Anda di halaman 1dari 14

1

Critical Discourse Analysis


[Analisa Wacana Kritis]
Sumbangannya dalam Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya
Oleh Haryatmoko
Critical Discourse Analysis (Analisa wacana kritis) dilihat sebagai penerapan
analisa kritis terhadap bahasa yang terinsipirasi oleh Marxisme ketika menyoroti
aspek-aspek budaya dalam kehidupan sosial, yaitu ketika dominasi dan eksploitasi
dipertahankan melalui budaya dan ideologi (Wetherell, 2001: 232). Maka perspektif
hegemoni Gramsci besar pengaruhnya terhadap CDA karena mau menggambarkan
tentang kekuasaan dan perjuangan kekuasaan yang mengandalkan pada
persetujuan dari pada koersi, artinya bentuk pengorganisasian konsensus yang
merupakan proses subordinasi kesadaran yang dibangun tanpa kekerasan (koersi),
tapi dengan melandaskan pada budaya dan persuasi intelektual. Maka bahasa dan
wacana sangat berperan. Sementara Althusser melihat ideologi bukan sebagai
sesuatu yang abstrak, tetapi bagian dari kegiatan kongkrit atau praksis sosial.
Ideologi dipandang sebagai cara orang memposisikan diri dalam cara tertentu
sebagai subyek sosial. Maka bahasa menjadi tumpuan karena bahasa dilihat dari
perspektif ideologi, artinya bahasa dilihat dalam konstruksi ideologis subyek
(Wetherell, 2001: 233). Mikhail Bakhtin mengatakan bahwa tanda-tanda linguistik
merupakan materi ideologi.
Gagasan tentang kritis diambil dari perspektif Mashab Frankfurt, yaitu
bahwa proses budaya berdampak pada kehidupan sosial dan merupakan lingkup
perjuangan melawan dominasi dan ketidakadilan untuk emansipasi. Habermas
mengembangkan versi teori kritis dengan komunikasi yang meletakkan dasar
normatif untuk mengkritisi bentuk-bentuk komunikasi yang secara sistematis telah
dimanipulasi. Sumbangan besar yang tidak bisa diabaikan adalah konsep wacana
menurut Michel Foucault. Baginya, wacana merupakan sistem pengetahuan yang
memberi informasi tentang teknologi sosial dan teknologi memerintah yang
merupakan bentuk kekuasaan dalam masyarakat modern.
Para pioner CDA (Critical Discourse Analysis) seperti N. Fairclough, T. A. van
Dijk, T.van Leeuwen, R. Wodak mendapat inspirasi dari gagasan Foucault tentang
hubungan pengetahuan, kekuasaan dan kebenaran yang bertumpu pada wacana.
Wacana dilihat sebagai bahasa dalam praksis sosial, atau bahasa yang menjadi
peristiwa sosial. Jadi wacana menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan
(cara untuk merepresentasikan pengetahuan) tentang topik khusus pada periode
sejarah tertentu. Foucault tertarik pada wacana lebih sebagai aturan-aturan dan
praktik-praktik wacana yang menghasilkan masalah-masalah yang bermakna dan
diatur sesuai dengan periode sejarah, artinya ada struktur pemaknaan yang
menentukan pada suatu periode serajah tertentu. Filsuf post-strukturalis Prancis ini
menggunakan istilah pistem untuk menunjuk struktur pemaknaan yang dominan
pada suatu jaman. Bagaimana memahami logika Foucault ini bahwa kekuasaan,
kebenaran dan pengetahuan tidak bisa lepas dari wacana. Praksis sosial
memerlukan makna dan makna tidak bisa lepas dari bahasa, sedangkan makna
mempertajam serta mempengaruhi apa yang kita lakukan, maka semua praktik
sosial mengandung dimensi wacana.
Bahasa biasa dipahami sebagai alat untuk komunikasi. Namun bukan hanya
berhenti menggunakan bahasa untuk komunikasi, bahasa juga dipakai untuk
melakukan sesuatu (M.Wetherell, 2001:3). Bahkan bahasa oleh Pierre Bourdieu

2
dilihat sebagai instrumen kekuasaan (Bourdieu, 1982: 60) Hubungan sosial pada
dasarnya adalah hubungan dominasi. Dan sebagai interaksi simbolis, hubungan
komunikasi mengimplikasikan adanya hubungan antara pengetahuan dan
kekuasaan. Dengan demikian hubungan komunikasi ditandai oleh pertukaran
wacana sebagai hubungan kekuasaan simbolis.
Wacana Mengarahkan Tindakan
Wacana sering dipahami sebagai interaksi simbolis dalam berbagai bentuk
seperti pembicaraan, tulisan, kial, gambar, diagram, film atau musik. (M. Bloor,
2007:1-2). Analisa Wacana Kritis (CDA) tertarik pada cara bagaimana bahasa dan
wacana digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, termasuk untuk
pemeliharaan kohesi sosial atau perubahan-perubahan sosial. Peran bahasa dan
wacana ini bisa dipahami karena bahasa mampu mendefinisikan dan menghasilkan
obyek pengetahuan tertentu, misalnya, definisi psikologi tentang kedewasaan
yang mengacu pada sifat orang yang terbuka, bisa kerjasama, mampu
mendengarkan, bertanggungjawab. Maka psikolog akan diminta untuk membantu
menyeleksi calon pimpinan yang memiliki ciri-ciri kedewasaan seperti itu.
Pengetahuan ini akan mempengaruhi bagaimana gagasan-gagasan itu dipraktikkan
dan digunakan untuk mengatur perilaku. Penerimaan karyawan, seleksi pimpinan,
syarat masuk perguruan tinggi akan bertumpu pada kriteria yang sudah ditetapkan
ilmu psikologi itu. Wacana ilmiah ini akan mengatur cara membahas sesuatu,
mendefinisikan, cara bicara, menulis, dan bertindak. Itulah artinya wacana
merupakan praktik sosial.
Dalam definisi Ricoeur, waacana meliputi empat unsur, yaitu pertama, ada
subyek yang menyatakan; kedua, kepada siapa disampaikan; ketiga, dunia atau
wahana yang mau direpresentasikan; dan keempat, temporalitas atau konteks
waktu. Pemahaman unsur-unsur wacana Ricoeur ini bisa membantu menjelaskan
mengapa oleh Foucault dan Wetherell, wacana dilihat sebagai praksis sosial.

Perbedaan Konsep Wacana


menurut Foucault, Wetherell dan Ricoeur
M. Foucault
Definisi

Praksi Sosial

Dasar
Pengetahua
n

Wacana: 1)cara
menyediakan bahasa utk
membuat pernyataan
(cara merepresentasikan
pengetahuan) ttg topik
khusus pd periode sejarah
tertentu 2)praktik yg
terorganisir dan
mengorganisir, mengubah
konstelasi sosial dan
menghasilkan sesuatu
-Praksis sosial memerlukan
makna yg mempertajam &
mempengaruhi apa yg
dilakukan. Jadi semua
praktik sosial mengandung
dimensi wacana

M.Wetherell
-Bahasa dalam
penggunaannya:
bagaimana orang
berkomunikasi dan
menggunakan bahasa
untuk melakukan
sesuatu
-Bagaimana
memproduksi makna
dlm kehidupan sosial
.
-Praksis sosial selalu
diskursif, diorganisir
oleh nilai, representasi
kebutuhan, estetika
-Praksis sosial
diorganisir sesuai

P.Ricoeur
-Ada subyek yang
menyatakan
-Kepada siapa
disampaikan
-Dunia/wahana yg
mau
direpresentasik
-Temporalitas atau
konteks waktu
-Memahami diri
lebih baik

-Melalui mediasi
tanda, simbol, teks

3
-Tempat berlangsung
kekuasaan: tempat
pembentukan &
perkembangan
pengetahuan.
Subyek yg dipersonifikasi
membuka pengetahuan
macam apa?-Semua
pengetahuan menjamin
beroperasinya kekuasaan.
Ingin tahu: proses
dominasi thd obyek &
orang.

dengan sejarah
pemaknaan manusia.
-Praksis sosial
praksis wacana
-Analisa Wacana
membawa ke debat
tentang pendasaran
pengetahuan,
pembentukan
subyektivitas dan
pengaturan
masyarakat.

-Mimesis

Asumsi dasar CDA ialah bahwa bahasa digunakan untuk beragam fungsi dan
bahasa mempunyai berbagai konsekuensi. Bisa untuk memerintah, mempengaruhi,
mendeskripsi, mengiba, memanipulasi menggerakkan kelompok atau membujuk.
Setiap penggunaan bahasa mengandung konsekuensi-konsekuensi baik yang bisa
diramalkan maupun yang tidak diharapkan. Maka sangat tergantung pada
pemaknaannya, padahal pemaknaan diarahkan oleh unsur-unsur sintaksisnya.
Hanya berbeda dari dekonstruksi Derrida atau strukturalisme Greimas, menurut
Bourdieu, makna bahasa juga berasal dari luar bahasa. Misalnya pada jaman Orde
Baru, orang mengucapkan akhiran -kan berbunyi -ken hanya karena Presiden
Soeharto, melakukannya. Karena orang nomor satu di Indonesia jaman itu, memiliki
kapital simbolik, ia mempengaruhi cara kebanyakan orang berbicara atau bertindak.
Oleh karena itu, bahasa sekaligus dikonstruksi dan mengonstruksi.
Wacana: Hasil Strategi Konstruksi
Bahasa dikonstruksi karena makna bahasa dibangun dari unsur-unsur
sintaksisnya, tetapi juga pemaknaannya juga ditentukan oleh tiga aspek bahasa,
yaitu locutionary, illocutionary dan perlocutionary (Austin, 1975). Aspek locutionary
bahasa dimaksudkan bahwa obyek analisa wacana terkait dengan maksud dan
makna wacana. Aspek illocutionary bahasa mau menjelaskan bahwa setiap
pernyataan memiliki implikasi subyek terhadap pewicara (memerintah, meminta,
membujuk, menuduh, berjanji). Sedangkan aspek perlocutionary bahasa
memperhatikan efek terhadap lawan bicara, pendengar, pembaca, pemirsa (sedih,
terharu, semangat), dan kemampuan wacana menciptakan realita. Atas dasar aspek
yang ke tiga ini, teks mempunyai dampak atau konsekuensi sosial, politik, kognitif,
moral dan material. Akibatnya, fenomen yang sama bisa dideskripsikan dengan
beragam cara sehingga banyak terdapat variasi dalam membuat laporan atau
cerita.
Analisa wacana kritis mendasarkan asumsi bahwa proses mental itu konstruktif.
Representasi mental berasal dari membaca teks, bukan hanya mengkopi teks atau
maknanya. Maka wacana adalah hasil proses strategis konstruksi atau memberi
makna yang menggunakan unsur-unsur teks. Dan unsur-unsur itu diketahui
pengguna bahasa dalam kaitannya dengan konteks. Konstruksi ini menyangkut
dunia sosial. Peran teks dalam konstruksi dunia sosial cenderung lebih idealis dari
pada realis karena sifat tekstualnya. Bisa dikatakan realis bila aspek dunia sosial
seperti institusi secara sosial dikonstruksi, begitu dikonstruksi institusi menjadi
realitas yang berdampak dan membatasi konstruksi tekstual sosial. Secara tekstual,
dunia sosial bisa dikonstruksi, namun representasi itu akan mengubah

4
konstruksinya tergantung pada banyak faktor kontekstualnya. Konteks ini terkait
juga dengan budaya masyarakat.
Oleh karena itu dalam wacana selalu sudah ada unsur-unsur kepercayaan yang
sudah dimiliki sebelum mulai komunikasi yang tergantung pada budayanya
(habitus, pra-pemahaman). Jadi habitus dan pra-pemahaman menentukan sikap
pewacana yang hadir di dalam pemaknaan. Bila obyek yang dianalisa adalah sikap,
apakah mungkin membuat deskripsi netral? CDA berperan juga mengungkapkan
situasi mental responden karena yang terakhir ini dilibatkan dalam memproduksi
rumusan bahasa yang disesuaikan dengan konteks. Dari perspektif CDA, memberi
pemaknaan atau konteks berbeda akan menghasilkan sikap yang berbeda pula. Jadi
sikap yang terungkap di suatu kesempatan, akan berbeda bila konteksnya lain.
Maka tidak mudah memilah secara ketat perbedaan berbagai laporan atau cerita.
Tidak ada cara mudah untuk menyaring beragam cerita atau laporan, apalagi
ada beragam bentuk harafiah, fiksi, atau representasi. Dalam suatu pernyataan,
cerita atau laporan, selalu ada retorika dan penyesatan. Melalui CDA, beragamnya
wacana itu mau dibuka kedoknya karena rekayasa dan kepentingan bisa
bersembunyi. Tujuan akhir CDA sampai pada membongkar bentuk-bentuk dominasi
yang tersembunyi, diskriminasi atau prasangka yang merugikan. Peran bahasa
sangat menentukan, maka harus dianalisis dan dibongkar kepentingan, nilai atau
ideologi di baliknya. Tipe tindakan atau wacana yang sangat rentan terhadap
ideologi dapat ditelusuri dari tipe-tipe wacana yang dibentuk dari dua porosnya,
yaitu penggunaan pragmatisnya dan mode penggunaan tanda.

TIPE-TIPE WACANA UTAMA MENURUT MORRIS


PENGGUN
AAN
INFORMATI
MODE
F

PENILAIAN

DORONGAN

SISTEMIK

DESIGNATIF

Ilmiah

Fiktif

Legal

Kosmologis

APPRAISIF

Mistis

Puitis

Moral

Kritis

PRESKRIPTIF

Teknologis

Politis

Religius

Propaganda

FORMATIF

LogikaMatematik

Retorika

Gramatika

Metafisik

Contoh tipe-tipe utama wacana menurut Morris (dalam W.Nth, Handbook of


Semiotics, 1995: 55)

Di satu sisi, Morris membedakan tiga cara pemaknaan secara pragmatis dengan
memberi contoh, dering bel di asrama pada jam tertentu bisa memiliki makna
(Nth, 1995: 55): pertama, menunjuk pada (designatif) makanan; kedua, diapresiasi
(apraisif) secara positif karena akan memuaskan rasa lapar; ketiga, menganjurkan
(preskriptif) suatu response untuk bertindak sesuatu (pergi ke ruang makan). Ketiga
cara ini terlibat dalam suatu proses semiosis: yaitu pernyataan bersifat menunjuk
(designatif), penilaian bersifat positif (apraisif), dan imperatif ditandai dengan
anjuran (preskriptif).

5
Di sisi lain, dimensi penggunaan tanda memfokuskan pada aspek pragmatik
semiosis. Tujuan membuat tanda ditafsirkan oleh organisme lain. Ada empat
penggunaan tanda: pertama, informatif ketika tanda digunakan untuk memberi
informasi tentang sesuatu; kedua, valuatif apabila tanda membantu dalam pilihan
menyeleksi obyek; ketiga, tanda bersifat mendorong pada saat tanda mendorong ke
serangkaian response; dan akhirnya keempat, tanda mengorganisir perilaku yang
dihasilkan oleh tanda-tanda. Tujuan cara penggunaan itu tercapai bila informasi itu
meyakinkan; valuatif itu berhasil bila efektif; dorongan itu mencapai tujuannya bila
bersifat persuasif; dan sistemik bila sistemnya benar. Jadi tipe-tipe wacana bisa
dikenali dari penggunaannya dan pemaknaan pragmatisnya. Dengan demikian
kedua aspek ini membantu CDA membongkar ideologi yang melekat pada bahasa.
Obyek CDA adalah semua sumber data, bisa berupa dokumen, kertas diskusi,
perdebatan parlemen, pidato, kartun, foto, koran atau sumber media lain, termasuk
risalah politik dan pamflet. Dalam CDA, analisa teks tidak hanya berhenti pada
obyek analisa di depannya,namun harus diperhitungkan juga analisa kontra-wacana
dan bentuk-bentuk ungkapan perlawanan lainnya. Teks sebagai fakta sosial
mengandung unsur peristiwa sosial yang bisa menjadi penyebab perubahan dalam
pengetahuan, kepercayaan, sikap, dan nilai. Maka CDA melihat teks sebagai fakta
yang bisa mempertajam identitas masyarakat baik sebagai konsumen, maupun
dalam identitas gendernya, misalnya melalui iklan. Teks bisa memicu konflik,
mengubah pendidikan, atau hubungan industri.
Kekhasan CDA dan Tujuannya
Dalam analisa wacana, ada pretensi analis mengambil jarak, hubungan
dengan teks obyektif, tidak melibatkan diri atau mengambil posisi. Sedangkan
dalam CDA, analis mengambil posisi, berpihak dan membongkar, mendemistifikasi
bentuk-bentuk dominasi melalui analisa wacana. Jadi dalam CDA terkandung
tanggung jawab moral dan politik. Maka fokus pada masalah sosial menjadi relevan.
Analisa dan deskripsi teori berperan untuk mengkritisi ketidakadilan biasanya atas
dasar gender, etnis, kelas, agama, atau bahasa.Tujuan akhir yang mau dicapai oleh
CDA bersifat ilmiah dan terutama untuk perubahan sosial dan politik. Maka analis
CDA diharapkan menjadi agent of change dan solider dengan mereka yang
membutuhkan perubahan. Jadi CDA sangat berbeda dari sekedar analisa wacana
yang berpretensi obyektif.
Perbedaan Critical Discourse Analysis dan Analisa Wacana Obyektif

1.Struktur
Pengetahuan
2.Kerangka
Acuan

3.Tujuan

Analisa Wacana
(Obyektif)

Critical Discourse Analysis


(CDA)

-Deskripsi tentang fakta


dengan ambisi bebas
nilai ; obyektif
-Tidak mau condong ke
nilai atau politik
tertentu ; mengambil
jarak; untuk
menjelaskan, kontrol dan
prediksi
.
-Memberdayakan bentuk-

-Pengembangan dari tradisi ilmu


sosial kritis; tidak bebas nilai;
subyek harus ikut terlibat
-Dimotivasi oleh tujuannya memberi
dasar ilmiah bagi pertanyaan kritis
thd kehidupan sosial dlm rangka
moral, politik, keadilan sosial &
kekuasaan (berpihak)
-Menumbuhkan kesadaran kritis
-Membongkar bentuk-bentuk

6
bentuk kehidupan sosial
agar bisa bekerja lebih
efektif dan efisien tanpa
merasa terlibat dalam
masalah moral dan
politik

dominasi yg disembunyikan
menjadi agent of change
-Menghasilkan pengetahuan untuk
melawan cara memerintah yang
dominan
-Menantang kebebasan untuk
membuka kemungkinan bertindak
kreatif

Tujuan yang mau dicapai CDA: Pertama, menganalisa praktik wacana yang
mencerminkan atau mengkonstruksi masalah sosial; kedua, meneliti bagaimana
ideologi dibekukan dalam bahasa dan menemukan cara bagaimana mencairkan
ideologi yang mengikat bahasa atau kata; ketiga, meningkatkan kesadaran agar
peka terhadap ketidakadilan, diskriminasi, prasangka dan bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekuasaan. Maka dibutuhkan pembongkaran hubungan antara
bahasa dan ideologi dengan cara menunjukkan pemaknaan bahasa di dalam
hubungan kekuasaan dan hubungan sosial. Upaya ini mengandaikan ada penelitian
tentang bagaimana makna diciptakan di dalam konteks tertentu, termasuk meneliti
peran tujuan pembicara atau penulis atau posisi pengarang dalam konstruksi
wacana.
Prinsip-Prinsip CDA menurut van Dijk
Prinsip-prinsip analisa wacana kritis menurut van Dijk ada dua belas (penulis
terjemahkan dengan beberapa perubahan dari Discourse as Structure and Process,
1997: 29-31): 1.Teks atau pembicaraan sungguh terjadi; 2.Melihat Konteks; 3.
Wacana adalah bentuk pembicaraan; 4.Wacana merupakan praktek sosial; 5.
Sebaiknya kategori-kategori analis dihindari; 6. Sequensialitas; 7. Konstruktivitas;
8.Tingkat dan Dimensi 9. Makna dan Fungsi; 10. Aturan interaksi; 11. Strategi; dan
12. Kognisi Sosial.
Pertama, teks atau pembicaraan memang sungguh terjadi. Maka studi
tentang wacana memfokuskan pada pembicaraan atau teks yang memang pernah
berlangsung, bukan dibuat-buat atau hanya dari contoh yang dikonstruksi seperti
fiksi atau dramatisasi. Obyeknya harus merupakan data yang diambil dari realitas,
bisa berupa tape, video yang merekam pembicaraan atau peristiwa, atau teks yang
digunakan dalam media massa atau pendidikan. Data pada prinsipnya tidak atau
belum diedit, tapi dipelajari seperti adanya, sedekat mungkin dengan munculnya,
atau digunakan dalam konteks orisinal.
Kedua, melihat konteks berarti bahwa wacana dipelajari sebagai bagian dari
yang melekat dengan konteks lokal dan global, atau sosial dan budaya. Teks dan
pembicaraan menunjukkan relevansi kontekstualnya. Lalu konteks strukturnya perlu
diamati dan dianalisa secara mendetil. Konsekuensi-konsekuensi wacana mungkin
bisa berupa setting, partisipan dan peran komunikatif dan sosial, tujuan,
pengetahuan sosial yang relevan, norma, nilai, struktur institusi dan organisasi.
Ketiga, wacana adalah pembicaraan. Kecenderungan studi wacana dewasa ini
fokus pada interaksi verbal dalam pembicaraan informal, atau lebih formal atau
dialog institusional. Pembicaraan lisan sering dianggap sebagai bentuk wacana
yang paling asali, meskipun hierarki yang menempatkan lisan lebih tinggi dari
tulisaan ini sangat dikritik oleh Derrida.

7
Ke empat, wacana merupakan praksis sosial. Wacana tertulis maupun lisan
merupakan bentuk praktik sosial dalam konteks sosio-budaya tertentu. Pengguna
bahasa terlibat dalam wacana bukan hanya sebagai pribadi, tapi sebagai anggota
kelompok, wakil dari institusi atau representasi budaya. Melalui wacana, pengguna
bahasa melakukan, meneguhkan, menantang atau mengubah struktur-struktur
serta institusi sosial dan politik secara lebih menyeluruh.
Kelima, masalah yang terkait dengan kategori-kategori, dalam analisa
wacana, diharapkan untuk menghindari mau memaksakan pengertian-pengertian
dan kategori-kategori analis. Perlu memperhatikan dan menghormati cara anggotaanggota masyarakat itu sendiri menafsirkan, mengarahkan dan mengkategorisasi
ciri-ciri dunia sosial dan perilaku mereka, termasuk wacana itu. Bukan berarti analis
tidak boleh melampaui kategori common-sense pengguna bahasa atau
menggunakan teori-teori, tetapi kedekatan dengan fenomena sosial mempengaruhi
hasil analisa. Pertimbangan ini tidak lepas dari asumsi bahwa CDA tidak bebas nilai.
Ke enam, pemenuhan atau pelaksanaan wacana dianggap linear dan
berurutan (sekuensial), artinya urutan tatanan itu terjadi baik dalam produksi
maupun pemahaman wacana yang berupa pembicaraan ataupun teks. Implikasinya
di semua tingkat, unit struktural (kalimat, proposisi, atau tindakan) harus dideskripsi
atau ditafsirkan sesuai dengan yang mendahuluinya. Hubungan wacana seperti ini
mengutamakan fungsi, artinya unsur berikutnya punya fungsi dalam kaitannya
dengan yang mendahului. Maka unsur intertekstualitas harus diperhitungkan.
Pengguna bahasa mengoperasikan seperti melakukan suatu bentuk percobaan
dengan cara menafsirkan kembali atau memperbaiki pemahaman atau tindakan
yang terdahulu.
Ke tujuh, CDA mengandaikan konstruktivitas, maksudnya wacana merupakan
hasil konstruksi. unit-unit yang pokok secara fungsional digunakan, dipahami atau
dianalisa sebagai unsur-unsur yang lebih luas, yang juga menciptakan strukturstruktur hirarki. Unsur ini diterapkan untuk membentuk makna dan interaksi. Aspek
konstruksi ini menunjukkan bahwa orang menggunakan bahasa untuk membangun
versi dunia sosialnya. Dan sifat konstruksi ini terkait dengan fungsinya, artinya
analisa fungsi bahasa tidak hanya masalah jenis wacana, tetapi juga tergantung
pada penganalisa, pembaca, dan konteksnya. Maka wacana diarahkan oleh
fungsinya, yaitu memeriksa bahasa dalam beragam variasinya. Cerita atau laporan
berbeda sesuai denga fungsinya, tujuan wicara, perasaan orang yang
mendeskripsikan.
Ke delapan, tingkat dan dimensi mau menunjukkan bahwa analisa wacana
secara teoritis memilah wacana dalam berbagai tingkat, dimensi dan lapisan
sekaligus saling berhubungan. Tingkat-tingkat itu merupakan tipe-tipe fenomena
berbeda yang terlibat dalam wacana seperti suara, bentuk, makna, tindakan.
Pengguna bahasa secara strategis mengatur beberapa tingkat dan dimensi
sekaligus.
Ke sembilan, makna dan fungsi dimaksudkan bahwa pengguna bahasa dan
analis ada di belakang makna. Dalam pemahaman dan analisa, mereka bertanya
Apa yang dimaksud di sini? Bagaimana ini bermakna dalam konteks sekarang?.
Prinsip seperti ini ada implikasi fungsional dan penjelasan seperti pertanyaan
Mengapa ini dikatakan atau dimaksudkan di sini?
Ke sepuluh, aturan interaksi mengandaikan bahwa bahasa, komunikasi,
seperti wacana, ada aturannya. Teks dan pembicaraan dianalisa sebagai
manifestasi atau tindakan gramatika, tekstual, aturan-aturan komunikasi atau
interaksi yang secara sosial dialami. Studi wacana aktual juga fokus pada

8
bagaimana aturan-aturan itu bisa dilanggar, diabaikan, diganti dan apa fungsi
wacana atau konteks dengan pelanggaran yang semu atau real seperti itu.
Ke sebelas, ada strategi, artinya pengguna bahasa mengetahui dan
menerapkan strategi interaksi dalam pemahaman yang efektif dan pewujudan
tujuan-tujuan komunikasi dan sosial. Relevansi strategi bisa dibandingan dengan
permainan catur. Pemain catur perlu mengetahui aturan-aturan supaya bisa
bermain dengan taktik yang efektif, misalnya, bagaimana menentukan permulaan
gerak yang menguntungkan, dan langkah khusus dalam keseluruhan strategi untuk
bertahan atau menang.
Ke duabelas, peran kognisi sosial. Peran ini terkait dengan proses mental dan
representasi dalam produksi dan pemahaman teks serta pembicaraan. Aspek-aspek
wacana (makna, koherensi, aksi) dapat dipahami dan dijelaskan secara tepat tanpa
harus mengacu kepada pikiran pengguna bahasa. Selain ingatan pribadi dan
pengalaman kejadian, representasi sosio-budaya pengguna bahasa yang sama
(pengetahuan, sikap, ideologi, norma, nilai) sebagai kelompok berperan dalam
wacana, juga sebagai deskripsi dan penjelasan. Kognisi merupakan sisi sama dari
dua lingkup, yaitu wacana dan masyarakat.
Metodologi CDA, Intertekstualitas dan Framing
Metode CDA memungkinkan menggunakan berbagai cara. Pertama, bisa
melakukan analisa konteks; kedua, bisa menggunakan teknik pengamatan atau
wawancara yang menekankan cara merekam dan menerjemahkan bahasa alamiah;
ketiga, dengan model pengamatan partisipatoris yang menuntut peneliti berperan
di komunitas sehingga bisa mempelajari proses wacana; ke empat, menggunakan
informan atau pakar untuk menjelaskan atau menerjemahkan apa yang terjadi di
komunitas dengan tetap menghormati praktik wacana; kelima, bisa menggunakan
metode framing.
Metode sangat menentukan dalam konstruksi makna, maka harus
diperhitungkan siapa yang terlibat dalam produksi teks seperti produktor,
pengarang, pembicara, atau penulis. Pada tataran teks sendiri, harus dilakukan
analisa struktural atau tingkat relasi. Sedangkan yang ketiga adalah masalah
penerimaan teks. Penerimaan ini menyangkut tafsir, pembaca atau pendengar.
Tekanan pada produktor yang memperhitungkan intensi dan identitas pengarang,
dan teks sendiri, perlu memperhatikan tiga unsur, yaitu pertama, posisi
institusional, kepentingan, nilai, intensi, hasrat dari produktor; kedua, hubungan
berbagai tingkat dalam teks; dan ketiga, posisi institusional, pengetahuan, maksud,
nilai, dan kepentingan penerima.
Agar CDA semakin tajam, orang perlu menganalisa pula hubungan dengan luar
teks yang meliputi dua hal, yaitu pertama, analisa hubungan dengan unsur lain
peristiwa sosial (praktik sosial dan struktur sosial), termasuk aksi, identifikasi dan
representasi. Kedua, dimensi lain hubungan luar teks membahas juga hubungan
antara teks dan teks lain atau sering disebut intertekstualitas. Analisa ini
membahas bagaimana unsur lain secara intertekstual terkait dengan teks; dan
bagaimana suara-suara lain termuat dalam teks; akhirnya, bagaimana teks lain
disinggung, diasumsikan, atau didialogkan. Intertekstualitas ini bisa nampak dalam
dua bentuk: pertama, kehadiran unsur-unsur dari teks lain dalam suatu teks yang
bisa berupa kutipan, acuan, atau isi; kedua, dalam laporan pembicaraan, tulisan
atau pikiran, bukan hanya kutipan yang kita jumpai, namun bisa juga ringkasan.
Maka teks selalu memiliki asumsi.

9
Dalam asumsi, kelihatan apa yang dikatakan dalam teks apakah dimaksudkan
mendukung atau melawan, maka asumsi merupakan latar belakang dari apa yang
tidak dikatakan, namun dianggap ada. Seperti intertekstualitas, asumsi
menghubungkan satu teks dengan yang lain. Hanya asumsi tidak langsung
dikaitkan dengan teks tertentu. Ada hubungan antara teks dan apa yang dikatakan,
ditulis, dipikirkan di suatu tempat. Intertekstualitas dan asumsi bisa dilihat dalam
kerangka klaim pengarang. Apakah yang dilaporkan sungguh dikatakan? Yang
diasumsikan sungguh dikatakan atau ditulis di suatu tempat, atau yang pernah
didengar atau dibaca oleh audience, lawan bicara.
Intertekstualitas dan asumsi mengandaikan sejarah teks dan pemaknaan.
Maka keduanya semakin mempertajam analisa karena bukan hanya pemaknaan
harafiah, tetapi membantu membongkar ideologi atau kepentingan yang sudah
dibekukan dalam bahasa. Kedok ideologis semakin terkuak ketika arah analisanya
jelas. Arah analisa bisa diketahui dari jawaban atas beberapa pertanyaan pengarah,
seperti Apa yang terjadi dalam suatu peristiwa? Lalu, apakah kejadian itu
mempertahankan struktur sosial yang ada, mengubahnya atau memperbaikinya?
Keberpihakkan analis nampak ketika CDA berusaha mengidentifikasi ketidakadilan,
bahaya, penderitaan, diskriminasi atau prasangka. Dalam proses identifikasi ini
tentu penuh dengan ketegangan atau konflik. Namun melalui prosedur semacam
itu, bisa dikuak bahwa masalah sosial muncul dari ketidakbijaksanaan dalam
penggunaan bahasa atau bentuk lain komunikasi. Dengan demikian CDA berfungsi
sebagai instrumen untuk meningkatkan kesadaran dan menunjukkan masyarakat ke
arah perubahan yang lebih adil.
Fairclough menawarkan empat tahap metodologi CDA (2010: 235): pertama,
memfokuskan pada suatu ketidakberesan sosial, dalam aspek semiotiknya. Kedua,
mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani ketidakberesan sosialitu.
Ketiga,
mempertimbangkan
apakah
tatanan
sosial
itu
membutuhkan
ketidakberesan sosial tersebut; keempat, mengidentifikasi cara-cara yang mungkin
mengatasi hambatan-hambatan
Pertama, fokus pada ketidakberesan sosial dalam aspek
semiotiknya Ketidakberesan sosial dipahami sebagai aspek-aspek sistem sosial,
bentuk dan tatanan yang merugikan atau merusak kesejahteraan bersama, yang
bisa diperbaiki meski harus melalui perubahan-perubahan radikal dari sistem.
Ketidakberesan sosial itu meliputi kemiskinan, ketidaksetaran, diskriminasi,
kurangnya kebebasan atau rasisme. Pemahaman tentang ketidakberesan sosial
juga sudah menjadi obyek perdebatan, maka CDA memperhitungkannya dalam adu
argumen. Dua langkah dalam fokus ketidakberesan sosial ini:
Pilihlah sebuah topik penelitian tentang ketidakberesan sosial yang
dapat secara produktif didekati dengan pendekatan lintas ilmu dengan fokus relasi
dialektik antara semiotika dan momen lain (Fairclough, 2010: 235). Misalnya: TKI,
terorisme, globalisasi, diskriminasi (agama, gender). Topik biasanya belum
merupakan obyek penelitian yang koheren, maka butuh menerjemahkan topik itu
menjadi obyek dengan kerangka teori tertentu.
Mengonstruksi obyek penelitian dengan menteoritisasi topik
penelitian lintas ilmu. Misalnya, topik penelitian yang dipilih: tentang rendahnya
upah buruh harus dilihat baik dalamkerangka ekonomi global, maupun pada strategi
mikro-ekonomi dan persoalan daya tawar rendah dari pihak buruh. Sebagai topik
penelitian sosial kritis nampak masuk akal: keprihatinan utama pemerintah dewasa
ini adalah menyesuaikan dengan ekonomi global, dan proses ini sangat berimplikasi
terhadap kesejahteraan buruh. Kesempatan untuk makmur bagi sebagian orang,

10
tapi berakibat penderitaan dan ketidakpastian bagi yang terpinggir. Mengonstruksi
obyek penelitian untuk topik ini harus menggunakan teori yang relevan baik politik
maupun ekonomi yang menteoritisasi dan menganalisa ekonomi global dan
mengambil posisi apa dan bagaimana yang merupakan lingkup keniscayaan suatu
fakta kehidupan. Teori yang membahas tentang realitas dan wacana ekonomi global
dan dampaknya, implikasinya dan percabangannya (Fairclough, 2010: 237).
Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani
ketidakberesan sosial. Pada tahap ini, pendekatan terhadap ketidakberesan
sosial ditempuh dengan cara tidak langsung, yaitu dengan menanyakan cara
bagaimana kehidupan sosial diorganisir dan distruktur sehingga mencegahnya dari
upaya menanganinya. Hal ini butuh analisa tatanan sosial dan satu titik masuk ke
analisa menjadi semiotik. Maka perlu menyeleksi dan menganalisa teks-teks yang
relevan dan membahas hubungan dialektik antara semiosis dan unsur-unsur sosial
lainnya.
Ada tiga tahap pada tingkat ke dua ini: pertama, analisa hubungan-hubungan
dialektik antara semiosis dan unsur-unsur sosial lainnya: antara tatanan wacana
dan unsur-unsur praktik sosial lain, antara teks dan unsur-unsur kejadian. Kedua,
memilih teks, dan fokus dan kategori untuk analisa di bawah terang dan harus
sesuai dengan pembentukan obyek penelitian; ketiga, melakukan analisa teks, baik
analisa interdiskursif maupun analisa linguistik dan semiotik. Tujuannya
mengembangkan titik untuk masuk ke obyek penelitian yang khas semiotik yang
dibentuk di dalam cara lintas ilmu, melalui dialog antara berbagai teori. Analisa
interdiskursif membandingkan genres, wacana dan styles yang diartikulasikan
bersama di dalam suatu teks sebagai bagian khas peristiwa, dan di dalam tatanan
wacana yang lebih stabil sebagai bagian jaringan praktik, yang merupakan obyek
analisa berbagai bentuk sosial (Fairclough,2010: 238).
Ketiga, mengidentifikasi apakah tatanan sosial membutuhkan
ketidakberesan sosial. Apakah ketidakberesan sosial melekat pada tatanan
sosial, apakah dapat ditangani dalam sistem tersebut, atau hanya bisa ditangani
bila diubah. Ini adalah cara menghubungkan antara yang faktual dan yang
seharusnya: jika suatu tatanan sosial dapat ditunjukkan menghasilkan
ketidakberesan sosial yang besar, maka menjadi alasan untuk memikirkan agar
diubah. Hal ini terkait dengan masalah ideologi: wacana selalu ideologis sejauh
menyumbang untuk mendukung hubungan kekuasaan dan dominasi tertentu.
Keempat, mengidentifikasi cara-cara yang mungkin untuk mengatasi
hambatan-hambatan. Analisa pada tahap ini mau mengidentifikasi kemungkinankemungkinan dalam proses sosial yang ada untuk mengatasi hambatan-hambatan
menangani ketidakberesan sosial. Hal ini menyangkut mengembangkan penelitian
agar hambatan-hambatan itu dites, ditantang dan ditolak, baik di dalam kelompok
sosial atau politik yang terorganisir atau gerakan atau secara lebih informal oleh
masyarakat di dalam keseharian hidup pekerjaan, sosial dan keluarga. Fokus
semiotik meliputi cara-cara wacana dominan direaksi, dilawan, dikritisi atau
dibantah (dalam argumentasi, dalam representasi dunia, dalam representasi
identitas sosial)
Untuk mencapai tujuan itu, metode framing sering dianggap sangat membantu.
Framing merupakan perspektif teoritis tentang bagaimana orang, kelompok dan
masyarakat mengorganisir, mempersepsi atau mengomunikasikan realitas. Jadi
frame berbentuk konstruksi tentang fenomena sosial oleh sumber media massa,
gerakan politik atau sosial, pemimpin politik, aktor atau organisasi. Dalam metode
framing, kelihatan bagaimana liputan media menentukan atau mempengaruhi opini

11
publik. Jadi frame bisa dipahami dalam dua bentuk, pertama, skemata yang ada di
pikiran kita, yang berarti representasi mental, interpretasi atau penyederhanaan
realitas. Kedua, frame yang ada dalam komunikasi, yaitu komunikasi frame antara
para aktornya. Sedangkan hasilnya, framing memiliki dua pola, yaitu equivalence
frame, yang mau merepresentasikan potret, mewakili dengan cara lain; dan
emphasis frames, yang mau menyederhanakan realitas dengan memfokuskan pada
salah satu bagian atau aspek dari suatu situasi atau masalah. Jadi dalam framing,
sebetulnya orang mendefinisikan dan menggunakan seperangkat unsur retorika
sedemikian rupa untuk mendorong penafsiran tertentu atau menghindari cara
penafsiran yang lain.
Menurut Dietram A. Scheufele (1999: 115), ada berbagai frame media yang
saling bersaing untuk menentukan frame tertentu agar digunakan untuk memahami
suatu masalah. Akhirnya hanya satu frame akan berpengaruh karena lebih bergema
dengan budaya masyarakat, atau karena sesuai dengan praktek media dan
didukung oleh elite. Ada tiga unsur Frame Building: norma journalis, aktor politik,
dan konteks budaya. Terkait dengan norma jurnalis, dalam produksi berita, ada 5
aspek yang menentukan bagaimana jurnalis mem-frame masalah: (i) nilai dan
norma masyarakat yang lebih luas; (ii) tekanan organisasi; (iii) tekanan kelompok
kepentingan dan pembuat kebijakan; (iv) rutinitas professional; dan (v) orientasi
ideologi dan politik para jurnalis. Sedangkan yang terkait dengan aktor politii,
mereka yang dianggap potensial mempengaruhi frame building: elites, termasuk
kelompok kepentingan, birokrasi pemerintah dan aktor politik dan korporasi.
Akhirnya, konteks budaya masyarakat sangat menentukan frame karena makna
suatu frame punya akar budaya. Dengan kata lain, frame media akan efektif bila
merupakan gema budaya atau ungkapan kesetiaan naratif komunitas.
Ketika sudah berhadapan dengan frame berita yang baru, tahap framing
selanjutnya adalah mengatur agar orang menerima konstruksi yang diterapkan
pada suatu masalah atau disebut frame setting (Scheufele, 1999: 116). Pada
tataran ini, ada beragam tingkat dan tipe pengaruh frame. Biasanya pakar media
akan fokus pada perubahan sikap dan perilaku audience dengan memperhitungkan
bagaimana suatu masalah dipersepsi, bagaimana keputusan diambil melalui voting
dan pembentukan opini (applicability effect). Aspek lain yang perlu diperhatikan
juga adalah proses psikologinya, artinya berita tentang masalah sosial dianggap
akan mempengaruhi dalam menentukan siapa bertanggungjawab terhadap
sebabnya dan treatment apa yang harus dilakukan. Lalu dampak yang diamati dari
response dan evaluasi pemimpin politik, atau pakar yang dilihat dalam dampak
framing terhadap gaya proses evaluasi penerima dan kompleksitas pemikiran
audience tentang masalah itu.
Sumbangan CDA bagi Penelitian dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya
Ketika manusia menjadi pusat perhatian pengetahuan, fakta yang dialami
dianggap tidak menjelaskan dirinya sendiri, tapi mengacu ke hal lain karena katakata merumuskan sesuatu atau mendeskripsikan mental manusia. Fakta manusia
tidak bisa langsung dipahami sebagai tanda begitu saja. Pemahaman masih
menuntut lagi suatu integrasi acuan ke keseluruhan virtualitas yang tidak bisa
direduksi hanya sebagai sistem sebab-akibat. Misalnya, kial manusia dipahami
sebagai ungkapan maksud seseorang, atau suatu istitusi dikaitkan dengan
kepentingan masyarakat tertentu.
Model merupakan bentuk konstruksi dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya.
Konsep konstruksi menjadi penting. Teks-teks ilmiah merupakan hasil proses

12
konstruksi simbolis di mana berlangsung kerja penalaran dari berbagai macam
bentuk, berulangkali sampai pada kematangan gagasan yang mengantar ke
publikasi (Gardin, dalam Berthelot, 2001: 407). Istilah konstruksi menunjuk pada
hasil akhir penalaran-penalaran tersebut, artinya teks yang dihasilkan pada akhir
proses dan bukan proses itu sendiri. Model menjadi pilihan para peneliti yang
menganggapnya memiliki kelebihan kognitif karena posisi ilmu-ilmu alam. Maka
bahasa matematika atau logika, rumusan sistematis atau informatika menjadi alat
utama bagi kemajuan yang mengarah ke keilmiahan yang semakin canggih (Gardin,
dalam Berthelot, 2001: 408). Peneliti-peneliti lain lebih memilih kisah sebagai
bentuk utama konstruksi yang khas ilmu-ilmu manusia. Mayoritas teks biasanya ada
dalam bentuk kisah; sedangkan modelisasi baru dipakai karena adanya hubungan
kekuasaan yang menekan kisah.
Penafsiran ditawarkan oleh ilmu-ilmu sosial dan budaya, dan filsafat bahasa.
Semua bahasa dianggap sebagai ungkapan bagian dari dunia yang beragam sesuai
dengan budaya, jaman dan evolusi pengetahuan atau kepentingan khas masing
masing. Manusia cenderung menggunakan model sebagai cara berpikir, dalam arti
sekaligus penemu dan dikondisikan oleh kerangka berpikir, situasi mental, fisik dan
sosial. Maka semua tindakan manusia dan hasilnya mengacu secara tersirat ke
model-model (Gardin, dalam Berthelot, 2001: 408). Kegiatan ilmiah melibatkan
proses modelisasi yang terpateri dalam teks yang mengungkapnya dan memberi
pembenaran. Salah satu tanda yang mencolok ialah penggunaan konsep dan
hubungan yang dipinjam dari bahasa alamiah, tetapi juga penggunaan bahasa
simbol di dalam penghitungan baik dalam statistik dan mekanik dalam pengertian
Lvi-Strauss yang diterapkan dalam model struktural (Gardin, dalam Berthelot
2001: 409).
Banyak bidang ilmu sosial dan budaya yang dewasa ini memakai model
penghitungan sehingga perlu memeriksa secara lebih seksama makna model
tersebut. Pengertian sistem representasi mempunyai makna dalam representasi
dan pengolahan pengetahuan sebagai penalaran artifisial. Representasi adalah
seluruh istilah atau variabel yang digunakan oleh peneliti untuk mendeskripsikan
obyek penelitian; dan sistem menampakkan diri melalui hubungan semantik dan
sintaksis yang ditetapkan antara istilah-istilah tersebut (Gardin, dalam Berthelot,
2001: 409). Hubungan sintaksis dan semantik itu mau memberi makna praksis
sosial.
Praksis sosial adalah diskursif karena praksis sosial tidak bisa lepas dari
wacana. Padahal wacana selalu diorganisir menurut nilai-nilai, representasi
kebutuhan manusia, dan estetika. Praksis sosial diorganisir sesuai dengan sejarah
pemaknaan. Maka sangat masuk akal bahwa ilmu sosial dan budaya perlu bantuan
analisa wacana. Selain alasan sifat diskursif wacana sosial, ada alasan metodologi
bagi ilmu pengetahuan sosial dan budaya mengapa membutuhkan CDA karena data
pada dasarnya berupa wacana. Sedangkan alasan epistemologinya terletak pada
jawaban atas pertanyaan bagaimana pengetahuan terbentuk.
Dalam CDA, sebagai kelanjutan dari permasalahan yang sudah dilontarkan
Foucault, muncul juga perdebatan tentang pendasaran pengetahuan, pembentukan
subyektivitas dan pengaturan masyarakat dengan fokusnya pada hakikat makna
Alasan epistemologi ini, seperti semua teori post-strukturalis, akan memfokuskan
pada bagaimana pengetahuan terbentuk (aspek kesejarahan). Studi analisa wacana
dan perkembangan teori bahasa skeptis terhadap permasalahan grand
narrative . Post-modernisme menerima kontingensi, ketidakpastian, ambiguitas
karena menentang modernisme yang terlalu menekankan kebenaran, kemajuan,

13
kepastian, kontrol diri dan masyarakat rasional. Jadi dari perspektif analisa wacana,
bukan hanya bahasa menetapkan makna, namun aspek di luar bahasa juga ikut
menentukan makna.
Akhirnya, alasan metodologi mengapa CDA bisa memberikan sumbangan
yang sangat berarti bagi penelitian ilmu-ilmu sosial dan budaya ialah karena data
ilmu-ilmu sosial dan budaya pada dasarnya berupa wacana. Penelitian dalam ilmu
sosial memakai beragam pendekatan, bisa berupa pengamatan dengan jajak
pendapat, kuestioner, teknik statistik (baik prosentase, grafik, angka, maupun
tabel). Semua pendekatan itu merupakan transformasi wacana yang dijadikan
representasi suatu masalah, dan rumusan jawaban dalam bentuk simbol-simbol
yang diterima.

DAFTAR

PUSTAKA

Altman, Rick, 2001: A Theory of Narrative, Oxford: Blackwell


Austin, J.L., 1975: How to do things with words, Oxford: Oxford University Press
Berthelot, Jean-Michel, 2001, Epistmologie des sciences sociales, Paris: PUF
Bourdieu, P., 1982: Ce que parler veut dire: Lconomie des changes linguistiques, Paris: Fayard
Bloor, Meriel & Thomas, 2007: The Practice of Critical Discourse Analysis.
An Introduction, London: Holder Education
Fairclough, N., 2003, Analysing Discourse. Textual analysis for social research, New York: Routledge
-------------------,2010, Critical Discourse Analysis. The Critical Study of Language. Edinburg: Longman
Foucault, Michel, 1969 : Larchologie du savoir, Paris : Gallimard.
--------------------, 1975: Surveiller et punir. Naissance de la prison, Paris: Gallimard.
--------------------, 1976:Histoire de la sexualit I. La volont du savoir, Paris: Gallimard
--------------------, 1980: Power and Knowledge, edited by C.Gordon, Brighton: The Harvester Press
Fowler, Roger, 1991: Language in the News, Discourse and Ideology in the Press, London: Routledge
------------------, 2009: Linguistic Criticism, Oxford: Oxford University Press

14
Gee, J.P., 2011, How to do Discourse Analysis, New York: Routledge
-----------, 2005, An Introduction to Discourse Anlysis, theory and Method, New York: Routledge
Howarth, David, 2010: Discourse, Berkshire: Open University Press
Johnstone, Barbara, 2008, Discourse Analysis, Oxford: Blackwell
Meyer, Michael & Ruth Wodak, 2009: Methods of Critical Discourse Analysis, London: Sage
Ricoeur, Paul,1986: Du texte laction. Essais dhermneutique II, Paris: Esprit-Seuil.
---------------, 1990: Soi-meme comme un autre, Paris: Esprit-Seuil
Scheufele, Dietram A., Framing as a Theory of Media Effects, Journal of Communication,
Winter 1999, published by International Communication Association.
Van Dijk, Teun A., 1997: Discourse as Structure and Process, London: Sage
Van Leeuwen, Theo, 2008: Discourse and Practice. New Tools for Critical Discourse
Anlysis, Oxford: Oxford University Press
Wetherell, Margaret, 2001: Discourse as Data, Milton Keynes: The Open University
-------------------------, 2001: Discourse Theory and Practice. A Reader, London: Sage

Anda mungkin juga menyukai