individu mempunyai respon yang berbeda terhadap suatu sumber
stres (termasuk sumber stres yang sama). Situasi tertentu dapat dapat dinilai sebagai
ancaman atau sebagai tantangan tergantung pada pengalaman individu yang bersifat
internal dan eksternal. Berdasarkan penilaian tersebut akan terjadi perilaku yang
sesuai dengan penilaian tersebut, Misalnya masalah pangan yang dihadapi keluarga
pasca gempa dan tsunami dinilai dapat mengakibat kebutuhan gizi keluarga dapat
terganggu, maka masalah ini harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi, keluarga melakukan berbagai
coping strategi baik yang berfokus pada masalah dan berfokus pada emosi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hanya 44.2 persen keluarga melakukan strategi
coping yang berfokus pada masalah yang tergolong tinggi. Upaya keluarga
mengatasi permasalahan yang dihadapi melalui strategi coping berfokus pada
masalah yang paling banyak dilakukan adalah merubah gaya hidup. Untuk
mengatasi masalah kesehatan selain memperoleh bantuan dari pemerintah dan LSM,
keluarga juga berusaha lebih dari biasanya bila perlu meminjam pada tetangga yang
masih memilikinya. Dan untuk mengatasi masalah perumahan selain melakukan hal-
hal tersebut diatas, kepala keluarga juga membuat perencanaan agar apa yang
dilakukan lebih terkonsentrasi. Begitu juga upaya yang dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah melalui strategi coping yang berfokus pada emosi, coping ini
dilakukan dengan tidak melakukan sesuatu secara tergesa-gesa, memperhatikan
seseorang yang dikagumi menyelesaikan masalah dan mencoba melupakan
segalanya.
Rendahnya kemampuan keluarga dalam melakukan coping tidak saja
dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar keluarga cukup memiliki sumberdaya baik dari segi sosial ekonomi
maupun dari faktor ciri-ciri pribadi dan dukungan sosial, tetapi coping yang
dilakukan sebagian besar tergolong dalam katagori rendah. Ini terjadi karena ada
faktor ketidaktahuan keluarga terhadap apa yang harus dilakukan untuk mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapi. Di samping itu, pembinaan yang dilakukan belum
sepenuhnya menjangkau seluruh permasalahan yang dihadapi keluarga. Individu
lebih banyak menerima bantuan material sehingga kurang mau berusaha sendiri
untuk keluar dari permasalahan yang dihadapi.
Cooper dan Payne (1991), untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu
tidak hanya melakukan satu strategi coping saja, melainkan beberapa strategi yang
dinilai tepat dan sesuai dengan dirinya sendiri. Jenis coping mana yang akan
digunakan dan bagaimana dampaknya tergantung pada jenis stressor yang
dialaminya. Berdasarkan hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan
positif nyata sebesar 40.7 persen antara coping berfokus pada masalah dan coping
berfokus pada emosi. Hal ini menunjukkan bahwa coping yang dilakukan individu
Fungsi Rehabilitasi Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
109

selalu berdampingan dan beriringan. Misalnya seseorang akan melakukan suatu


tindakan sambil memohon petunjuk semoga usaha yang dilakukan mencapai tujuan
yang diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan
strategi coping dilakukan karena mengalami tingkat stres tinggi, tetapi coping tetap
dilakukan walaupun tingkat stres minor dengan metode family inventory of life.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa coping bukan saja keberhasilan
individu dalam mengatasi stresnya, tetapi usaha yang dilakukan untuk keluar dari
situasi yang menekan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tingkah laku coping
adalah berdiri sendiri, terpisah dari keberhasilan atau kegagalan individu dalam
mengatasi stresnya.
Menurut Caplan (Friedman 1998), mencari pendukung sosial dalam jaringan
kerja sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama.
Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok
profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan
bersama. Terdapat tiga sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan
dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial formal, dan penggunaan
kelompok-kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal
biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh masyarakat. Penggunaan sistem
sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika keluarga gagal untuk menangani
masalahnya sendiri, maka keluarga harus dipersiapkan untuk beralih kepada
profesional bayaran untuk memecahkan masalah. Penggunaan kelompok mandiri
sebagai bentuk dukungan sosial dapat dilakukan melalui organisasi (Friedman,
1998).
Di Propinsi NAD sudah lama dikenal nilai-nilai budaya yang berlaku dalam
tata kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat difungsikan untuk
mengatasi masalah kemiskinan dan permasalahan lainnya. Perilaku sosial yang telah
lama dikenal itu diwujudkan dalam falsafah saling asih, saling asuh dan saling asah.
Secara harfiah arti falsafah hidup yang sangat tinggi adalah saling mengasihi, saling
mengasuh dan saling memberikan pengetahuan antar warga masyarakat, baik dalam
kehidupan keluarga, tetangga, kelompok, maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang secara turun temurun
tetap diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai permasalahan pasca gempa dan
tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali, membangkitkan, memotivasi dan
mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di masyarakat yang kemudian diubah
menjadi gagasan strategis sebagai bagian yang penting, bahkan terpenting dalam
pembangunan masyarakat dan keluarga. Dengan demikian kendati pun gempa dan
tsunami menimpa sebagian penduduk yang pekerjaan utamanya ada di sektor
pertanian, namun sebagian masyarakat masih dapat mempertahankan kelangsungan
hidupnya meskipun dalam kondisi yang kurang memadai. Salah satu penyebabnya
adalah adanya sikap kepedulian yang cukup tinggi antar warga dalam berbagai hal.
Sikap kepedulian yang dimiliki warga Aceh sudah menjadi suatu budaya
yang tercermin jelas dalam berbagai adat atau kebiasaan masyarakat, dalam
pergaulan sehari-hari. Beberapa perilaku sosial tersebut antara lain:
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
110

(1) Kerja sama yang harmonis dalam mengerjakan kegiatan pembangunan sosial
dan gotong royong dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan di lingkungan
tempat tinggal. Kerja sama ini terlihat dalam kegiatan kerja bakti untuk
pembangunan mesjid, jembatan, MCK dan perbaikan saluran air yang hancur
akibat tsunami
(2) Musyawarah dalam memecahkan masalah kemasyarakatan misalnya rapat-rapat
atau pengajian antar warga, antar tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat
desa atau kelurahan. Media rapat difungsikan untuk mendiskusikan kegiatan
keagamaan dan menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan. Biasanya
pada akhir pertemuan selalu dirumuskan hasil musyawarah atas dasar
sumbangan pemikiran dari warga yang hadir
(3) Saling menolong antar tetangga (kesetiakawanan sosial) yang terlihat jelas dari
spontanitas masyarakat dalam menolong anggota masyarakat lainnya, misalnya
saat terjadi gempa dan tsunami bagi warga yang rumahnya tidak hancur bersedia
menampung tetangganya yang rumahnya hancur dan rela berbagi dalam hal
makanan, dan pakaian
(4) Saling mengingatkan jika tetangga melakukan kegiatan yang merugikan
masyarakat.

D. KEBERFUNGSIAN KELUARGA
Pada awal terjadi bencana gempa dan tsunami kehidupan keluarga sempat
terganggu akibat tercerai berainya anggota keluarga, orang tua kehilangan anak, istri
kehilangan suami dan lain sebagainya yang mengakibatkan fungsi keluarga tidak
dapat berjalan dengan baik. Dalam rangka mengembalikan fungsi keluarga dalam
pembentukan SDM, perlu strategi peningkatan fungsi keluarga yang baik menuju
terbentuknya ketahanan keluarga. Menurut Chapman (2000) ada lima tanda adanya
keluarga berfungsi dengan baik (funcsional family), yaitu: (1) sikap melayani
sebagai tanda mulia; (2) keakraban antara suami-istri menuju kualitas perkawinan
yang baik; (3) orang tua yang mengajar dan melatih anaknya dengan penuh
tantangan kreatif, pelatihan yang konsisten dan mengembangkan ketrampilan; (4)
suami-istri yang menjadi pemimpin dengan penuh kasih dan (5) anak-anak yang
mentaati dan menghormati orang tua. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Eyree
(1995) menyatakan ada tiga langkah menuju keluarga menuju keluarga harmonis,
yaitu membangun dasar tata hukum keluarga, mengatur ekonomi keluarga dan
memelihara tradisi keluarga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi keluarga melalui peran ayah
dan ibu secara keseluruhan belum berjalan sebagaimana mestinya. Ini terlihat dari
rata-rata skor fungsi keluarga adalah 79.9. Berdasarkan tipologi, fungsi instrumental
dan ekspresif pada keluarga utuh lebih baik jika dibandingkan dengan keluarga duda
dan janda. Hal ini disebabkan pada keluarga utuh fungsi instrumental yang
diperankan oleh ayah dan fungsi ekspresif yang diperankan oleh ibu dapat dilakukan
secara bersama-sama sesuai dengan tanggung jawab masing-masing dengan satu
tujuan yaitu kesejahteraan anggota keluarga.
Belum berfungsinya secara baik fungsi instrumental maupun ekspresif pada
keluarga duda atau janda karena ayah dan ibu yang menjadi janda atau duda
Fungsi Rehabilitasi Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
111

membutuhkan penyesuaian dalam menjalankan peran ganda. Seorang ibu yang harus
berperan sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan biologis dan fisik
anggota keluarganya. Seorang ibu belum terbiasa harus bekerja keras di luar rumah.
Begitu juga dengan seorang ayah akan merasa bingung bagaimana memenuhi
kebutuhan psikologis, sosial dan emosi, kasih sayang, kehangatan, aktualisasi dan
pengembangan diri anak dapat berjalan dengan baik. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa tingginya strategi coping yang dilakukan keluarga tidak serta
merta mengakibatkan membaiknya fungsi instrumental.
Berfungsinya keluarga dengan baik merupakan dambaan setiap anak, karena
keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Seperti yang diungkapkan
oleh Spencer dan Inkeles (1982) dan Macionis (1995) bahwa tempat sosialisasi yang
paling penting bagi seorang anak adalah keluarganya yang berfungsi untuk
memberikan dukungan emosi dengan penuh kehangatan dan intimasi sepanjang
kehidupan anak. Keluarga juga sangat penting dalam mentransfer budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak belajar secara kontinyu pada orang
tuanya. Pengasuhan sangat penting dalam perkembangan sosial anak dan bervariasi
dari satu keluaga dengan keluarga lainnya. Pengasuhan meliputi kontak fisik,
stimulasi verbal dan tanggap terhadap lingkungan di sekitarnya.

D.1. Implikasi terhadap Kebijakan


(1) Pada hakikatnya, permasalahan yang terjadi pasca tsunami adalah masalah yang
terjadi di lingkungan masyarakat lokal. Untuk itu, penanganan masalah tersebut
harus berbasiskan masyarakat karena masyarakatlah yang paling tahu kondisi
permasalahannya. Penanganan permasalahan yang sentralistik dan sektoral
hanya mengakibatkan masyarakat semakin tidak peduli terhadap permasalahan
yang berkembang di lingkungannya
(2) Strategi pemberdayaan keluarga lebih cenderung mengembangkan program-
program yang ditujukan untuk mengoptimalkan program-program pemba-
ngunan yang bercirikan sistem sosial budaya setempat. Dengan cara demikian,
selain lebih tepat sasaran, juga dapat meningkatkan kehidupan orang-orang
miskin dan penduduk umumnya hingga mencapai standar minimum. Mereka
juga diharapkan dapat meraih kesempatan-kesempatan tertentu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki
oleh masyarakat.
(3) Strategi pemberdayaan keluarga berbasiskan sistem sosial budaya lokal perlu
diformulasikan secara tepat. Karena itu, penyelesaian permasalahan yang
dihadapi harus dibatasi sampai pada tahap mobilisasi sosial atau penyadaran
(kosientasi) kepada masyarakat. Sementara itu, proses pember- dayaannya harus
sepenuhnya dilimpahkan kepada masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini,
pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, sistem pendukung,
pengakses sumber sosial, dan peran-peran lain yang bersifat tidak langsung
(indirect services)
(4) Strategi pembangunan masyarakat berada dalam satu kesatuan sistem
pembangunan sosial yang berinteraksi. Apabila pembangunan nasional secara
menyeluruh berupaya untuk meningkatkan kemajuan, kemampuan,
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
112

kesejahteraan dan keadilan sosial, pelaksanaannya harus diupayakan secara


sistematis dan berkesinambungan agar setiap orang memiliki kesempatan untuk
menikmati pembangunan. Selain itu setiap orang dapat berperan aktif dalam
proses pelaksanaan pembangunan. Kondisi ini merupakan tujuan yang ingin
dicapai dari proses aktualisasi institusi tradisi yang telah tumbuh berkembang
secara turun-temurun yang hingga kini masih kuat berakar di masyarakat.
(5) Keanekaragaman sistem sosial budaya di Indonesia harus dipahami sebagai
potensi yang pemanfaatannya belum optimal dalam proses pembangunan
masyarakat. Padahal, sistem sosial budaya lokal merupakan modal sosial (social
capital) yang besar yang telah tumbuh berkembang secara turun-temurun yang
hingga kini masih kuat berakar di masyarakat
(6) Aktualisasi sistem sosial budaya lokal menjadi masalah yang sangat strategis
untuk didiskusikan kembali. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan keadaan
Indonesia yang berada dalam proses demokrasi dan reformasi di segala bidang
pembangunan. Ketika Indonesia mengalami keterpurukan akibat krisis ekonomi
yang berkepanjangan, strategi pembangunan yang berpusat pada rakyat agaknya
membutuhkan perubahan yang sangat mendasar, dari pendekatan yang karitas
atau residual menjadi sistem pemberdayaan masyarakat

D.2. Implikasi terhadap Keilmuan


(1) Perlu adanya suatu pengenalan fungsi keluarga ekspresif dan instrumental
melalui peran ayah dan ibu. Pengenalan ini dapat dilakukan melalui pendidikan
formal dengan memasukkan materi pendidikan kesejahteraan keluarga ke dalam
kurikulum baik di tingkat perguruan tinggi atau di tingkat menengah. Selain itu
dapat juga dilakukan melalui pendidikan non formal dengan memberikan
penyuluhan PKK bagi remaja yang putus sekalah. Penyuluhan ini dapat
dilakukan melalui perkumpulan remaja mesjid, karang taruna dan perkumpulan
remaja lainnya.
(2) Melalui pembelajaran ini para remaja yang akan melakukan pernikahan bisa
mengintrospeksi diri akan kemampuannya baik secara material maupun spiritual
(3) Bagi remaja sebagai generasi penerus yang nantinya akan membangun keluarga,
perlu memahami akan fungsi ekspresif dan intrumental melalui peran ayah atau
ibu yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan material dan spiritual
anggota keluarganya

D3. Keterbatasan Penelitian


(1) Penelitian ini tidak dapat dilakukan secara tuntas, tetapi baru sampai tahap
proses, karena situasi kehidupan masyarakat saat penelitian ini dilakukan belum
stabil/belum cukup kondusif
(2) Sampel pada tipologi duda dan janda sangat terbatas, karena sangat sulit
mendapatkan keluarga yang bersedia untuk dijadikan sampel, ini disebabkan
kekecewaan keluarga terhadap janji-janji dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Fungsi Rehabilitasi Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
113


Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
114
Kesimpulan
115

Bab Enam
KESIMPULAN
Permasalahan yang dialami keluarga 1,5 tahun pasca tsunami antara lain:
tidak adanya pangan hewani untuk dikonsumsi setiap hari, kesulitan dalam
membayar obat-obatan, ketidakmampuan keluarga menyediakan fasilitas untuk
keperluan belajar anak di rumah, tempat tinggal/rumah untuk tempat berlingdung
anggota keluarga tidak memadai, tidak memiliki cukup pakaian untuk aktivitas yang
berbeda serta penghasilan yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari
Sumberdaya coping yang dimiliki keluarga yakni: (1) karakteristik sosial
ekonomi meliputi: jumlah anggota keluarga rata-rata 4 orang, 1.5 tahun pasca
tsunami masih ada 15,2% kepala keluarga belum kembali bekerja. Rata-rata
pengeluaran keluarga perkapita untuk pangan dan non pangan masing-masing Rp
287.000 dan Rp 260.000 (52% dan 48%) dari total pendapatan. Rata-rata nilai aset
yang dimiliki keluarga adalah Rp 20.442.237; (2) ciri-ciri pribadi kepala keluarga
meliputi: umur rata-rata 43 tahun dengan tingkat pendidikan umumnya
SLTA/sederajat. Tingkat kesehatan selama enam bulan terakhir sebagian besar
(87%) cukup baik. Kepribadian kepala keluarga sebagian besar (87%) adalah
ekstrovet dan konsep diri juga sebagian besar (93.5%) tergolong positif; dan (3)
sebagian besar keluarga (86.2%) menerima dukungan sosial dari berbagai pihak.
Tingkat stres kepala keluarga dengan pendekatan metode Family Inventory
of Life sebagian besar (88,4%) termasuk stres minor, dan jika menggunakan metode
Holmes dan Rahe, masih ada 44.9% kepala keluarga yang mengalami tingkat stres
dengan katagori sedang. Tingkat stres keluarga single parent lebih tinggi
dibandingkan dengan keluarga utuh.
Strategi coping yang dilakukan kepala keluarga pasca gempa dan tsunami
adalah strategi coping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada
emosi. Namun demikian, strategi coping yang dilakukan oleh kepala keluarga belum
maksimal, baik strategi coping berfokus pada masalah maupun yang berfokus pada
emosi masing-masing hanya 44,2% dan 19.1% yang termasuk katagori tinggi.
Dalam hal keberfungsian keluarga, masih terdapat keluarga yang tidak
mampu menjalankan fungsinya secara optimal, baik fungsi ekspresif maupun
intrumental. Hal ini terbukti masih ada 37.7% keluarga yang tidak mampu
menjalankan fungsi intrumental untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya,
dan hanya 8,7% keluarga yang tidak mampu melakukan fungsi ekspresif dengan
baik. Fungsi ekspresif jauh lebih berfungsi dibandingkan dengan fungsi intrumental.
Hasil regresi menunjukkan dukungan sosial berpengaruh negatif nyata
terhadap strategi coping baik yang berfokus pada masalah maupun yang berfokus
pada emosi. Selain itu tingkat stres kognitif dan keluarga single parent juga
berpengaruh negatif nyata terhadap strategi coping berfokus pada masalah, berbeda
dengan masalah kesehatan yang memberikan pengaruh positif nyata terhadap
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
116

strategi coping berfokus pada masalah. Kepribadian, umur kepala keluarga dan
jumlah anggota keluarga berpengaruh positif nyata terhadap strategi coping berfokus
pada emosi.
Hasil regresi menunjukkan jumlah anggota keluarga, berpengaruh positif
nyata terhadap fungsi keluarga baik fungsi ekspresif maupun instrumental, selain itu
pendidikan kepala keluarga dan konsep diri juga berpengaruh positif nyata terhadap
fungsi ekspresif, tetapi masalah perumahan berpengaruh negatif nyata terhadap
fungsi ekspresif. Seeking social support, tingkat kesehatan kepala keluarga,
confrontatif, flanful problem solving, masalah pendidikan dan pakaian berpengaruh
positif nyata terhadap fungsi intrumental.
Sebaiknya penyelesaian masalah yang dihadapi keluarga pasca gempa dan
tsunami lebih mengutamakan kepada penyelesaian masalah untuk pemenuhan
kebutuhan dasar keluarga, sehingga tidak lagi ditemukan keluarga yang kekurangan
pangan, kesulitan dalam hal pengobatan, anak yang tidak sekolah, tinggal di rumah
yang tidak memenuhi standar kesehatan dan penghasilan yang didapat cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari
Dalam penanganan masalah korban bencana khususnya dalam hal tempat
penampungan seperti barak, sebaiknya memperhatikan tipologi keluarga karena
aktivitas keluarga janda dan duda akan berbeda dengan keluarga utuh.
Setahun pasca bencana masih terdapat kepala keluarga yang mengalami
stres dengan katagori sedang, untuk itu masih perlu adanya pendampingan dari
pihak psikolog untuk membantu mengatasi stres yang dialami keluarga.
Untuk membantu keluarga agar dapat melakukan strategi coping secara
maksimal perlu adanya perhatian, pembinaan dan arahan dari pihak-pihak yang
terkait (Pemerintah dan LSM). Pembinaan dan arahan yang dilakukan hendaknya
memperhatikan juga masalah tipologi keluarga, karena strategi coping yang
dilakukan keluarga janda berbeda dengan strategi coping yang dilakukan keluarga
duda dan keluarga utuh. Pada keluarga janda lebih mengedepankan penyelesaian
masalah dengan cara mencari dukungan sosial (seeking social support). Keluarga
duda melakukan penyelesaian masalah dengan penuh resiko (confrontative), dan
keluarga utuh menyelesaikan masalah dengan penuh pertimbangan dan perencanaan
(planful problem solving). Dalam melakukan strategi coping secara keseluruhan
keluarga janda lebih aktif dibandingkan dengan keluarga duda dan keluarga utuh.
Untuk mengoptimalkan fungsi keluarga baik ekspresif maupun intrumental
perlu adanya program intervensi yang diarahkan untuk pemberdayaan keluarga.
Program intervensi dapat saja dilakukan oleh pihak pemerintah dan LSM.
Coping yang dilakukan oleh masyarakat Aceh pasca gempa dan tsunami
dipengaruhi oleh berbagai masalah, sumberdaya coping dan tingkat stres. Untuk itu,
pemerintah dan LSM yang sedang melakukan program rekonstruksi Aceh harus
memperhatikan aspek-aspek tersebut, serta tidak hanya memberikan bantuan fisik
yang sifatnya insidentil, namun menanamkan kemandirian kepada masyarakat.
Berfungsi tidaknya keluarga pasca gempa dan tsunami sangat tergantung
kepada masalah yang dihadapi, sumberdaya yang dimiliki dan strategi coping yang
dilakukan. Untuk itu pada keluarga yang tidak memiliki cukup sumberdaya untuk
Kesimpulan
117

menyelesaikan masalah perlu perhatian dan dukungan dari berbagai pihak agar
keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik.


Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
118
Daftar Pustaka
119

DAFTAR PUSTAKA
Achir Yani S. 1997. Analisis Konsep Koping: Suatu Pengantar Jurnal Keperawatan
Indonesia. Jakarta
Allen, T. 2001. “Job Stress, the Individual, and the Organization.”
http://academic.Emporia.edu/smithwil/001smmg443/eja/all en.html. (2001).
Alva, I. 2003. Stres. http://www.doctorshealthsupplements.com/article/ stres.htm.
Anonim. 2006. Chapter 12 Stress, Health, and Coping
http://www.delmar.edu/socsci/Faculty/Weir/chapter12.htm. Diakses 2
November 2006
Atwater, E. 1983. Psycology of Adjustment. (2 nd ed) New Jersey: Prentice-Hall.,
Englewood Cliffs
Babbie, E. 1992. The Practice of Social Research. Sixth Edition. Belmont,
California: Wadsworth Publishing Company.
Baum, A. 1990. Stress, Intrusive imagery and chronic stress. Health Opsychology, 9,
653-675.
Berns, RM. 1997. Childs, Family, School, Community: Socialization and Support.
Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Bian, J. 1996. “Parental Monetary Investments in Children: A Focus on China”.
Journal of Family and Economic Issues, Vol 17.
Bigner, J. J. 1979. Parents-Child Relation: An Introduction to Parenting. Inc. New
York: Macmillan Publishing Co.
BKKBN. 1992. Undang-Undan Republik Indonesia nomor 10 tahun 1992 tentang
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Jakarta:
BKKBN.
BKKBN. 1997. Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Provinsi Jawa Barat.
Bolger, N., dan A. Zuckerman. 1995. A framework for studying personality in the
stres process. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 890-902.
Boos P. 1987. “Family Stres” Dalam Handbook of Marriage and the Family. Diedit
oleh Marvin B, Sussman, K. Suzanne dan Steinmetz. New York and
London: Plenum Press.
Bryant, W. K. 1990. The Economic Organization of The Household. Cambridge
University Press.
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 1998. Jakarta: BPS.
2002. Jakarta: BPS.
BAPPENAS Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009).
Chapman, G. 2000. Five Signs of a Functional Family (Lima tanda Keluarga yang
Mantap). Batam: Interaksara.
Coddington, R. D. 1972. “The significance of life events as an etiologic factor in the
diseases of children II: A study of the normal population”.Journal of
Psychosomatic Research, 16, 205-213.
Cooper, L. Payne. 1991. Personality and Stres: Individual Differences in the Stres
Process New York: John Willey & Sons
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
120

Costa, P.T., M. R. Somerfield., R.R. McCrae.1996. Personality and coping. Diedit


oleh M. Zeidner & N. S. Endler. Handbook of coping: Theory, research,
applications (pp. 45-61). New York: John Wiley.
Cox, T dan E. Ferguson. 1991. “Individual Differences, Stress and Coping” dalam
Personality and Stres: Individual Differences in the Stres Process. Diedit
oleh C. L Cooper dan R. Payne. England: John Wiley & Son.
Darmaningtyas. 2005. Menyelamatkan Pendidikan Anak-anak Aceh. Dalam
Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera
Utara. Jumat, 7 Januari 2005 (p 481). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Day, R.D., KR. Gilbert., BH. Settles. dan WR. Burr. 1995. Research and Theory in
Family Science, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Dohrenwend, B.S., L. Krasnoff., ASR. Askenasy., BP. Dohrenwend. 1978.
Exemplification of a method of scaling life events: the PERI life events
scale. Journal of Health dan Social Behaviour, 19, 205-229.
Eyree, RL. 1995. 3 Langkah Menuju Keluarga yang Harmonis: Teaching Your
Dhildren Values. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Firebaugh, M.F dan R.E. Deacon. 1988. “Family Resource Management Principles
and Aplications”. Atlantic Avenue. Boston.
Fleming, R., A. Baum., M.M. Gisriel., dan R.J. Gatchel.1982. “Mediating influences
of social support on stres at three Mile Island”. Journal of Human Stres, 8,
14-22
Folkman, S dan R.S. Lazarus. 1985. If it changes it must be a process: “Study of
emotion and coping during three stages of a college examination”. Journal
of Personality and Social Psychology, 48, 150-170.
1988b. The relationship between coping and emotion: Implications for theory and
research. Social Science in Medicine, 26, 309-317.
Freedy, J.R dan D.G. Kilpatrick. 1994. “Everything you ever wanted to know about
natural disasters and mental health”. National Center for Post-Traumatic
Stres Disorder Clinical Quarterly, 4, 6–9.
Freedy, J.R., D. Shaw., M. P. Jarrell dan C. Masters. 1992. “Towards
anunderstanding of the psychological impact of natural disaster: An
application of the conservation resources stres model”. Journal of Traumatic
Stres, 5, 441–454.
Freedy, J.R., ME. Saladin., DG. Kilpatrick., HS. Resnick dan BE. Saunders. 1994.
“Understanding acute psychological distres following natural disaster”.
Journal of Traumatic Stres, 7, 257–273.
Friedmann, J. 1998. “Family Nursing: Theory and Practice” 3 rd ed. California:
Appleton & Lange.
1992. Empowerment: The Politics of Alternati Development. Massachusetts:
Blackwell Publishers
Gatchel, R.J., A. Baum dan DS. Krantz. 1989. “An Introduction to Health Psyhology
“ (2 nd ed). New York: Mc Graw Hill, Inc.
Gelles, R.J.1995. “Contemporary Families”: A Sociological Viuw. SAGE
Publication. London.
Gempa dan Tsunami. 2005. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Daftar Pustaka
121

Goldsmith, E.B. 1996. “Resource Management for Individuals and Families:


Management Stres and Fatigue”. USA: West Publishing Company.
Guhardja, S., Hartoyo., D. Hastuti dan H. Puspitawati. 1989. “Manajemen
Sumberdaya Keluarga”. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor.
Haber, A dan R.P. Runyon. 1984. Psycology of Adjustment. Ilionis: The Dorsev
Press Homewood.
Hartiningsih, M. 2005. “Penting, Dukungan Psikososial untuk Korban Tsunami”.
Dalam Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara. Selasa 4 Januari 2005 (p 216). Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Hewitt, PL dan GL. Flett. 1996. “Personality traits and the coping process”. In M.
Zeidner & N. S. Endler (Eds.), Handbook of coping: Theory, research,
applications (pp. 410-433). New York: John Wiley.
Hidayati, N. 2005. ”Minta air. Air Sedikit saja Cukuplah: Saya tak tahan lagi”
Dalam Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara. Sabtu, 1 Januari 2005 (p 170). Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Hikmat, H. 2001. “Strategi Pemberdayaan Masyarakat”. Humaniora Utama Press
Bandung.
Hill, A.H. 1960. “Hikayat Raja-raja Pasai”. Journal of The Malayan Branch Royal
Asiatic Sociaty, Vol. XXXIII, Part 2. JMBRAS.
Holahan, C.J., RH. Moos., CK. Holahan dan RC. Cronkite. 1999. “Resource loss,
resource gain, and depressive symptoms: A 10-year model”. Journal of
Personality and Social Psychology, 77, 620-629.
Holahan, S dan R. Moss 1987. “Personal and Contextual Determinant of Coping
Strategies.” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 52, no.5.
Holmes, T.H dan R. Rahe. 1967. “The social readjusment rating scale”. Journal of
Psychosomatic Reserach, 11, 213-218.
HTI, 2005. Tabanni Masholih Aceh. Hizbut Tahrir Indonesia.
Husein, M. 1970. Adat Atjeh. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah
Istimewa Atjeh
John, D., T. Catherine, dan MacArthur. 1998. “Coping Strategies.” Summary
Prepared by Shelley Taylor in Collaboration With the Psychosocial
Working Group. Research Network on Sosioeconomic Status and Health.
Joseph, S., W. Yule., R. Williams dan P. Hodgkinson. 1993. “Increased substance
use in survivors of the Herald of Free Enterprise Disaster”. British Journal
of Medical Psychology, 66. 185-191
Kaiser, C.F., DN. Sattler., DR. Bellack dan J. Dersin. 1996. ”A conservation of
resources approach to a natural disaster: Sense of coherence and
psychological distress”. Journal of Social Behavior and Personality, 11, 459-
476.

Kaniasty, K dan F.H. Norris. 1995. “In search of altruistic community: Patterns of
social support mobilization following Hurricane Hugo”. American Journal
of Community Psychology, 23, 447–477.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
122

Kurdi, M. 2005. “Menelusuri karakteristik masyarakat desa: Pendekatan sosiologi


budaya dalam masyarakat Atjeh”. Banda Aceh: Yayasan Pena
Landis, J.R. 1989. “Sociology: Concepts and Characteristics” (6 th Ed), California:
Wadsworth Inc
Laporan Camat Kuta Alam Tentang Kondisi Kecamatan Kuta Alam Tahun 2006.
Laporan Yayasan Lamjabat Tentang Kondisi Kacamatan Meuraxa Tahun 2006
Lazarus, R.S. 1993. “From psychological stres to the emotions: A history of
changing outlooks”. Annual Review of Psychology, 44, 1-21.
Lazarus, R.S dan S. Folkman. 1984. Stres, Appraisal, and Coping. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Lazarus, R.S. 1976. “Pattern of Adjustment (2nd ed)”. Kogakhusha: McGraw-Hill,
Inc.
Littauer, F. 2002. “Personality Plus For Parents”. Binarupa Aksara, Jakarta
Macionis, J.J. 1995. “Annotated Instructor’s Edition Sosiology” (5 thEd), New Jesey
Prentice Hall, Englewood Cliffts
Mangkuprawira, S. 2002. “Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di Daerah
Industri Tenun Perdesaan”. Media Gizi dan Keluarga. Vol.25 No.2.
Maramis, W.F. 1998. “Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa”. Edisi VII. Surabaya:
Universitas Airlangga.
McCubbin, H.I dan J.M. Patterson. 1987. Family Inventory of Live Events and
Changes. Dalam Family Assessment Inventories for Research and Practice.
McCubbin HI, Thompson AI. Wisconsin-Madison: The University of
Wisconsin-Madison.
McCubbin, HI., JM. Patterson dan L. Wilson. 1979. CHIP-Coping health inventory
for parents: An assessment of parental coping patterns in the care of the
chronically ill child. Journal of marriage and the Family, 45, 359-370.
McCubbin, H.I. 1975. “Family Assesment Inventories for Research and Practice”.
The University of Wisconsin-Madison. Madison Wisconsin.
Megawangi, R. 1994. Gender Perspectives in Early Childhood care and
Development in Indonesia, The Consultative group on early childhood care
and Development, Indonesia.
l999. “Membiarkan Berbeda”, Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender.
Jakarta: Penerbit Mizan.
Murphy, S.A. 1984. Stres level and health status of victims of a natural disaster.
Research in Nursing and health, 7. 2005-215.
Newman, D.M dan L. Grauerholz. 2002. Sosioly of Families (2nd Ed) California:
Fine Forge Press.
Ninno, C., P.A. Dorosh., LC. Smith dan DK. Roy. 1998. Floods in Bangladesh:
Disaster Impacts, Household Coping Strategies, and Response. Washinton,
D.C.: International Food Folicy Research Institute
Nyakpha, M.H. 2004. Makalah Disampaikan pada Seminar Budaya, Pekan
Kebudayaan Aceh IV di Banda Aceh pada tanggal 24 – 27 Agustus 2004.
Nye, F.I dan F.M. Berardon. 1967. Emerging conceptual frameworks in family
analysis. The Macmillan Colmpany, New York.
Parke, R.D. 1996. Fatherhood. Cambridge: Harvard University Press.
Daftar Pustaka
123

Parker, J.D.A dan N.S. Endler. 1996. Coping and Defense: A historical overview. In
M. Zeidner & N. S. Endler (Eds.), Handbook of coping: Theory, research,
applications (pp. 3-23). New York: John Wiley.
Poerwandari, K. 2005. “Harapan masih ada”. Dalam Bencana Gempa dan Tsunami
Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Sabtu, 8 Januari 2005 (p
495). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Potter, L dan S. McKenzie. 2000. “Profesional Callaboration With Parents of
Children with Disabilities”. Sydney: MacLennan & Petty Pty Limited
Priyono, O.S dan A.M.W. Pranarka. 1996. “Pemberdayaan Konsep, Kebijakan,dan
Imolementasi”. Centre For Strategic and International Studies. Jakarta
Rice, P.L. 1999. “Stres and Health”. 3rd ed. California: Brooks/Cole Publishing
Company.
Rice, A.S dan SM. Tucker. 1986. “Family Life Management”. Macmillan
Publishing Company. New York.
Robins, S.P. 2001. Organizational Behavior (9 th Ed). New Jersey: Prentice Hall
International.
Sarafino, E. 2002. “Health Psycology”. England: John Willey and Sons.
Sattler, D.N. 2001. Psychological distres following the Northridge earthquake.
Manuscript submitted for publication.
Selye, H. 1982. Guide to Stres. Volume 3. New York.
Sianipar, H. 1997. Kajian terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Karyawan PT, Ika Nusa
Fishtama di Kecamatan Wonosobo Lampung. Skripsi tidak dipublikasikan.
Program Studi Sosial ekonomi Perikanan, Faperikan, IPB. Bogor.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Slater. 1974. Parental Role Differentiation. Dalam The Family: its Structure and
Functions. Diedit oleh R.L. Coser ST Martin’s Press, New York
Spencer, M dan A. Inkeles. 1982. Foundation of Modern Sociology Third Edition.
Prentice,
Steidl, R.E dan E.C. Bratton 1968. Work in The Home. John Willey & Sons. New
York
Stuart dan Sundeen. 1991 Pocket Guide to Psyhiatric Nursing. Third Edition. The
Mosby Company: Toronto.
Sufi, R. 2002. Adat Istiadat Masyarakat Atjeh. Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Suls dan Fletcher 1985. http://www.garysturt.free-online.co.uk/coping.htm. Coping.
Diakses 2 November 2006.
Sunarti, E. 2006. Teori Ekologi Keluarga: Sejarah, Konsep dan Tantangan Penelitian
dalam Adiwibowo, S. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia, IPB
Bogor.
Suratman, E. 1994/1995. Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas
Sumberdaya Manusia dalam Fatimah (Ed), Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sussman, B.M dan K.S. Steinmetz. 1988. Handbook of Marriage and the Family.
New York and London: Plenum Press.
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
124

Syahrizal. 2004. “Dayat dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Atjeh” dalam
Media Syariah, Vol.VI. No. 11 Januari 2004
Taylor, S.E. 1995. Health Psychology (3rd ed). New York: McGraw-Hill Inc.
Vosler, N.R. 1996. New Approaches to Family Practice Confronting Economic
Stres, California: Sage Publications Inc.
Wahana Komputer. 2005. 10 Model Penelitian dan Pengolahannya dengan SPSS
10.0 Jogyakarta.
Winton, C.A. 1995). Frameworks for Studying Families. The Duskin Publishing
Group, Inc. Connecticut, USA
World Health Organization. 2005. Tsunami dan Health. Situation Report.
Zeitlin, M.F., R. Megawangi., EM. Kramer., D Nancy dan ED. Colletta. Babatunde,
Gorman D.1995. Strengthening the Family: Implications for International
Development. The United Nations University Press. New York.


Daftar Pustaka
125
Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh
126

INDEKS

ABCX, 21, 22, 23 138, 139, 140, 142, Haber, 15, 23, 141
Allen, 18, 139 143, 144, 151, 159, Hewitt, 118, 141
Alva, 16, 139 160, 161, 162, 163, 167 Hill, 21, 33, 67, 141, 142,
Askenasy, 21, 140 coping accepting 145
asset human resource, 11 responsibility, 26, 105, Holahan, 32, 96, 109, 141,
Atwater, 16, 17, 139 106, 162 142
Baldwin, 112 Costa, 118, 140 Holroy, 15
Bales, 38 Cox, 17, 140 Hott, 27
Bangladesh, 26, 27, 117, Coyne, 15 HTI, 12, 65, 142
143 Cronkite, 32, 96, 141 Hugo, 96, 142
BAPPENAS, 10, 139 cross-sectional, 43 indirect services, 133
Baum, 15, 16, 88, 139, Deacon, 31, 140 internal or external conflict,
140, 141 Dersin, 96, 142 24
Bellack, 96, 142 Distancing, 26, 47, 49, 55, intrafamilial, 27
Benson, 39 56, 59, 61, 107, 110, Jarrell, 96, 140
Berns, 13, 36, 39, 40, 139 152, 163 John, 24, 140, 141, 142,
Bigner, 39, 139 Dohrenwend, 21, 140 143, 144
Bishop, 112 ekstrafamilial, 27 Kaiser, 96, 142
BKKBN, 11, 33, 36, 39, 40, Ekstrovert, 32, 86 Krasnoff, 21, 140
139 Epstein, 112 Kurdi, 10, 65, 66, 67, 142
Bolger, 118, 139 Escape Avoidance, 56, 61, Kuta Alam, 5, 6, 43, 45, 63,
Boss, 41 108, 110 64, 65, 71, 88, 142
BPS, 9, 76, 78, 139 Family Inventory Life Kuta Raja, 63
Bratton, 31, 144 Efents and Changes Lazarus, 15, 16, 23, 25, 26,
Bryant, 32, 78, 139 (FILE), 21 29, 30, 31, 32, 41, 47,
California, 96, 128, 139, Family Inventory of Life, 53, 104, 106, 109, 118,
140, 141, 142, 143, 21, 47, 52, 55, 57, 58, 128, 140, 142
144, 145 90, 91, 95, 97, 111, Littauer, 31, 142
Caplan, 29, 121, 130 112, 127, 136 Los Angeles, 96, 128
Catherine, 24, 142 Ferguson, 17, 140 LSM, 11, 42, 46, 48, 51,
Charleston, 96 FILE, 21 69, 71, 73, 75, 81, 83,
child adjustment, 39 Firebaugh, 31, 140 87, 127, 129, 137, 138,
coastal zone, 11 Flett, 118, 141 155, 165
Coddington, 21, 140 Folkman, 15, 23, 25, 26, MacArthur, 24, 142
Cohen, 16 28, 29, 30, 31, 32, 41, Maramis, 32, 120, 143
Cooper, 109, 129, 140 47, 53, 104, 109, 118, Masters, 96, 140
Coping, 1, 3, 23, 24, 29, 140, 142 Mattesssich, 33
30, 47, 48, 53, 54, 56, Freedy, 96, 128, 140, 141 Mauraxa, 63
59, 60, 61, 74, 88, 89, Friedman, 12, 27, 28, 29, McCrae, 118, 140
96, 99, 100, 101, 102, 30, 121, 130 McCubbin, 21, 22, 23, 99,
103, 104, 105, 106, Gatchel, 16, 88, 140, 141 143
108, 109, 110, 111, Gisriel, 88, 140 McKenzie, 91, 144
115, 116, 117, 118, Grauerholz, 34, 143 Megawangi, 34, 35, 38, 42,
119, 121, 124, 128, Guhardja, 37, 39, 40, 141 143, 145
Indeks
127

MI, 11 PTT, 12 Steinmetz, 41, 118, 139,


Moos, 32, 96, 109, 141 retrospective study, 43 144
Mount Saint Helen, 95 Rice, 38, 39, 40, 42, 80, Stuart, 24, 29, 30, 144
MTs, 11 100, 103, 106, 144 Sumatera Utara, 9, 10,
Murphy, 95, 143 Richard H. Rahe, 19 140, 141, 143, 167
NAD, 9, 10, 62, 68, 73, 76, Robins, 15, 144 Sundeen, 24, 29, 30, 144
130 Runyon, 15, 23, 141 Suratman, 31, 144
Nanggroe Aceh Sarafino, 15, 23, 144 Sussman, 41, 118, 139,
Darusssalam, 9 Sattler, 96, 142, 144 144
Newman, 34, 143 SD, 11, 51, 82 Syiah Kuala, 5, 63, 167
Ninno, 26, 27, 117, 143 Seeking Social Support, Tabani Masholih Aceh, 12,
Parke, 39, 143 54, 56, 61, 102, 103, 65
Parsons, 38 110 Talcott Parsons, 34
Patterson, 21, 22, 23, 143 Selat Malaka, 63 Thomas H. Holmes, 19
Payne, 109, 129, 140 Self Controlling, 56, 61, TK, 70, 126
PBB, 35 106, 110 Tucker, 38, 39, 40, 42, 144
Peukan Bada, 63 Selye, 15, 144 UU Nomor 10 Tahun 1992,
Planful problem solving, Shaw, 96, 140 33
25, 48, 101 Slater, 38, 39, 122, 144 Washington, 95
Plantful problem solving, SLTA, 11, 51, 70, 82, 126, WHO, 31, 90
122 136 William F Ogburn, 34
Positive reappraisal, 26, SLTP, 11, 51, 82 Wilson, 21, 143
47, 49, 54, 59, 104, 152 Social Readjusment Rating Winch, 39
Potter, 91, 144 Scale, 19 Winton, 35, 145
PP Nomor 21 tahun 1994, Somerfield, 118, 140 Zeitlin, 112, 145
36 Steidl, 31, 144 Zetlin, 33
problem focused, 24, 27 Zuckerman, 118, 139


LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji reliabilitas instrumen penelitian pada saat uji coba
Jumlah

Item 
Jumla No Item Cronbac
N Setela Cronbac Pertanyaan
Peubah Penelitian h yang h
o h h setelah yang dihapus
Item dihapus sebelum
di di hapus
di hapus
hapus
1 Masalah-masalah 16 10 .7369 .7369
keluarga pasca
gempa
a. Pangan 3 3 .8008 .8008
b. Kesehatan 2 2 .7500 .7500
c. Pendidikan 3 3 .8027 .8027
d. 4 4 .7813 .7813
Perumahan/Tempat
Tinggal
e. Pakaian 2 2 - -
f. 2 2 .7500 .7500
Pekerjaan/Pendapata
n
2 Tingkat Stress Ibu 30 30 .7416 .7416
(Family Live
Inventory)
a. Fisik 8 8 .7392 .7392
b. Psikis 7 7 .7788 .7788
c. Kognitif 5 5 .8021 .8021
d. Perilaku 10 10 .7403 .7403
3 Tingkat Stress Ibu 10 10 .6474 .6474
(Holmes & Rahe)
4 Kepribadian, Konsep 29 26 10,12, 13 .5610 .6519
Diri & Dukungan
Sosial
a. Kepribadian 20 17 10,12,13 .6519 10, Saya
senang
teman saya
banyak
12. Saya mudah
bingung
13. Cepat
merasa
sedih
b. Konsep Diri 5 5 .7500 .7500
c. Dukungan Sosial 4 4 .7771 .7771
5 Strategi Coping 41 36 8,27,30,40,4 .7112
Keluarga 1
Berfokus pada 17 16 8 .7342
masalah
a. Plantul Problem 7 7 .7732 .7732
Solving
b. Confrontatif coping 4 3 8 .5385 .7682 8. Saya
Lampiran
129

Jumlah

Item 
Jumla No Item Cronbac
N Setela Cronbac Pertanyaan
Peubah Penelitian h yang h
o h h setelah yang dihapus
Item dihapus sebelum
di di hapus
di hapus
hapus
bertahan
pada
pendirian
dan
berjuang
terhadap
yang saya
inginkan
c. Seeking social 5 5 .7505 .7505
support
Berfokus pada emosi 24 20 27,30,40,41 ..5978 .6788
a. Positive 5 5 .7254 .7254
reappraisal
b.Accenting 4 4 .7947 .7947
responsibility
c. Self controlling 5 3 27, 30 5230 .6337 27. Saya
. menahan
diri untuk
tidak
melakukan
sesuatu dan
menunggu
waktu yang
tepat untuk
melakukann
ya
30. Saya
menjaga
agar orang
lain tidak
mengetahui
buruknya
keadaan
yang saya
hadapi
d. Distancing 3 3 .8573
e. Escape-Avoidance 7 5 40, 41 5001 .6667 40. Saya tidak
. percaya
bahwa hal
itu terjadi
pada diri
saya
41. Saya putus
asa dan
tidak dapat
menjalanka
n kehidupan
lagi
Jumlah

Item 
Jumla No Item Cronbac
N Setela Cronbac Pertanyaan
Peubah Penelitian h yang h
o h h setelah yang dihapus
Item dihapus sebelum
di di hapus
di hapus
hapus
6 Keberfungsian 43 39 16,22, 24,20 .5209 .7018
Keluarga
a. Fungsi Ekspresif 20 17 16,22, 24 .4385 6825 17. Apakah
anda
tanggap
. terhadap
permasalah
an yang
dihadapi
anggota
keluarga?
22. Apakah
anda
memberikan
perlakuan
berbeda
antara anak
yang satu
dengan
anak yang
lainnya?
24. Apakah
anda
mengajarka
n anggota
keluarga
untuk saling
menghorma
ti baik
sesama
saudara
atau teman?
b. Fungsi 23 22 20 .6201 .7307 20. Apakah
Instrumental anda juga
membina
hubungan
baik dengan
pengelola
koperasi
setempat?

Lampiran 2. Sebaran contoh berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi keluarga


Utuh Duda Janda Total
Masalah-masalah pasca gempa dan (n=103) (n=20) (n=15) (n=15)
tsunami
n % n % n % n %
A. Pangan
1. Keluarga makan 3 kali sehari dengan 30 29.1 4 20.0 3 20.0 37 26.8
Lampiran
131

menu empat sehat setiap hari


2. Dalam menu setiap saat terdapat
pangan yang berasal dari hewani 6 5.8 4 20.0 2 13.3 12 8.7
3. Setiap hari menu makan berubah 7 6.8 3 15.0 2 13.3 12 8.7
B. Kesehatan
1. Jika anggota keluarga yang sakit selalu
dibawa berobat ke dokter/puskesmas 57 55.3 7 35.0 8 53.3 72 52.2
2. Memiliki kesulitan dalam membayar
obat-obatan 46 44.7 13 65.0 7 46.7 66 47.8
C. Pendidikan
1. Anak tetap sekolah pasca gempa dan
tsunami 5 4.9 1 5.0 1 6.7 7 5.1
2. Disamping pendidikan formal anak juga
mengikuti pendidikan non formal 37 35.9 6 30.0 4 26.7 47 34.1
3. Mampu menyediakan semua fasilitas
untuk keperluan sekolah anak 55 53.4 8 40.0 4 26.7 67 48.6
D. Perumahan/Tempat Tinggal
1. Ada rumah untuk tempat berlindung
keluarga yang memadai 35 34.0 4 20.0 2 13.3 41 29.7
2. Rumah dilengkapi dengan pasilitas MCK 38 36.9 7 35.0 2 13.3 47 34.1
3. Ada ruangan yang cukup untuk
sekeluarga 26 25.2 6 30.0 3 20.0 35 25.4
4. Rumah memiliki cukup penerangan 53 51.5 10 50.0 10 66.7 73 52.9
E. Pakaian
1. Anggota keluarga memiliki pakaian yang
berbeda untuk kegiatan yang berbeda 13 12.6 4 20.0 4 26.7 21 15.2
F. Pekerjaan/Pendapatan
1. Tetap bekerja pasca gempa dan
tsunami 25 24.3 4 20.0 5 33.3 34 24.6
2. Penghasilan cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sehari hari 56 54.4 10 50.0 8 53.3 74 53.6

Lampiran 3. Sebaran contoh berdasarkan kepribadian


Utuh Duda Janda
Total (n=138)
Pernyataan Kepribadian (n=103) (n=20) (n=15)
n % n % n % n %
1. Dengan bekerja keras pasti kehidupan 10
99.0 19 95.0 15 100.0 136 98.6
keluarga saya akan lebih baik 2
2. Saya selalu optimis dengan masa depan
98 95.1 18 90.0 15 100.0 131 94.9
keluarga saya
3. Saya yakin teman-teman pasti
97 94.2 18 90.0 14 93.3 129 93.5
membantu saya
10
97.1 20 100.0 14 93.3 134 97.1
4. Saya tidak boleh menyerah 0
5. Saya yakin dibalik musibah ini pasti ada 10
99.0 18 90.0 14 93.3 134 97.1
sesuatu yang sangat berharga 2
6. Saya merasa hidup saya tidak berarti 15 14.6 1 5.0 2 13.3 18 13.0
7. Saya merasa usaha saya sia-sia saja 9 8.7 3 15.0 1 6.7 13 9.4
8. Kerja keras saya tidak dihargai 11 10.7 2 10.0 2 13.3 15 10.9
9. Saya gampang untuk rileks 41 39.8 2 10.0 7 46.7 50 36.2
10. Penting bagi saya untuk menjaga
69 67.0 14 70.0 10 66.7 93 67.4
kesibukan
11. Cepat tersinggung 26 25.2 6 30.0 3 20.0 35 25.4
12. Cepat marah 26 25.2 6 30.0 4 26.7 36 26.1
13. Cenderung tertutup 20 19.4 6 30.0 4 26.7 30 21.7
14. Cepat bosan 19 18.4 4 20.0 2 13.3 25 18.1
15. Tabah menghadapi berbagai 10
98.1 15 75.0 13 86.7 129 93.5
permasalahan 1
16. Cepat melupakan sesuatu kejadian 32 31.1 1 5.0 2 13.3 35 25.4
17. Suka mengeluh 18 17.5 3 15.0 2 13.3 23 16.7

Lampiran 4. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan konsep diri


Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Pernyataan Konsep Diri
n % n % n % n %
1. Merasa telah menjadi ayah/ibu
yang baik 95 92.2 14 70 13 86.7 122 88.4
2. Merasa telah menjadi suami/isteri
yang baik 96 93.2 13 65 13 86.7 122 88.4
3. Merasa telah menjadi teman yang
baik 95 92.2 16 80 12 80 123 89.1
4. Merasa telah menjadi tetangga
yang baik 95 92.2 16 80 12 80 123 89.1
5. Merasa telah menjadi muslim yang
baik 97 94.2 17 85 13 86.7 127 92.0

Lampiran 5. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan dukungan sosial


Utuh Duda Janda
Total (n=138)
Pernyataan Dukungan Sosial (n=103) (n=20) (n=15)
n % n % n % n %
1. Mendapatkan bantuan (fisik dan
non fisik) dari masyarakat dimana 94 91.3 17 85 14 93.3 125 90.6
tinggal
2. Teman-teman dekat peduli dan
memberikan bantuan (fisik dan 98 95.1 17 85 15 100 130 94.2
non fisik)
3. Mendapatkan bantuan (fisik dan
non fisik) dari orangtua dan 93 90.3 15 75 13 86.7 121 87.7
keluarga lainnya
4. Mendapatkan bantuan (fisik dan
non fisik) dari pemerintah dan
100 97.1 17 85 13 86.7 130 94.2
LSM dalam negeri maupun luar
negeri

Lampiran 6. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres fisik


Utuh Duda Janda Total
Pernyataan Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
46.
56 54.4 11 55 7 74 53.6
1. Merasa pusing atau sakit Tidak pernah 7
kepala tanpa alasan Kadang-kadang 41 39.8 9 45 8 53. 58 42.0
Lampiran
133

3
Sering 6 5.8 0 0 0 0 6 4.3
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak pernah 32 31.1 5 25 3 20 40 29.0
73.
63 61.2 15 75 11 89 64.5
2. Merasa pegal-pegal pada Kadang-kadang 3
leher, punggung dan Sering 8 7.8 0 0 1 6.7 9 6.5
bahu Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Perut terasa Tidak pernah 75 72.8 11 55 12 80 98 71.0
kembung/mulas/ Kadang-kadang 25 24.3 9 45 3 20 37 26.8
mual/diare pada saat Sering 3 2.9 0 0 0 0 3 2.2
akan melakukan
pekerjaan Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak pernah 57 55.3 9 45 6 40 72 52.2
53.
37 35.9 10 50 8 55 39.9
4. Mengalami kejang Kadang-kadang 3
otot/kram dan tangan Sering 9 8.7 1 5 1 6.7 11 8.0
gemetaran Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
73.
83 80.6 15 75 11 109 79.0
Tidak pernah 3
5. Mengalami 26.
17 16.5 4 20 4 25 18.1
sembelit/susah buang Kadang-kadang 7
air besar dan lebih Sering 3 2.9 1 5 0 0 4 2.9
sering buang air kecil Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
73.
76 73.8 12 60 11 99 71.7
Tidak pernah 3
6. Jantung terasa berdenyut 26.
25 24.3 7 35 4 36 26.1
lebih cepat dari Kadang-kadang 7
biasanya atau tensi Sering 2 1.9 1 5 0 0 3 2.2
tinggi Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
46.
54 52.4 7 35 7 68 49.3
Tidak pernah 7
7. Merasa letih/ lesu/lemas 46.
44 42.7 11 55 7 62 44.9
yang luar biasa atau Kadang-kadang 7
terasa tenaga terkuras Sering 5 4.9 2 10 1 6.7 8 5.8
habis Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
73.
67 65 11 55 11 89 64.5
Tidak pernah 3
Kadang-kadang 32 31.1 8 40 3 20 43 31.2
8. Tekanan darah menjadi Sering 4 3.9 1 5 1 6.7 6 4.3
naik Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0

Lampiran 7. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres psikis


Utuh Duda Janda Total
Pernyataan Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138) 

n % n % n % n %
Tidak pernah 57 55.3 5 25 6 40 68 49.3
1. Mengalami mimpi- Kadang-kadang 40 38.8 14 70 6 40 60 43.5
mimpi buruk Sering 6 5.8 1 5 3 20 10 7.2
Total 103 100 20 100 1 100 138 100.0
5
Tidak pernah 47 45.6 6 30 4 26.7 57 41.3
2. Merasa tidak
tenang/tegang/ Kadang-kadang 49 47.6 12 60 9 60 70 50.7
cemas/ Sering 7 6.8 2 10 2 13.3 11 8.0
terancam/gelisah 1
Total 103 100 20 100 5 100 138 100.0
1
Tidak pernah 88 85.4 15 75 3 86.7 116 84.1
3. Merasa putus asa
Kadang-kadang 12 11.7 3 15 2 13.3 17 12.3
sehingga ingin
mengakhiri hidup Sering 3 2.9 2 10 0 0 5 3.6
1
Total 103 100 20 100 5 100 138 100.0
1
Tidak pernah 71 68.9 13 65 3 86.7 97 70.3
4. Merasa pesimis
Kadang-kadang 27 26.2 5 25 2 13.3 34 24.6
tentang masa
depan Sering 5 4.9 2 10 0 0 7 5.1
1
Total 103 100 20 100 5 100 138 100.0
1
5. Merasa gugup/ Tidak pernah 79 76.7 16 80 2 80 107 77.5
grogi/bingung bila Kadang-kadang 23 22.3 4 20 3 20 30 21.7
berhadapan Sering 1 1 0 0 0 0 1 0.7
dengan tamu 1
Total 103 100 20 100 5 100 138 100.0
Tidak pernah 49 47.6 3 15 4 26.7 56 40.6
6. Merasa sedih sekali Kadang-kadang 40 38.8 16 80 8 53.3 64 46.4
dan ingin Sering 14 13.6 1 5 3 20 18 13.0
menangis
1
Total 103 100 20 100 5 100 138 100.0
1
Tidak pernah 70 68 12 60 1 73.3 93 67.4
7. Merasa tidak sabar
Kadang-kadang 26 25.2 5 25 4 26.7 35 25.4
dan cepat marah
tanpa sebab Sering 7 6.8 3 15 0 0 10 7.2
1
Total 103 100 20 100 5 100 138 100.0

Lampiran 8. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres kognitif


Utuh Duda Janda Total
Pernyataan Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
1. Merasa sukar Tidak pernah 13 65 12 80 72 69.9 97 70.3
berkonsentrasi Kadang-kadang 7 35 3 20 26 25.2 36 26.1
dalam
melakukan Sering 0 0 0 0 5 4.9 5 3.6
pekerjaan Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0
2. Tidak memiliki Tidak pernah 13 65 11 73.3 84 81.6 108 78.3
keinginan untuk Kadang-kadang 7 35 3 20 16 15.5 26 18.8
bekerja Sering 0 0 1 6.7 3 2.9 4 2.9
Lampiran
135

Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0


Tidak pernah 13 65 11 73.3 81 78.6 105 76.1
3. Daya ingat Kadang-kadang 7 35 4 26.7 21 20.4 32 23.2
menurun Sering 0 0 0 0 1 1 1 0.7
Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0
Tidak pernah 13 65 13 86.7 70 68 96 69.6
4. Pikiran hanya
Kadang-kadang 7 35 2 13.3 30 29.1 39 28.3
tertuju pada satu
persoalan saja Sering 0 0 0 0 3 2.9 3 2.2
Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0
Tidak pernah 10 50 10 66.7 64 62.1 84 60.9
5. Cepat merasa Kadang-kadang 10 50 3 20 35 34 48 34.8
jenuh Sering 0 0 2 13.3 4 3.9 6 4.3
Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0

Lampiran 9. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres perilaku yang dihadapi keluarga pasca
gempa dan tsunami
Utuh Duda Janda Total
Pernyataan Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
1
Tidak pernah
73 70.9 7 35.0 3 86.7 93 67.4
Kadang-
1. Merokok lebih dari satu
kadang 26 25.2 8 40.0 1 6.7 35 25.4
bungkus
Sering 4 3.9 5 25.0 1 6.7 10 7.2
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0
1 1 12
Tidak pernah
91 88.3 7 85.0 2 80.0 0 87.0
2. Melemparkan persoalan Kadang-
yang dihadapi kepada kadang 10 9.7 2 10.0 2 13.3 14 10.1
orang lain Sering 2 1.9 1 5.0 1 6.7 4 2.9
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0
1 1 11
Tidak pernah
83 80.6 5 75.0 3 86.7 1 80.4
3. Mengalami kehilangan
Kadang-
minat untuk melakukan
kadang 18 17.5 3 15.0 2 13.3 23 16.7
hubungan intim dengan
Sering 2 1.9 2 10.0 0 0.0 4 2.9
suami/istri
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0
1
Tidak pernah
55 53.4 0 50.0 7 46.7 72 52.2
Kadang-
4. Mengalami sukar tidur
kadang 43 41.7 7 35.0 7 46.7 57 41.3
atau tidur terlalu lama
Sering 5 4.9 3 15.0 1 6.7 9 6.5
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0
5. Tidak mau bersosialisasi 1 1 10
Tidak pernah
dengan orang lain 83 80.6 5 75.0 0 66.7 8 78.3
Kadang- 18 17.5 4 20.0 5 33.3 27 19.6
kadang
Sering 2 1.9 1 5.0 0 0.0 3 2.2
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0
Tidak pernah 54 52.4 9 45.0 8 53.3 71 51.4
Kadang-
6. Kehilangan nafsu makan
kadang 43 41.7 9 45.0 7 46.7 59 42.8
atau sebaliknya nafsu
Sering 6 5.8 2 10.0 0 0.0 8 5.8
makan tinggi
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0
1 1 12
Tidak pernah
92 89.3 8 90.0 4 93.3 4 89.9
Kadang-
7. Berbicara sendiri kadang 8 7.8 0 0.0 1 6.7 9 6.5
Sering 3 2.9 2 10.0 0 0.0 5 3.6
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0
Tidak pernah 54 52.4 9 45.0 5 33.3 68 49.3
Kadang-
8. Sering kadang 41 39.8 9 45.0 7 46.7 57 41.3
melamun/termenung Sering 8 7.8 2 10.0 3 20.0 13 9.4
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0
1 1 12
Tidak pernah
92 89.3 8 90.0 4 93.3 4 89.9
9. Mudah melakukan
Kadang-
kecelakaan
kadang 9 8.7 0 0.0 1 6.7 10 7.2
(memecahkan piring.
Sering 2 1.9 2 10.0 0 0.0 4 2.9
gelas. tertusuk jarum dan
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
sebagainya Total
3 0 0 0 5 0 8 0

1 1 12
Tidak pernah
96 93.2 8 90.0 3 86.7 7 92.0
Kadang-
10. Mencelakakan diri sendiri kadang 5 4.9 0 0.0 2 13.3 7 5.1
Sering 2 1.9 2 10.0 0 0.0 4 2.9
10 100. 2 100. 1 100. 13 100.
Total
3 0 0 0 5 0 8 0

Lampiran 10. Sebaran contoh berdasarkan penyebab stres yang dihadapi


keluarga dengan menggunakan skala Holmes dan Rahe
Utuh Duda Janda Total
Penyebab Stres (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
1. Kematian pasangan 0 0 20 100 15 100 35 25.4
2. Kehilangan anggota keluarga
seluruhnya 0 0 4 20 2 13.3 6 4.3
3. Kehilangan aset seluruhnya 73 70.9 17 85 11 73.3 101 73.2
4. Kehilangan sebagian asset 62 60.2 15 75 9 60 86 62.3
5. Kematian anggota keluarga dekat 64 62.1 18 90 15 100 97 70.3
6. Cedera serius atau penyakit 17 16.5 5 25 7 46.7 29 21.0
Lampiran
137

7. Kematian teman dekat 61 59.2 14 70 10 66.7 85 61.6


8. Kehilangan pekerjaan 47 45.6 10 50 7 46.7 64 46.4
9. Pinjaman keuangan 23 22.3 4 20 7 46.7 34 24.6
10. Pindah tempat tinggal 50 48.5 10 50 5 33.3 65 47.1

Lampiran 11. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping plantul problem
solving
Utuh Duda Janda Total
Perilaku Coping Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
1. Saya berusaha lebih Tidak Pernah 1 1 1 5 0 0 2 1.4
dari biasanya supaya Kadang-Kadang 1 1 0 0 0 0 1 0.7
saya bisa berhasil Sering 13 12.6 3 15 5 33.3 21 15.2
menyelesaikan Sering Sekali 88 85.4 16 80 10 66.7 114 82.6
masalah saya
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 0 0 2 10 0 0 2 1.4
2. Membuat Kadang-Kadang 1 1 1 5 0 0 2 1.4
perencanaan dan Sering 21 20.4 0 0 4 26.7 25 18.1
melaksanakannya Sering Sekali 81 78.6 17 85 11 73.3 109 79.0
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Kadang-Kadang 1 1 0 0 0 0 1 0.7
3. Saya berkonsentrasi
Sering 18 17.5 2 10 6 40 26 18.8
pada apa yang harus
saya lakukan Sering Sekali 84 81.6 18 90 9 60 111 80.4
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 3 2.9 0 0 0 0 3 2.2
4. Mencari posko-posko Kadang-Kadang 9 8.7 0 0 1 6.7 10 7.2
bantuan dari
pemerintah dan Sering 17 16.5 1 5 2 13.3 20 14.5
swasta Sering Sekali 74 71.8 19 95 12 80 105 76.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 42 40.8 7 35 5 33.3 54 39.1
Kadang-Kadang 30 29.1 3 15 5 33.3 38 27.5
5. Menjual aset/barang
yang masih dimiliki Sering 15 14.6 5 25 3 20 23 16.7
Sering Sekali 16 15.5 5 25 2 13.3 23 16.7
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 40 38.8 8 40 6 40 54 39.1
6. Mencari pinjaman Kadang-Kadang 31 30.1 5 25 4 26.7 40 29.0
kepada tetangga
yang masih Sering 15 14.6 3 15 2 13.3 20 14.5
memilikinya Sering Sekali 17 16.5 4 20 3 20 24 17.4
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 7 6.8 1 5 0 0 8 5.8
7. Mengubah gaya Kadang-Kadang 5 4.9 2 10 1 6.7 8 5.8
hidup supaya segala
sesuatu akan menjadi Sering 54 52.4 9 45 6 40 69 50.0
lebih baik Sering Sekali 37 35.9 8 40 8 53.3 53 38.4
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 12. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi
coping confrontatif
Utuh Duda Janda Total
Perilaku Coping Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
Tidak Pernah 3 2.9 1 5 1 6.7 5 3.6
1. Berusaha
Kadang-Kadang 2 1.9 1 5 0 0 3 2.2
menghubungi orang
yang bertanggung Sering 12 11.7 0 0 0 0 12 8.7
jawab terhadap 93.
masalah Sering Sekali 86 83.5 18 90 14 3 118 85.5
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
53.
Tidak Pernah 57 55.3 12 60 8 3 77 55.8
Kadang-Kadang 16 15.5 1 5 0 0 17 12.3
2. Saya membiarkan
33.
perasaan atau
Sering 13 12.6 5 25 5 3 23 16.7
emosi saya keluar
13.
Sering Sekali 17 16.5 2 10 2 3 21 15.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
66.
Tidak Pernah 60 58.3 11 55 10 7 81 58.7
3. Mengambil suatu 13.
kesempatan yang Kadang-Kadang 20 19.4 8 40 2 3 30 21.7
besar walaupun itu 13.
sangat beresiko Sering 14 13.6 1 5 2 3 17 12.3
Sering Sekali 9 8.7 0 0 1 6.7 10 7.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 19 18.4 4 20 0 0 23 16.7
4. Saya mencoba
Kadang-Kadang 2 1.9 3 15 1 6.7 6 4.3
melakukan sesuatu
walau tidak yakin 66.
akan berhasil, tetapi Sering 59 57.3 8 40 10 7 77 55.8
paling tidak saya 26.
telah berbuat Sering Sekali 23 22.3 5 25 4 7 32 23.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0

Lampiran 13. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping seeking social support
Utuh Duda Janda Total
Perilaku Coping Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %

1. Saya berusaha Tidak Pernah 1 1 1 5 0 0 2 1.4


bertanya pada Kadang-Kadang 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4
orang-orang yang
pernah mengalami Sering 16 15.5 1 5 1 6.7 18 13.0
hal yang sama 11
tentang apa yang Sering Sekali 84 81.6 18 90 14 93.3 6 84.1
mereka lakukan 10 13
Total 3 100 20 100 15 100 8 100.0
Lampiran
139

Tidak Pernah 6 5.8 4 20 0 0 10 7.2


2. Saya berusaha
Kadang-Kadang 6 5.8 2 10 2 13.3 10 7.2
meminta nasehat
kepada saudara atau Sering 31 30.1 4 20 2 13.3 37 26.8
tetangga apa yang Sering Sekali 60 58.3 10 50 11 73.3 81 58.7
harus dilakukan 10 13
Total 3 100 20 100 15 100 8 100.0
Tidak Pernah 4 3.9 1 5 0 0 5 3.6
3. Saya berusaha
berbicara pada Kadang-Kadang 5 4.9 2 10 2 13.3 9 6.5
seseorang untuk Sering 50 48.5 8 40 5 33.3 63 45.7
mencari informasi
dan dapat membantu Sering Sekali 44 42.7 9 45 8 53.3 61 44.2
saya secara konkrit 10 13
Total 3 100 20 100 15 100 8 100.0
4. Saya berusaha Tidak Pernah 27 26.2 5 25 3 20 35 25.4
membicarakan
permasalahan yang Kadang-Kadang 7 6.8 4 20 1 6.7 12 8.7
saya hadapi kepada Sering 29 28.2 5 25 4 26.7 38 27.5
orang lebih
profesional seperti Sering Sekali 40 38.8 6 30 7 46.7 53 38.4
psikolog atau 10 13
psikiater Total 3 100 20 100 15 100 8 100.0
Tidak Pernah 38 36.9 6 30 5 33.3 49 35.5
5. Saya menerima Kadang-Kadang 15 14.6 5 25 1 6.7 21 15.2
simpati dan Sering 26 25.2 3 15 2 13.3 31 22.5
pengertian dari orang
lain Sering Sekali 24 23.3 6 30 7 46.7 37 26.8
10 13
Total 3 100 20 100 15 100 8 100.0

Lampiran 14. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping positive reappraisal
Utuh Duda Janda Total
Perilaku Coping Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
Tidak Pernah 1 1 1 5 0 0 2 1.4
1. Saya lebih banyak
shalat, berdo'a, Sering 17 16.5 2 10 0 0 19 13.8
berzikir dan lebih 11
dekat diri pada Allah Sering Sekali 85 82.5 17 85 15 100 7 84.8
SWT 10 13
Total 103 100 20 0 15 100 8 100.0
Kadang-Kadang 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4
2. Saya percaya Allah Sering 17 16.5 1 5 0 0 18 13.0
mendengarkan do’a 11
saya Sering Sekali 84 81.6 19 95 15 100 8 85.5
10 13
Total 103 100 20 0 15 100 8 100.0
3. Saya bersyukur Kadang-Kadang 1 1 0 0 0 0 1 0.7
dengan apa yang 13.
masih saya miliki Sering 16 15.5 4 20 2 3 22 15.9
86. 11
Sering Sekali 86 83.5 16 80 13 7 5 83.3
10 13
Total 103 100 20 0 15 100 8 100.0
13.
Tidak Pernah 5 4.9 1 5 2 3 8 5.8
4. Saya mendapat ilham Kadang-Kadang 7 6.8 1 5 0 0 8 5.8
untuk melakukan 26.
sesuatu yang lebih Sering 34 33 4 20 4 7 42 30.4
kreatif Sering Sekali 57 55.3 14 70 9 60 80 58.0
10 13
Total 103 100 20 0 15 100 8 100.0
Tidak Pernah 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4
Kadang-Kadang 2 1.9 1 5 0 0 3 2.2
5. Pengalaman ini 13.
merubah saya Sering 37 35.9 5 25 2 3 44 31.9
menjadi orang yang 86.
lebih baik Sering Sekali 62 60.2 14 70 13 7 89 64.5
10 13
Total 103 100 20 0 15 100 8 100.0

Lampiran 15. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping accepting


responsibility
Utuh Duda Janda Total
Perilaku Coping Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)

n % n % n % n %
Tidak Pernah 5 4.9 0 0 1 6.7 6 4.3
Kadang-Kadang 8 7.8 2 10 1 6.7 11 8.0
1. Mengeritik/introspeksi diri
sendiri Sering 36 35 6 30 3 20 45 32.6
Sering Sekali 54 52.4 12 60 10 66.7 76 55.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 40 38.8 6 30 6 40 52 37.7
2. Saya menyadari Kadang-Kadang 15 14.6 3 15 4 26.7 22 15.9
permasalahan ini terjadi
karena kesalahan saya Sering 24 23.3 2 10 0 0 26 18.8
sendiri Sering Sekali 24 23.3 9 45 5 33.3 38 27.5
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 6 5.8 0 0 0 0 6 4.3
Kadang-Kadang 0 0 1 5 0 0 1 0.7
3. Saya belajar hidup dalam
kondisi seperti ini Sering 36 35 5 25 2 13.3 43 31.2
Sering Sekali 61 59.2 14 70 13 86.7 88 63.8
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
4. Saya bisa menerima Tidak Pernah 6 5.8 0 0 0 0 6 4.3
semua yang telah
terjadi dan tidak bisa Kadang-Kadang 5 4.9 0 0 0 0 5 3.6
dirubah kembali Sering 60 58.3 8 40 4 26.7 72 52.2
Lampiran
141

Sering Sekali 32 31.1 12 60 11 73.3 55 39.9


Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0

Lampiran 16. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping self controlling
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Perilaku Coping Jawaban
n % n % n % n %
Tidak Pernah 1 1 1 5 0 0 2 1.5
1. Saya berfikir terlebih Kadang-Kadang 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4
dahulu apa yang Sering 25 24.3 2 10 2 13.3 29 21.0
ingin saya lakukan Sering Sekali 75 72.8 17 85 13 86.7 105 76.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Saya menolak Tidak Pernah 4 3.9 1 5 0 0 5 3.6
/menghindari Kadang-Kadang 7 6.8 1 5 0 0 8 5.8
untuk melakukan Sering 30 29.1 3 15 3 20 36 26.1
sesuatu secara Sering Sekali 62 60.2 15 75 12 80 89 64.5
tergesa-gesa Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Saya Tidak Pernah 36 35 5 25 6 40 47 34.1
memperhatikan Kadang-Kadang 12 11.7 4 20 2 13.3 18 13.0
seseorang yang Sering 28 27.2 3 15 4 26.7 35 25.4
saya kagumi
menyelesaikan Sering Sekali 27 26.2 8 40 3 20 38 27.5
suatu masalah Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0

Lampiran 17. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping Distancing


Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
Perilaku Coping Jawaban
n % n % n % n %
Tidak Pernah 26 25.2 4 20 1 6.7 31 22.5
1. Saya tidak mau Kadang-Kadang 28 27.2 7 35 6 40 41 29.7
memikirkan
Sering 32 31.1 1 5 3 20 36 26.1
permasalahan itu
terlalu serius Sering Sekali 17 16.5 8 40 5 33.3 30 21.7
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 36 35 6 30 8 53.3 50 36.2
2 Bersikap biasa saja, Kadang-Kadang 30 29.1 6 30 3 20 39 28.3
seolah-olah tidak
Sering 22 21.4 2 10 1 6.7 25 18.1
pernah terjadi
apa-apa Sering Sekali 15 14.6 6 30 3 20 24 17.4
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 31 30.1 7 35 8 53.3 46 33.3
3. Saya mencoba Kadang-Kadang 21 20.4 1 5 2 13.3 24 17.4
untuk melupakan Sering 26 25.2 4 20 1 6.7 31 22.5
segalanya Sering Sekali 25 24.3 8 40 4 26.7 37 26.8
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0

Lampiran 18. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping escape avoidance
Utuh Duda Janda Total
Perilaku Coping Jawaban (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
Tidak Pernah 41 39.8 5 25 6 40 52 37.7
1. Saya berharap ada Kadang-Kadang 8 7.8 0 0 1 6.7 9 6.5
keajaiban yang Sering 31 30.1 5 25 4 26.7 40 29.0
terjadi  Sering Sekali 23 22.3 10 50 4 26.7 37 26.8
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Saya berusaha Tidak Pernah 88 85.4 13 65 12 80 113 81.9
menenangkan
Kadang-Kadang 7 6.8 2 10 0 0 9 6.5
perasaan dengan
merokok, Sering 1 1 2 10 1 6.7 4 2.9
mendengarkan Sering Sekali 7 6.8 3 15 2 13.3 12 8.7
musik, menonton,
mabuk dan minum
obat penenang Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 88 85.4 18 90 11 73.3 117 84.8
3. Melemparkan Kadang-Kadang 7 6.8 0 0 0 0 7 5.1
permasalahan Sering 2 1.9 1 5 1 6.7 4 2.9
kepada orang lain Sering Sekali 6 5.8 1 5 3 20 10 7.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tidak Pernah 57 55.3 10 50 9 60 76 55.1
4. Melupakan Kadang-Kadang 30 29.1 7 35 4 26.7 41 29.7
permasalahan
dengan tidur lebih Sering 7 6.8 1 5 1 6.7 9 6.5
lama dari biasanya Sering Sekali 9 8.7 2 10 1 6.7 12 8.7
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
5. Saya menyadari Tidak Pernah 89 86.4 17 85 13 86.7 119 86.2
kalau saya kecewa
Kadang-Kadang 5 4.9 0 0 0 0 5 3.6
dan saya
membiarkan diri Sering 4 3.9 1 5 1 6.7 6 4.3
saya hanyut dalam Sering Sekali 5 4.9 2 10 1 6.7 8 5.8
kekecewaan
tersebut Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0

Lampiran 19. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan fungsi ekspresif keluarga


Utuh Duda Janda
Total (n=138)
Pernyataan fungsi ekspresif keluarga (n=103) (n=20) (n=15)

n % n % n % n %
1. Pasca gempa dan tsunami keluarga lebih
102 99 20 100 13 86.7 135 97.8
mendekatkan diri kepada Allah SWT
2. Mengajarkan anggota keluarga untuk
102 99 19 95 13 86.7 134 97.1
shalat tepat waktu
3. Kasih sayang antara contoh dan keluarga
tetap dirasakan pasca gempa dan 101 98.1 19 95 14 93.3 134 97.1
tsunami
4. Merencanakan untuk menambah anggota
50 48.5 11 55 4 26.7 65 47.1
keluarga baru
5. Komunikasi antara suami- istri, ayah-anak
dan ibu-anak tetap berjalan baik pasca 99 96.1 13 65 14 93.3 126 91.3
gempa dan tsunami
6. Jika berpergian, contoh selalu pulang tepat 96 93.2 14 70 12 80 122 88.4
Lampiran
143

waktu
7. Memberitahukan ke rumah kalau pulang
98 95.1 14 70 13 86.7 125 90.6
terlambat
8. Anggota keluarga selalu berbuat sesuai
99 96.1 17 85 15 100 131 94.9
dengan apa yang diucapkannya
9. Mengajak anak-anak untuk peduli kepada
sesama yang ditimpa musibah atau 97 94.2 17 85 14 93.3 128 92.8
yang mengalami kesulitan
10. Pernah memberikan tanggung jawab
terhadap sesuatu pekerjaan kepada 85 82.5 14 70 12 80 111 80.4
anggota keluarga
11. Mendengarkan dengan seksama keluhan
atau protes terhadap ketetapan yang 95 92.2 13 65 13 86.7 121 87.7
dibuat
12. Menghargai setiap pilihan yang dilakukan
97 94.2 15 75 15 100 127 92.0
oleh anggota keluarga
13. Mengajari anggota keluarga untuk
100 97.1 16 80 13 86.7 129 93.5
menghargai pendapat orang lain
14. Pernah minta maaf kepada anggota
keluarga atas kesalahan yang contoh 95 92.2 16 80 13 86.7 124 89.9
lakukan
15. Menyuruh anggota keluarga minta maaf
atas kesalahan yang dilakukan baik
98 95.1 16 80 13 86.7 127 92.0
kepada orang tua, saudara dan
temannya
16. Mengerti keterbatasan yang dimiliki oleh
95 92.2 16 80 14 93.3 125 90.6
masing-masing anggota keluarga
17. Menghargai pendapat anggota keluarga
99 96.1 18 90 14 93.3 131 94.9
dalam mengatasi masalah keluarga

Lampiran 20. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan fungsi instrumental keluarga


Utuh Duda Janda Total
Pernyataan Fungsi Instrumental Keluarga (n=103) (n=20) (n=15) (n=138)
n % n % n % n %
1. Hubungan kekeluargaan tetap terjalin
101 98.1 19 95 14 93.3 134 97.1
dengan baik pasca gempa dan tsunami
2. Tetap berhubungan baik dengan kerabat
102 99 20 100 14 93.3 136 98.6
pasca gempa dan tsunami
3. Mewakili keluarga untuk mengikuti
63 61.2 15 75 7 46.7 85 61.6
kegiatan sosial
4. Berusaha untuk membangun atau
merenovasi kembali rumah yang hancur 90 87.4 16 80 9 60 115 83.3
akibat gempa dan tsunami
5. Bertanggung jawab terhadap keamanan
99 96.1 19 95 14 93.3 132 95.7
di rumah
6. Berusaha mencari sekolah terbaik untuk
78 75.7 14 70 9 60 101 73.2
anak
7. Selain sekolah, juga mencarikan tempat
yang terbaik untuk anak mengikuti 79 76.7 16 80 13 86.7 108 78.3
pendidikan keagamaan
8. Berusaha mencari bantuan/beasiswa
64 62.1 11 55 8 53.3 83 60.1
untuk sekolah anak
9. Selain beasiswa, mencari bantuan lain 77 74.8 16 80 12 80 105 76.1
seperti makanan, kesehatan,
perumahan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan anggota
keluarga keluarga
10. Membantu mencarikan pekerjan bagi
anggota keluarga yang sudah tidak 75 72.8 15 75 11 73.3 101 73.2
bersekolah/ dewasa
11. Membina hubungan baik dengan guru
72 69.9 15 75 12 80 99 71.7
dan kepala sekolah
12. Membina hubungan baik dengan
101 98.1 19 95 15 100 135 97.8
masyarakat sekitar
13. Membina hubungan baik dengan LSM
yang sedang melakukan rehabilitasi dan 97 94.2 17 85 14 93.3 128 92.8
rekonstruksi akibat gempa dan tsunami
14. Mengajarkan sesuatu keterampilan
83 80.6 13 65 11 73.3 107 77.5
kepada anggota keluarga
15. Anggota keluarga ikut membantu
91 88.3 17 85 12 80 120 87.0
pekerjaan di rumah
16. Selain pekerjaan tetap, juga memiliki
45 43.7 6 30 5 33.3 56 40.6
pekerjaan sampingan
17. Masih bisa menabung 62 60.2 16 80 7 46.7 85 61.6
18. Keluarga memiliki asuransi untuk
28 27.2 5 25 3 20 36 26.1
kesehatan
19. Keluarga memiliki asuransi untuk
23 22.3 4 20 3 20 30 21.7
pendidikan anggota keluarga ke depan
20. Mengelola/mengatur keuangan keluarga
95 92.2 17 85 14 93.3 126 91.3
dengan baik
21. Memutuskan berapa besar anggaran
yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan 96 93.2 18 90 12 80 126 91.3
sehari-hari
22. Memutuskan untuk membeli barang
48 46.6 9 45 5 33.3 62 44.9
berharga


Riwayat Penulis
145

RIWAYAT PENULIS
Siti Maryam dilahirkan di Pangkalan Susu tanggal 20 Mei 1960. Anak kedua
dari tujuh bersaudara dari Bapak Samaun dan Ibu Saerah. Pada tanggal 18 Agustus
1987, penulis menikah dengan Drh. Fadli A. Gani dan dikaruniai 3 (tiga) orang putri
yaitu Fatmawati, Nadia Isnaini, Rizka Fadila dan satu putra, Muhammad Taufik.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Pangkalan Susu pada
tahun 1974. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri II Binjai, Sumatera Utara dan
tamat pada tahun 1977. Selanjutnya penulis memasuki SPG Negeri Bireuen Aceh
Utara dan tamat pada tahun 1981. Pada tahun itu juga penulis mengikuti Program S-
I dengan Program Studi Tata Boga, Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Jenjang pendidikan tersebut dapat diselesaikan pada tahun 1986.
Pada tahun 1987 penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagai
tenaga pengajar di SMKK Negeri Aceh Timur. Pada tahun 1989 penulis mutasi ke
Banda Aceh mengikuti Suami dan mengabdi pada SMK Negeri 3. Pada
bulan Juni 2003 penulis mutasi ke Fakultas Pertanian Universitas
Malikussaleh Lhokseumawe
Pada tahun ajaran 1999/2000 penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan studi ke jenjang pendidikan Program Pascasarjana S2 di Institut
Pertanian Bogor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
Pada tahun 2002 penulis melanjutkan Program S3 di program studi yang sama dan
lulus dengan desertasi yang berjudul ”Strategi Coping Keluarga yang Terkena
Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” dan
diterbitkan menjadi buku yang ada di tangan pembaca ini.



Anda mungkin juga menyukai