Anda di halaman 1dari 10

Bambang Suwarno: Kajian Bentuk dan Fungsi W anda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Kaitannya dengan Pertunjukan

KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI WANDA WAYANG KULIT PURWA


GAYA SURAKARTA, KAITANNYA DENGAN PERTUNJUKAN

Bambang Suwarno
Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Surakarta
Jl. Ki Hajar Dewantara 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126

Timbul Haryono
UGM Yogyakarta

R.M. Soedarsono
UGM Yogyakarta

Soetarno
ISI Surakarta

ABSTRAK

Tulisan ini adalah bagian dari pembahasan penelitian disertasi oleh penulis sebagai bagian dari ujian akhir
program doktoral. Fokus kajian tulisan ini berada pada ciri-ciri wanda wayang kulit purwa gaya Surakarta,
fungsi wanda dalam pakeliran kelima serta kaitannya dengan sanggit lakon. Untuk membahas permasalahan
ini digunakan pendekatan estetika pedalangan, di samping itu juga dilengkapi dengan pendekatan fenomenologi,
psikologi, dan kreativitas, dalam kerangka berpikir holistik sebagai perangkat analisis data.

Kata kunci: bentuk, fungsi, wanda, wayang kulit purwa, pertunjukan

ABSTRACT

The writing is part of the writer’s discussion about the dissertation research as part of his doctoral program
final examination. Focus of the study is wanda of wayang kulit purwa of Surakarta style, its function in the fifth
pakeliran (wayang performance), and its relationship with sanggit lakon (story treatment). In solving the
problem, the writer uses the approach of pedalangan (puppetry) aesthetics completed by phenomenology,
psychology, and creativity approaches in holistic thinking as the instrument of data analysis.

Keywords: form, function, wanda, wayang kulit purwa, performance

A. Pengantar Kebumenan), wayang purwa gaya Kedu, wayang


purwa gaya Pacor – Kutoarjo, wayang purwa gaya
Wayang purwa merupakan jenis wayang Banyumasan, wayang purwa gaya Cirebon
terpopuler dan memiliki banyak ragam dibandingkan (Kasepuhan, Kanoman, dan Tegalan), dan wayang
jenis wayang yang lain seperti wayang madya, wayang purwa gaya Betawi.
gedhog, wayang klithik/krucil, dan wayang golèk. Banyaknya tipe wayang purwa di Jawa
Hampir setiap lokus budaya di Jawa memiliki wayang menunjukkan demikian kaya budaya wayang dengan
purwa dengan kekhasannya masing-masing, antara ciri khasnya masing-masing, meskipun terdapat
lain wayang purwa Jawa Timuran (Mojokertoan, kesamaan deskripsi naratif. Misalnya tokoh Bima
Porongan, dan Malangan), wayang purwa gaya selalu dideskripsi dengan postur tubuh tinggi besar,
Kartasura, wayang purwa gaya Surakarta (Kasunanan, posisi berdiri dengan langkah kaki lebar (jangkah
Mangkunegaran, Kusuma­dilagan, Marto­negaran, wiyar) yang agresif, bermata bulat, berkumis,
Klatenan, Sragenan, Wonogiren, Kalibatan, dan berjanggut, berbulu dada, berkuku panjang (disebut
Kradenan – Semarang), wayang purwa gaya pancanaka), memiliki atribut pupuk emas dan kain
Yogyakarta (Kasultanan, Pakualaman, Wates, dan poleng. Berpangkal dari deskripsi ini, setiap lokus

Volume 12 Nomor 1, Juli 2014 1


Jurnal Seni Budaya

budaya mempunyai tafsir kreasi tersendiri untuk bersumber dari konvensi Keraton maupun yang muncul
memvisualisasikannya ke dalam bentuk figur wayang. dari kreativitas para dalang sendiri.
Pada abad ke-17, jumlah boneka wayang Kehadiran boneka wayang kulit purwa gaya
yang digunakan di Keraton Jawa (yang pada saat itu Surakarta dari beragam subgaya dan bentuk wanda
telah beragama Islam) bertambah, dan bentuknya sebagai aspek pendukung pertunjukan hingga
telah menjadi semakin halus. Beragam versi dari tokoh sekarang masih berlaku di kalangan pedalangan. Hal
yang sama dalam bentuk lebih dari satu rupa baku, ini ditunjukkan dengan masih berlangsungnya produksi
penyamaran dan suasana hati yang berbeda akan dan penggunaan figur-figur wayang dengan bentuk dan
menjadikan jumlahnya semakin banyak. Sebagai wanda tertentu dalam pementasan oleh dalang-dalang,
contoh, Arjuna tampil sebagai seorang pemuda utamanya dalang profesional yang berorientasi
(Permadi), lelaki dewasa (Arjuna), dan pertapa kepada garap pakeliran sebagai salah satu parameter
(Mintaraga). Contoh lain adalah Kresna yang pada keberhasilan sajian. Keterampilan teknis pedalangan
saat masih muda belum memakai mahkota, berambut para seniman muda ini telah diperhitungkan di
setengah panjang dan berwajah menengadah ke atas. kalangan masyarakat, terutama dalam hal sabet,
Hal ini menjadi lebih kompleks ketika satu tokoh keprakan, dan suluk. Namun di sisi lain, dalam hal
diperagakan dengan beragam wayang, masing-masing kemampuan yang berkaitan dengan estetika dan
melukiskan suasana hati (wanda: perpaduan garis dan kreativitas, dalang-dalang muda ini kebanyakan masih
warna pada desain wayang). Setelah zaman berkiblat kepada gaya pedalangan dalang-dalang
kemerdekaan, sekarang kehidupan pewayangan telah senior yang diidolakannya tanpa melakukan
terlepas dari kepentingan legitimasi karaton, sehingga pendalaman materi pakelirannya secara pribadi,
para dalang, kreator wayang, budayawan, dan sehingga identitas personal pakeliran dalang-dalang
pemerhati wayang mempunyai kebebasan mencipta muda ini tidak begitu menonjol, bahkan cenderung
bentuk figur tokoh dengan wanda yang sesuai dengan mengalami penurunan bobot estetis pakeliran sebagai
tujuan dan kepentingan. akibat berhentinya eksplorasi unsur-unsur pakeliran
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebatas pada aspek fisik.Dalam hal penggunaan figur
sebagai salah satu pusat kebudayaan wayang di Jawa wayang beserta ragam wandanya sebagai penunjang
masih menyimpan beberapa perangkat wayang kulit keberhasilan sajian pakeliran, dalang-dalang muda
purwa, madya, gedhog dan klithik dengan ragam dan ini kebanyakan hanya sebatas menirukan penerapan
jumlah wanda yang berbeda. Perangkat wayang ageng pilihan tokoh dan wandanya dalam pakeliran oleh
diberi sebutan Kanjeng Kyahi yang hanya boleh dalang-dalang senior yang diidolakannya, sehingga
dipentaskan raja dan putra sentana dalem, wayang konsep mungguh dan nuksma dalam penggunaan
dengan ukuran biasa diberi sebutan Kyahi dan wanda wayang kaitannya dengan pakeliran tidak
dipentaskan pada saat-saat tertentu oleh abdi dalem terwujud.
dhalang, dan ada pula wayang yang dipergunakan
untuk keperluan pentas harian yang disebut wayang B. Pembahasan
Para (KRT. Sihantodipura, wawancara, 25 April 2013).
Wayang kulit purwa gaya Surakarta baik dari segi Proses t ransf ormasi dari deskri psi
pertunjukan maupun kerupaan boneka-boneka pewayangan yang divisualisasikan ke dalam bentuk
wayangnya tidak hanya berkembang pesat di dalam figur wayang purwa disebut wanda wayang purwa.
lingkungan Keraton saja, melainkan juga di wilayah Setiap tokoh wayang purwa memiliki ciri figur
luar Keraton yang berada di bawah lingkup kultural tersendiri, yang dalam pewayangan disebut wanda
Mataraman-Surakarta, terutama di daerah kabupaten yakni bentuk secara keseluruhan dari ujung rambut
Klaten dan Sragen yang memi liki subgaya sampai telapak kaki, termasuk tata busana,
pertunjukan maupun boneka wayang yang lebih aksesoris, unsur garis (corekan dan kapangan) dan
menonjol dibandingkan wilayah-wilayah sekitarnya. tata warna (sunggingan). Wujud figur wayang tidak
Penggerak pertumbuhan kehidupan seni pertunjukan sekedar melukiskan tokoh tetapi juga melukiskan
wayang kulit purwa di daerah ini biasanya adalah para karakter.1
dalang, yang di masa lalu seringkali berperan juga Pelukisan tokoh-tokoh wayang kulit purwa
sebagai inovator sanggit dan bentuk wayang, yang Jawa yang disesuaikan dengan konsep ekspresif,
berdampak kepada luasnya keragaman bentuk wanda dekoratif, humoris, dan karikatural itu bukan mengarah
wayang kulit purwa di wilayah Surakarta, baik yang pada bentuk fisik dari tokoh yang digambarkan,

2 Volume 12 Nomor 1, Juli 2014


Bambang Suwarno: Kajian Bentuk dan Fungsi W anda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Kaitannya dengan Pertunjukan

melainkan sifat atau karakternya. Oleh karena itu, bagi siapapun yang mempunyai perhatian terhadap
untuk melukiskan kesaktian dan ketangguhan Arjuna perkembangan dunia pewayangan. Terbukti, di luar
tidak digambarkan dalam bentuk fisik yang kuat dan tembok Keraton banyak bermunculan wanda wayang
kekar, akan tetapi dengan tipe yang halus, tampan, yang diciptakan oleh para dalang empu. Seperti:
namun tetap menunjukkan sifat kesatria dan sakti. Gatutkaca Wanda Mantèn atau Gandrung untuk lakon
Contoh lain: tokoh Kalamarica, raksasa kepercayaan Gathutkaca Krama dan Wrekudara Wanda Mancingan
Rahwana, dalam Kekawin Ramayana dideskripsikan untuk adegan Wrekudara muncul dari samudera
sebagai raksasa yang bertubuh tinggi besar dan Minangkalbu dalam lakon Dewa Ruci, karya Suryat
bertaring panjang menakutkan. Dalam wayang kulit Manduraredja; Aswatama Wanda Gondrong untuk
purwa Jawa, tokoh ini digambarkan dengan tipe raksasa lakon Aswatama Nglandhak, karya Ganda Widjaja.2
Cakil (penyarèng); hal ini untuk menunjukkan kelincahan Pemerhati wayang yang bukan seorang dalang, yaitu
dan kecerdikan (julig) yang dimiliki tokoh tersebut. Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia,
Pelukisan tokoh wayang purwa sebagaimana pernah meminta kepada Haryono Guritno untuk
telah disebutkan, adalah hasil kreativitas orang Jawa dibuatkan wayang Narayana jangkah untuk
yang didasarkan pada interpretasi mereka terhadap mendukung lakon Alap-alapan Rukmini.3
sifat masing-masing tokoh yang terdeskripsi dalam Berdasarkan uraian di muka penciptaan wanda
Ramayana dan Mahabarata. Interpretasi yang wayang dilatarbelakangi berbagai peristiwa yang
tertuang dalam bentuk wayang itu kemudian dijadikan dapat dikelompokkan ke dalam empat hal:
induk oleh generasi pembuat wayang berikutnya. 1. Lakon wayang dengan tokoh utama yang menjadi
Meskipun demikian tidak berarti generasi berikut tidak idola para dalang dan pendukung wayang,
melakukan perubahan atau menafsir kembali atas sehingga tercipta wanda rangkap sesuai dengan
figur-figur wayang kulit purwa yang sudah ada. Untuk gejolak jiwa ki dalang. Misalnya Baladewa pada
menyesuaikan dengan deskripsi dan peristiwa yang dasarnya memiliki karakter keras, tetapi untuk
dialami tokoh wayang, mereka juga menciptakan mendukung pribadinya sebagai raja yang
wanda-wanda wayang kulit purwa yang diperlukan dan berwibawa, kemudian tercipta beberapa wanda
diharapkan dapat mendukung deskripsi cerita Baladewa, yaitu: Jagong, Paripusa, dan
(janturan/pocapan) yang disampaikan oleh dalang. Sembada.
Sebagai contoh, untuk menggambarkan tokoh Arjuna 2. Ada keterkaitan dengan peristiwa tertentu,
bertapa di Gunung Indrakila dalam lakon Ciptaning, misalnya ketika Susuhunan Paku Buwana II di
dibuatkan figur Arjuna sebagai pertapa dengan rambut Kartasura menciptakan wayang krucil kayu,
terurai dan busana bagian bawah sederhana (lugas). ditandai dengan penciptaan kayon gapuran,
Figur wayang Ciptaning tersebut merupakan jenis dengan sangkalan Gapura Lima Retuning Bumi,
wayang khusus (wayang pamijèn). Juga setelah Arjuna menunjukkan angka tahun 1659 Jawa.
dinobatkan sebagai raja di Kahayangan Karang 3. Menyesuaikan potensi dalang berkaitan dengan
Kawidadarèn (dalam lakon yang sama) bergelar Prabu peran tokoh tertentu. Misalnya: Njatatjarita
Kiriti, dibuatkan figur Arjuna sebagai raja dengan atribut terkenal sebagai dhalang Bagong karena
mahkota raja dan memakai praba . kebolehannya menampilkan Bagong yang lebih
Perubahan bentuk figur dan/atau busana vokal daripada punakawan lainnya. Untuk
kaitannya dengan lakon tidak bersifat mutlak. Artinya, mendukung itu, kemudian diciptakan Bagong
tidak setiap tokoh harus dibuatkan bentuk wayangnya Wanda Ngèngkèl.
yang sesuai dengan deskripsi dan sanggit lakon, 4. Munculnya wanda wayang karena ide si pencipta
tetapi dapat juga diungkapkan melalui sanggit sabet. untuk memenuhi sanggit lakon dalam pakeliran.
Misalnya, Wrekudara menjadi pendeta dalam lakon Misalnya: Kayon Klowong karya Bambang
Bimasuci atau Petruk menjadi pendeta dalam lakon Suwarno pada tahun 1985, untuk keperluan lakon
Begawan Dawala, tidak dibuatkan wayang khusus Ramabargawa. Dalam lakon itu dilukiskan
untuk kedua tokoh ini. kebimbangan Dewi Renuka dalam menghadapi
Munculnya wanda wayang di samping berasal masa transisi dari kehidupan kemewahan dalam
dari lingkungan karaton, juga muncul dari para kerajaan, kem udian harus hidup dalam
bangsawan yang mempunyai minat dan perhatian kesederhanaan di pertapaan, yang harus
penuh terhadap perkembangan pewayangan, seperti: mengendalikan diri dari segala kepentingan
KPA Kusumadi laga dan K.Ad Martanagara. duniawi. Untuk mendukung suasana perang batin,
Sebenarnya penciptaan wanda wayang terbuka luas Renuka, Renuka ditampilkan di dalam Kayon

Volume 12 Nomor 1, Juli 2014 3


Jurnal Seni Budaya

Klowong. Kehadiran Kayon Klowong dimaksudkan Mitologi suatu tokoh wayang dapat dipakai
untuk menimbulkan berbagai efek bayangan sebagai acuan untuk melukiskan kesamaan bentuk
suatu kabut yang menyelimuti perasaan gundah tubuh serta busananya. Misalnya, tokoh Wrekudara,
gulana Renuka.4 yang dalam mitologi adalah putra Batara Bayu,
memiliki kesamaan bentuk dengan Batara Bayu, yaitu
Macam-macam bentuk wanda wayang bertubuh tinggi besar, mempunyai pupuk mas,
sebagai sarana atau perabot pakeliran, dapat ditinjau berkuku pancanaka, dan berkain polèng bang bintulu.
dari empat segi, yaitu: (1) wanda wayang kaitannya Demikian pula antara Wrekudara dan Dewa Ruci, yang
dengan pathet, (2) wanda wayang kaitannya dengan merupakan guru sejatinya, rupa dan busananya
sabet, (3) wanda wayang kaitannya dengan corekan, digambarkan sama persis. Perbedaannya Dewa Ruci/
dan (4) wanda wayang kaitannya dengan sanggit Dewa Bajang dilukiskan dalam ukuran kecil. Tipologi
lakon. Keempat unsur ini tidak dapat dipisah- tokoh wayang yang satu dengan yang lain kadang-
pisahkan. kadang memiliki kemiripan bentuk dan perwatakan.
Adapun ciri-ciri wanda wayang, menurut I. Oleh karena itu dalam visualisasinya juga ada
Kuntara W irjamartana, berkaitan erat dengan kemiripan. Misalnya, tokoh Ramabargawa muda
deskripsi, mitologi, tipologi, dan karawitan pakeliran. mempunyai tipe sama dengan Jagal Abilawa
Deskripsi adalah pencandraan atau narasi tentang diri (Wrekudara ketika menyamar sebagai penyembelih
tokoh wayang secara menyeluruh, meliputi: nama, ternak di Negara Wirata). Karena keduanya sama-
karakter, kesaktian, bentuk tubuh, tata busana, dan sama bertipe kasatria gagah perkasa, berwatak
tempat tinggal. Mitologi adalah ilmu tentang keras, jujur, dan sakti, maka keduanya digambarkan
kesusastraan yang mengandung konsepsi dan dalam bentuk tubuh yang tinggi besar, mengurai
dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk rambut, raut muka dan tubuhnya sama-sama
halus dalam suatu kebudayaan. Tipologi adalah ilmu berwarna hitam. Perbedaannya Ramabargawa tanpa
watak tentang pembagian manusia dalam golongan- pupuk mas, tanpa kuku pancanaka, berdahi lebar
golongan menurut corak watak masing-masing. (bathukan), bersumping kembang kluwih, berjanggut
Adapun karawitan pakeliran meliputi: gending, suluk, wok, dan berkain tidak polèng; sedangkan Jagal
tem bang, dhodhogan dan keprakan, untuk Abilawa memiliki pupuk mas, berdahi sinom,
mempertegas suasana batin tokoh dan/atau situasi memakai kuku pancanaka, bersumping pundhak
pakeliran dalam hubungannya dengan gerak-gerik sinumpet, berjanggut semèn kretèpan, dan berkain
wayang.5 polèng.
Deskripsi suatu tokoh wayang menimbulkan Karawitan pakeliran sangat berpengaruh pada
berbagai tafsir garap bentuk wayang pada setiap penampilan tokoh wayang. Misalnya, untuk jejer
teritorial daerah. Misalnya, dalam memvisualisasikan Kahyangan dan Amarta digunakan Ketawang
tokoh Antareja, yang dalam deskripsi diceritakan Gendhing Kawit, Laras Slendro, Patet Manyura,
sebagai putra Dewi Nagagini, cucu Sang Hyang Minggah Ladrang, untuk jejer Alengka (Prabu
Anantaboga (dewa ular), masing-masing daerah Dasamuka) dan Hastina (Raja Duryudana) digunakan
mempunyai titik pandang tersendiri. Untuk gaya Ketawang Gendhing Kabor, Laras Slendro, Patet Nem,
Yogyakarta, Antareja yang merupakan keturunan Minggah Ladrang Sekarlesah, dan untuk raja yang
dewa ular itu div isualisasikan dalam bentuk lain digunakan Ketawang Gendhing Karawitan, Laras
sunggingan bersisik pada seluruh tubuhnya. Untuk Slendro, Patet Nem, Minggah Ladrang. Untuk
gaya Jawa Timuran, deskripsi tentang Antareja sebagai mendukung suasana batin tokoh, digunakan gending-
cucu dewa ular diwujudkan jika krodha/marah gending yang bersifat khusus. Misalnya, untuk
berwajah ular dan berekor seperti kera, leher dan mendukung suasana khusuk Begawan Ciptaning
ekornya disungging sisik. Adapun untuk gaya ketika bertapa di Gua Witaraga, digunakan Ketawang
Surakarta, hal tersebut cukup divisualisasikan dalam Gendhing Jongkang, Laras Slendro, Patet Sanga,
bentuk sabet wayang, yaitu Antareja jika berperang Minggah Ladrang; untuk adegan susah dengan
unt uk m enunj ukkan kesakti annya dengan gending Tlutur.6
menyemburkan wisa sarpa/bisa ular. Meskipun Untuk memenuhi kebutuhan pementasan
demikian, Antareja pada ketiga gaya daerah tersebut, sesuai kaidah-kaidah di atas, diperlukan satu
sama-sama dilukiskan dalam bentuk gagahan dan perangkat wayang kulit purwa berjumlah sekitar 200
berbusana kasatriyan kuncan. biji; hal ini tidak mutlak, tetapi sangat bergantung pada
kemampuan dan kemauan si empunya. Bagi kolektor

4 Volume 12 Nomor 1, Juli 2014


Bambang Suwarno: Kajian Bentuk dan Fungsi W anda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Kaitannya dengan Pertunjukan

wayang yang mampu, wayang koleksi Sindutanaja adalah peran tokoh utama yang mempunyai tipe figur
dari Mondokan, Klepu, Ceper, Klaten menjadi milik wanda wayangnya, misalnya: Dasamuka, Rama,
Kesdik Sukasdi dan wayang koleksi R. Tiksnasudarsa Kresna, Arjuna; sedangkan wayang srambahan
dari Jombor, Kebonarum, Klaten, sekarang menjadi adalah jenis tipe figur wayang (katongan, putrèn,
milik R. Aji Kristianto. Bahkan ada juga yang bambangan, pendhitan, patihan) yang fleksibel dapat
mempunyai koleksi wayang satu kotak lebih dari 400 digunakan untuk peran tokoh sesuai dengan jenis,
biji, yaitu Pangeran Ngabeyan, Yogyakarta. Adapun tipologi, dan/atau karakternya. Tipe figur tokoh wayang
pada umumnya, wayang satu kotak itu mencapai baku dapat dipinjam untuk tokoh wayang srambahan,
antara 180 sampai dengan 250 biji7. Secara ideal, tetapi tipe figur wayang srambahan tidak dapat
untuk mendukung pertunjukan wayang kulit purwa, dipinjam untuk tokoh wayang baku. Sebagai contoh,
tokoh-tokoh yang ditampilkan ada figur wayangnya figur wayang baku Bratasena dapat dipinjam untuk
sendiri sesuai dengan nama dan karakternya, tokoh Ramabargawa dalam lakon Kresna Duta, tetapi
sehingga penonton dapat mengenal masing-masing figur wayang Ramabargawa tidak dapat dipinjam untuk
tokoh wayang yang disebutkan oleh dalang. Misalnya, tokoh Bratasena karena tokoh Bratasena mempunyai
Prabu Kresnadwipayana atau Abiyasa pada waktu deskripsi, mitologi, dan ikonografi tersendiri.
menjadi raja di Hastina, tokoh wayangnya berwujud Peran tipe figur tokoh wayang baku, meskipun
seperti Rama bokongan tetapi berjanggut panjang. tidak dapat digantikan dengan tokoh lain, namun
Akan tetapi perangkat wayang yang dimiliki dalang menjadi tantangan tersendiri bagi dalang penyaji untuk
atau pemerhati wayang pada umumnya sangat mengatasi sanggit pakeliran. Untuk dapat
terbat as, yang penting dapat dipakai untuk menggunakan wayang baku dan wayang srambahan
mendukung lakon terutama yang berkisar pada siklus dengan baik, dalang dituntut pengetahuannya tentang
Pandawa-Kurawa. Untuk siklus Ramayana, biasanya wayang dan keterampilannya menerapkan sanggit
hanya diwakili oleh beberapa figur wayang seperti: lakon dalam pakeliran. Pengetahuan ini menjadi amat
Dasamuka, Kumbakarna, Prahasta, Indrajit, Rama, penting, terlebih ketika dalang menghadapi situasi-
Sugriwa, Anoman, Anggada dan Anila. Untuk tokoh- situasi yang sangat khusus, di antaranya karena
tokoh lain dalam Ramayana biasanya digunakan figur perangkat wayangnya tidak lengkap ataupun karena
wayang yang dirasakan mirip dengan tokoh yang peraga baku yang seharusnya digunakan tidak dalam
digambarkan, seperti: wayang sasra bagus digunakan kondisi baik.
untuk tokoh W ibisana, Premadi untuk tokoh Sebagai ilustrasi, dalang kondang Anom
Leksamanawisagda. Demikian juga untuk tokoh- Suroto ketika pentas di Jakarta dengan lakon
tokoh wayang pada siklus sebelum Pandawa-Kurawa Déwaruci, perangkat wayangnya tidak terdapat figur
serta untuk ruwatan, banyak ‘meminjam’ figur-figur tokoh Drona, padahal kehadiran Drona dalam lakon
wayang seperti: Janaka, Premadi, Kresna, Baladewa, tersebut menjadi tokoh sentral. Karena waktu telah
Wrekudara. menunjukkan saat pertunjukan wayang harus dimulai,
Ketidaksesuaian antara visualisasi tokoh sementara figur Drona sedang diambil, maka ketika
wayang dengan narasi dalang dalam pakeliran itu jejer Kerajaan Hastina, Drona disebutkan absen
sering terjadi, apalagi di dalam kehidupan pedalangan karena sedang menemui salah satu muridnya di
masa lampau (sampai dengan sekitar tahun 1950- Sokalima, sehingga kedatangan Bratasena di Hastina
an). Misalnya dalam serial Ramayana, figur Kresna tidak dapat bertemu dengan Drona.9 Ki Maktal
digunakan untuk tokoh Rama, figur Baladewa dipinjam Gandawijaya dalam lakon Gandamana Luweng juga
untuk tokoh Sugriwa, 8 figur Setyaki untuk tokoh menggunakan tokoh Antareja, meskipun tokoh
Anggada. Demikian juga untuk siklus para dewa; figur Gandamana sebagai peraga baku ada dalam
Ramawijaya dalam posisi tangan dilipat untuk tokoh perangkat yang digunakan. Alasan yang digunakan
Batara Guru, figur Kresna digunakan untuk tokoh Gandawijaya adalah karena figur baku Gandamana
W isnu, figur Baladewa digunakan untuk tokoh yang ada dalam perangkat tersebut dirasa kurang baik
Brahma, dan sebagainya. Dalam hal ini dalang harus kondisi bedhahan dan kapangan-nya terutama untuk
mampu meyakinkan kepada penonton bahwa figur keperluan dramatisasi dan sabet, sehingga digunakan
wayang yang ditampilkan itu adalah tokoh wayang pengganti berupa figur Antareja yang mendekati
yang dimaksudkan dalam narasi atau dialognya. bentuk Gandamana.
Wayang di kalangan tradisi pedalangan gaya Kehadiran wanda wayang sangat penting
Surakarta juga dapat dibedakan atas tipe figur tokoh artinya bagi pertunjukan wayang kulit purwa. Dengan
wayang baku dan wayang srambahan. Wayang baku wanda wayang yang mapan, dalang dapat lebih

Volume 12 Nomor 1, Juli 2014 5


Jurnal Seni Budaya

mantap mengekspresikan unsur-unsur pakeliran, baik pedalangan. Contoh wayang berukuran kadung adalah
dalam hal sabet, antawacana, maupun sanggit lakon. figur Kumbakarna Kangjeng Kyahi Kadung (yasan era
Dengan mengacu bentuk wanda wayang yang PB IV [1788-1820]), koleksi Keraton Kasunanan
ditampilkan, sabet wayang akan mengalir tanpa Surakarta Hadiningrat. Wayang ini dalangnya khusus
dipaksakan oleh dalang. Dalang seolah-olah Sri Susuhunan dan/atau para putra yang mendapat
mendapat inspirasi gerak yang tumbuh dari tipe figur titah Paduka. Wayang jujudan adalah wayang yang
wayang tersebut, sehingga tokoh-tokoh wayang kulit ukuran tingginya ditambah satu palemahan. Wayang
yang digerakkan seperti mempunyai jiwa atau yang termasuk golongan ini di antaranya adalah Kyahi
berkesan “hidup”. 10 Dalam penyampaian dialog, Kanyut (yasan era PB IV [1788-1820])13 dan koleksi
antawacana dalang dapat terasa mantap dan sesuai G. Dezentje, seorang Belanda pemilik pabrik gula di
dengan karakter figur wayangnya, sehingga pribadi Jungkare, Karanganom, Klaten.14 Wayang tersebut
dalangnya seakan-akan lebur ke dalam tokoh wayang pada tahun 70-an pernah menjadi koleksi Ki Dipoyono
yang berbicara, yang dalam istilah pedalangan gaya (Trenggalek) dan sejak tahun 2011 berpindah tangan
Yogyakarta disebut nuksma atau menyatu.11 Demikian ke Ki Enthus Susmono di Tegal.15 Sisanya yang
juga dalam mengolah sanggit lakon, dalang dapat tertinggal antara lain figur Wrekudara koleksi Darman
memperoleh inspirasi dari tipe figur wayang. Sebagai Gandadarsana, yang kemudian diputrani dan
contoh, dalam garapan pakeliran padat lakon Dewa dipopulerkan oleh Manteb Soedharsana. Wayang
Ruci produksi ASKI Surakarta tahun 1986 (sekarang sabet adalah wayang yang berukuran normal yang
ISI Surakarta), untuk melukiskan kematangan jiwa induknya dari wayang-wayang koleksi Keraton
Bima, di awal pertunjukan digunakan wayang Kasunanan Surakart a, 16 Koleksi Pura
Bratasena Wanda Jaka; setelah bertemu dengan Mangkunegaran, koleksi K.P.A. Kusumadilaga,18 dan
17

Batara Bayu dan Bima digelung, digunakan wayang koleksi Bupati Klaten K.Ad Martanegara.19 Wayang
Wrekudara Wanda Mancingan;12 kemudian setelah sabet ini kemudian berkembang di kalangan
mendapat wejangan dari Dewa Ruci, digunakan pedhalangan gaya Surakarta. Adapun wayang kidang
wayang Wrekudara Wanda Lindhupanon, yang kencana merupakan wayang pusaka Keraton
berkesan kedewasaannya terasa lebih mantap. Kasunanan Surakarta yang diperuntukkan bagi putra
Ada tiga kelompok pendapat tentang wanda dalem yang masih kanak-kanak dan abdi dalem
wayang penerapannya dalam pertunjukan wayang dalang putri. Perangkat wayang tersebut memiliki
kulit purwa. Kelompok pertama menyatakan, bahwa nama sakral Kyahi Menjangan Mas. Keempat ukuran
secara artistik wanda wayang mutlak diperlukan untuk wayang tersebut menjadi fokus penelitian ini untuk
mendukung keberhasilan sajian pakeliran, dengan lebih memusatkan pembicaraan pada figur tokoh
konsekuensi perangkat wayangnya harus dilengkapi wayang tertentu koleksi Keraton (Kasunanan dan Pura
dengan wanda-wanda yang memadai. Kelompok Mangkunagaran) dan yang berkembang di kalangan
kedua menyatakan, bahwa wanda wayang diperlukan pedalangan di wilayah Surakarta dan sekitarnya.
untuk mendukung keberhasilan pakeliran, tetapi tidak Wayang-wayang pedalangan termasuk ukuran
mutlak, dalang harus menyesuaikan dengan situasi wayang sabet, tetapi setelah diteliti ternyata
dan kondisi. Adapun kelompok ketiga, berpendapat ukurannya sangat bervariasi. Masing-masing dalang
bahwa keberhasilan sajian pakeliran tidak terkait oleh mempunyai selera tersendiri baik dalam menentukan
keberadaan wanda wayang, karena itu penyampaian ukuran maupun wanda-nya, disesuaikan dengan
narasi dan dialog dalang harus menjiwai figur tokoh perawakan dan potensi pribadinya. Sebagai contoh,
wayang yang dimaksud, sehingga penonton dapat wayang-wayang koleksi R. Tiknasudarsa (Jombor;
menghayati. sekarang dikoleksi oleh R. Aji Kristianto), Pujasumarta
Penggunaan wanda dan kaitannya dengan (Kuwoso, Gergunung, Klaten; sekarang dikoleksi
keberhasilan sajian juga dapat dilihat berdasar aspek putra bungsunya, Yuwono Sri Suwito), Darman
ukurannya. Figur wayang purwa gaya Surakarta dapat Gandadarsana (Tambakboyo, Ngawi; sekarang
dikelompokkan atas empat ukuran, yaitu wayang dikoleksi Kondang Sutrisno-Jakarta), Tjerma Hardja
kadung (wayang berukuran besar), wayang jujudan (Wedi; sekarang dikoleksi Bambang Suwarno),
(wayang berukuran tinggi), wayang sabet/ Mardisubrata (Tegalwoko, Klaten; sekarang dikoleksi
pedhalangan (wayang berukuran sedang), dan putra keempatnya, Jati Sutrisno), Sindutanaja
wayang kidang kencanan (wayang berukuran (Krenekan, Ceper, Klaten; sekarang dikoleksi Kesdik
tanggung). Wayang kadung merupakan wayang yang Sukasdi, Sukoharjo) dan Ganda Pandaya (Senden;
memiliki ukuran sangat besar, di luar konvensi yang sekarang dikoleksi oleh Ki Purbo Asmoro pada

6 Volume 12 Nomor 1, Juli 2014


Bambang Suwarno: Kajian Bentuk dan Fungsi W anda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Kaitannya dengan Pertunjukan

era 90-an), mempunyai ukuran lebih besar dari pada Berbeda dengan pendapat di atas, Sutikna
wayang pedalangan pada umumnya. Hal ini sesuai Slamet berpendapat bahwa walaupun dalam lakon-
dengan perawakan pemiliknya yang tinggi besar. lakon biasa untuk adegan atau jejer lebih tepat
Berbeda dengan wayang-wayang koleksi menggunakan Gathutkaca Wanda Guntur, tetapi
Gandawarsana (Kunden), ukurannya lebih kecil untuk peristiwa perang Baratayuda sejak awal sampai
daripada wayang pedalangan pada umumnya. Hal ini akhir pertunjukan hanya menggunakan satu wanda
sesuai dengan perawakan pemiliknya yang bertubuh Gathutkaca, yakni Kilat atau Thathit. Karena karakter
sedang. Wayang-wayang ukuran gaya Kunden ini lakon dan situasi adegannya sudah memanas,
dikembangkan oleh Darman Gandadarsana dan sehingga kurang mungguh jika dalang menampilkan
Manteb Soedharsono, terutama untuk wayang-wayang wanda-wanda wayang yang sifatnya kalem, merdika
sabet seperti: patih sabrang, raksasa panyarèng, dan indah. Hal ini juga berlaku bagi penampilan tokoh
raksasa prepatan, Anoman, dan Setyaki. Kresna dan Werkudara.22
Besar kecilnya ukuran wayang, menurut Perkembangan sekarang, ukuran besar
Natatjarita (empu dalang dari Krosok, Njeto, Cawas, kecilnya wayang tidak lagi berkaitan dengan postur
kabupaten Klaten) bukan ukuran secara pasti, tubuh dalang, tetapi penekananya lebih pada
melainkan ukuran yang dipertimbangkan berdasarkan kemantapan potensi pribadi dalang terhadap ukuran
corèkan yang menimbulkan kekuatan rasa estetik dan wanda wayang tertentu. Hal ini diawali oleh
sehingga mencerminkan rasa gagah, alus, gecul, kenakalan Darman Gandadarsana yang kaya akan
bengis, dan sebagainya. Sebagai contoh, tokoh pengalaman mengikuti para dalang pendahulunya
Gathutkaca; antara Wanda Gedhug/Bedhug dengan (nyantrik), pengalaman panggung, sanggit, dan koleksi
Wanda Mantèn/Gandrung, Wanda Guntur dan Wanda wayang. Meskipun ia bertubuh sedang dan memiliki
Gelap mempunyai corèkan tersendiri. Gathutkaca dasar suara kecil, akan tetapi ia tampak pas jika
Wanda Gedhug/Bedhug perawakannya gemuk, raut menampilkan Wrekudara jujudan dari Pandanan yang
muka semuruh, warna tubuh hitam (cemeng), corèkan berpostur tubuh jangkung besar dengan anatomi mirip
busana kendor. manusia, yakni berkepala kecil, tidak seimbang
Gathutkaca Wanda Mantèn/Gandrung dengan kebesaran dan ketinggian postur tubuh. Akan
perawakannya singsat, raut muka menunduk bagus tetapi di sisi lain, untuk mendukung keterampilan
wiwing (oval), warna tubuh emas (gemblèng), corèkan gerak wayang-wayang sabet, ia cenderung mengikuti
busana singsat, sumping surèngpati memakai oncèn- ali ran Kunden. Hal it u dii kuti oleh Manteb
oncèn. Gathutkaca Wanda Guntur perawakan padat Soedharsono, dalam episode Banjaran Bhima
berisi, raut muka kepu luruh (menunduk bulat), warna menggunakan figur wayang Wrekudara versi Darman
tubuh emas (gemblèng), pakaian singsat. Wanda Gandadarsana. Demikian juga untuk mendukung
Gelap berperawakan langsing, postur tubuh tinggi, keterampilan sabet dan antawacana Manteb
muka menengadah (longok), warna tubuh emas Soedharsono menggunakan wayang-wayang sabet
(gemblèng), corèkan busana singsat. Masing-masing versi Darman Gandadarsana.
wanda Gathutkaca tersebut mempunyai ukuran tinggi Penggunaan wayang dengan ukuran lebih
yang berbeda, meskipun demikian tetap besar juga dilakukan oleh Mulyanta (Gondang,
mencerminkan bentuk dan karakter Gathutkaca Sragen). Pada tahun 1990 ia membuat wayang
sesuai dengan sesuai dengan deskripsi, tipologi, dan Danawa Raton bermata dua dengan pola Danawa
mitologinya.20 Raton Wanda Wéwé Kyahi Dal koleksi Darman
Berkaitan dengan ukuran dan jenis wanda, Gandadarsana, dengan ditambah volume besarnya
Manteb Soedharsono berpendapat bahwa masing- dan berketinggian 150 cm. Wayang ini digunakan
masing wanda Gathutkaca mempunyai karakter gerak untuk perwujudan triwikrama dari peran tokoh dan
yang berbeda. Gathutkaca Wanda Gedhug/Bedhug selalu ditampilkan pada setiap pergelaran dalam lakon
misalnya, hanya sesuai (mungguh) untuk keperluan apapun. Perwujudan wayang tersebut oleh Mulyanta
cak sabet abur-aburan atau adegan terbang, karena dibuatkan vokabuler gerak baru dengan kendhangan
bagian sor-soran pendek sehingga efek bayangan tari Réma diiringi gending Krucilan atau Alas Kobar.
tidak sampai pada palemahan kelir. Sedangkan Kenakalan Mulyanta tersebut diikuti oleh Ki Sudirman
Wanda Mantèn/Gandrung sesuai untuk lakon Ronggo Darsono dari Gondang Sragen, pada tahun
Gathutkaca Krama atau adegan gandrung, Wanda 1993 membuat wayang Denawa Raton Wanda Wéwé
Guntur untuk jejer dan Wanda Gelap lebih sesuai jika dengan ketinggian 140 cm dan dikerjakan sendiri.23
untuk perangan.21 Hal tersebut juga diikuti oleh Purbo Asmoro pada tahun

Volume 12 Nomor 1, Juli 2014 7


Jurnal Seni Budaya

1994 membuat wayang Denawa Raton Wanda Wéwé Kurawa berambut bodholan, Anoman berukuran kecil,
bertangan dua dengan ketinggian 168,5 cm dan Danawa Raton berukuran luar biasa, Cakil berambut
dikerjakan oleh Pringgasutata.24 Kemudian pada tahun bodholan, Cakil Wanda Wayang Wong, Cakil kecil,
1995 Enthus Susmono (Tegal) juga membuat Danawa raksasa pégo/pengung, raksasa prepatan yang
Raton ukuran besar bermata dua (Wanda Macan) dan berkepala sambungan sehingga dapat dipenggal,
bermata satu (Wanda Jaka), keduanya bertangan wayang-wayang setanan yang pornografis, punggawa
satu, dengan ketinggian masing-masing 200 cm. sabrang srambahan, Limbuk dengan sistem anggota
wayang ini ditampilkan pada adegan perang, dengan tubuh (pinggang dan leher) sambungan, gléyongan
vokabuler gerak dalang berdiri berperang dengan berwajah manusia, punakawan “Ria Jenaka”, Togog
wayangnya. dan Bilung wayang ukur (karya Sukasman-
Bentuk-bentuk kenakalan seorang dalang Yogyakarta), kuda yang kepala dan ekornya dapat
pada dasarnya hanya dapat dikatakan mungguh jika digerak-gerakkan dengan sistem tarikan, pesawat
dilakukan oleh pencetus idenya. Misalnya, Darman terbang, terjun payung, sepeda, becak, sepeda motor,
Gandadarsana tampak lebih tepat dan hidup ambulance, serta gamanan bandhil yang berbentuk
menggunakan perangkat punakawan Petruk Wanda roda gigi (gear) dan rantai.
Kirik ciptannya daripada Petruk wanda lain yang telah
ada. Demikian juga wayang Buta Tikus karya Darman C. Kesimpulan
Gandadarsana tampak lebih tepat jika beliau sendiri
yang menggunakan. Meskipun demikian banyak Ada tiga kelompok pendapat tentang wanda
dalang muda mengikuti, walaupun sebenarnya belum wayang penerapannya dalam pertunjukan wayang
tentu pas dengan potensi pribadinya. kulit purwa. Kelompok pertama menyatakan, bahwa
Bukti keterkaitan antara kemantapan potensi secara artistik wanda wayang mutlak diperlukan untuk
dalang dengan ukuran dan wanda wayang tertentu, mendukung keberhasilan sajian pakeliran, dengan
tampak pada pergelaran Anom Suroto. Meskipun ia konsekuensi perangkat wayangnya harus dilengkapi
berpostur tinggi besar, tetapi wayang-wayang dengan wanda-wanda yang memadai. Kelompok
“kelompok besar” yang digunakan, seperti kedua menyatakan, bahwa wanda wayang diperlukan
Kumbakarna dan Wrekudara, cenderung berukuran untuk mendukung keberhasilan pakeliran, tetapi tidak
lebih kecil daripada wayang pedalangan pada mutlak, dalang harus menyesuaikan dengan situasi
umumnya. Di samping itu, panggungan yang dan kondisi. Adapun kelompok terakhir berpendapat,
digunakan ukurannya lebih rendah dengan ruang bahwa keberhasilan sajian pakeliran tidak terkait oleh
gerak wayang (jagatan) lebih sempit.25 Sebaliknya keberadaan wanda wayang, karena itu penyampaian
Sutikna Slamet, meskipun berpostur tubuh sedang, narasi dan dialog dalang harus menjiwai figur tokoh
tetapi tidak segan-segan menggunakan wayang- wayang yang dimaksud, sehingga penonton dapat
wayang sabet yang semestinya sesuai dengan menghayati. Berdasarkan fakta di lapangan, faktor utama
keperluan sanggit pakeliran serta ruang gerak yang menentukan penggunaan besar kecilnya wayang
wayangnya lebih luas. serta ruang gerak pakeliran adalah karena kebiasaan,
Berdasarkan fakta di lapangan, faktor utama ket erlat ihan, dan ketaatan dalang dalam
yang menentukan penggunaan besar kecilnya wayang menggunakan konsep-konsep estetik pakeliran. Di
serta ruang gerak pakeliran adalah karena kebiasaan, sam ping itu juga pemahamannya t erhadap
ket erlat ihan, dan ketaatan dalang dalam penggunaan figur dan wanda wayang.
menggunakan konsep-konsep estetik pakeliran. Di Keterkaitan figur wayang kulit dengan
sam ping itu juga pemahamannya t erhadap keempat aspek garap pakeliran sangat erat, sehingga
penggunaan figur dan wanda wayang. Para dalang muncul istilah nuksma dan mungguh, yakni
muda sekarang pada umumnya sudah tidak lagi kedalaman penghayatan dan kesesuaian atau
memahami wanda wayang. Penggunaan tipe figur ketepatan dalam menggunakan masing-masing unsur
wayang kebanyakan didasarkan pada enak dan pendukung pakeliran sehingga dapat menguatkan
tidaknya dipakai untuk sabetan. Di samping itu pencapaian estetik yang diharapkan oleh dalang
mereka cenderung meniru para dalang seniornya tanpa sebagai penyampai pesan dan penonton sebagai
memahami alasan mengapa menggunakan tipe figur audiensnya. Perhatian terhadap konsep estetik
wayang itu. Bentuk duplikasi yang dilakukan, baik nuksma dan mungguh ini berbeda-beda antara satu
pada penggunaan tipe figur wayang baku maupun tidak dalang dengan yang lainnya.
baku, seperti: Wrekudara jujudan, Duryudana topong,

8 Volume 12 Nomor 1, Juli 2014


Bambang Suwarno: Kajian Bentuk dan Fungsi W anda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Kaitannya dengan Pertunjukan

Fungsi dari wanda dalam pertunjukan wayang Mangkunagara VII, K.G.P.A.A. 1933. “On the Wayang
kulit purwa gaya Surakarta meliputi. Kulit (Purwa) and its Symbolic and Mystical
a. Mendukung keberhasilan sajian sehingga pesan- Elements,” dalam Djawa, Vol. XIII, 1933,
pesan yang disajikan dapat ditangkap oleh Transliterasi oleh Claire Holt (1957). Ithaca,
penonton. Untuk kalangan pedalangan, fungsi New York: Cornell University.
wanda dalam kaitannya dengan keberhasilan
Sastronarjatmo, Moeljono (ed.). 1981. Wanda Ringgit
sajian terletak pada penerapan pemahaman
Purwa. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku
dalang terhadap aspek bentuk, ruang dan waktu
Sastra Indo­nesia dan Daerah Departemen
secara empan papan sehingga dapat
Pendidikan dan Kebudayaan.
mem uncul kan rasa hayat an yang ingin
ditampilkan. Serrurier, L. (1896) 1993. De Wajang Poerwa: Eine
b. Memantapkan wujud sajian pakeliran sehingga Ethnolo­gische Studie. (Leiden, Nederland:
memiliki daya tarik sebagai media penyampai E.J. Brill.) Dialihbahasa­kan oleh K.R.T.
pesan secara verbal dan visual bagi penonton Muhammad Husodo Pringgokusumo dalam
wayang. Wayang Purwa Sebuah Studi Antropologi.
c. Meningkatkan daya apresiasi seni bagi dalang Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunagaran.
dan penonton, khususnya dalam segi pemahaman Soedarso Sp. 1986. Wanda: Suatu Studi tentang
bentuk wanda-wanda wayang tokoh Pandhawa. Resep Pembuatan Wanda-wanda Wayang
Kulit Purwa dan Hubungannya dengan
Signifikansi penggunaan wanda dalam Presentasi Realistik. Yogyakarta: Proyek
mendukung keberhasilan sajian, meliputi: Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
a. Menjadikan esensi lakon dapat ditangkap dengan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal
lebih baik oleh penonton maupun dalang. Kebudayaan, Depdikbud.
b. Meningkatkan mutu sajian pakeliran dari berbagai
aspek, baik sanggit maupun garap lakon. Soetrisno, R. 1975. “Pitakon lan Wangsulan Bab
c. Wujud pertunjukan dapat lebih menarik, baik Wanda Wayang.” Surakarta: Akademi Seni
sebagai tontonan (audio visual) maupun sebagai Karawitan Indonesia, cetakan stensil.
tuntunan yang berisi pesan moral hakiki yang Haryo Guritno, Haryono. 1984. “Aspek Seni Rupa
memuat nilai-nilai kepemimpinan, kesempurnaan pada W ayang Kulit Purwa,” makalah
hidup (dalam Dewa Ruci), religius, kejujuran, dipersiapkan dalam rangka ceramah di
keadilan, nilai kepahlawanan, kesetiaan serta Lem baga Jav anologi - Yayasan
kebersamaan, kesatuan dan persatuan. Panunggalan, Yogyakarta, 12 Oktober
1984.
KEPUSTAKAAN
Kusumadilaga, K.P.A. 1981. Serat Sastramiruda.
Bambang Suwarno. 1999. “W anda W ayang Dialihbahasa­kan oleh Kamajaya,
di­alihaksarakan oleh Sudibjo Z.
Kaitannya dengan Pertunjukan Wayang
Hadisutjipto. Jakarta: Proyek Penerbitan
Kulit Purwa Jawa Masa Kini.” Tesis S-2
Buku Sastra Indonesia dan Daerah,
Progran Studi Pengkajian Seni Pertunjukan
Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Gadjah Mada Yogya­karta. Museum Radya Pustaka. 1912. Wandaning Ringgit
Brandon, James R. 1970. On Thrones of Gold: Three Wacucal, kolek­si Museum Radya Pustaka
Surakarta, manuskrip huruf Jawa, nomor 27.
Javanese Shadow Plays. Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press. Sastronarjatmo, Moeljono (ed.). 1981. Wanda Ringgit
Haryo Guritno, Haryono. 1984. “Aspek Seni Rupa Purwa. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indo­nesia dan Daerah Departemen
pada W ayang Kulit Purwa,” makalah
dipersiapkan dalam rangka ceramah di Pendidikan dan Kebudayaan.
Lem baga Jav anologi – Yayasan Serrurier, L. (1896) 1993. De Wajang Poerwa: Eine
Panunggalan, Yogyakarta, 12 Oktober Ethnolo­gische Studie. (Leiden, Nederland:
1984. E.J. Brill.) Dialihbahasa­kan oleh K.R.T.

Volume 12 Nomor 1, Juli 2014 9


Jurnal Seni Budaya

12
Muhammad Husodo Pringgokusumo dalam Ciri-ciri W rekudara wanda Mancingan: bergelung
minangkara, berkalung pananggalan, memakai kelat bahu
Wayang Purwa Sebuah Studi Antropologi. nagamangsa dan memakai gelang kaki atau binggel.
Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunagaran. 13
M.Ng. Saminto Mintosucarmo (abdi dalem Lembisana
Keraton Kasunanan Surakarta), wawanc ara di Keraton
Kasunanan Surakarta, tanggal 12 Juni 2011.
14
Catatan Akhir: K.R.Ay Hilmiah Darmawan, wawanc ara di Pura
Mangkunegaran, Surakarta, tanggal 5 Januari 1999.
15
1 Suluh Juniarsah, wawancara di Gebang Kadipiro
Tristuti Rahmadi Surya Saputra, wawancara di Rinjani
Banjarsari, Surakarta, tanggal 16 Juli 2011.
Perum Mojosongo Jebres Surakarta, tanggal 18 September 1997. 16
2
W ayang Kyahi Pramukanya, Kyahi Mangu dan
Sutikna Slamet, wawanc ara di Karangtalun,
wayang para (wayang yang dipakai harian di Karaton).
Karangndowo Klaten, tanggal 5 Januari 1998. 17
3 W ayang Kyahi Sebet koleksi K.G.P.A.A.
Haryono Guritno, wawancara di Sana W angi Jakarta,
Mangkunegaran IV. Di Pura Mangkunegaran terdapat dua
tanggal 18 Desember 1997.
4 perangkat wayang Kyahi Sebet, yaitu Kyahi Sebet I dan Kyahi
Bambang Suwarno, W anda W ayang Kaitanny a
Sebet II. W ayang ini berkembang di kalangan para dalang
dengan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa Kini, Tesis,
Wonogiri dan sekitarnya, yang sebagian besar abdi dalem Pura
(Yogyakarta,1999: Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mangkunegaran.
Mada), 35-36. 18
5 W ayang ini berkembang di kalangan para dalang
I. Kuntara W irjamartana, wawancara di Kepoh
Kartasura, Pengging dan Boyolali.
Delanggu, Klaten, tanggal 18 Juli 2010. 19
6
W ayang ini berkembang di kalangan para dalang
M.Ng. Nojowirongko al. Atmotjendono, Serat Tuntunan
daerah Klaten.
Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi, jilid I, 20
Natatjarita, wawanc ara di Kros ok Njeto Cawas,
Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan, Departemen
Klaten, tanggal 18 Desember 1997.
P.P dan K., Jogjakarta, 1960, 33-34. 21
7 Manteb Soedhars ono, wawancara tanggal 20
Soetrisno, n.d., 1.
8 September 2010.
Jika ada figur Baladewa menyembah kepada Kresna, 22
Sutikna Slamet, wawancara tanggal 5 Januari 1998.
berarti lakon yang ditampilkan adalah s iklus Ramayana; 23
Sudirman Ronggo Darsono, wawancara di Gondang,
Baladewa sebagai Sugriwa dan Kresna sebagai Ramawijaya.
9 Sragen, tanggal 17 Februari 2012.
Anom Suroto, W awanc ara di T imas an Pajang, 24
Purbo As moro, wawanc ara di Gebang Kadipiro
Sukoharjo, tanggal 21 Februari 2008.
10 Banjarsari, Surakarta, tanggal 25 Desember 2010.
Darman Gandadarsana, wawancara tanggal 14 Juli 25
Tristuti Rahmadi Suryasaputra, wawancara tanggal
1993.
11 18 September 2007.
Sangkana Tjiptawardaya, wawancara di Keparakan
Kidul, Yogyakarta, tanggal 18 Januari 1996.

10 Volume 12 Nomor 1, Juli 2014

Anda mungkin juga menyukai