yang
diabaikan
oleh
pemakai
pendekatan
objective.
Mereka
kemudian
mengembangkan metode penelitian kualitatif, yang pada tingkatan ini, etnografi dan analisis
tekstual membantu para peneliti saat mencoba memahami makna. (Griffin, 2003: 15;
Anderson, 1998: 205-236; Wimmer dan Dominick, 1997: 82-109; Lindlof, 1995; dan Jensen,
1991: 17-43).
Pada sejumlah bab nantinya, tulisan ini akan membedah metode penelitian kualitatif
dengan mendiskusikan keberadaannya, proses-proses pelaksanannya, serta bentuk-bentuk
terapannya yang lebih dikaitkan dengan penelitian dan kajian ilmu komunikasi. Urutan-urutan
pembahasan ini sengaja disusun agar mempermudah pemahaman tentang metode
penelitian kualitatif yang dipakai dalam disiplin ilmu komunikasi.
Penelitian pada dua dekade 1950 dan 1960-an, yang ditandai dengan beragam
ukuran matematis statistik, dipandang memiliki banyak "lubang" yang tak bisa menjawab
tuntas beberapa hal. Secara umum, lubang-lubang tak terjawab itu mencakup kesulitankesulitan, anomali-anomali, serta adanya celah akibat retak atau patahan dalam upaya
pemahaman fenomena karena adanya pengabaian terhadap pertimbangan relativitas waktu
(ephemeral judgments), lintas batas negara, perbedaan individual, deskripsi pra-ilmiah, serta
kompleksitas keadaan. Dengan kata lain, pendekatan objective yang mengeksploitasi alatalat ukur kuantitatif dianggap terlalu menyederhanakan fenomena yang hendak dipahami.
Pada tahun 1970-an terjadi titik balik terhadap hal-hal di atas. Titik balik ini, yang
kemudian dikenal dengan "the interpretive turn" atau "the qualitative turn" atau "hermeneutic
empiricism", kembali mengedepankan metode kualitatif dengan ditandai beberapa
pergeseran formula dalam ilmu-ilmu humanistik (Anderson, 1998: 206; dan Jensen, 1991: 1).
Sebagai landasan, Carey (1975, 190) menyebut titik balik ini sebagai sebuah proses untuk
pemahaman besar terhadap hal-hal kecil seperti lagu, puisi dan mitos, dalam hubungan
menyeluruhnya pada suatu budaya atau pandangan hidup.
Penelitian kualitatif oleh Erickson ditandai dengan empat ciri khasnya (Wimmer dan
Dominick, 1997: 83). Pertama, dilakukannya partisipasi yang intensif dan dalam jangka
Universitas Gadjah Mada
waktu yang panjang. Kedua, pencatatan secara hati-hati terhadap hal-hal yang berlangsung
hingga diperoleh bukti-bukti terrekam dan terdokumentasi. Ketiga, dilakukannya analisis
terhadap data yang diperoleh di lapangan. Keempat, pelaporan basil yang memasukkan di
dalamnya seluruh detil, kutipan dan komentar.
Secara sepintas, keempat karakter yang dikemukakan Erickson di atas tak berbeda
jauh dengan karakter umum penelitian kuantitatif. Bahkan bisa disebut mirip, jika hanya
memperhatikan proses yang dilakukan: ke lapangan, pengumpulan data, analisis data
temuan dan pelaporan hasil. Perbedaan besar baru terlihat dan terasakan pada saat
mencermati
dan
melakukan
penelitian
langsung.
Pada
tingkat
pelaksanaan
ini,
dikaji
dari
dua
pokok
dasarnya.
Pertama,
hermeneutic
foundations
yang
mengasumsikan sebuah dunia dengan beragam domain fenomenanya tanpa landasan yang
sama atau umum (Anderson, 1998: 207). Dalam bahasa Ricoeur (1977), dasar metode ini
adalah menginterpretasi makna sebuah teks melalui referensi yang berkelanjutan pada
konteksnya. Kedua, objective foundations yang didukung pemahaman tentang fenomena
dunia yang bebas, ditentukan dan dipersatukan. Fenomena pada landasan kedua ini adalah
obyek-obyek analisis yang bebas (tak terkait dengan kultur atau perbedaan individual,
sebagai contoh) yang kemudian menjadi subyek (ditentukan dan dipersatukan) pencermatan
(Griffin, 2003: 8; dan Anderson, 1998: 206).1
Lebih lanjut Lindlof (1995: 21-26) menjelaskan, penelitian kualitatif berusaha
mencermati bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitasnya. Dalam hal ini,
percakapan, gerak tubuh dan tindakan-tindakan sosial yang lain bisa disebut sebagai bahan
dasar analisis perilaku manusia tersebut. Pada tingkatan tertentu, metode kualitatif memiliki
persamaan dengan etnografi dan penelitian lainnya dalam hal penggunaan pendekatan
untuk memahami manusia. Tesch (1990) dalam hal ini mengidentifikasi sejumlah pendekatan
yang terkategori kualitatif, antara lain studi kasus, penelitian
1 Lebih dalam tentang kedua landasan yang membedakan penelitian kualitatif dan kuantitatif
ini dapat dilihat pada bab selanjutnya.
kolaboratif,
penelitian
fenomenologik,
dan
interaksionisme
interpretif.
Pendekatan-
pendekatan ini oleh Lindlof (1995: 22) dikenali dari karakter-karakternya yang:
Kualitatif
Kuantitatif
Interpretive
Objective
Rhetorician
Behavioral
Humanities
Empirical Research
Interpret Texts
Experiments
tersebut hams dimaknai sebagai kebenaran tentang `matahari yang belum terbit'.
Sedangkan bagi kelompok lainnya harus dicermati dulu waktu, suasana, kondisi, tujuan serta
motif dari kalimat yang terucap. Makna kalimat itu bagi mereka bisa berarti pengingat waktu
yang terbatas di antara dua agen rahasia yang sedang menggarap dokumen yang hendak
mereka curi, berarti keluhan terhadap sempitnya waktu yang dimiliki pasangan selingkuh,
berarti sebuah harapan terbitnya matahari berwarna indah di balik gunung dalam
perbincangan para pendaki, atau sekadar hanya pernyataan belaka bahwa matahari akan
segera terbit.
Lebih lanjut, pendekatan interpretive di atas menjadi perhatian dalam ilmu
humanities, sementara pendekatan objective banyak dilakukan dalam penelitian-penelitian
empiris. Secara praktis, pendekatan interpretive dilakukan dengan melakukan interpretasi
terhadap teks, yang tidak sekadar teks tertulis tetapi juga aksi sosial atau aksi manusia
menurut inner connections-nya (Carey, 1995: 371; and Ricoeur, 1977: 322), sedangkan
pendekatan objective dijalankan dengan melakukan sejumlah eksperimen.
Dengan berdasar pada pemilahan pendekatan interpretive dan objective di atas, dan
kemudian dikaitkan dengan tujuan penelitian yang dilakukan, akan diperoleh gambaran
tentang cakupan penelitian kualitatif dan kuantitatif beserta bidang besar aktivitas
penelitiannya. Hal ini dapat disederhanakan seperti pada bagan berikut:
Sagan 2
Pemilahan Pendekatan dan Tujuan Penelitian
Dengan bahasa yang lain, Wimmer dan Dominick (1997: 83-84) melakukan
pembedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif berdasar pada dimensinya. Pertama,
kedua metode memiliki perbedaan filosofi tentang realitas. Bagi peneliti kualitatif, tidak ada
realitas tunggal. Masing-masing peneliti menciptakan realitasnya sendiri sebagai bagian dari
suatu proses penelitian yang dilakukannya. Mereka menguji keseluruhan proses dan
meyakini realitas bersifat holistic dan tidak dapat dibagi-bagi. Sebaliknya bagi peneliti
kuantitatif, realitas adalah obyektif. Realitas dapat dilihat oleh semua orang dan berada di
luar peneliti. Mereka beranggapan bahwa realitas dapat dibagi menjadi sejumlah komponen,
dan mereka yakin dapat memahami keseluruhannya hanya dengan melihat sejumlah
komponen tadi.
Kedua, metode kualitatif dan kuantitatif memiliki sudut pandang yang berbeda
tentang individu. Peneliti kualitatif menganggap individu secara berbed-beda dan tidak bisa
disamaratakan. Sebaliknya, peneliti kuantitatif memandang bahwa individu pada dasarnya
sama saja dan cenderung mencari kategori umum untuk mewujudkan perilaku atau
mengungkapkan perasaannya. Ketiga, peneliti kualitatif berusaha mendapatkan penjelasan
yang unik tentang situasi dan invidu. Mereka mencoba mendalami hal-hal itu. Sedangkan
peneliti kuantitatif mencoba mendapatkan rumusan umum tentang perilaku dengan
menjelaskan banyak hal untuk sejumlah settings. Dalam hal ini, mereka berusaha
melebarkannya (breadth) dan bukan pada depth seperti yang dilakukan peneliti kualitatif.
Lebih lanjut Wimmer dan Dominick (1997: 84-85) menggambarkan perbedaan
signifikan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif atas dasar perbedaan praktisnya: peran
Universitas Gadjah Mada
peneliti, desain penelitian, setting, instrumen ukur dan pengembangan teori. Dalam
penelitian kualitatif, peneliti adalah bagian dari data (bahkan dikatakan, tanpa partisipasi aktif
peneliti, data tidak akan ada), desain penelitian berkembang selama proses penelitian dan
dapat diubah serta disesuaikan sejalan dengan berlangsungnya proses penelitian, peneliti
mengadakan studi lapangan, berusaha memperoleh gambaran natural serta menangkap
peristiwa-peristiwa yang terjadi tanpa melakukan pengontrolan variabel, peneliti adalah
instrumen penelitian itu sendiri yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, serta
pengembangan teori terjadi bersamaan dengan berlangsungnya proses penelitian sehingga
teori disusun dari data yang tengah mereka kumpulkan.
Sebaliknya, dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha mengejar obyektivitas dan
berada di luar data dan desain penelitian disusun sebelum penelitian dilakukan. Selain itu,
setting diupayakan terkontrol sehingga bisa membatasi variabel-variabel yang dipakainya,
instrumen penelitian terlepas dari keberadaan peneliti dan dapat dilakukan oleh orang lain.
Terakhir, secara umum penelitian kuantitatif berusaha menguji, mendukung atau menolak
teori.
Perbedaan lainnya dikemukakan oleh Jensen (1991: 4-5) dengan melihat bentukbentuk knowledge yang biasanya diasosiasikan dengan metode kualitatif dan kuantitatif.
Perbedaan mendasar antara metode kualitatif dan kuantitatif menurutnya adalah sebagai
berikut:
Bagian 3
Perbedaan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
Menurut Klaus Bruhn Jensen
Kualitatif
Geisteswissenschaften (Humanitis)
meaning
internal
occurrence
experience
exegesis (penjelasan, penafsiran)
process
Kuantitatif
Naturwissenschaften (Natural)
information
external
recurrence
experiment
measurement
product
Lebih lanjut ia menjelaskan, metode kualitatif memiliki latar belakang ilmu-ilmu humanitis
atau Geisteswissenschaften, dengan kultur dan komunikasi bisa dipahami sebagai sumber
makna (meaning) dalam batasan-batasan fenomenologis dan kontekstual. Sebagai
akibatnya, analisis kualitatif berfokus pada munculnya (occurrence) obyek analitik pada
konteks tertentu. Implikasi lainnya, analisis kualitatif menggunakan pendekatan internal
untuk dalam memahami budaya, menginterpretasikan dan mungkin hingga melibatkan diri
Universitas Gadjah Mada
secara total. Pada tingkat ini, isi media dan bentuk budaya dapat dipandang sebagai sesuatu
yang membangkitkan keunikan, sebuah pengalaman (experience) yang utuh tak terbagi agar
dapat memberi penjelasan atau penafsiran (exegesis) padanya. Pendekatan kualitatif
menguji produksi makna sebagai sebuah proses (process) yang dikontekstual dan
diintegrasikan dengan praktek-praktek sosial dan budaya yang lebih luas.
Sebaliknya, metode kuantitatif diyakini memiliki latar belakang ilmu-ilmu natural atau
Naturwissenschaften, dengan kultur dan komunikasi bisa dipahami sebagai sumber
informasi (information) dalam pengertian suatu pesan bermakna yang dibawa melalui media.
Sebagai akibatnya, analisis kuantitatif berfokus pada muncul kembalinya (recurrence) hal-hal
yang sama meskipun pada konteks yang berbeda. Implikasi lainnya, analisis kuantitatif
menggunakan pendekatan external untuk menjaga jarak terhadap nilainilai budaya yang
ada. Pada tingkat ini, isi media dan bentuk budaya dapat dipandang sebagai suatu set
stimuli yang dapat dimanipulasi melalui experiment dan menghasilkan variabel-variabel yang
dapat diukur (measured). Pendekatan kuantitatif berfokus pada halhal konkrit hasil dari suatu
produksi makna.
Seperti telah disinggung di muka, Anderson (1998: 206) secara spesifik menjelaskan
perbedaan antara metode kualitatif dan kuantitatif atas dasar landasan kelompok objectivist
dan landasan hermeneutic. Lebih lanjut Anderson menjelaskan bahwa hermeneutic
empiricism menempatkan wilayah studi manusia beserta penjelasanpenjelasannya dalam
domain tanda (sign). Domain ini mempertemukan hermeneutic empiricism dengan fenomena
yang ditujunya; suatu fenomena yang merupakan konstruksi manusia, yang secara ontologis
tergantung pada perspektif yang diikutinya, dan yang berada pada suatu hubungan yang
keefektifannya ditentukan oleh pencapaian manusia.
ini
yang
kemudian
menjadi
kumpulan
pengalaman
dan
bahan
untuk
dideskripsikan, diinterpretasikan, dianalisis, dimaknai dan dikritik. Dalam kalimat yang lebih
singkat, Griffin (2003: 508) menyebut hermeneutic sebagai suatu studi dan sekaligus praktek
interpretasi.
Hermeneutic sendiri pada dasar dan awalnya lebih terkait dengan studi yang
menginterpretasikan naskah-naskah kuno. Fokus terhadap ini kemudian mengarah pada
studi tekstual setelah Dilthey dan Gadamer membakukan dan memperluas cakupannya
(Palmer, 1969). Metode hermeneutic lebih jauh dapat diterapkan pada segala situasi saat
seorang peneliti berusaha mencermati ulang makna-makna kesejarahan, sehingga
hermeneutic kemudian dianggap sebagai metode yang aplikabel untuk pendekatan
interpretif kalangan antropolog dan mereka yang terjun dalam cultural studies.1
1 Beragam nama muncul dan diklaim oleh peneliti yang memakai pendekatan interpretif. Di
antaranya: hermeneuticists, poststructuralists, deconstructivists, phenomenologists, cultural
studies researchers dan social action theorists. Lihat Griffin (2003: 9).
Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, rentang peta antara empirisme objective
dan hermeneutic (interpretive) digambarkan dengan baik oleh Griffin (2003: 508-511). Ia
Universitas Gadjah Mada
memetakan permasalahan itu dalam suatu skala dengan hermeneutic pada akhir skala.
Seperti telah disinggung di depan, penganut objective berpegang pada realitas social yang
tunggal, bebas dan otonom. Prinsip-prinsip teoritik utama dalam pandangan mereka adalah
ahistoris dan tidak tergantung pada kondisi lokal. Penganut interpretive, di sisi lain,
menganggap realitas sebagai keadaan yang dibuat (conferred status). Interpretasi adalah
upaya
manusia
yang
menjadikannya
sebagai
data,
dan
teks
tidak
pernah
menginterpretasikan dirinya sendiri. Pengetahuan harus dilihat dari sudut pandang tertentu,
yang konsekuensinya tidak bisa secara sembarangan melintasi batas waktu dan ruang.
Griffin (2003: 510) lebih lanjut mencoba membuat klasifikasi sejumlah teori
komunikasi atas dasar pandangan objective dan interpretive. Klasifikasinya dapat dilihat
pada bagan berikut:
10
Bagan 4
Teori Komunikasi dan Pandangan Objective dan Interpretive
Objective
Teori
1
Interpersonal Communication
Symbolic Interactionism
Coordinated Management of Meaning
Expectancy Violations Theory
Interpersonal Deception Theory
Constructivism
Social Penetration Theory
Uncertainty Reduction Theory
The Interactional View
Relational Dialectics
Social Judgment Theory
Elaboration Likelihood Model
Cognitive Dissonance Theory
Group and Public Communication
Functional Perspective on Group Decision
Making
Adaptive Structuration Theory
Symbolic Convergence Theory
Information Systems Approach
Cultural Approach
Critical Theory of Communication Approach
The Rhetoric
Dramatism
Narrative Paradigm
Mass Communication
Technological Determinism
Semiotics
Cultural Studies
Cultivation Theory
Agenda-Setting Theory
The Media Equation
Cultural Context
Anxiety/Uncertainty Management Theory
Face-Negotiation Theory
Speech Codes Theory
Genderlect Styles
Standpoint Theory
Muted Group Theory
Interpretive
Skala
2
3
4
5
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
11
12