Anda di halaman 1dari 8

1

KAIDAH FONOLOGI BAHASA INDONESIA

Pengertian Fonologi
Sebelum diuraikan mengenai fonologi, terlebih dahulu apa yang dimasud dengan struktur.
Yang dimaksud dengan struktur di sini adalah penyusunan atau penggabungan unsur-unsur bahasa
menjadi suatu bahasa yang berpola. Apakah yang dimaksud dengan fonologi? Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa fonologi adalah bidang dalam linguistik yang
menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dengan demikian, fonologi adalah merupakan
sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatan bahwa fonologi adalah ilmu tentang
bunyi bahasa.
Fonologi dalam tataran ilmu bahasa dibagi dua bagian yakni
(a) fonetik dan
(b) fonemik.
Fonetik yaitu ilmu bahasa yang membahas tentang bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam
tutur dan bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sedangkan menurut Samsuri
(1994), fonetik adalah studi tentang bunyi-bunyi ujar. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1997), fonetik diartikan: bidang linguistik tentang pengucapan (penghasilan) bunyi ujar
atau fonetik adalah sistem bunyi suatu bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonetik
adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia, serta
bagaimana bunyi itu dihasilkan.
Selanjutnya, fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang
berfungsi sebagai pembeda makna. Terkait dengan pengertian tersebut, fonemik dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1997) diartikan: (1) bidang linguistik tentang sistem fonem; (2) sistem fonem
suatu bahasa; (3) prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa.
Selain pengertian fonetik dan fonemik, Anda perlu pula memahami apa yang dikasud
dengan fonem. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah “fonem”
dan “huruf”. Supriyadi (1992) berpendapat bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan kebahasaan
yang terkecil. Pendapat tersebut dibuktikan dengan dengan cara menganalisis struktur fonologis
kata dasar baca dengan menggunakan diagram pohon seperti berikut.

buku

bu ku

b a c a
2

Selain pendapat di atas, Santoso (2004) menyatakan bahwa setiap bunyi ujaran dalam satu
bahasa mempunyai fungsi membedakan arti. Bunyi ujaran yang membedakan arti ini disebut fonem.
Fonem tidak dapat berdiri sendiri karena belum mengandung arti. Tidak berbeda dengan pendapat
tadi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) tertulis bahwa yang dimaksud fonem: satuan
bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna, misalnya /b/ dan /p/ adalah dua fonem
yang berbeda karena bara dan para beda maknanya. Terjadinya perbedaan makna hanya karena
pemakaian fonem /b/ dan /p/ pada kata tersebut. Contoh lain: mari, lari, dari, tari, sari jika satu
unsur diganti dengan unsur lain, maka akan membawa akibat yang besar yakni perubahan arti. Hal
ini dapat pula terjadi jika diucapkan dengan salah, maka akan mengakibatkan perubahan arti juga.
Lalu, apa yang dimaksud dengan huruf? Dalam bidang linguistik, huruf sering diistilahkan
dengan grafem. Untuk membantu Anda dalam memahami struktur fonem, dan perbedaan antara
fonem dan huruf (grafem) perhatikan contoh yang tertera dalam tabel berikut.

Susunan Fonem Jumlah Fonem Susunan Huruf Jumlah Huruf Kata yang
Terbentuk
/adik/ 4 Adik 4 Adik
/iηat/ 4 Ingat 5 Ingat
/Nani/ 4 Nyanyi 6 Nyanyi
/pantay/ 5 Pantai 6 Pantai

(Santoso, 2004)

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa antara fonem dan huruf (grafen) berbeda. Sudah
dikemukakan bahwa fonem adalah satuan bunyi bahasa yang terkecil yang dapat membedakan arti.
Sedangkan huruf (grafem) adalah gambaran dari bunyi (fonem), dengan kata lain, huruf adalah
lambang fonem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) bahwa huruf adalah tanda aksara
dalam tata tulis yang merupakan anggota abjaad yang melambangkan bunyi bahasa.
Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda mengenai perbedaan fonem dengan huruf,
perhatikan kata-kata yang tercetak miring pada kalimat berikut (Supriyadi, dkk, 1992).
(1) Andi sedang belajar menyanyi.
(2) Anak itu menganga di depan dokter gigi.
(3) Dia sangat bersyukur atas prestasi yang diraihnya.
(4) Orang itu sedang berkhotbah.
Kata-kata yang dicetak miring pada kalimat di atas berkata dasar nyanyi, nganga, syukur,
dan khotbah. Struktur fonologis keempat kata dasar itu sebagai berikut.
3

(1) nyanyi

nya nyi

ny a ny i

(2) nganga

nga nga

ng a ng a

kh o t b a h

Dari tabel di atas jelas bahwa a, i, u, k, r, o, t, b, h tidak dapat diuraikan lagi atas unsur-
unsurnya yang lebih kecil. Karena itu, masing-masing adalah fonem. Bagaimana halnya dengan ny,
ng, sy, dan kho? Dapatkah masing-masing diuraikan lagi atas unsur-unsurnya? Anda pasti tahu
jawabannya, bukan? Kalau perlu, cobalah ucapkan atau dengarkan bunyi bahasanya. Bukankah
ternyata ny, ng, sy, dan kho masing-masing terjadi dalam satu peristiwa ucapan? Karena itu, ny, ng,
sy, dan kho tidak dapat diuraikan lagi atas peristiwa ucapan yang lebih kecil.

Sistem Fonologi dan Alat Ucap


Dalam bahasa Indonesia, secara resmi ada 32 buah fonem, yang terdiri atas: (a) fonem vokal
6 buah, (b) fonem diftong 3 buah, dan fonem konsonan 23 buah.
Selanjutnya, pelajari baik-baik uraian mengenai fonetik berikut ini.
Sebagaimana yang sudah dikemukakan pada bagian awal subunit ini bahwa bentuk-bentuk
fonem suatu bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dibahas dalam bidang fonetik. Terkait
dengan hal itu, Samsuri (1994) menyatakan bahwa secara fonetis bahasa dapat dipelajari secara
teoritis dengan tiga cara atau jalan, yaitu:
(a) bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap manusia,
(b) bagaiamana arus bunyi yang telah keluar dari rongga mulut dan/atau rongga hidung si
pembicara merupakan gelombang-gelombang bunyi udara, dan
(c) bagaimana bunyi itu diinderakan melalui alat pendengaran dan syaraf si pendengar.
4

Cara pertama disebut fisiologis atau artikuler, yang kedua disebut akustis, dan yang ketiga
impresif atau auditoris (menurut pendengaran).
Dalam bahasan struktur fonologis cara pertamalah yang paling mudah, praktis, dapat
diberikan bukti-bukti datanya. Mengapa? Hampir semua gerakan alat-alat ucap itu dapat kita
periksa, paru-paru, sekat rongga dada, tenggorokan, lidah, dan bibir.
Alat ucap dibagi menjadi dua macam:
(1) Artikulator; adalah alat-alat yang dapat digerakkan/digeser ketika bunyi
diucapkan.
(2) Titik artikulasi; adalah titik atau daerah pada bagian alat ucap yang dapat
disentuh atau didekati.
Untuk mengetahui alat ucap yang digunakan dalam pembentukan bahasa, perhatikan bagan
berikut.

1. paru-paru 13. langit-langit keras


2. batang tenggorokan 14. lengkung gigi, gusi
3. pangkal tenggorok 15. gigi atas
4. pita-pita suara 16. gigi bawah
5. rongga kerongkongan 17. bibir atas
6. akar lidah 18. bibir bawah
7. pangkal lidah 19. mulut
8. tengah lidah 20. rongga mulut
9. daun lidah 21. hidung
10. ujung lidah 22. rongga hidung
11. anak tekak (Verhaar, dalam Supriyadi, dkk, 1992).
12. langit-langit lunak,
5

langit-langit tekak

Fonem-fonem dihasilkan karena gerakan organ-organ bicara terhadap aliran udara dari paru-
paru sewaktu sewaktu seseorang mengucapkannya. Jika bunyi ujaran yang keluar dari paru-paru
tidak mendapat halangan, maka bunyi atau fonem yang dihasilkan adalah vokal. Fonem vokal yang
dihasilkan tergantung dari beberapa hal berikut.
(a) Posisi bibir (bentuk bibir ketika mengucapkan sesuatu bunyi).
(b) Tinggi rendahnya lidah (posisi ujung dan belakang lidah ketika mengucapkan bunyi.
(c) Maju-mundurnya lidah (jarak yang terjadi antara lidah dan lengkung kaki gigi).
Berdasarkan gerakan lidah ke depan dan ke belakang, vokal dibedakan atas:
(a) vokal depan: /i/ dan /e/,
(b) vokal tengah /a/ dan /ə/,
(c) vokal belakang: /o/ dan /u/.

Berdasarkan tinggi rendahnya gerakan lidah, vokal dibedakan atas:


(a) vokal tinggi: /i/ dan /u/,
(b) vokal madya: /e/, /ə/, dan /o/;
(c) vokal rendah: /a/.

Menurut bundar tidaknya bentuk bibir, vokal dibedakan atas:


(a) vokal bundar: /a/, /o/, dan /u/;
(b) vokal tak bundar: /e/, /ə/, dan /i/.

Menurut renggang tidaknya ruang antara lidah dengan langit-langit, vokal dibedakan atas:
(a) vokal sempit: /ə/, /i/, dan /u/;
(b) vokal lapang: /a/, /e/, /o/.
Jadi /a/ misalnya, adalah vokal tengah, rendah, bundar, dan lapang.
Selanjutnya, jika bunyi ujaran ketika udara ke luar dari paru-paru mendapat halangan, maka
terjadilah bunyi konsonan. Halangan yang dijumpai bermacam-macam, ada halangan yang bersifat
seluruhnya, dan ada pula yang sebagian yaitu dengan menggeser atau mengadukkan arus suara
sehingga menghasilkan konsonan bermacam-macam pula. Karena itu, dikenal klasifikasi konsonan
seperti berikut.
(a) Konsonan bibir (bilabial): /p/, /b/, /m/.
(b) Konsonan bibir gigi (labiodental): /f/, /v/, /w/.
(c) Konsonan gigi (dental): /t/, /d/, /s/, /z/, /l/, /r/, /n/.
(d) Konsonan langit-langit (palatal): /c/, /j/, /ŝ/, /y/, /ň/
(e) Konsonan langit-langit lembut (velar): /g/, /k/, /x/, /ŋ/
6

(f) Konsonan pangkal tenggorok (laringal): /h/.

Selain di atas, berikut ini klsifikasi lain dari konsonan adalah:


(a) Konsonan letupan atau eksplosif, apabila aliran udara tertutup rapat, konsonan
yang dihasilkan adalah: /p/, /t/, /c/, /k/, /b/, /d/, /j/, /g/.
(b) Konsonan geseran atau spiran, bila udara masih bisa keluar dalam aliran yang
demikian sempit, konsonan yang muncul adalah: /f/, /s/, /ŝ/, /z/, /x/.
(c) Konsonan sengau atau nasal, jika udara keluar sebagian melalui hidung: /m/,
/n/, / ň /, /ŋ/
(d) Konsonan lateral, kalau udara yang keluar melalui bagian kiri dan kanan lidah
serta mengenai alur gigi: /l/.
(e) Konsonan getar, bila terjadi letupan berturut-turut: /r/.
Ada juga yang dinamakan konsonan bersuara dan konsonan tak bersuara. Konsonan
bersuara terjadi karena bergetarnya selaput suara: /b/, /m/, /w/, /d/, /n/, /z/, /j/, /ň/, /g/, /x/, /y/, /ŋ/.
Sedangkan konsonan tak bersuara adalah konsonan yang terjadi tampa bergetarnya selaput suara: /p/,
/t/, /s/, /c/, /k/, /h/, /r/, /l/ (Samsuri, 1994, Supriyadi, dkk. 1992, Santoso, 2004 dan Depdikbud,
1988).
Berdasarkan klasifikasi di atas, /b/ misalnya, termasuk konsonan bibir, letupan, dan
bersuara. Coba Anda sebutkan sifat konsonan lainnya berdasarkan klsifikasi di atas.
Sekarang, coba perhatikan kata-kata berikut:
pulau pantai amboi
kicau belai sepoi
lampau cerai sekoi
Bagaimana pengucapan akhir kata-kata di atas? Fonem tersebut ditulis dengan dua buah
huruf (grafem). Walaupun demikian, masing-masing dinyatakan sebagai sebuah fonem. Inilah yang
disebut diftong. Diftong dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988) dinyatakan sebagai vokal
yang berubah kualitasnya. Dalam sistem tulisan, diftong dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua
huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Bunyi /aw/ pada kata pulau adalah diftong, sehingga <au>
pada suku kata –lau tidak dapat dipisahkan menjadi la-u seperti pada kata mau.

Atas dasar itu dikenal istilah: vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah,
vokal bundar, vokal tak bundar, vokal sempit dan vokal lapang. Vokal yang yang memiliki
7

perubahan kualitas diklasifikasikan sebagai diftong; misalnya au, ai, dan oi pada kata harimau,
pantai, dan amboi.
Klasifikasi konsonan adalah:
(a) konsonan bibir (bilabial),
(b) konsonan bibir gigi (labiodental),
(c) konsonan gigi (dental),
(d) konsonan langit-langit (palatal),
(e) konsonan langit-langit lembut (velar),
(f) konsonan pangkal tenggorok (laringal).
Selain itu, klsifikasi lain dari konsonan adalah:
(a) konsonan letupan atau eksplosif,
(b) konsonan geseran atau spiran,
(c) konsonan sengau atau nasal,
(d) konsonan lateral, dan
(e) konsonan getar.
Ada juga yang dinamakan konsonan bersuara dan konsonan tak bersuara. Konsonan
bersuara terjadi karena bergetarnya selaput suara. Sedangkan konsonan tak bersuara adalah konsonan
yang terjadi tampa bergetarnya selaput suara.

Alwasilah, Abd. Chedar. 1983. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung:Angkasa

Badudu, J.S. 1980. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia Jakarta: Bandung Angkasa

__________ 1982. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta:Gramedia.

Depdikbud. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdikbud. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Keraf, Gorys. 1982. Tatabahasa Indonesia. EndeFlores: Nusa Indah

Kridalaksana. H. 1982. Kamus Lingistik, Jakarta: Gramedia

Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.

Sartuni, Rasyid, dkk. 1984. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Nina Dinamika

Supriyadi, dkk. 1992. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia 4. Jakarta: Depdiknas

Tarigan, Djago & Sulistyaningsih, L.S. 1979. Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta; Depdikbud
8

Tarigan, Hendry Guntur, 1986. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai