Anda di halaman 1dari 85

KAJIAN STILE NOVEL LEDHEK DARI BLORA

KARYA BUDI SARDJONO

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Stilistika yang diampu
oleh:

Prof. Dr. Burhan Nurgiyantoro

Disusun Oleh

Nevalia Rahmada 18201241076

PBSI B 2018

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu stilistika merupakan ilmu yang mengkaji tentang stile atau gaya
bahasa. Objek kajian stilistika tentu saja stile, yakni penggunaan bahasa dalam
konteks dan atau ragam bahasa tertentu, baik ragam bahasa sastra maupun ragam
bahasa ilmiah. Membaca dan mencermati penggunaan bahasa dalam sebuah
konteks penuturan tertentu, pada hakikatnya adalah membaca dan mencermati
stile penuturan itu. Oleh karenanya, stilistika sangat dibutuhkan karena merupakan
bidang ilmu yang mampu mengkaji dan menjawab pertanyaan mengapa aspek
bahasa dalam sebuah karya sastra seperti puisi, fiksi, atau yang lainnya, itu indah
atau memenuhi tuntutan keindahan dengan kriteria tertentu. Leech dan Short
menjelaskan bahwa analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan
sesuatu yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan
hubungan bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya (Nurgiyantoro, 2019: 75).
Kajian stilistika bertujuan untuk menjelaskan fungsi keindahan penggunaan
bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa
figuratif, sarana retorika, sampai grafologi. Stilistika dapat juga bertujuan untuk
menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana pengarang
mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus. Kajian
stile memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bahasa dapat
dikreasikan dan didayakan sedemikian rupa melalui penyimpangan, pengulangan,
penekanan, dan penciptaan ungkapan baru yang semuanya membuat komunikasi
bahasa menjadi lebih segar dan efektif.
Pada makalah ini, akan dibahas hasil kajian analisis unsur-unsur stile dalam
novel berjudul "Ledhek dari Blora" karya Budi Sardjono. Aspek yang dikaji
dalam novel tersebut meliputi banyak aspek. Misalnya dari aspek penggunaan
bahasa figuratif, unsur-unsur yang dikaji antara lain mengenai bentuk-bentuk
pemajasan, penyiasatan struktur, citraan, dan sebagainya. Selain aspek
penggunaan bahasa figuratif, aspek lain yang dikaji yakni seperti aspek sintaksis
dan leksikal.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengkaji unsur-unsur stile yang ada
dalam novel Ledhek dari Blora karya Chairil Seno Gumira Ajidarma. Adapun
unsur-unsur stile yang dikaji meliputi diksi, struktur sintaksis, kohesi dan
koherensi, pemajasan, penyiasatan struktur, dan citraan. Selain unsur stile, pada
makalah ini juga akan dikaji mengenai ketepatan penggunaan bentuk-bentuk stile
yang mendukung keindahan pada novel Ledhek dari Blora. Tujuan tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan keunggulan atau ketepatan penggunaan aspek
kebahasaan dalam novel Ledhek dari Blora, sehingga gagasan dan pikiran yang
dikemukakan jelas dan dapat dipahami oleh pembaca.
BAB II

KAJIAN TEORI

Nurgiyantoro (2019: 152) mengungkapkan kajian terhadap stile sebuah


teks dilakukan dengan menganalisis unsur stile teks yang bersangkutan. Teks-
teks yang dikaji haruslah teks-teks yang jelas konteksnya. Dalam mengkaji
novel, unsur-unsur stile yang penting yang dibicarakan adalah aspek leksikal,
struktur sintaksis, kohesi dan koherensi, pemajasan, aspek penyiasatan
struktur, serta citraan.

A. ASPEK LEKSIKAL
Nurgiyantoro (2019: 172) menjelaskan bahwa aspek leksikal
adalah satuan bentuk terkecil dalam konteks struktur sintaksis dan wacana.
Kalimat dibangun dan dihadirkan lewat kata. Demikian juga wacana yang
dibangun dari kalimat, pada hakikatnya juga dibangun lewat kata. Unsur
leksikal yang dimaksud di sini adalah sama pengerian dengan diksi, yaitu
yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang
sengaja dipilih oleh pengarang untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut
Keraf (2008: 22-23) diksi adalah pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari
apa yang dipantulkan oleh hubungan kata-kata itu. Sedangkan menurut
Enre (1988: 101) diksi atau pilihan kata adalah penggunaan kata-kata
secara tepat untuk mewakili pikiran dan perasaan yang ingin dinyatakan
dalam pola suatu kalimat. Pendapat lain dikemukakan oleh Widyamartaya
(1990: 45) yang menjelaskan bahwa diksi atau pilihan kata adalah
kemampuan seseorang membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna
sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikannya, dan kemampuan
tersebut hendaknya disesuaikan dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki
sekelompok masyarakat dan pendengar atau pembaca. Kata-kata itulah
yang dipakai sebagai sarana untuk memanifestasikan perasaan, ide, dan
gagasannya yang masih abstrak untuk tujuan komunikasi agar dapat
diterima dan dipahami orang lain.
a. Kata dalam Bahasa Ilmiah

Seleksi kata yang akan dipakai pasti dilakukan dalam ragam


bahasa apapun, baik sastra maupun nonsastra. Ketepatan pilihan kata
dalam banyak hal akan menjamin ketepatan muatan makna yang
disampaikan. Dalam ragam bahasa ilmiah, kata diseleksi berdasarkan
ketepatan muatan makna sebagai pendukung ide, gagasan, pikiran, dan
proses berpikir rasional yang menekankan objektivitas, ketepatan, serta
kelancaran komunikasi. Makna kata ditekankan pada makna
referensial, makna denotatif. Seandainya dipakai kata bermakna
intensional, makna konotatif, itu harus terbatas pada ungkapan-
ungkapan yang telah lazim yang justru mempercepat komunikasi. Hal-
hal itu merupakan sebagian prasyarat bagi keindahan bahasa ilmiah.

b. Kata dalam Bahasa Sastra

Dalam bahasa sastra, selain untuk mendukung makna, kata-


kata sekaligus diseleksi untuk peroleh efek keindahan sesuai dengan
kriteria atau wawasan keindahan yang diyakini oleh pengarang.
Namun, ada perbedaan intensi seleksi kata untuk bahasa sastra genre
puisi dengan prosa-fiksi.

1. Kata dalam Puisi

Puisi memiliki keindahan yang didapatkan dari pemilihan


kata dan diksi yang tepat. Jika kata atau diksi yang dipilih tidak
tepat, puisi yang bersangkutan boleh dibilang gagal mencapai
status literer, gagal sebagai puisi yang bernilai sastra. Puisi hadir
dengan bahasa yang dipadatkan, dikonsentrasikan, dengan bahasa
yang sesedikit mungkin kata. Pertimbangan paling tepat untuk
kata-kata dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan ketepatan
bunyi, bentuk, makna, dan mungkin juga nilai sosial.

Aspek Bunyi berkaitan dengan pendayaan unsur bunyi


yang diperhitungkan dalam seleksi kata untuk puisi. Aspek Bentuk
berkaitan dengan bentuk struktur morfologi kata dan bahkan
struktur sintaksis sebagaimana terlihat pada larik-larik dan bait-bait
puisi. Aspek Makna berkaitan dengan seleksi kata yang bermakna.
Dengan tujuan untuk mengomunikasikan sesuatu kepada orang
lain. Aspek Ekspresivitas berkaitan dengan bahasa yang padat,
penuh konsentrasi, dan terwujud dalam larik-larik pendek. Aspek
Sosial berkaitan dengan bahasa memiliki kata-kata yang
mencerminkan derajat sosial, seperti bahasa jawa.

2. Kata dalam Prosa-fiksi


Sebuah karya fiksi yang kurang baik pilihan katanya tidak
berakibat "sefatal" dalam karya puisi. Jika komponen fiksi yang
lain kuat, bagus, dan menarik, aspek stile dan unsurnya seperti kata
dapat tertutupi kekurangannya.
Komponen stile yang lain adalah tokoh lengkap dengan
karakternya, alur, dan berbagai konflik yang mendukungnya tema
amanat, latar, dan lain-lain Namun, dalam konteks stilistika, peran
komponen stile dalam fiksi, tidak dapat diabaikan. Bagaimanapun,
semua yang hadir dan eksis dalam cerita fiksi mesti lewat saluran
bahasa, kata-kata. Maka, kata-kata tetap saja memiliki peran yang
menentukan, tidak sedikit fiksi yang hebat karena didukung oleh
bahasa dan kata yang tepat.
Dalam konteks kajian stilistika teks fiksi, unsur kata tetap
saja memegang peran yang cukup penting. Kelancaran komunikasi
cerita fiksi secara bersama ditentukan oleh berbagai aspek bahasa.
Dalam sebuah teks fiksi, tidak jarang terdapat kata-kata tertentu
yang telihat memengaruhi keseluruhan wacana, dan karenanya
menarik perhatian secara khusus, misalnya terlihat dari
penggunaan kata yang menyimpang, kata kolokial, dari bahasa
lain, kata bentukan baru, menunjuk pada makna khusus, diulang-
ulang banyak kali, jenis kata dan lain-lain sehingga terlihat
terkedepankan, teraktualisasikan, atau mengandung kekuatan
foregrounding.

B. STRUKTUR SINTAKSIS
Nurgiyantoro (2019: 186-187) menjelaskan aspek gramatikal yang
dimaksud adalah unsur sintaksis yang di dalamnya terdapat frase, klausa,
dan kalimat. Lewat kalimat itulah sebenarnya sebuah satuan makna,
sebuah pokok pikiran, terbentuk dan terkomunikasikan. Tujuan
komunikasi bahasa adalah untuk menyampaikan informasi kepada pihak
lain. Hal itu berlaku dalam semua ragam bahasa. Aspek ide, gagasan,
informasi, atau muatan makna dikemas dalam bahasa yang secara konkret
berupa deretan kata yang disusun sesuai dengan sistem struktur gramatikal
bahasa. Aspek struktur sintaksis merupakan struktur yang lebih tinggi
tingkatannya daripada unsur leksikal. Melalui kalimat itulah sebenarnya
sebuah satuan makna, sebuah pokok pikiran, terbentuk dan
terkomunikasikan.
Aspek gramatikal juga menjadi penentu kelancaran suatu
komunikasi bahasa. Jika kosakata yang dipakai sederhana dan didukung
oleh struktur sintaksis yang juga sederhana, itu merupakan jaminan bahwa
komunikasi bahasa akan lancar. Unsur struktur yang dapat dijadikan fokus
kajian adalah kompleksitas kalimat, jenis kalimat, dan jenis frasa dan
klausa. Unsur-unsur tersebut dapat diambil sebagian maupun seluruhnya.
Aspek struktur sintaksis ini juga banyak dijumpai dalam berbagai
teks untuk meraih efek keindahan, khususnya lewat pendayaan sarana
retorika. Wujud pendayaan itu yang utama adalah lewat penyiasatan
struktur (figure of speech) dan kohesi sehingga penuturan menjadi indah.
Tidak jarang pula dalam kreasi penyiasatan struktur đi dalamnya sekaligus
terdapat permainan makna, yaitu yang dikenal dengan istilah pemajasan
(figure of thought).
Untuk mencapai efek keindahan struktur itu, dalam penulisan teks-
teks kesastraan, pengarang yang memiliki kebebasan penuh, sering sampai
pada adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk
penyimpangan struktur kalimat yang bisa berupa pembalikan, permutasi,
pemendekan, pengulangan, dan lain-lain. Hal inilah yang kemudian
dikenal sebagai pengedepanan, foregrounding, suatu hal yang dianggap
orang sebagai salah satu ciri bahasa sastra.

C. KOHESI DAN KOHERENSI


Kohesi adalah hubungan pertautan antarbagian dalam struktur
sintaksis atau stuktur wacana untuk menyampaikan muatan makna. Di lain
pihak, wacana adalah rangkaian kalimat yang di dalamnya mengandung
proposi-proposi yang secara bersama mendukung sebuah makna yang
lebih besar. Kohesi merupakan salah satu elemen pembentuk wacana.
Kohesi dapat juga dimaknai sebagai keterkaitan antarunsur yang terdapat
pada wacana baik yang ditunjukkan secara eksplisit lewat kata-kata
tertentu maupun secara implisit lewat hubungan logika. Jadi, ada
keterkaitan dan keserasian diantara kata-kata pembentuk kalimat atau
kalimat-kalimat pembentuk wacana (Nurgiyantoro, 2019: 195-196).
Kemudian koherensi merupakan hubungan yang logis antarbagian
struktur kalimat dan wacana, kepaduan antarbagian dalam sebuah
penuturan. Kohesi ditandai dengan kejelasan fungsi unsur pembentuknya.
Adanya koherensi yang baik dalam sebuah teks dapat menjamin kejelasan
muatan makna. Sebuah wacana haruslah didukung oleh kalimat-kalimat
yang kohesif dan koherensif sekaligus, dan jika tidak maka wacana yang
dihasilkan pasti bukan wacana yang baik. Intinya sebuah wacana yang
baik dan memiliki nilai estetis harus diprasayarati oleh adanya kekohesifan
dan kekoherensian yang baik pula.
Terdapat beberapa pendapat mengenai jenis-jenis kohesi, seperti
dikemukakan oleh (Mayore, 2013: 3) bahwa kohesi dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu kohesi secara gramatikal dan kohesi secara
leksikal. Selain itu ada juga pendapat dari Leech dan Short via
Nurgiyantoro (2019: 197) yang mengemukakan bahwa selain kohesi dapat
bersifat eksplisit atau implisit, juga membedakan ke dalam dua kategori,
yaitu rujuk-silang (cross-reference) dan sambungan (linkage). Kohesi
rujuk-silang memungkinkan terjadinya hubungan pekaitan antar kalimat
dalam suatu wacana lewat pengulangan makna dan pengulangan
pengacuan. Leech dan Short menunjukkan bahwa terdapat lima kohesi
jenis rujuk-silang, yaitu (i) pengacuan, (ii) substitusi, (iii) elipsis, (iv)
pengulangan formal, (v) variasi elegan.
Pengacuan, ditandai oleh penggunaan bentuk-bentuk kata ganti
orang, deiksis, dan penggunaan definite articles seperti the dalam bahasa
Inggris. Kata ganti orang seperti ia, dia, kalian. Selain itu, deiksis seperti
kata tunjuk itu dan ini. Jenis kohesi yang selanjutnya adalah substitusi dan
elipsis. Substitusi adalah penggantian suatu bentuk struktur atau leksikal
dengan bentuk lain yang mengacu pada referen yang sama. Elipsis adalah
penggurangan atau penyingkatan satuan struktur tertentu yang sudah
disebutkan sebelumnya dengan hanya menyebut sebagian kata atau satuan
lain. Selanjutnya, penggunaan kohesi bentuk lain adalah pengulangan
formal dan variasi elegan. Pengulangan formal sering disebut pengulangan
ekspresif, karena penggunaan bentuk ini mampu membangkitkan kesan
ekspresif. Variasi elegan adalah suatu bentuk pengulangan namun
menggunakan kata-kata berbeda dengan referen yang sama (Nurgiyantoro,
2019: 199-204).
Kohesi yang berwujud sambungan (linkage) adalah kohesi yang
mempergunakan kata-kata sambung tertentu untuk menghubungkan
bagian-bagian kalimat dan antar kalimat dalam sebuah wacana. Berbeda
dengan kohesi rujuk-silang yang bersifat implisit, kohesi sambungan
bersifat eksplisit yang secara jelas ditandai dengan munculnya kata-kata
tertentu yang berfungsi menghubungkan antar bagian kalimat atau wacana.
Alwi dkk (2003: 428), mengemukakan contoh kohesi sambungan seperti
kata-kata konjungtor semacam tetapi, namun, bahkan, kecuali, meskipun,
biarpun, agar, supaya, dan lain sebagainya.

D. PEMAJASAN
Menurut Nurgiyantoro (2019: 215) Pemajasan (figurative
language, figures of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa,
penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah
kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan
atau makna yang tersirat. Nurgiyantoro (2019: 212) menjelaskan majas
atau pemajasan merupakan stile yang “bermain” dengan penyimpangan
makna, berupa pendayaan makna penuturan melalui makna tidak langsung,
makna kias, makna konotatif, makna literal, atau yang biasa disebut
dengan bahasa figuratif.Pada umumnya te rdapat dua jenis pemajasan yaitu
majas perbandingan dan majas pertautan. Majas yang termasuk majas
perbandingan diantaranya simile, metafora, personifikasi, dan alegori,
sementara majas pertautan adalah metonimi dan sinekdoki.
1. Majas Perbandingan
Majas perbandingan merupakan majas yang membandingkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara
keduanya. Bentuk pemajasan yang banyak digunakan pengarang adalah
bentuk perbandingan atau persamaan, sehingga di dalamnya ada sesuatu
yang dibandingkan dan sesuatu yang menjadi pembanding. Kesamaan
itu misalnya berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah
laku, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2019: 218).
a. Simile
Simile adalah majas yang menggunakan kata-kata
pembanding secara langsung atau eksplisit untuk membandingkan
sesuatu yang dibandingkan dengan pembandingnya (Nurgiyantoro,
2019: 219). Majas simile biasanya menggunakan kata-kata tugas
yaitu kata-kata seperti, mirip, bagai, bagaikan, sebagai, laksana,
bak, dan sebagainya. Dalam penuturan bentuk ini, sesuatu yang
disebut pertama (yang dibandingkan) dinyatakan memiliki
persamaan sifat atau karakter dengan sesuatu yang disebut di
belakangnya (pembanding).
b. Metafora
Baldic mengemukakan bahwa majas metafora merupakan
bentuk pembandingan antara dua hal yang dapat berwujud benda,
fisik, ide, sifat, atau perbuatan dengan benda, fisik, ide, sifat, atau
perbuatan lain yang bersifat implisit (Nurgiyantoro, 2019: 224).
Majas metafora dibedakan menjadi dua jenis yaitu eksplisit dan
implisit. Metafora eksplisit memiliki ciri yaitu antara sesuatu yang
dibandingkan dan sesuatu sebagai pembandingnya sama-sama secara
eksplisit disebutkan secara jelas polanya. Sementara metafora
implisit, penyair sengaja tidak menyebutkan pernyataan pertama atau
sesuatu yang dibandingkan, tetapi langsung menyebut pernyataan
kedua atau sesuatu pembandingnya. Sehingga membutuhkan usaha
pemahaman yang lebih rumit karena harus menemukan apa
pembandingnya dan yang dibandingkan.
c. Personifikasi
Personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang memberi
sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan. Majas
personifikasi juga disebut sebagai majas perorangan, sesuatu yang
diorangkan, seperti halnya orang. Sifat-sifat kemanusiaan yang
ditransfer kebenda atau makhluk nonhuman itu dapat berupa ciri
fisik, sifat, karakter, tingkah laku verbal atau nonverbal, pikiran,
perasaan dan berperasaan, sikap dan bersikap, dan lain-lain yang
hanya manusia yang memiliki atau dapat melakukannya.
Pembanding dalam personifikasi harus berupa ciri-ciri kemanusiaan
(Nurgiyantoro, 2019: 235).
d. Alegori
Alegori memiliki kesamaan karakteristik dengan majas
metafora yaitu adanya unsur yang dibandingkan dengan unsur
pembandingnya. Perbedaannya adalah pada majas alegori
pembandingan itu mencakup keseluruhan makna teks yang
bersangkutan. Misalnya, sebuah karya sastra yang secara
keseluruhan dipakai sebagai kiasan sesuatu, seseorang, keadaan,
kejadian, atau hal-hal lainnya. Baldic, mengemukakan bahwa pada
hakikatnya alegori adalah sebuah cerita kiasan yang maknanya
tersembunyi pada makna literal. Dengan begitu, ada dua makna yang
terkandung dalam sebuah teks alegoris, yaitu makna literal, makna
yang secara langsung ditunjuk pada teks, dan makna yang
sebenarnya dimaksudkan, makna yang tersembunyi yang perlu
ditafsirkan (Nurgiyantoro, 2019: 239-240).

2. Majas Pertautan
Majas pertautan merupakan majas yang didalamnya terdapat
unsur pertautan, pertalian, penggantian, atau hubungan yang dekat
antara makna yang sebenarnya dimaksudkan dan apa yang secara
konkret dikatakan oleh pembicara. Artinya, makna sebenarnya juga
bukan merupakan makna literal sebagaimana disebutkan, melainkan
dicari dari pertautannya. Majas pertautan yang umum disebut adalah
majas metonimi dan sinekdoki. Berikut penjelasan mengenai definisi
majas metonimi dan sinekdoki (Nurgiyantoro, 2019: 243-245).
a. Metonimi
Majas metonimi diartikan sebagai sebuah ungkapan yang
menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat antara kata-
kata yang disebut dan makna yang sesungguhnya. Misalnya,
seseorang suka membaca karya-karya Umar Kayam kemudian
dikatakan: “Ia suka membaca Kayam”. Kata Kayam tidak
dimaksudkan pada orangnya tetapi ucapan Kayam yang
dimaksudkan adalah buku-buku karya Umar Kayam. Penyingkatan
Kayam itu ditujukan untuk mempermudah dan mempercepat
penyebutan kata-kata yang panjang tersebut.
b. Sinekdoki
Sinekdoki merupakan sebuah ungkapan dengan cara
menyebut bagian tertentu yang penting dari sesuatu untuk sesuatu itu
sendiri. Dalam majas sinekdoki terdapat dua kategori penyebutan
yang berkebalikan yaitu pars pro toto dan totum pro parte. Pars pro
toto adalah pernyataan yang hanya menyebut sebagian atau bagian
tertentu dari sesuatu, tetapi itu dimaksudkan untuk menyatakan
keseluruhan sesuatu tersebut, misalnya ungkapan: “Ayah membeli
satu ekor sapi”. Maksud dari kata “satu ekor” pada ungkapan
tersebut adalah satu sapi utuh bukan hanya ekornya saja. Totum pro
parte adalah pernyataan yang menyebut sesuatu secara keseluruhan,
namun sebenarnya itu dimaksudkan untuk sebagian dari sesuatu
tersebut. Misalnya, pada ungkapan: “Indonesia memenangkan
medali emas pada Sea Games cabang bulu tangkis”. Maksud dari
kata Indonesia adalah sebagai perwakilan penyebutan atlet Indonesia
yang mengikuti lomba, bukan seluruh masyarakat yang ada di
Indonesia.

E. PENYIASATAN STRUKTUR
Penyiasatan struktur (figures of speech) merupakan istilah lain dari
sarana retorika, sering dikenal dengan sebutan gaya bahasa. Penyiasatan
struktur bermain di ranah struktur, dimaksudkan sebagai struktur yang
sengaja disiasati, dimanipulasi, dan didayakan untuk memperoleh efek
keindahan di hati pembaca.
1. Repetisi
Repetisi merupakan bentuk pengulangan baik yang berupa
pengulangan bunyi, kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun
bentuk-bentuk yang lain, bertujuan untuk memperindah penuturan
(Nurgiyantoro, 2019: 247). Berbagai bentuk repetisi jika didayakan
dan didukung oleh ketepatan makna akan efektif untuk
membangkitkan efek retoris dan efek estetis.
a. Repetisi
Bentuk penyiasatan struktur yang mengandung unsur
pengulangan merupakan bagian dari repetisi. Gaya repetisi yang
mengandung unsur pengulangan, misalnya kata-kata atau frase
tertentu, yang dimaksudkan untuk menekankan dan menegaskan
pentingnya suatu yang dituturkan. Kata atau kelompok kata yang
diulang bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, berada pada
posisi awal, tengah atau di tempat yang lain.
b. Paralelisme
Paralelisme pada hakikatnya juga merupakan suatu bentuk
pengulangan. Paralelisme menunjuk pada pengertian penggunaan
bentuk, bagian-bagian kalimat, atau kalimat dengan kesamaan
struktur gramatikal dan menduduki fungsi yang kurang lebih sama
secara berurutan. Penggunaan bentuk paralelisme dimaksudkan
untuk menekankan adanya kesejajaran bangunan struktur yang
menduduki posisi sama dan mendukung gagasan yang sederajat.
Penggunaan bangunan struktur yang paralel dalam kalimat
penuturan akan menghasilkan bentuk-bentuk pengungkapan yang
retoris dan sekaligus melodis di samping mempermudah
pemahaman pembaca karena gagasan yang sederajat yang ingin
disampaikan itu ‘dibungkus’ dengan pola struktur yang mirip
c. Anafora
Anafora merupakan salah satu jenis penyiasatan struktur
yang berbasis pada bentuk repetisi. Anafora diartikan sebagai
bentuk pengulangan yang berada di awal struktur sintaksis atau
awal larik-larik pada puisi. Gaya anafora banyak dijumpai pada
genre puisi, namun tidak sedikit didayakan pada teks-teks prosa-
fiksi.
d. Polisidenton dan Asindenton
Bentuk pengulangan dalam kedua gaya ini lazimnya terjadi
pada sebuah kalimat. Bentuk pengulangan pada polisindenton
adalah berupa penggunaan kata tugas tertentu, misalnya “dan”,
dalam sebuah kalimat yang menghubungkan gagasan, rincian,
penyebutan, atau sesuatu yang lain yang sejajar, yang seimbang.
Bentuk asindenton adalah berupa pengulangan puntuasi, tanda
baca, yang lazimnya berupa tanda koma (,) yang terdapat dalam
kalimat.

2. Pengontrasan
Gaya pengontrasan atau pertentangan merupakan suatu bentuk
gaya yang menuturkan sesuatu secara berkebalikan dengan sesuatu
yang disebut secara harfiah. Hal yang dikontraskan dapat berwujud
fisik, keadaan, sikap dan sifat, karakter, aktivitas, kata-kata, dan lain-
lain tergantung konteks pembicaraan (Nurgiyantoro, 2019: 260).
a. Hiperbola
Gaya hiperbola biasa dipakai jika seseorang bermaksud
melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang
sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturannya.
Makna yang ditekankan atau dilebih-lebihkan sering menjadi tidak
masuk akal untuk ukuran nalar biasa, tetapi orang dapat memahami
jika bukan makna itu yang dimaksudkan.
b. Litotes
Gaya litotes merupakan kebalikan dari gaya hiperbola.
Apabila gaya hiperbola menekankan penuturan dengan cara
melebih-lebihkan sesuatu, sebaliknya gaya litotes justru
mengecilkan fakta yang sesungguhnya ada. Biasanya hal itu
dimaksudkan untuk bersikap rendah hati agar tidak dipahami
sebagai berlebihan walau yang sebenarnya justru untuk
menekankan penutur.
c. Paradoks
Gaya paradoks menghadirkan unsur pertentangan secara
eksplisit dalam sebuah penuturan. Dengan begitu, dalam tuturan
yang dikemukakan terdapat unsur yang secara eksplisit terlihat
bertentangan. Hal tersebut merupakan sebuah cara, strategi yang
dipakai untuk menegaskan, menekankan sesuatu yang dituturkan,
sedang sesuatu yang sesungguhnya dimaksudkan tidak berada di
dalam pertentangan tersebut.

d. Ironi dan Sarkasme


Ironi dan sarkasme juga merupakan stile yang
menampilkan penuturan yang bermakna kontras. Jika gaya
paradoks menampilkan kata atau ungkapan kontras secara eksplisit
‘sekadar’ untuk menekankan makna yang dimaksud, gaya ironi dan
sarkasme menampilkan sesuatu yang harus dipahami lewat makna
kontrasnya. Kedua gaya ini dipergunakan untuk menampilkan
sesuatu yang bersifat ironis, misalnya untuk menyindir, mengritik,
mengecam, dan lain sebagainya. Intensitas menyindir pada ironi
dan sarkasme memiliki tingkatan. Jika sindiran itu rendah
intensitasnya, gaya yang dipakai adalah ironi dan sebaliknya jika
intensitasnya tajam maka gaya yang dipakai adalah sarkasme.

3. Susunan Lain
Penyiasatan struktur yang terlihat intensif dipergunakan adalah
yang berbasis pada pengulangan yang banyak digunakan pada berbagai
teks kesastraan bahkan teks nonsastra. Terdapat stile bentuk
penyiasatan struktur lain yang dipergunakan dalam teks sastra, seperti
gaya pertanyaan retoris, klimaks, antiklimaks, antitesis, dan lain-lain
(Nurgiyantoro, 2019: 271).
a. Pertanyaan Retoris
Pertanyaan retoris menekankan pengungkapan tentang
gagasan atau sesuatu dengan menampilkan semacam pertanyaan
yang sebenarnya tidak menghendaki jawaban. Pertanyaan yang
dikemukakan telah dilandasi oleh asumsi bahwa hanya terdapat
satu jawaban yang mungkin, di samping penutur juga
mengasumsikan pembaca telah mengetahui jawabannya.
Dimaksudkan untuk membangkitkan efek retoris yang mengena
sekaligus untuk melibatkan pembaca atau pendengar baik secara
rasional maupun emosional.

b. Klimaks dan Antiklimaks


Klimaks dan antiklimaks dimaksudkan untuk
mengungkapkan dan menekankan gagasan dengan cara
menampilkan secara berurutan. Pada klimaks, urutan penyampaian
itu menujukan semakin meningkat intensitas pentingnya gagasan
tersebut. Sementara antiklimaks bersifat sebaliknya, yaitu semakin
mengendur. Tujuan adanya klimaks dan antiklimaks adalah sama-
sama untuk menunjukkan pentingnya sesuatu yang dituturkan.
c. Antitesis
Gaya antitesis memiliki kemiripan atau mengandung
paralelisme, tetapi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan justru
bertentangan. Gagasan yang bertentangan itu dapat diwujudkan
kedalam kata atau kelompok kata yang berlawanan.

F. CITRAAN
Nurgiyantoro (2019: 275) berpendapat bahwa citraan merupakan
penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan
indra. Citra (image) dan citraan (imagery) menunjuk pada adanya reproduksi
mental. Citraan merupakan gambaran berbagai pengalaman sensoris yang
dibangkitkan oleh kata-kata. Abrams dan Kenny melalui Nurgiyantoro (2019:
277) mengemukakan bahwa citraan merupakan kumpulan citra yang
dipergunakan untuk menuliskan objek dan kualitas tanggapan indra yang
dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harafiah
maupun kias. Citraan merupakan salah satu unsur stile yang penting karena
berfungsi mengkonkretkan dan menghidupkan penuturan. Citraan terkait
dengan panca indra manusia, kelima jenis citraan itu adalah citraan
penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerak (kinestetik), rabaan (taktil
termal) dan penciuman (olfaktori).
1. Citraan Visual
Citraan visual merupakan citraan yang terkait dengan
pengonkretan objek yang dapat dilihat oleh mata, dapat dilihat secara
visual. Objek visual adalah objek yang tampak, benda-benda yang secara
ilmiah kasat mata tersebut dapat dilihat secara mental lewat rongga
imajinasi walau secara faktual benda-benda tersebut tidak ada di sekitar
pembaca, lengkap dengan spesifikasi rinciannya merupakan objek
penglihatan imajinatif yang sengaja dibangkitkan penulis
2. Citraan Auditif
Citraan pendengaran (auditif) adalah pengonkretan objek bunyi
yang didengar oleh telinga. Citraan auditif terkait usaha pengonkretan
bunyi-bunyi tertentu yang ditunjukkan melalui deskripsi verbal atau
tiruan bunyi sehingga seolah-olah pembaca dapat mendengar bunyi-
bunyi tersebut walau hanya melalui rongga imajinasi. Pembangkitan
bunyi-bunyi alamiah tertentu lewat penataan kata-kata tertentu dapat
memberikan efek pengonkretan dan alamiah sehingga penuturan terlihat
lebih teliti dan meyakinkan.
3. Citraan Gerak
Citraan gerak (kinestetik) adalah citraan yang terkait dengan
pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata. Pada citraan
gerak, objek yang dibangkitkan untuk dilihat adalah sebuah aktivitas,
gerak motorik, bukan objek diam. Melalui imajinasi, pembaca seolah-
olah dapat melihat aktivitas yang dituliskan. Penghadiran berbagai
aktivitas baik yang dilakukan oleh manusia maupun oleh makhluk atau
hal-hal lain lewat penataan kata-kata tertentu secara tepat dapat
mengonkretkan dan menghidupkan penuturan sehingga terlihat lebih
teliti dan meyakinkan.
4. Citraan Rabaan dan Penciuman
Citraan rabaan (taktil termal) dan penciuman (olfaktori)
menunjuk pada pelukisan rabaan dan penciuman secara konkret walau
hanya terjadi di prongga imajinasi pembaca. Keduanya dimaksudkan
untuk mengonkretkan dan menghidupkan sebuah penuturan. Namun,
dibandingkan dengan citraan yang lainnya, kedua citraan ini tidak terlalu
sering ditemukan pada teks sastra.

BAB III
HASIL KAJIAN STILE DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Kajian Stile


Berikut hasil kajian beberapa unsur stile berupa aspek diksi, struktur
sintaksis, kohesi dan koherensi, pemajasan, penyiasatan struktur, dan citraan pada
novel Ledhek dari Blora karya Budi Sardjono.

1. Hasil Kajian Stile Aspek Diksi pada Novel Ledhek dari Blora

Tabel 1.1 Kajian Diksi Novel Ledhek dari Blora


Jumlah Keterangan
Daftar Kajian (Data hasil kajian terdapat di
Frekuensi Persentase
bagian lampiran)
Kolokial Contoh kutipan :
Akh 2 9.6% Akh! Aku tidak berani
bermimpi.
Ha 2 9.6% Contoh kutipan :

“Ha? Tidak takut luka atau


lecet-lecet?”
Contoh kutipan :
Kok 1 4.8% “Kok Eyang dulu tidak
mengatakan kepadaku?”
Contoh kutipan :
Busyet! Aku tidak tahu
Busyet 1 4.8%
Nirmala serius atau lagi
bercanda.
Contoh kutipan :
Mosok 1 4.8% “Mosok jatuh cinta bisa luka
dan lecet-lecet?”
Contoh kutipan :
“Ah, Eyang. Dulu juga begitu
Ah 1 4.8% waktu jatuh cinta sama Eyang
Kakung?" tanya Nirmala
dengan nada bercanda.
Contoh kutipan :
“Dengan Eyang Kakungmu
Woo 1 4.8% tidak. Tapi dengan orang
lain... Woo seperti mau
mabur saja rasanya, hehehe”
Contoh kutipan :
Hehehe 2 9.6% “Siapa tahu gowoknya malah
yang diajari, hehehe”
Contoh kutipan :
Hahaha 1 4.8% “Sekarang tradisi itu sudah
hilang, hahaha”
Contoh kutipan :
Ihhh 1 4.8%
“Ihhh, Eyang!”
Contoh kutipan :
Ohhh 1 4.8%
“Ohhh..”
Dong 1 4.8% Contoh kutipan :
“Ceweknya masih tetap
perawan dong!”
Contoh kutipan :
Oooo 2 9.6%
“Oooo...dahsyat!”
Contoh kutipan :
“Hmm.. Mudah-mudahan
Hmm 3 14.3%
besok Arya Penangsang
datang melihat.”
Contoh kutipan :
Mabur 1 4.8% “Wooo seperti mau mabur
saja rasanya,”
Total 21 100%  

Berdasarkan tabel analisis di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi


kemunculan diksi kolokial yang paling yang paling sering muncul adalah kata
Hmm yaitu sebesar 15,4%.

2. Hasil Kajian Stile Aspek Struktur Sintaksis pada Novel Ledhek dari
Blora
Tabel 2.1 Struktur Sintaksis Novel Dilarang Mandi di Kamar Mandi

Jumlah Keterangan
Kajian
(Data hasil kajian terdapat di
Struktur
bagian lampiran)
Frekuensi Persentase
Kalimat 78 57.8% Contoh Kutipan:
Langsung
 “Itu yang bisa saya
ceritakan tentang Sriyati.
Dia sudah di alam baka.
Mudah-mudahan sudah
bahagia di surga.”
Kalimat Tidak 57 42.2% Contoh Kutipan:
Langsung
 Jika di kebetulan di kota
lain aku melihat hutan jati
atau pohon jati yang
tumbuh berjejer di tepi
jalan, pasti ingatanku
melayang ke Blora.
Total 135 100%

Berdasarkan tabel analisis di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi


kemunculan diksi kolokial yang paling yang paling sering muncul dalam novel
Ledhek dari Blora adalah struktur kalimat langsung, yaitu sebesar 57,8%.

3. Hasil Kajian Stile Aspek Kohesi dan Koherensi pada Novel Ledhek
dari Blora

Tabel 3 Kohesi dan Koherensi Novel Ledhek dari Blora


Jumlah Keterangan
Jenis Kohesi (Data hasil kajian
Frekuensi Persentase
terdapat di bagian
(%)
lampiran)
Rujuk Pengacuan 129 64.2% Terdapat kata ganti
Silang orang sebanyak 97
(Cross Contoh kutipan:
Reference)  Tapi karena
huru-hara
yang kami
tidak
mengerti, ia
lalu ditahan di
Plantungan.

Terdapat deiksis
sebanyak 32
Contoh kutipan:
 Karena sudah
tidak sakit,
ciuman itu
kubalas.

Elipsis 1 0.5% Contoh kutipan:


 “Jangan
meremehkan
bumi
kelahiranmu
sendiri,
Nirmala.
Blora sudah
terkenal sejak
zaman
Belanda.
Penghasil
kayu jati
terbaik di
Nusantara,
juga minyak
mentah.
Nama-nama
besar lahir di
sini.
Termasuk
Sang Adipati
Arya
Penangsang!”
Pengulangan 2 0.95% Contoh kutipan:
Formal  Dadanya
bergerak
pelan naik
turun. Dada
yang berisi.
Sebagian
besar laki-laki
sangat
menyukai
bentuk dada
seperti itu.
Varian 0 0% -
Elegan
Sambungan Konjungtor 6 3% Contoh kutipan:
(Linkage) Pertentangan  Dulu memang
ledhek
terkenal. Tapi
karena huru-
hara yang
kami tidak
mengerti, ia
lalu ditahan di
Plantungan.
Konjungtor 3 1.5% Contoh kutipan:
Pengutamaan  “Karena Arya
Penangsang
para ledhek
Tayub
terangkat
derajatnya.
Bahkan Sang
Adipati
sendiri
termasuk
seorang
penayub yang
andal.”
Konjungtor 20 9.95% Contoh kutipan:
Penambahan  Tetapi setahun
kemudian ia
kawin lagi
dan diajak
suaminya
tinggal di
Blitar.
Konjungtor 11 5.5% Contoh kutipan:
Sebab-akibat  Meski tengah
malam
sekalipun,
udara Cepu
memang
terasa panas.
Mungkin
karena
pengaruh
tanah kapur
dan
kandungan
minyak di
dalam tanah
begitu besar.
Konjungtor 29 14.4% Contoh kutipan:
Urutan  Setelah yakin
tidak ada
orang lain ia
lalu
menggeser
duduknya
sehingga jadi
lebih dekat.

Jumlah 201 100%

Berdasarkan tabel analisis novel Lhedek dari Blora di atas, dapat diketahui
bahwa frekuensi kemunculan yang paling sering muncul adalah kohesi pengacuan
yaitu sebesar 64,2%. Pengacuan yang paling sering digunakan adalah pengacuan
bentuk kata ganti orang (personal pronouns) sebanyak 97 kali. Pada novel Ledhek
dari Blora ini tidak ditemukan adanya variasi elegan.

4. Hasil Kajian Stile Aspek Pemajasan pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 4.1 Aspek Pemajasan Novel Ledhek dari Blora
Jumlah Keterangan
Jenis Majas Frekuensi Persentase (Data hasil kajian

(%) terdapat di bagian


lampiran)
Majas Simile 7 58,3% Contoh kutipan:
Perbandingan  Dadaku
berdesir
seperti ada
benda tajam
yang
mengiris
kulit.
Metafora 1 8.3% Contoh kutipan:
 Dada yang
berisi.
Sebagian
besar laki-
laki sangat
menyukai
bentuk dada
seperti itu.
Agak
menonjol
mirip
kelapa
gading.
Tidak besar
namun
indah
dilihat,
sehingga
tidak
membuat
bosan laki-
laki yang
bisa
memiliki.
Personifikasi 4 33,3% Contoh kutipan:
 Gelengan
kepala yang
ragu.

12 100%

Berdasarkan frekuensi kemunculannya, jenis majas yang paling


sering muncul pada novel Ledhek dari Blora adalah majas Simile yaitu
sebesar 58,3% dengan frekuensi kemunculan lima tujuh kali. Pada novel
Ledhek dari Blora tidak ditemukan adanya majas pertautan dan pada
majas perbandingan tidak ditemukan majas alegori.

5. Hasil Kajian Stile Aspek Penyiasatan Struktur pada Novel Ledhek


dari Blora

Tabel 5.1 Aspek Penyiasatan Struktur Novel Ledhek dari Blora


Jumlah Keterangan
Jenis Penyiasatan (Data hasil kajian terdapat
Struktur Frekuensi Persentas di bagian lampiran)
e
Repetisi Repetisi Contoh kutipan:
 “Apa Mas Sam
31 48.4% benar-benar ingin
mencari jejak
Sriyati?"
Paralelisme 3 4.7% Contoh Kutipan:
 Aku tidak
menyesal. Justru
merasa beruntung
karena bisa
mengenal Blora
lebih dalam. Bukan
hanya membaca di
dalam novel atau
novel dari
sastrawan terkenal
yang beberapa kali
menyebut Blora.

Contoh kutipan:
 Pilihanku tetap
sama, yakni model
Hiperbola 3 4.7% yang sudah
dianggap
kedaluwarsa.

Susunan Pertanyaan 23 35.9% Contoh kutipan:


Lain Retoris  “Kalau nanti sudah
menemukan jejak
Sriyati, lalu tidak
akan kembali ke
Blora lagi. Begitu,
bukan?”

Klimaks 3 4.7% Contoh kutipan:


 Jika kebetulan di
kota lain aku
melihat hutan jati
atau pohon jati
yang tumbuh
berjejer di tepi
jalan, pasti
ingatanku
melayang ke Blora.
Padahal baru dua
kali aku
mengunjungi dan
dalam waktu yang
singkat. Entah
kenapa sepertinya
aku terpikat
dengan kabupaten
ini. Padahal di sini
tidak ada siapa-
siapa, kecuali satu
dua teman belaka.
Baru sekarang
kenal Nirmala Jati
karena aku harus
opname di rumah
sakit. Kenal dekat.
Sedekat apa?
Akh! Aku tidak
berani bermimpi.
Laki-laki yang
tidak punya
pekerjaan tetap.
Apa yang bisa
diharapkan? Cinta
tidak membuat
perut jadi kenyang.
Cinta itu menjadi
indah manakala
kebutuhan hidup
sudah terpenuhi.
Antiklimaks 1 1.6% Contoh kutipan:
 Hari itu, ketika aku
tidak mau
memikirkan cinta,
ada rasa yang aneh
ketika Nirmala
duduk di
belakangku. Kami
boncengan naik
motor menuju
Cepu, ke rumah
Eyang Ratmi,
rumah Nirmala
juga. Dadaku jadi
terasa sesak ketika
kedua kaki
Nirmala menjepit
pinggangku dari
belakang,
sementara kedua
tangannya
mendekap perutku!
Baru kali ini, ya
baru kali ini aku
merasakannya.
Naik motor di jalan
aspal tapi serasa
berada di atas
angin! Belum
pernah ada
perempuan yang
kuboncengkan
dengan sepeda
motor bergaya
seperti Nirmala.

Jumlah 64 100%

Berdasarkan frekuensi kemunculannya, dapat kita simpulkan bahwa


penyiasatan struktur pada novel Ledhek dari Blora yang paling sering
muncul adalah repetisi, yaitu sebesar 48,4% dan yang paling sedikit
muncul adalah anti klimaks dengan persentase 1,5%.

6. Hasil Kajian Stile Aspek Citraan pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 6.1 Aspek Citraan Novel Ledhek dari Blora
Jumlah Keterangan
Jenis Citraan (Data hasil kajian terdapat
Frekuensi Persentase
di bagian lampiran)

Citraan Penglihatan 19 43.2% Contoh Kutipan:


(Visual)  Kata Nirmala
semua bak mandi
warga Cepu dan
sekitarnya
berwarna hitam.

Citraan Pendengaran 4 9.1% Contoh Kutipan:


(Auditif)  Nirmala tertawa
terbahak-bahak.
Citraan Gerak 19 43.2% Contoh kutipan :
(Kinestetik)  Aku menggeleng-
gelengkan kepala
Citraan Rabaan dan 2 4.5% Contoh Kutipan:
Penciuman  Meski tengah
malam sekalipun,
udara Cepu
memang terasa
panas.
Jumlah 44 100%

Berdasarkan frekuensi kemunculannya, dapat kita simpulkan bahwa


aspek citraan yang paling yang paling sering muncul adalah citraan
penglihatan (visual) dan citraan gerak (kinestetik), yaitu sebesar 43,2%
dan citraan yang paling sedikit muncul adalah citraan rabaan dan
penciuman yaitu sebanyak 4,5%.

B. Pembahasan
1. Seeking Aesthetic Function Berdasarkan Aspek Diksi
Karya sastra pada umumnya menggunakan bahasa sebagai media
ekspresi pengarang. Karya sastra merupakan karya imajinatif yang di
dalamnya terdapat unsur yang salah satunya adalah diksi. Diksi adalah
pemilihan kata yang dilakukan oleh pengarang untuk menyampaikan
gagasannya. Diksi yang dipilih oleh penulis dalam novel Ledhek dari
Blora memiliki nilai estetis. Nilai estetis itu adalah salah satu faktor
penting yang diciptakan agar sebuah cerita dapat dinikmati oleh pembaca.
Pilihan diksi yang terdapat pada novel Ledhek dari Blora karya
Budi Sardjono adalah kata kolokial. Kata kolokial sering kali dipakai oleh
masyarakat untuk mempersingkat pengucapan dan digunakan dalam
situasi informal atau santai. Kata kolokial ini dapat memberikan kesan
santai dan merakyat dalam cerita yang terdapat dalam novel Ledhek dari
Blora. Selain itu, kata kolokial juga menambah keluwesan dalam
dialognya sehingga cerita yang muncul terkesan natural.

2. Seeking Aesthetic Function Berdasarkan Aspek Struktur Sintaksis


Selain diksi, ciri yang terdapat dalam karya sastra adalah struktur
sintaksis. Struktur sintaksis merupakan salah satu unsur penting dalam
fiksi. Dalam novel Ledhek dari Blora, struktur sintaksis yang paling
menonjol adalah kalimat langsung. Kalimat langsung merupakan kalimat
pernyataan tokoh yang secara langsung sama persis disampaikan seperti
apa yang dikatakan tanpa penambahan atau pengurangan kata. Kalimat
langsung harus disertai dengan tanda petik. Kalimat langsung berfungsi
sebagai penegasan suatu kalimat yang dikatakan tokoh agar lebh jelas.
Konflik yang terjadi dalam novel ini juga akan lebih mudah
tersampaikan oleh pembaca melalui kalimat langsung. Konflik dalam
novel ini juga kebanyakan dimunculkan melalui kalimat langsung. Namun
dengan dominasi kalimat langsung ini cenderung membuat novel menjadi
seperti drama.

3. Seeking Aesthetic Function Berdasarkan Aspek Kohesi


Kohesi adalah keterkaitan antarunsur yang terdapat pada wacana
baik yang ditunjukkan secara eksplisit lewat kata-kata tertentu maupun
secara implisit lewat hubungan logika Nurgiyantoro (2019: 195-196).
Penyampaian dan pemahaman makna adalah esensi kegiatan berbahasa
dan sekaligus merupakan manifestasi fungsi bahasa. Kohesi dapat juga
dimaknai sebagai keterkaitan antarunsur yang terdapat pada wacana baik
yang ditunjukkan secara eksplisit lewat kata-kata tertentu maupun secara
implisit lewat hubungan logika. Jadi, ada keterkaitan dan keserasian
diantara kata-kata pembentuk kalimat atau kalimat-kalimat pembentuk
wacana (Nurgiyantoro, 2019: 195-196).
Salah satu macam kohesi adalah pengulangan formal. Pengulangan
formal juga sering disebut sebagai pengulangan ekspresif karena
penggunaan bentuk ini mampu membangkitkan kesan ekspresif,
penuturannya yang seolah-olah terlontar secara serta merta. (Nurgiyantoro,
2019:202).

Dadanya bergerak pelan naik turun. Dada yang berisi. Sebagian


besar laki-laki sangat menyukai bentuk dada seperti itu.
(Novel Ledhek dari Blora)

Penggunaan kata “dada” dalam kutipan kalimat tersebut termasuk


kohesi kohesi eksplisit karena memang mengulang kata yang sama.
Pengulangan itu terasa ekspresif dan karenanya memberikan efek
keindahan dan sekaligus memberikan penekanan penuturan.

4. Seeking Aesthetic Function Berdasarkan Aspek Pemajasan


Penggunaan majas dalam sebuah karya sastra bertujuan untuk
menciptakan efek yang lebih kaya, lebih efektif, dan lebih sugestif.
Menurut Djoko (2010:62), majas menyebabkan karya sastra menjadi lebih
menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, lebih hidup, dan dapat
menimbulkan kejelasan gambaran angan. Selain itu penggunaan majas
pada karya sastra dapat menimbulkan kesenangan imajinatif,
menghasilkan imaji tambahan sehingga hal-hal yang abstrak dapat menjadi
konkrit, menambah intensitas perasaan pengarang dalam menyampaikan
makna, dan mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan
cara-cara menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang singkat.
Pada novel Ledhek dari Blora ini tidak terdapat banyak sentuhan
majas. Salah salah satunya adalah majas simile yang merupakan
perbandingan yang bersifat eksplisit. Artinya majas itu akan langsung
menyatakan sesuatu mirip atau sama dengan yang lain dengan melibatkan
kata-kata seperti : seperti, sebagai, bagai, laksana dll. Majas ini cocok
untuk digunakan jika dibutuhkan suatu penguat dramatis. Seperti kutipan
majas simile dalam novel Ledhek dari Blora berikut ini:

Dadaku berdesir seperti ada benda tajam yang mengiris kulit.

Penambahan kata “seperti” menyatakan bahwa kata “dadaku yang


berdesir” sama dengan “ada benda tajam yang mengiris kulit”.
Penggunaan ini menambah kesan dramatis bahwa tokoh aku merasakan
nyeri di dadanya. Majas simile mempunyai kesan dramatis namun tidak
sekuat metafora.
5. Seeking Aesthetic Function Berdasarkan Aspek Penyiasatan Struktur
Penyiasatan struktur (figures of speech) merupakan istilah lain dari
sarana retorika, sering dikenal dengan sebutan gaya bahasa. Penyiasatan
struktur bermain di ranah struktur, dimaksudkan sebagai struktur yang
sengaja disiasati, dimanipulasi, dan didayakan untuk memperoleh efek
keindahan. Dalam kaitannya dengan tujuan untuk mencapai efek retoris
sebuah pengungkapan, penyiasatan struktur (rhetorical figures) lebih
menonjol daripada pemajasan, namun keduanya dapat digabungkan dalam
sebuah struktur (Nurgiyantoro, 2014:245-246).
Penyiasatan struktur salah satunya adalah paralelisme. Menurut
Nurgiyantoro (2019: 252-253), penggunaan paralelisme lazimnya
dimaksudkan untuk menekankan adanya kesejajaran bangun struktur yang
menduduki posisi yang sama dan mendukung gagasan yang sederajat.
Penggunaan bangun struktur yang paralel dalam kalimat penuturan akan
menghasilkan bentuk-bentuk pengungkapan yang retoris dan sekaligus
melodis di samping mempermudah pemahaman pembaca (atau pendengar)
karena gagasan yang sederajat ingin disampaikan itu “dibungkus” dengan
pola struktur yang mirip. Dengan demikian, pemahaman terhadap satu
pola struktur dapat diterapkan pada struktur berikutnya. Bentuk-bentuk
gramatikal yang dipararelkan itu sendiri dapat berupa struktur kata, frase,
atau kalimat, bahkan juga alinea pada teks prosa-fiksi, atau kata, dan bait
dalam teks puisi. berikut ini adalah contoh kutipan repetisi dalam novel
Ledhek dari Blora:

Aku tidak menyesal. Justru merasa beruntung karena bisa


mengenal Blora lebih dalam. Bukan hanya membaca di dalam
novel atau novel dari sastrawan terkenal yang beberapa kali
menyebut Blora.
(Novel Ledhek dari Blora)

Awalan me- pada contoh kalimat tersebut adalah bentuk


paralelisme struktur kata. Awalan tersebut merupakan kata kerja aktif, oleh
karena itu kalimat itu berbentuk aktif. Kata kerja aktif mesti digunakan
pada kalimat yang lain agar sejajar (paralel).

6. Seeking Aesthetic Function Berdasarkan Aspek Citraan


Citraan adalah kesan yang dapat kita terima pada sebuah karya
sastra. Citraan digunakan oleh pengarang untuk memperkuat gambaran
pemikiran dan perasaan pembaca. Citraan berhubungan erat dengan indra
manusia yang menggambarkan angan dalam karya sastra melalui kata –
kata. Citraan bersifat deskriptif dan imajinatif yang diwujudkan dalam
bentuk kebendaan melalui kata. Kehadiran citraan tidak membawaa kesan
baru dalam pikiran melainkan melibatkan pembaca untuk terlibat dalam
kreasi pengindraan dalam karya sastra.
Citraan dalam novel Ledhek dari Blora dimanfaatkan oleh
pengarang untuk memberikan gambaran dalam cerita. Citraan diberikan
sebagai sarana untuk menyampaikan sesuatu secara konkrit melalui
deskripsi dan perlambangan. Citraan penglihatan (visual) dan citraan gerak
(kinestetik) adalah citraan yang paling dominan dalam novel Ledhek dari
Blora. Citraan penglihatan mampu memberikan rangsangan seolah-olah
pembaca dapat menikmati keindahan yang digambarkan dalam karya satra
dan citraan gerak dapat memberikan rangsangan pembaca dalam
membayangkan setiap gerakan yang dideskripsikan oleh pengarang.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan., dkk. 2003.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Enre, Fachrudin Ambo. 1988. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Jakarta:


Depdikbud.
Djoko, Pradopo Rachmat. 2010. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Daya Bahasa. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama.
Mayore, Tenri. 2013. Sarana Kohesi dalam Novel Berjudul Robohnya Surau
Kami karya A.A Navis. Jurnal Skripsi. Manado: Universitas Sam
Ratulangi.
Nurgiyantoro, Burhan. 2019. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Widyamartaya, A. 1990. Seni Menuangkan Gagasan. Yogyakarta : Kanisius.

LAMPIRAN
1. Daftar Data Stile Diksi pada Novel Ledhek dari Blora

Tabel 1.2 Tabel Data Stile Diksi pada Novel Ledhek dari Blora
Kajian Diksi Data
Kolokial Akh Akh! Aku tidak berani bermimpi.
Akh, kalimat yang puitis!

Ha “Ha? Tidak takut luka atau lecet-lecet?”


“Ha? Benarkah Eyang?” tukasku hampir
tidak percaya.

Kok “Kok Eyang dulu tidak mengatakan


kepadaku?”

Busyet Busyet! Aku tidak tahu Nirmala serius atau


lagi bercanda.

Mosok “Mosok jatuh cinta bisa luka dan lecet-


lecet?”

Ah “Ah, Eyang. Dulu juga begitu waktu jatuh


cinta sama Eyang Kakung?" tanya Nirmala
dengan nada bercanda.

Woo “Dengan Eyang Kakungmu tidak. Tapi


dengan orang lain... Woo seperti mau mabur
saja rasanya, hehehe”

Hehehe “Woo seperti mau mabur saja rasanya,


hehehe.”
“Siapa tahu gowoknya malah yang diajari,
hehehe”
Hahaha “Sekarang tradisi itu sudah hilang, hahaha”

Ihhh “Ihhh, Eyang!”

Ohhh “Ohhh..”

Dong “Ceweknya masih tetap perawan dong!”

Oooo “Oooo...dahsyat!”
“Oooo...”

Hmm “Hmm..jangan tinggalkan aku sendirian to


Mas,”
Hmm. Aku menghela napas.
“Hmm.. Mudah-mudahan besok Arya
Penangsang datang melihat.”

Mabur “Wooo seperti mau mabur saja rasanya,”

2. Daftar Data Stile Struktur Sintaksis pada Novel Ledhek dari Blora

Tabel 2.2 Tabel Data Stile Struktur Sintaksis pada Novel Ledhek dari Blora
Kajian Struktur Data
Kalimat Langsung  “Jadi Mas Sam mau meninggalkan Blora?”
 “Hanya sebentar. Paling dua atau tiga hari,”
 “Kalau nanti sudah menemukan jejak Sriyati,
lalu tidak akan kembali ke Blora lagi. Begitu,
bukan?”
 “Blora tidak menarik lagi, ya
 “Hanya kabupaten kecil, tidak menarik untuk
dikunjungi. Panas udaranya."
 “Jangan meremehkan bumi kelahiranmu
sendiri, Nirmala. Blora sudah terkenal sejak
zaman Belanda. Penghasil kayu jati terbaik di
Nusantara, juga minyak mentah. Nama-nama
besar lahir di sini. Termasuk Sang Adipati
Arya Penangsang!”
 “Apa kamu tidak bangga dengan nama itu?”
 “Karena Arya Penangsang para ledhek Tayub
terangkat derajatnya. Mereka diangkat dari
wilayah pinggiran lalu diletakkan di pendapa
kabupaten. Bahkan Sang Adipati sendiri
termasuk seorang penayub yang andal.
Seandal dia memainkan senjata tajam di
medan perang.”
 “Dari mana Mas Sam tahu cerita tentang Arya
Penangsang sebagai seorang penayub?"
 “Dari tokoh Tayub di Cepu. Pak Panayadi.
Kenal?”
 “Pernah dengar namanya, tapi belum pernah
ketemu orangnya. Eyang mungkin kenal.”
 “Sesama orang Cepu belum pernah ketemu?”
 “Mas, Cepu itu luas. Kecamatan.
Penduduknya ribuan. Kalau satu dusun pasti
saya kenal.”
 “Iya ya, ha..ha..ha..”
 “Besok aku mau pulang ke Cepu. Kangen
anakku. Juga mau melihat Tayub di pendapa
Balai Desa. Mau ikut?”
 “Mau sekali!”
 “Impian yang terwujud. Aku ingin melihat
pentas Tayub sebelum ke Yogyakarta.”
 “Mudah-mudahan nanti Mas Sam terpikat
oleh salah Satu ledheknya!”
 “Ha?”
 “Ya. Terpikat, lalu terikat dan terjerat!”
“Ha.ha..ha..
 “Lalu mau tinggal di Blora?
 “Boleh jika aku nanti terpikat dengan seorang
ledheknya?”
 “Siapa yang melarang?”
 “Boleh aku tidur di punggungmu, Mas Sam?”
 “Bisa jatuh nanti!”
 “Tidak apa-apa."
 “Ha? Tidak takut luka atau lecet-lecet?”
 “Mosok jatuh cinta bisa luka dan lecet-lecet?”
 "Orang jatuh cinta kok luka dan lecet-lecet.
Piye to kamu itu Nir, protes Eyang Ratmi.
 “Orang jatuh cinta itu ya senang. Dadanya
berdebar-debar terus.”
 “Ah, Eyang. Dulu juga begitu waktu jatuh
cinta sama Eyang Kakung?"
 “Dengan Eyang Kakungmu tidak. Tapi
dengan orang lain...wooo seperti mau mabur
saja rasanya, he.he..he.,”
 “Ihhh, Eyang!”
 “Eyang selingkuh ya?”
 “Bukan begitu. Dengan orang lain itu
maksudnya saya benar-benar jatuh cinta.
Sedang sama Eyang Kakungmu itu karena
dijodohkan orangtua. Jadi, tidak ada rasa
cinta. Tapi lama-lama cinta juga kok,”
 “Zaman dulu biasa dijodohkan tanpa saling
kenal lebih dulu. Bahkan dikawinkan ketika
usia masih sangat belia. Cowoknya baru saja
sunat, sedang ceweknya mungkin belum
menstruasi,”
 “Karena itulah sehabis dipestakan keduanya
lalu kembali ke rumah masing-masing.
Kembali kepada orangtuanya.”
 “Ceweknya masih tetap perawan dong!”
 “Cowoknya belum tahu cara memperlakukan
istrinya. Mungkin juga masih takut. Hal itulah
yang pada zaman dulu melahirkan tradisi
adanya gowok.”
 “Gowok? Apa itu Mas?”
 “Perempuan dewasa yang mengajari calon
penganten laki-laki bagaimana nanti jika
sudah punya istri.”
 “Mengajari apa?”
 “Komplit. Bagaimana cara merayu,
menyentuh titik-titik yang sensitif pada tubuh
istrinya, lalu memberi kepuasan batin kepada
istrinya. Semua diajarkan oleh gowok.”
 "Praktiknya juga sama gowok itu?”
 "Ya"
 “Kalau zaman sekarang ada tante yang
mengajari brondong bermain seks. Begitu
ya?”
 “Seorang gowok bukan hanya mengajarkan
soal seks saja, namun juga ramu-ramuan yang
bisa membuat lelaki jadi perkasa. Mendidik
cowok remaja tadi menjadi lelananging jagad
di mata istrinya. Bisa mengayomi,
mensejahterakan hidupnya, dan memberi
kepuasan batin.”
 “Oooo...dahsyat!”
 “Sekarang tradisi itu sudah hilang,
ha..ha..ha..”
 “Kalau masih ada Mas Sam mau minta diajari
oleh gowok ya?"
 “Sudah kasep!”
 “Siapa tahu gowoknya malah yang diajari,
he..he.. he”
 “Ada apa Eyang?” tanyaku lirih. Eyang Ratmi
tidak menjawab. Ia lalu menarik tanganku dan
mengajak duduk di kursi kayu di beranda
belakang. “Eyang belum tidur?”
 “Apa Mas Sam benar-benar ingin mencari
jejak Sriyati?"
 “Sungguh?”
 “Tapi tidak untuk membuat dia celaka lagi
to?”
 “Tidak Eyang. Justru ingin membuat dia
senang karena ada orang kaya yang ingin
bertemu. Siapa tahu orang kaya itu mau
membantu hidup Sriyati, andaikata dia
sengsara,”
 “Sriyati itu...Sriyati itu adalah anakku”
 “Ha? Benarkah Eyang?”
 “Kok Eyang dulu tidak mengatakan
kepadaku?”
 “Eyang takut kalau sampeyan akan membuat
anak cucu Sriyati celaka.”
 “Tidak Eyang. Sungguh, demi Allah, aku
tidak akan berbuat seperti itu. Tolong Eyang
ceritakan siapa sebenarnya Sriyati,”
 “Tapi ini rahasia ya, jangan sampai Nirmala
tahu.”
 "Aku tidak akan menceritakan kepada siapa-
siapa, Eyang.”
 “Sriyati itu anakku. Dulu memang ledhek
terkenal. Tapi karena huru-hara yang kami
tidak mengerti, ia lalu ditahan di Plantungan.
Setelah empat tahun dia ditahan di sana, saya
pun akhirnya ikut dibawa ke sana juga.”
 “Ohhh..”
 “Suatu ketika Sriyati hamil. Saya tidak tahu
siapa yang menghamili. Tapi karena itu, ia
lalu dipindah ke Semarang. Setelah
melahirkan ia lalu dikembalikan di
Plantungan. Anaknya diambil orang, dijadikan
anak angkat, lalu dibawa ke Jakarta. Setelah
bebas Sriyati mendapat jodoh lalu punya anak
satu. Nirmala. Mereka tinggal di Nganjuk.
Ketika Nirmala berumur sembilan tahun
mereka bercerai. Sriyati lalu pulang kemari.
Tetapi setahun kemudian ia kawin lagi dan
diajak suaminya tinggal di Blitar. Nirmala
ditinggal dan saya yang membesarkan.”
 “Ooo...”
 “Dengan suaminya yang kedua Sriyati tidak
punya anak. Tapi umurnya tidak panjang.
Ketika Nirmala kelas tiga SMP Sriyati
meninggal dunia dan dikubur di Blitar.
Setelah itu, saya tidak pernah ketemu dengan
bapak tirinya Nirmala.”
 “Lalu bapak kandung Nirmala ada di mana
Eyang?”
 “Itu yang bisa saya ceritakan tentang Sriyati.
Dia sudah di alam baka. Mudah-mudahan
sudah bahagia di surga.”
 "Amin."
 “Dari kamar mandi ya?”
 “Ya, jawabku lirih.
 “Hmmm..jangan tinggalkan aku sendirian to
Mas,”
 “Eyang tadi cerita apa?"
 “Besok sore akan ada pentas Tayub di
pendapa balai desa,"
 “Hmm..mudah-mudahan besok Arya
Penangsang datang melihat.”
Kalimat Tidak  Setelah tiga hari Nirmala baru membuka
Langsung perban di pipi kanan dan pipi kiri.
 Tadi pagi sebelum berangkat ke rumah sakit
Nirmala memberi hadiah ciuman.
 Dia kepingin tahu sejauh mana usahaku
melacak jejak ledhek Sriyati membuahkan
hasil.
 Dia pun ingin melihat langsung sosok diriku
yang sudah dipercaya Untuk menuliskan
biografinya.
 Tanya Nirmala ketika kuceritakan keinginan
Mas Don mengundangku ke Yogya.
 Pertanyaan yang sulit kujawab! Sorot mata
Nirmala mudah dibaca, mewakili suara hati
perempuan itu.
 Ia tidak rela kalau aku akan meninggalkan
Blora dan tidak pernah kembali lagi.
 Nirmala menatapku. Kedua bola matanya
tampak berbinar-binar.
 Nirmala menggeleng. Gelengan kepala yang
ragu.
 Itu isyarat bahwa ia menyembunyikan sesuatu.
 Nirmala tertawa kecil seperti meremehkan
pertanyaanku.
 Tidak pernah terbayangkan kalau aku harus
memasuki dunia Tayub sekaligus kehidupan
para ledhek.
 Tapi karena tuntutan profesi alias tuntutan
perut harus diisi, mau tidak mau dunia itu
harus kumasuki.
 Demi empat anak asuhku. Aku tidak menyesal.
Justru merasa beruntung karena bisa mengenal
Blora lebih dalam.
 Jika di kebetulan di kota lain aku melihat
hutan jati atau pohon jati yang tumbuh berjejer
di tepi jalan, pasti ingatanku melayang ke
Blora.
 Padahal baru dua kali aku mengunjungi dan
dalam waktu yang singkat.
 Entah kenapa sepertinya aku terpikat dengan
kabupaten ini.
 Baru sekarang kenal Nirmala Jati karena aku
harus opname di rumah sakit.
 Akh! Aku tidak berani bermimpi.
 Benarkah? Aku tidak mau memikirkan!
 Hari itu, ketika aku tidak mau memikirkan
cinta, ada rasa yang aneh ketika Nirmala
duduk di belakangku.
 Kami boncengan naik motor menuju Cepu, ke
rumah Eyang Ratmi, rumah Nirmala juga.
 Dadaku jadi terasa sesak ketika kedua kaki
Nirmala menjepit pinggangku dari belakang,
sementara kedua tangannya mendekap
perutku! Baru kali ini, ya baru kali ini aku
merasakannya.
 Naik motor di jalan aspal tapi serasa berada di
atas angin! Belum pernah ada perempuan yang
kuboncengkan dengan sepeda motor bergaya
seperti Nirmala.
 Aku ingin menikmati jepitan kedua kaki dan
dekapan tangan perempuan ini.
 Busyet! Aku tidak tahu Nirmala serius atau
lagi bercanda. Tapi kalimat yang sama ia
ulangi ketika kami sudah tiba di rumahnya.
Kalimat itu ia ucapkan, entah disengaja atau
tidak, justru di depan Eyang Ratmi.
 Sahut Nirmala sambil melempar senyum dan
masuk kamar.
 Kata Nirmala semua bak mandi warga Cepu
dan sekitarnya berwarna hitam. Itu pasti
pengaruh residu minyak yang larut dalam air
meski tidak berbau.
 Tengah malam itu aku bangun hati-hati.
Nirmala tampak pulas.
 Ia tadi sempat berbisik mengulang kalimat
yang pernah diucapkannya dulu.
 Mungkin baginya malam ini ia mirip pohon
jati yang sedang bersemi daunnya setelah
selama beberapa bulan meranggas dihajar
kemarau.
 Sebagian besar laki-laki sangat menyukai
bentuk dada seperti itu.
 Aku yakin mantan suaminya pasti menyesal.
 Pelan-pelan aku bangkit dari tempat tidur
karena mau ke kamar mandi.
 Begitu mau kembali ke kamar Eyang Ratmi
menggamit tanganku.
 Ia memberi isyarat agar aku tidak bicara keras.
 Eyang Ratmi tidak menjawab.
 Ia lalu menarik tanganku dan mengajak duduk
di kursi kayu di beranda belakang.
 Perempuan itu menggeleng lalu menatapku
tajam.
 Eyang Ratmi mengangguk-angguk.
 Dalam jarak dekat aku bisa melihat bibirnya
bergetar.
 Katanya kemudian dengan suara serak.
 Tukasku hampir tidak percaya.
 Aku menggeleng-gelengkan kepala.
 Eyang Ratmi menengok ke belakang.
 Setelah yakin tidak ada orang lain ia lalu
menggeser duduknya sehingga jadi lebih
dekat.
 Dadaku berdesir seperti ada benda tajam yang
mengiris kulit.
 Ibu dan anak menjadi tahanan.
 Perempuan itu menggeleng.
 Mata Eyang Ratmi berkaca-kaca. Sesaat
kemudian ia lalu menyuruhku agar segera
kembali ke kamar.
 Pintanya lirih sebelum dia masuk ke kamar
tidurnya sendiri.
 Semua yang kulihat seperti berputar saat itu.
 Tanya Nirmala ketika aku merebahkan diri di
sampingnya.
 Kata Nirmala sambil memelukku.
 Hmm. Aku menghela napas.
 Tanya Nirmala kemudian.
 Nirmala makin kencang memelukku.

1. Daftar Data Kajian Stile Aspek Kohesi dan Koherensi pada Novel Ledhek
dari Blora
3.2 Kohesi dan Koherensi Novel Ledhek dari Blora
Keterangan
Jenis Kohesi (Data hasil kajian terdapat di bagian lampiran)

Rujuk Silang Pengacuan  “Hanya kabupaten kecil, tidak menarik


(Cross untuk dikunjungi. Panas udaranya."
Reference)  Kedua bola matanya tampak berbinar-
binar.
 “Pernah dengar namanya,”
 “Tapi belum pernah ketemu orangnya.
 “Karena Arya Penangsang para ledhek
Tayub terangkat derajatnya.”
 “Penduduknya ribuan. Kalau satu
dusun pasti saya kenal.”
 “Mudah-mudahan nanti Mas Sam
terpikat oleh salah Satu ledheknya!”
 “Boleh jika aku nanti terpikat dengan
seorang ledheknya?”
 Baru kali ini, ya baru kali ini aku
merasakannya.
 Tapi kalimat yang sama ia ulangi ketika
kami sudah tiba di rumahnya.
 “Bukan begitu. Dengan orang lain itu
maksudnya saya benar-benar jatuh
cinta.”
 “Cowoknya baru saja sunat,”
 “Sedang ceweknya mungkin belum
menstruasi,”
 “Ceweknya masih tetap perawan
dong!” sahut Nirmala.
 “Cowoknya belum tahu cara
memperlakukan istrinya.”
 “Siapa tahu gowoknya malah yang
diajari, hehehe..”
 Warnanya hitam.
 Kata Nirmala semua bak mandi warga
Cepu dan sekitarnya berwarna hitam.
 Wajahnya seperti tersenyum ketika
tidur.
 Ia tadi sempat berbisik mengulang
kalimat yang pernah diucapkannya
dulu.
 Mungkin baginya malam ini ia mirip
pohon jati yang sedang bersemi
daunnya setelah selama beberapa bulan
meranggas dihajar kemarau.
 Nafasnya teratur.
 Dadanya bergerak pelan naik turun.
 “Dalam jarak dekat aku bisa melihat
bibirnya bergetar.”
 Katanya kemudian dengan suara serak.
 Setelah yakin tidak ada orang lain ia
lalu menggeser duduknya.
 Anaknya diambil orang.
 Tetapi setahun kemudian ia kawin lagi
dan diajak suaminya tinggal di Blitar.
 “Dengan suaminya yang kedua Sriyati
tidak punya anak.”
 “Tapi umurnya tidak panjang.”
 “Setelah itu, saya tidak pernah ketemu
dengan bapak tirinya Nirmala.”
 Pintanya lirih sebelum dia masuk ke
kamar tidurnya sendiri.
 Tanya Nirmala ketika aku merebahkan
diri di sampingnya.
 “Mas, Cepu itu luas. Kecamatan.
Penduduknya ribuan. Kalau satu dusun
pasti saya kenal.”
 “Bukan begitu. Dengan orang lain itu
maksudnya saya benar-benar jatuh
cinta.”
 “Saya pun akhirnya ikut dibawa ke sana
juga.”
 Saya tidak tahu siapa yang menghamili.
 “Nirmala ditinggal dan saya yang
membesarkan.”
 ”Setelah itu, saya tidak pernah
ketemu.”
 “Itu yang bisa saya ceritakan tentang
Sriyati.”
 “Mereka diangkat dari wilayah
pinggiran lalu diletakkan di pendapa
kabupaten.”
 “Mereka tinggal di Nganjuk.”
 “Ketika Nirmala berumur sembilan
tahun mereka bercerai.”
 Untuk kesekian kali aku harus membeli
handphone baru lagi.
 Menelponku agar minggu depan aku ke
Yogyakarta.
 Dia kepingin tahu sejauh mana usahaku
melacak jejak ledhek Sriyati
membuahkan hasil.
 “Ia tidak rela kalau aku akan
meninggalkan Blora”
 Aku menggeleng.
 Ganti aku yang tertawa.
 “Besok aku mau pulang ke Cepu”
 Aku kembali tertawa.
 “Boleh jika aku nanti terpikat dengan
seorang ledheknya?”
 Tidak pernah terbayangkan kalau aku
harus memasuki dunia Tayub sekaligus
kehidupan para ledhek.
 Aku tidak menyesal. Justru merasa
beruntung karena bisa mengenal Blora
lebih dalam.
 Jika di kebetulan di kota lain aku
melihat hutan jati atau pohon jati yang
tumbuh berjejer di tepi jalan, pasti
ingatanku melayang ke Blora.
 Entah kenapa sepertinya aku terpikat
dengan kabupaten ini.
 Baru sekarang kenal Nirmala Jati
karena aku harus opname di rumah
sakit.
 Akh! Aku tidak berani bermimpi.
 Benarkah? Aku tidak mau memikirkan!
 Hari itu, ketika aku tidak mau
memikirkan cinta, ada rasa yang aneh
ketika Nirmala duduk di belakangku.
 “Boleh aku tidur di punggungmu, Mas
Sam?”
 Aku ingin menikmati jepitan kedua
kaki dan dekapan tangan perempuan
ini.
 Busyet! Aku tidak tahu Nirmala serius
atau lagi bercanda.
 Aku mengangguk.
 Pelan-pelan aku bangkit dari tempat
tidur.
 Tengah malam itu aku bangun hati-hati.
 Ia memberi isyarat agar aku tidak
bicara keras.
 Aku mengangguk.
 Aku mengangguk lagi.
 Dalam jarak dekat aku bisa melihat
bibirnya bergetar.
 Aku menggeleng-gelengkan kepala.
 “Tidak Eyang. Sungguh, demi Allah,
aku tidak akan berbuat seperti itu.
Tolong Eyang ceritakan siapa
sebenarnya Sriyati,”
 "Aku tidak akan menceritakan kepada
siapa-siapa, Eyang.”
 “Hmm..jangan tinggalkan aku sendirian
to Mas,”
 Hmm. Aku menghela napas.
 Mereka diangkat dari wilayah pinggiran
lalu diletakkan di pendapa kabupaten.
 berharap-harap suatu hari bisa membeli
mebel yang besar-besar untuk ruang
tamu mereka yang sempit.
 Piye to kamu itu Nir, protes Eyang
Ratmi.
 “Apa kamu tidak bangga dengan nama
itu?”
 Dia kepingin tahu sejauh mana usahaku
melacak jejak ledhek Sriyati
membuahkan hasil.
 Dia pun ingin melihat langsung sosok
diriku yang sudah dipercaya untuk
menuliskan biografinya.
 “Seandal dia memainkan senjata tajam
di medan perang.”
 “Tapi tidak untuk membuat dia celaka
lagi to?”
 “Tidak Eyang. Justru ingin membuat
dia senang karena ada orang kaya yang
ingin bertemu.“
 “Siapa tahu orang kaya itu mau
membantu hidup Sriyati, andaikata dia
sengsara,”
 “Setelah empat tahun dia ditahan di
sana,”
 Dia sudah di alam baka.
 Pintanya lirih sebelum dia masuk ke
kamar tidurnya sendiri.
 Kalimat itu ia ucapkan, entah disengaja
atau tidak, justru di depan Eyang
Ratmi.
 Kami boncengan naik motor menuju
Cepu, ke rumah Eyang Ratmi, rumah
Nirmala juga.
 Tapi kalimat yang sama ia ulangi ketika
kami sudah tiba di rumahnya.
 Tapi karena huru-hara yang kami tidak
mengerti, ia lalu ditahan di Plantungan.
 Karena sudah tidak sakit, ciuman itu
kubalas.
 Hari itu Mas Don, sosok yang hanya
kukenal lewat suara dan SMS,
menelponku agar minggu depan aku ke
Yogyakarta.
 Mewakili suara hati perempuan itu.
 Itu pancaran dari kekaguman dan rasa
bangga yang menyatu.
 “Apa kamu tidak bangga dengan nama
itu?”
 “Itu isyarat bahwa ia menyembunyikan
sesuatu.”
 “Mas, Cepu itu luas.”
 Mau tidak mau dunia itu harus
kumasuki.
 Cinta itu menjadi indah manakala
kebutuhan hidup sudah terpenuhi.
 Hari itu, ketika aku tidak mau
memikirkan cinta.
 Kalimat itu ia ucapkan, entah disengaja
atau tidak, justru di depan Eyang
Ratmi.
 "Orang jatuh cinta kok luka dan lecet-
lecet. Piye to kamu itu Nir, protes
Eyang Ratmi.”
 “Orang jatuh cinta itu ya senang.
Dadanya berdebar-debar terus.”
 Dengan orang lain itu maksudnya saya
benar-benar jatuh cinta.
 “Sedang sama Eyang Kakungmu itu
karena dijodohkan orangtua.”
 “Gowok? Apa itu Mas?”
 "Praktiknya juga sama gowok itu?”
 “Sekarang tradisi itu sudah hilang,
hahaha”
 Hal itu kelihatan dari dinding dan dasar
bak kamar mandi.
 Itu pasti pengaruh residu minyak yang
larut dalam air meski tidak berbau.
 Sebagian besar laki-laki sangat
menyukai bentuk dada seperti itu.
 Perempuan itu menggeleng lalu
menatapku tajam.
 “Siapa tahu orang kaya itu mau
membantu hidup Sriyati, andaikata dia
sengsara,”
 “Sriyati itu...Sriyati itu adalah
anakku,”
 “Tidak Eyang. Sungguh, demi Allah,
aku tidak akan berbuat seperti itu.”
 “Sriyati itu anakku.”
 Perempuan itu menggeleng.
 Semua yang kulihat seperti berputar
saat itu.
 Mungkin baginya malam ini ia mirip
pohon jati yang sedang bersemi
daunnya.
 Betapa bodoh laki-laki yang
meninggalkan begitu saja perempuan
ini.
 “Tapi ini rahasia ya, jangan sampai
Nirmala tahu.”
 Ini pertanda malam akan segera menuju
Subuh.
Elipsis  “Jangan meremehkan bumi
kelahiranmu sendiri, Nirmala. Blora
sudah terkenal sejak zaman Belanda.
Penghasil kayu jati terbaik di
Nusantara, juga minyak mentah. Nama-
nama besar lahir di sini. Termasuk
Sang Adipati Arya Penangsang!”
Pengulangan  Dia kepingin tahu sejauh mana usahaku
Formal melacak jejak ledhek Sriyati
membuahkan hasil. Dia pun ingin
melihat langsung sosok diriku yang
sudah dipercaya Untuk menuliskan
biografinya.
 Dadanya bergerak pelan naik turun.
Dada yang berisi. Sebagian besar laki-
laki sangat menyukai bentuk dada
seperti itu.
Variasi -
Elegan
Sambungan Konjungtor  “Tapi tidak untuk membuat dia celaka
(Linkage) Pertentangan lagi to?”
 “Tapi ini rahasia ya, jangan sampai
Nirmala tahu.”
 Dulu memang ledhek terkenal. Tapi
karena huru-hara yang kami tidak
mengerti, ia lalu ditahan di Plantungan.
 “Suatu ketika Sriyati hamil. Saya tidak
tahu siapa yang menghamili. Tapi
karena itu, ia lalu dipindah ke
Semarang.”
 “Setelah bebas Sriyati mendapat jodoh
lalu punya anak satu. Sriyati lalu
pulang kemari. Tetapi setahun
kemudian ia kawin lagi dan diajak
suaminya tinggal di Blitar. Nirmala
ditinggal dan saya yang membesarkan.”
 “Dengan suaminya yang kedua Sriyati
tidak punya anak. Tapi umurnya tidak
panjang. Ketika Nirmala kelas tiga
SMP Sriyati meninggal dunia dan
dikubur di Blitar.”
 “Seorang gowok bukan hanya
mengajarkan soal seks saja, namun juga
ramu-ramuan yang bisa membuat lelaki
jadi perkasa.”
 Tidak besar namun indah dilihat,
sehingga tidak membuat bosan laki-laki
yang bisa memiliki.
Konjungtor  “Karena Arya Penangsang para ledhek
Pengutamaan Tayub terangkat derajatnya. Bahkan
Sang Adipati sendiri termasuk seorang
penayub yang andal.”
 “Zaman dulu biasa dijodohkan tanpa
saling kenal lebih dulu. Bahkan
dikawinkan ketika usia masih sangat
belia.”
 “Siapa tahu gowoknya malah yang
diajari, hehehe..”
Konjungtor  Setelah tiga hari Nirmala baru
Penambahan membuka perban di pipi kanan dan pipi
kiri.
 Hari itu Mas Don, sosok yang hanya
kukenal lewat suara dan SMS.
 Ia tidak rela kalau aku akan
meninggalkan Blora dan tidak pernah
kembali lagi.
 Itu pancaran dari kekaguman dan rasa
bangga yang menyatu.
 “Ya. Terpikat, lalu terikat dan terjerat!”
 Padahal baru dua kali aku mengunjungi
dan dalam waktu yang singkat.
 Aku ingin menikmati jepitan kedua
kaki dan dekapan tangan perempuan
ini.
 “Mosok jatuh cinta bisa luka dan lecet-
lecet?”
 "Orang jatuh cinta kok luka dan lecet-
lecet. Piye to kamu itu Nir, protes
Eyang Ratmi.”
 “Bisa mengayomi, mensejahterakan
hidupnya, dan memberi kepuasan
batin.”
 Mungkin karena pengaruh tanah kapur
dan kandungan minyak di dalam tanah
begitu besar.
 Hal itu kelihatan dari dinding dan dasar
bak kamar mandi.
 Kata Nirmala semua bak mandi warga
Cepu dan sekitarnya berwarna hitam.
 Hutan jati tampak kerontang dan tidak
menarik dilihat.
 Hutan jati tampak hijau dan enak dilihat
mata.
 Ia lalu menarik tanganku dan mengajak
duduk di kursi kayu di beranda
belakang.
 Tetapi setahun kemudian ia kawin lagi
dan diajak suaminya tinggal di Blitar.
 Nirmala ditinggal dan saya yang
membesarkan.
 Ketika Nirmala kelas tiga SMP Sriyati
meninggal dunia dan dikubur di Blitar.
 Antara bahagia, kaget, bingung, dan
entah rasa apa lagi, berkecamuk di
dada.
Konjungtor  Wajahku tidak mulus lagi sekarang.
Sebab-akibat Karena ada bekas luka. Bibir juga
sudah tidak jontor lagi. Tadi pagi
sebelum berangkat ke rumah sakit
Nirmala m emberi hadiah ciuman.
 Karena sudah tidak sakit, ciuman itu
kubalas. dengan agak ganas.
 “Karena Arya Penangsang para ledhek
Tayub terangkat derajatnya.”
 Tapi karena tuntutan profesi alias
tuntutan perut harus diisi, mau tidak
mau dunia itu harus kumasuki.
 Demi empat anak asuhku. Aku tidak
menyesal. Justru merasa beruntung
karena bisa mengenal Blora lebih
dalam.
 Baru sekarang kenal Nirmala Jati
karena aku harus opname di rumah
sakit.
 “Sedang sama Eyang Kakungmu itu
karena dijodohkan orangtua. Jadi, tidak
ada rasa cinta.”
 “Karena itulah sehabis dipestakan
keduanya lalu kembali ke rumah
masing-masing. Kembali kepada
orangtuanya.”
 Meski tengah malam sekalipun, udara
Cepu memang terasa panas. Mungkin
karena pengaruh tanah kapur dan
kandungan minyak di dalam tanah
begitu besar.
 Benar-benar seorang suami yang bodoh
karena telah meninggalkannya. Aku
yakin mantan suaminya pasti menyesal.
 Pelan-pelan aku bangkit dari tempat
tidur karena mau ke kamar mandi.
 “Justru ingin membuat dia senang
karena ada orang kaya yang ingin
bertemu”
 “Tapi karena huru-hara yang kami tidak
mengerti, ia lalu ditahan di
Plantungan.”
Konjungtor  “Blora tidak menarik lagi, ya?”
Urutan desaknya kemudian.
 “Eyang belum tidur?” tanyaku
kemudian.
 “Sriyati itu...Sriyati itu adalah anakku,”
katanya kemudian dengan suara serak.
 “Tetapi setahun kemudian ia kawin lagi
dan diajak suaminya tinggal di Blitar”
 Sesaat kemudian ia lalu menyuruhku
agar segera kembali ke kamar.
 “Eyang tadi cerita apa?" tanya Nirmala
kemudian.
 “Kalau nanti sudah menemukan jejak
Sriyati, lalu tidak akan kembali ke
Blora lagi. Begitu, bukan?”
 “ “Ya. Terpikat, lalu terikat dan
terjerat!”
 “Lalu mau tinggal di Blora?”
 “Karena itulah sehabis dipestakan
keduanya lalu kembali ke rumah
masing-masing. Kembali kepada
orangtuanya.”
 “Komplit. Bagaimana cara merayu,
menyentuh titik-titik yang sensitif pada
tubuh istrinya, lalu memberi kepuasan
batin kepada istrinya. Semua diajarkan
oleh gowok.”
 Ia lalu menarik tanganku dan mengajak
duduk di kursi kayu di beranda
belakang.
 Perempuan itu menggeleng lalu
menatapku tajam.
 Setelah yakin tidak ada orang lain ia
lalu menggeser duduknya sehingga jadi
lebih dekat.
 “Tapi karena huru-hara yang kami tidak
mengerti, ia lalu ditahan di
Plantungan.”
 Setelah melahirkan ia lalu
dikembalikan di Plantungan.
 Anaknya diambil orang, dijadikan anak
angkat, lalu dibawa ke Jakarta.
 Setelah bebas Sriyati mendapat jodoh
lalu punya anak satu.
 Sriyati lalu pulang kemari.
 “Lalu bapak kandung Nirmala ada di
mana Eyang?”
 Sesaat kemudian ia lalu menyuruhku
agar segera kembali ke kamar.
 Setelah tiga hari Nirmala baru
membuka perban di pipi kanan dan pipi
kiri.
 Mungkin baginya malam ini ia mirip
pohon jati yang sedang bersemi
daunnya setelah selama beberapa bulan
meranggas dihajar kemarau.
 Setelah yakin tidak ada orang lain ia
lalu menggeser duduknya sehingga jadi
lebih dekat.
 Setelah empat tahun dia ditahan di sana,
saya pun akhirnya ikut dibawa ke sana
juga.”
 Setelah itu, saya tidak pernah ketemu
dengan bapak tirinya Nirmala.”

2. Daftar Data Kajian Stile Aspek Pemajasan pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 4.2 Aspek Pemajasan Novel Ledhek dari Blora

Jenis Majas Data

Majas Simile  Nirmala tertawa kecil seperti


Perbandingan meremehkan pertanyaanku.
 Wooo seperti mau mabur saja rasanya,
 Wajahnya seperti tersenyum ketika
tidur.
 Dadaku berdesir seperti ada benda
tajam yang mengiris kulit.
 Semua yang kulihat seperti berputar
saat itu.
 Naik motor di jalan aspal tapi serasa
berada di atas angin!
 Mungkin baginya malam ini ia mirip
pohon jati yang sedang bersemi
daunnya setelah selama beberapa bulan
meranggas dihajar kemarau.
Metafora  Dada yang berisi. Sebagian besar laki-
laki sangat menyukai bentuk dada
seperti itu. Agak menonjol mirip
kelapa gading. Tidak besar namun
indah dilihat, sehingga tidak membuat
bosan laki-laki yang bisa memiliki.
Personifikasi  Kedua bola matanya tampak berbinar-
binar. Itu pancaran dari kekaguman
dan rasa bangga yang menyatu.
 Gelengan kepala yang ragu.
 Sorot mata Nirmala mudah dibaca.
 Mewakili suara hati perempuan itu.

3. Daftar Data Kajian Stile Aspek Penyiasatan Struktur pada Novel


Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
Tabel 5.2 Penyiasatan Struktur Novel Ledhek dari Blora
Jenis Repetisi
Repetisi  Nama-nama besar lahir di sini.
 Kedua bola matanya tampak berbinar-binar.
 “Mudah-mudahan nanti Mas Sam terpikat oleh
salah Satu ledheknya!”
 Padahal di sini tidak ada siapa-siapa, kecuali satu
dua teman belaka.
 Laki-laki yang tidak punya pekerjaan tetap.
 “Tidak apa-apa."
 “Ha? Tidak takut luka atau lecet-lecet?”
 “Mosok jatuh cinta bisa luka dan lecet-lecet?”
 "Orang jatuh cinta kok luka dan lecet-lecet.
 “Orang jatuh cinta itu ya senang. Dadanya
berdebar-debar terus.”
 “Bukan begitu. Dengan orang lain itu maksudnya
saya benar-benar jatuh cinta.
 “Jadi, tidak ada rasa cinta. Tapi lama-lama cinta
juga kok,”.
 “Perempuan dewasa yang mengajari calon
penganten laki-laki bagaimana nanti jika sudah
punya istri.”
 “Menyentuh titik-titik yang sensitif pada tubuh
istrinya,”.
 Nirmala tertawa terbahak-bahak.
 “Namun juga ramu-ramuan yang bisa membuat
lelaki jadi perkasa”
 Tengah malam itu aku bangun hati-hati.
 Di musim hujan daun-daun jati bersemi.
 Sebagian besar laki-laki sangat menyukai bentuk
dada seperti itu.
 Tidak besar namun indah dilihat, sehingga tidak
membuat bosan laki-laki yang bisa memiliki.
 Siapa laki-laki yang berhak memiliki nanti?
 Betapa bodoh laki-laki yang meninggalkan begitu
saja perempuan ini.
 Benar-benar seorang suami yang bodoh karena
telah meninggalkannya.
 Pelan-pelan aku bangkit dari tempat tidur karena
mau ke kamar mandi.
 “Apa Mas Sam benar-benar ingin mencari jejak
Sriyati?"
 Eyang Ratmi mengangguk-angguk.
 Aku menggeleng-gelengkan kepala.
 "Aku tidak akan menceritakan kepada siapa-siapa,
Eyang.”
 “Dia sudah di alam baka. Mudah-mudahan sudah
bahagia di surga.”
 Mata Eyang Ratmi berkaca-kaca.
 “Hmm.. Mudah-mudahan besok Arya Penangsang
datang melihat.”
Pararelisme  Hari itu Mas Don, sosok yang hanya
kukenal lewat suara dan SMS,
menelponku agar minggu depan aku ke
Yogyakarta. Dia kepingin tahu sejauh
mana usahaku melacak jejak ledhek Sriyati
membuahkan hasil. Dia pun ingin melihat
langsung sosok diriku yang sudah
dipercaya untuk menuliskan biografinya.
 Aku tidak menyesal. Justru merasa
beruntung karena bisa mengenal Blora
lebih dalam. Bukan hanya membaca di
dalam novel atau novel dari sastrawan
terkenal yang beberapa kali menyebut
Blora.
 Kami boncengan naik motor menuju Cepu,
ke rumah Eyang Ratmi, rumah Nirmala
juga. Dadaku jadi terasa sesak ketika
kedua kaki Nirmala menjepit pinggangku
dari belakang, sementara kedua tangannya
mendekap perutku! Baru kali ini, ya baru
kali ini aku merasakannya.
Hiperbola  Karena sudah tidak sakit, ciuman itu kubalas
dengan agak ganas.
 Pilihanku tetap sama, yakni model yang sudah
dianggap kedaluwarsa.
 “Bahkan Sang Adipati sendiri termasuk
seorang penayub yang andal. Seandal dia
memainkan senjata tajam di medan perang.”
Pertanyaan Retoris  “Kalau nanti sudah menemukan jejak Sriyati,
lalu tidak akan kembali ke Blora lagi. Begitu,
bukan?”
 “Blora tidak menarik lagi, ya?”
 “Apa kamu tidak bangga dengan nama itu?”
 “Dari mana Mas Sam tahu cerita tentang Arya
Penangsang sebagai seorang penayub?"
 “Dari tokoh Tayub di Cepu. Pak Panayadi.
Kenal?”
 “Sesama orang Cepu belum pernah ketemu?”
 “Lalu mau tinggal di Blora?”
 “Boleh jika aku nanti terpikat dengan seorang
ledheknya?”
 “Siapa yang melarang?”
 “Siapa yang melarang?”
 Baru sekarang kenal Nirmala Jati karena aku
harus opname di rumah sakit. Kenal dekat.
Sedekat apa?
 Akh! Aku tidak berani bermimpi. Laki-laki
yang tidak punya pekerjaan tetap. Apa yang
bisa diharapkan?
 “Boleh aku tidur di punggungmu, Mas Sam?”
 “Ha? Tidak takut luka atau lecet-lecet?”
 “Mosok jatuh cinta bisa luka dan lecet-lecet?”
 "Praktiknya juga sama gowok itu?”
 “Kalau zaman sekarang ada tante yang
mengajari brondong bermain seks. Begitu ya?”
 Memiliki? Siapa laki-laki yang berhak
memiliki nanti?
 Betapa bodoh laki-laki yang meninggalkan
begitu saja perempuan ini. Apanya yang
kurang dari Nirmala?
 “Apa Mas Sam benar-benar ingin mencari
jejak Sriyati?"
Klimaks  Betapa bodoh laki-laki yang meninggalkan
begitu saja perempuan ini. Apanya yang
kurang dari Nirmala? Wajah cukup cantik.
Cerdas. Tubuh tidak mengecewakan. Bisa
mandiri secara finansial. Benar-benar seorang
suami yang bodoh karena telah
meninggalkannya. Aku yakin mantan
suaminya pasti menyesal.
 Mungkin baginya malam ini ia mirip pohon
jati yang sedang bersemi daunnya setelah
selama beberapa bulan meranggas dihajar
kemarau. Semua daun jati rontok. Hutan jati
tampak kerontang dan tidak menarik dilihat.
Beda dibanding ketika hujan sudah turun.
Hutan jati tampak hijau dan enak dilihat mata.
 Hari itu, ketika aku tidak mau memikirkan
cinta, ada rasa yang aneh ketika Nirmala
duduk di belakangku. Kami boncengan naik
motor menuju Cepu, ke rumah Eyang Ratmi,
rumah Nirmala juga. Dadaku jadi terasa sesak
ketika kedua kaki Nirmala menjepit
pinggangku dari belakang, sementara kedua
tangannya mendekap perutku! Baru kali ini, ya
baru kali ini aku merasakannya. Naik motor di
jalan aspal tapi serasa berada di atas angin!
Belum pernah ada perempuan yang
kuboncengkan dengan sepeda motor bergaya
seperti Nirmala.

Antiklimaks  Jika kebetulan di kota lain aku melihat hutan


jati atau pohon jati yang tumbuh berjejer di
tepi jalan, pasti ingatanku melayang ke Blora.
Padahal baru dua kali aku mengunjungi dan
dalam waktu yang singkat. Entah kenapa
sepertinya aku terpikat dengan kabupaten ini.
Padahal di sini tidak ada siapa-siapa, kecuali
satu dua teman belaka. Baru sekarang kenal
Nirmala Jati karena aku harus opname di
rumah sakit. Kenal dekat. Sedekat apa?
Akh! Aku tidak berani bermimpi. Laki-laki
yang tidak punya pekerjaan tetap. Apa yang
bisa diharapkan? Cinta tidak membuat perut
jadi kenyang. Cinta itu menjadi indah
manakala kebutuhan hidup sudah terpenuhi.

4. Daftar Data Kajian Stile Aspek Citraan pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 3.2 Citraan Novel Ledhek dari Blora

Jenis Citraan Data


Citraan Pengelihatan  Wajahku tidak mulus lagi sekarang.
(Visual)  Bibir juga sudah tidak jontor lagi.
 Nirmala menatapku. Kedua bola matanya
tampak berbinar-binar.
 Kilah Nirmala sambil tersenyum.
 Jika kebetulan di kota lain aku melihat hutan
jati atau pohon jati yang tumbuh berjejer di
tepi jalan, pasti ingatanku melayang ke Blora.
 Jawab Eyang Darmi sambil tersenyum.
 Sahut Nirmala sambil melempar senyum dan
masuk kamar.
 Hal itu kelihatan dari dinding dan dasar bak
kamar mandi. Warnanya hitam.
 Kata Nirmala semua bak mandi warga Cepu
dan sekitarnya berwarna hitam.
 Di musim hujan daun-daun jati bersemi.
 Mungkin baginya malam ini ia mirip pohon
jati yang sedang bersemi daunnya setelah
selama beberapa bulan meranggas dihajar
kemarau.
 Hutan jati tampak kerontang dan tidak
menarik dilihat.
 Beda dibanding ketika hujan sudah turun.
Hutan jati tampak hijau dan enak dilihat mata.
 Kupandangi wajah Nirmala.
 Dada yang berisi.
 Sebagian besar laki-laki sangat menyukai
bentuk dada seperti itu. Agak menonjol mirip
kelapa gading.
 Tidak besar namun indah dilihat.
 Wajah cukup cantik.
 Mata Eyang Ratmi berkaca-kaca.
Citraan Pendengaran  “Boleh aku tidur di punggungmu, Mas Sam?”
(Auditif) tanya Nirmala agak keras.
 Pintanya lirih sebelum dia masuk ke kamar
tidurnya sendiri.
 Nirmala tertawa terbahak-bahak.
 Ia tadi sempat berbisik mengulang kalimat
yang pernah diucapkannya dulu.
Citraan Gerak  Nirmala menggeleng. Gelengan kepala yang
(Kinestetik) ragu.
 Kedua kaki Nirmala menjepit pinggangku dari
belakang.
 Sementara kedua tangannya mendekap
perutku!
 Aku mengangguk.
 Sahut Nirmala sambil melempar senyum dan
masuk kamar.
 Tengah malam itu aku bangun hati-hati.
 Semua daun jati rontok.
 kata Nirmala sambil memelukku.
 Nirmala makin kencang memelukku.
 Nafasnya teratur. Dadanya bergerak pelan
naik turun.
 Pelan-pelan aku bangkit dari tempat tidur
karena mau ke kamar mandi.
 Begitu mau kembali ke kamar Eyang Ratmi
menggamit tanganku.
 Ia memberi isyarat agar aku tidak bicara keras.
 Eyang Ratmi mengangguk-angguk.
 Dalam jarak dekat aku bisa melihat bibirnya
bergetar.
 Aku menggeleng-gelengkan kepala.
 Eyang Ratmi menengok ke belakang.
 Setelah yakin tidak ada orang lain ia lalu
menggeser duduknya sehingga jadi lebih
dekat.
 Perempuan itu menggeleng.
Citraan Rabaan dan  Wajahku tidak mulus lagi sekarang.
Penciuman  Meski tengah malam sekalipun, udara Cepu
memang terasa panas.
LAMPIRAN NOVEL

Ledhek dari Blora

Karya : Seno Gumira Ajidarma

MUSIN SEMI HUTAN JATI

Setelah tiga hari Nirmala baru membuka perban di pipi kanan dan pipi kiri.
Wajahku tidak mulus lagi sekarang. Karena ada bekas luka. Bibir juga sudah tidak
jontor lagi. Tadi pagi sebelum berangkat ke rumah sakit Nirmala memberi hadiah
ciuman. Karena sudah tidak sakit, ciuman itu kubalas dengan agak ganas.

Untuk kesekian kali aku harus membeli handphone baru lagi. Pilihanku tetap
sama, yakni model yang sudah dianggap kedaluwarsa. Bukan android yang
banyak menawarkan berbagai macam aplikasi.

Hari itu Mas Don, sosok yang hanya kukenal lewat suara dan SMS, menelponku
agar minggu depan aku ke Yogyakarta. Dia kepingin tahu sejauh mana usahaku
melacak jejak ledhek Sriyati membuahkan hasil. Dia pun ingin melihat langsung
sosok diriku yang sudah dipercaya Untuk menuliskan biografinya.

“Jadi Mas Sam mau meninggalkan Blora?” tanya Nirmala ketika kuceritakan
keinginan Mas Don mengundangku ke Yogya.

“Hanya sebentar. Paling dua atau tiga hari,” jawabku.

“Kalau nanti sudah menemukan jejak Sriyati, lalu tidak akan kembali ke Blora
lagi. Begitu, bukan?”
Pertanyaan yang sulit kujawab! Sorot mata Nirmala mudah dibaca, mewakili
suara hati perempuan itu. Ia tidak rela kalau aku akan meninggalkan Blora dan
tidak pernah kembali lagi.

“Blora tidak menarik lagi, ya?” desaknya kemudian. “Hanya kabupaten kecil,
tidak menarik untuk dikunjungi. Panas udaranya."

Aku menggeleng. “Jangan meremehkan bumi kelahiranmu sendiri, Nirmala. Blora


sudah terkenal sejak zaman Belanda. Penghasil kayu jati terbaik di Nusantara,
juga minyak mentah. Nama-nama besar lahir di sini. Termasuk Sang Adipati Arya
Penangsang!” selaku. “Apa kamu tidak bangga dengan nama itu?”

Nirmala menatapku. Kedua bola matanya tampak berbinar-binar. Itu pancaran dari
kekaguman dan rasa bangga yang menyatu.

“Karena Arya Penangsang para ledhek Tayub terangkat derajatnya. Bahkan Sang
Adipati sendiri termasuk seorang penayub yang andal. Seandal dia memainkan
senjata tajam di medan perang.”

“Dari mana Mas Sam tahu cerita tentang Arya Penangsang sebagai seorang
penayub?"

“Dari tokoh Tayub di Cepu. Pak Panayadi. Kenal?”

Nirmala menggeleng. Gelengan kepala yang ragu. Itu isyarat bahwa ia


menyembunyikan sesuatu. “Pernah dengar namanya, tapi belum pernah ketemu
orangnya. Eyang mungkin kenal.”

“Sesama orang Cepu belum pernah ketemu?”

Nirmala tertawa kecil seperti meremehkan pertanyaanku. “Mas, Cepu itu luas.
Kecamatan. Penduduknya ribuan. Kalau satu dusun pasti saya kenal.”

Ganti aku yang tertawa. Menertawakan kebodohanku sendiri. “Iya ya, hahaha..”
“Besok aku mau pulang ke Cepu. Kangen anakku. Juga mau melihat Tayub di
pendapa Balai Desa. Mau ikut?”

“Mau sekali!” jawabku spontan. “Impian yang terwujud. Aku ingin melihat pentas
Tayub sebelum ke Yogyakarta.”

“Mudah-mudahan nanti Mas Sam terpikat oleh salah Satu ledheknya!”

“Ha?” “Ya. Terpikat, lalu terikat dan terjerat!” “Hahaha..”

“Lalu mau tinggal di Blora?”

Aku kembali tertawa. “Boleh jika aku nanti terpikat dengan seorang ledheknya?”

“Siapa yang melarang?” kilah Nirmala sambil tersenyum.

Tidak pernah terbayangkan kalau aku harus memasuki dunia Tayub sekaligus
kehidupan para ledhek. Tapi karena tuntutan profesi alias tuntutan perut harus
diisi, mau tidak mau dunia itu harus kumasuki. Demi empat anak asuhku. Aku
tidak menyesal. Justru merasa beruntung karena bisa mengenal Blora lebih dalam.
Bukan hanya membaca di dalam cerpen atau novel dari sastrawan terkenal yang
beberapa kali menyebut Blora.

Jika kebetulan di kota lain aku melihat hutan jati atau pohon jati yang tumbuh
berjejer di tepi jalan, pasti ingatanku melayang ke Blora. Padahal baru dua kali
aku mengunjungi dan dalam waktu yang singkat. Entah kenapa sepertinya aku
terpikat dengan kabupaten ini. Padahal di sini tidak ada siapa-siapa, kecuali satu
dua teman belaka. Baru sekarang kenal Nirmala Jati karena aku harus opname di
rumah sakit. Kenal dekat. Sedekat apa?

Akh! Aku tidak berani bermimpi. Laki-laki yang tidak punya pekerjaan tetap. Apa
yang bisa diharapkan? Cinta tidak membuat perut jadi kenyang. Cinta itu menjadi
indah manakala kebutuhan hidup sudah terpenuhi.

Benarkah? Aku tidak mau memikirkan!

Hari itu, ketika aku tidak mau memikirkan cinta, ada rasa yang aneh ketika
Nirmala duduk di belakangku. Kami boncengan naik motor menuju Cepu, ke
rumah Eyang Ratmi, rumah Nirmala juga. Dadaku jadi terasa sesak ketika kedua
kaki Nirmala menjepit pinggangku dari belakang, sementara kedua tangannya
mendekap perutku! Baru kali ini, ya baru kali ini aku merasakannya. Naik motor
di jalan aspal tapi serasa berada di atas angin! Belum pernah ada perempuan yang
kuboncengkan dengan sepeda motor bergaya seperti Nirmala.

“Boleh aku tidur di punggungmu, Mas Sam?” tanya Nirmala agak keras. Laju
motor tidak begitu kencang. Aku ingin menikmati jepitan kedua kaki dan dekapan
tangan perempuan ini.

“Bisa jatuh nanti!” jawabku. “Tidak apa-apa."

“Ha? Tidak takut luka atau lecet-lecet?”

“Mosok jatuh cinta bisa luka dan lecet-lecet?”

Busyet! Aku tidak tahu Nirmala serius atau lagi bercanda. Tapi kalimat yang sama
ia ulangi ketika kami sudah tiba di rumahnya. Kalimat itu ia ucapkan, entah
disengaja atau tidak, justru di depan Eyang Ratmi.

"Orang jatuh cinta kok luka dan lecet-lecet. Piye to kamu itu Nir, protes Eyang
Ratmi.” “Orang jatuh cinta itu ya senang. Dadanya berdebar-debar terus.”

“Ah, Eyang. Dulu juga begitu waktu jatuh cinta sama Eyang Kakung?" tanya
Nirmala dengan nada bercanda.

“Dengan Eyang Kakungmu tidak. Tapi dengan orang lain... wooo seperti mau
mabur saja rasanya, hehehe

“Ihhh, Eyang!” protes Nirmala. “Eyang selingkuh ya?”

“Bukan begitu. Dengan orang lain itu maksudnya saya benar-benar jatuh cinta.
Sedang sama Eyang Kakungmu itu karena dijodohkan orangtua. Jadi, tidak ada
rasa cinta. Tapi lama-lama cinta juga kok,” jawab Eyang Darmi sambil tersenyum.

“Zaman dulu biasa dijodohkan tanpa saling kenal lebih dulu. Bahkan dikawinkan
ketika usia masih sangat belia. Cowoknya baru saja sunat, sedang ceweknya
mungkin belum menstruasi,” selaku. “Karena itulah sehabis dipestakan keduanya
lalu kembali ke rumah masing-masing. Kembali kepada orangtuanya.”

“Ceweknya masih tetap perawan dong!” sahut Nirmala.

Aku mengangguk. “Cowoknya belum tahu cara memperlakukan istrinya.


Mungkin juga masih takut. Hal itulah yang pada zaman dulu melahirkan tradisi
adanya gowok.”"

“Gowok? Apa itu Mas?”

“Perempuan dewasa yang mengajari calon penganten laki-laki bagaimana nanti


jika sudah punya istri.”

“Mengajari apa?”

“Komplit. Bagaimana cara merayu, menyentuh titik-titik yang sensitif pada tubuh
istrinya, lalu memberi kepuasan batin kepada istrinya. Semua diajarkan oleh
gowok.”

"Praktiknya juga sama gowok itu?”

"Ya"

Nirmala tertawa terbahak-bahak, “Kalau zaman sekarang ada tante yang


mengajari brondong bermain seks. Begitu ya?”

“Seorang gowok bukan hanya mengajarkan soal seks saja, namun juga ramu-
ramuan yang bisa membuat lelaki jadi perkasa. Mendidik cowok remaja tadi
menjadi lelananging jagad di mata istrinya. Bisa mengayomi, mensejahterakan
hidupnya, dan memberi kepuasan batin.”

“Oooo...dahsyat!” “Sekarang tradisi itu sudah hilang, hahaha”

“Kalau masih ada Mas Sam mau minta diajari oleh gowok ya?"

“Sudah kasep!”

“Siapa tahu gowoknya malah yang diajari, hehehe..” sahut Nirmala sambil
melempar senyum dan masuk kamar.
Kipas angin tidak mampu membuat udara kamar jadi dingin. Meski tengah
malam sekalipun, udara Cepu memang terasa panas. Mungkin karena pengaruh
tanah kapur dan kandungan minyak di dalam tanah begitu besar. Hal itu kelihatan
dari dinding dan dasar bak kamar mandi. Warnanya hitam. Kata Nirmala semua
bak mandi warga Cepu dan sekitarnya berwarna hitam. Itu pasti pengaruh residu
minyak yang larut dalam air meski tidak berbau.

Tengah malam itu aku bangun hati-hati. Nirmala tampak pulas. Wajahnya
seperti tersenyum ketika tidur. Ia tadi sempat berbisik mengulang kalimat yang
pernah diucapkannya dulu. Di musim hujan daun-daun jati bersemi...

Akh, kalimat yang puitis!

Mungkin baginya malam ini ia mirip pohon jati yang sedang bersemi
daunnya setelah selama beberapa bulan meranggas dihajar kemarau. Semua daun
jati rontok. Hutan jati tampak kerontang dan tidak menarik dilihat. Beda
dibanding ketika hujan sudah turun. Hutan jati tampak hijau dan enak dilihat
mata.

Kupandangi wajah Nirmala. Nafasnya teratur. Dadanya bergerak pelan naik turun.
Dada yang berisi. Sebagian besar laki-laki sangat menyukai bentuk dada seperti
itu. Agak menonjol mirip kelapa gading. Tidak besar namun indah dilihat,
sehingga tidak membuat bosan laki-laki yang bisa memiliki.

Memiliki? Siapa laki-laki yang berhak memiliki nanti?

Pertanyaan nakal. Betapa bodoh laki-laki yang meninggalkan begitu saja


perempuan ini. Apanya yang kurang dari Nirmala? Wajah cukup cantik. Cerdas.
Tubuh tidak mengecewakan. Bisa mandiri secara finansial. Benar-benar seorang
suami yang bodoh karena telah meninggalkannya. Aku yakin mantan suaminya
pasti menyesal.

Pelan-pelan aku bangkit dari tempat tidur karena mau ke kamar mandi. Begitu
mau kembali ke kamar Eyang Ratmi menggamit tanganku. Ia memberi isyarat
agar aku tidak bicara keras. “Ada apa Eyang?” tanyaku lirih. Eyang Ratmi tidak
menjawab. Ia lalu menarik tanganku dan mengajak duduk di kursi kayu di
beranda belakang. “Eyang belum tidur?” tanyaku kemudian.

Perempuan itu menggeleng lalu menatapku tajam. “Apa Mas Sam benar-benar
ingin mencari jejak Sriyati?" tanyanya pelan. Aku mengangguk. “Sungguh?” Aku
mengangguk lagi. “Tapi tidak untuk membuat dia celaka lagi to?”

“Tidak Eyang. Justru ingin membuat dia senang karena ada orang kaya yang ingin
bertemu. Siapa tahu orang kaya itu mau membantu hidup Sriyati, andaikata dia
sengsara,” jawabku.

Eyang Ratmi mengangguk-angguk. Dalam jarak dekat aku bisa melihat bibirnya
bergetar. “Sriyati itu...Sriyati itu adalah anakku,” katanya kemudian dengan suara
serak.

“Ha? Benarkah Eyang?” tukasku hampir tidak percaya. “Kok Eyang dulu tidak
mengatakan kepadaku?”

“Eyang takut kalau sampeyan akan membuat anak cucu Sriyati celaka.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak Eyang. Sungguh, demi Allah, aku


tidak akan berbuat seperti itu. Tolong Eyang ceritakan siapa sebenarnya Sriyati,”
pintaku.

“Tapi ini rahasia ya, jangan sampai Nirmala tahu.”

"Aku tidak akan menceritakan kepada siapa-siapa, Eyang.”

Eyang Ratmi menengok ke belakang. Setelah yakin tidak ada orang lain ia lalu
menggeser duduknya sehingga jadi lebih dekat. “Sriyati itu anakku. Dulu memang
ledhek terkenal. Tapi karena huru-hara yang kami tidak mengerti, ia lalu ditahan
di Plantungan. Setelah empat tahun dia ditahan di sana, saya pun akhirnya ikut
dibawa ke sana juga.”

“Ohhh..” dadaku berdesir seperti ada benda tajam yang mengiris kulit. Ibu dan
anak menjadi tahanan.
“Suatu ketika Sriyati hamil. Saya tidak tahu siapa yang menghamili. Tapi karena
itu, ia lalu dipindah ke Semarang. Setelah melahirkan ia lalu dikembalikan di
Plantungan. Anaknya diambil orang, dijadikan anak angkat, lalu dibawa ke
Jakarta. Setelah bebas Sriyati mendapat jodoh lalu punya anak satu. Sriyati lalu
pulang kemari. Tetapi setahun kemudian ia kawin lagi dan diajak suaminya
tinggal di Blitar. Nirmala ditinggal dan saya yang membesarkan.”

“Oooo...”

“Dengan suaminya yang kedua Sriyati tidak punya anak. Umurnya tidak panjang.
Ketika Nirmala kelas tiga SMP Sriyati meninggal dunia dan dikubur di Blitar.
Setelah itu, saya tidak pernah ketemu dengan bapak tirinya Nirmala.”

“Lalu bapak kandung Nirmala ada di mana Eyang?”

Perempuan itu menggeleng. Dia sudah di alam baka. Mudah-mudahan sudah


bahagia di surga.”

"Amin."

Mata Eyang Ratmi berkaca-kaca. Sesaat kemudian ia lalu menyuruhku agar


segera kembali ke kamar. “Jangan sakiti hati cucuku ya Mas,” pintanya lirih
sebelum dia masuk ke kamar tidurnya sendiri.

Semua yang kulihat seperti berputar saat itu. Antara bahagia, kaget, bingung, dan
entah rasa apa lagi, berkecamuk di dada.

“Dari kamar mandi ya?”

“Ya, jawabku lirih.

“Hmm.. Jangan tinggalkan aku sendirian to Mas,” kata Nirmala sambil


memelukku.

“Eyang tadi cerita apa?" tanya Nirmala kemudian.

“Besok sore akan ada pentas Tayub di pendapa balai desa," jawabku berbohong.
“Hmm.. Mudah-mudahan besok Arya Penangsang datang melihat.” Nirmala
makin kencang memelukku.

Angin malam mulai terasa dingin.

Anda mungkin juga menyukai