Pendahuluan
Dari kajian-kajian ilmu linguistik tersebut, penulis mencoba membahas yang ada
hubungannya dengan ilmu bunyi fonetik dan fonologi.
B. Ilmu Bunyi
1. Bahasa
Dalam kehidupan sehari-hari bahasa yang digunakan oleh manusia paling sedikit terdiri dari
dua bentuk. Yang pertama adalah moji gengo ‘bahasa tulisan dan yang kedua adalah onsei
gengo ‘bahasa lisan’ (Tanaka, 1984:37).
Menurut Sugimoto (1990:164) moji gengo adalah keseluruhan bahasa yang ditunjukkan oleh
huruf. Misalnya, seperti yang ditunjukkan pada surat kabar, novel, majalah, buku harian,
memo, formulir, laporan, dan lain-lain.
Selanjutnya, onsei gengo menurut Sugimoto (1990:19) adalah keseluruhan bahasa yang
diungkapkan lewat bunyi seperti pada percakapan sehari-hari, siaran radio, acara televisi, dan
lain-lain.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi manusia
dengan manusia lainnya yang diungkapkan paling sedikit dalam dua bentuk yaitu bahasa lisan
dan bahasa tulisan. Kedua bentuk bahsa ini juga lazim disebut dengan hanashi
kotoba dan kakikotoba. hanashi kotoba dan kakikotoba yang dimaksud di sini jangan jangan
disamaartikan dengan istilah yang sama yang sering digunakan dalam tata bahasa Jepang.
Dalam tata bahasa Jepang hanashi kotoba adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan
sehari-hari untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalah hanashi kotoba ini, kita atau orang
Jepang kalau berbicara sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah kalimat baku seperti pada
contoh kalimat (1), dan kakikotoba adalah bahasa tulisan yang sering digunakan dalam
tulisan-tulisan resmi seperti sotsuron (skripsi, tesis dll). Contoh kakikotoba dapat dilihat pada
kalimat (2).
(1) あら、それもいいわね。
(2) 学校は子供たちの豊か人格を形成していく場である。
Seperti halnya telur dengan ayam, kita sering mempermasalahkan yang manakah yang lebih
dulu muncul di antara keduanya. Begitu pula halnya dengan onsei gengo dan moji gengo, di
antara kedua bentuk bahasa ini yang mana yang lebih dulu muncul?
Tanaka (1984:37) menjelaskan bahwa di dunia ini ada beberapa suku atau ras manusia yang
dalam budayanya tidak memiliki huruf. Kemudian manusia yang baru lahir atau anak kecil
yang belum bias membaca dan menulis berkomunikasi dengan manusia sekitarnya dengan
menggunakan onsei gengo. Dari kenyataan ini dapat dibenarkan kalau kita beranggapan onsei
gengolah yang lebih dulu muncul. Kemudian. Untuk mencatat ujaran-ujaran yang
diungkapkan, manusia menyimpannya dalam bentuk tulisan atau moji gengo.
2. Onsei kigo
Onsei kigo ‘phonetics symbol’ adalah simbol-simbol yang digunakan untuk melambangkan
bunyi dalam kajian pendidikan bahasa dan fonetik (Sugimoto, 1990:19). Jadi, bunyi-bunyi
ujaran manusia ketika dituangkan ke dalam bentuk tulisan dilambangkan dengan huruf-huruf
yang telah disepakati dalam sebuah komunitas budaya atau bahkan antar komunitas budaya
yang memiliki huruf dan bahasa yang berbeda.
Tetapi Tanaka (1984:40) menyatakan bahwa banyak terdapat huruf yang tidak mewakili bunyi
yang diucapkan oleh manusia. Misalnya, pelafalan gh dalam bahsa Inggris bias berbeda-beda.
Gh ini bias dibaca [f] seperti pada kata enough, dibaca [g] seperti pada kata ghost, atau
bahkan tidak dibaca sama sekali seperti pada kata ought.
Untuk mengatasi masalah-masalah dalam pennyimbolan ini, dibuatlah suatu aturan yang
dinamakan kokusaionseijibo atau IPA (International Phonetic Alphabet). Penetapan IPA ini
supaya bisa digunakan untuk menyatakan bunyi-bunyi pelafalan dari bahasa apapun agar
mudah dimengerti sekalipun oleh orang yang bukan pemakai atau pemilik bahasa tersebut.
dibahas dalam ilmu fonetik, kedua bunyi tersebut diperlakukan sebagai dua bunyi yang
berbeda. Karena dalam pengucapan ア ada yang diucapkan dengan membuka mulut lebar ada
juga yang tidak. Sedangkan bila kata tersebut dibahas secara fonologi, kedua ア tersebut bila
didengarkan secara cermat akan terdengar sebagai dua bunyi yang berbeda. Tetapi, meskipun
kedua ア tersebut berbeda dianggap sebagai dua ア yang sama. Karena bunyi yang terdengar
berbeda tersebut dianggap masih dalam lingkup toleransi bunyi ア yang sama.
1. Onseigaku ‘fonetik’
Menurut Tanaka (1984:13) onseigaku adalah bagian ilmu yang hanya membahas bunyi
bahasa dari segi ilmu alam yang di dalamnya dibahas ilmu-ilmu mengenai onkyoo
onseigaku ‘acoustic phonetics’, choo’on onseigaku ‘articulatory phonetics’, dan chookaku
onseigaku ‘auditory phonetics’.
Onkyoo onseigaku adalah bidang kajian onseigaku yang membahas bunyi/ ujaran sebagai
gelombang bunyi yang disampaikan pembicara kepada yang diajak bicara. Bidang ini banyak
berkaitan dengan ilmu fisika. Untuk menganalisa gelombang bunyi ini digunakan sebuah alat
yang bernama spectrograph. Begitu bunyi ini keuar dari sipembicara, alat tersebut akan
mencatat tahap-tahap sehingga gelombang bunyi tersebut sampai ditelinga yang diajak
bicara.
Choo’on onseigaku dan chookaku onseigaku adalah kajian onseigaku yang membahas
struktur dan fungsi alat ucap dan alat dengar manusia untuk mengetahui proses terjadinya
sebuah bunyi bahasa. Bidang ini sangat berkaitan erat dengan fisiologi dan anatomi. Jadi,
dalam Choo’on onseigaku diteliti bagaimana alat ucap bekerja untuk menghasilkan bunyi.,
dan dalam chookaku onseigaku diteliti bagaimana suatu bunyi itu terdengar di telinga
Onseigaku secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu yang meneliti bunyi bahasa
manusia secara umum. Apabila membahas bunyi bahasa tertentu seperti dalam bahasa
Indonesia, maka istilah khusus yang cocok dengan kajian ini
adalah Indonesiago onseigaku atau fonetik bahasa Indonesia.
2. On’inron
On’inron adalah bidang linguistic yang meneliti bunyi bahasa berdasarkan artinya (Sutedi,
2004:35). Kajian fonologi meliputi onso ‘fonem’, aksen dan tinggi nada (Kashima dalam Sutedi,
2004:35).
Kesimpulan dari beberapa pendapat, fonem merupakan satuan bunyi terkecil yang berfungsi
untuk membedakan arti. Richard et al (1992:279) memberi contoh misalnya
kata pan dan ban dalam bahasa Inggris. Kedua kata tersebut meiliki perbedaan yaitu kata
yang pertama diawali dengan /p/ dan kata yang kedua diawali dengan /b/. Kemudian pada
kata ban dan bin yang memiliki perbedaan vocal /æ/ dan /ı/. Perbedaan-perbedaan tersebut
menyebabkan perbedaan pula pada arti.
Aksen merupakan perubahan tinggi rendah pengucapan setiap mora. Misalnya pada
kata ame ( 雨 ) dan ame ( 飴 ), ame ( 雨 ) diucapkan tinggi rendah sedangkan ame ( 飴 )
Ame (雨) dan ame (飴) apabila dilihat dari hurufnya jelas berbeda dan berbeda pula artinya.
Tapi apabila diucapkan, kita akan bisa membedakan arti dari aksennya.
Pada bahasa Indonesia tidak dikenal sistem aksen. Misalnya kata bisa yang berarti racun
dan bisa yang berarti dapat, keduanya diucapkan dengan aksen yang sama (Sudjianto,
2004:50). Kita dapat membedakan artinya berdasarkan konteksnya dalam kalimat.
Selain fonem dan aksen, unsur lain yang dapat membedakan arti dalam kajian fonologi adalah
intonasi. Contohnya seperti berikut ini.
(1) 帰ります。↗
(2) 帰ります。↘
Pada kalimat (1) kalimat diakhiri dengan intonasi naik yang menunjukkan kalimat Tanya,
sedangkan pada contoh (2) diakhiri dengan intonasi menurun yang menunjukkan kalimat
berita (Sutedi, 2004:29).
D. Kesimpulan
Manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya dengan menggunakan bahasa baik secara
lisan maupun tulisan. Kajian ilmu linguistic yang membahas bahasa dari segi bunyi ujaran
adalah bidang fonetik dan fonologi. Fonetik mengkaji bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat
ucap atau articulator, dan fonologi mengkaji bunyi bahasa berdasarkan arti.