1. PENDAHULUAN
2. KONTEKS OBSERVASI
Observasi wayang gedog ini dilakukan di Museum Sonobudoyo Yogyakarta pada hari
Sabtu, 11 November 2023 dari pukul 10.00 sampai 12.00 WIB. Museum ini terletak di Jl.
Pangurakan No.6, Ngupasan, Kec. Gondomanan, Kota Yogyakarta. Saya melakukan
kegiatan observasi yang dilakukan secara berkelompok dengan anggota kelompok
berjumlah 4 orang. Tujuan observasi adalah untuk mempelajari dan mengapresiasi koleksi
kebudayaan yang ada di dalam museum salah satunya adalah Wayang gedog sebagai
bagian dari warisan budaya Indonesia, khususnya Jawa.
Wayang gedog merupakan salah satu jenis seni pertunjukan boneka wayang selain
wayang purwa, wayang golek, wayang krucil, wayang suluh, dan lain-lain yang digerakkan
oleh seorang dalang. Museum Sonobudoyo memiliki koleksi wayang gedog yang
bersandingan dengan koleksi wayang lain seperti wayang dupara, wayang golek, wayang
wahyu, dan lain sebagainya. Pada saat observasi, saya mengamati koleksi wayang gedog
Solo yang merupakan cerita wayang bersumber dari serat Panji.
Wayang gedog yang dipamerkan di Museum Sonobudoyo adalah salah satu bentuk
seni pertunjukan wayang kulit yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi serta sarat
akan makna. Koleksi wayang gedog dipamerkan bersama dengan jenis wayang lain di
ruang wayang yang terletak di Gedung lama Museum Sonobudoyo. Pengunjung dapat
melihat detail ukiran dan pewarnaan wayang serta posisi wayang saat pentas. Label
keterangan juga memudahkan pengunjung mempelajari asal-usul dan fungsi tiap tokoh
wayang.
Saat observasi, ada banyak pengunjung museum lainnya, walaupun begitu saya
masih tetap leluasa mengamati dan mendokumentasikan koleksi wayang gedog. Beberapa
penjaga museum juga ramah menjawab pertanyaan saya terkait sejarah dan pembuatan
wayang gedog. Secara keseluruhan, kunjungan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan
apresiasi terhadap warisan budaya wayang gedog Jawa.
3. SEJARAH
Wayang gedog adalah jenis wayang kulit yang mengambil cerita dari serat Panji, yang
mengisahkan tentang kisah pada zaman Kediri dan Majapahit pada masa Sri Gatayu,
Putera Prabu Jayalengkara sampai masa Prabu Kuda Laleyan. Wayang gedog konon
diciptakan oleh salah satu Walisongo yaitu Sunan Giri pada tahun 1485, hal ini terjadi ketika
beliau mewakili raja Demak yang sedang melakukan kampanye militer di wilayah Jawa
Timur. Kemudian, wayang ini diperbarui oleh Pakubuwana III di Surakarta, yang
membuatnya mirip dengan jenis wayang lain yaitu wayang purwa, bentuknya hampir sama
hanya saja ada perbedaan pada bagian sunggingan dan tatahan. Wayang gedog dimainkan
oleh seorang dalang yang mahir dalam menguasai cerita Panji dan karakter wayang gedog.
Pertunjukan wayang gedog juga disaksikan oleh penonton yang tertarik dengan kesenian
wayang ataupun siapa saja yang penasaran dengan wayang yang ceritanya bersumber dari
serat Panji ini.
Wayang yang sekarang ini merupakan versi yang sudah diperbarui, karena memang
menurut beberapa sumber wayang ini sudah ada sejak zaman Majapahit. Wayang ini tidak
menampilkan tokoh wayang seperti raksasa dan kera layaknya wayang purwa, melainkan
tokoh-tokoh dari berbagai kerajaan, seperti Makassar, Ternate, Siam, dan Bali. Seperti
halnya wayang kulit khas Jawa, wayang gedog juga memiliki punakawan khusus, yaitu
Sebul-Palet untuk Panji muda, Bancak dan Doyok untuk Panji tua, dan Ronggotono dan
Ronggotani untuk Klana. Selain itu, ada yang unik dari Wayang gedog yaitu sering
menampilkan figur wayang yang aneh, seperti gunungan sekaten, siter, payung, perahu,
dan lain-lain.
Kesenian wayang gedog Jawa memiliki akar budaya yang berasal dari India kuno
yang berakulturasi dengan budaya setempat, wayang ini sudah mendapatkan penyesuaian
yang dapat diterima oleh masyarakat setempat. Pengaruh India bisa terlihat dari gamelan
berlaras pelog yang merupakan salah satu jenis laras musik khas Jawa yang dipengaruhi
musik dari India.
Selain itu, teknik pewayangan gedog juga dipengaruhi oleh bentuk seni pertunjukan
India kuno. Di Asia Tenggara, bentuk kesenian wayang boneka juga ditemukan di Kamboja
dan Thailand yang mendapat pengaruh India. Wayang gedog juga dipengaruhi oleh
hubungan politik atau perdagangan antara Jawa dengan daerah lain seperti Makassar,
Siam, Ternate, dan Bali. Hal ini dibuktikan dengan karakter wayang gedog yang diambil dari
daerah tersebut, misalnya ada tokoh Prabu Klana yang berasal dari Makassar, dia memiliki
anak buah tentara Bugis, ada juga tokoh lain seperti Prabu Maesadura dari Siam, Klana
Siwandana dari Bantarangin, Prabu Geniyara dan Daeng Purbayunus dari Ternate.
Meskipun demikian, wayang gedog Jawa memiliki ciri khas tersendiri. Misalnya
penggambaran wajah dan karakter wayang bersifat realistis menunjukkan pengaruh budaya
asli Jawa. Pemakaian bahasa Jawa oleh dalang dalam pertunjukannya juga merupakan
keunikan lokal. Demikian pula proses Islamisasi berpengaruh terhadap cerita dan nilai
wayang menyesuaikan dengan konteks budaya Jawa. Jadi meski banyak kemiripan,
wayang gedog tetap memiliki identitas budaya daerah yang membedakannya dengan
wayang boneka di tempat lain.
Kedua, pertunjukan wayang gedog Jawa didominasi oleh vokal dan narasi dalang
yang apik dengan bahasa Jawa halus nan puitis. Dalang wayang Jawa cenderung lebih
minim gerak fisik dan banyak mengekspresikan suasana lewat suara atau kata-kata.
Sebaliknya wayang Bali dan Thailand lebih mengedepankan gerak tubuh dan akting visual
dalangnya. Wayang gedog sendiri pada awal mulanya
Ketiga, instrumen gamelan Jawa memberi warna musik yang berbeda pada wayang
gedog, dengan nada-nada slendro dan pelog khas serta instrumen kendhang, gender, siter,
dan rebab. Alunan musik pada wayang Bali maupun Thailand tentu saja berbeda karena
menggunakan instrumen lokal daerahnya masing-masing.
Keempat, tokoh wayang gedog unik dan berbeda dari wayang lain karena sumber
ceritanya dari Serat Panji. Tokoh-tokoh raja dalam pewayangan ini memakai atribut garuda
mungkur dan gelung keling, sementara tokoh-tokoh kesatria memakai tekes dan rapekan. Di
cerita wayang gedog tidak ada tokoh raksasa atau kera layaknya wayang lain yang lebih
terpengaruh cerita dari Ramayana dan Mahabharata. Ada tokoh punakawan khusus, yaitu
Sebul-Palet untuk Panji muda, Bancak dan Doyok untuk Panji tua, dan Ronggotono dan
Ronggotani untuk Klana, mereka ini berbeda dengan tokoh punakawan seperti Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong yang ada di wayang kulit Jawa.
Dengan demikian walau sama-sama wayang boneka, namun wayang gedog Jawa
tentu memiliki ciri khas tersendiri dalam gaya visual, narasi cerita dan vokal, musik pengiring
pertunjukannya, dan karakter atau tokoh yang tidak ditemukan di bentuk kesenian wayang di
tempat lain. Hal inilah yang membuat wayang gedog ini begitu unik dan orisinal.
6. KESIMPULAN
Observasi terhadap kesenian wayang gedog ini memberikan banyak ilmu dan
wawasan bagi saya dan membuat lebih menghargai tentang warisan kesenian tradisional
Jawa yang sarat akan nilai. Saya bisa melihat bagaimana seni dan budaya lokal yang kaya
seperti wayang mampu untuk tetap bertahan ratusan tahun melintasi perubahan zaman dan
modernisasi yang sudah terjadi sekarang ini.
Wayang gedog juga menunjukkan adaptasi yang baik dengan mengintegrasikan dan
berakulturasi dengan unsur-unsur budaya dari luar seperti Hindu dan Islam dengan budaya
Jawa. Ini tentu saja penting bagi identitas bangsa yang multikultural. Dengan demikian
wayang gedog layak menjadi sumber inspirasi dalam menjaga keseimbangan tradisi dan
modernitas di era globalisasi.
Sebagai calon pendidik, hasil observasi ini akan memperkaya materi pengajaran seni
budaya khususnya terkait wayang gedog sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan.
Pengalaman mengobservasi wayang gedog secara langsung juga akan meningkatkan
kompetensi mengajar. Sehingga nanti saat menjadi pendidik bisa menerapkan dan
mengenalkan kebudayaan ini kepada generasi muda dengan baik dan benar.
Di sisi lain, sebagai mahasiswa yang meneliti tentang wayang gedog, wawasan
tentang wayang akan bermanfaat sebagai data fenomena kebudayaan yang kompleks dan
beragam, tentu saja wayang gedog ini perlu untuk diteliti lebih lanjut dari beragam sudut
pandang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, observasi ini telah memperkaya wawasan
personal maupun profesional saya sebagai mahasiswa maupun calon pendidik.
Sunardi, Suwarno, B. and Pujiono, B. (2014) Revitalisasi Dan Inovasi Wayang Gedog.
Surakarta: ISI Press Surakarta.
Wiratama, R. (2019) Representasi Identitas Orang Jawa Dalam Cerita Panji Versi Wayang
Gedhog, Jantra Kemdikbud. Available at:
https://jantra.kemdikbud.go.id/index.php/jantra/article/download/98/73/ (Accessed: 22
November 2023).
Prasetyo, E. and S., S. (2016) Lakon Jaka Bluwo Karya Bambang Suwarno Dalam
Paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss, Lakon Jurnal Pengkajian & Penciptaan
Wayang. Available at: https://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/lakon/article/view/2157
(Accessed: 22 November 2023).
Santosa, A. (2015) Pertunjukan Wayang Gedog Lakon Jaka Bluwo Sajian Bambang
Suwarno Dalam Perspektif Estetika Pedalangan, Institutional Repository ISI
Surakarta. Available at: http://repository.isi-ska.ac.id/124/ (Accessed: 22 November
2023).
Wiratama, R. (2020) ‘Cerita Panji sebagai Repertoar Lakon wayang Gêdhog Gaya Surakarta
Telaah Struktur Teks, Makna Dan Kaitannya Dengan pertunjukan’, Jurnal Kajian Seni,
5(2), p. 129. doi:10.22146/jksks.46736.
Anggoro, B. (2018) “Wayang dan Seni pertunjukan” Kajian Sejarah Perkembangan Seni
Wayang di Tanah Jawa Sebagai Seni Pertunjukan dan Dakwah’, JUSPI (Jurnal
Sejarah Peradaban Islam), 2(2), p. 122. doi:10.30829/j.v2i2.1679.
Indriyanto, A.A., Sumarno, S. and Swastika, K. (2018) The Function of Wayang Kulit in the
Spreading of Islamic Religy in Demak at 16th Century, Garuda. Available at:
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/819268 (Accessed: 25 November
2023).
LAMPIRAN: