Anda di halaman 1dari 8

A.

MORFEM
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Morfologi
Pada saat kita akan memepelajari sebuah ilmu, khususnya morfologi, maka akan
muncul pertanyaan-pertanyaan: Apakah morfologi itu? Apa saja yang dipelajari dalam
morfologi? Bagaimana kedudukannya di samping ilmu-ilmu yang lain?
Dalam kamus Internasional, Ralibi (1982:363) mengemukakan bahwa morfhologie
berasal dari bahasa Yunani morfhe yang digabungkan dengan logos, morfhe berarti bentuk
dan logos berarti ilmu. Berdasrkan hal itu, kita mendapat gambaran bahwa morfologi
merupakan ilmu tentang bentuk Morfem.
Morfologi adalah cabang dari ilmu bahasa yang memepelajari seluk beluk bentuk kata
dan perubahannya serta dampak dari perubahan itu terhadap makna dan kelas kata.
(Depdikbud)
Ramlan (1987:21) mengemukakan morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang
membicarakan atau yang mempelajari seluk beluk bentuk kata serta pengaruh perubahanperubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta fungsi perubahanperubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik atau fungsi semantik.
Ruang lingkup garapan morfologi yaitu satuan terkecil adalah morfem dan satuan
terbesar adalah kata.
2. Identifikasi Morfem
Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, yang harus kita
lakukan adalah:
a. membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk yang
lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk
lain, maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Contohnya
Kedua
Ketiga
Kelima
Ketujuh
Ternyata semua bentuk ke pada daftar di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan
tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menyatakan makna tingkat atau
derajat.
b. Adanya kesamaan arti dan kesamaan bentuk
Contohnya: meninggalkan, meninggal, tertinggal, peninggalan, ketinggalan,
sepeninggal
Dari daftar tersebut ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari
bagian unsur-unsur lainnya. Dalam hal ini bentuk yang sama dan arti yang sama adalah
kata tinggal/ninggal
c. Mengetahui atau mengenal maknanya.
Contohnya: menelantarkan, telantar, lantaran.

Meskipun bentuk lantar terdapat berulang-ulang pada daftar tersebut, tetapi bentuk
lantar itu bukanlah sebuah morfem karena tidak ada maknanya. Bentuk menelantarkan
memang punya hubungan dengan telantar, tapi tidak ada hubungannya dengan
lantaran.
3. Morf dan Alomorf
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang yang belum diketahui statusnya;
sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk kalau sudah diketahui status morfemnya.
4. Klasifikasi Morfem
Morfem dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan
kebebasannya, keutuhannya, maknanya, dan sebagainya.
a) Morfem bebas dan morfem terikat
Yang dimaksud morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain
dapat muncul dalam pertuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, bentuk pulang,
makan, rumah, dan bagus adalah termasuk morfem bebas. Morfem-morfem tersebut
tanpa harus terlebih dahulu menggabungkannya dengan morfem lain. Sedang kan
morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak
dapat muncul dalam penuturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem
bebas.
b) Morfem utuh dan Morfem terbagi
Semua morfem dasar bebas adalah termasuk morfem utuh, sedangkan morfem
terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah.
Sehubungan dengan morfem terbagi ini , untuk bahasa Indonesia ada catatan yang
harus diperhatikan, yaitu: Pertama semua afiks yang disebut konfiks adalah termasuk
morfem terbagi. Kedua, dalam bahasa Indonesia ada infiks atau sisipan. Infiks dapat
mengubah morfem utuh menjadi morfem terbagi. Misalnya {gigi} menjadi morfem
terbagi {g-/igi},
c) Morfem Segmental dan Suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan supra segmental berdasarkan jenis fonem yang
membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem
segmental, seperti {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}. Jadi, semua morfem yang
berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedngkan morfem suprasegmental adalah
morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan nada, durasi
dan sebagainya.
d) Morfem beralomorf Zero
Morfem beralomorf zero atau nol (lambangnya berupa ) adalah morfem yang salah
satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur
suprasegmental) melainkan berupa kekosongan contohnya:

Bentuk tunggal

Bentuk jamak

Book
sheep

Book+s
Sheep+0

e) Morfem bermakna leksikal dan morfem tidak bermakna leksikal


Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yan
secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri. Tanpa perlu berproses
terlebih dahulu dengan morfem lain.
5. Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (Stem), dan Akar (Root)
Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks.
Jadi, bentuk-bentuk seperti {juang}, {kucing}, dan {sikat} adalah morfem dasar.
Morfem dasar ini ada yang termasuk morfem terikat, seperti {juang}, {henti}, dan
{abai}; tetapi juga ada yang termasuk morfem bebas, seperti {beli}, {lari}, dan
{kucing}. Sedangkan morfem afiks, seperti {ber-}, {ter-} dan {-kan} jelas semuanya
adalah morfem terikat.
Sebuah morfem dasar dpat menjadi sebuah bentuk dasar dalam suatu proses
morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam
suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses
komposisi.
Istilah bentuk dasar bisanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjdi
dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini bisa berupa morfem tunggal,
tetapi dapat juga berbentuk morfem gabungan. Misalnya kata berbicara yang terdiri
dari morfem ber- dan bicara, maka bicara adalah menjadi bentuk dasar dari kata
berbicara, yang kebetulan adalah morfem dasar. Pada kata dimengerti bentuk dasarnya
adalah mengerti; dan pada kata keanekaragaman bentuk dasarnya adalah aneka ragam.
Ada tiga macam morfem dasar dalam bahasa Indonesia dilihat dari status atau
potensinya dalam proses gramatika yang dapat terjadi pada morfem dasar itu.
Pertama adalah morfem dasar bebas, yakni morfem dasar yang secara potensial
dapat langsung menjadi kata, sehingga langsung dapat digunakan dalam ujaran.
Kedua morfem dasar yang kebebasannya dipersoalkan. Yang termasuk ini adalah
sejumlah morfem berakar verba, yang dalam kalimat imperative atau kalimat sisipan,
tidak perlu diberi imbuhan; dan dalam kalimat deklaratif imbuhannya dapat
ditanggalkan, Menurut Verhaar (1978) morfem ini masuk pada kategori kelompok
prakategorial.
Ketiga adalah morfem dasar terikat, yakni morfem dasar yang tidak mempunyai
potensi untuk menjadi kata tanpa terlebih dahulu mendapat proses morfologi. Misalnya
morfem {juang}. Ke dalam morfem inidapat dimasukan sejumlah morfem yang hanya
dapat muncul pada pasangan tetap. Contohnya {kering kerontang}.
B.

PROBLEMATIKA
MORFOLOGI

BAHASA

INDONESIA

DITINJAU

DARI

SEGI

Kita sering mendengar anekdot tentang orang asing yang sedang belajar bahasa
Indonesia. Sekali waktu seorang asing bertanya kepada rekan sejawatnya yang penutur
bahasa Indonesia Kapan anda berpulang orang asing itu bertanya dengan nada yang
sopan. Sejawatnya terperangah sejenak, tetapi pikirannya memaklumi bahwa yang
bertanya bukan penutur asli bahasa Indonesia. Ia segera menafsirkan bahwa yang
dimaksud adalah kata Kapan anda pulang? Orang asing ini belum memahami bahwa kata
pulang apabila dibubuhi perifik ber- akan berubah maknanya. Kira-kira satu jam lagi
jawab orang Indonesia itu dengan tersenyum. oh ya, kalau begitu saya berpulang dulu
sendirian sekarang. Selamat meninggal, kata orang asing itu sambil melangkah
meninggalkan sejawatnya yang tebengong-bengong.
Kesalahan orang asing itu termasuk pada kesalahan morfologis. Ia belum mengetahui
bentuk-bentuk kata yang tak lazim dalam tuturan bahasa Indonesia. Namun, sebenarnya
kesalahan morfologis itu juga dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Kita sering
mendengar kalimat:
a. Saya mengajar bahasa Indonesia
b. Saya mengajar murid kelas 1
Penggunaan bentuk kata mengajar dalam kalimat tersebut salah. Sebaiknya adalah:
a. Saya mengajarkan bahasa Indonesia
b. Saya mengajari murid kelas 1
c. Saya mengajar di kelas 1
Dalam bab ini akan akan mengetengahkan berbagai bentuk kata dalam bahasa Indonesia
yang lazim dalam tuturan, tetapi kalau dibedah menggunakan pisau analisis morfologis
sebenarnya mengandung kelainan. Bentukan-bentukan yang mengandung kelainan seperti
itu termasuk pada persoalan morfologis.
a. Problematika Peluluhan Bunyi /p/
Kita sering menjumpai bentuk bentuk berikut
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Mempedulikan
Mempelopori
Memperhatikan
Memoengaruhi
Mempercayai
Memperkosa
Mempesona

Bentuk-bentuk di atas menyimpang dari kaidah morfofonemik; fonem /p/ yang terdapat
di awal bentuk dasar harus luluh apabila dilekati perfiks me(N)-dan pe(N)-. Untuk dapat
melihat dengan jelas penyimpangannya maka kita perhatikan hasil analisis berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Me(N)- + pedulikan -----> mempedulikan


Me(N)- + pelopori ----- > mempelopori
Me(N)- + perhatikan ----- > memperhatikan
Me(N)- + pengaruhi ------- > mempengaruhi
Me(N)- + percayai ---------- > mempercayai
Me(N)- + perkosa ---------- > memperkosa
Me(N)- + pesona---------- > mempesona

Kalau hendak disesuaikan dengan morfofenemik, maka wujud bentukan-bentukan


tersebut adalah sebagai berikut.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Me(N)- + pedulikan -----> memedulikan


Me(N)- + pelopori ----- > memelopori
Me(N)- + perhatikan ----- > memerhatikan
Me(N)- + pengaruhi ------- > memengaruhi
Me(N)- + percayai ---------- > memercayai
Me(N)- + perkosa ---------- > memerkosa
Me(N)- + pesona---------- > memesona

Penyimpangan di atas disebabkan kesalahpahaman para pengguna tentang bentuk asal


masing-masing bentukannya. Karena bentuk asal bentukan-bentukan tersebut diawali
dengan suku kata pe atau per, maka orang mengira bahwa pe tau per tersebut adalah prefix
pe-, pe(N)-, atau per-. Memang /p/ pada prefik tidak luluh, seperti halnya dalam contoh
berikut.
1)
2)
3)
4)
5)

Me(N)- + perkirakan --------- > memperkirakan


Me(N)- + pergunakan --------- > mempergunakan
Me(N)- + pertinggi --------- > mempertinggi
Me(N)- + perdagangkan --------- > memperdagangkan
Me(N)- + perjualbelikan --------- > memperjaualbelikan
Coba kita lihat lagi bentukan-bentukan lain yang menyalahi kaidah morfofonemik

1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Pe(N)- + perhatikan --------------- > pemerhati


Pe(N)- + percayai ------------------- > pemercaya
Pe(N)- + perkosa ------------------- > pemerkosa
Me(N)- + pelonco ------------------ > memelonco
Me(N)- + periksa ------------------- > memeriksa
Me(N)- + perintah ------------------ > memerintah
Me(N)- + pesantrenkan ------------- > memesantrenkan

Dengan melihat bentukan-bentukan di atas maka muncul kaidah yang berbunyi


fonem /p/ pada bentuk dasar yang bersuku kata per tidak luluh apabila dilekati me(N)
Sekarang kita dapat menggunakan bentukan berikut dengan penuh keyakinan akan
kebenarannya
1) Me(N)- + perhatikan ------------ > memperhatikan
2) Me(N)- + percayai ---------------- > mempercayai
3) Me(N)- = perkosa ----------------- > memperkosa
Dengan demikian kita tidak perlu memaksakan adanya bentukan-bentukan berikut.
1) Me(N)- + perhatikan ------------ > memerhatikan
2) Me(N)- + percayai ---------------- > memercayai
3) Me(N)- = perkosa ----------------- > memerkosa
b. Problematika Peluluhan Bunyi /K/
1) Mengkaji

2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Mengkukur
Mengkilap
Mengkambinghitamkan
Mengkanji
Mengkarantinakan
Mengkaryakan
Mengkebiri
Kedelapan bentukan di atas menyalahi kaidah morfofonemik yang berbunyi: fonem /k/
pada awal bentuk dasar diluluhkan apabila dilekati prefix me(N)-, atau pe(N), maka
bentukan-bentukan tersebut harus diubah menjadi
1) Mengaji
2) Mengukur
3) Mengilap
4) Mengambinghitamkan
5) Menganji
6) Mengarantinakan
7) Mengaryakan
8) Mengebiri
Khusus untuk bentukan mengkaji fonem /k/ sengaja tidak diluluhkan agar untuk
membedakan dengan kata mengkaji (meN + kaji) dengan mengaji (meN- + aji). Tetapi
untuk kasus yang hampir sama yaitu mengkukur (meN + kukur), KBBI
memperlakukannya berbeda menjadi mengukur meskipun secara morfologis sangat
mirip.
c. Problematika peluluhan bunyi /t/
Kita sering menjumpai bentu-bentuk berikut.
1. Mentabukan
2. Mentintai
3. Pentahapan
4. Mentaati
5. Mentertibkan
6. Menterjemahkan
7. Penterjemah
8. Mentargetkan
9. Mentabanaskan
10. Maentertawakan
11. Mentelantarkan
12. Pentotalan
Bunyi /t/ pada awal bentuk dasar bentukan-bentukan di atas tidak diluluhkan. Dengan
demikian bahwa bentukan-bentukan tersebut menyalahi kaidah morfofonemik yang
berbunyi: Bunyi t pada awal bentuk dasar harus luluh apabila dilekati afiks me(N)- atau
pe(N)-. Apabila hendak disesuaikan dengan kaidah morfofonemik maka bentukan tersebut
menjadi: menabukan, menintai, penahapan, menaati, menertibkan, menerjemahkan,
penerjemah, menargetkan, menabanaskan, menertawakan, menelantarkan, penotalan.
d. Problematika Peluluhan Bunyi /s/
Kita sering menjumpai bentuk-bentuk sebagai berikut: (1) mensarikan - menyarikan; (2)
mensabari menyabari; (3) mensekutukan menyekutukan; (4) menselkan

mengeselkan; (5) mensengsarakan menyengsarakan; (6) mensentosakan


menyentosakan; (7) mensejahterakan menyejahterakan; (8) mensurvei menyurvei.
Adanya bentuk-bentuk bersaing seperti itu disebabkan oleh perbedaan pandangan
tentang luluh tidaknya bunyi /s/ yang terdapat pada awal bentuk dasar apabila dilekati
me(N) dan pe(N).
Menurut kaidah morfofonemik bunyi /s/ pada bentuk dasar luluh apabila dilekati
me(N) dan pe(N), kecuali bunyi /s/ yang terdapat pada awal bentuk dasar yang berasal
dari bahasa asing yang masih mempertahankan keasingannya. Maka, pengubahan
bentuk-bentuk tersebut di atas menjadi (1) menyarikan; (2) menyabari; (3) menyekutukan;
(4) mengeselkan; (5) menyengsarakan; (6) menyentosakan; (7) menyejahterakan; (8)
menyurvei.
Bentuk mengeselkan bersaing dengan menselkan , dengan demikian bahwa bentuk dasar
dari mengeselkan dan menselkan sama yaitu sel. Menurut kaidah morfofonemik bahwa
apabila imbuhan me(N) bertemu dengan sebuah kata yang bentuk dasarnya terdiri atas satu
suku kata maka me(N) berubah menjadi menge-. Maka yang benar adalah
mengeselkan.
Dalam kasus kata pensyarahan dan mensyukuri, bunyi /sy/ pada awal bentuk kata
tidak luluh meskipun telah dilekati me(N) atau pe(N). Jadi, bentuk yang benar adalah
pensyarahan dan mensyukuri bukan penyarahan dan menyukuri.
e. Problematika Abreviasi (Pemendekan)
Mari kita lihat contoh kalimat di bawah ini.
1. Polisi itu menilang kendaraan bermotor yang melanggar peraturan
2. Tadi pagi banyak sekali kendaraan yang ditilang.
Penggunaan kata tilang dalam bentukan menilang dan ditilang telah menyimpang
dari makna asalnya, karena makna sebenarnya tilang adalah singkatan bukti
pelanggaran. Mari kita lihat deskripsi berikut.
Me(N)- + tilang tidak sama maknanya dengan me(N)- + bukti pelanggaran. Demikian
pula di + tilang tidak sama maknanya dengan di- + bukti pelanggaran.
f. Bentuk Pirsawan Atau Pemirsa; Rohaniwan, Atau Rohaniawan.
Bentuk dasar Pirsawan adalah pirsa bentuk aktifnya adalah memirsa. Kalau kata
kerjanya memirsa maka orang yang memirsa adalah pemirsa. Maka, kata pemirsa lebih
tepat digunakan daripada pirsawan
Bentuk kata rohaniman atau rohaniawan yang benar? Berdasrkan analogi dengan
bentuk- bentuk lain maka kata rohaniman lebih tepat. Mari kita lihat perbandingannya,
Budiman, seniman, ilmuwan, geologiwan. Keempat bentuk tersebut tidak bisa dibentuk
menjadi bidiaman, seniaman, ilmiawan, atau geologiawan.

Anda mungkin juga menyukai