Anda di halaman 1dari 32

PEMBAHASAN

FONOLOGI, MORFOLOGI, SEMANTIC, SINTAKSIS, KALIMAT EFEKTIF

A. FONOLOGI

Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-


bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi
yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan
menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai
pembeda makna.

Untuk lebih jelasnya kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi [i] yang terdapat pada
kata-kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama. Begitu juga bunyi [p] pada kata inggris ,
, dan , juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan bunyi [p] pada deretan kata-kata diatas
itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik.Dalam kajiannya fonetik, akan
berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya.
Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru]
adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu
menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.

1. Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan
apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian
menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu
fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana
mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi bahasa serta bagaimana
bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa
fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme
penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik ini yang paling berurusan
dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan
masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan
fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih berkenaan
dengan bidang kedokteran.

2. Fonemik
Identitas fonem sebagai idebtitas pembeda. Dasar bukti identitas fonem adalah apa yang dapat
kita sebut fungsi pembeda sebagai sifat khas fonem itu. Seperti contoh tentang rupa dan lupa.
Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata itu ialah menyangkut bunyi pertama, (r) dan (l).
Oleh karena semua yang lain dalam pasangan kedua kata ini adalah sama, maka pasangan
tersebut disebut pasangan minimal : perbedaan di dalam pasangan itu adalah minimal.
Dengan perkataan lain, perbedaan antara l dan r adalah apa yang membedakan dari sudut analisis
bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, l dan r dalam bahasa Indonesia merupakan fonem-fonem
yang berbeda identitasnya. Objek penelitian fonemik adalah fonem yakni bunyi bahasa yang
dapat atau berfungsi membedakan makna kata.

Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan
bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan
satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan
bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa
atau berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu.

Fonem itu berjenis-jenis. John Lyons (1968), Pater Ladefoged (1975), Gleason (1958)
mengatakan bahwa fonem setiap bahasa dapat dibagi atas :

1. Fonem segmental adalah fonem yang dapat dianalisis keberadaanya. Fonem segmental
dapat dibagi atas vokal dan konsonan.
2. Fonem suprasegmental adalah fonem yang keberadaannya harus bersama-sama fonem
segmental.

B. MORFOLOGI

1. Pengertian morfologi
Morfologi adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem. Morfologi mempelajari dan
menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam linguistic bahasa Arab morfologi ini
adalah tashrif yaitu perubahan satu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentukan
untuk mendapatkan makna yang berbeda, yang tanpa perubahan ini, makna yang berbeda itu
akan terlahirkan.

Dalam pembahasan mengenai fonologi, kita memahami bahwa fonem adalah kesatuan bunyi
terkecil yang membedakan arti, seperti pada pasangan mata-mati, kedua bunyi /a/ dan /i/ adalah
dua fonem yang membedakan arti. Sekarang kalau kata mati itu dirubah menjadi kematian atau
mati- matian maka dua kata terakhir ini adalah bentukan baru yaitu dengan menambahkan ke dan
an dan pengulangan mati ditambah an. Dua kata baru ini mempunyai arti yang berbeda dari
makna kata asal mati. Perubahan-perubahan bentuk inilah yang dipelajari morfologi (morphe =
form = bentuk). Karena itu ada yang memberi definisi morfem sebagai satu satuan bentuk
terkecil yang mempunyai arti. Morfologi ini bukan hanya mencakup studi sinkronik
(morphemic), tapi juga sejarah dan perkembangan dan pembentukan kata (historial morphology).

2. Identifikasi morfem
Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus
membandingkan bentuk tersebut didalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk
tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain maka bentuk tersebut
adalah sebuah morfem. Sebagai contoh (1) : Kedua, ketiga, kelima, ketujuh, dsb.

Ternyata juga semua bentuk ke pada contoh (1) diatas dapat disegmentasikan sebagai satuan
tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menanyakan tingkat atau derajat.
Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas, karena merupakan bentuk terkecil yang
berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem.
Sekarang perhatikan bentuk ke pada contoh (2) berikut : kepasar, kekampus, kedapur, dsb.

Ternyata juga bentuk ke pada contoh (2) dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri
dan juga mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian
bentuk ke pada contoh diatas juga adalah morfem.

Dari contoh (1) dan (2) keduanya merupakan morfem yang berbeda, meskipun bentuknya
sama. Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah morfem.

Sekarang perhatikan contoh (3) yang juga terdapat pada contoh sebelumnya, kemudian
bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada pada contoh (3) : meninggalkan, ditinggal,
tertinggal, peninggalan, dsb.

Dari contoh diatas ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari
bagian unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau ninggal (tentang
perubahan bunyi t- menjadi bunyi n-). Maka, disini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem,
karena bentuknya sama dan maknanya juga sama.

Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, kita memang harus
mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan contoh (4) : menelantarkan, telantar, lantaran.
Dari contoh tersebut, meskipun bentuk lantar terdapat berulang-ulang, tapi bentuk lantar itu
bukanlah sebuah morfem, karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata kalau bentuk
menelantarkan memang punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan dengan
lantaran.

3. Morfem, Morf dan Alomorf

Seperti halnya dengan bunyi fonetis semata-mata, yang dilambangkan dengan mengapitnya
diantara kurung persegi, dan dengan fonem- fonem yang diapit diantara garis kanan, maka
morfemmorfem-morfem lazim dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung kurawal.
Misalnya, kata Inggris comfort dilambangkan sebagai { comfort }, comfortable sebagai
{ comfort }+ {-able}, uncomfortable sebagai {comfort}+{-able} dulu, baru {un-}+
{comfortable}, atau (dalam satu rumus) {{un-}{{comfort}{-able}}} (namun rumus ganda
seperti itu hanya mungkin bila semua morfem adalah morfem segmental).

Dalam analisis struktur-struktur morfemis, apa yang diapit diantara kurung kurawal itu disebut
(lambang) morfem. Kesulitannya (yang deskriptif) dengan pelambangan seperti itu adalah
bahwa tidak semua morfem berupa segmental. Namun dapat saja memerlukan kata jamak Inggris
feet sebaga{foot}+ (katakana) {jamak}, atau jamak sheep sebagai {sheep} +{}. Pelambangan
seperti {jamak} itu sudah menunjukan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan yang
abstrak : dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa nol, dapat juga berupa nada
tertentu.

Berbeda dengan morfem itu, almorf-almorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak
mutlak perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita sering membutuhkan
suatu bentuk yang kelihatannya cukup konkret. Bentuk konkret yang demikian disebut morf.

Jadi, alomorf adalah perwujudan konkret (didalam pertuturan) dari sebuah morfem. Setiap
morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua atau juga enam buah. Atau bisa juga
dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah
nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama
untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.

4. Klasifikasi morferm

Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria.


Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya,maknanya, dsb [6]

a. Morfem bebas dan morfem terikat


Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam
pertuturan. Contoh (dalam bahasa Indonesia) : pulang, makan, dan bagus adalah termasuk
morfem bebas.
Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat
muncul dalam pertuturan. Contohnya adalah semua afiks dalam bahasa Indonesia.

b. Morfem utuh dan morfem terbagi


Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem
tersebut : apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah
atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Contoh morfem utuh : (termasuk morfem dasar) =
{meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan {pinsil}, (termasuk morfem terikat) = {ter-},{ber-},
{henti},dsb.

Sedangkan contoh morfem terbagi (adalah sebuah morfem yang terdiri dari dari dua buah bagian
yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu
{satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}. Dalam bahasa Arab, dan juga bahasa Ibrani,
semua morfem akar untuk verba adalah morfem terbagi, yang terdiri atas tiga buah konsonan
yang dipisahkan oleh tiga buah vocal, yang merupakan morfem terikat yang terbagi pula.
Misalnya morfem akar terbagi {k,t,b} tulis merupakan dasar untuk kata-kata : kataba (ia laki-
laki telah menulis), katabat (ia perempuan telah menulis,), maktabun (perpustakaan).

c. Morfem segmental dan morfem suprasegmental


Perbedaan morfem segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang
membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental,
seperti morfem {lihat},{lah},{sikat}dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah
morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh , dsb.
miunsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dsb.

d. Morfem beralomorf zero


Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero tau nol (lambangnya
berupa ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun
berupa prosodi (unsure suprasegmental), melainkan berupa kekosongan

e. Morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal


Perbedaan lain yang biasa dilakukan orang adalah dikotomi adanya morfem bermakna leksikal
dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah
morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu
berproses dulu dengan morfem lain. Seperti : {kuda},{pergi},{lari},{merah}. Sebaliknya
morfem yang tidak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri,
akan mempunyai makna jika digabung dengan morfem lain. Seperti : {ber-},{me-},dan {ter-}.

5. Jenis Morfem [7]

Morfem yang dileburi morfem yang lain kita sebut morfem dasar, dan yang dileburkan itu
berupa imbuhan atau klitika atau bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau yang
sama (dalam reduplikasi).

Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam undo hak dalam
berhak.

Morfem akar adalah morfem dasar yang berbentuk terikat. Agar menjadi bentuk bebas,
akan harus mengalami pengimbuhan.

Morfem pradasar adalah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pengklitikan atau
pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.

A. Pengertian Semantik

Semantik sebagai istilah di dalam ilmu bahasa mempunyai pengertian tertentu. Menurut

Aminuddin (1998), Semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to

signift atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantic mengandung pengertian studi tentang

makna. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan

bagian dari linguistik.

Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti

tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah seamino yang berarti menandai atau melambangkan.

Yang dimaksud tanda atau lambang di sini adalah tanda-tanda linguistik yang terdiri atas (1)

komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan
atau makna dari komopnen pertama. Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, sedangkan

yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim

disebut sebagai referent/acuan/hal yang ditunjuk. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan

bahwa ilmu Semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic

dengan hal-hal yang ditandainya. Semantik adalah ilmu tentang makna atau arti.

Mengenai semantik Verhaar (1999: 385) mengemukakan bahwa semantik adalah cabang

linguistik yang meneliti arti atau makna yang terbagi lagi menjadi semantic gramatikal dan

semantik leksikal. Istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris

semantics, yang asalnya dari bahasa Yunani, asal kata sema (nomina) yang berarti tanda; atau

samaino (verba) yang berarti menandai atau berarti. Istilah digunakan para ahli bahasa untuk

menyebut salah satu cabang ilmu bahasa yang bergerak pada tataran makna atau ilmu bahasa

yang mempelajari makna. Semantik merupakan salah satu tataran ilmu bahasa dari tiga tataran

ilmu bahasa yang lainnya, yaitu fonologi dan tata bahasa (morfologi dan sintaksis). Kridalaksana

(1993: 193-194) memberikan pengertian semantik sebagai (1) bagian struktur bahasa yang

berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara; (2) sistem

dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya. Sementara itu,

Keraf (1982) mengemukakan bahwa semantik adalah bagian dari tatabahasa yang meneliti

makna dalam bahasa tertentu, mencari asal mula dan perkembangan dari arti suatu kata.

Sedangkan Harimurti (1982) mengemukakan bahwa, semantik adalah bagian dari struktur bahasa

yang membahas makna suatu ungkapan atau kata atau cabang ilmu bahasa yang mengkaji antara

lambang dan referennya, misalnya kata kata kursi bereferen dengan sebuah benda yang

fungsinya dipakai duduk dengan kaki terdiri atas empat Berdasarkan pengertian di atas,

semantik pada dasarnya merupakan salah satu cabang lingustik yang mengkaji terjadinya
berbagai kemungkinan makna suatu kata dan pengembangannya seiring dengan terjadinya

perubahan dalam masyarakat bahasa.

B. Sejarah Semantik

Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM, adalah pemikir pertama

yang menggunakan istilah makna lewat batasan pengertian kata yang menurut Aristoleles

adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Dalam hal ini, Aristoteles juga telah

mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu

sendir secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan

gramatikal.Bahkan Plato (429-347 SM) dalam Cratylus menungkapkan bahwa bunyi-bunyi

bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa

itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata, belum jelas. Salah seorang

ahli bahasa klasik yang bernama Reisig pada tahun 1825

mengungkapkan konsep baru tentang grammar (tata bahasa) yang meliputi tiga unsur utama,

yaitu etimologi, studi asal-usul kata yang berhubungan dengan perubahan bentuk maupun

makna; sintaksis, tata kalimat; dan semasiologi, ilmu tanda (makna). Istilah semasiologi yang

dikemukakan Reisig sebagai ilmu baru pada 1820-1925 belum disadari sebagai semantik.

Semantik baru dinyatakan sebagai ilmu makna pada tahun 1890-an dengan munculnya Essai de

Semantique karya Breal, yang kemudian disusul oleh karya dari Stern pada tahun 1931. Sebelum

karya Stern, di Jenewa telah lahir sebuah karya dari Ferdinand de Saussure berjudul Cours de

Linguisticque Generale yang merupakan kumpulan bahan kuliah. Pandangan Saussure ini

merupakan pandangan aliran strukturalisme. Menurut pandangan ini, bahasa merupakan satu

sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan, merupakan satu kesatuan (the

whole unified). Selanjutnya, pandangan ini dijadikan titik tolak penelitian yang sangat kuat
mempengaruhi berbagai penelitian, terutama di Eropa (Djajasudarma, 1993). Para ahli linguistik

mencoba menjelaskan tiga hal yang berhubungan dengan makna, yaitu:

1. makna kata secara alamiah (makna inheren);

2. mendeskripsikan makna kalimat secara alamiah (makna kategori); dan

3. menjelaskan proses komunikasi.

Dalam bahasa Indonesia, linguistik (bahasa Inggris linguistic) memiliki dua pemahaman, sebagai

terjemahan dari bahasa Inggris linguistics, yaitu (1) ilmu bahasa dan (2) bahasa sebagai objek

ilmu bahasa (linguistik). Jadi, objek linguistik sebagai ilmu bahasa adalah linguistik (bahasa).

Bila dilihat berdasarkan konsep kajian kebahasaan de Saussure, sign tanda terbagi menjadi

signans sebagai komponen terkecil dari tanda, dan signatum sebagai makna yang diacu oleh

signans. Lain lagi dengan istilah yang digunakan Kaum Stoik, sign tanda dibagi menjadi

signifiant dan signifie.

Kaum Stoik Ferdinand de Saussure

Significant signans

sign tanda sign tanda

signifie signatum

Bagan Istilah Sign tanda Menurut Kaum Stoik dan de Saussure

(sumber Djajasudarma, 1993)


Kedudukan semantik pada tataran bahasa (linguistik) dengan melibatkan tataran

yang lebih luas dari sintaksis terlihat pada diagram berikut.

t wacana makna wacana

t sintaksis makna gramatikal

r morfosintaksis perubahan makna

n morfologi makna leksikal - morfemis

a morfofonologi perubahan makna

a fonologi satuannya membedakan makna

a semantik objeknya makna

Bagan Kedudukan Semantik pada Tataran Bahasa (Linguistik)

(sumber Djajasudarma, 1993)

C. Istilah Makna

Makna merupakan unsur bahasa yang sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa

oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti dan terjadi komunikasi. Menurut

Djajasudarma (1993: 5), makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu
sendiri (terutama kata-kata), sedangkan menurut Palmer (1976: 30), makna hanya

menyangkut unsur intrabahasa. Sementara, Lyons (1977: 204) menyebutkan bahwa mengkaji

atau memberikan makna suatu kata adalah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan

dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain.

Dalam hal ini, menyangkut makna leksikal dari katakata itu sendiri yang cenderung terdapat

di dalam kamus, sebagai leksem (dalam Djajasudarma,1993).

Pengertian makna di sini dapat dibedakan dari kata asalnya dalam bahasa Inggris,

sense dan meaning yang keduanya berarti makna di dalam istilah semantik. Kridalaksana

(1993: 132-133) memberikan beberapa pengertian mengenai istilah makna (meaning,

linguistic meaning, sense), yaitu (1) maksud pembicara; (2) pengaruh satuan bahasa dalam

pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; (3) hubungan, dalam arti

kesepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang

ditunjuknya; (4) cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Dari pengertian-pengertian tersebut, jelas bahwa makna bahasa merupakan aspek

terjadinya komunikasi di antara para penutur bahasa. Seperti dijelaskan pada pengertian

ketiga, makna merupakan penghubung antara bahasa dengan alam di luar bahasa, atau antara

ujaran dengan semua hal yang ditunjuknya, sesuai dengan kesepakatan para pemakai bahasa

sehingga dapat saling mengerti dan terjadi komunikasi.

Dengan demikian, makna memiliki tiga tingkat keberadaan dalam satuan

kebahasaan. Pertama, makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. Kedua, makna

menjadi isi dari suatu kebahasaan. Dan ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu

membuahkan informasi tertentu. Dari ketiga tingkatan makna tersebut dapat dijelaskan bahwa

tingkat pertama dan kedua, makna dilihat dari segi hubungannya dengan penutur, sedangkan
pada tingkat ketiga lebih ditekankan pada hubungan makna di dalam komunikasi. Seperti

yang digambarkan Samsuri (1994) dengan sebuah garis hubungan ketiga tingkatan

keberadaan makna, yaitu:

makna ..............ungkapan.............. makna

Mempelajari makna pada hakikatnya berarti bagaimana setiap pemakai bahasa

dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti. Dalam hal ini, untuk menyusun sebuah

kalimat yang dapat dimengerti, sebagian pemakai bahasa dituntut agar mentaati kaidah

gramatikal, sebagian lagi tunduk pada kaidah pilihan kata menurut sistem leksikal yang

berlaku di dalam suatu bahasa. Begitu juga makna sebuah kalimat sering tidak bergantung

pada sistem gramatikal dan leksikal saja, tetapi bergantung pada kaidah wacana. Makna

sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunan gramatikalnya sering tidak dapat

dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam sebuah wacana.

Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna

adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik.

Tanda linguistik atau tanda bahasa sendiri terdiri dari dua komponen, yaitu komponen

signifian atau yang mengartikan yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen

signifie atau yang diartikan yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki

oleh signifian). Di sini, kalau tanda-linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau

leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau

leksem; kalau tanda-linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti

makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut

morfem dasar maupun morfem afiks. Kridalaksana (1989), menyatakan setiap tanda bahasa

(yang disebutnya penanda) tentu mengacu pada sesuatu yang ditandai (yang disebut petanda).
Konsep teori de Saussure ini dikembangkan lagi oleh Richard dan Ogdent (dalam

Chaer, 1994: 287).

Dalam sebuah bagan makna berupa segi tiga yang menghubungkan tiga komponen

makna, yaitu bentuk, konsep, dan referen. Bagannya adalah sebagai berikut.

Konsep

Bentuk .................................... Referen

Bagan seti tiga makna

(sumber

Hubungan ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut. Bentuk dan referen dihubungkan dengan

garis putus-putus, sedangkan bentuk dan konsep, serta konsep dan referen dihubungankan

dengan garis biasa. Ini disebabkan, karena hubungan antara bentuk dan referen bersifat tidak

langsung, sebab bentuk adalah masalah dalam-bahasa sementara referen merupakan masalah di

luar-bahasa yang hubungannya biasanya bersifat arbitrer. Sementara hubungan bentuk dan

konsep serta hubungan konsep dan referen bersifat langsung, bentuk dan konsep sama-sama

berada di dalam-bahasa, begitu juga hubungan konsep dan referen karena referen adalah acuan

dari konsep tersebut.

D. Aspek Makna

Aspek makna menurut Palmer (1976) berdasarkan fungsinya terdiri dari empat aspek, yaitu:

1. sense pengertian
2. feeling perasaan

3. tone nada

4. intension tujuan

Makna sense pengertian dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-hari yang

melibatkan apa yang disebut dengan tema. Makna feeling perasaan, tone nada, dan

intension tujuan dapat kita pertimbangkan dalam pemakaian bahasa sehari-hari, baik

bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.

1. Sense Pengertian

Aspek makna sense pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara/

penulis dan kawan bicara atau pembaca berbahasa sama. Makna pengertian disebut juga

dengan tema, yang melibatkan ide atau pesan yang dimaksud dalam sebuah pembicaraan.

2. Feeling Perasaan

Aspek makna feeling perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dan situasi

pembicaraan. Di dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan dengan

perasaan (sedih, panas, dingin, gembira, senang, jengkel, bosan, dsb.). pernyataan situasi

yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut digunakan kata-kata yang

sesuai

dengan situasi pada saat pembicaraan berlangsung.

3. Tone Nada

Aspek makna tone nada adalah an attitude to his listener (sikap pembicara

terhadap kawan bicara) atau sikap penulis terhadap pembaca. Aspek makna nada ini

melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan kawan

bicara dan pembicara sendiri. Hubungan pembicara dengan pendengar (kawan bicara)
akan menentuka sikap yang akan tercermin di dalam kata-kata yang akan digunakan,

pemilihan kata-kata yang tepat untuk digunakan dalam pembicaraan.

Aspek makna nada ini berhubungan pula dengan aspek makna perasaan,

misalnya, bila kita sedang jengkel maka sikap kita akan berlainan dengan perasaan

bergembira terhadap kawan bicara. Bila kita jengkel akan memilih aspek makna nada

dengan meninggi, berlainan dengan aspek makna yang digunakan bila kita memerlukan

sesuatu, maka akan mempergunakan aspek makna nada yang beriba-iba dengan nada

merata atau merendah.

4. Intension Tujuan

Aspek makna intension tujuan ini adalah his aim, conscious or unconscious,

the effect he is endeavouring to promote (tujuan atau maksud, baik disadari maupun

tidak, akibat usaha dari peningkatan). Aspek makna tujuan yang kita ungkapkan pasti

memiliki tujuan tertentu. Misalnya, bertujuan supaya kawan bicara kita mengubah

kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan oleh kita.

Aspek makna tujuan dapat dikelompokkan berdasarkan sifat pernyataan yang

diungkapkan oleh pembicara terhadap lawan bicaranya. Pernyataan-pernyataan itu dapat

bersifat:

a. deklaratif;

b. persuasif;

c. imperatif;

d. naratif;

e. politis;

f. dan paedagogis (pendidikan).


E. Tipe Makna

Tipe adalah pengelompokan sesuatu berdasarkan kesamaan objek, kesamaan

ciri atau sifat yang dimiliki benda, hal, peristiwa atau aktivitas lainnya (Djajasudarma,

1999:17). Tipe-tipe makna dalam kajian ilmu makna pernah diungkapkan Leech (1974),

yang membagi tipe makna ke dalam tiga bagian besar. Pertama, makna konseptual,

yaitu makna yang bersifat logis, kognitif, atau denotative. Dua, makna asosiatif, makna

asosiatif dibagi lagi menjadi lima makna yaitu: (1) makna konotatif, yakni makna yang

muncul dibalik makna kognitif; (2) makna stilistika, yakni makna yang melibatkan

situasi sosial; (3) makna afektif yakni makna yang melibatkan perasaan dan sikap

pembicara atau penulis; (4) makna refleksif yakni makna yang dihubungkan dengan

makna asosiasi lainnya; dan (5) makna kolokatif (sanding kata) yakni makna yang

muncul akibat kata-kata tertentu memiliki pasangan (sanding). Dan tiga, makna tematis.

Kridalaksana (1993: 132-133) dalam Kamus Linguistik, memberikan

beberapa pengertian tipe makna secara umum, sebagai berikut.

a. makna denotatif (denotative meaning)

Makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada

sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif.

b. makna ekstensi (extensional meaning)

Makna yang mencakup semua ciri-ciri objek atau konsep.

c. makna gramatikal (grammatical meaning, functional meaning, structural

meaning,internal meaning)

Hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar;

misalnya, hubungan antara kata dengan kata lain dalam frase atau klausa.
d. makna hakikat

Adalah makna denotasi.

e. makna intensi (intensional meaning)

Makna yang menekankan maksud pembicara.

f. makna kiasan (transferred meaning, figurative meaning)

Pemakaian kata dengan makna yang tidak sebenarnya; misalnya makota wanita,

yang berarti rambut wanita.

g. makna kognitif (cognitive meaning)

Aspek-aspek makna satuan bahasa yang berhubungan dengan ciri-ciri dalam alam di

luar bahasa atau penalaran.

h. makna konotatif (connotative meaning)

Aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau

pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar

(pembaca).

i. makna konstruksi (construction meaning) Makna yang terdapat dalam konstruksi;

misalnya makna kata milik, yang dalambahasa Indonesia diungkapkan dengan

urutan kata.

j. makna kontekstual (contextual meaning, situational meaning)

Hubungan antara ujaran dan situasi di mana ujaran itu dipakai.

k. makna leksikal (lexical meaning, semantic meaning, external meaning)

Makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain; makna

leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya.

l. makna luas (extended meaning, situational meaning)


Makna ujaran yang lebih luas daripada makna pusatnya; misalnya makna sekolah

dalam kalimat, Ia bersekolah lagi di SESKOAL. yang lebih luas daripada makna

gedung tempat belajar.

m. makna majas

Sama dengan makna kiasan. Berkaitan dengan majas, Anda akan mempelajarinya

pada BBM 9

n. makna pusat (central meaning)

Makna kata yang umumnya dimengerti bilamana kata itu diberikan tanpa konteks;

disebut juga makna tak berciri.

o. makna referensial (referential meaning) Makna unsur bahasa yang sangat dekat

hubungannya dengan dunia di luar bahasa (objek atau gagasan), dan yang dapat

dijelaskan oleh analisis komponen; disebut juga makna denotasi; lawan dari makna

konotasi.

p. makna sempit (specialised meaning, narrowed meaning) Makna ujaran yang lebih

sempit daripada makna pusatnya; misalnya makna kepala dalam kepala batu.

q. makna tak berciri Sama dengan makna pusat.

F. Medan Makna dan Komponen Makna

Kata-kata atau leksem-leksem yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai

kata-kata atau leksem-leksem yang berada dalam satu medan makna atau satu medan

leksikal, sedangkan usaha untuk menganalisis kata-kata atau leksem-leksem terhadap


unsur unsur makna yang dimilikinya dinamakan analisis komponen makna atau analisis

ciri-ciri makna, atau analisis ciri-ciri leksikal.

Sebagai contoh, kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat

dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantic

yang dimiliki kata-kata atau leksem-leksem tersebut. Misalnya, kata-kata kuning,

merah, hijau, biru, dan ungu berada dalam satu kelompok, yaitu kelompok warna atau

namanama warna, atau jenis warna. Sebaliknya, setiap kata atau leksem dapat dianalisis

unsur-unsur maknanya sehingga dapat diketahui perbedaan makna antara kata tersebut

dengan kata yang lainnya yang berada dalam satu kelompok. Misalnya, kata mayat dan

bangkai berada dalam satu kelompok yaitu sesuatu yang sudah mati, tetapi perbedaan

maknanya terletak pada bahwa kata mayat dipakai untuk manusia yang meninggal,

sedangkan kata bangkai digunakan untuk hal yang telah mati, yang bukan manusia.

Secara singkat di bawah ini akan dipaparkan mengenai medan makna dan komponen

makna sebagai berikut.

1. Medan Makna

Medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah

seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena

menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta

tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau

nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna

(Chaer, 1994: 315-316).

Kata-kata atau leksem-leksem yang diklasifikasikan dalam satu medan

makna berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok


medan kolokasi dan medan set. Medan kolokasi menunjukkan pada hubungan yang

sintagmatik yang terdapat di antara kata-kata atau leksem-leksem atau unsur-unsur

leksikalnya, misalnya kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan

tenggelam merupakan kata-kata dalam satu kolokasi yaitu satu tempat atau

lingkungan yang sama yang berkenaan dengan lingkungan kelautan. Sementara itu,

medan set menunjukkan pada hubungan yang paradigmatig karena kata-kata atau

leksem-leksem yang berada dalam satu kelompok medan set bisa saling

disubstitusikan. Sekelompok kata yang merupakan satu set biasanya mempunyai

kelas kata yang sama, dan merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam medan set

dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota set yang lainnya.

Misalnya, kata remaja dan sejuk, kata remaja merupakan tahap perkembangan dari

kanak-kanak menuju dewasa, sedangkan kata sejuk merupakan suhu di antara

dingin dan hangat.

2. Komponen Makna

Sama halnya dengan medan makna, setiap kata, leksem, atau butir leksikal

tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata, leksem, atau butir

leksikal itu terdiri dari sejumlah komponen yang dinamakan komponen makna,

yang membentuk keseluruhan makna kata, leksem, atau butir leksekal tersebut.

Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu

berdasarkan pengertian-pengertian yang dimilikinya (Chaer, 1994: 318).

Analisis komponen makna dapat dimanfaatkan sebagai berikut. Pertama,

untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim, misalnya, kata ayah

dan bapak adalah dua kata yang bersinonim, dua buah kata yang bersinonim
maknanya tidak persis sama, tentu ada perbedaan makna. Kalau dianalisi kata ayah

dan bapak dari segi komponen makna, maka kata ayah dan bapak sama-sama

memiliki komponen makna manusia, dewasa, dan sapaan kepada orang tua laki-

laki, bedanya, kata ayah tidak memiliki komponen sapaan kepada orang yang

dihormati, sedangkan kata bapak memiliki komponen makna sapaan kepada orang

yang dihormati. Sehingga antara kata ayah dan bapak memiliki beda makna yang

hakiki yang menyebabkan keduanya tidak dapat dipertukarkan.

Kedua, berguna untuk membuat prediksi makna-makna gramatikal

afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Misalnya, dalam proses afiksasi dengan

prefiks me- pada nomina yang memiliki komponen makna alat akan mempunyai

makna gramatikal melakukan tindakan dengan alat dalam kata dasarnya, seperti

pada kata menggergaji, memahat, menombak, mengail, dan sebagainya. Proses

afiksasi dengan prefiks me- terhadap nomina yang memiliki komponen makna sifat

atau ciri khas akan mempunyai makna gramatikal menjadi atau berbuat seperti

yang disebut pada kata dasarnya, seperti pada kata membeo, mematung, membaja,

membatu, dan sebagainya. Proses afiksasi dengan prefiks me- pada nomina yang

memiliki komponen makna hasil olahan akan mempunyai makna gramatikal

membuat yang disebut kata dasarnya, seperti pada kata menyate, menggulai,

menyambal, dan sebagainya. Dalam proses komposisi, atau proses penggabungan

leksem dengan leksem, terlihat bahwa komponen makna yang dimiliki oleh bentuk

dasar yang terlibat dalam proses itu menentukan makna gramatikal yang

dihasilkannya. Misalnya, makna gramatikal milik hanya dapat terjadi apabila


konstituen kedua dari komposisi itu memiliki komponen makna manusia atau

dianggap manusia.

Ketiga, bermanfaat untuk meramalkan makna gramatikal, dapat juga

dilihat pada proses reduplikasi dan proses komposisi. Dalam proses reduplikasi,

yang terjadi pada dasar verba yang memiliki komponen makna sesaat dapat

memberi makna gramatikal berulang-ulang, seperti pada kata memotong-motong,

memukul-mukul, menendangnendang, dan sebagainya. Pada verba yang memiliki

komponen makna bersaat akan memberi makna gramatikal dilakukan tanpa

tujuan, seperti pada kata membaca-baca, mandi-mandi, duduk-duduk, dan

sebagainya.

C. SINTAKSIS
1. Pengertian Sintaksis
Kata sintaksis berasaldari kata Yunani (sun = dengan + tattein menempatkan. Jadi kata
sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata
atau kalimat.[8] Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam
tuturan[9]. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur
gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan
kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat.

Ramlan (1981:1) mengatakan: Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase ..

2. Kata sebagai Satuan Sintaksis


Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi
komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini, kata, hanya
dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur
pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata
sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata,
yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang merupakan kata
penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, ajektifa, adverbia, dan numeralia.
Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata yang yang berkategori preposisi dan
konjungsi.[10]

3. Frase

Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat
nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi satah satu fungsi sintaksis di
dalam kalimat.

Frase tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal bedanya
dengan kata majemuk yaitu kata majemuk sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau
memiliki satu makna.

Jenis Fase:
1. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen komponennya tidak mempunyai perilaku
sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, frase di pasar, yang terdiri dari
komponen di dan komponen pasar. Frase eksosentirk biasanya dibedakan atas frase eksosentrik
yang direktif dan frase eksosentrik yang nondirektif.
2. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku
sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, sedang komponen keduanya yaitu
membaca dapat menggantikan kedudukan frase tersebut.
3. Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau
lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh kunjungsi
koordinatif.
4. Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua k komponenanya saling merujuk sesamanya,
dan oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.

4. Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di
dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan
yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Badudu (1976 : 10)
mengatakan bahwa klausa adalah sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat
yang lebih besar.

Sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau
intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek mandi baru dapat disebut kalimat kalau kepadanya diberi
intonasi final kalau belum maka masih berstatus klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat.

Berdasarkan strukturnya dapat dibedakan adanya klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas
dalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subyek dan
predikat, dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Klausa terikat
memiliki struktur yang tidak lengkap.

Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat dibedakan adanya klausa
verbal, klausa nominal, klausa ajektival, klausa adverbial dan klausa preposisional. Dengan
adanya berbagai tipe verba, maka dikenal adanya klausa transitif, klausa intransitif, klausa
refleksif dan klausa resprokal.

Klausa ajektival adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektiva, baik berupa kata maupun
frase. Klausa adverbial adalah klausa yang predikatnya berupa adverbial. Klausa preposisional
adalah klausa yang predikatnya berupa frase berkategori.

Klausa numeral adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numerila. Klausa
berupasat adalah klausa yang subjeknya terikat didalam predikatnya, meskipun di tempat lain
ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.
5. Kalimat
Ramlan (1981:6) mengatakan : kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi adanya jeda
panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Kalimat merupakan satuan atau deretan kata-
kata yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhannya dan secara ortografi
biasanya diakhiri tanda titik atau tanda akhir lain yang sesuai.

Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap. Dalam
kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kalimat adalah
satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi
dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Intonasi final yang ada
yang memberi ciri kalimat ada tiga buah, yaitu intonasi deklaratif, intonasi interogratif (?) dan
intonasi seru (!)
Jenis kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai, kriteria atau sudut pandang. Kalimat inti
dan Kalimat Non Inti Kalimat inti atau disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari
klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmarif. Di dalam praktek
berbahasa, lebih banyak digunakan kalimat non inti daripada kalimat inti.

1) Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk


Kalau klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut disebut kalimat tunggal. Kalau klausa di
dalam kalimat terdapat lebih dari satu, maka kalimat itu disebut kalimat majemuk. Berdasarkan
sifat hubungan klausa di dalam kalimat, dibedakan adanya kalimat majemuk koordinatif
(konjungsi koordinatif seperti dan, atau, tetapi, lalu) kalimat majemuk subordinatif (kalau,
ketika, meskipun, karena) dan kalimat majemuk kompleks ( terdiri dari tiga klausa atau lebih,
baik dihubungkan secara koordinatif maupun subrodinatif atau disebut kalimat majemuk
campuran./

2) Kalimat Mayor dan Kalimat Minor


Kalau klausa lengkap sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat, maka kalimat itu
disebut kalimat mayor. Kalau klausanya tidak lengkap, entah terdiri subjek saja, predikat saja,
ataukah keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut kalimat minor.

3) Kalimat Verbal dan Kalimat Non-Verbal


Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya
berupa kata atau frase yang berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang
predikatnya bukan frase atau frase verbal, bisa nomina, ajektiva, adverbial, atau juga numeralia.

4) Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat


Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau dapat
memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang
menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri
sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wawancara tanpa bantuan konteks.

Dalam bahasa Indonesia intonasi tidak berlaku pada tataran fonologi dan morfologi, melainkan
hanya berlaku pada tataran sintaksis. Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat
dari sebuah klausa. Ciri-ciri intonasi berupa tekanan tempo dan nada.

6. Wacana

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan
gramatikal tertinggi atau terbesar. Persyaratan gramatikal dalam wacana akan terpenuhi kalau
dalam wacana itu sudah terbina kekhohesian maka akan terciptalah erensian.

Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif
antara lain : konjungsi, kedua menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai
rujukan anaforis, ketiga menggunakan elipsis.

Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga dibuat
dengan bantuan pelbagai aspek semantik.

Berbagai jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana wacana itu dilihat. Pertama-tama
di lihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan sarannya, yaitu bahasa lisan dan
bahasa. Dilihat dari penggunaan bahasanya ada wacana prosa dan wacana puisi.
Wacana adalah satuan bahasa yang utuh dan lengkap, maksudnya adalah wacana ini satuan ide
atau pesan yang disampaikan akan dapat dipahami pendengar atau pembaca tanpa keraguan,
atau tanpa merasa adanya kekurangan informasi dari ide atau pesan yang tertuang dalam wacana
itu.

6.KALIMAT EFEKTIF

Kalimat yang benar yang jelas sehingga apa yang ingin disampaikan dapat dipahami pembaca.

Ciri-ciri kalimat:

1. Kesepadanan;

2. Kesejajaran;

3. Ketegasan;

4. Kehematan;

5. Kecermatan;

6. Kepaduan;

7. Kelogisan.

1) Kesepadanan : keseimbangan antara gagasan dan struktur bahasa yang dipakai.

Kesepadanan dicirikan dengan

a. Kalimat harus jelas Subjek dan Predikatnya. Kalimat menjadi tidak efektif karena di
depan subjek ada kata depan.

b. Tidak boleh ada subjek ganda.

c. Kata penghubung intra kalimat tidak dipakai pada kalimat tunggal.

d. Predikatnya tidak didahului kata yang.

Contoh kalimat yang tidak sepadan.


1) Bagi semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah (salah)

2) Soal itu saya kurang jelas (salah)

3) Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama.(salah)

4) Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu.(salah)

2. Kesejajaran/ keparalelan

Penggunaan bentuk-bentuk yang sama pada kata-kata yang berpararel.

contoh:

a. Maskapai tidak bertanggung jawab terhadap kehilangan dokumen, kerusakan


barang, busuknya makanan, dan jika hewan yang diletakkan di dalam bagasi
tiba-tiba mati.
b. Harga minyak tanah dibekukan atau kenaikan secara wajar.
c. Penyelesaian pembangunan gedung itu menitikberatkan pada merenovasi
ruang, penataan taman, dan pemasangan lampu-lampu.

3. Ketegasan / penekanan: suatu perlakuan penonjolan ide pokok kalimat.

Ketegasan dapat dilakukan dengan

a. Mengubah posisi dalam kalimat.

b. Membuat urutan kata secara bertahap.

c. Melakukan pengulangan kata / repetisi.

d. Melakukan pertentangan terhadap ide yang ditonjolkan.

e. Menggunakan partikel penekan.


Contoh dari ketegasan.

1) *Harapan presiden ialah agar rakyat membangun bangsa dan negaranya.

*Presiden mengharapkan agar rakyat membangun bangsa dan negaranya dengan


kemampuan yang ada pada dirinya.

2. Bukan seribu, sejuta, atau seratus, tetapi berjuta-juta telah disumbangkannya kepada
anak-anak terlantar.

3. Saya suka kecantikan mereka, saya suka akan kelembutan mereka.

4. Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan jujur.

5. Saudaralah yang bertanggung jawab.

4. Kehematan

Kehematan kata dapat dilakukan dengan

a. Hindari pengulangan subjek

contoh :

1) Jika penumpang berbeda namanya dengan tiket,

penumpang batal berangkat.

2) Dia diangkat menjadi direktur karena dia seorang yang tekun dan rajin.

b. Hindari pemakaian superordinat pada hiponimi kata.

contoh :
Pada hari Kamis tanggal 20 Maret 2008 Direktur PT Pelangi Utama yang berbendera
warna merah, kuning, dan hijau meresmikan berdirinya perusahaan yang memproduksi lampu
neon.

c. Hindari dua kata yang bersinonim dipakai dalam sebuah kalimat.

Contoh:

Menurut hasil penelitian seputar mana-jemen waktu mengemukakan bahwa menerima


panggilan telepon saat mengendarai mobil adalah merupakan gangguan yang dapat
membuyarkan konsentrasi sehingga dengan demikian akhirnya akan menurunkan produktivitas
kerja.

5. Kecermatan : kalimat tidak menimbulkan tafsiran ganda dan tepat pada pilihan kata.

Contoh:

a. Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu menerima hadiahh.

b. Dia menerima uang sebanyak dua puluh lima ribuan.

c. Yang diceritakan menceritakan tentang putra-putri raja, para hulubalang, dan para
menteri.

6. Kepaduan/koherensi : Pernyataan dalam kalimat dibuat sepadu mungkin sehingga informasi


yang disampaikan tidak terpecah-pecah.

Kepaduan dapat dilakukan dengan

a. Kalimat yang dibangun tidak bertele-tele.

b. Kalimat mempergunakan pola aspek + agen + verbal secara tertib.

c. Tidak menyisipkan kata daripada atau tentang diantara predikat kata kerja dan objek.
7. Kelogisan: Ide kalimat itu dapat diterima oleh akal dan penulisannya sesuai dengan ejaan
yang berlaku.

Contoh

a. Waktu dan tempat kami persilakan.

b. Untuk mempersingkat waktu, kita lanjutkan acara ini.

c. Mayat wanita yang ditemukan itu sebelumnya sering mondar-mandir di daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Beberapa Madzhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung :
Angkasa.

Dr. Mansoer Pateda, Linguistik Sebuah Pengantar, Bandung, 2011, hal. 97


Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
http://belajar.dedeyahya.web.id/2012/04/makalah-fonologi-morfologi-dan.html 11 may 2017

Anda mungkin juga menyukai