Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FONOLOGI

Definisi Fonem Dan Jenisnya, Dasar Analisis Fonem, Dan Prosedur Analisis Fonem

Disusun Oleh Kelompok 6:

Adelia Ziadatu Rizqillah (210211602828)


Citra Aulia Vertika (210211602893)
Devalena Cheesya Amanda Savitri (210211602829)
Moch. Iskandar Umar Abdullatif (210211602879)

FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2022
A. Definisi Fonem dan Jenisnya
Dalam suatu susunan bahasa terdapat bagian-bagian terkecil yang fungsional, salah
satunya yaitu Fonem. Sebelum mengetahui definisi dari fonem itu sendiri, kita harus
mengetahui terlebih dahulu pengertian dari fonemik. Sehingga, tidak salah dalam
mengartikan antara fonemik dan fonem. Fonemik adalah cabang kajian fonologi yang
mengkaji bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna
(kata). Sedangkan fonem adalah satuan bunyi terkecil yang menjadi objek kajian fonemik.
Banyak para ahli yang berpendapat tentang definisi Fonem. Menurut Abdul Chaer
fonem adalah satu kesatuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna suatu kata. Dari
definisi ini dapat disimpulkan jika tidak dapat membedakan makna kata maka bukan disebut
fonem. Menurut Masnur Muchlis fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang
berfungsi membedakan makna. Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan
oleh Abdul Chaer. Menurut Samsuri fonem adalah bunyi-bunyi yang membedakan arti.
Menurut Harimurti Kridalaksana fonem merupakan satuan bunyi terkecil yang mampu
menunjukkan kontras makna. Sedangkan menurut J. W. M Verhaar fonem merupakan bunyi
yang mempunyai fungsi membedakan kata dari kata yang lain.
Kenneth L. Pike (1947:63) mengatakan fonem adalah salah satu unit bunyi yang penting
atau suatu yang menunjukan kontras makna. Sedangkan L Bloomfield (1961:79) dalam
pernyataannya menjelaskan bahwa fonem adalah satuan bunyi yang berfungsi sebagai
pembeda makna. Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat dismpulkan bahwa, Fonem
adalah satuan bunyi terkecil yang berfungsi untuk membedakan makna suatu kata. Definisi
ini memberikan perhatian pada perbedaan yang kontras antara kata yang satu dengan kata
yang lainnya, sehingga jika bunyi-bunyinya berbeda, maka jenis katanya pun berbeda.
Di dalam bahasa indonesia dijumpai bentuk-bentuk linguistik [palaŋ] ‘palang’. Bentuk ini
bisa dipisah menjadi lima bentuk linguistik yang lebih kecil, yaitu [p], [a], [l], [a], dan [ŋ].
Kelima bentuk itu linguistik ini (masing-masingnya) tidak mempunyai makna. Jika salah satu
bentuk linguistik terkecil tersebut (misalnya [p]) diganti dengan bentuk linguistik terkecil lain
(misalnya diganti [k], [t], [j], [m], [d], [g], maka makna bentuk linguistik yang lebih besar,
yaitu [palaŋ] akan berubah.
[kalaƞ] ’sangga’ [malaƞ] ‘celaka’
[talaƞ] ‘sejenis ikan [dalaƞ] ‘dalang’
[jalaƞ] ‘liar’ [galaƞ] ‘galang’
Berdasarkan bukti empiris tersebut diketahui bahwa bentuk linguistik terkecil [p]
berfungsi membedakan makna terhadap bentuk linguistik yang lebih besar, yaitu [palaŋ],
walaupun [p] sendiri tidak mempunyai makna. Bentuk linguistik terkecil yang berfungsi
membedakan makna itulah disebut fonem. Jadi, bunyi [p] adalah realisasi dari fonem /p.
Pengertian fonem juga bisa diarahkan pada distribusinya, yaitu perilaku bentuk linguistik
terkecil dalam bentuk linguistik yang lebih besar.
Perhatikan data bentuk-bentuk linguistik berikut.
[palaƞ] ‘palang’ [atap] ‘atap’
[pita] ’pita’ [sap’tu] ‘sabtu’
[sapu] ‘sapu’ [kap’sul] ‘kapsul’

Dari deretan bunyi di atas dapat diketahui bahwa bunyi stop bilabial tidak bersuara
(tercetak tebal) diucapkan secara berbeda. Pada deretan kiri diucapkan plosif, sedangkan
deretan kanan diucapkan implosif. Kedua jenis bunyi ini mempunyai kesamaan fonetis.
Setelah diamati, ternyata bunyi stop bilabial tidak bersuara diucapkan secara plosif apabila
menduduki posisi onset silaba (mendahului nuklus), sedangkan bunyi stop bilabial tidak
bersuara diucapkan secara implosif apabila menduduki posisi koda silaba (mengikuti nuklus).
Ini berarti, kedua bunyi tersebut berdistribusi komplemeter, yaitu bunyi yang satu tidak
pernah menduduki posisi bunyi lain. Bunyi-bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis dan
masing-masing berdistribusi komplementer merupakan alofon dari fonem yang sama, yaitu
/p/.
Dari uraian tersebut muncul pertanyaan bagaimana cara mengetahui bahwa kesatuan
bunyi terkecil tersebut dapat membedakan makna kata? Salah satu cara untuk mengetahui
sebuah bunyi itu adalah fonem atau bukan adalah dengan mencari pasangan minimal atau
minimal pair, yaitu dua buah bentuk kata yang bunyinya mirip dan hanya sedikit
berbeda. Menurut J.W.M Verhaar pasangan minimal adalah seperangkat kata yang sama
kecuali dalam hal satu bunyi saja, sedangkan menurut Edi Subroto pasangan minimal adalah
pasangan yang berupa kata tunggal atau akar dengan perbedaan sebuah unsur bunyi (vokoid
atau kontoid). Sebagai tanda penulisan fonem ditulis dalam tanda dua garis miring
sejajar /..../. Contoh misalnya dalam kata bahasa Indonesia :
/Laba/
/Raba/
Kedua kata itu sangat mirip. Masing-masing terdiri dari 4 buah bunyi yang pertama
mempunyai bunyi /L/, /a/, /b/, /a/, dan yang kedua mempunyai bunyi /r/, /a/, /b/ dan /a/.
Jika kita bandingkan:
/L/ /a/ /b/ /a/
/R/ /a/ /b/ /a/
Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama yaitu bunyi /l/ dan /r/ kesimpulannya
bahwa bunyi /l/ dan /r/ adalah dua buah fonem yang berbeda didalam bahasa Indonesia.
Contoh lain pada kata “baku” dan “bahu” yang masing-masing terdiri dari 2 buah bunyi maka
bunyi /k/ pada kata pertama dan bunyi /h/ pada kata ke 2 masing-masing adalah fonem yang
berlainan yaitu fonem /k/ dan /h/.
Jadi untuk membuktikan sebuah fonem atau bukan harus mencari pasangan
minimalnya. Kendalanya kadang-kadang pasangan minimal ini tidak mempunyai jumlah
bunyi yang persis sama, misalnya “muda” dengan “mudah”. Ini merupakan pasangan
minimal sebab tiadanya bunyi /h/ pada kata pertama dan adanya bunyi /h/ pada kata kedua
menyebabkan kedua kata itu berbeda-beda makna. Jadi bunyi /h/ adalah sebuah fonem.
Fonem pada bahasa Indonesia mempunyai beberapa macam lafal yang bergantung
pada tempat fonem dalam kata atau suku. Contoh : fonem /t/ apabila letaknya berada di awal
kata atau suku kata pertama, dilafalkan secara lepas. Misal, pada kata [to#pi], fonem /t/
dilafalkan lepas. Namun hal itu akan berbeda jika fonem /t/ berada di akhir kata, fonem /t/
tidak diucapkan lepas. Bibir kita masih tetap rapat tertutup saat mengucapkan bunyi, misal
pada kata [bu#lat], [sa#bit] dan [kom#plit].
Fonem dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yakni fonem vokal dan fonem
konsonan. Sedangkan kedua bagian tersebut (seperti yang terdapat pada urutan alfabetis)
dibedakan kembali menurut letak fonem tersebut. Selain itu fonem-fonem yang terdapat pada
bahasa Indonesia sudah mengalami beberapa bentuk integrasi dari bahasa asing. Sebagai
bentuk linguistik terkecil yang membedakan arti, wujud fonem tidak hanya berupa bunyi-
bunyi segmental (baik vokal maupun konsonan) tetapi juga bisa berupa unsur-unsur
suprasegmental (baik, nada, tekanan, durasi, dan jeda). Meskipun adanya unsur
suprasegmental ini, tidak dapat di lepaska dengan bunyi-bunyi segmental, selama itu dapat
dibuktikan dengan empiris sebagai unsur yang dapat membedakan arti, yang disebut fonem.
Dalam buku Tata Bahasa baku Bahasa Indonesia atau biasa kita sebut TBBI, Alwi
(1998:58) menyatakan bahwa bahasa Indonesia mempunyai enam buah variasi vokal.
Adapun gambaran vokal tersebut sebagai berikut.

Sedangkan untuk konsonan yang terdiri 21 huruf, dapat diklasifikasikan seperti yang
tergambar pada tabel di bawah ini.

B. Dasar Analisis Fonem


Wahab (1990, 13) menyatakan bahwa, fonemik adalah sub cabang linguistik yang
menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dapat membedakan arti. Pike (dalam Wahab,
1990) menyatakan bahwa, fonemik memberikan teknik untuk memroses data fonetik yang
masih kasar untuk memeroleh kesatuan bunyi yang signifikan dan kemudian
melambangkannya ke dalam suatu alfabet yang mudah dibaca oleh penuturnya. Sehingga hal
inilah yang menjadi tujuan dari dasar analisis fonem itu sendiri, yakni agar dapat memproses
data fonetik sehingga dapat memperoleh hasil berupa kesatuan bunyi yang signifikan.
Pada analisis fonem tentunya akan terdapat dasar bagaimana analisis tersebut dapat
dilakukan. Dasar analisis suatu fonem sendiri adalah dengan menggunakan pokok-pokok
pikiran yang menjadi pedoman atau suatu pegangan dalam melakukannya. Pokok pikiran atau
dapat juga disebut dengan premis yang menjelaskan persoalan bunyi ini akan dijelaskan
dalam bentuk sebuah uraian serta pernyataan yang biasa. Menurut pendapat Pike (dalam
Wahab, 1990) prosedur suatu fonemik harus dilandasi oleh premis-premis yang berkaitan
dengan ciri universal yang mendasari bahasa-bahasa di dunia ini walaupun konklusi yang
diperoleh dari prosedur itu ternyata secara teknik dan praktik kurang memadai. Maka
berdasarkan pendapatnya pula, menurut Pike terdapat empat premis pokok yang akan
menjadi dasar dalam analisis suatu fonem, di antaranya:
1. Bunyi Suatu Bahasa Memiliki Kecenderungan yang Dipengaruhi oleh
Lingkungannya
Hal ini berasal dari suara nasal pada bunyi akhir berawalan meN(asal) ternyata
dapat berubah-ubah, maka tentu saja hal ini bergantung pada bagaimana bunyi awal
kata yang diberi awalan itu. Contohnya, pada bunyi nasal tersebut dapat menjadi
bilabial apabila bunyi berikutnya juga merupakan bilaibial. Maka, meN(asal)
ditambah bagi sama dengan membagi. Sedangkan suatu kata akan menjadi alveolar
apabila bunyi berikutnya juga merupakan alveolar. Maka meN(asal) ditambah dorong
sama dengan mendorong.
Kemudian premis juga dapat dibuktikan pada deretan bunyi bahasa Indonesia,
di antaranya sebagai berikut:
[nt]      pada    [tinta]              dan      [ṇḍ]     pada    [tuṇḍa]
[mp]     pada    [mampu]          dan      [mb]     pada    [kɘmbar]
[ñc]      pada    [piñcaη]           dan      [ñj]       pada    [pañjaη]
Deretan bunyi yang terdapat pada contoh tersebut adalah saling
mempengaruhi serta saling menyesuaikan antara satu dengan lainnya, hal ini agar
dapat memudahkan pengucapan. Kemudian pada deretan bunyi tersebut juga terdapat
kesamaan fonetis. Bunyi [n], [t], dan [d] adalah sama-sama bunyi dental, bunyi [m],
[p], dan [b] merupakan bunyi bilabial, kemudian bunyi [n], [c], dan [j] sama-sama
bunyi palatal.

2. Sistem Bunyi Bahasa Memiliki Suatu Tendensi Kesimetrikan Fonetik


Berdasarkan hal ini diketahui bahwa apabila pada suatu bahasa tertentu
ditemukan fonem /p/,/k/,/b/, dan /d/, dalam suatu analisis fonologis, maka dapat
dicurigai bahwa bahasa tersebut mungkin memiliki fonem /g/. Begitu pula apabila
dalam analisis fonologis suatu bahasa, ditemukan fonem /p/, /k/, /b/, /d/, /g/, maka
pada prinsip simetri akan dapat menemukan/meramalkan adanya fonem /t/ pada
bahasa tersebut.
Penjelasan selanjutnya adalah pada kesimetrian suatu bunyi bahasa dapat
dilihat bahwa selain adanya bunyi hambat bilabial [p] dan [b] juga akan terdapa nasal
bilabial [m]. Selain itu, juga terdapat bunyi hambat dental [t] dan [d] serta bahasa
nasal dental [n]. Hal ini dapat juga ditemukan apabila menemukan fonem yang ada
kaitannya pada bunyi bahasa yang dianalisis.

3. Bunyi Bahasa Memiliki Kecenderungan untuk Naik Turun


Hal ini didasarkan pada kemampuan serta sifat pada organ tutur manusia yang
terbatas, hal ini menyebabkan organ tersebut tidak dapat mengulangi pengucapan
tepat yang sama. Apabila hal ini dihitung dan dianalisis secara matematis akustis
kebenaran pernyataan ini dapat diujikan pada alat pengukur bunyi yang bernama
spectrograph. Maka berdasarkan hal tersebut akan dapat diketahui bahwa organ tutur
manusia bersifat terbatas begitu juga bunyi yang dapat dihasilkannya.
Kemudian naik turunnya bunyi bahasa atau dapat disebut juga dengan
fluktuasi adalah keadaan yang tidak tetap/tidak stabil, hal ini disebabkan karena
keterbatasan pada organ tutur manusia sehingga menyebabkan bunyi bahasa yang
tidak senantiasa stabil. Hal ini seringkali dialami oleh para penutur bahasa, akan tetapi
masih dalam batas yang wajar sehingga tidak sampai membedakan makna. Misal
untuk makna yang sama, selain [papaya] juga diucapkan [pәpaya].

4. Serangkaian Khas Bunyi dalam Suatu Bahasa dapat Memberikan Tekanan


Struktural
Serangkaian bunyi bahasa dalam suatu bahasa dapat memberikan tekanan
struktural pada interpretasi serentetan segmen yang dicurigai. Hal ini disebabkan
karena terdapat kemiripan pada pengucapan bunyi tersebut, sehingga dapat
menimbulkan kecurigaan/perkiraan lain sebelum pengucapannya. Sedangkan maksud
dari tekanan struktural di sini adalah faktor-faktor yang dapat memberikan tekanan
pada suatu bunyi, sehingga memberikan kekhasan pada bunyi tersebut. Misalnya,
pada deretan bunyi u dan e dapat dianggap sebagai diftong ue atau semivokal w.
Contoh lainnya adalah deretan bunyi I dan e atau dapat ditafsirkan sebagai ie atau
konsonan y.

C. Prosedur Analisis Fonem


Setelah pembahasan dari dasar-dasar untuk menganalisis bunyi pada fonem,
kemudian langsung penerapan menganalisis fonem yang juga terdapat prosedur untuk
menganalisisnya. Ditemukan banyak berbagai macam variasi, cara, atau langkah-langkah
terhadap analisis fonem yang dilakukan oleh para ahli linguis di dalam suatu bahasa yang
diteliti maupun dikaji. Namun, dari sekian beberapa prosedur untuk analisis fonem, berikut
prosedur yang sudah sering digunakan untuk analisis fonem karena dianggap lebih mudah
dan praktis.
1. Mencatat korpus data dengan benar dalam transkripsi fonetis.
Sebelum menindaklanjuti prosedur yang nomor satu, terdapat yang namanya korpus.
Menurut Husnton (2002:2) yang berdasarkan bentuk dan tujuannya telah mendifinisikan,
sebagai sekumpulan beberapa contoh bahasa alami, yang terdiri dari satu serangkaian sebuah
teks yang tertulis maupun rekaman-rekaman suara yang telah dikumpulkan dengan tujuan
untuk mengkaji ilmu linguistik. Pada korpus data ini, bisa dari pengucapan kata-kata yang
terpisah oleh penutur asli bahasa yang diteliti, juga bisa dari interaksi sehari-hari dengan
sesama individu, maupun saling bertukar pikiran seperti cerita pribadi.
Berikut di bawah ini, pencatatan dengan menggunakan transkrip fonetis yang sudah diyakini
benar, seadanya, tidak dibuat-buat, dan hasil ini diperoleh dari korpus data yang representatif.
Contoh:
1) [#pa+pan#] ‘papan’
2) [#ra+tap’#] ‘ratap’
3) [#pi+kīr#] ‘fikir’
4) [#pa+pa+ya#] ‘pepaya’
5) [#fa+mi+li#] ‘fàmili’
6) [#pa+sar#] ‘pasar’
7) [#kə+lap+kə+lip#] ‘kelap-kelip’
8) [#ku+ku#] ‘kuku’
9) [#fi+kīr#] ‘fikir’
10) [#pa+mi+li#] ‘famili’
11) [#kɛ+mah#] ‘kemah’
12) [#bə+sar#] ‘besar’
13) [#si+pať#] ‘sifat’
14) [#kɛ+cap’#] ‘kecap’
15) [#pa+ham#] ‘faham’
16) [#pə+pa+ya#] ‘pepaya’
17) [#tap’+tu#] ‘taptu’
18) [#ki+cap’#] ‘kicap’
19) [#si+fat#] ‘sifat’
20) [#fa+ham#] ‘faham’
21) [#kO+ta#] ‘kota’

2. Mencatat bunyi fonem yang ada di dalam korpus data ke dalam bentuk peta
bunyi.

A. Bunyi Vokoid

Depan Tengah Belakang


Tinggi i u
Agak Tinggi ə
Agak Rendah ɛ O
Rendah a

B. Bunyi Kontoid

bilab Lab Api Apik Apik La Me Dor Uvu Lari Fari Glo
ial io ko o o min dio so lar ngal ngal tal
dent dent alve palat o pala vela
al al olar al alve tal r
olar
Ha B b d d g ?
mb
at
TB p t ţ k
Pa B j
du
an
TB c
Ge B v θ z
ser
an
TB f ð s h h
Ge B r ŗ R
tar
TB
Lat B L
era
l
TB
Na B m n ň ŋ
sal
Se TB w y
mi
vo
kal

3. Memasangkan bunyi-bunyi yang dicurigai karena memiliki kesamaan secara


fonetis.
Pada bunyi-bunyi tersebut dikatakan memiliki kesamaan fonetis, jikalau bunyi bunyi itu
ada di dalam deret kolom tabel yang sama, atau pada lajur serta kolom yang sama. Seperti
halnya berikut di bawah ini.
1) [p]-[p’]
2) [p]-[b]
3) [t]-[t’]
4) [t]-[d]
5) [l]-[r]
6) [k]-[k]
7) [m]-[n]
8) [a]-[O]
9) [i]-[u]

4. Mencatat bunyi-bunyi yang selebihnya, sebab tidak mempunyai kesamaan


secara fonetis.
Dari sekian beberapa bunyi-bunyi yang sudah tercantum dengan kesamaan bunyi secara
fonetis sebelumnya, setelah itu berikut bunyi-bunyi yang tidak memiliki kesamaan bunyi
secara fonetis ialah bunyi, [s], [c], dan bunyi [h].
5. Mencatat bunyi-bunyi yang mendistribusi secara komplementer.
Berdasarkan korpus sebelumnya yang di atas tadi, berikut pasangan bunyi yang
berdistribusi secara komplementer ialah bunyi [p] dan [p’].
a. [p]
[#pa+pan#] ‘papan’
[#pi+kīr#] ‘fikir’
b. [p’]
[#ra+tap’#] ‘ratap’
[#kɛ+cap’#] ‘kecap’
Jadi jika diperhatikan, ketika bunyi-bunyi yang berdistribusi secara komplementer, maka
masing-masing dari bunyi tersebut bagaimanakah distribusinya?
Ternyata: [p] sebagai onset silaba
[p’] sebagai koda silaba
Jadi, [p] dan [p’] merupakan alofon dari fonem yang sama, yakni /p/.
6. Mencatat bunyi-bunyi yang bervariasi bebas.
Golongan 1 golongan 2 golongan 2
1) [#pa+pan#] 3) [#pi+kīr#] 9) [#fi+kīr#]
Jika bunyi [p] dan [f] bisa bervariasi bebas, maka bagaimanakah kondisinya?
Ternyata: bunyi [f] sebagai onset silaba di dalam kata pada golongan 2, kemudian bunyi [p]
sebagai koda silaba yang bervariasi bebas dengan [f] di dalam kata-kata pada golongan 2
Simpulan: bunyi [p] sebagai onset silaba yang ada pada golongan 1, dan bunyi [p] serta [f]
merupakan alofon dari fonem yang sama, pada kata yang ada dalam golongan yakni fonem
/p/.
7. Mencatat bunyi-bunyi yang kontras secara dalam ruang lingkup yang sama
(identis).
Berdasarkan dari hasil pemaparan korpus di atas, bahwa pada bunyi [a] dan [e] begitu
kontras terhadap lingkungan yang sama, seperti halnya berikut di bawah ini.
(1) [#pa+sar#] ‘pasar’
(2) [#bə+sar#] ‘besar’

Jadi hasil lingkungan yang mirip ialah [#p…+sar#] dan [#b…+sar#]

8. Mencatat bunyi-bunyi secara kontras dalam ruang lingkup yang mirip


(analogis).
Berdasarkan dari hasil pemaparan korpus di atas, bahwa pada bunyi [ɛ]dan [i] begitu
saling berkontras secara lingkungan yang mirip, seperti halnya berikut di bawah ini.
(1) [#kɛ+cap’#] ‘kecap’
(2) [#ki+cap’#] ‘kicap’
Jadi hasil lingkungan identitasnya ialah [#k…+cap’#]
Maka dari itu bunyi [ɛ] dan [i] merupakan alofon dan fonem yang memang berbeda.
9. Mencatat bunyi-bunyi yang berubah dikarenakan oleh lingkungannya.
Berdasarkan dari hasil pemaparan korpus di atas, bahwa pada bunyi [k] dan [k] diprediksi
bisa terjadi perubahan karena lingkungannya, seperti halnya di bawah ini.
Pada bunyi [k]: plosif, velar mati [k]: palatal mati.
(1) [#kə+lap+kə+lip#] ‘kelap-kelip’ (3) [#pi+kīr#] ‘fikir’
(2) [#ku+ku#] ‘kuku’ (4) [#fi+kīr#] ‘fikir’
Ternyata: pada bunyi [k] apabila diikuti dari vokoid yang di belakang. Dan pada bunyi [k]
apabila diikuti diikuti dari vokoid yang di depan.
10. Mencatat bunyi-bunyi yang ada dalam invenori fonetis dan fonemis, serta lebih
dominan menyebar secara simetris.
Sudah diketahui sebelumnya bahwa langkah-langkah pada poin nomor lima yakni bunyi
[p] dan [p’] merupakan alofon dari fonem yang sama, yaitu /p/, karena kedua bunyi yang
secara sefonis tersebut berdistribusi komplementer. Maka dari itu hasilnya berdasarkan
premis kesimetrisan dari bunyi [t] dan [t’] yang semestinya juga merupakan alofon dari
fonem /t/. Berikut di bawah ini adalah bukti yang berdasarkan dari hasil pemaparan korpus
data di atas
[t] [t’]
(1) [#ra+tap’#] ‘ratap’ (4) [#si+pať#] ‘sifat’
(2) [#tap’+tu#] ‘taptu’ (5) [#si+fat#] ‘sifat’
(3) [#kO+ta#] ‘kota’
Terbukti: pada bunyi [t] sebagai onset silaba.
pada bunyi [t’] sebagai koda silaba.
Simpulan: maka dengan demikian, pada bunyi [t] dan [t’] merupakan alofon dari fonem yang
sama, yakni fonem /t/.
11. Mencatat bunyi-bunyi yang berfluktuasi.
Sudah diketahui sebelumnya bahwa langkah-langkah pada poin nomor delapan yakni
bunyi [a] dan [e] adalah alofon dari dua fonem yang memang berbeda, seperti halnya di
bawah ini.
(1) [#pa+pa+ya#] ‘papaya’
(2) [#pə+pa+ya#] ‘pepaya’
Maka dari itu, pada kedua bunyi yang ada di dalam korpus di atas tadi dianggap sebagai
bunyi yang berfluktuasi. Jadi pada bunyi [a] dan [ə] adalah alofon dari fonem yang memang
sama.
12. Mencatat bunyi-bunyi yang secara selebihnya sebagai dari fonem tersendiri.
Pada langkah terakhir prosedur analisis fonem ini, yakni mencatat bunyi-bunyi yang
selebihnya berdasarkan dari hasil pemaparan korpus data di atas ialah bunyi [s], [c], dan [h].
Dan juga bunyi-bunyi tersebut telah dianggap sebagai fonem tersendiri, yakni /s/, /c/, dan /h/.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia . Jakarta: Rineka Cipta.
Muslich, Masnur. 2007. Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif sistem Bunyi
Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara,
Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Verhaar, J. W. M. 1981. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Alwi, Hasan dkk. (1998). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi kedua. Jakarta: Balai
Pustaka.
Bloomfield, Leonard. (1961). Language: Bahasa. (terjemahan: I. Soetikno).
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Pike, Kenneth L. (1947). Phonemics A technique for Reducing Languages to Writing. Ann
Arbor: University of Michigan Press.
Triadi, Ria Bagus dan Ratna Juwitasari E. 2021. Fonologi Bahasa Indonesia. Tangerang
Selatan, Banten, Unpam Press. (online)
http://eprints.unpam.ac.id/8977/1/SIN0072_FONOLOGI%20BAHASA
%20INDONESIA-full.pdf
Kuntarto, E. 2017. Modul 1 Dasar-Dasar Telaah Linguistik untuk Guru Bahasa.
Hlm. 1-39. Universitas Jambi.
Wulandari, I., Fitriana, F., dkk. 2017. Fonologi (Fonem, Dasar-Dasar Analisis
dan Prosedur Analisis Fonem). Hlm. 1-10. Universitas Brawijaya.

Anda mungkin juga menyukai