Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

FONOLOGI FONEMIK : FONEM, DASAR DAN


PROSEDUR ANALISIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fonologi


Dosen Pengampu: Drs. Waway Tiswaya, M.Hum.

Disusun oleh :

Rika Yuniarti (180110220092)

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2023

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fonemik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa dengan
memperhatikan apakah bunyi tesebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau
tidak. Sebagai mana diketahui bahwa fonemik sacara fungsional dipertentangkan dengan
fonetik, karena fonemik mengkhususkan perhatianya pada makna yang ditimbulkan oleh
sebuah bunyi bahasa ketika dituturkan sedangkan fonetik hanya memfokuskan
bagaimana bunyi bahasa dapat dituturkan secara benar baik dari segi cara maupun dari
segi tempat artikulasinya.
Dalam bidang fonemik kita akan mempelajari tentang perbedaan makna yang
ditimbulkan oleh perbedaan cara penuturan dalam suatu bunyi bahasa. Hal ini sangat
penting karena dalam pembelajaran bahasa khususnya bahasa Indonesia kita akan
dihadapkan pada berbagai masalah bunyi-bunyi bahasa yang secara sepintas sama akan
tetapi sangat berbeda dari segi makna yang ditimbulkannya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Jelaskan yang dimaksud dengan Fonem dan jenisnya?
1.2.2 Jelaskan dasar-dasar analisis Fonem?
1.2.3 Jelaskan prosedur analisi Fonem?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Memahami mengenai Fonem dan jenisnya
1.3.2 Memahami dasar-dasar analisis Fonem
1.3.3 Memahami prosedur analisis Fonem

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI FONEM DAN JENISNYA

Dalam suatu susunan bahasa terdapat bagian-bagian terkecil yang fungsional,


salah satunya yaitu Fonem. Sebelum mengetahui definisi dari fonem itu sendiri,
kita harusmengetahui terlebih dahulu pengertian dari fonemik. Sehingga, tidak salah
dalammengartikan antara fonemik dan fonem. Fonemik adalah kajian atau analisis bahasa
denganmemperhatikan statusnya untuk membedakan makna. Sedangkan fonem adalah satuan
bunyiterkecil yang menjadi objek kajian fonemik itu sendiri.Banyak pakar ahli bahasa
yang berpendapat tentang pengertian fonem. MenurutAbdul Chaer, 2009 fonem adalah
satu kesatuan bunyi terkecil yang dapat membedakan artisuatu kata. Dari definisi yang
disampaikan Chaer dapat disimpulkan bahwa jika kata tidakdapat membedakan arti suatu kata
maka bukan disebut fonem.
Menurut Masnur Muchlis,2007 fonem adalah kesatuan bunyi terkecil
suatu bahasa yang memiliki fungsi untukmembedakan makna. Pendapat ini tidak jauh
berbeda dengan pendapat Chaer. Sedangkan,Samsuri, 1987 menyatakan bahwa fonem adalah
bunyi-bunyi yang dapat membedakan arti.Menurut Harimurti Kridalaksana, 2001
meyampaikan hal yang berbeda bahwa fonem merupakan satuan bunyi terkecil yang
mampu menunjukkan kontras makna.
Kenneth L. Pike (1947:63) menyatakan bahwa fonem adalah salah satu unsur
bunyiyang penting yang menunjukan kontras makna. Sedangkan L Bloomfield (1961:79)
dalampernyataannya menjelaskan bahwa fonem adalah satuan bunyi yang berfungsi
sebagaipembeda suatu arti. Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwafonem adalah satuan bunyi terkecil yang memiliki fungsi untuk
membedakan arti sebuahkata. Pengertian ini memberikan bukti bahwa terdapat perbedaan
yang kontras antar katayang satu dengan lainnya. Sehingga apabila bunyi-bunyi bahasa itu
berbeda, maka otomatisjenis katanya pun berbeda.
Dalam bahasa indonesia banyak ditemui bentuk-bentuk linguistik seperti kata [palaŋ]‘palang’.
Bentuk ini bisa dibagi menjadi lima bentuk linguistik yang lebih kecil lagi, yaitu[p], [a], [l], [a],
dan [ŋ]. Kelima bentuk linguistik ini tidak mempunyai arti jika salah satubentuk linguistik
terkecil tersebut (misalnya [p]) diganti dengan bentuk linguistik terkecil lain(misalnya diganti
[k], [t], [j], [m], [d], [g], maka arti dari bentuk linguistik kata [palaŋ] akanmengalami
perubahan. Seperti contoh dalam kata berikut :

[kala ƞ ] ’sangga’ [mala ƞ ] ‘celaka’


[tala ƞ ] ‘sejenis ikan [dala ƞ ] ‘pembawa cerita wayang’
[jala ƞ ] ‘liar’ [gala ƞ] ‘nama orang’

Berdasarkan contoh diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk linguistik


terkecil [p]memiliki fungsi untuk membedakan sebuah arti terhadap bentuk linguistik yang
lebih besar,yaitu [palaŋ], walaupun [p] jika berdiri sendiri tidak dapat memberikan arti. Bentuk
linguistikterkecil yang berfungsi membedakan makna inilah yang disebut dengan fonem. Jadi,
bunyi[p] adalah realisasi dari fonem /p/. Pengertian fonem juga bisa diketahui dari
distribusinya,yaitu perilaku bentuk linguistik terkecil dalam bentuk linguistik yang lebih besar.
Perhatikandata bentuk-bentuk linguistik berikut :

[pala ƞ ] ‘palang’ [atap]‘atap’


[pita] ’pita’ [sap’tu]‘sabtu’
[sapu] ‘sapu’ [kap’sul] ‘kapsul’

Dari data bunyi tersebut dapat diketahui bahwa bunyi stop bilabial tidak bersuara ataubercetak
tebal diucapkan secara berbeda. Pada deretan kiri diucapkan secara plosif
ataubunyi letupan, sedangkan deretan kanan diucapkan secara implosif atau tidak
menghasilkanbunyi letupan. Kedua jenis bunyi ini walaupun cara pengucapannya bertbeda
namun memilikipersamaan secara fonetis. Setelah dianalisis lebih dalam, dapat dijelaskan
bahwa bunyi stop bilabial tidak bersuara diucapkan secara plosif atau berupa bunyi letupan jika
mendudukiposisi onset silaba yang mendahului nukleus, sedangkan bunyi stop bilabial tidak
bersuaradiucapkan secara implosif jika menduduki posisi koda silaba yang mengikuti nukleus.
Hal inimemiliki arti bahwa kedua bunyi tersebut berdistribusi komplementer, yaitu bunyi yang
satutidak pernah menduduki posisi bunyi yang lain. Bunyi-bunyi yang mempunyai
kesamaansecara fonetis dan masing-masing berdistribusi komplementer dapat dikatakan sebagai
alofondari fonem yang sama, yaitu /p/.
Banyak cara untuk mengetahui apakah sebuah bunyi termasuk kedalam fonem ataubukan
adalah dengan mencari pasangan minimal atau minimal pair, yaitu dua buah bentukkata yang
memiliki kemiripan bunyi dan hanya memiliki sedikit perbedaan. Menurut J.W.M Verhaar,
1981 pasangan minimal adalah seperangkat kata yang sama, kecuali dalam hal satubunyi saja.
Penulisan fonem ditulis dengan tanda dua garis miring sejajar /..../. Contoh misalnya dalam
kata bahasa Indonesia :

/Laba/
/Raba/

Kedua kata tersebut memiliki kemiripan. Masing-masing terdiri dari 4 buah bunyi yang pertama
mempunyai bunyi /l/, /a/, /b/, /a/, dan yang kedua mempunyai bunyi /r/, /a/, /b/ dan/a/. Jika kita
amati dan dibandingkan :
/L/ /a/ /b/ /a/
/R/ /a/ /b/ /a/

Dari contoh diatas terlihat perbedaan yang terletak pada bunyi pertama yaitu bunyi
/l/dan /r/ sehingga bunyi /l/ dan /r/ dapat disebut sebagai dua buah fonem yang berbeda didalam
bahasa Indonesia. Contoh lain pada kata “batu” dan “bahu” yang masing-masing terdiri dari
2buah bunyi maka bunyi /t/ pada kata pertama dan bunyi /h/ pada kata ke 2
masingmasingadalah fonem yang berlainan yaitu fonem /t/ dan /h/.

Permasalahan dari penggunaan pasangan minimal ini terkadang tidak


mempunyaijumlah bunyi yang sama persis, misalnya “muda” dengan “mudah”. Ini merupakan
pasangan minimal sebab tiadanya bunyi /h/ pada kata pertama dan adanya bunyi /h/ pada kata
keduamenyebabkan kedua kata ini mempunyai perbedaan makna. Cara lain dalam
menentukanapakah kata itu termasuk fonem atau bukan dengan penafsiran ekafonem dan
dwifonem. Ataudapat juga dengan menggunakan cara memperhatikan variasi alofonemisnya.
Fonem pada bahasa Indonesia memiliki jumlah jenis lafal yang terikat oleh tempatfonem pada
suatu kata atau suku. Misalnya : fonem /t/ jika posisinya ada di awal kata atausuku kata
pertama, diucapkan secara bebas. Misal, pada kata [to#pi], fonem /t/ diucapkansecara bebas.
Tapi, misal tersebut hendak berselisih apabila fonem /t/ berada di akhir kata,seperti pada kata
[pa#hit] fonem /t/ tidak diucapkan secara bebas.

Fonem dapat dibagi menjadi dua bagian yakni fonem vokal dan fonem konsonan.
Sementara itu, kedua anggota itu seperti yang terletak di rangkaian alfabetis bisa
dibedakankembali berdasarkan posisi fonem itu. Selanjutnya fonem-fonem yang
berada di bahasaIndonesia sudah mencapai jumlah wujud integrasi atau penyatuan dari
bahasa asing. Sebagaiwujud linguistik terkecil yang melainkan definisi, wujud fonem
tidak sekadar berwujudbunyi-bunyi segmental baik vokal ataupun konsonan, tapi
bisa juga seperti unsur-unsursuprasegmental mau itu berupa nada, tekanan, durasi
ataupun jeda. Meskipun ada unsursuprasegmental ini, unsur, tidak dapat dilepas oleh
bunyi-bunyi segmental, sewaktu itu dapatdipastikan dengan empiris sebagai unsur yang dapat
membedakan arti, yang berarti fonem.

2.2 DASAR-DASAR ANALISIS FONEM

Wahab (1990, 13) menyatakan bahwa, fonemik adalah bagian cabang dari linguistik
yang menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dapat membedakan arti. Pike (dalam
Wahab, 1990) menyatakan bahwa, fonemik memberikan teknik untuk memroses data
fonetik yang masih kasar untuk memeroleh kesatuan bunyi yang signifikan dan
kemudian melambangkannya ke dalam suatu alfabet yang mudah dibaca oleh penuturnya.
Sehingga halinilah yang menjadi tujuan dari dasar analisis fonem itu sendiri, yakni agar
dapat memproses data fonetik sehingga dapat memperoleh hasil berupa kesatuan bunyi
yang signifikan. Pada analisis fonem tentunya akan terdapat dasar bagaimana analisis
tersebut dapatdilakukan. Dasar analisis suatu fonem sendiri adalah dengan
menggunakan pokok-pokok pikiran yang menjadi pedoman atau suatu pegangan dalam
melakukannya. Pokok pikiran atau dapat juga disebut dengan premis yang
menjelaskan persoalan bunyi ini akan dijelaskan dalam bentuk sebuah uraian serta
pernyataan yang biasa. Menurut pendapat Pike (dalam Wahab, 1990) prosedur suatu
fonemik harus dilandasi oleh premis-premis yang berkaitan dengan ciri universal yang
mendasari bahasa-bahasa di dunia ini walaupun konklusi yangdiperoleh dari prosedur
itu ternyata secara teknik dan praktik kurang memadai. Maka berdasarkan pendapatnya
pula, menurut Pike terdapat lima premis pokok yang akan menjadi dasar dalam analisis
suatu fonem. Pokok pikiran atau premis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
2.2.1 Bunyi-Bunyi Suatu Bahasa Cenderung Dipengaruhi oleh lingkungannya

Hal ini berasal dari suara nasal pada bunyi akhir berawalan meN(asal) ternyata
dapatberubahubah, maka tentu saja hal ini bergantung pada bagaimana bunyi awal kata yangdiberi
awalan itu. Contohnya, pada bunyi nasal tersebut dapat menjadi bilabial apabila bunyiberikutnya juga
merupakan bilabial. Maka, meN(asal) ditambah bagi sama dengan membagi.Sedangkan suatu kata akan
menjadi alveolar apabila bunyi berikutnya juga merupakanalveolar. Maka meN(asal) ditambah dorong
sama dengan mendorong. Kemudian premis jugadapat dibuktikan pada deretan bunyi bahasa Indonesia,
di antaranya sebagai berikut:
[nt] pada [tinta] dan [ṇḍ] pada [tuṇḍa]
[mp] pada [mampu] dan [mb] pada [kәmbar]
[ñc] pada [piñcaƞ] dan [ƞg] pada [taƞga]
[ƞk] pada [nanka] dan [ñj] pada [panjaƞ]

Deretan bunyi yang terdapat pada contoh tersebut adalah saling mempengaruhi serta Saling
menyesuaikan antara satu dengan lainnya, hal ini agar dapat memudahkan pengucapan.Selanjutnya pada
deretan bunyi tersebut juga terdapat kesamaan fonetis, yaitu [n], [t], dan [d]adalah sama-sama bunyi
dental, bunyi [m], [p], dan [b] merupakan bunyi bilabial, kemudianbunyi [n], [c], dan [j] sama-sama
bunyi palataL.
2.2.2 Sistem Bunyi Suatu Bahasa Berkecenderungan Bersifat Simetris

Berdasarkan hal ini diketahui bahwa apabila pada suatu bahasa tertentu
ditemukanfonem /p/,/k/,/b/, dan /d/, dalam suatu analisis fonologis, maka dapat dicurigai
bahwa bahasatersebut mungkin memiliki fonem /g/. Begitu pula apabila dalam analisis
fonologis suatubahasa, ditemukan fonem /p/, /k/, /b/, /d/, /g/, maka pada prinsip
simetri akan dapatmenemukan/meramalkan adanya fonem /t/ pada bahasa tersebut.
Penjelasan selanjutnya adalah pada kesimetrisan suatu bunyi bahasa dapat dilihat
bahwaselain adanya bunyi hambat bilabial [p] dan [b] juga akan terdapat nasal bilabial [m].
Selainitu, juga terdapat bunyi hambat dental [t] dan [d] serta bahasa nasal dental [n]. Hal ini
dapatjuga ditemukan apabila menemukan fonem yang ada kaitannya pada bunyi
bahasa yangdianalisis.
Kesimetrisan sistem bunyi ini bisa dilihat pada bunyi-bunyi bahasa Indonesia
berikut.Selain ada bunyi hambat bilabial[p]dan [b],juga ada nasal bilabial[m].Selain ada
bunyi hambat dental[t] dan [d],juga ada bahasa nasal dental [n].Pemikiran pola simetris ini
bisa dikembangkan pada sistem bunyi lain ketika menemukan fonem-fonem yang
menyangkut bunyi-bunyi bahasa yang diteliti,baik pola-pola atau sistem pengucapan
maupun pola-pola atau sistem fonemnya.

2.2.3 Bunyi-Bunyi Suatu Bahasa Cenderung Berfluktuasi


Gejala fluktuasi bunyi ini sering dilakukan penutur bahasa,tetapi dalam batas-batas wajar,yaitu
tidak sampai membedakan makna.
Contoh: Untuk makna yang sama,selain [papaya]juga diucapkan[pәpaya],selain [sәkadar]
juga diucapkan [sәkәdar].

2.2.4 Bunyi-Bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis digolongkan tidak berkontras


apabila berdistribusi komplementer dan atau bervariasi bebas.

Tidak berkontras adalah tidak membedakan makna.bunyi-bunyi dikatakan berdistribusi


komplementer apabila bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis itu saling mengekslusifkan.
Contoh:Bunyi [k]dan [?]adalah bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis.Dalam bahasa
indonesia,kedua bunyi itu saling mengekslusifkan.bunyi [k]tak pernah menduduki
posisi[?]dan bunyi[?]tak pernah menduduki

2.2.5 Bunyi-bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis digolongkan ke

Dalam fonem yang berbeda apabila berkontras dalam lingkungan yang sama atau
mirip. Mengetahui kontras tidaknya bunyi-bunyi suatu bahasa dilakukan dengan cara
pasangan minimal,yaitu penjajaran dua atau lebih bentuk bahasa terkecil dan bermakna
dalam bahasa tertentu yang secara ideal(berbunyi)sama,kecuali satu bunyi yang berbeda.
Contoh:[tari] -[dari]
[paku]-[baku]

2.3 PROSEDUR ANALISIS FONEM


Prosedur yang dilakukan para linguis dalam analisis fonem:

2.3.1 Mencatat korpus data setepat mungkin dalam transkripsi fonetis


Menurut Husnton (2002:2) berdasarkan bentuk dan tujuannya telah mendifinisikan,
sebagai sekumpulan beberapa contoh bahasa alami, yang terdiri dari satu serangkaian sebuah
teks yang tertulis maupun rekaman-rekaman suara yang telah dikumpulkan dengan tujuan
untuk mengkaji ilmu linguistik. Pada korpus data ini, bisa dari pengucapan kata-kata yang
terpisah oleh penutur asli bahasa yang diteliti, juga bisa dari interaksi sehari-hari dengan
sesama individu, maupun saling bertukar pikiran seperti cerita pribadi. Berikut di bawah ini,
pencatatan dengan menggunakan transkrip fonetis yang sudah diyakini benar, seadanya,
tidakdibuat-buat, dan hasil ini diperoleh dari korpus data yang representatif. Korpus data ini
bisa dari ucapan kata-kata terpisah dari penutur asli bahasa yang diteliti,percakapan
seharihari,cerita –cerita pribadi.

Contoh:

1) [pa+pan] ‘papan’
2) [ra+tap’ ] ‘ratap’
3) [pi+kīr] ‘fikir’
4) [pa+pa+ya] ‘pepaya’
5) [fa+mi+li] ‘fàmili’
6) [pa+sar] ‘pasar’
7) [kә+lap+kә+lip] ‘kelap-kelip’
8) [ku+ku] ‘kuku’
9) [fi+kīr] ‘fikir’
10) [kɛ +mah] ‘kemah’
11) [bә+sar] ‘besar’
12) [si+pat’] ‘sifat’
13) [kɛ +cap’] ‘kecap’
14) [pa+ham] ‘faham’
15) [pә+pa+ya] ‘pepaya’
16) [tap+tu] ‘taptu’
17) [ki+cap’] ‘kicap’
18) [si+fat’] ‘sifat’
19) [fa+ham] ‘faham’
20) [kO+ta] ‘kota

2.3.2 Mencatat bunyi yang ada dalam korpus data ke dalam peta bunyi.
Depan Tengah Belakang
Tinggi I U Agak
Tinggi I ә
Agak Rendah ԑ O
Rendah a

2.3.3 Memasangkan bunyi-bunyi yang dicurigai karena mempunyai kesamaan fonetis.

Bunyi-bunyi dikatakan mempunyai kesamaan fonetis apabila bunyi-bunyi tersebut terdapat


pada lajur sama,kolam sama atau pada lajur dan kolam yang sama. Contoh:
1) [p]-[p’]
2) [p]-[b]
3) [t]-[t’]
4) [t]-[d]
5) [l]-[r]
6) [k]-[k]
7) [m]-[n]
8) [a]-[O]
9) [i]-[u]
2.3.4 Mencatat bunyi-bunyi selebihnya karena tidak mempunyai kesamaaan fonetis.
Dari sekian beberapa bunyi-bunyi yang sudah tercantum dengan kesamaan bunyi
secara fonetis sebelumnya, setelah itu berikut bunyi-bunyi yang tidak memiliki
kesamaan bunyi secara fonetis ialah bunyi, [s], [c], dan bunyi [h].

2.3.5 Mencatat bunyi-bunyi yang berdistribusi komplementer.


Berdasarkan korpus di atas,pasangan bunyi yang berdistribusi komplementer
adalah [p] dan [p’]

[p] [p’]
1) [pa+pan] ‘papan’
2) [ra+tap’] ‘ratap’
3) [pi+kīr] ‘fikir’
4) [kɛ+cap’] ‘kecap’

Kalau bunyi –bunyi yang berdistribusi komplementer ,masing-masing bunyi tersebut


bagaiman distribusinya? Ternyata: [p] sebagai onset silaba
[p’] sebagai koda silaba
Jadi [p] dan [p’] adalah alofon dari fonem yang sam, yaitu /p/.
2.3.6 Mencatat bunyi-bunyi yang bervariasi bebas.

[p] [p]
Golongan 1 Golongan 2 Golongan 2
1) [#pa+pan#] ‘papan’ 3)[#pi+kīr#] 9)[#fi+kīr#]

Jika bunyi [p] dan [f] bisa bervariasi bebas, maka bagaimanakah kondisinya?
Hasil: bunyi dari [f] sebagai onset silaba yang ada pada bunyi kata pada bagian kedua,
kemudian bunyi [p] sebagai koda silaba yang bervariasi bebas bersama dengan bunyi [f]
yangada pada bunyi kata pada bagian kedua.
Simpulan: bunyi [p] sebagai onset silaba yang ada pada bagian pertama, dan pada bunyi [p]
dan juga [f] adalah bentuk bunyi yang sama, hingga pada kata yang ada dalam bagian yakni
fonem /p/. Mencatat bunyi-bunyi yang berkontras dalam lingkungan yang sama(identis).
Contoh:
1) [#kԑcap’#] ‘kecap’
2) [#ki+cap’#] ‘kicap’

Lingkungan identis adalah [#k..+cap’#]


Jadi [ɛ] dan [i] adalah alofon dari fonem yang berbeda, yaitu fonem /ɛ/ dan /i/.

2.3.7 Mencatat bunyi-bunyi yang berkontras dalam lingkungan yang mirip (analogis).

Berdasarkan dari hasil pemaparan korpus di atas, bahwa pada bunyi [ ]dan [i] begitu
ɛsaling berkontras secara lingkungan yang mirip. Maksudnya, pada poin ini hampir sama
seperti poin sebelumnya yakni no 7, bedanya lebih masuk akal fikiran saat bunyi tersebut
dilafakan yang disebut analogis. Seperti halnya contoh berikut di bawah ini.

(1) [k +cap]ɛ‘kecap’
(2) [ki+cap] ‘kicap’

2.3.8 Mencatat bunyi-bunyi yang berubah karena lingkungan.


Berdasarkan dari hasil pemaparan korpus di atas, bahwa pada bunyi [k] dan [k] diprediksi
bisa terjadi perubahan karena lingkungannya. Maksudnya, perubahan bunyi di sini dipengaruhi
oleh bentuk tatanan bunyi kata dari silaba atau fonetisnya, dari hal itu bisa merubah bunyi-
bunyi. Seperti halnya di bawah ini.Pada bunyi [k]: plosif, velar mati [k]:
palatal mati.

(1) [kә+lap+kә+lip] ‘kelap-kelip’ (3) [pi+kīr] ‘fikir’


(2) [ku+ku] ‘kuku’ (4) [fi+kīr] ‘fikir’

Ternyata: pada bunyi [k] apabila diikuti dari vokoid yang di belakang. Dan pada bunyi [k]
apabila diikuti diikuti dari vokoid yang di depan. Jadi, [k] dan [ḳ] adalah berubah lingkungan

2.3.9 Mencatat bunyi-bunyi dalam inventori fonetis dan fonemis, condong menyebar
secara simetris.
Sudah diketahui sebelumnya bahwa langkah-langkah pada poin nomor lima yakni bunyi [p]
dan [p’] merupakan alofon dari fonem yang sama, yaitu /p/, karena kedua bunyi yang secara
sefonis tersebut berdistribusi komplementer. Maka dari itu hasilnya berdasarkan premis
kesimetrisan dari bunyi [t] dan [t’] yang semestinya juga merupakan alofon dari fonem
/t/.

Berikut di bawah ini adalah bukti yang berdasarkan dari hasil pemaparan korpus data di atas

[t] [t’]
(1) [ra+tap] ‘ratap’ (4) [si+pať] ‘sifat’
(2) [tap+tu] ‘taptu’ (5) [si+fat’] ‘sifat’
(3) [kO+ta] ‘kota’
Terbukti: pada bunyi [t] sebagai onset silaba.
pada bunyi [t’] sebagai koda silaba.
Simpulan: maka dengan demikian, pada bunyi [t] dan [t’] merupakan alofon dari fonem yang
sama, yakni fonem /t/. Jadi, [t] dan [t’] adalah alofon dari fonem yang sama, yaitu/t/.

2.3.10 Mencatat bunyi-bunyi yang berfluktuasi.


Sudah diketahui sebelumnya bahwa langkah-langkah pada poin nomor delapan yakni bunyi
[a] dan [e] adalah alofon dari dua fonem yang memang berbeda, seperti halnya di bawah ini.

(1) [pa+pa+ya] ‘papaya’


(2) [pә+pa+ya] ‘pepaya’

Maka dari itu, pada kedua bunyi yang ada di dalam korpus di atas tadi dianggap sebagai
bunyi yang berfluktuasi. Jadi pada bunyi [a] dan [ә] adalah alofon dari fonem yang memang
sama.

2.3.11 Mencatat bunyi-bunyi selebihnya sebagai fonem tersendiri.


Pada langkah terakhir prosedur analisis fonem ini, yakni mencatat bunyi-bunyi yang selebihnya
berdasarkan dari hasil pemaparan korpus data di atas ialah bunyi [s], [c], dan [h]. Dan juga bunyi-bunyi
tersebut telah dianggap sebagai fonem tersendiri, yakni /s/, /c/, dan /h/.
DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskritif Sistem Bunyi Bahasa
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Verhaar, J.W.M. 2001. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia . Jakarta: Rineka Cipta.
Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus
Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kuntarto, E. 2017. Modul 1 Dasar-Dasar Telaah Linguistik untuk Guru Bahasa. Hlm. 139.
Universitas Jambi.
Wulandari, I., Fitriana, F., dkk. 2017. Fonologi (Fonem, Dasar-Dasar Analisis dan
Prosedur Analisis Fonem). Hlm. 1-10. Universitas Brawijaya.

Anda mungkin juga menyukai