Anda di halaman 1dari 8

TUGAS BAHASA INDONESIA

RAGAM BAHASA JURNALISTIK, RAGAM BAHASA SASTRA,DAN RAGAM


BAHASA ILMIAH

Disusunoleh:

Syamsul salam al farisi (16.023)


Mafud muda gandara (16.0)
Rifqi fadhlir (16.0)

AKADEMI REFRAKSI OPTISI SURABAYA


2018
1. Bahasa Ilmiah
Bahasa ilmiah adalah bahasa yang menekankan objektivitas penalaran yang didukung oleh data
empirik. Dalam bahasa ilmiah tidak ada orasi atau propaganda, sedang hal-hal yang
dikemukakan dikembangkan atas dasar argumentasi. Semakin objektif seorang penulis ilmiah,
semakin eksplisit ia meminta pembaca untuk mempercayai walau kadang bukannya tanpa bias
(Adler & Doren via Nurgiyantoro, 2014: 131).
Dalam penelitiannya tentang bahasa ilmiah, Hyland (via Nurgiyantoro, 2014: 131) menemukan
sejumlah karakteristik bahasa ilmiah sebagai berikut.
1. Bahasa ilmiah disusun secara sistematis dan meyakinkan agar pembaca mau
menerimanya. Intinya, bahasa ilmiah disiasati dan dikembangkan sedemikian rupa
lewat penalaran dan argumentasi untuk mencapai efek meyakinkan.

2. Bahasa ilmiah mengembangkan argumentasi lewat pemilihan bentuk stile yang khusus,
yang khas, yang membedakannya dengan ragam bahasa lain. Berbagai bidang keilmuan tertentu
lazimnya membentuk komunitasnya sendiri dengan mempergunakan model stile tertentu yang
sama-sama diketahui oleh anggotanya.

Tiap komunitas keilmuan memiliki stile yang berbeda untuk membahasakan ide gagasan,
dan temuan penelitian; mereka juga mengembangkan struktur, cara penalaran, dan argumentasi
yang tidak sama. Perbedaan stile juga disebabkan oleh perbedaan kultur dan bahasa di dunia.
Bahasa ilmiah dengan kultur penulisan dengan bahasa Inggris misalnya, menunjukkan
kecenderungan sebagai berikut: (i) struktur dan tujuan ditunjukkan lebih jelas, (ii) banyak
merujuk acuan mutakhir, (iii) kurang menoleransi adanya digresi, (iv) berhati-hati dalam
membuat pernyataan, dan (v) banyak memakai kata dan kalimat penghubung untuk
menunjukkan adanya hubungan antarbagian yang jelas.

3. Pengembangan penalaran dan argumentasi mencakup negosiasi antarpersonal dalam


suatu komunitas keilmuan. Namun, penulisan karya ilmiah tidak sekadar melahirkan teks, ia juga
menyiasati stile yang mampu meyakinkan, mengonstruk, dan menegosiasi hubungan sosial.

Realisasi karya ilmiah dalam teks bahasa karya ilmiah memiliki lima ciri, yaitu (1) objektif, (2)
impersonal atau nirpersona, (3) teknikal, (4) praktikal, dan (5) berdasar pada bahasa tulisan
(Hartisari, 2005: 1-4). Yang dimaksud dengan bahasa objektif adalah representasi dalam bahasa
yang menggambarkan sesuatu pengalaman yang bagi semua khalayak (addressee) representasi
pengalaman linguistik itu (dipandang) sama oleh semua orang seperti yang ditampilan oleh
pemakai bahasa (addresser). Sebaliknya, bahasa yang subjektif menggambarkan sesuatu
pengalaman (oleh pembicara atau penulisnya) yang berbeda bagi sebanyak orang atau khalayak
dalam memandang atau memahami representasi pengalaman itu. Ini berarti bahasa yang
subjektif adalah bahasa yang membawa pertimbangan, sikap, pendapat atau komentar pribadi
dari setiap pemakai bahasa.
Keimpersonaan bahasa secara operasional menunjukkan ketidakterlibatan penulis artikel ilmiah
dalam teks. Kecuali dalam ucapan terima kasih atau persantunan, di dalam (batang tubuh) teks
karya ilmiah kata saya, kita, kami atau penulis yang mengacu kepada penulis artikel ilmiah tidak
digunakan untuk menghindari paparan yang cenderung persona atau subjektif. Pemakaian
semua ekspresi itu menjadikan kalimat aktif dan melibatkan penulis. Walaupun harus diakui
bahwa karya ilmiah tidak akan wujud tanpa keterlibatan penulis, retorika dalam penulisan karya
ilmiah menuntut agar keterlibatan itu tidak ditampilkan di dalam teks. Kalau penulis/peneliti
terlibat maka teks menjadi personal atau persona. Kepersonaan menyangkut emosi dan emosi
menurunkan rasionalitas. Untuk menghindari kepersonaan atau mempertahankan
keimpersonaan teks dan menghindari keterlibatan penulis kalimat pasif digunakan.
Teknikalitas menunjukkan pemaknaan khusus oleh kata atau bentuk linguistik yang umum dalam
satu bidang atau disiplin. Biasanya teknikalitas didasarkan pada kriteria. Teknikalitas umumnya
menyangkut definisi atau batasan konsep dan berlaku pada satu disiplin. Definisi itu sendiri
merupakan persamaan dua unsur (a = b). Dengan demikian, satu istilah teknis mewakili sejumlah
makna (kata) yang berterima bagi semua khlayak disiplin ilmu itu. Misalnya, dalam linguistik
morfologi adalah kajian tentang morfem dan penyusunan morfem untuk membentuk kata.
Kepraktisan bahasa ilmiah ditandai dengan penggunaan teks yang hemat atau ekonomis dan
tidak taksa (unambiguous). Penghematan dapat dicapai dengan penggunaan teknikalitas (seperti
telah diurai terdahulu), penggunaan lebih sedikit kata. Ciri bahasa karya ilmiah yang lain adalah
bahasa tulisan. Dalam sejarahnya perkembangan bahasa tulisan terkait dengan perkembangan
ilmu. Pada awalnya, karya ilmiah dinyatakan dalam bahasa tulisan. Walaupun kegiatan ilmiah
dapat dilakukan dengan lisan, hingga kini bahasa ilmiah direalisasikan oleh bahasa tulisan.
Dengan demikian karya ilmiah mengikuti tata bahasa dari bahasa tulisan.
Berikut ini disajikan contoh bahasa ilmiah yang memenuhi kriteria bahasa ilmiah seperti telah
dijelaskan sebelumnya yang diambil dari bagian pendahuluan jurnal ”Penggunaan Ungkapan
Jawa dalam Kumpulan Puisi Tirta Kamandanu Karya Linus Suryadi (Pendekatan Stilistika
Kultural)” yang ditulis oleh Burhan Nurgiyantoro.
Kajian stilistika pada hakikatnya adalah aktivitas mengekplorasi bahasa terutama mengeksplorasi
kreativitas penggunaan bahasa (Simpson, 2004:3). Hasil kajian stile akan memperkaya
pengetahuan, pemahaman, dan wawasan kita terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dalam
suatu teks (sastra). Kajian stile membawa ke pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
bahasa dapat dikreasikan dan didayakan sedemikian rupa, mungkin lewat penyimpangan,
pengulangan, penekanan, dan penciptaan ungkapan baru yang semuanya membuat komunikasi
bahasa menjadi lebih segar dan efektif. Objek kajian stilistika meliputi seluruh aspek
kebahasaan, mulai dari aspek bunyi, diksi, sampai grafologi dan bahkan bentuk visual dalam
puisi. Namun, dalam praktiknya orang boleh fokus memilih unsur-unsur tertentu yang diminati.
(Nurgiyantoro, 2014: 202-203).

Kutipan di atas telah memenuhi karakteristik bahasa ilmiah. Bahasa yang dipakai
mengandung unsur objektivitas dan keimpersonaan karena pada tulisan tersebut penulis tidak
memasukkan komentar pribadi dan unsur emotif di dalam tulisannya. Walaupun harus diakui
bahwa karya ilmiah tidak akan terwujud tanpa keterlibatan penulis, maka retorika dalam
penulisan karya ilmiah menuntut agar keterlibatan itu tidak ditampilkan di dalam teks. Unsur
tekstualitas dapat diamati pada kajian stilistika pada hakikatnya adalah aktivitas mengekplorasi
bahasa terutama mengeksplorasi kreativitas penggunaan bahasa. Kalimat tersebut memiliki
batasan konsep yaitu ‘kajian stilistika’ yang saling berterima. Selain itu, teks di atas juga telah
memnuhi syarat kepraktisan dan bahasa tulis. Pengungkapan tidak bertele-tele dan strukturnya
menggunakan struktur tulisan.

2. Bahasa Sastra

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah “karya tulis yang jika
dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian,
keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang
mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan
wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya
yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan
wawasannya sendiri.
Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa
yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor yang menentukan adalah kenyataan bahwa
sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu
bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja.
Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama. Berbagai
segi kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Sastra dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan
membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh
kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara total
dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah kemungkinan besar muncul kenikmatan
estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989) sastra juga bermanfaat secara rohaniah. Dengan
membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial,
maupun intelektual dengan cara yang khusus.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil cipta manusia
dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat imajinatif, disampaikan
secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat relatif.
Ragam bahasa sastra adalah ragam bahasa yang banyak menggunakan kalimat tidak efektif.
Penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui rangkaian kata bermakna konotasi sering dipakai
dalam ragam bahasa sastra. Ciri-ciri ragam bahasa sastra antara lain:
1. Menggunakan kalimat yang tidak efektif.
2. Menggunakan kata-kata yang tidak baku.
3. Adanya rangkaian kata yang bermakna konotasi.
3. Ragam Bahasa Jurnalistik

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda


menurut topik yang dibicarakan, hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang
dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Ragam bahasa yang oleh
penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi),
yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan
teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat
menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam
bahasa resmi.
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu
ragam bahasa yang kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat ragam bahasa
akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan
ragam bahasa literer (sastra). Ragam bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah
tersendiri yang membedakannya dari ragam bahasa lainnya. Bahasa jurnalistik
merupaka bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-
karya jurnalistik di media massa.
Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda
berdasarkan jenis tulisan apa ynag akan diberitakan. Bahasa jurnalistik yang
digunakan untuk menulis berita utama – ada yang menyebut laporan utama,
forum utama – akan berbeda dari bahasa jurnalistik yang digunakan untuk
menulis tajuk dan features. Karakteristik bahasa jurnalistik dipengaruhi banyak
hal yang terkait dengan penentuan masalah, jenis tulisan, pembagian tulisan,
dan sumber (bahan tulisan). Namun demikian, bahasa jurnalistik tidak boleh
meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal
pemakaian kosa kata, struktur sintaksis, dan wacana. Perlu disadari bahwa
bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, jelas,
lugas, dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti
perkembangan bahasa dalam masyarakat.
Ragam bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas, disebut gaya selingkung.
Gaya selingkung merupakan gaya bahasa yang ditentukan redaksi sebagai salah
satu cirri khas. Selain itu, gaya selingkung bisa dibilang merupakan gaya bahasa
baku bagi redaksi terkait. Sayangnya, gaya selingkung sering kali bertentangan
dengan ejaan baku yang berlaku. Pada tataran morfologi, pelanggaran kaidah
morfologi sebagai perwujudan gaya selingkung penerbit juga dimunculkan.
Sebagai contoh, kata mempercayai bagi sejumlah penerbit merupaka bentuk
yang baku, sedangkan penerbit lain menggunakan kata memercayai. Padahal
proses pembentukannya sama saja seperti pada kata memukuli, yaitu
memperoleh akhiran –i untuk kemudian mendapat awalan meN-. Kata-kata lain
yang bisa disebutkan disini, yaitu mengkomunikasikan, mempertahankan, dan
sebagainya.
Demikian pula dalam tatanan tanda baca.
Adapun tanda baca yang paling sering disalah gunakan ialah tanda petik tunggal
yang sering kali menggantikan peran tanda petik ganda. Tampaknya kebanyakan
mereka beranggapan bahwa tanda petik ganda berfungsi lain, di antaranya untuk
mengapit istilah yang masih kurang dikenal atau kata yang memiliki arti khusus.
Sebaliknya dengan tanda petik tunggal yang hanya memiliki dua fungsi, yaitu
mengapit petikan yang terdapat di dalam petikan lain, dan mengapit terjemahan
atau penjelasan kata atau ungkapan asing.

2. Studi kasus pada koran Kompas


Data yang diambil pada koran Kompas meliputi: elipsis konstituan sintaksis,
pemakaian kata penghubung, makna konotasi, ejaan, dan pola kalimat.

a. Elipsis
Elipsis merupakan salah satu cara menghilangkan konstituen sintaksis
dengan melepaskan konstituen tertentu.
(1) DKI Pastikan Tak Ubah Desain Konstruksi (Kompas, 3 Maret 2012).
Pada contoh (1) terdapat pelepasan afiks me(N)- pada verba ubah.
Pelepasan afiks seperti contoh (1) di atas pada umumnya terdapat pada judul
berita.

b. Kata penghubung untuk memerangkan cara


(2) Peluang Ancol Sejajar Disnya Word (Kompas, 4 Maret 2012).
Contoh (2) menunjukkan adanya penghilangan kata dengan. Kata dengan
dihilangkan karena contoh (2) juga sebagai prinsip ekonomi.
Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan
mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh
akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. sebagaimana
wacana dibatasi oleh ruang wacana jurnalistik dikontruksi agar tidak
melanggar prinsip itu. Untuk mengkontruksi teks yang singkat, dalam wacana
jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintaksis yaitu;
singkatan, elipsis, dan pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun
akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaksis banyak dijumpai dalam
wacana jurnalistik.
c. Makna konotatif
Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat
dari sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna
konseptual. Makna konotatif berbeda dari zaman ke zaman, ia tidak tetap.
Kata kamar kecil mengacu pada kamar yang kecil (makna denotatif) tetapi
kamar kecil juga berarti juga jamban (makna konotatif). Makna konotatif
sifatnya lebih profesional dan operasional daipada makna denotatif, makna
denotatif adalah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif
adalah makna yang dikaitkan dengan suatu kondisi dan situasi tertentu.
(3) Menang 2-0, Brunai Kubur Impian Indonesia (Kompas, 10 Maret 2012).
(4) Menciptakan mimpi bersama Scorsese (Kompas, 11 Maret 2012).
Kalimat (3) dan (4) menunjukkan tersirat makna konotatif, kelompok kata
kubur impian, bisa berarti kalah atau tidak dapat melanjutkan pertandingan
berikutnya, sedangkan kalimat (4) mimpi bersama, tersirat makna angan-
angan yang mungkin menjadi kenyataan.

d. Penggunaan ejaan
Ejaan merupakan tatacara penulisan huruf, kata, dan tanda baca. Badudu
mengemukakan, kesalahan yang paling menonjol dalam bahasa surat kabar
sekarang ini aialah kesalahan ejaan. Pedoman EYD sudah disebarkan
kepada redaksi surat-surat kabar. Akan tetapi, aturan-aturan yang tercantum
di dalam buku ejaan itu tidak diterapkan secara baik dan konsekuen.
(5) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jera Wacik
menjelaskan…” (Kompas, 7 Maret 2012).
(6) Kalau ada yang terkait kesehatan Ny Ani Yudhoyono akan dijelaskan oleh
ketua tim kepresidenan dr Avis Wibudi (Kompas, 15 Maret 2012).
(7) Menurut Presiden masih menjangkiti bangsa kita yakni politik uang dan
politik kekerasan (Kompas, 15 Maret 2012).
Kalimat (5) menunjukkan adanya keterangan aposisi (penjelas) di antara
(ESDM) dan Jero Wacik sebenarnya terdapat tanda koma. Dengan demikian
kalimat (5) sebaiknya: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Jero Wacik menjelaskan…”. Pada kalimat (6) bahwa dalam EYD disebutkan
tanda titik digunakan pada singkatan nama orang termasuk juga singkatan
gelar akademik. Lebih tepat lagi apabila penulisannya adalah: Kalau ada yang
terkait kesehatan Ny. Ani Yudhoyono akan dijelaskan oleh tim kepresidenan
dr. Avis Wibudi.
Kalimat (7) penulisan kata Presiden (nama jabatan) masih menggunakan
huruf kapital. Dalam EYD dijelaskan penulisan huruf kapital dipakai sebagai
huruf pertama nama jabtan yang diikuti nama orang. Akan lebih tepat kalimat
(7) ditulis: Menurut presiden masih menjangkiti bangsa kita ini yakni politik
uang dan politik kekerasan.

e. Pola Kalimat
Pola kalimat konsep sintaksis yanag mencakup kontruksi-kontruksi seperti
indikatif, imperatif dan sebagainya. Pola kalimat yang sering kita gunakan
adalah pola SPOK (subjek, predikat, objek, keterangan).
(8) Sebelum petaka 26 Desember 2004, masyarakat Aceh umumnya belum
mengenal istilah tsunami (Kompas, 14 April 2012).
Pola kalimat di atas adalah KSP (keterangan, subjek, predikat). Namun
demikian, posisi keterangan posisinya bisa pada awal, tengah, atau akhir
kalimat. Ini sangat bergantung pada selera penulis dan hal yang dipentingkan.

Anda mungkin juga menyukai