Anda di halaman 1dari 21

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembelajaran IPA Biologi
Menurut Hamalik (2011:57), pembelajaran adalah suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan
prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Manusia yang terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga
lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material meliputi buku-buku, papan tulis
dan kapur, fotografi, slide dan film, audio, dan video tape. Fasilitas dan
perlengkapan meliputi ruang kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer.
Adapun prosedur meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik,
belajar, ujian dan sebagainya.
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai den gan bakat, minat, serta perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian
proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian
kompetensi lulusan (Pemendikbud No. 65, 2013).
Biologi merupakan cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan
dengan cara mencari tahu atau memahami alam secara sistematik. Sehingga
biologi bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,
konsep-konsep dan prinsip-prinsip saja tetapi juga merupkan suatu penemuan
(Depdiknas, 2010: 25). Pembelajaran biologi ditekankan pada keaktifan dan
keterlibatan siswa dalam memproses dan mengolah, karena siswa akan lebih
mudah memahami, mengerti dan meresapi konsep-konsep biologi yang dipelajari.
Depdiknas (2003: 30) menyatakan bahwa mata pelajaran biologi bertujuan untuk:
memahami konsep-konsep biologi dan saling keterkaitannya, mengembangkan
keterampilan dasar biologi untuk mengembangkan nilai maupun sikap ilmiah,

menerapkan konsep dan prinsip biologi untuk menghasilkan karya dan teknologi
sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia, mengembangkan kepekaan
nalar untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan proses kehidupan
sehari-hari, meningkatkan kesadaran pelestarian lingkungan, memberikan bekal
pengetahuan
2.2 Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Problem Based Learning dikembangkan sejak 1960, namun di
Indonesia diperkenalkan sejak 1990 (Susetyo, 2004). Problem Based Learning
merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang fokusnya pada siswa dengan
mengarahkan siswa menjadi pebelajar mandiri yang terlibat langsung secara aktif
terlibat dalam pembelajaran berkelompok. Problem Based Learning membantu
siswa untuk mengembangkan keterampilan mereka dalam memberikan alasan dan
berpikir ketika mereka mencari data atau informasi agar mendapatkan solusi
untuk suatu masalah yang otentik (Arends, 2008).
2.2.1 Pengertian Pembelajran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Pengajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah suatu
pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
siswa untuk belajar cara berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
Peran guru dalam pengajaran berbasis masalah adalah mengajukan pertanyaan,
dan memfasilitasi penyelidikan serta dialog. Pengajaran berbasis masalah tidak
dapat dilaksanakan jika guru tidak mengembangkan lingkungan kelas yang
memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Intinya, siswa
dihadapkan situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat menantang
siswa untuk memecahkannya (Nurhadi, 2004: 109). Sukmadinata (2003: 161)
mengatakan bahwa PBL merupakan tipe pembelajaran dimana individu
dihadapkan kepada masalah yang harus dipecahkannya, baik masalah yang
bersifat praktis dalam kehidupan maupun teoritis dalam bidang ilmu.
Menurut Ward dan Stepien (dalam Kamdi et al, 2007:76) Problem
Based Learning merupakan salah satu pembelajaran inovatif yang dapat

memberikan kondisi belajar siswa aktif kepada siswa. Problem Based Learning
adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan
suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan
sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.
2.2.2 Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Gea, et al. (2010: 32) mengatakan bahwa mengatakan bahwa tujuan
dari PBL adalah membimbing siswa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dasar, memiliki ketrampilan memecahkan masalah, juga adanya pengarahan diri
dalam belajar. Problem Based Learning (PBL) merupakan pendekatan yang
efektif untuk mengajarkan proses-proses berfikir tingkat tinggi dengan situasi
berorientasi pada maslah, termasuk didalamnya belajar bagaimna belajar. Menurut
Santyasa (2014) Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu strategi atau
pendekatan yang dirancang untuk membantu proses belajar sesuai dengan
langkah-langkah yang terdapat pada pola pemecahan masalah yakni mulai dari
analisis, rencana, pemecahan, dan penilaian yang melekat pada setiap tahap.
Problem Based Learning (PBL) tidak disusun untuk membantu guru dalam
menyampaikan banyak informasi tetapi guru sebagai penyaji maslah, pengaju
pertanyaan, dan fasilitator.
2.2.3 Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Menurut Abbas et al. (2008: 9-11) karakteristik yang tercakup dalam
proses Problem Based Learning adalah sebagai berikut:
a. Pengajuan masalah atau pertanyaan
Problem Based Learning mengorganisasikan pembelajaran disekitar
pertanyaan dan masalah sosial yang penting bagi siswa dan masyarakat.
Pertanyaan atau masalah itu bersifat otentik (nyata) bagi siswa dan tidak
mempunyai jawaban sederhana.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu
Masalah yang diajukan dalam Problem Based Learning hendaknya
mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu.

c. Penyelidikan yang autentik


Problem Based Learning mengharuskan siswa melakukan penyelidikan
autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Siswa harus
menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen (jika perlu), membuat referensi, dan merumuskan kesimpulan.
d. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Problem Based Learning menuntut siswa untuk menghasilkan produk
tertentu dalam bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk
penyelesaian masalah yang ditemukan. Hasil karya tersebut ditampilkan siswa
didepan teman-temannya.
e. Kolaborasi
Problem Based Learning dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu
dengan lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil
dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dan meningkatkan penyelidikan serta
dialog dalam pengembangan keterampilan berpikir dan keterampilan sosial.
Pada dasarnya metode belajar berbasis masalah ini memerlukan suatu
lingkungan belajar dimana masalah mengendalikan proses belajar mengajar. Hal
ini berarti sebelum siswa belajar mereka diberikan umpan berupa masalah.
Masalah diajukan agar siswa mengetahui bahwa mereka harus mempelajari
beberapa pengetahuan baru sebelum mereka memecahkan masalah tersebut.
Metode ini mencakup sebuah kurikulum dan sebuah proses. Kurikulum yang
terdiri dari masalah-masalah yang telah dirancang dan dipilih dengan teliti, yang
menuntut kemahiran siswa dalam critical thinking (berpikir kritis), problem
solving proviciency (kecakapan memecahkan masalah), self-directed learning
strategies (strategi belajar mandiri) dan team participation skills (kemampuan
bekerja sama kelompok).
2.2.4 Indikator Pemecahan Masalah dalam Problem Based Learning
Langkah operasional yang digunakan sebagai indikator dari setiap langkah
pemecahan masalah menurut Polya (1985):

a. Memahami masalah
1) mengerti apa yang diketahui (data), yang diperlukan tetapi tidak diketahui
2)
3)
4)
5)

dan ditanyakan dari soal yang dihadapi;


mengidentifikasi fakta dan kondisi masalah;
membuat ilustrasi atau gambaran dari permasalahan yang dihadapi;
mengubah situasi masalah menjadi situasi yang kontekstual;
memberikan notasi yang sesuai dalam masalah tersebut.

b. Menyusun rencana penyelesaian


1) mencari hubungan antara data yang diketahui dengan data yang tidak
diketahui dalam masalah tersebut;
2) menghubungkan masalah yang ada dengan masalah sebelumnya;
3) dapat menggunakan teori, fakta, dan kondisi yang ada;
4) memiliki estimasi jawaban.
c. Melaksanakan rencana
1) menjabarkan atau mengerjakan soal berdasarkan strategi yang dihasilkan;
2) menunjukkan bahwa strategi yang disusun benar;
3) kembali pada langkah pertama dan kedua jika terdapat kesulitan dalam
penyelesaian.
d. Memeriksa pemecahan atau jawaban yang diperoleh
1) membandingkan jawaban yang ada dengan kondisi masalah;
2) membandingkan hasil yang diperoleh dengan beberapa masalah yang lain;
3) melakukan proses interpretasi dan evaluasi terhadap jawaban yang
diperoleh;
4) mengecek hasil dengan kreativitas sediri;
5) mengecek gambar dari hasil (apabila ada).
2.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning)
Pembelajaran berbasis masalah memiliki kekuranga dan kelebihan
diantaranya:

a. Kelebihan Problem Based Learning


Kelebihan Problem Based Learning menurut Amir (2013: 26-29) adalah
sebagai berikut:
1) menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atas materi ajar;
2) meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan;
3) mendorong untuk berpikir;

4)
5)
6)
b.

membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial;


membangun kecakapan belajar;
memotivasi pemelajar.
Kelemahan Problem Based Learning
Disamping kelebihan pembelajaran berbasis masalah (Problem Based

Learning), memiliki beberapa kelemahan seperti yang dinyatakan oleh Hamdani


(2011: 88) di antaranya:
1) untuk siswa yang malas, tujuan dari Problem Based Learning tidak tercapai;
2) membutuhkan banyak waktu dan dana;
3) tidak semua mata pelajaran selalu efektif apabila menggunakan Problem Based
Learning
Menurut Deviyanti (2011:11) beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan untuk mengurangi kelemahan tersebut ialah:
1) Guru harus sabar dan kreatif membantu siswa dalam menemukan jawaban.
2) Guru memberi pengarahan kepada siswa untuk saling bekerjasama dan saling
membantu siswa yang kurang mampu.
3) Guru memiliki wawasan tentang berbagai strategi atau metode agar
pembelajaran kondusif.
Kreatifitas pendidik untuk embantu dalam menemukan jawaban, dilakukan
dengan berbagai hal salah satunya yaitu penggunaan media pembelajaran dengan
basis teknologi informasi dan komunikasi. Pembelajaran dengan penggunaan
teknologi salah satunya melalui penggunaan e-learning dalam pembelajaran. Hal
ini dikarenakan menurut

Naidu (2006) melalui e-learning guru dapat

memberikan berbagai materi pembelajaran, kuis, jurnal elektronik dan lain-lain


secara online tanpa dibatasi oleh waktu.
2.2.6 Langkah-Langkah Pembelajaran Problem Based Learning
Tabel 2.1 Langkah-Langkah Pembelajaran Problem Based Learning
Fase atau Tahap
Fase 1
Mengorientasikan siswa pada masalah

Fase 2
Mengorganisasi siswa untuk belajar

Aktivitas Guru
Guru menginformasikan tujuan-tujuan
pembelajaran,
mendiskripsikan
kebutuhan-kebutuhan
logistik
yang
penting, memotivasi siswa agar terlibat
dalam kegiatan pemecahan masalah yang
mereka pilih sendiri
Guru membantu siswa menentukan dan
mengatur tugas-tugas belajar yang

berhubungan dengan masalah itu.


Membantu mendorong siswa
individual mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan
eksperimen, mencari penjelasan
dan solusi.
Fase 4
Guru
membantu
siswa
dalam
Mengembangkan
dan
menyajikan merencanakan dan menyiapkan hasil
hasilkarya
karya yang sesuai seperti laporan, video,
dan model serta membantu mereka
berbagi karya mereka
Fase 5
Guru membantu siswa
Menganalisis dan mengevaluasi proses melakukan refleksi atas
pemecahan masalah
penyelidikan dan proses-proses
yang mereka gunakan.
(Nur, 2011:57)
Fase 3
Membimbing penyelidikan
dan kelompok

2.3 e-learning
e-learning atau electronic learning merupakan suatu proses perkembangan
teknologi yang diaplikasikan dalam hal penyampaian pengetahuan dalam proses
belajar mengajar. e-learning kini semakin dikenal sebagai salah satu cara untuk
mengatasi masalah pendidikan, baik di negara-negara maju maupun di negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia. Sebagai negara kepulauan, Indonesia
mengalami masalah dalam proses perataan pendidikan bagi masyarakatnya
dikarenakan oleh jarak, oleh karena itu e-learning merupakan pilihan yang dapat
diterapkan. Dalam berbagai literatur, para ahli mendefinisikan e-learning sebagai
berikut:
1) Soekartawi, Haryono dan Librero, (2002), e-learning merupakan istilah umum
untuk semua teknologi yang didukung pembelajaran menggunakan sebuah
array belajar mengajar alat sebagai telepon , audio dan video , telekonferensi ,
transmisi satelit , dan pelatihan berbasis web lebih diakui atau instruksi dibantu
komputer juga sering disebut sebagai kursus online .
2) Parker, Judith (2009) , e-learning merupakan pembelajaran di mana teknologi
memainkan peran utama dalam penyampaian materi dan komunikasi antara
guru dengan siswa maupun antara siswa.
Kemudian Cisco mendefinisikan filosofis e-learning sebagai berikut:

1. e-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan,


pelatihan secara on-line.
2. e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar
secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks,
CD-ROM, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab
tantangan perkembangan globalisasi.
3. e-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam
kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan
pengembangan teknologi pendidikan.
4. Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara
penyampaiannya. Berdasarkan definisi dan filosofi diatas, dapat dijelaskan
bahwa secara prinsip, e-learning dapat diartikan sebagai pembelajaran yang
menggunakan media elektronik sebagai alat bantunya, media elektronik
tersebut dapat saja berupa internet, TV, CD ROM, Radio, Teleconfrence, dan
lain sebagainya. Konsep e-learning harus mengadaptasi unsur-unsur yang biasa
dilakukan dalam sistem pembelajaran konvensional.
Rahmasari & Rismiati (2013: 40-42) menyatakan bahwa secara garis besar
e-learning dibangun oleh tiga komponen yaitu konten e-learning, content
management system (CMS) dan learning management system (LMS). Konten elearning merupakan informasi online yang ada di e-learning. CMS merupakan
aplikasi yang memfasilitasi dan mengelola proses pengunggahan, penempatan,
pengarsipan, pencarian, dan penghapusan konten secara langsung, mudah, dan
sistematis. LMS merupakan software yang berfungsi untuk membuat dan
mengatur suatu pembelajaran secara online. Sekarang ini banyak tersedia hosting,
software, dan LMS yang sifatnya gratis atau open source, salah satunya adalah
MOODLE.
2.4 MOODLE
Istilah MOODLE diambil dari singkatan Modular Object Oriented
Dynamic Learning Environment, yang berarti tempat belajar dinamis dengan
menggunakan model berorientasi objek (Munir, 2008: 211). MOODLE adalah
sebuah nama untuk program aplikasi yang dapat merubah sebuah media

pembelajaran ke dalam bentuk web. MOODLE memungkinkan siswa untuk


masuk ke dalam ruang kelas digital untuk mengakses materi-materi pembelajaran
secara online. Dengan menggunakan MOODLE, guru dapat membuat materi
pembelajaran, kuis, jurnal elektronik dan lain-lain secara online. MOODLE
merupakan salah satu LMS open source yang dapat diperoleh secara bebas
melalui http://Moodle.org.
Wahono, R.S. (2006: 1) menuliskan bahwa Moodle termasuk LMS yang
terbaik secara kelengkapan fitur dibandingkan dengan software LMS lain. Proses
pengelolaan Moodle relatif tidak merepotkan meskipun user tidak memahami
skill pemrograman dengan baik. Template dan theme yang disediakan Moodle
banyak dan mendukung 40 bahasa termasuk bahasa Indonesia. Fitur lesson
Moodle menarik dan tidak ada di LMS lain. Fitur lesson ini memungkinkan
mengarahkan siswa dan peserta e-learning diarahkan secara otomatis ke halaman
lain sesuai dengan jawaban dari pertanyaan di suatu halaman. Salah satu kendala
Moodle adalah penuhnya fitur yang diembed ke Moodle membuat time executionnya jadi tinggi, atau dapat dikatakan sangat berat dijalankan. Kendala kecil
lainnya misalnya error blank screen pada saat instalasi.
MOODLE adalah sebuah paket perangkat lunak yang berguna untuk
membuat dan mengadakan kursus/pelatihan/pendidikan berbasis

internet.

Pengembanganya didesain untuk mendukung kerangka konstruksi sosial (social


Construct) dalam pendidikan. MOODLE termasuk dalam model CAL+CAT
(Computer Assisted Learning+Computer Assisted Teaching) yang disebut dengan
LMS (Learning Management System) (Prakoso, 2005). LMS (Learning
Management System) merupakan kendaraan utama dalam proses pengajaran dan
pembelajaran. Kumpulan perangkat lunak yang ada didesain untuk pengaturan
pada tingkat individu, ruang kuliah, dan institusi. Karakter utama LMS adalah
pengguna yang merupakan pengajar dan peserta didik, dan keduanya harus
terkoneksi dengan internet menggunakan aplikasi ini.
Berikut ini beberapa aktivitas pembelajaran yang didukung oleh
MOODLE adalah sebagai berikut:

1) Assignment: Fasilitas ini digunakan untuk memberikan penugasan kepada


peserta pembelajaran secara online. Peserta pembelajaran dapat mengakses
materi tugas dan mengumpulkan hasil tugas mereka dengan mengirimkan file
hasil pekerjaan mereka.
2) Chat: Fasilitas ini digunakan untuk melakukan proses chatting (percakapan
online). Antara pengajar dan peserta pembelajaran dapat melakukan dialog teks
secara online.
3) Forum: Sebuah forum diskusi secara online dapat diciptakan dalam membahas
suatu materi pembelajaran. Antara pengajar dan peserta pembelajaran dapat
membahas topi-topik belajar dalam suatu forum diskusi.
4) Kuis: Dengan fasilitas ini memungkinkan untuk dilakukan ujian ataupun test
secara online.
2.5 Self Regulated Learning (SRL)
2.5.1 Pengertian Self Regulated Learning (SRL)
Beberapa tahun belakangan, sejumlah teori telah dikemukakan untuk
menjelaskan bagaimana seorang pelajar menjadi regulator dalam belajarnya
sendiri (Zimmerman & Martinez-Pons 1990:50). Salah satu teori yang berusaha
menjelaskan tentang Self Regulated Learning (SRL) adalah teori sosial kognitif.
Menurut teori sosial kognitif, Self Regulated Learning (SRL) tidak hanya
ditentukan oleh proses pribadi, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan dan
perilaku secara timbal balik (Zimmerman 1989:330).
Bell dan Akroyd (2006) menyatakan Self Regulated Learning merupakan
bagian dari teori pembelajaran kognitif yang menyatakan bahwa perilaku,
motivasi, dan aspek lingkungan belajar akan mempengaruhi prestasi seorang
pebelajar. Chamot (1999) menyatakan bahwa, Self Regulated Learning atau
pembelajaran mandiri adalah sebuah situasi belajar dimana pebelajar memiliki
kontrol terhadap proses pembelajaran tersebut melalui pengetahuan dan penerapan
strategi yang sesuai, pemahaman terhadap tugas-tugasnya, pengetahuan dalam
pengambilan keputusan dan motivasi belajar.
Pintrich (1990) mendefinisikan Self Regulated Learning sebagai (a)
berusaha keras untuk mengontrol perilaku, motivasi, dan kognisi mereka, (b)
berusaha keras untuk mencapai tujuan tertentu, (c) individu harus mengendalikan

tindakannya. Sedangkan Wolters (1998) mengatakan bahwa Self Regulated


Learning adalah kemmampuan seseorang untuk mengelola secara efektif
pengalaman belajaranya sendiri didalam berbagai cara, sehinggga mencapai hasil
belajar yang optimal.
Santrock (2007) mengatakan bahwa Self Regulated Learning (SRL) terdiri
atas pembangkitan diri dan pemantauan diri atas pikiran, perasaan, dan perilaku
dengan tujuan untuk mencapai sasaran. Sasaran ini dapat berupa sasaran
akademik (meningkatkan pemahaman saat membaca, menjadi penulis yang
terorganisir, belajar bagaimana untuk melakukan pengalian, mengajukan
pertanyaan

yang

relevan)

atau

sasaran

sosioemosional

(mengendalikan

kemarahan, bergauldengan baik dengan teman sebaya).


Sejalan dengan pengertian menurut Pintrich (1990), self-regulation adalah
proses dimana mahasiswa mengaktifkan dan mempertahankan kognisi, perilaku,
dan perasaan yang mana secara sistematis diorientasikan pada pencapaian tujuan
mereka. Zimmerman (1989) memaparkan secara umum bahwa self-regulated
learning pada pebelajar digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang meliputi
keaktifan partisipasi baik secara metakognisi, motivasi, maupun perilaku
mahasiswa didalam proses belajar. Pebelajar dengan sendirinya memulai dan
berusaha secara langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian yang
diinginkan, daripada bergantung pada guru, orang tua atau orang lain.
Berdasarkan dari pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Self Regulated Learning (SRL) adalah usaha aktif dan mandiri pelajar
dengan memantau, mengatur dan mengontol kognisi, motivasi, dan perilaku, yang
diorientasikan atau diarahkan pada tujuan belajar.
2.5.2

Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Regulated Learning (SRL)


Menurut Zimmerman & Schunk (2001) dan Pintrich & Schunk (2002)

menyebutkan bahwa perkembangan Self Regulated Learning (SRL) dipengaruhi


oleh beberapa faktor diantaranya modeling dan self-efficacy. Modeling dapat
terlibat dalam keterampilan pengaturan diri diantaranya adalah perencanaan dan
pengelolaan waktu secara efektif, perhatian dan konsentrasi, pengorganisasian dan
pengodean informasi secara strategis, pembentukan lingkungan kerja yang

produktif, dan penggunaan sumber-sumber sosial. Sedangkan menurut Thoresen


dan Mahoney (dalam Zimmerman, 1989) memaparkan dari perspektif sosialkognitif, bahwa keberadaan Self Regulated Learning ditentukan oleh tiga wilayah
person, wilayah perilaku, dan wilayah lingkungan.
1) Faktor individual (personal influence).
Bagian dalam personal siswa yang mempengaruhi Self Regulated
Learning diantaranya adalah self-efficacy. Self efficacy ini sangat berkaitan dengan
bagian-bagian lainnya dalam personal siswa, proses metakognisi, tujuan, afeksi.
a. Self-efficacy
Para ahli teori sosial konitif mengasumsikan bahwa self-efficacy
merupakan variabel kunci dalam Self Regulated Learning. Zimmerman (1998)
mendefinisikan self efficacy sebagai persepsi kemampuan diri dalam mengelola
dan melakukan tindakan-tindakan yang penting untuk mencapai tingkat
performa keterampilan dalam tugas.
b. Pengetahuan siswa
Pengetahuan self regulated learning harus memiliki kualitas pengetahuan
prosedural dan pengetahuan bersyarat (conditional knoledge). Pengetahuan
prosedural mengarah pada pengetahuan bagaimna menggunkan strategi
tersebut berjalan efektif. Sebagai contoh menunjukkan kedua pengetahuan ini
saling berhubungan adalah pengetahuan umum siswa mengenai matematika
akan memberikan kontribusi terhadap kemampuan mereka untuk membagi
tugas mingguan ke dalam tugas yang dikerjakan setiap hari.
c. Tujuan (goal)
Menetapkan sebuah tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka
panjang dalam sebuah proses belajar merupakan hal yang sangat penting.
Penetapan tujuan jangka panjang merupakan langkah awal dalam mengambil
keputusan metakognitf. Hal ini sesuai dengan Zimmerman (1989) yang
menytakan bahwa pengambilan keputusan metakognitif ini tergantung pada
tujuan jangka panjang dari siswa.
d. Proses metakognitif
Proses metakognitif adalah proses pengambilan keputusan yang mengatur
penyelesaian dan penggunaan berbagai bentuk pengetahuan. Pengambilan
keputusan metakognitif ini tergantung pada tujuan jangka panjang dari siswa
(Zimmerman, 1989). Dalam proses metekognitif, seseorang yang melakukan

pengetahuan diri dalam belajar (Self Regulated Learning) itu merencakan,


menetapkan tujuan, mengelola, memonitor diri sendiri, dan melakukan evaluasi
diri selama proses kemahiran itu berlangsung (Zimmerman & Manuel, 1990)
e. Afeksi
Zimmerman (1989) mengungkapkan bahwa afeksi dapat juga
mempengaruhi fungsi Self Regulated Learning.Misalnya, terdapat sebuah bukti
bahwa kecemasan menghambat proses metakognitif, terutama proses
mengontrol tindakan.
Faktor perilaku (behavior). Tiga cara dalam merespon berhubungan dengan
analisis Self Regulated Learning: observasi diri (self-observasion), penilaian
diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction). Meskipun diasumsikan
bahwa setiap komponen tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam proses
pribadi yang tersembunyi (self), namun proses dari luar diri individu juga ikut
berperan. Setiap komponen terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih, dan
sling mempengaruhi. Oleh karena itu self-observasion, self-judgment, dan self
-reaction dikategorikan sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi Self
Regulated Learning.
1. Faktor lingkungan (environment). Setiap gambaran faktor lingkungan
diasumsikan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor pribadi dan
perilaku. Ketika seseorang dapat memimpin dirinya, faktor pribadi digerakkan
untuk mengatur perilaku secara terencana dan lingkungan belajar dengan
segera. Individu diperkirakan memahami dampak lingkungan selama proses
penerimaan dan mengetahui cara mengembangkan lingkungan melalui
penggunaan strategi yang bervariasi. Individu yang menerapkan self regulation
biasanya menggunakan strategi untuk menyusun lingkungan, mencari bantuan
sosial dari guru, dan mencari informasi.
2.5.3

Aspek-aspek Self Regulated Learning (SRL)


Menurut Wolters, Pintrich dan Karabenick (2003: 8-24) membagi

aspek-aspek Self Regulated Learning kedalam tiga aspek sebagai berikut:


1) Kognitif. Regulasi dan kontrol kognitif termasuk jenis aktivitas kognitif dan
metakognitif yang mana pelajar mengunakannya untuk beradaptasi dan
mengubah kognisi mereka. Satu aspek pokok dari regulasi dan kontrol kognisi

yaitu pemilihan yang sebenarnya dan penggunaan berbagai strategi kognitif


untuk mengingat, belajar, penalaran, pemecahan masalah dan berpikir.
2) Motivasi. Motivasi secara konsisten digambarkan sebagai sebuah determinan
penting dari belajar dan prestasi pelajar dalam pengaturan akademik. Pada cara
yang sama bahwa pelajar dapat meregulasi kognisi mereka, mereka dapat
meregulasi motivasi dan pengaruh mereka. Wolters (1998) menjelaskan
regulasi motivasi seperti kegiatan dimana pelajar dengan sengaja bertindak
untuk memulai, mempertahankan atau menambah kesediaan mereka untuk
memulai, menyediakan arah kerja atau untuk menyelesaikan kegiatan atau
tujuan tertentu. Pada tingkatan umum, regulasi motivasi meliputi pemikiran,
tindakan atau perilaku dimana mahasiswa bertindak untuk mempengaruhi
pilihan mereka, usaha atau ketekunan untuk tugas - tugas akademik.
3) Perilaku. Regulasi perilaku adalah aspek dari regulasi diri yang melibatkan
usaha pelajar untuk mengontrol perilaku tampak mereka. Mengikuti model
triadik sosial kognitif (Bandura 1986; Zimmerman 1989) dimana perilaku
merupakan aspek dari orang tersebut, walaupun diri internal itu tidak
diwakili oleh kognisi, motivasi, dan pengaruh. Namun demikian, pelajar dapat
mengamati perilaku mereka sendiri, memonitor, dan mencoba untuk
mengontrol dan mengatur itu dan dengan demikian kegiatan ini dapat diangap
regulasi diri bagi pelajar.
2.5.4

Tipe-Tipe Strategi Self Regulated Learning (SRL)


Wolters, Pintrich, Karabenick (2003: 8-24) membagi strategi Self Regulated

Learning berdasarkan aspek-aspek Self Regulated Learning yaitu:


a. Strategi kognitif, terdiri empat strategi yang dapat digunakan individu untuk
mengontrol kognisi dan proses belajarnya diantaranya adalah:
1) Strategi pengulangan (rehearsal) termasuk usaha untuk mengingat materi
dengan cara mengulang-ulang terus
2) Strategi elaborasi (elaboration) merefleksi deep learning dengan
menggunakan kalimatnya sendiri untuk merangkum
3) Strategi mengorganisasi (organitation) dalam melalui penggunaan taktik
mencatat, menggambar, diagram, atau bagian untuk mengorganisasi materi
pelajaran.

4) Strategi meregulasi metakognisi (metacognition regulation) melibatkan


perencanaan

monitoring

dan

strategi

meregulasi

belajar,

seperti

menentukan tujuan dari kegiatan membaca atau membuat perubahan


supaya tugas yang dikerjakn mengalami kemajuan.
b. Strategi meregulasi motivasi. Regulasi motivasi adalah semua pikiran, tindakan
atau perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan
ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi terdiri dari 7 strategi antara
lain:
1) Self-consequating yaitu menentukan dan menyediakan konsekuensi
ekstrinsik untuk keterlibatan mereka pada kegiatan belajar. Siswa
menggunakan reward dan punishment secara verbal sebagai wujud
konsekuensi.
2) Enviromental structuring dideskripsikan upaya siswa untuk memusatkan
perhatian, untuk mengurangi gangguan pada lingkungan mereka atau lebih
umum, untuk menata lingkungan mereka untuk membuat penyelesaian
tugas lebih mudah atau lebih mungkin terjadi tanpa gangguan.
3) Mastery Self-talk adalah berpikir tentang penguasaan yang berorientasi
pada tujuan seperti, pemuasan keingin tahuan, menjadi lebih kompeten atau
lebih mengetahui suatu topik, atau meningkatkan perasaan otonomi
mereka.
4) Performance or Extrinsic Self-talk adalah ketika siswa dihadapkan pada
kondisi untuk menyudahi belajar, mahasiswa mungkin berpikir tentang
mendapatkan prestasi yang lebih tinggi atau berusaha sebaik mungkin di
kelas sebagai sebuah cara meyakinkan diri untuk terus belajar.
5) Relative Ability Self-talk dideskripsikan siswa mungkin berpikir tentang
penampilan yang lebih spesifik untuk mencapai tujuan seperti melakukan
usaha lebih baik dari yanglain atau menunjukkan sebuah kemampuan bawaan
dengan tujuan untuk tetap berusaha keras.
6) Situational Interest Enhancement dideskripsikan mahasiswa dapat bekerja
untuk meningkatkan minat situasional mereka atau kesenangan segera
pengalaman mereka seraya menyelesaikan sebuah tugas.
7) Relevance Enhancement dideskripsikan upaya mahasiswa untuk meningkatkan
relevansi atau kebermaknaan suatu tugas dengan menghubungkan pada
kehidupan mereka sendiri atau minat pribadi mereka sendiri.

c. Strategi untuk meregulasi perilaku yaitu dengan regulasi usaha (effort


regulaationi), waktu dan lingkungan (time/study environment) yaitu siswa
mengatur waktu dan tempat dengan membuat jadwal belajar untuk
mempermudah proses belajar, dan pencarian bantuan (help-seeking) adalah
mencoba mendapatkan bantuan dari teman sebaya, guru, dan orang dewasa.
2.5.5

Karakteristik Siswa yang Memiliki Sel Regulated Learning (SRL)


Pada hakikatnya, karakteristik self-regulated learning dapat diamati dari

bentuk tindakan atau perbuatannya yang mengarah pada tercapainya tujuan


belajar. Beberapa ahli (dalam Montalvo dan Torres 2004: 3-4) mengemukakan
karakteristik Mahasiswa yang memiliki self-regulated learning tinggi, antara lain :
1) Terbiasa dan tahu bagaimana menggunakan strategi kognitif (pengulangan,
elaborasi, dan organisasi) yang membantu mahasiswa untuk mengikuti,
mentrasformasi, mengorganisasi, mengelaborasi, dan memperoleh informasi.
2) Mengetahui bagaimana merencanakan, mengontrol, dan mengarahkan proses
mental untuk mencapai tujuan personal (metakognisi).
3) Menunjukkan seperangkat keyakinan motivasional dan emosi yang adaptif,
seperti tingginya keyakinan diri secara akademik, memiliki tujuan belajar,
mengembangkan emosi positif terhadap tugas (senang, puas, dan antusias),
memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasinya, serta
menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas dan situasi belajar khusus.
4) Mampu merencanakan, mengontrol waktu, dan memiliki usaha terhadap
penyelesaian tugas, tahu bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang
menyenangkan, seperti mencari tempat belajar yang sesuai atau mencari bantuan
dari dosen dan teman jika menemui kesulitan.
5) Menunjukkan usaha yang besar untuk berpartisipasi dalam mengontrol dan
mengatur tugas tugas akademik, iklim dan struktur kelas.
6) Mampu melakukan strategi disiplin, yang bertujuan menghindari gangguan
internal dan eksternal, menjaga konsentrasi, usaha, dan motivasi selama
menyelesaikan tugas.

2.6 Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan perubahan pada diri siswa baik pada aspek
kognitif, psikomotor dan afektif. Perubahan-perubahan tersebut merupakan hasil
dari latihan yaitu mengamati, mendengarkan dan membaca serta kegiatan lainnya
(Winatapura dan Rosita, 1994:178). Jadi hasil belajar biologi adalah perubahan
pada diri siswa baik pada aspek kognitif, afekif maupun psikomotorik.
Kemampuan psikomotorik yang telah dicapai oleh siswa ditandai dengan
perubahan tingkah laku setelah melakukan proses belajar mengajar biologi.
Perubahan sebagai hasil belajar ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti
perubahan pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan, sikap,
kecakapan dan aspek lain pada individu pebelajar.
Mengetahui hasil belajar, diperlukan pengukuran atau evaluasi. Menurut
Winatapura dan Rosita (1994:159) evaluasi adalah suatu kegiatan pengumpulan
data mengenai hasil belajar yang dilakukan secara sistematis dan terprogram.
Dalam mengukur hasil belajar tersebut ada beberapa alat yang dapat digunakan
yaitu angket, observasi dan tes. Alat yang digunakan dalam pengukuran biasanya
dalam bentuk tes dan hasilnya berupa angka atau nilai.
Hasil belajar kognitif berhubungan dengan pengetahuan, pengenalan,
keterampilan dan kemampuan intelektual (Gulo, 2002: 50). Aspek kognitif
dibedakan menjadi 6 bagian menurut revisi taksonomi Bloom, yaitu sebagai
berikut.
a. Mengingat (remember), pada tahap mengingat ini siswa dituntut untuk bisa
mengurutkan,

menjelaskan,

mengidentifikasi,

menamai,

menempatkan,

mengulangi, menemukan kembali apa saja yang telah diperoleh dalam kegiatan
belajar mengajar.
b. Pemahaman (understand),

pemahaman

merupakan

kemampuan

untuk

menangkap arti, menterjemahkan dalam bentuk kata-kata, angka maupun


interpretasi berbentuk penjelasan, ringkasan, prediksi, dan hubungan sebab
akibat (Suparno, 2001: 6).
c. Penerapan (apply), jenjang kemampuan ini dituntut kesanggupan ide-ide
umum, tata cara ataupun metode-metode serta teori-teori dalam situasi baru
ataupun konkrit.

d. Analisis

(analyze),

analisis

merupakan

kecakapan

yang

kompleks,

memanfaatkan kecakapan dari tiga sebelumnya. Diharapkan mempunyai


pemahaman yang komprehensif dan dapat memilahkan integritas menjadi
bagian-bagian yang tetap terpadu.
e. Penilaian (evaluate), jenjang kemampuan ini siswa dituntut untuk dapat
mengevaluasi situasi, keadaan atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Evaluasi ini bertujuan untuk menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga
siswa

mampu

mengembangkan

mengevaluasi.
f. Berkreasi (create),

berkreasi

kriteria,
ini

standar

meliputi

atau

merancang,

ukuran

untuk

membangun,

merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan,


memperkuat, memperindah, mengubah dan memperbaiki.
Klasifikasi belajar menurut Blom (dalam Sudjana, 2010:30) selain ranah
kognitif adalah ranah afektif dan psikomotorik. Terdapat beberapa kategori ranah
afektif sebagai hasil belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang dasar atau
sederhana sampai tingkat yang kompleks. Kategorinya adalah sebagai berikut:
a. Reciving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan
(stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi,
gejala, dll. Dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima
stimulus, kontrol, dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
b. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap
stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan,
kepuasaan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.
c. Valuing (penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala
atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya kesediaan
menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan
kesepakatan terhadap nilai tersebut.
d. Organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi,
termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan prioritas nilai
yang telah dimilikinya. Yang termasuk ke dalam organisasi ialah konsep
tentang nilai, organisasi sistem nilai, dll.

e. Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem nilai
yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan
tingkah lakunya.
Menurut Sudjana (1989: 39) hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi
oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang
datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri
siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar
sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Seperti yang dikemukakan
oleh Clark (dalam Sudjana, 1989: 39) bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70%
dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan.
Di samping faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain,
seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar,
ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis. Adanya pengaruh dari dalam
diri siswa, merupakan hal yang logis dan wajar, sebab hakikat perbuatan belajar
adalah perubahan tingkah laku individu yang diniati dan disadarinya. Siswa harus
merasakan adanya suatu kebutuhan untuk belajar dan berprestasi. Ia harus
mengerahkan segala daya dan upaya untuk dapat mencapainya.
Selain faktor dari dalam diri siswa yang mempengaruhi hasil belajar,
adapun faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Artinya ada
faktor-faktor yang berada di luar dirinya yang dapat menentukan atau
mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Salah satu lingkungan belajar yang
paling dominan mempengaruhi hasil belajar di sekolah, ialah kualitas pengajaran.
Yang dimaksud dengan kualitas pengajaran ialah tinggi rendahnya atau efektif
tidaknya proses belajar-mengajar dalam mencapai tujuan pengajaran. Oleh sebab
itu hasil belajar siswa di sekolah dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan kualitas
pengajaran.
Kedua faktor di atas (kemampuan siswa dan kualitas pengajaran)
mempunyai hubungan berbanding lurus dengan hasil belajar siswa. Artinya,
makin tinggi kemampuan siswa dan kualitas pengajaran, makin tinggi pula hasil
belajar siswa (Sudjana, 1989: 40-41).

2.7 Kerangka Pemikiran

Abad ke-21
menuntut SDM
yang berkualitas
(Tilar, 2013)
melalui
Reformasi Pendidikan

Faktor terpenting
guru (Ihsan,
1996)

Memiliki
kompetensi
pedagogik untuk
mewujudkan
prestasi
akademik yang
diinginkan
(Sudrajat, 2012)

Dengan
cara

Model pembelajaran
inovatif (Amir, 2013)

Memiliki
kemampuan

PBL mengharuskan
siswa melaksanakan
penyelidikan
sebenarnya untuk
mencari jawaban
permasalahan (Hobri,
2009)
Berbantuan
e-learning
pembelajaran
fleksibel tanpa
dibatasi waktu dan
tempat (Naidu, 2006)

MOODLE (Munir,
2008)
menumbuhk
an

Self Regulated
Learning (Nicol, 2006)

Tujuan pembelajaran
tercapai
Hasil belajar meningkat

Siswa menjadi master


(ahli/menguasai) dalam
belajarnya (Zimmerman
& Schunk, 1989)

2.8 Hipotesis Tindakan


Hipotesis dari penelitian ini adalah penerapan metode Problem Based
Learning berbantuan MOODLE diterapkan pada materi ekologi kelas X SMA
Negeri 3 Jember tahun ajaran 2014/2015 dapat menumbuhkan Self Regulated
Learning dan meningkatkan hasil belajar siswa.

Anda mungkin juga menyukai