Anda di halaman 1dari 15

‫أنواع الداللة‬

A. Pendahuluan
Telaah tentang makna yang mencakup lambang-lambang atau tanda-
tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang
lainnya, serta pengaruh makna tehadap manusia dan masyarakat pengguna
bahasa, merupakan pokok kajian dari Ilmu Dalalah atau semantik tersebut.
Sebab, sebagai pelaku bahasa, manusia tidak akan terlepas dari makna.
Pengungkapan dan penerimaan makna adalah karakter alami bahasa yang
terdapat pada manusia. Pemahaman klasifikasi makna akan mempermudah
transformasi bahasa antara satu penutur dengan penutur yang lain. Sehingga
kandungan arti kata pada suatu bahasa menjadi sangat penting dan urgen
untuk diketahui, guna memahami bahasa tersebut. Begitu juga tidak kalah
pentingnya memahami makna kata itu pada saat dikombinasikan menjadi
sebuah makna kalimat.
Dalam bertutur dan berkomunikasi, merupakan hal yang penting bagi
seorang pendengar untuk dapat memahami tuturan si pembicara, persis seperti
apa yang ia maksud dan apa yang ia pikirkan. Sementara lingkup makna
sangatlah luas, bukan sekadar arti kata seperti yang dipaparkan di dalam
kamus, dan sebagainya, sehingga dalam hal kajian makna, makna yang
disuguhkan oleh kamus sering kali tidak memadai untuk memahami makna
yang dimaksud oleh si pembicara untuk dipahami dengan baik oleh si
pendengar. Untuk sampai kepada makna yang dimaksud, terdapat dalil-dalil,
dalalah-dalalah yang menggiring kita kepadanya, bisa berupa dalalah yang
kita peroleh melalui bunyi, intonasi bicara, atau bentuk kata yang digunakan,
struktur kalimat, dan sebagainya, yang kesemuanya itu tidak melulu bisa
disediakan oleh kamus. Meskipun kata yang diungkapkan adalah sama, bila
menggunakan intonasi berbeda, maka maknanya pun menjadi berbeda, dan
lain sebagainya. Kesemua indikasi-indikasi yang mengarahkan dan

1
menggiring kita menuju makna yang dimaksud tersebutlah yang disebut
dengan dalalah, tergantung dalalah seperti apa nanti apakah bunyi, sharf,
nahwu, dan sebagainya.
Untuk itu, pemahaman terhadap dalil-dalil yang mengarahkan
pendengar kepada makna yang tepat menjadi suatu tuntutan dalam memahami
apa yang dituturkan pembicara, agar makna yang ditangkap tidak
menyimpang dari makna yang dimaksud.
Adapun dalil-dalil yang dapat mengarahkan kita dalam memahami
makna dalam kajian Ilmu Dalalah termaktub dalam anwa’ ad-dalalah yang
menurut Ibrahim Anis terdiri dari dalalah shautiyah, dalalah sharfiyah,
dalalah nahwiyah, dalalah mu’jamiyah atau ijtima’iyah. Sementara menurut
Ibnu Jinni secara garis besar dalalah menjadi dalalah lafzhiyah dan dalalah
ghairu lafzhiyah.
Untuk itu, penulis membahas mengenai pembagian dalalah ini yang
dibatasi kepada :
1. Macam-Macam Dalalah Menurut Ibrahim Anis, Dan
2. Macam-Macam Dalalah Menurut Ibnu Jinni
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui macam-macam dalalah menurut pendapat Ibrahim
Anis
2. Untuk mengetahui macam-macam dalalah menurut pendapat Ibnu
Jinni

2
B. Pembahasan
1. Macam-Macam Dalalah Menurut Ibrahim Anis
Ibrahim Anis mengemukakan pembagian dalalah kepada beberapa
macam yaitu dalalah shautiyah, dalalah sharfiyah, dalalah nahwiyah,
dalalah mu’jamiyah atau dalalah ijtima’iyah.
a. Dalalah Shautiah
Dalalah shautiyah merupakan dalalah yang bersumber dari
sifat ashwat atau bunyi-bunyi, sehingga pemahaman diperoleh dari
pengaruh suatu bunyi terhadap bunyi yang lain atau sekumpulan bunyi
terhadap bunyi-bunyi yang lain dalam suatu ucapan. Oleh sebab itu,
menurut Ibrahim Anis, suatu dalalah yang berasal dari sifat ashwat
atau bunyi-bunyi, itulah yang kita sebut sebagai dalalah shautiyah.
Adapun salah satu fenomena dalalah shautiyah adalah apa
yang kita sebut sebagai an-nagham al-kalamiyah (intonation) atau
intonasi. Dalam berbicara, intonasi sangat menentukan makna yang
dimaksud. Intonasi memiliki peran penting dalam bahasa-bahasa. Satu
kata bisa saja memiliki beberapa dalalah yang antar yang satu dengan
yang lain hanya berbeda nagham atau intonasi saat berbicara saja.

Contoh pada ungkapan ‫ال يا شيخ‬. Ungkapan ini dapat kita ucapkan
dengan beberapa intonasi dan masing-masing intonasi yang kita pakai
akan memfaedahkan dalalah tersendiri, seperti istifham dengan
intonasi bertanya, atau bisa juga dalalah-nya sarkasme dan ejekan,
atau bisa juga terkejut dan takjub, dan sebagainya, tergantung intonasi
seperti apa yang kita gunakan ketika mengucapkan ungkapan tersebut.
Oleh sebab itu, berubahnya nagham atau intonasi yang dipakai
mengakibatkan berubahnya dalalah.1
Dalalah shautiah adalah makna yang terkandung dalam bunyi,
adapun pembagiannya sebagai berikut:

1
Ibrahim Anis, Dilalatul Alfazh, (Mesir: Maktabah Anjalu, 1991) Cet. 6, hal.. 47

3
1) Fonologi adalah bidang bahasa yang mempelajari, menganalisis,
dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa yang disebut
fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi
dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi
objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik.
Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan
apakah bunyi- bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda
makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi
yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi
bunyi tersebut sebagai pembeda makna.2
Bunyi [i] yang terdapat pada kata-kata [intan], [angin], dan
[batik] adalah tidak sama. Begitu juga bunyi [p] pada kata inggris,
dan juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan bunyi [p] pada
deretan kata-kata diatas itulah sebagai salah satu contoh objek atau
sasaran studi fonetik.Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha
mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan
sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang
terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi
contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b]
itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.
2) Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi
bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian
menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan
adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik
akustik, dan fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau
fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat
bicara manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi bahasa serta

2
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta, 2003), hal. 102.

4
bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik
mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena
alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana
mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari
ketiga jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu
linguistik adalah fonetik artikulatoris sebab fonetik inilah yang
berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu
dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik
lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih
berkenaan dengan bidang kedokteran.
3) Fonemik identitas fonem sebagai pembeda. Dasar bukti identitas
fonem adalah apa yang dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai
sifat khas fonem itu. Seperti contoh tentang rupa dan lupa. Satu-
satunya perbedaan diantara kedua kata itu ialah menyangkut bunyi
pertama, (r) dan (l). Oleh karena semua yang lain dalam pasangan
kedua kata ini adalah sama, maka pasangan tersebut disebut
“pasangan minimal” : perbedaan di dalam pasangan itu adalah
“minimal”. Dengan perkataan lain, perbedaan antara l dan r
adalah apa yang membedakan dari sudut analisis bunyi rupa dan
lupa. Maka dari itu, l dan r dalam bahasa Indonesia merupakan
fonem-fonem yang berbeda identitasnya.3
Objek penelitian fonemik adalah fonem yakni bunyi bahasa
yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan,
kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata,
yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan
satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama.
Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka
berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau
berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu.

3
J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta, 2010), hal. 68

5
Fonem itu berjenis-jenis. John Lyons, Pater Ladefoged,
Gleason mengatakan bahwa fonem setiap bahasa dapat dibagi atas :
Fonem segmental adalah fonem yang dapat dianalisis
keberadaanya. Fonem segmental dapat dibagi atas vokal dan
konsonan. Fonem suprasegmental adalah fonem yang
keberadaannya harus bersama-sama fonem segmental.4
Sebagian ahli bahasa membagi dalalah shautiyah ini menjadi
dua yaitu dalalah shautiyah thabi’iyah dan dalalah shautiyah
tahliliyah.
Dalalah shautiyah thabi’iyah adalah dalalah yang berkaitan
dengan salah satu teori asal-usul bahasa, yaitu adanya kesesuaian yang
alami antara lafaz dan makna. Ibnu Jinny dalam kitabnya Al-Khashaish
menamai dalalah ini dengan dalalah lafzhiah. Diriwayatkan dari ‘Ibad
Shaimiry, bahwa dia tidak berpendapat mengenai adanya kesesuaian
yang alami antara bunyi dan unsur-unsur yang menunjukkan

kepadanya, dan dia memberikan beberapa lafaz seperti ،‫خرير‬


... ‫ فحيح‬،‫حفيف‬. Para linguistic barat berbeda pendapat mengenai

dalalah ini. Mereka tidak menambahkan seperti apa yang dikatakan


oleh orang arab, dan mereka menamakannya dengan nama The Bow-
Wow Theory.
Sedangkan dalalah shautiyah tahliliyah adalah dalalah yang
berkaitan dengan perubahan kesatuan bunyi (phonemes) dalam satu
kata, maka maknanya berubah seiring dengan perubahan bunyi, di
samping adanya tekanan dan intonasi.
Para linguistik arab telah mempelajari kesatuan bunyi dan
mereka telah menjelaskannya dalam perubahan makna. Pengaruh
tersebut telah tampak dengan jelas dalam penjelasan al-isytiqaq al-
akbar yang dipaparkan oleh Ibnu Jinny, perbedaan antara makna-

4
Mansoer Pateda, Linguistik Sebuah Pengantar, (Bandung, 2011), hal. 69

6
maknanya adalah hasil dari perubahan kesatuan bunyi dalam beberapa

kata. Contoh : ‫قط‬ ،‫ قطش‬،‫ قطع‬،‫ قطف‬،‫قطم‬.5

b. Dalalah Sharfiyah
Sharaf merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa arab yang
mempelajari segala peraturan yang berhubungan dengan pembentukan
kata-kata arab, pemecahan dan perubahan bentuk kata yang membawa
perubahan makna kata. Cakupan kajian dari Ilmu Sharaf adalah
konjugasi kata-kata arab dari satu bentuk kata dengan segala
perubahan yang terjadi dalam proses pembentukan tersebut. Perubahan
ini pada akhirnya membawa pada perubahan makna kata Sharaf
menurut bahasa adalah berubah atau mengubah. Mengubah dari bentuk
aslinya kepada bentuk yang lain.
Ilmu Sharaf disebut juga dengan morfologi dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan morfologi
adalah “Cabang linguistik yang mengkaji tentang morfem dan
kombinasi-kombinasinya atau bagian dari struktur bahasa yang
mencakup kata dan bagian-bagian kata.”6
Adapun menurut istilah, shorof adalah berubahnya bentuk asal
pertama yang berupa fi’il madhi, menjadi fi’l mudhori, menjadi
mashdar, isim fa’il, isim maf’ul, fi’il amr, fi’il nahi, isim zaman, isim
makan sampai isim alat.
Maksud dan tujuan dari perubahan dalam sharaf adalah agar
memperoleh makna atau arti yang berbeda. Dari perubahan satu bentuk
ke bentuk lainnya di dalam ilmu shorof dinamakaan shighot.

Dalam bahasa Arab misalnya, perubahan kata ‫ نصر‬menjadi ‫ناصر‬


serta makna baru yang muncul dari perubahan tersebut, yaitu
dari makna menolong nmenjadi saling menolong.

5
http://ssaab.wordpress.com/2013/07/18
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), Cet. Ke-4, h. 666.

7
Dalalah sharfiyah merupakan salah satu jenis dalalah yang
diperoleh melalui sighat dan bina-nya. Ibrahim Anis

mencontohkannya dengan kata ‫كذاب‬ yang merupakan badal dari

‫ كاذب‬, karena para ahli bahasa terdahulu ber-ijma’ bahwa kata yang
pertama yaitu ‫ كذاب‬sighat-nya yang menurut mereka memfaedahkan

mubalaghah yang menunjukkan indikasi lebih atau sangat, maka kata

‫ كذاب‬bertambah atau meningkat dalalah-nya dari kata ‫كاذب‬. Maka


ketika kata ‫ كذاب‬yang digunakan oleh pembicara, maka tentu berbeda

makna yang ia maksud bila dibandingkan dengan menggunakan kata

‫كاذب‬, sehingga pendengar pun mesti memahaminya sebagai makna


yang berbeda. Dalalah yang diperoleh karena perbedaan sighat antara
kedua kata tersebutlah yang disebut sebagai dalalah sharfiyah, karena
sighat dari kata itu yang menggiring kita dalam memahami makna
yang digunakan, dan pembahasan sighat merupakan kajian sharf.

c. Dalalah Nahwiyah
Secara umum, ada banyak batasan sintaksis yang telah
dikemukakan oleh para linguis, sintaksis sebagai telaah tentang kaidah-
kaidah yang mengatur cara kata-kata dikombinasikan untuk
membentuk kalimat dalam suatu bahasa. Tidak beda jauh dengan
sintaksis dalam versi bahasa arab yang mengalami penamaan sebagai
Ilmu Nahwu, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang
digunakan untuk mengetahui hukum kalimat Arab, keadaan susunan
i’rab dan bina’nya.
Kata sintakis berasal dari kata Yunani (sun: “dengan” dan
tattein: menempatkan). Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau

8
kalimat.7 Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan
antarkata dalam tuturan.8 Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi
morfologi menyangkut struktur gramatikal di dalam kata. Unsur
bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, klausa dan
kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang
dalam bentuk kalimat. Ramlan mengatakan bahwa sintaksis adalah
bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk
wacana, kalimat, klausa, dan frase.9
Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang
secara hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang
lebih besar yaitu frase. Maka di sini, kata, hanya dibicarakan sebgai
satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan
unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa,
dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis,
pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu
yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword).
Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori
nomina, ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang
termasuk kata tugas adalah kata-kata yang yang berkategori preposisi
dan konjungsi.10
Dalalah nahwiyah mementingkan aturan bahasa Arab yang
berurutan secara khusus untuk memahaminya dengan mudah. Masnal
Zajuli mencontohkan bahwa yang biasanya dalam nahwu jumlah
fi’liyah itu terdiri dari fi’il, fa’il, lalu baru maf’ul bih, maka sementara
dalam ayat:
  
 
   

7
Mansoer Pateda, Op.Cit., (Bandung, 2011), hal. 97
8
J.W.M. Verhaar, Op.Cit., hal 161
9
Loc.Cit.,
10
Abdul Chaer, Op.Cit., hal. 219

9
  
    
    
 
yang kita temukan adalah sesudah fi’il terdapat maf’ul bih, barulah
sesudahnya terdapat fa’il dari fi’il tersebut. Akan berbeda maknanya
bila kata ibrahim di-i’rab-kan sebagai fa’il dan kata rabb di-i’rab-kan
sebagai maf’ul bih.11 Tentu terjadi perbedaan yang sangat signifikan
dan bertolak belakang bila kita mengi’rabkannya seperti itu.
Atau seperti ayat berikut:
 
 
 
    
  
     
Kata Allah yang merupakan maf’ul bih berada setelah fi’il yaitu
yakhsya, sementara kata al-‘ulama yang merupakan fa’il berada
setelahnya. Lazimnya urutan jumlah fi’liyah dimulai dari fi’il, fa’il,
barulah maf’ul bih. Tentu akan terjadi perbedaan makna seratus
delapan puluh derajat bilamana i’rab-nya kita sesuaikan dengan urutan
yang semestinya yaitu Allah sebagai fa’il dan ulama’ sebagai maf’ul
bih, maka maknanya adalah Allah-lah yang takut pada ulama.
Indikasi-indikasi nahwu yang mengarahkan kita dalam
memahami makna potongan ayat tersebut, itulah yang disebut dengan
dalalah nahwiyah, yaitu dalil-dalil nahwu yang menggiring kita untuk
memahami suatu ungkapan. Sebab berbedanya i’rab suatu kata
mengakibatkan berbeda pula makna yang muncul.

11
Disampaikan pada perkuliahan mata kuliah Dalalah wal Ma’aajim pada Sabtu, 8 April
2017 di ruangan F.

10
d. Dalalah Mu’jamiah atau Ijtima’iyah
Makna leksikal (makna asasiyyah atau mu‘jamiyyah) dapat
diartikan sebagai makna kata secara lepas di luar konteks kalimatnya.
Makna leksikal ini terutama yang berupa kata dalam kamus
biasanya menjadi makna pertama dari kata atau entri yang terdaftar
dalam kamus. Dalalah Ijtima’iah merupakan aspek ungkapan yang
terkait erat dengan budaya penutur dan terkadang tidak dapat
diterjemahkan secara harfiah ke dalam makna satu bahasa dengan
bahasa lain.12

2. Macam-Macam Dalalah Menurut Ibnu Jinni


Secara garis besar, Ibnu Jinny membagi dalalah menjadi dua
macam yaitu dalalah lafzhiyah dan dalalah ghairu lafzhiyah. Masing-
masing dalalah ini kemudian terbagi pula ke beberapa bagian nantinya.

a. Dalalah lafzhiyah
Dalalah lafzhiyah adalah petunjuk yang berupa kata atau suara.
Dalalah ini terbagi menjadi tiga:
1) Dalalah Lafzhiyah Thab’iyah, yaitu dalalah (petunjuk) yang
berbentuk alami (‘aradh thabi’i).
Contoh:
 Tertawa terbahak-bahak menjadi dalalah untuk gembira.
 Menangis terisak-isak menjadi dalalah bagi sedih.

2) Dalalah Lafzhiyah ‘Aqliyah, yaitu dalalah (petunjuk) yang


dibentuk akal pikiran
Contoh:
 Suara teriakan di tengah hutan menjadi dalalah bagi adanya
manusia di sana.

12
Fayz al-Dayah, Ilmu al Dalalah al ‘Araby Baina al Nazariyah wa al Tathbiqi, (Damaskus:
Darul Fikr, 1996), hal. 20.

11
 Suara teriakan maling di sebuah rumah menjadi dalalah
bagi adanya maling yang sedang melakukan pencurian.

3) Dalalah Lafzhiyah Wadh’iyah, yaitu dalalah (petunjuk) yang


dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk suatu isyarah atau tanda
(apa saja) berdasar kesepakatan.
Contoh: Petunjuk lafadz (kata) kepada makna (benda) yang
disepakati:
 Orang Sunda, misalnya sepakat menetapkan kata cau
menjadi dalalah bagi pisang.
 Orang Jawa, misalnya sepakat menetapkan kata gedang
menjadi dalalah bagi pisang.
 Orang Inggris, misalnya sepakat menetapkan kata banana
menjadi dalalah bagi pisang.
Adapun dalalah lafzhiyah wadh’iyah menjadi ajang
pembahasan para pakar mantiq. Dalalah lafzhiyah wadh’iyah
kemudian terbagi menjadi tiga:
a) Dalalah Lafzhiyah Wadh’iyah Muthabaqiyah, yaitu dalalah
lafadz (petunjuk kata) pada makna selengkapnya.
Contoh: Kata rumah memberi petunjuk (dalalah)
kepada bangunan lengkap yang terdiri dari dinding, jendela,
pintu, atap, dan lainnya, sehingga bisa dijadikan tempat
tinggal yang nyaman. Jika Anda menyuruh seorang tukang
membuat rumah, maka yang dimaksudkan adalah rumah
selengkapnya, bukan hanya dindingnya atau atapnya saja.

b) Dalalah Lafzhiyah Wadh’iyah Tadhammuniyah, yaitu dalalah


lafadz (petunjuk kata) kepada bagian-bagian maknanya.
Contoh: ketika Anda meminta dokter mengobati badan
Anda, maka yang dimaksudkan adalah bagian yang sakit saja.
Kata badan di sini bermakna bagian-bagian tertentu dari badan

12
tersebut, bukan badan secara keseluruhan.

c) Dalalah Lafzhiyah Wadh’iyah Iltizamiyah, yaitu dalalah lafadz


(petunjuk kata) kepada sesuatu yang di luar makna lafadz yang
disebutkan, tetapi terikat amat erat terhadap makna yang
dikandungnya.
Contoh: jika Anda menyuruh tukang untuk
memperbaiki jendela yang kacanya pecah, maka yang Anda
maksudkan bukan hanya kacanya saja yang harus diganti,
namun juga bingkai jendela tempat kaca itu melekat juga harus
diperbaiki. Kaca dan bingkai jendela terkait sangat erat. Atau
jika Anda menyuruh tukang memperbaiki asbes rumah yang
runtuh, maka yang Anda maksudkan bukan asbes-asbesnya
saja, tetapi juga kayu-kayu tempat asbes itu melekat yang
kebetulan sudah patah-patah. Asbes dan kayu yang menjadi
tulangnya, terkait amat erat (iltizam). Jika kerusakan asbes itu
disebabkan kebocoran di atap, maka perbaikan atap merupakan
iltizam (menjadi keharusan yang terkandung dan terikat)
kepada perintah memperbaiki asbes loteng itu.

b. Dalalah Ghairu Lafzhiyah


Dalalah ghairu lafzhiyah adalah petunjuk yang tidak berbentuk
kata atau suara. Dalalah ini terbagi tiga:
1) Dalalah Ghairu Lafzhiyah Thabi'iyah, yaitu dalalah (petunjuk)
yang bukan kata atau suara yang berupa sifat alami.
Contoh:
 Wajah cerah menjadi dalalah bagi hati yang senang.
 Menutup hidung menjadi dalalah bagi menghindarkan
bau kentut, dan bau busuk lainnya.

2) Dalalah Ghairu Lafzhiyah ‘Aqliyah, yaitu dalalah (petunjuk) yang

13
bukan kata atau suara dibentuk akal pikiran.
Contoh:
 Hilangnya barang-barang di rumah menjadi dalalah
adanya pencuri yang mengambil.
 Terjadinya kebakaran di gunung menjadi dalalah bagi
adanya orang yang membawa api ke sana.

3) Dalalah Ghairu Lafzhiyah Wadh’iyah, yaitu dalalah (petunjuk)


bukan berupa kata atau suara yang dengan sengaja dibuat oleh
manusia untuk suatu isyarah atau tanda (apa saja) berdasar
kesepakatan.
Contoh: Petunjuk lafadz (kata) kepada makna (benda) yang
disepakati:
 Secarik kain hitam yang diletakkan di lengan kiri orang
Cina adalah dalalah bagi kesedihan/duka cita, karena
ada anggota keluarganya yang meninggal.13

C. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat penulis dapat
menyimpulkan bahwa:
Ibrahim Anis mengemukakan pembagian dalalah kepada beberapa
macam yaitu dalalah shautiyah, dalalah sharfiyah, dalalah nahwiyah,
dalalah mu’jamiyah atau dalalah ijtima’iyah.
Dalalah Shautiah merupakan dalalah yang bersumber dari sifat
ashwat atau bunyi-bunyi. Dalalah Sharfiyah merupakan salah satu jenis
dalalah yang diperoleh melalui sighat dan bina suatu kata. Dalalah
Nahwiah berisikan dalil-dalil nahwu yang menggiring kita untuk
memahami suatu ungkapan. Sebab berbedanya i’rab suatu kata
mengakibatkan berbeda pula makna yang muncul, dan Dalalah Mu’jamiah
13
http://markazunahebat.blogspot.com/2012/04/konsep-ilmu-dan-dalalah.html

14
atau makna leksikal (makna asasiyyah atau mu‘jamiyyah) atau Dalalah
Ijtima’iyah.
Sementara Ibnu Jinny membagi dalalah menjadi dua macam yaitu
dalalah lafzhiyah dan dalalah ghairu lafzhiyah. Masing-masing dalalah
ini kemudian terbagi pula ke beberapa bagian. Dalalah lafzhiyah terbagi
menjadi Dalalah Lafzhiyah Thab’iyah, Dalalah Lafzhiyah ‘Aqliyah, dan
Dalalah Lafzhiyah Wadh’iyah. Dalalah lafzhiyah wadh’iyah kemudian
terbagi menjadi Dalalah Lafzhiyah Wadh’iyah Muthabaqiyah, Dalalah
Lafzhiyah Wadh’iyah Tadhammuniyah, dan Dalalah Lafzhiyah Wadh’iyah
Iltizamiyah.
Adapun Dalalah Ghairu Lafzhiyah terbagi tiga yaitu Dalalah
Ghairu Lafzhiyah Thabi'iyah, Dalalah Ghairu Lafzhiyah ‘Aqliyah, dan
Dalalah Ghairu Lafzhiyah Wadh’iyah.

2. Saran
Dari pembahasan anwa’ ad-dalalah ini penulis menyarankan agar
pihak kampus dan civitas akademika IAIN Imam Bonjol Padang untuk
dapat memfasilitasi mahasiswa dengan literatur-literatur bahasa Arab
khususnya Ilmu Dalalah dengan cukup memadai. Sebab buku-buku Ilmu
Dalalah sangat sulit didapat, sehingga hal ini menyulitkan mahasiswa
dalam mengkaji materi dan menyiapkan bahan untuk perkuliahan.

15

Anda mungkin juga menyukai