Disusunoleh:
2. Bahasa ilmiah mengembangkan argumentasi lewat pemilihan bentuk stile yang khusus,
yang khas, yang membedakannya dengan ragam bahasa lain. Berbagai bidang keilmuan tertentu
lazimnya membentuk komunitasnya sendiri dengan mempergunakan model stile tertentu yang
sama-sama diketahui oleh anggotanya.
Tiap komunitas keilmuan memiliki stile yang berbeda untuk membahasakan ide gagasan,
dan temuan penelitian; mereka juga mengembangkan struktur, cara penalaran, dan argumentasi
yang tidak sama. Perbedaan stile juga disebabkan oleh perbedaan kultur dan bahasa di dunia.
Bahasa ilmiah dengan kultur penulisan dengan bahasa Inggris misalnya, menunjukkan
kecenderungan sebagai berikut: (i) struktur dan tujuan ditunjukkan lebih jelas, (ii) banyak
merujuk acuan mutakhir, (iii) kurang menoleransi adanya digresi, (iv) berhati-hati dalam
membuat pernyataan, dan (v) banyak memakai kata dan kalimat penghubung untuk
menunjukkan adanya hubungan antarbagian yang jelas.
Realisasi karya ilmiah dalam teks bahasa karya ilmiah memiliki lima ciri, yaitu (1) objektif, (2)
impersonal atau nirpersona, (3) teknikal, (4) praktikal, dan (5) berdasar pada bahasa tulisan
(Hartisari, 2005: 1-4). Yang dimaksud dengan bahasa objektif adalah representasi dalam bahasa
yang menggambarkan sesuatu pengalaman yang bagi semua khalayak (addressee) representasi
pengalaman linguistik itu (dipandang) sama oleh semua orang seperti yang ditampilan oleh
pemakai bahasa (addresser). Sebaliknya, bahasa yang subjektif menggambarkan sesuatu
pengalaman (oleh pembicara atau penulisnya) yang berbeda bagi sebanyak orang atau khalayak
dalam memandang atau memahami representasi pengalaman itu. Ini berarti bahasa yang
subjektif adalah bahasa yang membawa pertimbangan, sikap, pendapat atau komentar pribadi
dari setiap pemakai bahasa.
Keimpersonaan bahasa secara operasional menunjukkan ketidakterlibatan penulis artikel ilmiah
dalam teks. Kecuali dalam ucapan terima kasih atau persantunan, di dalam (batang tubuh) teks
karya ilmiah kata saya, kita, kami atau penulis yang mengacu kepada penulis artikel ilmiah tidak
digunakan untuk menghindari paparan yang cenderung persona atau subjektif. Pemakaian
semua ekspresi itu menjadikan kalimat aktif dan melibatkan penulis. Walaupun harus diakui
bahwa karya ilmiah tidak akan wujud tanpa keterlibatan penulis, retorika dalam penulisan karya
ilmiah menuntut agar keterlibatan itu tidak ditampilkan di dalam teks. Kalau penulis/peneliti
terlibat maka teks menjadi personal atau persona. Kepersonaan menyangkut emosi dan emosi
menurunkan rasionalitas. Untuk menghindari kepersonaan atau mempertahankan
keimpersonaan teks dan menghindari keterlibatan penulis kalimat pasif digunakan.
Teknikalitas menunjukkan pemaknaan khusus oleh kata atau bentuk linguistik yang umum dalam
satu bidang atau disiplin. Biasanya teknikalitas didasarkan pada kriteria. Teknikalitas umumnya
menyangkut definisi atau batasan konsep dan berlaku pada satu disiplin. Definisi itu sendiri
merupakan persamaan dua unsur (a = b). Dengan demikian, satu istilah teknis mewakili sejumlah
makna (kata) yang berterima bagi semua khlayak disiplin ilmu itu. Misalnya, dalam linguistik
morfologi adalah kajian tentang morfem dan penyusunan morfem untuk membentuk kata.
Kepraktisan bahasa ilmiah ditandai dengan penggunaan teks yang hemat atau ekonomis dan
tidak taksa (unambiguous). Penghematan dapat dicapai dengan penggunaan teknikalitas (seperti
telah diurai terdahulu), penggunaan lebih sedikit kata. Ciri bahasa karya ilmiah yang lain adalah
bahasa tulisan. Dalam sejarahnya perkembangan bahasa tulisan terkait dengan perkembangan
ilmu. Pada awalnya, karya ilmiah dinyatakan dalam bahasa tulisan. Walaupun kegiatan ilmiah
dapat dilakukan dengan lisan, hingga kini bahasa ilmiah direalisasikan oleh bahasa tulisan.
Dengan demikian karya ilmiah mengikuti tata bahasa dari bahasa tulisan.
Berikut ini disajikan contoh bahasa ilmiah yang memenuhi kriteria bahasa ilmiah seperti telah
dijelaskan sebelumnya yang diambil dari bagian pendahuluan jurnal ”Penggunaan Ungkapan
Jawa dalam Kumpulan Puisi Tirta Kamandanu Karya Linus Suryadi (Pendekatan Stilistika
Kultural)” yang ditulis oleh Burhan Nurgiyantoro.
Kajian stilistika pada hakikatnya adalah aktivitas mengekplorasi bahasa terutama mengeksplorasi
kreativitas penggunaan bahasa (Simpson, 2004:3). Hasil kajian stile akan memperkaya
pengetahuan, pemahaman, dan wawasan kita terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dalam
suatu teks (sastra). Kajian stile membawa ke pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
bahasa dapat dikreasikan dan didayakan sedemikian rupa, mungkin lewat penyimpangan,
pengulangan, penekanan, dan penciptaan ungkapan baru yang semuanya membuat komunikasi
bahasa menjadi lebih segar dan efektif. Objek kajian stilistika meliputi seluruh aspek
kebahasaan, mulai dari aspek bunyi, diksi, sampai grafologi dan bahkan bentuk visual dalam
puisi. Namun, dalam praktiknya orang boleh fokus memilih unsur-unsur tertentu yang diminati.
(Nurgiyantoro, 2014: 202-203).
Kutipan di atas telah memenuhi karakteristik bahasa ilmiah. Bahasa yang dipakai
mengandung unsur objektivitas dan keimpersonaan karena pada tulisan tersebut penulis tidak
memasukkan komentar pribadi dan unsur emotif di dalam tulisannya. Walaupun harus diakui
bahwa karya ilmiah tidak akan terwujud tanpa keterlibatan penulis, maka retorika dalam
penulisan karya ilmiah menuntut agar keterlibatan itu tidak ditampilkan di dalam teks. Unsur
tekstualitas dapat diamati pada kajian stilistika pada hakikatnya adalah aktivitas mengekplorasi
bahasa terutama mengeksplorasi kreativitas penggunaan bahasa. Kalimat tersebut memiliki
batasan konsep yaitu ‘kajian stilistika’ yang saling berterima. Selain itu, teks di atas juga telah
memnuhi syarat kepraktisan dan bahasa tulis. Pengungkapan tidak bertele-tele dan strukturnya
menggunakan struktur tulisan.
2. Bahasa Sastra
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah “karya tulis yang jika
dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian,
keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang
mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan
wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya
yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan
wawasannya sendiri.
Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa
yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor yang menentukan adalah kenyataan bahwa
sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu
bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja.
Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama. Berbagai
segi kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Sastra dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan
membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh
kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara total
dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah kemungkinan besar muncul kenikmatan
estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989) sastra juga bermanfaat secara rohaniah. Dengan
membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial,
maupun intelektual dengan cara yang khusus.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil cipta manusia
dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat imajinatif, disampaikan
secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat relatif.
Ragam bahasa sastra adalah ragam bahasa yang banyak menggunakan kalimat tidak efektif.
Penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui rangkaian kata bermakna konotasi sering dipakai
dalam ragam bahasa sastra. Ciri-ciri ragam bahasa sastra antara lain:
1. Menggunakan kalimat yang tidak efektif.
2. Menggunakan kata-kata yang tidak baku.
3. Adanya rangkaian kata yang bermakna konotasi.
3. Ragam Bahasa Jurnalistik
a. Elipsis
Elipsis merupakan salah satu cara menghilangkan konstituen sintaksis
dengan melepaskan konstituen tertentu.
(1) DKI Pastikan Tak Ubah Desain Konstruksi (Kompas, 3 Maret 2012).
Pada contoh (1) terdapat pelepasan afiks me(N)- pada verba ubah.
Pelepasan afiks seperti contoh (1) di atas pada umumnya terdapat pada judul
berita.
d. Penggunaan ejaan
Ejaan merupakan tatacara penulisan huruf, kata, dan tanda baca. Badudu
mengemukakan, kesalahan yang paling menonjol dalam bahasa surat kabar
sekarang ini aialah kesalahan ejaan. Pedoman EYD sudah disebarkan
kepada redaksi surat-surat kabar. Akan tetapi, aturan-aturan yang tercantum
di dalam buku ejaan itu tidak diterapkan secara baik dan konsekuen.
(5) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jera Wacik
menjelaskan…” (Kompas, 7 Maret 2012).
(6) Kalau ada yang terkait kesehatan Ny Ani Yudhoyono akan dijelaskan oleh
ketua tim kepresidenan dr Avis Wibudi (Kompas, 15 Maret 2012).
(7) Menurut Presiden masih menjangkiti bangsa kita yakni politik uang dan
politik kekerasan (Kompas, 15 Maret 2012).
Kalimat (5) menunjukkan adanya keterangan aposisi (penjelas) di antara
(ESDM) dan Jero Wacik sebenarnya terdapat tanda koma. Dengan demikian
kalimat (5) sebaiknya: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Jero Wacik menjelaskan…”. Pada kalimat (6) bahwa dalam EYD disebutkan
tanda titik digunakan pada singkatan nama orang termasuk juga singkatan
gelar akademik. Lebih tepat lagi apabila penulisannya adalah: Kalau ada yang
terkait kesehatan Ny. Ani Yudhoyono akan dijelaskan oleh tim kepresidenan
dr. Avis Wibudi.
Kalimat (7) penulisan kata Presiden (nama jabatan) masih menggunakan
huruf kapital. Dalam EYD dijelaskan penulisan huruf kapital dipakai sebagai
huruf pertama nama jabtan yang diikuti nama orang. Akan lebih tepat kalimat
(7) ditulis: Menurut presiden masih menjangkiti bangsa kita ini yakni politik
uang dan politik kekerasan.
e. Pola Kalimat
Pola kalimat konsep sintaksis yanag mencakup kontruksi-kontruksi seperti
indikatif, imperatif dan sebagainya. Pola kalimat yang sering kita gunakan
adalah pola SPOK (subjek, predikat, objek, keterangan).
(8) Sebelum petaka 26 Desember 2004, masyarakat Aceh umumnya belum
mengenal istilah tsunami (Kompas, 14 April 2012).
Pola kalimat di atas adalah KSP (keterangan, subjek, predikat). Namun
demikian, posisi keterangan posisinya bisa pada awal, tengah, atau akhir
kalimat. Ini sangat bergantung pada selera penulis dan hal yang dipentingkan.