Tengku Amir Hamzah Pangeran Indra Putra dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1911 di
Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur. Ia wafat pada tanggal 20 Maret 1946 di Kwala
Begumit, Binjai, Langkat. Tengku Amir Hamzah merupakan anak terakhir dari Tengku
Moehammad Adil dan Tengku Mahdjiwa. Ayahnya berkedudukan sebagai wakil dari sultan
untuk Luhat Langkat Hulu yang berpusat di Binjai. Dalam karier kepenulisannya, penulis era
Pujangga Baru ini telah menghasilkan 50 puisi, 18 prosa lirik, 12 artikel, 4 kisah pendek, 3
koleksi puisi, dan 1 buku. Ia juga telah menerjemahkan 44 puisi, 1 prosa lirik, dan 1 buku. Salah
satu puisinya yang terkenal adalah “Padamu Jua” yang diterbitkan oleh Pujangga Baru pada
bulan November 1937.
Puisi “Padamu Jua” mengangkat tema religiusitas yang menggambarkan rasa cinta sang
penulis terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Lewat untaian kata di dalamnya, penulis menceritakan
tentang rasa cinta dan kerinduan akan Tuhannya. Perasaan Amir Hamzah yang bercampur aduk
juga diluapkan di dalam puisi tersebut.
Padamu Jua
Amir Hamzah
Habis kikis segala cintaku hilang
terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
Satu kasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu – bukan giliranku
mati hari – bukan kawanku...
Bait-bait puisi tersebut mengandung makna yang sangat dalam. Perhatikan isi puisi pada
bait berikut:
Habis kikis segala cintaku hilang
terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
Bait puisi di atas menunjukkan bahwa cinta penulis telah hilang atau musnah. Di tengah
kegalauannya, penulis pun memutuskan untuk pasrah dan kembali mengenal Tuhannya yang
sejati, seperti seorang anak yang kembali ke pelukan ibunya. Hal ini tergambarkan pada kalimat
pulang kembali aku padamu seperti dahulu yang terdapat pada bait tersebut.
Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu
Bait puisi di atas menggambarkan tentang pandangan penulis tentang Tuhan sebagai kandil atau
pelita yang menerangi gelapnya kehidupan ini. Dia yang senantiasa mengasihi dan setia
menunggu hamba-Nya untuk pulang kepada kesejatian. Hal ini tergambarkan pada kalimat
melambai pulang perlahan dan sabar, setia selalu.
Satu kasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Bait puisi di atas menggambarkan tentang perasaan penulis sebagai manusia biasa yang memiliki
rasa dan kerinduan. Penulis merindukan Tuhan yang merupakan energi dasar yang tiada
berbentuk atau berupa tetapi meliputi segalanya yang ada di dunia ini. Ia ingin kembali pada
cintanya yang tak tergambarkan (Tuhan). Hal tersebut tergambarkan pada kalimat Di mana
engkau, rupa tiada, suara sayup.
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas