Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Stilistika yang diampu
oleh:
Disusun Oleh
PBSI B 2018
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu stilistika merupakan ilmu yang mengkaji tentang stile atau gaya
bahasa. Objek kajian stilistika tentu saja stile, yakni penggunaan bahasa dalam
konteks dan atau ragam bahasa tertentu, baik ragam bahasa sastra maupun ragam
bahasa ilmiah. Membaca dan mencermati penggunaan bahasa dalam sebuah
konteks penuturan tertentu, pada hakikatnya adalah membaca dan mencermati
stile penuturan itu. Oleh karenanya, stilistika sangat dibutuhkan karena merupakan
bidang ilmu yang mampu mengkaji dan menjawab pertanyaan mengapa aspek
bahasa dalam sebuah karya sastra seperti puisi, fiksi, atau yang lainnya, itu indah
atau memenuhi tuntutan keindahan dengan kriteria tertentu. Leech dan Short
menjelaskan bahwa analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan
sesuatu yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan
hubungan bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya (Nurgiyantoro, 2019: 75).
Kajian stilistika bertujuan untuk menjelaskan fungsi keindahan penggunaan
bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa
figuratif, sarana retorika, sampai grafologi. Stilistika dapat juga bertujuan untuk
menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana pengarang
mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus. Kajian
stile memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bahasa dapat
dikreasikan dan didayakan sedemikian rupa melalui penyimpangan, pengulangan,
penekanan, dan penciptaan ungkapan baru yang semuanya membuat komunikasi
bahasa menjadi lebih segar dan efektif.
Pada makalah ini, akan dibahas hasil kajian analisis unsur-unsur stile dalam
novel berjudul "Ledhek dari Blora" karya Budi Sardjono. Aspek yang dikaji
dalam novel tersebut meliputi banyak aspek. Misalnya dari aspek penggunaan
bahasa figuratif, unsur-unsur yang dikaji antara lain mengenai bentuk-bentuk
pemajasan, penyiasatan struktur, citraan, dan sebagainya. Selain aspek
penggunaan bahasa figuratif, aspek lain yang dikaji yakni seperti aspek sintaksis
dan leksikal.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengkaji unsur-unsur stile yang ada
dalam novel Ledhek dari Blora karya Chairil Seno Gumira Ajidarma. Adapun
unsur-unsur stile yang dikaji meliputi diksi, struktur sintaksis, kohesi dan
koherensi, pemajasan, penyiasatan struktur, dan citraan. Selain unsur stile, pada
makalah ini juga akan dikaji mengenai ketepatan penggunaan bentuk-bentuk stile
yang mendukung keindahan pada novel Ledhek dari Blora. Tujuan tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan keunggulan atau ketepatan penggunaan aspek
kebahasaan dalam novel Ledhek dari Blora, sehingga gagasan dan pikiran yang
dikemukakan jelas dan dapat dipahami oleh pembaca.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. ASPEK LEKSIKAL
Nurgiyantoro (2019: 172) menjelaskan bahwa aspek leksikal
adalah satuan bentuk terkecil dalam konteks struktur sintaksis dan wacana.
Kalimat dibangun dan dihadirkan lewat kata. Demikian juga wacana yang
dibangun dari kalimat, pada hakikatnya juga dibangun lewat kata. Unsur
leksikal yang dimaksud di sini adalah sama pengerian dengan diksi, yaitu
yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang
sengaja dipilih oleh pengarang untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut
Keraf (2008: 22-23) diksi adalah pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari
apa yang dipantulkan oleh hubungan kata-kata itu. Sedangkan menurut
Enre (1988: 101) diksi atau pilihan kata adalah penggunaan kata-kata
secara tepat untuk mewakili pikiran dan perasaan yang ingin dinyatakan
dalam pola suatu kalimat. Pendapat lain dikemukakan oleh Widyamartaya
(1990: 45) yang menjelaskan bahwa diksi atau pilihan kata adalah
kemampuan seseorang membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna
sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikannya, dan kemampuan
tersebut hendaknya disesuaikan dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki
sekelompok masyarakat dan pendengar atau pembaca. Kata-kata itulah
yang dipakai sebagai sarana untuk memanifestasikan perasaan, ide, dan
gagasannya yang masih abstrak untuk tujuan komunikasi agar dapat
diterima dan dipahami orang lain.
a. Kata dalam Bahasa Ilmiah
B. STRUKTUR SINTAKSIS
Nurgiyantoro (2019: 186-187) menjelaskan aspek gramatikal yang
dimaksud adalah unsur sintaksis yang di dalamnya terdapat frase, klausa,
dan kalimat. Lewat kalimat itulah sebenarnya sebuah satuan makna,
sebuah pokok pikiran, terbentuk dan terkomunikasikan. Tujuan
komunikasi bahasa adalah untuk menyampaikan informasi kepada pihak
lain. Hal itu berlaku dalam semua ragam bahasa. Aspek ide, gagasan,
informasi, atau muatan makna dikemas dalam bahasa yang secara konkret
berupa deretan kata yang disusun sesuai dengan sistem struktur gramatikal
bahasa. Aspek struktur sintaksis merupakan struktur yang lebih tinggi
tingkatannya daripada unsur leksikal. Melalui kalimat itulah sebenarnya
sebuah satuan makna, sebuah pokok pikiran, terbentuk dan
terkomunikasikan.
Aspek gramatikal juga menjadi penentu kelancaran suatu
komunikasi bahasa. Jika kosakata yang dipakai sederhana dan didukung
oleh struktur sintaksis yang juga sederhana, itu merupakan jaminan bahwa
komunikasi bahasa akan lancar. Unsur struktur yang dapat dijadikan fokus
kajian adalah kompleksitas kalimat, jenis kalimat, dan jenis frasa dan
klausa. Unsur-unsur tersebut dapat diambil sebagian maupun seluruhnya.
Aspek struktur sintaksis ini juga banyak dijumpai dalam berbagai
teks untuk meraih efek keindahan, khususnya lewat pendayaan sarana
retorika. Wujud pendayaan itu yang utama adalah lewat penyiasatan
struktur (figure of speech) dan kohesi sehingga penuturan menjadi indah.
Tidak jarang pula dalam kreasi penyiasatan struktur đi dalamnya sekaligus
terdapat permainan makna, yaitu yang dikenal dengan istilah pemajasan
(figure of thought).
Untuk mencapai efek keindahan struktur itu, dalam penulisan teks-
teks kesastraan, pengarang yang memiliki kebebasan penuh, sering sampai
pada adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk
penyimpangan struktur kalimat yang bisa berupa pembalikan, permutasi,
pemendekan, pengulangan, dan lain-lain. Hal inilah yang kemudian
dikenal sebagai pengedepanan, foregrounding, suatu hal yang dianggap
orang sebagai salah satu ciri bahasa sastra.
D. PEMAJASAN
Menurut Nurgiyantoro (2019: 215) Pemajasan (figurative
language, figures of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa,
penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah
kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan
atau makna yang tersirat. Nurgiyantoro (2019: 212) menjelaskan majas
atau pemajasan merupakan stile yang “bermain” dengan penyimpangan
makna, berupa pendayaan makna penuturan melalui makna tidak langsung,
makna kias, makna konotatif, makna literal, atau yang biasa disebut
dengan bahasa figuratif.Pada umumnya te rdapat dua jenis pemajasan yaitu
majas perbandingan dan majas pertautan. Majas yang termasuk majas
perbandingan diantaranya simile, metafora, personifikasi, dan alegori,
sementara majas pertautan adalah metonimi dan sinekdoki.
1. Majas Perbandingan
Majas perbandingan merupakan majas yang membandingkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara
keduanya. Bentuk pemajasan yang banyak digunakan pengarang adalah
bentuk perbandingan atau persamaan, sehingga di dalamnya ada sesuatu
yang dibandingkan dan sesuatu yang menjadi pembanding. Kesamaan
itu misalnya berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah
laku, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2019: 218).
a. Simile
Simile adalah majas yang menggunakan kata-kata
pembanding secara langsung atau eksplisit untuk membandingkan
sesuatu yang dibandingkan dengan pembandingnya (Nurgiyantoro,
2019: 219). Majas simile biasanya menggunakan kata-kata tugas
yaitu kata-kata seperti, mirip, bagai, bagaikan, sebagai, laksana,
bak, dan sebagainya. Dalam penuturan bentuk ini, sesuatu yang
disebut pertama (yang dibandingkan) dinyatakan memiliki
persamaan sifat atau karakter dengan sesuatu yang disebut di
belakangnya (pembanding).
b. Metafora
Baldic mengemukakan bahwa majas metafora merupakan
bentuk pembandingan antara dua hal yang dapat berwujud benda,
fisik, ide, sifat, atau perbuatan dengan benda, fisik, ide, sifat, atau
perbuatan lain yang bersifat implisit (Nurgiyantoro, 2019: 224).
Majas metafora dibedakan menjadi dua jenis yaitu eksplisit dan
implisit. Metafora eksplisit memiliki ciri yaitu antara sesuatu yang
dibandingkan dan sesuatu sebagai pembandingnya sama-sama secara
eksplisit disebutkan secara jelas polanya. Sementara metafora
implisit, penyair sengaja tidak menyebutkan pernyataan pertama atau
sesuatu yang dibandingkan, tetapi langsung menyebut pernyataan
kedua atau sesuatu pembandingnya. Sehingga membutuhkan usaha
pemahaman yang lebih rumit karena harus menemukan apa
pembandingnya dan yang dibandingkan.
c. Personifikasi
Personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang memberi
sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan. Majas
personifikasi juga disebut sebagai majas perorangan, sesuatu yang
diorangkan, seperti halnya orang. Sifat-sifat kemanusiaan yang
ditransfer kebenda atau makhluk nonhuman itu dapat berupa ciri
fisik, sifat, karakter, tingkah laku verbal atau nonverbal, pikiran,
perasaan dan berperasaan, sikap dan bersikap, dan lain-lain yang
hanya manusia yang memiliki atau dapat melakukannya.
Pembanding dalam personifikasi harus berupa ciri-ciri kemanusiaan
(Nurgiyantoro, 2019: 235).
d. Alegori
Alegori memiliki kesamaan karakteristik dengan majas
metafora yaitu adanya unsur yang dibandingkan dengan unsur
pembandingnya. Perbedaannya adalah pada majas alegori
pembandingan itu mencakup keseluruhan makna teks yang
bersangkutan. Misalnya, sebuah karya sastra yang secara
keseluruhan dipakai sebagai kiasan sesuatu, seseorang, keadaan,
kejadian, atau hal-hal lainnya. Baldic, mengemukakan bahwa pada
hakikatnya alegori adalah sebuah cerita kiasan yang maknanya
tersembunyi pada makna literal. Dengan begitu, ada dua makna yang
terkandung dalam sebuah teks alegoris, yaitu makna literal, makna
yang secara langsung ditunjuk pada teks, dan makna yang
sebenarnya dimaksudkan, makna yang tersembunyi yang perlu
ditafsirkan (Nurgiyantoro, 2019: 239-240).
2. Majas Pertautan
Majas pertautan merupakan majas yang didalamnya terdapat
unsur pertautan, pertalian, penggantian, atau hubungan yang dekat
antara makna yang sebenarnya dimaksudkan dan apa yang secara
konkret dikatakan oleh pembicara. Artinya, makna sebenarnya juga
bukan merupakan makna literal sebagaimana disebutkan, melainkan
dicari dari pertautannya. Majas pertautan yang umum disebut adalah
majas metonimi dan sinekdoki. Berikut penjelasan mengenai definisi
majas metonimi dan sinekdoki (Nurgiyantoro, 2019: 243-245).
a. Metonimi
Majas metonimi diartikan sebagai sebuah ungkapan yang
menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat antara kata-
kata yang disebut dan makna yang sesungguhnya. Misalnya,
seseorang suka membaca karya-karya Umar Kayam kemudian
dikatakan: “Ia suka membaca Kayam”. Kata Kayam tidak
dimaksudkan pada orangnya tetapi ucapan Kayam yang
dimaksudkan adalah buku-buku karya Umar Kayam. Penyingkatan
Kayam itu ditujukan untuk mempermudah dan mempercepat
penyebutan kata-kata yang panjang tersebut.
b. Sinekdoki
Sinekdoki merupakan sebuah ungkapan dengan cara
menyebut bagian tertentu yang penting dari sesuatu untuk sesuatu itu
sendiri. Dalam majas sinekdoki terdapat dua kategori penyebutan
yang berkebalikan yaitu pars pro toto dan totum pro parte. Pars pro
toto adalah pernyataan yang hanya menyebut sebagian atau bagian
tertentu dari sesuatu, tetapi itu dimaksudkan untuk menyatakan
keseluruhan sesuatu tersebut, misalnya ungkapan: “Ayah membeli
satu ekor sapi”. Maksud dari kata “satu ekor” pada ungkapan
tersebut adalah satu sapi utuh bukan hanya ekornya saja. Totum pro
parte adalah pernyataan yang menyebut sesuatu secara keseluruhan,
namun sebenarnya itu dimaksudkan untuk sebagian dari sesuatu
tersebut. Misalnya, pada ungkapan: “Indonesia memenangkan
medali emas pada Sea Games cabang bulu tangkis”. Maksud dari
kata Indonesia adalah sebagai perwakilan penyebutan atlet Indonesia
yang mengikuti lomba, bukan seluruh masyarakat yang ada di
Indonesia.
E. PENYIASATAN STRUKTUR
Penyiasatan struktur (figures of speech) merupakan istilah lain dari
sarana retorika, sering dikenal dengan sebutan gaya bahasa. Penyiasatan
struktur bermain di ranah struktur, dimaksudkan sebagai struktur yang
sengaja disiasati, dimanipulasi, dan didayakan untuk memperoleh efek
keindahan di hati pembaca.
1. Repetisi
Repetisi merupakan bentuk pengulangan baik yang berupa
pengulangan bunyi, kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun
bentuk-bentuk yang lain, bertujuan untuk memperindah penuturan
(Nurgiyantoro, 2019: 247). Berbagai bentuk repetisi jika didayakan
dan didukung oleh ketepatan makna akan efektif untuk
membangkitkan efek retoris dan efek estetis.
a. Repetisi
Bentuk penyiasatan struktur yang mengandung unsur
pengulangan merupakan bagian dari repetisi. Gaya repetisi yang
mengandung unsur pengulangan, misalnya kata-kata atau frase
tertentu, yang dimaksudkan untuk menekankan dan menegaskan
pentingnya suatu yang dituturkan. Kata atau kelompok kata yang
diulang bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, berada pada
posisi awal, tengah atau di tempat yang lain.
b. Paralelisme
Paralelisme pada hakikatnya juga merupakan suatu bentuk
pengulangan. Paralelisme menunjuk pada pengertian penggunaan
bentuk, bagian-bagian kalimat, atau kalimat dengan kesamaan
struktur gramatikal dan menduduki fungsi yang kurang lebih sama
secara berurutan. Penggunaan bentuk paralelisme dimaksudkan
untuk menekankan adanya kesejajaran bangunan struktur yang
menduduki posisi sama dan mendukung gagasan yang sederajat.
Penggunaan bangunan struktur yang paralel dalam kalimat
penuturan akan menghasilkan bentuk-bentuk pengungkapan yang
retoris dan sekaligus melodis di samping mempermudah
pemahaman pembaca karena gagasan yang sederajat yang ingin
disampaikan itu ‘dibungkus’ dengan pola struktur yang mirip
c. Anafora
Anafora merupakan salah satu jenis penyiasatan struktur
yang berbasis pada bentuk repetisi. Anafora diartikan sebagai
bentuk pengulangan yang berada di awal struktur sintaksis atau
awal larik-larik pada puisi. Gaya anafora banyak dijumpai pada
genre puisi, namun tidak sedikit didayakan pada teks-teks prosa-
fiksi.
d. Polisidenton dan Asindenton
Bentuk pengulangan dalam kedua gaya ini lazimnya terjadi
pada sebuah kalimat. Bentuk pengulangan pada polisindenton
adalah berupa penggunaan kata tugas tertentu, misalnya “dan”,
dalam sebuah kalimat yang menghubungkan gagasan, rincian,
penyebutan, atau sesuatu yang lain yang sejajar, yang seimbang.
Bentuk asindenton adalah berupa pengulangan puntuasi, tanda
baca, yang lazimnya berupa tanda koma (,) yang terdapat dalam
kalimat.
2. Pengontrasan
Gaya pengontrasan atau pertentangan merupakan suatu bentuk
gaya yang menuturkan sesuatu secara berkebalikan dengan sesuatu
yang disebut secara harfiah. Hal yang dikontraskan dapat berwujud
fisik, keadaan, sikap dan sifat, karakter, aktivitas, kata-kata, dan lain-
lain tergantung konteks pembicaraan (Nurgiyantoro, 2019: 260).
a. Hiperbola
Gaya hiperbola biasa dipakai jika seseorang bermaksud
melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang
sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturannya.
Makna yang ditekankan atau dilebih-lebihkan sering menjadi tidak
masuk akal untuk ukuran nalar biasa, tetapi orang dapat memahami
jika bukan makna itu yang dimaksudkan.
b. Litotes
Gaya litotes merupakan kebalikan dari gaya hiperbola.
Apabila gaya hiperbola menekankan penuturan dengan cara
melebih-lebihkan sesuatu, sebaliknya gaya litotes justru
mengecilkan fakta yang sesungguhnya ada. Biasanya hal itu
dimaksudkan untuk bersikap rendah hati agar tidak dipahami
sebagai berlebihan walau yang sebenarnya justru untuk
menekankan penutur.
c. Paradoks
Gaya paradoks menghadirkan unsur pertentangan secara
eksplisit dalam sebuah penuturan. Dengan begitu, dalam tuturan
yang dikemukakan terdapat unsur yang secara eksplisit terlihat
bertentangan. Hal tersebut merupakan sebuah cara, strategi yang
dipakai untuk menegaskan, menekankan sesuatu yang dituturkan,
sedang sesuatu yang sesungguhnya dimaksudkan tidak berada di
dalam pertentangan tersebut.
3. Susunan Lain
Penyiasatan struktur yang terlihat intensif dipergunakan adalah
yang berbasis pada pengulangan yang banyak digunakan pada berbagai
teks kesastraan bahkan teks nonsastra. Terdapat stile bentuk
penyiasatan struktur lain yang dipergunakan dalam teks sastra, seperti
gaya pertanyaan retoris, klimaks, antiklimaks, antitesis, dan lain-lain
(Nurgiyantoro, 2019: 271).
a. Pertanyaan Retoris
Pertanyaan retoris menekankan pengungkapan tentang
gagasan atau sesuatu dengan menampilkan semacam pertanyaan
yang sebenarnya tidak menghendaki jawaban. Pertanyaan yang
dikemukakan telah dilandasi oleh asumsi bahwa hanya terdapat
satu jawaban yang mungkin, di samping penutur juga
mengasumsikan pembaca telah mengetahui jawabannya.
Dimaksudkan untuk membangkitkan efek retoris yang mengena
sekaligus untuk melibatkan pembaca atau pendengar baik secara
rasional maupun emosional.
F. CITRAAN
Nurgiyantoro (2019: 275) berpendapat bahwa citraan merupakan
penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan
indra. Citra (image) dan citraan (imagery) menunjuk pada adanya reproduksi
mental. Citraan merupakan gambaran berbagai pengalaman sensoris yang
dibangkitkan oleh kata-kata. Abrams dan Kenny melalui Nurgiyantoro (2019:
277) mengemukakan bahwa citraan merupakan kumpulan citra yang
dipergunakan untuk menuliskan objek dan kualitas tanggapan indra yang
dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harafiah
maupun kias. Citraan merupakan salah satu unsur stile yang penting karena
berfungsi mengkonkretkan dan menghidupkan penuturan. Citraan terkait
dengan panca indra manusia, kelima jenis citraan itu adalah citraan
penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerak (kinestetik), rabaan (taktil
termal) dan penciuman (olfaktori).
1. Citraan Visual
Citraan visual merupakan citraan yang terkait dengan
pengonkretan objek yang dapat dilihat oleh mata, dapat dilihat secara
visual. Objek visual adalah objek yang tampak, benda-benda yang secara
ilmiah kasat mata tersebut dapat dilihat secara mental lewat rongga
imajinasi walau secara faktual benda-benda tersebut tidak ada di sekitar
pembaca, lengkap dengan spesifikasi rinciannya merupakan objek
penglihatan imajinatif yang sengaja dibangkitkan penulis
2. Citraan Auditif
Citraan pendengaran (auditif) adalah pengonkretan objek bunyi
yang didengar oleh telinga. Citraan auditif terkait usaha pengonkretan
bunyi-bunyi tertentu yang ditunjukkan melalui deskripsi verbal atau
tiruan bunyi sehingga seolah-olah pembaca dapat mendengar bunyi-
bunyi tersebut walau hanya melalui rongga imajinasi. Pembangkitan
bunyi-bunyi alamiah tertentu lewat penataan kata-kata tertentu dapat
memberikan efek pengonkretan dan alamiah sehingga penuturan terlihat
lebih teliti dan meyakinkan.
3. Citraan Gerak
Citraan gerak (kinestetik) adalah citraan yang terkait dengan
pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata. Pada citraan
gerak, objek yang dibangkitkan untuk dilihat adalah sebuah aktivitas,
gerak motorik, bukan objek diam. Melalui imajinasi, pembaca seolah-
olah dapat melihat aktivitas yang dituliskan. Penghadiran berbagai
aktivitas baik yang dilakukan oleh manusia maupun oleh makhluk atau
hal-hal lain lewat penataan kata-kata tertentu secara tepat dapat
mengonkretkan dan menghidupkan penuturan sehingga terlihat lebih
teliti dan meyakinkan.
4. Citraan Rabaan dan Penciuman
Citraan rabaan (taktil termal) dan penciuman (olfaktori)
menunjuk pada pelukisan rabaan dan penciuman secara konkret walau
hanya terjadi di prongga imajinasi pembaca. Keduanya dimaksudkan
untuk mengonkretkan dan menghidupkan sebuah penuturan. Namun,
dibandingkan dengan citraan yang lainnya, kedua citraan ini tidak terlalu
sering ditemukan pada teks sastra.
BAB III
HASIL KAJIAN STILE DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Kajian Stile Aspek Diksi pada Novel Ledhek dari Blora
2. Hasil Kajian Stile Aspek Struktur Sintaksis pada Novel Ledhek dari
Blora
Tabel 2.1 Struktur Sintaksis Novel Dilarang Mandi di Kamar Mandi
Jumlah Keterangan
Kajian
(Data hasil kajian terdapat di
Struktur
bagian lampiran)
Frekuensi Persentase
Kalimat 78 57.8% Contoh Kutipan:
Langsung
“Itu yang bisa saya
ceritakan tentang Sriyati.
Dia sudah di alam baka.
Mudah-mudahan sudah
bahagia di surga.”
Kalimat Tidak 57 42.2% Contoh Kutipan:
Langsung
Jika di kebetulan di kota
lain aku melihat hutan jati
atau pohon jati yang
tumbuh berjejer di tepi
jalan, pasti ingatanku
melayang ke Blora.
Total 135 100%
3. Hasil Kajian Stile Aspek Kohesi dan Koherensi pada Novel Ledhek
dari Blora
Terdapat deiksis
sebanyak 32
Contoh kutipan:
Karena sudah
tidak sakit,
ciuman itu
kubalas.
Berdasarkan tabel analisis novel Lhedek dari Blora di atas, dapat diketahui
bahwa frekuensi kemunculan yang paling sering muncul adalah kohesi pengacuan
yaitu sebesar 64,2%. Pengacuan yang paling sering digunakan adalah pengacuan
bentuk kata ganti orang (personal pronouns) sebanyak 97 kali. Pada novel Ledhek
dari Blora ini tidak ditemukan adanya variasi elegan.
4. Hasil Kajian Stile Aspek Pemajasan pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 4.1 Aspek Pemajasan Novel Ledhek dari Blora
Jumlah Keterangan
Jenis Majas Frekuensi Persentase (Data hasil kajian
12 100%
Contoh kutipan:
Pilihanku tetap
sama, yakni model
Hiperbola 3 4.7% yang sudah
dianggap
kedaluwarsa.
Jumlah 64 100%
6. Hasil Kajian Stile Aspek Citraan pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 6.1 Aspek Citraan Novel Ledhek dari Blora
Jumlah Keterangan
Jenis Citraan (Data hasil kajian terdapat
Frekuensi Persentase
di bagian lampiran)
B. Pembahasan
1. Seeking Aesthetic Function Berdasarkan Aspek Diksi
Karya sastra pada umumnya menggunakan bahasa sebagai media
ekspresi pengarang. Karya sastra merupakan karya imajinatif yang di
dalamnya terdapat unsur yang salah satunya adalah diksi. Diksi adalah
pemilihan kata yang dilakukan oleh pengarang untuk menyampaikan
gagasannya. Diksi yang dipilih oleh penulis dalam novel Ledhek dari
Blora memiliki nilai estetis. Nilai estetis itu adalah salah satu faktor
penting yang diciptakan agar sebuah cerita dapat dinikmati oleh pembaca.
Pilihan diksi yang terdapat pada novel Ledhek dari Blora karya
Budi Sardjono adalah kata kolokial. Kata kolokial sering kali dipakai oleh
masyarakat untuk mempersingkat pengucapan dan digunakan dalam
situasi informal atau santai. Kata kolokial ini dapat memberikan kesan
santai dan merakyat dalam cerita yang terdapat dalam novel Ledhek dari
Blora. Selain itu, kata kolokial juga menambah keluwesan dalam
dialognya sehingga cerita yang muncul terkesan natural.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan., dkk. 2003.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Daya Bahasa. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama.
Mayore, Tenri. 2013. Sarana Kohesi dalam Novel Berjudul Robohnya Surau
Kami karya A.A Navis. Jurnal Skripsi. Manado: Universitas Sam
Ratulangi.
Nurgiyantoro, Burhan. 2019. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Widyamartaya, A. 1990. Seni Menuangkan Gagasan. Yogyakarta : Kanisius.
LAMPIRAN
1. Daftar Data Stile Diksi pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 1.2 Tabel Data Stile Diksi pada Novel Ledhek dari Blora
Kajian Diksi Data
Kolokial Akh Akh! Aku tidak berani bermimpi.
Akh, kalimat yang puitis!
Ohhh “Ohhh..”
Oooo “Oooo...dahsyat!”
“Oooo...”
2. Daftar Data Stile Struktur Sintaksis pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 2.2 Tabel Data Stile Struktur Sintaksis pada Novel Ledhek dari Blora
Kajian Struktur Data
Kalimat Langsung “Jadi Mas Sam mau meninggalkan Blora?”
“Hanya sebentar. Paling dua atau tiga hari,”
“Kalau nanti sudah menemukan jejak Sriyati,
lalu tidak akan kembali ke Blora lagi. Begitu,
bukan?”
“Blora tidak menarik lagi, ya
“Hanya kabupaten kecil, tidak menarik untuk
dikunjungi. Panas udaranya."
“Jangan meremehkan bumi kelahiranmu
sendiri, Nirmala. Blora sudah terkenal sejak
zaman Belanda. Penghasil kayu jati terbaik di
Nusantara, juga minyak mentah. Nama-nama
besar lahir di sini. Termasuk Sang Adipati
Arya Penangsang!”
“Apa kamu tidak bangga dengan nama itu?”
“Karena Arya Penangsang para ledhek Tayub
terangkat derajatnya. Mereka diangkat dari
wilayah pinggiran lalu diletakkan di pendapa
kabupaten. Bahkan Sang Adipati sendiri
termasuk seorang penayub yang andal.
Seandal dia memainkan senjata tajam di
medan perang.”
“Dari mana Mas Sam tahu cerita tentang Arya
Penangsang sebagai seorang penayub?"
“Dari tokoh Tayub di Cepu. Pak Panayadi.
Kenal?”
“Pernah dengar namanya, tapi belum pernah
ketemu orangnya. Eyang mungkin kenal.”
“Sesama orang Cepu belum pernah ketemu?”
“Mas, Cepu itu luas. Kecamatan.
Penduduknya ribuan. Kalau satu dusun pasti
saya kenal.”
“Iya ya, ha..ha..ha..”
“Besok aku mau pulang ke Cepu. Kangen
anakku. Juga mau melihat Tayub di pendapa
Balai Desa. Mau ikut?”
“Mau sekali!”
“Impian yang terwujud. Aku ingin melihat
pentas Tayub sebelum ke Yogyakarta.”
“Mudah-mudahan nanti Mas Sam terpikat
oleh salah Satu ledheknya!”
“Ha?”
“Ya. Terpikat, lalu terikat dan terjerat!”
“Ha.ha..ha..
“Lalu mau tinggal di Blora?
“Boleh jika aku nanti terpikat dengan seorang
ledheknya?”
“Siapa yang melarang?”
“Boleh aku tidur di punggungmu, Mas Sam?”
“Bisa jatuh nanti!”
“Tidak apa-apa."
“Ha? Tidak takut luka atau lecet-lecet?”
“Mosok jatuh cinta bisa luka dan lecet-lecet?”
"Orang jatuh cinta kok luka dan lecet-lecet.
Piye to kamu itu Nir, protes Eyang Ratmi.
“Orang jatuh cinta itu ya senang. Dadanya
berdebar-debar terus.”
“Ah, Eyang. Dulu juga begitu waktu jatuh
cinta sama Eyang Kakung?"
“Dengan Eyang Kakungmu tidak. Tapi
dengan orang lain...wooo seperti mau mabur
saja rasanya, he.he..he.,”
“Ihhh, Eyang!”
“Eyang selingkuh ya?”
“Bukan begitu. Dengan orang lain itu
maksudnya saya benar-benar jatuh cinta.
Sedang sama Eyang Kakungmu itu karena
dijodohkan orangtua. Jadi, tidak ada rasa
cinta. Tapi lama-lama cinta juga kok,”
“Zaman dulu biasa dijodohkan tanpa saling
kenal lebih dulu. Bahkan dikawinkan ketika
usia masih sangat belia. Cowoknya baru saja
sunat, sedang ceweknya mungkin belum
menstruasi,”
“Karena itulah sehabis dipestakan keduanya
lalu kembali ke rumah masing-masing.
Kembali kepada orangtuanya.”
“Ceweknya masih tetap perawan dong!”
“Cowoknya belum tahu cara memperlakukan
istrinya. Mungkin juga masih takut. Hal itulah
yang pada zaman dulu melahirkan tradisi
adanya gowok.”
“Gowok? Apa itu Mas?”
“Perempuan dewasa yang mengajari calon
penganten laki-laki bagaimana nanti jika
sudah punya istri.”
“Mengajari apa?”
“Komplit. Bagaimana cara merayu,
menyentuh titik-titik yang sensitif pada tubuh
istrinya, lalu memberi kepuasan batin kepada
istrinya. Semua diajarkan oleh gowok.”
"Praktiknya juga sama gowok itu?”
"Ya"
“Kalau zaman sekarang ada tante yang
mengajari brondong bermain seks. Begitu
ya?”
“Seorang gowok bukan hanya mengajarkan
soal seks saja, namun juga ramu-ramuan yang
bisa membuat lelaki jadi perkasa. Mendidik
cowok remaja tadi menjadi lelananging jagad
di mata istrinya. Bisa mengayomi,
mensejahterakan hidupnya, dan memberi
kepuasan batin.”
“Oooo...dahsyat!”
“Sekarang tradisi itu sudah hilang,
ha..ha..ha..”
“Kalau masih ada Mas Sam mau minta diajari
oleh gowok ya?"
“Sudah kasep!”
“Siapa tahu gowoknya malah yang diajari,
he..he.. he”
“Ada apa Eyang?” tanyaku lirih. Eyang Ratmi
tidak menjawab. Ia lalu menarik tanganku dan
mengajak duduk di kursi kayu di beranda
belakang. “Eyang belum tidur?”
“Apa Mas Sam benar-benar ingin mencari
jejak Sriyati?"
“Sungguh?”
“Tapi tidak untuk membuat dia celaka lagi
to?”
“Tidak Eyang. Justru ingin membuat dia
senang karena ada orang kaya yang ingin
bertemu. Siapa tahu orang kaya itu mau
membantu hidup Sriyati, andaikata dia
sengsara,”
“Sriyati itu...Sriyati itu adalah anakku”
“Ha? Benarkah Eyang?”
“Kok Eyang dulu tidak mengatakan
kepadaku?”
“Eyang takut kalau sampeyan akan membuat
anak cucu Sriyati celaka.”
“Tidak Eyang. Sungguh, demi Allah, aku
tidak akan berbuat seperti itu. Tolong Eyang
ceritakan siapa sebenarnya Sriyati,”
“Tapi ini rahasia ya, jangan sampai Nirmala
tahu.”
"Aku tidak akan menceritakan kepada siapa-
siapa, Eyang.”
“Sriyati itu anakku. Dulu memang ledhek
terkenal. Tapi karena huru-hara yang kami
tidak mengerti, ia lalu ditahan di Plantungan.
Setelah empat tahun dia ditahan di sana, saya
pun akhirnya ikut dibawa ke sana juga.”
“Ohhh..”
“Suatu ketika Sriyati hamil. Saya tidak tahu
siapa yang menghamili. Tapi karena itu, ia
lalu dipindah ke Semarang. Setelah
melahirkan ia lalu dikembalikan di
Plantungan. Anaknya diambil orang, dijadikan
anak angkat, lalu dibawa ke Jakarta. Setelah
bebas Sriyati mendapat jodoh lalu punya anak
satu. Nirmala. Mereka tinggal di Nganjuk.
Ketika Nirmala berumur sembilan tahun
mereka bercerai. Sriyati lalu pulang kemari.
Tetapi setahun kemudian ia kawin lagi dan
diajak suaminya tinggal di Blitar. Nirmala
ditinggal dan saya yang membesarkan.”
“Ooo...”
“Dengan suaminya yang kedua Sriyati tidak
punya anak. Tapi umurnya tidak panjang.
Ketika Nirmala kelas tiga SMP Sriyati
meninggal dunia dan dikubur di Blitar.
Setelah itu, saya tidak pernah ketemu dengan
bapak tirinya Nirmala.”
“Lalu bapak kandung Nirmala ada di mana
Eyang?”
“Itu yang bisa saya ceritakan tentang Sriyati.
Dia sudah di alam baka. Mudah-mudahan
sudah bahagia di surga.”
"Amin."
“Dari kamar mandi ya?”
“Ya, jawabku lirih.
“Hmmm..jangan tinggalkan aku sendirian to
Mas,”
“Eyang tadi cerita apa?"
“Besok sore akan ada pentas Tayub di
pendapa balai desa,"
“Hmm..mudah-mudahan besok Arya
Penangsang datang melihat.”
Kalimat Tidak Setelah tiga hari Nirmala baru membuka
Langsung perban di pipi kanan dan pipi kiri.
Tadi pagi sebelum berangkat ke rumah sakit
Nirmala memberi hadiah ciuman.
Dia kepingin tahu sejauh mana usahaku
melacak jejak ledhek Sriyati membuahkan
hasil.
Dia pun ingin melihat langsung sosok diriku
yang sudah dipercaya Untuk menuliskan
biografinya.
Tanya Nirmala ketika kuceritakan keinginan
Mas Don mengundangku ke Yogya.
Pertanyaan yang sulit kujawab! Sorot mata
Nirmala mudah dibaca, mewakili suara hati
perempuan itu.
Ia tidak rela kalau aku akan meninggalkan
Blora dan tidak pernah kembali lagi.
Nirmala menatapku. Kedua bola matanya
tampak berbinar-binar.
Nirmala menggeleng. Gelengan kepala yang
ragu.
Itu isyarat bahwa ia menyembunyikan sesuatu.
Nirmala tertawa kecil seperti meremehkan
pertanyaanku.
Tidak pernah terbayangkan kalau aku harus
memasuki dunia Tayub sekaligus kehidupan
para ledhek.
Tapi karena tuntutan profesi alias tuntutan
perut harus diisi, mau tidak mau dunia itu
harus kumasuki.
Demi empat anak asuhku. Aku tidak menyesal.
Justru merasa beruntung karena bisa mengenal
Blora lebih dalam.
Jika di kebetulan di kota lain aku melihat
hutan jati atau pohon jati yang tumbuh berjejer
di tepi jalan, pasti ingatanku melayang ke
Blora.
Padahal baru dua kali aku mengunjungi dan
dalam waktu yang singkat.
Entah kenapa sepertinya aku terpikat dengan
kabupaten ini.
Baru sekarang kenal Nirmala Jati karena aku
harus opname di rumah sakit.
Akh! Aku tidak berani bermimpi.
Benarkah? Aku tidak mau memikirkan!
Hari itu, ketika aku tidak mau memikirkan
cinta, ada rasa yang aneh ketika Nirmala
duduk di belakangku.
Kami boncengan naik motor menuju Cepu, ke
rumah Eyang Ratmi, rumah Nirmala juga.
Dadaku jadi terasa sesak ketika kedua kaki
Nirmala menjepit pinggangku dari belakang,
sementara kedua tangannya mendekap
perutku! Baru kali ini, ya baru kali ini aku
merasakannya.
Naik motor di jalan aspal tapi serasa berada di
atas angin! Belum pernah ada perempuan yang
kuboncengkan dengan sepeda motor bergaya
seperti Nirmala.
Aku ingin menikmati jepitan kedua kaki dan
dekapan tangan perempuan ini.
Busyet! Aku tidak tahu Nirmala serius atau
lagi bercanda. Tapi kalimat yang sama ia
ulangi ketika kami sudah tiba di rumahnya.
Kalimat itu ia ucapkan, entah disengaja atau
tidak, justru di depan Eyang Ratmi.
Sahut Nirmala sambil melempar senyum dan
masuk kamar.
Kata Nirmala semua bak mandi warga Cepu
dan sekitarnya berwarna hitam. Itu pasti
pengaruh residu minyak yang larut dalam air
meski tidak berbau.
Tengah malam itu aku bangun hati-hati.
Nirmala tampak pulas.
Ia tadi sempat berbisik mengulang kalimat
yang pernah diucapkannya dulu.
Mungkin baginya malam ini ia mirip pohon
jati yang sedang bersemi daunnya setelah
selama beberapa bulan meranggas dihajar
kemarau.
Sebagian besar laki-laki sangat menyukai
bentuk dada seperti itu.
Aku yakin mantan suaminya pasti menyesal.
Pelan-pelan aku bangkit dari tempat tidur
karena mau ke kamar mandi.
Begitu mau kembali ke kamar Eyang Ratmi
menggamit tanganku.
Ia memberi isyarat agar aku tidak bicara keras.
Eyang Ratmi tidak menjawab.
Ia lalu menarik tanganku dan mengajak duduk
di kursi kayu di beranda belakang.
Perempuan itu menggeleng lalu menatapku
tajam.
Eyang Ratmi mengangguk-angguk.
Dalam jarak dekat aku bisa melihat bibirnya
bergetar.
Katanya kemudian dengan suara serak.
Tukasku hampir tidak percaya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Eyang Ratmi menengok ke belakang.
Setelah yakin tidak ada orang lain ia lalu
menggeser duduknya sehingga jadi lebih
dekat.
Dadaku berdesir seperti ada benda tajam yang
mengiris kulit.
Ibu dan anak menjadi tahanan.
Perempuan itu menggeleng.
Mata Eyang Ratmi berkaca-kaca. Sesaat
kemudian ia lalu menyuruhku agar segera
kembali ke kamar.
Pintanya lirih sebelum dia masuk ke kamar
tidurnya sendiri.
Semua yang kulihat seperti berputar saat itu.
Tanya Nirmala ketika aku merebahkan diri di
sampingnya.
Kata Nirmala sambil memelukku.
Hmm. Aku menghela napas.
Tanya Nirmala kemudian.
Nirmala makin kencang memelukku.
1. Daftar Data Kajian Stile Aspek Kohesi dan Koherensi pada Novel Ledhek
dari Blora
3.2 Kohesi dan Koherensi Novel Ledhek dari Blora
Keterangan
Jenis Kohesi (Data hasil kajian terdapat di bagian lampiran)
2. Daftar Data Kajian Stile Aspek Pemajasan pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 4.2 Aspek Pemajasan Novel Ledhek dari Blora
4. Daftar Data Kajian Stile Aspek Citraan pada Novel Ledhek dari Blora
Tabel 3.2 Citraan Novel Ledhek dari Blora
Setelah tiga hari Nirmala baru membuka perban di pipi kanan dan pipi kiri.
Wajahku tidak mulus lagi sekarang. Karena ada bekas luka. Bibir juga sudah tidak
jontor lagi. Tadi pagi sebelum berangkat ke rumah sakit Nirmala memberi hadiah
ciuman. Karena sudah tidak sakit, ciuman itu kubalas dengan agak ganas.
Untuk kesekian kali aku harus membeli handphone baru lagi. Pilihanku tetap
sama, yakni model yang sudah dianggap kedaluwarsa. Bukan android yang
banyak menawarkan berbagai macam aplikasi.
Hari itu Mas Don, sosok yang hanya kukenal lewat suara dan SMS, menelponku
agar minggu depan aku ke Yogyakarta. Dia kepingin tahu sejauh mana usahaku
melacak jejak ledhek Sriyati membuahkan hasil. Dia pun ingin melihat langsung
sosok diriku yang sudah dipercaya Untuk menuliskan biografinya.
“Jadi Mas Sam mau meninggalkan Blora?” tanya Nirmala ketika kuceritakan
keinginan Mas Don mengundangku ke Yogya.
“Kalau nanti sudah menemukan jejak Sriyati, lalu tidak akan kembali ke Blora
lagi. Begitu, bukan?”
Pertanyaan yang sulit kujawab! Sorot mata Nirmala mudah dibaca, mewakili
suara hati perempuan itu. Ia tidak rela kalau aku akan meninggalkan Blora dan
tidak pernah kembali lagi.
“Blora tidak menarik lagi, ya?” desaknya kemudian. “Hanya kabupaten kecil,
tidak menarik untuk dikunjungi. Panas udaranya."
Nirmala menatapku. Kedua bola matanya tampak berbinar-binar. Itu pancaran dari
kekaguman dan rasa bangga yang menyatu.
“Karena Arya Penangsang para ledhek Tayub terangkat derajatnya. Bahkan Sang
Adipati sendiri termasuk seorang penayub yang andal. Seandal dia memainkan
senjata tajam di medan perang.”
“Dari mana Mas Sam tahu cerita tentang Arya Penangsang sebagai seorang
penayub?"
Nirmala tertawa kecil seperti meremehkan pertanyaanku. “Mas, Cepu itu luas.
Kecamatan. Penduduknya ribuan. Kalau satu dusun pasti saya kenal.”
Ganti aku yang tertawa. Menertawakan kebodohanku sendiri. “Iya ya, hahaha..”
“Besok aku mau pulang ke Cepu. Kangen anakku. Juga mau melihat Tayub di
pendapa Balai Desa. Mau ikut?”
“Mau sekali!” jawabku spontan. “Impian yang terwujud. Aku ingin melihat pentas
Tayub sebelum ke Yogyakarta.”
Aku kembali tertawa. “Boleh jika aku nanti terpikat dengan seorang ledheknya?”
Tidak pernah terbayangkan kalau aku harus memasuki dunia Tayub sekaligus
kehidupan para ledhek. Tapi karena tuntutan profesi alias tuntutan perut harus
diisi, mau tidak mau dunia itu harus kumasuki. Demi empat anak asuhku. Aku
tidak menyesal. Justru merasa beruntung karena bisa mengenal Blora lebih dalam.
Bukan hanya membaca di dalam cerpen atau novel dari sastrawan terkenal yang
beberapa kali menyebut Blora.
Jika kebetulan di kota lain aku melihat hutan jati atau pohon jati yang tumbuh
berjejer di tepi jalan, pasti ingatanku melayang ke Blora. Padahal baru dua kali
aku mengunjungi dan dalam waktu yang singkat. Entah kenapa sepertinya aku
terpikat dengan kabupaten ini. Padahal di sini tidak ada siapa-siapa, kecuali satu
dua teman belaka. Baru sekarang kenal Nirmala Jati karena aku harus opname di
rumah sakit. Kenal dekat. Sedekat apa?
Akh! Aku tidak berani bermimpi. Laki-laki yang tidak punya pekerjaan tetap. Apa
yang bisa diharapkan? Cinta tidak membuat perut jadi kenyang. Cinta itu menjadi
indah manakala kebutuhan hidup sudah terpenuhi.
Hari itu, ketika aku tidak mau memikirkan cinta, ada rasa yang aneh ketika
Nirmala duduk di belakangku. Kami boncengan naik motor menuju Cepu, ke
rumah Eyang Ratmi, rumah Nirmala juga. Dadaku jadi terasa sesak ketika kedua
kaki Nirmala menjepit pinggangku dari belakang, sementara kedua tangannya
mendekap perutku! Baru kali ini, ya baru kali ini aku merasakannya. Naik motor
di jalan aspal tapi serasa berada di atas angin! Belum pernah ada perempuan yang
kuboncengkan dengan sepeda motor bergaya seperti Nirmala.
“Boleh aku tidur di punggungmu, Mas Sam?” tanya Nirmala agak keras. Laju
motor tidak begitu kencang. Aku ingin menikmati jepitan kedua kaki dan dekapan
tangan perempuan ini.
Busyet! Aku tidak tahu Nirmala serius atau lagi bercanda. Tapi kalimat yang sama
ia ulangi ketika kami sudah tiba di rumahnya. Kalimat itu ia ucapkan, entah
disengaja atau tidak, justru di depan Eyang Ratmi.
"Orang jatuh cinta kok luka dan lecet-lecet. Piye to kamu itu Nir, protes Eyang
Ratmi.” “Orang jatuh cinta itu ya senang. Dadanya berdebar-debar terus.”
“Ah, Eyang. Dulu juga begitu waktu jatuh cinta sama Eyang Kakung?" tanya
Nirmala dengan nada bercanda.
“Dengan Eyang Kakungmu tidak. Tapi dengan orang lain... wooo seperti mau
mabur saja rasanya, hehehe
“Bukan begitu. Dengan orang lain itu maksudnya saya benar-benar jatuh cinta.
Sedang sama Eyang Kakungmu itu karena dijodohkan orangtua. Jadi, tidak ada
rasa cinta. Tapi lama-lama cinta juga kok,” jawab Eyang Darmi sambil tersenyum.
“Zaman dulu biasa dijodohkan tanpa saling kenal lebih dulu. Bahkan dikawinkan
ketika usia masih sangat belia. Cowoknya baru saja sunat, sedang ceweknya
mungkin belum menstruasi,” selaku. “Karena itulah sehabis dipestakan keduanya
lalu kembali ke rumah masing-masing. Kembali kepada orangtuanya.”
“Mengajari apa?”
“Komplit. Bagaimana cara merayu, menyentuh titik-titik yang sensitif pada tubuh
istrinya, lalu memberi kepuasan batin kepada istrinya. Semua diajarkan oleh
gowok.”
"Ya"
“Seorang gowok bukan hanya mengajarkan soal seks saja, namun juga ramu-
ramuan yang bisa membuat lelaki jadi perkasa. Mendidik cowok remaja tadi
menjadi lelananging jagad di mata istrinya. Bisa mengayomi, mensejahterakan
hidupnya, dan memberi kepuasan batin.”
“Kalau masih ada Mas Sam mau minta diajari oleh gowok ya?"
“Sudah kasep!”
“Siapa tahu gowoknya malah yang diajari, hehehe..” sahut Nirmala sambil
melempar senyum dan masuk kamar.
Kipas angin tidak mampu membuat udara kamar jadi dingin. Meski tengah
malam sekalipun, udara Cepu memang terasa panas. Mungkin karena pengaruh
tanah kapur dan kandungan minyak di dalam tanah begitu besar. Hal itu kelihatan
dari dinding dan dasar bak kamar mandi. Warnanya hitam. Kata Nirmala semua
bak mandi warga Cepu dan sekitarnya berwarna hitam. Itu pasti pengaruh residu
minyak yang larut dalam air meski tidak berbau.
Tengah malam itu aku bangun hati-hati. Nirmala tampak pulas. Wajahnya
seperti tersenyum ketika tidur. Ia tadi sempat berbisik mengulang kalimat yang
pernah diucapkannya dulu. Di musim hujan daun-daun jati bersemi...
Mungkin baginya malam ini ia mirip pohon jati yang sedang bersemi
daunnya setelah selama beberapa bulan meranggas dihajar kemarau. Semua daun
jati rontok. Hutan jati tampak kerontang dan tidak menarik dilihat. Beda
dibanding ketika hujan sudah turun. Hutan jati tampak hijau dan enak dilihat
mata.
Kupandangi wajah Nirmala. Nafasnya teratur. Dadanya bergerak pelan naik turun.
Dada yang berisi. Sebagian besar laki-laki sangat menyukai bentuk dada seperti
itu. Agak menonjol mirip kelapa gading. Tidak besar namun indah dilihat,
sehingga tidak membuat bosan laki-laki yang bisa memiliki.
Pelan-pelan aku bangkit dari tempat tidur karena mau ke kamar mandi. Begitu
mau kembali ke kamar Eyang Ratmi menggamit tanganku. Ia memberi isyarat
agar aku tidak bicara keras. “Ada apa Eyang?” tanyaku lirih. Eyang Ratmi tidak
menjawab. Ia lalu menarik tanganku dan mengajak duduk di kursi kayu di
beranda belakang. “Eyang belum tidur?” tanyaku kemudian.
Perempuan itu menggeleng lalu menatapku tajam. “Apa Mas Sam benar-benar
ingin mencari jejak Sriyati?" tanyanya pelan. Aku mengangguk. “Sungguh?” Aku
mengangguk lagi. “Tapi tidak untuk membuat dia celaka lagi to?”
“Tidak Eyang. Justru ingin membuat dia senang karena ada orang kaya yang ingin
bertemu. Siapa tahu orang kaya itu mau membantu hidup Sriyati, andaikata dia
sengsara,” jawabku.
Eyang Ratmi mengangguk-angguk. Dalam jarak dekat aku bisa melihat bibirnya
bergetar. “Sriyati itu...Sriyati itu adalah anakku,” katanya kemudian dengan suara
serak.
“Ha? Benarkah Eyang?” tukasku hampir tidak percaya. “Kok Eyang dulu tidak
mengatakan kepadaku?”
“Eyang takut kalau sampeyan akan membuat anak cucu Sriyati celaka.”
Eyang Ratmi menengok ke belakang. Setelah yakin tidak ada orang lain ia lalu
menggeser duduknya sehingga jadi lebih dekat. “Sriyati itu anakku. Dulu memang
ledhek terkenal. Tapi karena huru-hara yang kami tidak mengerti, ia lalu ditahan
di Plantungan. Setelah empat tahun dia ditahan di sana, saya pun akhirnya ikut
dibawa ke sana juga.”
“Ohhh..” dadaku berdesir seperti ada benda tajam yang mengiris kulit. Ibu dan
anak menjadi tahanan.
“Suatu ketika Sriyati hamil. Saya tidak tahu siapa yang menghamili. Tapi karena
itu, ia lalu dipindah ke Semarang. Setelah melahirkan ia lalu dikembalikan di
Plantungan. Anaknya diambil orang, dijadikan anak angkat, lalu dibawa ke
Jakarta. Setelah bebas Sriyati mendapat jodoh lalu punya anak satu. Sriyati lalu
pulang kemari. Tetapi setahun kemudian ia kawin lagi dan diajak suaminya
tinggal di Blitar. Nirmala ditinggal dan saya yang membesarkan.”
“Oooo...”
“Dengan suaminya yang kedua Sriyati tidak punya anak. Umurnya tidak panjang.
Ketika Nirmala kelas tiga SMP Sriyati meninggal dunia dan dikubur di Blitar.
Setelah itu, saya tidak pernah ketemu dengan bapak tirinya Nirmala.”
"Amin."
Semua yang kulihat seperti berputar saat itu. Antara bahagia, kaget, bingung, dan
entah rasa apa lagi, berkecamuk di dada.
“Besok sore akan ada pentas Tayub di pendapa balai desa," jawabku berbohong.
“Hmm.. Mudah-mudahan besok Arya Penangsang datang melihat.” Nirmala
makin kencang memelukku.