id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Novel
Kata novel berasal dari bahasa latin novellas yang diturunkan pula dari
kata noveis yang memiliki arti baru. Dikatakan baru karena apabila dibandingkan
jenis sastra lain seperti puisi, drama, maupun roman maka novel muncul
setelahnya. Nurgiyantoro (1994: 9) berpendapat bahwa istilah novella dan novelle
yang mengandung pengertian sama dengan istilah Indonesia novel (Inggris:
novellet), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak
terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Senada dengan pendapat
tersebut, Abrams menyatakan bahwa sebutan novel dalam bahasa Inggris dan
yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang
bahasa Jerman: novelle). Secara harafiah novella
short story)
dalam bentuk prosa.
Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling
baru. Menurut Robert Lindell (dalam Waluyo, 2006: 6) karya sastra yang berupa
novel, pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella merupakan bentuk
catatan harian seorang pembantu rumah tangga kemudian berkembang dan
menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini.
Atar Semi (1993: 32) menyatakan bahwa novel mengungkapkan suatu
konsentrasi kehidupan pada suatu saat tegang, dan pemusatan kehidupan yang
tegas. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkap aspek kemanusiaan yang
lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Goldmann (dalam Ekarini Saraswati,
2003: 87) mendefinisikan novel merupakan cerita mengenai pencarian yang
tergradasi akan nilai-nilai otentik di dalam dunia yang juga tergradasi, pencarian
itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Ciri tematik tampak pada
istilah nilai-nilai otentik yang menurut Goldmann merupakan totalitas yang secara
tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasikan sesuai dengan
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9
mode dunia sebagai totalitas. Atas dasar definisi itulah selanjutnya Goldmann
mengelompokkan novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme (abstrak), novel
psikologis (romantisme, keputusasaan), dan novel pendidikan (paedagogis).
Novel adalah suatu karya fiksi yang menawarkan tentang sebuah dunia
yang berisi model kehidupan yang diidealkan di dunia imajiner yang dibangun
melalui beberapa unsur instrinsiknya seperti alur, latar/setting, tema, plot, sudut
pandang dan lain-lain yang kesemuanya bersifat imajiner. Meskipun unsur rekaan
mendapatkan tempat utama pada pernyataan novel, namun dalam persentuhan
rekaan itu masih ada suatu realitas yang mendasarinya. Bahkan dalam kejadian
dan perbuatan di atas bumi ini menjadi dasar pada penulisan novel dengan
menambahi sesuai kehendak pengarang sesuai dengan tumpuan novel bukanlah
fakta semata. (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 4).
Novel pada hakikatnya adalah cerita, karenanya terkandung juga di
dalamnya tujuan yang memberikan hiburan kepada pembaca. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Wellek dan Warren (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 3)
membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk
memperoleh kepuasaan batin. Identifikasi novel tidak hanya berisi kebohongan.
Cerita dalam sebuah novel berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan
nyata dan tidak begitu asing sehingga pembaca dapat membayangkan dan
akhirnya dapat menikmati sebuah novel. Fungsi novel pada dasarnya yaitu untuk
menghibur para pembaca dan bermanfaat.
Nurgiyantoro (2005: 16-22) pun mengklasifikasikan jenis novel menjadi
novel populer dan novel serius. Menurutnya, novel populer adalah novel yang
populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya para remaja.
Sedangkan novel serius adalah novel yang memerlukan daya konsentrasi tinggi
dan disertai kemauan dalam memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskan
memang novel populer semata-mata manyampaikan cerita agar memuaskan
pembaca. Sedangkan tujuan novel serius di samping memberikan hiburan, juga
secara implisit memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca.
Menurut Zulfahnur, Sayuti Kurnia Z. Adji (1996: 106) ada beberapa jenis
novel antara lain: novel petualangan (avonturer), novel psikologi, novel sosial,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
novel politik, novel bertendens dan novel sejarah. Novel petualangan adalah novel
yang mengisahkan pengembara seorang tokoh yang memperlihatkan kecintaan
terhadap alam semesta. Novel psikologis yaitu novel yang menceritakan tentang
kejiwaan yang dialami oleh para tokohnya. Novel sosial yaitu novel yang
mengungkapkan masalah kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat. Novel
bertendens yaitu novel yang berisi tentang tujuan, mendidik atau menyampaikan
pesan tertentu dan yang terakhir adalah novel sejarah yaitu novel yang berkaitan
dengan kehidupan sejarah atau masa lampau.
Karya fiksi dapat dibedakan menjadi roman, novel, novelette maupun
cerpen. Perbedaan berbagai macam fiksi itu pada dasarnya dapat dilihat dari segi
formalitas bentuk, panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta
jumlah pelaku yang mendukung pada cerita tersebut. Sebagai sebuah karya sastra,
novel memiliki banyak kelebihan. Kelebihan novel yang khas adalah dapat
mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak,
lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang
kompleks. Itu merupakan pernyataan Nurgiyantoro (2005: 10-12) terhadap
kelebihan novel menilik dari aspek panjang yang dimiliki novel.
Novel sebagai karya fiksi dibangun melalui beberapa unsur intrinsiknya,
antara lain tema, penokohan, alur, amanat, serta sudut pandang pengarang.
Herman J Waluyo (2002: 37) mengemukakan ciri-ciri yang ada di dalam sebuah
novel, yaitu adanya: a) perubahan nasib dari tokoh cerita; b) beberapa episode
dalam kehidupan tokoh utamanya; c) biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
Wellek dan Warren berpendapat bahwa kritikus yang menanalisis novel
pada umumnya membedakan tiga unsur pembentuk novel, yaitu alur, penokohan
dan latar, sedangkan yang terakhir ini bersifat simbolis dan dalam teori modern
disebut atmosphere (suasana) dan tone (nada) (Burhan Nurgiyantoro, 1990: 288).
Dalam penelitian ini, peneliti akan memaparkan mengenai unsur-unsur intrinsik
novel karena sebagai unsur pendukung dalam menganalisis novel menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Unsur-unsur intrinsik dalam novel meliputi: tema,
penokohan, alur, latar, sudut pandang dan amanat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
keadaan yang bernilai luhur dari nenek moyang kita. Manusia yang beradat
yaitu manusia yang selalu respon pada keadaan lingkungan sekitar dalam
bermasyarakat. Manusia yang demikian selalu mencari nilai-nilai kebenaran,
keindahan, dan kebaikan. Salah satu cara untuk memperoleh nilai-nilai tersebut
dengan bergaul pada tempat-tempat yang seni termasuk pada karya sastra.
6) Karya sastra adalah karya seni yang indah dan memenuhi kebutuhan manusia
yang peka terhadap naluri keindahan dan kodrat manusia. Novel ini memiliki
kebebasan dalam menyampaikan dialog yang menggerakkan hati masyarakat
dengan kekayaan perasaan, isi dan kekuasaan pandangan terhadap berbagai
masalah.
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa novel
merupakan jenis cerita fiksi yang muncul paling akhir jika dibandingkan dengan
cerita fiksi yang lain, misalnya roman dan puisi. Novel mengungkapkan konflik
kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Novel menampilkan
sebuah cerita dengan adanya perubahan nasib tokoh atau pelaku dan merupakan
jalinan peristiwa yang membentuk totalitas. Cerita dalam sebuah novel terlahir
berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam kehidupan nyata dengan ditambahkan
rekaan agar novel lebih hidup. Novel berfungsi sebagai hiburan intelektual dan
spiritual bagi pembaca. Dalam novel terdapat pengetahuan dan nilai-nilai
kebenaran sehingga dapat digunakan sebagai tempat bergaul yang berbudaya dan
beradat.
Berikut dijabarkan beberapa unsur intrinsik di dalam novel yang secara
langsung membangun novel dan secara faktual dapat dijumpai jika seseorang
membaca novel.
a. Tema
Secara umum, tema diartikan sebagai inti cerita atau gagasan pokok cerita
novel. Cerita yang dirangkai melalui peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel
semuanya berpusat pada tema. Definisi tema menurut Stanton dan Kenney (dalam
Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Makna yang dimaksud dapat berupa makna pokok (tema pokok) novel dan
makna khusus (sub-sub tema atau tema-tema tambahan). Tema merupakan ide
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13
yang mendasari sebuah cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tokoh
pengarang dalam memaparkan fiksi yang diciptakannya. Tema sebagai makna
pokok sebuah karya fiksi sengaja tidak disembunyikan karena hal inilah yang
justru ditawarkan kepada pembaca. Namun demikian, tema adalah makna
keseluruhan yang mendukung sebuah cerita dan secara otomatis ia akan
tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.
Menurut Masri (2007: 94), tema berarti makna yang dikandung oleh
sebuah cerita. Makna yang dikandung dalam sebuah tema masih sangat umum dan
masih perlu untuk dibuat lebih mendetil. Pemilihan tema dalam sebuah novel
harus didukung materi cerita sebanyak-banyaknya sehingga makna cerita dapat
diterima pembaca dengan jelas.
Senada dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro (2005: 68)
mengatakan bahwa tema adalah inti dari cerita sehingga peristiwa-peristiwa yang
ada dalam cerita semua berpusat pada tema. Selain itu tema juga disebut ide,
gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan karya
sastra. Tema sebagai makna yang dikandung oleh cerita. Tema merupakan
gagasan dasar umum yang menunjang sebuah karya sastra dan yang terkandung di
dalam teks sebagai struktur sebuah karya semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan.
Herman J Waluyo (2002: 142) menyatakan bahwa tema ada yang diambil
dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang untuk
memberikan saksi sejarah atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek
kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Menurutnya, tema adalah suatu
masalah hakiki manusia, misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan,
kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya.
Herman J Waluyo (2006: 9) mengatakan untuk membedakan dengan
amanat cerita, dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas dan khusus,
sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias dan umum. Objektif artinya
semua pembaca diharapkan menafsirkan tema suatu cerita dengan tafsiran yang
sama. Amanat dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
kewaktuannya lepas dari tempatnya dalam teks cerita yang mungkin di awal,
tengah, atau akhir. Plot yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja,
akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu pula (Burhan Nurgiyantoro,
2002: 42).
Menurut Siswanto (2008: 159), alur adalah rangkaian peristiwa yang
direka dan dijalin dengan saksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui
rumitan ke arah klimaks dan selesaian. Secara garis beras, tahapan alur terdiri dari
pengenalan, tahap klimaks dan tahap penyelesaian. Tahap pengenalan adalah
tahap peristiwa dalam memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Tahap
kllimaks adalah tahapan konflik mencapai puncak dan mengakibatkan ketegangan
yang memuncak pula. Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang sudah
mendapatkan jalan keluar sehingga konflik mulai mereda.
Menurut Herman J Waluyo (2002: 147) alur cerita meliputi tujuh tahapan,
yaitu: eksposisi, inciting moment, rising action, complication, climax, falling
action, dan tahap penyelesaian. Berikut definisi ketujuh tahapan tersebut.
1) Eksposisi adalah pemahaman awal atau awal dari suatu cerita. Pada tahap ini
pengarang dapat memperkenalkan tokoh-tokoh dalam novel.
2) Inciting Moment adalah pengenalan masalah yang dialami para tokoh dalam
cerita.
3) Rising Action adalah masalah yang dialami oleh tokoh mengalami penanjakan
atau meningkatnya masalah yang dialami para tokoh cerita.
4) Complication adalah masalah yang dialami para tokoh semakin beragam.
Masing-masing tokoh semakin menunjukkan karakter asli mereka. Berbagai
masalah muncul pada tahapan ini.
5) Climax adalah puncak dari masalah yang dihadapi para tokoh. Pada tahap ini
masalah semakin memanas.
6) Falling Action adalah masalah yang dialami para tokoh mengalami penurunan.
Masalah-masalah yang dihadapi berangsur menurun.
7) Denoument / tahap penyelesaian adalah tahapan yang menunjukkan adanya
penyelesaian dari masalah yang dihadapi para tokoh cerita. Pada tahapan ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
b) Alur longgar, yaitu cerita fiksi yang memiliki alur longgar. Pergeseran
antara cerita yang satu dengan cerita selanjutnya berlangsung lambat.
Sekalipun alur terbagi menjadi beberapa bagian, tidak tertutup
kemungkinan jika dalam satu karya sastra terdapat berbagai kategori
alur selama alur tersebut masih bersifat padu, dan utuh sehingga cerita
yang ditampilkan dapat dipahami secara menyeluruh.
Pengarang juga dapat memasukkan sub-sub plot dalam sebuah cerita
dengan memunculkan konflik-konflik tambahan yang bersifat menopang,
mempertegas, dan menginteksifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai alur atau plot di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa alur atau plot adalah deretan peristiwa yang terdapat dalam
sebuah karya sastra termasuk novel.
c. Latar (Setting)
Latar ialah segala keterangan, petunjuk, dan pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.
Latar tempat tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan waktu dan ruang.
Latar waktu dapat juga berarti apakah cerita tersebut terjadi pada waktu siang,
sore, atau malam hari. Latar ruang dapat berarti ruang dalam rumah. Panuti
Sudjiman mengatakan bahwa latar (setting) sebagai keterangan, petunjuk,
pengucapan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan
dalam karya sastra. Peristiwa-peristiwa dalam cerita terjadi pada suatu bentang
waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu (Panuti Sudjiman, 1992: 46).
Pendapat lain, W. H Hudson (dalam Herman J Waluyo, 2002: 198)
menambahkan bahwa latar/ setting adalah keseluruhan lingkungan cerita yang
meliputi adat-istiadat, kebiasaan dan pandangan hidup tokoh. Latar tidak hanya
menunjukkan tempat dalam waktu tertentu tetapi juga ada beberapa hal lainnya.
Atar Semi (1993: 46) berpendapat bahwa latar/setting merupakan
lingkungan terjadinya peristiwa, termasuk di dalamnya tempat dan waktu dalam
cerita. Artinya bahwa latar itu meliputi tempat maupun waktu terjadinya
peristiwa. Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216) latar/setting
disebut juga sebagai landas tumpu, mengarah pada pengertian tempat, hubungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19
3) Latar sosial
Latar sosial merujuk pada berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat pada tempat tertentu. Hal tersebut meliputi masalah
kebiasaan hidup, cara berpikir, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup,
cara berpikir, serta hal-hal yang termasuk latar spiritual.
Fungsi latar menurut Herman J Waluyo (2006: 28) berkaitan erat dengan
unsur-unsur fiksi yang lain, terutama penokohan dan perwatakan. Fungsi latar
adalah untuk: (1) mempertegas watak pelaku, (2) memberikan tekanan pada tema
cerita, (3) memperjelas tema yang disampaikan, (4) metafora bagi situasi psikis
pelaku, (5) sebagai pemberi atmosfir (kesan), dan (6) memperkuat posisi plot.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai latar atau setting di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa latar atau setting adalah waktu, tempat, dan suasana dalam
sebuah cerita. Latar atau setting mempunyai kaitan erat dengan unsur-unsur fiksi
yang lain.
d. Tokoh dan Penokohan
Unsur intrinsik dari novel yang lain adalah penokohan/perwatakan.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 165) mengatakan bahwa penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Waluyo (2002: 165) menyatakan bahwa istilah penokohan berarti cara pengarang
menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan cerita
lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh-
tokoh itu.
Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi
bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan
memberi gambaran mengenai tindak tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara
yang apa dikatakan dengan apa yang dilakukan (Atar Semi, 1993: 37).
Burhan Nurgiyantoro (2005: 176) mengatakan bahwa dalam sebuah cerita,
masing-masing tokoh memiliki peranan yang berbeda. Dilihat dari tingkat peranan
atau kepentingan tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu 1) tokoh utama, yaitu tokoh
yang ditampilkan terus menerus atau paling sering diceritakan, dan 2) tokoh
tambahan, yaitu tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali saja dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
a)
Sud
b)
yang muncul bukan sebagai tokoh utama, akan tetapi
saksi.
2)
Narator dalam sudut pandang ini adalah seeorang di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, kata gantinya:
ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama terus
menerus disebut dan sebagai variasinya dipergunakan kata ganti.
Penggunaan kata ganti tersebut dimaksudkan untuk mempermudah
pembaca mengenali siapa tokoh yang diceritakan.
3) Sudut Pandang Campuran
2) Teknik diaan, yaitu pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24
dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma itu berfungsi untuk menentukan apa
yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana
cara mengajukannya, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam interpretasi
jawaban-jawaban yang diperoleh.
Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari: 1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-
gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan
moral; gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya) 2) hubungan dan
pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial
(misalnya gejala geografis, biologi dan sebagainya); 3) ciri-ciri umum jenis
gejala-gejala sosial (Soerjono Soekanto, 1990: 20).
Berdasarkan pendapat mengenai sosiologi di atas dapat disimpulkan
bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan manusia dan
hubungannya beserta proses dan perubahan sosial.
A Teew (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 4) menyatakan bahwa sastra
berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal sastra
berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang
baik, seperti silipasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk
percintaan).
Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu tetapi
sebenarnya dapat memberikan penjeasan terhadap makna teks sastra. Menurut
Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 78) karena
sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastrapun demikian. Dengan
demikian, meskipun sosiologi dan sastra berbeda namun saling melengkapi.
Perspektif sosiologi sastra yang juga perlu diperhatikan adalah pernyataan Levin
Literature is notoinly the effect of social causes
but also the cause of social effect
sosiologi sastra dapat ke arah hubungan timbal balik antara sosiologi dan sastra
yang antara keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang
akhirnya menarik perhatian peneliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27
Jadi, apabila sosiologi dan sastra digabungkan maka hal ini sesuai dengan
pendapat Suwardi Endraswara (2003: 87) menyebutkan bahwa sosiologi sastra
adalah cabang penelitian yang bersifat relatif. Penelitian ini banyak diminati oleh
peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.
Kehidupan sosial yang berhasil memicu lahirnya karya sastra.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi
sastra adalah salah satu pendekatan yang menganalisis karya sastra yang
memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya.
Sosiologi sastra berusaha mengungkapkan keterkaitan antara pengarang, pembaca,
kondisi sosial budaya pengarang maupun pembaca, serta karya sastra itu sendiri
yang mempunyai dasar asumsi bahwa kelahiran sastra tidak dalam kekosongan
sosial.
b. Pendekatan Sosiologi Sastra
Banyaknya pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk menganalisis
karya sastra seperti memfokuskan perhatiannya hanya pada aspek-aspek tertentu
pada karya sastra misalnya berkenaan dengan persoalan estetika, moralitas,
psikologi, masyrakat beserta dengan aspek-aspek yang lebih rinci lagi, dan
sebagainya. Hal itu terjadi karena karya sastra sebagaimana kehidupan itu sendiri,
memang bersifat multidimensional, di dalamnya terdapat berbagai dimensi
kehidupan karena realitas seperti itulah, maka kemudian muncullah berbagai
macam pendekatan dalam kajian sastra.
Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk
tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan,
sastra, dan masyarakat.
Menurut Wiyatmi (2005: 97) pendekatan sosiologi sastra merupakan
perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam
hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan ini
dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas
dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Jabrohim (2001: 98)
menambahkan bahwa tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan
gambaran lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara
sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan
timbal balik antara ketiga anasir tersebut sangat penting artinya bagi peningkatan
pemahaman dan penghargaan terhadap karya sastra itu.
Sosiologi sastra oleh Wellek dan Warren (dalam Wiyatmi, 2005: 98)
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu: sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra
dan sosiologi pembaca.
1) Sosiologi pengarang, yaitu pendekatan yang menelaah mengenai latar
belakang sosial, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang
terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra,
2) Sosiologi karya sastra, yaitu pendekatan yang menelaah isi karya
sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri
dan yang berkaitan dengan masalah sosial,
3) Sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra, yaitu pendekatan
yang menelaah mengenai sejauh mana sastra ditentukan atau
tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial.
Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat
mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-
segi kemasyarakatan (sosial). Sesuai dengan namanya, sebenarnya pada
pendekatan tersebut sastra dipahami melalui perkawinan ilmu sastra dan ilmu
sosiologi. Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan pendekatan ini, di samping
harus harus menguasai ilmu sastra, kita juga harus mengusai konsep-konsep
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29
(ilmu) sosiologi dan data-data kemayarakatan yang biasanya ditelaah oleh (ilmu)
sosiologi.
Menurut Soekanto (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363-364) sosiologi
dianggap sebagai ilmu yang relatif muda, dengan ditandai dengan terbitnya buku
yang berjudul Positive Philosophy yang ditulis oleh Auguste Comte (1798-1857)
kemudian sosiologi berkembang pesat setengah abad kemudian dengan terbitnya
buku Principle of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903).
Nyoman Kutha Ratna (2003: 364) mengatakan bahwa tokoh-tokoh yang berperan
selain Herbert Spencer yang berasal dari Inggris dan Auguste Comte yang berasal
dari Perancis diantaranya adalah Karl Max (Jerman), Steinmetz (Belanda),
Charles Horton Cooley dan Lester F. Ward (Amerika Serikat).
Pendekatan sosiologi sastra merupakan salah satu metode telaah sastra
yang mengaitkan antara hasil karya sastra dengan masyarakat pada saat karya
tersebut diciptakan. Hal ini dikarenakan suatu hasil karya sastra pada hakikatnya
merupakan suatu reaksi terhadap keadaan yang ada dalam masyarakat, seni sastra
yang berfungsi sosial, artinya tidak berfaedah untuk seorang saja, karena itu
problem ilmu sastra adalah problem masyarakat juga. Pada umumnya persoalan
dibatasi hubungan seni sastra dengan lembaga-lembaga sosial tertentu, misalnya
ekonomi, politik dan sebagainya. Atar Semi (1993: 52) mengatakan bahwa,
penelitian ini. Selain itu, dalam novel tersebut juga mengangkat masalah sosial
yang ada dalam masyarakat.
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
sampai saat ini masih dapat kita jumpai di sekeliling kita yaitu, mengenai
kemiskinan. Para tokoh yang berada pada garis kemiskinan sehingga mereka tidak
mampu bersekolah. Sekolah bagi orang tua mereka tidak ada gunanya bahkan
hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Mereka lebih senang jika anak-anak
mereka bekerja dan memperoleh uang demi melangsungkan kehidupan. Mereka
tidak menyadari pentingnya sekolah. Akan tetapi, keinginan yang kuat dapat
mengantar mereka ke bangku sekolah meski mereka harus berusaha dengan susah
payah.
Pendekatan sosiologi merupakan salah satu pendekatan yang tepat untuk
mengkaji novel ini karena dalam novel ini mengangkat beberapa masalah sosial
yang terjadi. Pendekatan sosiologi sastra juga mampu menjawab berbagai
permasalahan mengenai pengarang sebagai pencipta karya sastra dan juga sebagai
bagian dari masyarakat. Selain itu, sosiologi sastra mengkaji karya sastra sebagai
perwujudan interaksi pengarang dengan masyarakat serta tanggapan pembaca atas
karya sastra tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31
1. Struktur
novel
Kok Mau 2. Masalah Kesimpulan
Sekolah..?! sosial yang penelitian
Sekolah dari terdapat
dalam
karya Wiwid novel
Prasetyo 3. Latar
belakang
penciptaan
novel
4. Tanggapan
pembaca
terhadap
novel