Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fonologi merupakan salah satu dari beberapa aspek bahasa.
Fonologi itu juga berhubungan dengan aspek-aspek bahasa yang lain
seperti fonetik, morfologis, sintaksis, dan pragmatis. Ilmu fonologi juga
bisa di definisikan sebagai bunyi yang diatur dan digunakan dalam bahasa
yang lazim atau dasar.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer,
produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Sebagai sebuah sistem,
bahasa pada dasarnya memberi kendala pada penuturnya. Dengan
demikian, bahasa pada gilirannya pantas diteliti, karena kendala-kendala
yang dihadapi oleh penutur suatu bahasa memerlukaan penanganan dan
pencerahan. Salah satu bidang pengkajian bahasa Indonesia yang cukup
menarik adalah bidang tata bentukan atau morfologi. Bidang ini menarik
untuk dikaji karena perkembangan kata-kata baru yang muncul dalam
pemakaian bahasa sering berbenturan dengan kaidah-kaidah yang ada pada
bidang tata bentukan ini.
Oleh karena itu perlu dikaji ruang lingkup tata bentukan ini agar
ketidaksesuaian antara kata-kata yang digunakan oleh para pemakai
bahasa dengan kaidah tersebut tidak menimbulkan kesalahan sampai pada
tataran makna. Jika terjadi kesalahan sampai pada tataran makna, hal itu
akan mengganggu komunikasi yang berlangsung. Bila terjadi gangguan
pada kegiatan komunikasi maka gugurlah fungsi utama bahasa yaitu
sebagai alat komunikasi. Hal ini tidak boleh terjadi. Salah satu gejala
dalam bidang tata bentukan kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki
peluang permasalahan dan menarik untuk dikaji adalah proses
morfofonemik atau morfofonemis.
Permasalahan dalam morfonemik cukup variatif, pertemuan antara
morfem dasar dengan berbagai afiks sering menimbulkan variasi-variasi
yang kadang membingungkan para pemakai bahasa. Sering timbul

1
pertanyaan dari pemakai bahasa, manakah bentukan kata yang sesuai
dengan kaidah morfolog serta munculnya pendapat yang berbeda dari ahli
bahasa yang satu dengan ahli bahasa yang lain. Fenomena itulah yang
menarik bagi kami untuk melakukan pengkajian dan memaparkan masalah
tentang pengertian fonologi dan morfologi dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari fonologi?
2. Apa saja ilmu-ilmu bahasa yang tercakup dalam fonologi?
3. Apa yang dimaksud sistem fonologi dan alat ucap?
4. Apakah pengertian dari morfologi?
5. Apa saja bentuk-bentuk dari morfem?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fonologi.
2. Untuk mengetahui ilmu-ilmu bahasa yang tercakup dalam fonologi.
3. Untuk mengetahui sistem fonologi dan alat ucap.
4. Untuk mengetahui pengertian dari morfologi.
5. Untuk mengetahui bentuk-bentuk morfem.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fonologi
1. Pengertian Fonologi
Sebelum diuraikan mengenai fonologi, terlebih dahulu mengetahui
apa yang dimaksud dengan struktur. Struktur adalah penyusunan atau
penggabungan unsur-unsur bahasa menjadi suatu bahasa yang berpola.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa
fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi
bahasa menurut fungsinya. Istilah fonologi ini berasal dari gabungan
dua kata Yunani yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti
tatanan, kata, atau ilmu. Dengan demikian, fonologi merupakan sistem
bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatan bahwa fonologi
merupakan ilmu tentang bunyi bahasa.
2. Ilmu-ilmu Bahasa yang Tercakup dalam Fonologi
Fonetik yaitu ilmu bahasa yang membahas tentang bunyi-bunyi
ujaran yang dipakai dalam tutur dan bagaimana bunyi itu dihasilkan
oleh alat ucap manusia. Sedangkan menurut Samsuri (1994), fonetik
adalah studi tentang bunyi-bunyi ujar. Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1997), fonetik diartikan: bidang linguistik tentang
pengucapan (penghasilan) bunyi ujar atau fonetik adalah sistem bunyi
suatu bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonetik
adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang
dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan.
Selanjutnya, fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-
bunyi bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna. Terkait dengan
pengertian tersebut, fonemik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1997) diartikan: (1) bidang linguistik tentang sistem fonem; (2) sistem
fonem suatu bahasa; (3) prosedur untuk menentukan fonem suatu
bahasa.

3
Selain pengertian fonetik dan fonemik, Anda Agar tidak
terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah “fonem” dan “huruf”
kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan fonem. Supriyadi
(1992) berpendapat bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan
kebahasaan yang terkecil. Pendapat tersebut dibuktikan dengan
dengan cara menganalisis struktur fonologis kata dasar buku
dengan menggunakan diagram pohon seperti berikut:

Buku

Bu ku

b u k u

atau

kata dasar

suku suku

fonem fonem fonem fonem

Santoso (2004) berpendapat bahwa fonem tidak dapat berdiri


sendiri karena belum mengandung arti. Hal ini perlu dipahami agar
tidak terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah fonem dan huruf.
Tidak berbeda dengan pendapat tadi, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1997) tertulis bahwa yang dimaksud fonem: satuan bunyi
terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna, misalnya /b/ dan
/p/ adalah dua fonem yang berbeda karena bara dan para beda
maknanya. Terjadinya perbedaan makna hanya karena pemakaian
fonem /b/ dan /p/ pada kata tersebut.

4
Contoh lain: mari, lari, dari, tari, sari jika satu unsur diganti
dengan unsur lain, maka akan membawa akibat yang besar yakni
perubahan arti. Hal ini dapat pula terjadi jika diucapkan dengan salah,
maka akan mengakibatkan perubahan arti juga.

Jumlah Fonem Susunan Huruf Jumlah Huruf


4 Adik 4
4 Ingat 5
4 Nyanyi 6
5 Pantai 6

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian antara


fonem dan huruf (grafem) berbeda. Fonem adalah satuan kebahasaan
terkecil sedangkan huruf sedangkan grafem adalah gambaran dari
bunyi (fonem) dengan kata lain huruf adalah lambang fonem.
Dalam bidang linguistik, huruf sering diistilahkan dengan grafem.
Untuk membantu Anda dalam memahami struktur fonem, dan
perbedaan antara fonem dan huruf (grafem) perhatikan contoh berikut.
Adik = 4 fonem dan 4 grafem
Nyanyi = 4 fonem dan 6 grafem
Jadi dapat dilihat bahwa antara fonem dan huruf (grafem) berbeda.
Sudah dikemukakan bahwa fonem adalah satuan bunyi bahasa yang
terkecil yang dapat membedakan arti. Sedangkan huruf (grafem)
adalah gambaran dari bunyi (fonem), dengan kata lain, huruf adalah
lambang fonem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) bahwa
huruf adalah tanda aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota
abjaad yang melambangkan bunyi bahasa.
Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda mengenai perbedaan
fonem dengan huruf, perhatikan kata-kata yang tercetak miring pada
kalimat berikut (Supriyadi, dkk, 1992).
a. Andi sedang belajar menyanyi.
b. Anak itu menganga di depan dokter gigi.

5
c. Dia sangat bersyukur atas prestasi yang diraihnya.
d. Orang itu sedang berkhotbah.
Kata-kata yang dicetak miring pada kalimat di atas berkata dasar
nyanyi, nganga, syukur, dan khotbah. Struktur fonologis keempat kata
dasar itu sebagai berikut:
a. Nyanyi kalau diuraikan menjadi bagian yang lebih kecil adalah
nya- nyi diuraikan lagi menjadi ny-a-ny-i (fonem)
b. Nganga kalau diuraikan menjadi bagian yang lebih kecil adalah
nga - nga diuraikan lagi menjadi ng-a-ng-a (fonem)
c. Syukur kalau diuraikan menjadi bagian yang lebih kecil adalah
syu- kur diuraikan lagi menjadi sy-u-k-u-r (fonem)
d. Khotbah kalau diuraikan menjadi bagian yang lebih kecil adalah
khot-bah diuraikan lagi menjadi kh-o-t-b-a-h (fonem)
Dari contoh di atas jelas bahwa a, i, u, k, r, o, t, b, h tidak dapat
diuraikan lagi atas unsur-unsurnya yang lebih kecil. Karena itu,
masing-masing adalah fonem.
3. Sistem Fonologi dan Alat Ucap
Dalam bahasa Indonesia, secara resmi ada 32 buah fonem, yang
terdiri atas:
a. fonem vokal 6 buah
b. fonem diftong 3 buah
c. fonem konsonan 23 buah
Sebagaimana yang sudah dikemukakan pada bagian awal subunit
ini bahwa bentuk-bentuk fonem suatu bahasa yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia dibahas dalam bidang fonetik. Terkait dengan hal itu,
Samsuri (1994) menyatakan bahwa secara fonetis bahasa dapat
dipelajari secara teoritis dengan tiga cara atau jalan, yaitu:
a. bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap manusia
b. bagaiamana arus bunyi yang telah keluar dari rongga mulut dan/atau
rongga hidung si pembicara merupakan gelombang-gelombang
bunyi udara

6
c. bagaimana bunyi itu diinderakan melalui alat pendengaran dan
syaraf si pendengar.
Cara pertama disebut fisiologis atau artikuler, yang kedua disebut
akustis, dan yang ketiga impresif atau auditoris (menurut pendengaran).
Dalam bahasan struktur fonologis cara pertamalah yang paling mudah,
praktis, dapat diberikan bukti-bukti datanya. Karena hampir semua
gerakan alat-alat ucap itu dapat kita periksa, paru-paru, sekat rongga
dada, tenggorokan, lidah, dan bibir.
Alat ucap dibagi menjadi dua macam:
a. Artikulator adalah alat-alat yang dapat digerakkan/digeser ketika
bunyi diucapkan.
b. Titik Artikulasi adalah titik atau daerah pada bagian alat ucap yang
dapat disentuh atau didekati.
Macam- macam alat ucap yang digunakan dalam pembentukan
bahasa:
1. paru-paru
2. batang tenggorokan
3. pangkal tenggorok
4. pita-pita suara
5. rongga kerongkongan
6. akar lidah
7. pangkal lidah
8. tengah lidah
9. daun lidah
10. ujung lidah
11. anak tekak
12. langit-langit lunak, langit-langit tekak
13. langit-langit keras
14. lengkung gigi, gusi
15. gigi atas
16. gigi bawah

7
17. bibir atas
18. bibir bawah
19. mulut
20. rongga mulut
21. hidung
22. rongga hidung (Verhaar, dalam Supriyadi, dkk, 1992).
Fonem-fonem dihasilkan karena gerakan organ-organ bicara
terhadapaliran udara dari paru-paru sewaktu sewaktu seseorang
mengucapkannya. Jika bunyi ujaran yang keluar dari paru-paru tidak
mendapat halangan, maka bunyi atau fonem yang dihasilkan adalah vokal.
Fonem vokal yang dihasilkan tergantung dari beberapa hal berikut.
a. Posisi bibir (bentuk bibir ketika mengucapkan sesuatu bunyi).
b. Tinggi rendahnya lidah (posisi ujung dan belakang lidah ketika
mengucapkan bunyi.
c. Maju-mundurnya lidah (jarak yang terjadi antara lidah dan lengkung
kaki gigi).
Berdasarkan gerakan lidah ke depan dan ke belakang, vokal dibedakan
atas:
a. vokal depan: /i/ dan /e/,
b. vokal tengah /a/ dan /ə/,
c. vokal belakang: /o/ dan /u/.
Berdasarkan tinggi rendahnya gerakan lidah, vokal dibedakan atas:
a. vokal tinggi: /i/ dan /u/,
b. vokal madya: /e/, /ə/, dan /o/;
c. vokal rendah: /a/.
Menurut bundar tidaknya bentuk bibir, vokal dibedakan atas:
a. vokal bundar: /a/, /o/, dan /u/;
b. vokal tak bundar: /e/, /ə/, dan /i/.
Menurut renggang tidaknya ruang antara lidah dengan langit-langit,
vokal dibedakan atas:
a. vokal sempit: /ə/, /i/, dan /u/;

8
b. vokal lapang: /a/, /e/, /o/.
Jadi /a/ misalnya, adalah vokal tengah, rendah, bundar, dan lapang.
Selanjutnya, jika bunyi ujaran ketika udara ke luar dari paru-paru
mendapat halangan, maka terjadilah bunyi konsonan. Halangan yang
dijumpai bermacam-macam, ada halangan yang bersifat seluruhnya, dan
ada pula yang sebagian yaitu dengan menggeser atau mengadukkan arus
suara sehingga menghasilkan konsonan bermacam-macam pula. Karena
itu, dikenal klasifikasi konsonan seperti berikut:
a. Konsonan bibir (bilabial): /p/, /b/, /m/.
b. Konsonan bibir gigi (labiodental): /f/, /v/, /w/.
c. Konsonan gigi (dental): /t/, /d/, /s/, /z/, /l/, /r/, /n/.
d. Konsonan langit-langit (palatal): /c/, /j/, /ŝ/, /y/, /ň/
e. Konsonan langit-langit lembut (velar): /g/, /k/, /x/, /ŋ/
f. Konsonan pangkal tenggorok (laringal): /h/.
Selain di atas, berikut ini klsifikasi lain dari konsonan adalah:
a. Konsonan letupan atau eksplosif, apabila aliran udara tertutup rapat,
konsonan yang dihasilkan adalah: /p/, /t/, /c/, /k/, /b/, /d/, /j/, /g/.
b. Konsonan geseran atau spiran, bila udara masih bisa keluar dalam
aliran yang demikian sempit, konsonan yang muncul adalah: /f/, /s/, /ŝ/,
/z/, /x/.
c. Konsonan sengau atau nasal, jika udara keluar sebagian melalui
hidung: /m/, /n/, / ň /, /ŋ/
d. Konsonan lateral, kalau udara yang keluar melalui bagian kiri dan
kanan lidah serta mengenai alur gigi: /l/.
e. Konsonan getar, bila terjadi letupan berturut-turut: /r/.
Ada juga yang dinamakan konsonan bersuara dan konsonan tak
bersuara. Konsonan bersuara terjadi karena bergetarnya selaput suara:
/b/, /m/, /w/, /d/, /n/, /z/, /j/, /ň/, /g/, /x/, /y/, /ŋ/. Sedangkan konsonan tak
bersuara adalah konsonan yang terjadi tampa bergetarnya selaput suara:
/p/, /t/, /s/, /c/, /k/, /h/, /r/, /l/ (Samsuri, 1994, Supriyadi, dkk. 1992,
Santoso, 2004 dan Depdikbud, 1988).

9
B. Morfologi
1. Pengertian Morfologi
Kata Morfologi berasal dari kata morphologie. Kata morphologie
berasal dari bahasa Yunani morphe yang digabungkan dengan logos.
Morphe berarti bentuk dan logos berarti ilmu. Bunyi [o] yang terdapat
diantara morphed dan logos ialah bunyi yang biasa muncul diantara
dua kata yang digabungkan. Jadi, berdasarkan makna unsur-unsur
pembentukannya itu, kata morfologi berarti ilmu tentang bentuk.
Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah
cabang ilmu pengetahuan tentang pembentukan kata.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia morfologi adalah


pengetahuan tentang bentuk. Morfologi mempelajari seluk-beluk
bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap
golongan dan arti kat, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi
perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun
fungsi semantik.
Morfologi merupakan bagian dari tata bahasa, yang membahas
tentang bentuk-bentuk kata. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (1988) dinyatakan bahwa dalam bahasa ada bentuk (seperti
kata) yang dapat “dipotong-potong” menjadi bagian yang lebih kecil
yang kemudian dapat diceraikan menjadi bagian yang lebih kecil lagi
sampai ke bentuk yang, jika dipotong lagi, tidak mempunyai makna.
Kata memperhalus, misalnya, dapat dipotong menjadi mem-perhalus
dan per-halus. Jika halus diceraikan lagi, maka ha- dan –lus secara
terpisah tidak mempunyai makna. Bentuk seperti mem-, per- dan
halus disebut morfem.
Morfem adalah suatu bentuk bahasa yang tidak mengandung
bagian-bagian yang mirip dengan bentuk lain, baik bunyi maupun

10
maknanya. Morfem adalah unsur-unsur terkecil yang memiliki makna
dalam tutur suatu bahasa. Morfem dapat juga dikatakan unsur terkecil
dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan aturan suatu bahasa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa
morfem adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai
makna, secara relatif stabil dan tidak dibagi atas bagian bermakna
lebih kecil. Menurut Supriyadi (1992):
a) Bajunya putih.
b) Baju ini sudah memutih.
c) Putihkan baju itu.
d) Ia memutihkan baju itu.
Kata putih, adalah unsur gramatis (telah mengandung
makna tersendiri) yang sama yang terdapat pada setiap kalimat di
atas. Unsur itu merupakan unsur gramatis yang terkecil. Artinya,
unsur ini tidak dapat dibagi lagi menjadi unsur-unsurnya yang
bermakna. Unsur pu dan tih tidak bermakna. Karena itu, putih
merupakan unsur gramatis yang terkecil, sedangkan pu dan tih
bukan unsur gramatis terkecil. Berdasarkan perangkat satuannya,
putih merupakan satuan morfologis, sedangkan pu dan tih adalah
satuan fonologis. Selain terdapat pada kata-kata di atas, unsur atau
satuan putih tentu sering dijumpai pula kata-kata lainnya,
misalnya: pemutih, diputihkan, memperputih, diperputih,
keputihan, terputih, seputih, dan sebagainya. Unsur atau satuan
morfologis seperti itu diklasifikasikan sebagai morfem.
Morfem dalam bahasa Indonesia berdasarkan bentuknya ada dua
macam yaitu: morfem bebas, dan morfem terikat.
2. Bentuk-bentuk Morfem
a. Morfem Bebas
Menurut Santoso (2004), morfem bebas adalah morfem
yang mempunyai potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan
dapat langsung membentuk kalimat. Dengan demikian, morfem

11
bebas merupakan morfem yang diucapkan tersendiri seperti:
gelas, meja, pergi dan sebagainya. Morfem bebas sudah termasuk
kata. Tetapi konsep kata tidak hanya morfem bebas, kata juga
meliputi semua bentuk gabungan antara morfem terikat dengan
morfem bebas, morfem dasar dengan morfem dasar. Jadi dapat
dikatakan bahwa morfem bebas itu kata dasar.
b. Morfem Terikat
Morfem terikat merupakan morfem yang belum
mengandung arti, maka morfem ini belum mempunyai potensi
sebagai kata. Untuk membentuk kata, morfem ini harus digabung
dengan morfem bebas. Menurut Samsuri (1994), morfem terikat
tidak pernah di dalam bahasa yang wajar diucapkan tersendiri.
Morfem-morfem ini, selain contoh yang telah diuraikan pada
bagian awal, contohnya: ter-, per-, -i, -an. Di samping itu ada juga
bentuk-bentuk seperti – juang, -gurau, -tawa, yang tidak pernah
juga diucapkan tersendiri, melainkan selalu dengan salah satu
imbuhan atau lebih. Tetapi sebagai morfem terikat, yang berbeda
dengan imbuhan, bisa mengadakan bentukan atau konstruksi
dengan morfem terikat yang lain.
Morfem terikat dalam bahasa Indonesia menurut Santoso
(2004) ada dua macam, yakni morfem terikat morfologis dan
morfem terikat sintaksis. Morfem terikat morfologis yakni morfem
yang terikat pada sebuah morfem dasar, adalah sebagai berikut:
1) prefiks (awalan): per-, me-, ter-, di-, ber- dan lain-lain
2) infiks (sisipan): -el-, -em, -er-
3) sufiks (akhiran): -an, kan, -i
4) konfiks (imbuhan gabungan senyawa) mempunyai beragam
fungsi sebagai berikut:
a) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata kerja
Contohnya: me-, ber-, per-, -kan, -i, dan ber-an.
b) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata benda

12
Contohnya: pe-, ke-,an, ke-an, per-an, -man, -wan, -wati.
c) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata sifat
Contohnya: ter-, -i, -wi, -iah.
d) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata bilangan
Contohnya: ke-, se-.
e) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata tugas: se-, dan
se-nya.
Dari contoh di atas menunjukkan bahwa setiap kata
berimbuhan akan tergolong dalam satu jenis kata tertentu,
tetapi hanya imbuhan yang merupakan unsur langsung yang
dapat diidentifikasi fungsinya sebagai pembentuk jenis kata.
Contoh diagram unsur langsung pembentuk kata:
Pakaian benda
Ber
Berpakaian kerja

Berkemauan kerja

Kemauan benda

Ber- ke-an mau keterangan


(Santoso, 2004)
Dari diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa
dengan imbuhan yang berbeda, morfem dasar yang sama,
akan berbeda maknanya. Contoh, akhiran –an pada morfem
dasar tepi, darat, lapang; membentuk kata tepian, daratan,
lapangan; ternyata menunjukkan persamaan makna
imbuhan, yaitu tempat. Berarti dengan imbuhan yang sama,
morfem dasarnya berbeda, dapat menghasilkan persamaan
makna imbuhan yaitu menghasilkan jenis benda.

13
Proses perulangan atau reduplikasi adalah pengulangan
bentuk, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi
fonem maupun tidak. Beberapa prinsip yang dapat digunakan
dalam menentukan bentuk dasar kata ulang adalah:
1) Pengulangan pada umumnya tidak mengubah jenis kata.
2) Bentuk dasar dapat berdiri sendiri sebagai kata yang terdapat
dalam penggunaan bahasa Indonesia yang benar.
Berdasarkan macamnya, bentuk perulangan dalam bahasa
Indonesia terdiri atas empat bentuk, yaitu:
1) Kata ulang suku kata awal.
2) Kata ulang seluruh kata dasar kata ulang utuh.
3) Kata ulang salin suara atau kata ulang berubah bunyi.
4) Kata ulang yang mendapat imbuhan atau kata ulang
berimbuhan.
Sesuai dengan fungsi perulangan dalam pembentukan jenis
kata, makna struktural kata ulang adalah:
1) Mengandung makna banyak yang tak tentu.
2) Mengandung makna bermacam-macam.
3) Mengandung makna menyerupai atau tiruan dari sesuatu.
4) Mengandung makna agak atau melemahkan arti.
5) Menyatakan makna intensitas. Makna intensitas terdiri dari:
intensitas, kualitatif, intensitas kuantitatif, dan intensitas
frekuentatif.
6) Perulangan pada kata kerja mengandung makna saling atau
pekerjaan yang berbalasan.
7) Perulangan pada kata bilangan mengandung makna kolektif.

14
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Fonologi merupakan sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga
dikatan bahwa fonologi merupakan ilmu tentang bunyi bahasa.
2. Fonologi mencakup 2 ilmu bahasa yaitu Fonetik dan Fonemik.
3. Alat ucap dibagi menjadi dua macam yaitu Artikulator dan Titik
Artikulasi.
4. Morfologi adalah cabang ilmu pengetahuan tentang pembentukan kata.
5. Bentuk morferm ada 2 macam yaitu morferm bebas dan morferm terikat.

B. Saran
Dalam mengerjakan makalah ini, penyusun menyadari masih ada
kekurangan yang perlu diperbaiki. Sehingga penyusun mengharapkan
masukan yang membangun untuk makalah ini dari para pembaca. Semoga
makalah sederhana ini bisa bermanfaat untuk para pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Zuchdi, Darmiyati dan Budiasih. 1996. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

di Kelas Rendah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Supriyadi dkk. 1993. Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Zuchdi, Darmiyati dan Budiasih. 1996. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

di Kelas Rendah. Yogyakarta: PAS.

16

Anda mungkin juga menyukai